bab iv integrasi sosial masyarakat wotay 4.1. pengantar. · bab iv integrasi sosial masyarakat...
TRANSCRIPT
BAB IV
INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT WOTAY
4.1. Pengantar.
Integrasi masyarakat Wotay perlu dipahami dalam perspektif integrasi sosial. Dalam
perspektif ini, budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian integrasi
sosial masyarakat Wotay. Dengan mengacu pada nilai-nilai penting yang terkandung dalam
moritari, penulis membahas bagaimana nilai-nilai penting moritari dapat menggerakkan
terwujudnya integrasi sosial masyarakat Wotay. Integrasi sosial masyarakat Wotay bukan
suatu proses yang mudah dalam konteks perubahan sosial yang sedang dialami masyarakat
setempat. Oleh karena itu, penulis juga memaparkan tantangan-tantangan integrasi sosial
masyarakat Wotay. Sehingga bab ini akan membahas dua topik utama yaitu moritari:
pemaknaannya bagi masyarakat Wotay, moritari: tantangan integrasi sosial masyarakat
Wotay.
4.2. Moritari: Pemaknaannya Bagi Masyarakat Wotay.
Moritari merupakan budaya masyarakat Wotay yang hanya dapat berfungsi dengan
baik jika dimaknai dengan baik oleh masyarakat penganutnya. Sebagai sebuah sistem budaya,
pemaknaan terhadap moritari berdampak bagi pelaksanaan bentuk-bentuk moritari dalam
pergaulan hidup masyarakat setempat. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, moritari
memiliki nilai-nilai penting1yang mengandung dua makna terdalam.
Pemaknaan terdalam moritari identik dengan pemaknaan atas kebenaran dan kebaikan
hidup bersama berdasarkan sejarah masyarakat Wotay. Kebenaran dan kebaikan bagi
masyarakat setempat dinyatakan melalui perilaku yang tidak bertentangan dengan adat-
1Lih. hlm 62-67.
75
istiadat. Moritari sebagai bagian dari adat-istiadat masyarakat Wotay dimaknai sebagai
budaya yang mengandung kebenaran tersebut. Karena itulah, jika masyarakat Wotay sudah
tidak lagi memaknai dengan baik moritari, maka perilaku tersebut identik dengan sikap
menentang kebenaran sejarah masyarakat Wotay dan menolak kebaikan hidup bersama.
Di samping makna tersebut di atas, makna terdalam moritari adalah budaya yang hadir
untuk merawat hidup. Ciri khas moritari sebagai budaya yang merawat hidup tercermin dari
peran moritari untuk menjaga eksistensi masyarakat sekitar, dimulai sejak zaman leluhur
yang hidup terisolasi di Pulau Nila hingga pascaperpindahan ke pemukiman baru yang lebih
terbuka di Pulau Seram. Ciri khas itu menjadi bagian integral dalam diri setiap anggota
masyarakat Wotay. Jati diri masyarakat Wotay tidak lepas dari filosofi dibalik nama Desa
Wotay yang dalam bahasa setempat dikenal dengan Negeri Letwori Rei’syara artinya negeri
yang menghimpun dan menghidupkan masyarakat. Sebagai komunitas yang mendiami negeri
yang menghimpun dan menghidupkan, merupakan tanggung jawab masyarakat Wotay untuk
mewujudkan identitas mereka dalam tindakan aktual.
Kekayaan nilai moritari dapat berfungsi untuk menciptakan integrasi sosial masyarakat
Wotay. Menurut Ralph Linton, integrasi sosial adalah proses perkembangan progresif dalam
rangka mewujudkan persesuaian yang sempurna antara unsur-unsur yang secara bersama
mewujudkan persesuaian universal.2 Sedangkan Soetrisno Kutoyo mendefinisikan integrasi
sosial sebagai gambaran tentang terjadinya pembauran warga masyarakat menjadi satu
kesatuan yang utuh dan bulat ke dalam satu kesatuan sosial. Dikatakan juga bahwa integrasi
sosial atau integrasi masyarakat tidak lain adalah membuat masyarakat menjadi satu kesatuan
yang utuh atau bulat.3
Mengacu pada definisi di atas, terlihat bahwa integrasi sosial menitikberatkan proses
perkembangan masyarakat, adanya pembauran antar warga masyarakat yang saling berbeda,
2Linton, Antropologi: Suatu Penyelidikan…, 266. 3Kutoyo, Sosiologi…, 144.
76
terjadinya penyesuaian di antara unsur-unsur masyarakat yang berbeda itu, hingga akhirnya
mencapai satu kebulatan atau kesatuan masyarakat. Dengan kata lain, integrasi sebagai proses
dan hasil kehidupan sosial merupakan alat yang bertujuan mengadakan suatu keadaan
homogen, yang mana jika homogenitas itu tercapai maka akan tercapai keberlangsungan
hidup masyarakat.
Jika memperhatikan konteks masyarakat Wotay masa kini, maka akan ditemukan
adanya keanekaragaman kultural masyarakatnya. Komposisi masyarakat Wotay yang terdiri
dari warga asli dan warga pendatang, baik warga yang menetap di Wotay karena ikatan dinas,
warga yang mengalami perkawinan campur, serta warga korban konflik sosial Maluku tahun
1999-2002, memperlihatkan adanya tingkat heterogenitas tersebut. Mengacu pada perspektif
integrasi, realitas ini memungkinkan terjadinya proses pembauran unsur-unsur yang berbeda
dalam masyarakat setempat. Pembauran tersebut dimaksudkan agar anggota masyarakat
Wotay yang berbeda itu dapat menyesuaikan diri satu sama lain sehingga pada akhirnya
menciptakan keadaan masyarakat yang homogen, yang mana homogenitas tersebut
bermanfaat bagi keberlangsungan hidup masyarakat Wotay.
Keragaman masyarakat Wotay ini bila tidak dikelola dengan bijak akan memicu
konflik. Menurut Astrid Susanto,4integrasi sosial dan konflik adalah gejala sosial yang saling
berkaitan karena proses integrasi adalah sekaligus proses disorganisasi dan disintegrasi, di
mana proses itu diawali dengan disorganisasi. Disorganisasi merupakan proses memudarnya
nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Sedangkan disintegrasi adalah memudarnya
kesatuan dalam organisasi dan solidaritas kolektif, golongan/kelompok dalam masyarakat.
Merujuk pada perspektif tersebut, dapat dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab konflik
dalam masyarakat disebabkan oleh memudarnya nilai dan norma yang dipegang bersama.
Dalam masyarakat yang masih berpegang pada adat-istiadat, nilai dan norma itu banyak
4Susanto, Pengantar Sosiologi…, 122.
77
terkandung di dalam budaya lokal. Jika dikaitkan dengan konteks hidup masyarakat Wotay,
maka terjadinya segregasi dan konflik juga dipengaruhi oleh memudarnya nilai-nilai moritari
khususnya di kalangan generasi muda. Akibat dari memudarnya nilai-nilai moritari itu
sendiri turut mempengaruhi solidaritas yang terbentuk antar anggota masyarakat maupun
antar generasi masyarakat Wotay.
Kondisi di atas terbukti dengan adanya perbedaan sikap masyarakat Wotay dalam
berbagai aktivitas moritari. Perbedaan sikap dimaksud tidak hanya bersifat eksternal
mencakup masyarakat asli dan masyarakat pendatang, tetapi juga bersifat internal mencakup
perbedaan sikap di antara generasi masyarakat asli Wotay. Terkait dengan perbedaan sikap
antar masyarakat asli Wotay dengan masyarakat pendatang, ditemukan bahwa masyarakat
pendatang dinilai tidak memiliki pemahaman yang baik tentang moritari dibanding
masyarakat asli Wotay. Sedangkan dalam masyarakat asli Wotay sendiri generasi tua dinilai
masih mempertahankan moritari dalam berbagai aktivitas, sedangkan generasi muda
cenderung mengabaikannya. Merujuk pada pandangan Susanto dikatakan bahwa makin tinggi
konflik intra kelompok, makin kecil integrasi. Sebaliknya makin besar permusuhan dengan
kelompok luar (out-group/theygroup), makin besar integrasi (in-group solidarity).5
Meminjam pandangan William Graham Sumner,6disebutkan juga bahwa orang cenderung
mempertentangkan kelompoknya sendiri (in-groups) dengan kelompok luar (out-groups)
sehingga melahirkan etnosentrisme. Hal ini berdampak pada solidaritas yang terbentuk di
antara mereka.
Berdasarkan pemaparan data pada bab sebelumnya, diketahui bahwa masyarakat
Wotay memiliki dua perspektif berbeda dalam memandang kehadiran anggota komunitas lain
pada aktivitas moritari. Selain dianggap dapat mempengaruhi munculnya konflik, orang luar
atau masyarakat pendatang justru memiliki pengaruh besar bagi perkembangan masyarakat
5Susanto, Pengantar Sosiologi…, 122. 6Sumner, Folkways…, 12.
78
Wotay. Hal ini dibuktikan oleh adanya partisipasi masyarakat pendatang untuk pembangunan
Desa Wotay yang dikerjakan dalam bingkai moritari. Kondisi tersebut tidak menimbulkan
sikap pertentangan atau permusuhan dari masyarakat Wotay terhadap masyarakat pendatang,
sebaliknya masyarakat setempat justru merangkum para pendatang dalam wilayah adat atau
tradisi yang berlaku di Wotay seperti tercermin dari keberadaan soa/matarumah (mutu).
Sikap penerimaan ini mengindikasikan bahwa solidaritas intra kelompok (in-group
solidarity) yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Wotay bukanlah solidaritas yang
bercorak permusuhan terhadap kelompok luar, sebaliknya itu merupakan solidaritas yang
merangkul dan menerima orang luar. Solidaritas dimaksud telah tercermin dalam moritari
yang tergambar dari sikap dan kepedulian masyarakat sekitar untuk siap-sedia memberikan
pertolongan terhadap saudara-saudara mereka yang membutuhkan bantuan dan dukungan.
Nilai solidaritas tersebut menjadi penanda relasi dengan sesama anggota masyarakat yang
terdiri dari elemen-elemen berbeda, namun berinteraksi secara bersama di dalam lingkungan
Desa Wotay. Situasi ini merupakan faktor penting yang dapat meminimalisir segregasi atau
konflik dalam berbagai aktivitas hidup masyarakat Wotay.
Merujuk pada perspektif Durkheim tentang prinsip totem yang berkaitan dengan
kesadaran kolektif dan pembentukan solidaritas kelompok dikatakan bahwa dalam
masyarakat tradisional, satu kelompok yang memiliki kedudukan istimewa adalah marga.
Anggota-anggota marga terikat oleh hubungan kekerabatan yang khas, yang tidak melulu
terbentuk karena ikatan darah melainkan secara kolektif mereka ditandai dengan nama atau
kata yang sama. Anggota kelompok marga menganggap satu sama lain sebagai bagian dari
keluarga karena mereka memegang tanggung jawab timbal-balik yang identik, yang telah
ditanamkan kepada setiap anggota marga.7
7Durkheim, The Elementary Forms…, 155.
79
Dalam kehidupan adat masyarakat Wotay soa/matarumah (soa/matarumah
Fotayten’na dan soa/matarumah Sereral’na) merupakan kelompok tradisional atau kelompok
adat yang memiliki kedudukan istimewa. Dikatakan istimewa karena kelompok
soa/matarumah memainkan peran besar untuk menghimpun persekutuan dan menjaga
ketertiban hidup masyarakat Wotay. Anggota kelompok ini adalah setiap anggota masyarakat
Wotay yang terikat dalam hubungan kekeluargaan yang sangat khas, bukan karena adanya
ikatan darah atau kesamaan latar kultural, melainkan karena mereka dikenal dengan nama
yang sama yaitu sebagai orang Wotay.
Jika memperhatikan realitas masyarakat Wotay, maka dapat dikatakan bahwa
soa/matarumah di Wotay memiliki totem dalam arti sistem, kepercayaan kelompok, tanda,
arti, representasi, dan penandaan yang melekat pada setiap anggotanya. Dalam konteks
masyarakat Wotay unsur-unsur itu telah tertuang di dalam moritari. Karena moritari
memiliki arti budaya persekutuan hidup yang rukun dalam bingkai kekeluargaan, maka
moritari menjadi totem kelompok yang dipercayai oleh masyarakat Wotay sebagai media
yang ampuh untuk merawat relasi setiap anggota soa/matarumah sekaligus seluruh anggota
masyarakat Wotay. Moritari sebagai budaya masyarakat Wotay sekaligus menjadi
representasi dari orang-orang Wotay, sehingga eksistensi masyarakat Wotay tanpa moritari
adalah penyangkalan terhadap sistem kepercayaan, solidaritas kelompok, dan identitas
dirinya.
Durkheim mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial, masyarakat memberikan
pengaruh moral atas individu. Hal ini karena masyarakat dan individu merupakan dua bagian
yang berbeda. Masyarakat dipandang sebagai yang superior di mana individu
menggantungkan kepercayaannya. Masyarakat dan individu memiliki tujuan yang berbeda-
beda, namun karena masyarakat tidak dapat mencapai tujuannya tanpa kerjasama dari
individu maka masyarakat mengikat individu dengan segala bentuk privasi dan kekangan
80
demi tercapainya kehidupan sosial. Oleh karena itu, individu harus patuh terhadap aturan-
aturan tingkah laku tersebut yang sebenarnya bertentangan dengan keinginan dasariah
individu. Masyarakat menjadi objek rasa hormat individu, sehingga dapat dikatakan bahwa
masyarakat memberikan daya moral atas individu. Daya moral itulah yang akhirnya
membentuk kesadaran kolektif individu.8
Terkait dengan perspektif tersebut, terwujudnya kehidupan sosial masyarakat Wotay
tidak lepas dari tanggung jawab individu untuk turut terlibat di dalamnya. Setiap anggota
masyarakat Wotay memiliki andil dalam aktivitas moritari. Jika individu/anggota masyarakat
lalai untuk memenuhi tanggung jawab mereka dalam aktivitas moritari atau melakukan suatu
tindakan amoral, maka individu tersebut dianggap tidak hidup sesuai moritari sehingga
menimbulkan adanya sanksi sosial terhadap individu tersebut. Sanksi sosial itu dipercayai
oleh masyarakat Wotay baik berupa kegagalan atau kemalangan dalam aktivitas individu
maupun berbagai sanksi adat.
Solidaritas yang tumbuh antar anggota masyarakat Wotay sangat berkaitan dengan
kerja masyarakat setempat. Kenyataan tersebut terlihat dari perjumpaan para leluhur
masyarakat Wotay di sebuah pulau kecil yang terisolir bernama Pulau Nila, yang
menghubungkan mereka untuk saling bekerjasama mempertahankan eksistensi hidup. Hal
serupa juga berlanjut dalam perjumpaan antara masyarakat asli Wotay dengan masyarakat
pendatang di Pulau Seram. Terkait dengan hal ini, menurut Durkheim masyarakat terintegrasi
dalam pembagian kerja yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan solidaritas mereka.
Dikatakan pula bahwa masyarakat yang tradisional/primitif masih menganut solidaritas
organis yang ditandai dengan tingkat homogenitas yang tinggi. Sedangkan masyarakat
modern/maju menganut solidaritas mekanis yang ditandai dengan adanya pembagian kerja.9
8Durkheim, The Elementary Forms…, 328. 9Durkheim, The Division of Labor…, 158-152.
81
Mengacu pada perspektif evolusioner yang dikemukakan oleh Rahardjo,10
dapat dikatakan
bahwa masyarakat Wotay adalah masyarakat desa yang sedang mengalami perkembangan
dari masyarakat tradisional menuju masyarakat postmodern. Hal tersebut disebabkan karena
selain masih memegang teguh nilai-nilai tradisional, masyarakat Wotay masa kini juga telah
tersentuh dengan kemajuan sebagai dampak dari postmodernisasi. Dalam paradigma inilah,
masyarakat Wotay terintegrasi karena adanya kesalingtergantungan di antara unsur-unsur
masyarakat yang berbeda guna mencapai tujuan bersama. Karena itulah, solidaritas yang
terbentuk di antara mereka bukan disebabkan adanya kesamaan antar anggota masyarakat,
melainkan karena tujuan objektif bersama.
Adapun tujuan objektif bersama yang dimaksudkan ialah tercapainya pembangunan
masyarakat Wotay secara menyeluruh. Dikatakan secara menyeluruh karena dampak dari
pembangunan itu sendiri tidak hanya menyentuh kehidupan masyarakat asli Wotay, tetapi
juga warga pendatang yang tinggal di Wotay. Di samping itu, pembangunan dimaksud tidak
hanya berorientasi di bidang sosio-ekonomi, tetapi juga bidang religius masyarakat setempat.
Hal ini disebabkan karena kandungan nilai-nilai moritari sangat berperan besar dalam
memupuk ikatan sosio-religius masyarakat Wotay sebagai masyarakat adat sekaligus jemaat
Kristen.
Solidaritas kelompok yang telah terbina di antara anggota masyarakat Wotay
mendorong mereka untuk saling berinteraksi dan berintegrasi. Meskipun demikian, untuk
mencapai integrasi sosial bukanlah sebuah proses yang mudah. Terdapat tahapan-tahapan
yang harus dilalui oleh individu/kelompok untuk dapat berintegrasi satu dengan lainnya.
Menurut Susanto,11
integrasi sosial dapat melalui empat fase atau tahapan yaitu fase
akomodasi, fase kerjasama (cooperation), fase koordinasi (coordination), dan fase asimilasi.
Susanto menyebutkan bahwa dasar dari proses integrasi itu sendiri adalah konsensus.
10Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 188-189. 11Susanto, Pengantar Sosiologi…, 123-128.
82
Meminjam pandangan Marswadi Rauf,12
konsensus terjadi apabila ada kesepakatan dalam
hubungan antara dua orang/kelompok atau lebih yang ditandai dengan ditemukannya
kemungkinan-kemungkinan di dalam diri semua pihak untuk mengadakan perubahan
terhadap pendapat yang dianutnya dengan bersedia menerima pendapat dari pihak lain.
Adapun konsensus yang dipegang bersama oleh masyarakat Wotay sebagai dasar interaksi
mereka ialah budaya moritari. Hal ini disebakan karena moritari mengandung nilai-nilai yang
sifatnya universal, tidak hanya bermanfaat secara internal meliputi masyarakat asli Wotay,
tetapi juga secara eksternal meliputi masyarakat pendatang.
Fase akomodasi sebagai tahapan awal integrasi oleh Ogburn dan Nimkoff13
diartikan
dengan kerjasama aktual individu atau kelompok terlepas dari perbedaan atau permusuhan.
Sedangkan fase kerjasama (cooperation) diartikan sebagai suatu bentuk proses sosial di mana
dua atau lebih perorangan/kelompok mengadakan kegiatan bersama guna mencapai tujuan
bersama. Dikatakan juga bahwa melalui cara ini masyarakat mikro maupun makro,
masyarakat lokal, nasional, dan internasional dapat mempertahankan eksistensinya dan
sekaligus juga menambah kemajuannya. Mengacu pada perspektif ini, dapat dikatakan bahwa
sebuah kerjasama memerlukan kebersatuan unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Dalam konsep totemik sebagai sistem, kepercayaan kelompok, arti, representasi, dan
penandaan seperti yang dikemukakan oleh Durkheim14
dan yang telah dijelaskan oleh penulis
pada bagian sebelumnya, dapat dikatakan bahwa moritari merupakan ideologi masyarakat
Wotay untuk berinteraksi satu dengan yang lain. Jika diibaratkan sebagai bangsa Indonesia
yang tersusun atas keragaman masyarakatnya, maka pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia mengandung nilai-nilai yang berfungsi bagi integrasi sosial bangsa Indonesia.
Masyarakat Wotay yang dapat diasosiasikan dengan miniatur Indonesia tersebut, juga
12Rauf, Konsensus dan Konflik…, 14.
13Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, A Handbook of Sociology…, 109.
14Durkheim, The Elementary Forms…, 155.
83
memiliki ideologi yang dianut secara bersama-sama oleh masyarakat setempat yaitu moritari.
Di dalam ideologi moritari itu sendiri telah tertuang nilai-nilai penting yang berfungsi bagi
integrasi masyarakat Wotay. Karena kerjasama merupakan aspek penting yang ditekankan
dalam integrasi sosial masyarakat, maka dalam konteks masyarakat Wotay, moritari menjadi
ideologi pemersatu masyarakat setempat yang tersusun atas elemen-elemen berbeda. Moritari
menyatukan setiap komponen masyarakat Wotay dengan berbagai kekuatan yang dimiliki
demi membangun hidup secara bersama-sama. Moritari dapat membebaskan masyarakatnya
dari pola berpikir parsial berdasarkan fanatisme suku, ras, dan ikatan darah.
Kerjasama yang dimaksud dalam konteks hidup masyarakat Wotay telah berlangsung
cukup lama, dimulai dari realitas para leluhur di lakpona hingga terus bertahan
pascaperpindahan ke pemukiman baru. Dalam konteks keberagaman masyarakat Wotay masa
kini, kerjasama itu masih tetap berlangsung namun dengan cara yang lebih modern untuk
tujuan yang lebih luas. Kondisi ini terlihat dari sistem gotong-royong masyarakat Wotay yang
tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, tetapi juga untuk membangun
desa. Mengacu pada pendapat Hendropuspito, dikatakan bahwa dalam fase kerjasama nilai
sosial yang tumbuh karena pertalian darah dapat menumbuhkan rasa persatuan dan
persaudaraan yang makin kuat.15
Dalam konteks masyarakat Wotay, berlangsungnya
kerjasama antar elemen masyarakat yang berbeda itu selalu dilihat dalam nuansa
persaudaraan. Hal ini dikarenakan moritari sebagai ideologi bersama mengandung nilai
solidaritas yang tidak harus tumbuh karena adanya hubungan darah. Sebagai masyarakat yang
ditandai dengan budaya moritari, setiap anggota masyarakat Wotay memandang satu sama
lain sebagai saudara yang saling menolong dalam situasi apapun.
Kerjasama antara masyarakat asli Wotay dengan masyarakat pendatang telah
berlangsung cukup lama hingga menyentuh berbagai eksistensi masyarakat setempat, dan
15Hendropuspito, Sosiologi…, 236.
84
akhirnya menimbulkan situasi di mana individu atau kelompok mengharapkan dan
mempunyai kesediaan untuk bekerjasama. Mengacu pada kebiasaan kerjasama masyarakat
Wotay yang telah cukup lama terbentuk itulah, melahirkan situasi di mana setiap unsur
masyarakat Wotay merasa membutuhkan satu dengan yang lain. Dalam kondisi ini,
masyarakat setempat berada dalam fase koordinasi yakni terjadinya penyatupaduan sasaran-
sasaran dan kegiatan-kegiatan dari bagian atau bidang fungsional dari suatu kelompok. Dapat
dikatakan juga bahwa koordinasi berfungsi untuk mengadakan kesatuan, keterpaduan, serta
keharmonisan di antara pihak-pihak yang saling bekerjasama.
Seperti yang telah dikemukakan, kerjasama yang terbina di antara masyarakat Wotay
telah menyentuh berbagai eksistensi hidup masyarakat setempat, termasuk di bidang
ekonomi. Jika mengacu pada perspektif di atas serta memperhatikan pandangan Durkheim
tentang solidaritas mekanis dalam kaitannya dengan pembagian kerja,16
maka terlihat bahwa
dalam masyarakat yang heterogen solidaritas organis yang timbul karena adanya
kesalingtergantungan menciptakan kesatuan dari keseluruhan bagian-bagian yang berbeda
dan saling berhubungan itu, sehingga masing-masing membantu mencapai tujuan
keseluruhan. Merujuk pada pandangan tersebut, masyarakat Wotay dalam konteks keragaman
penduduk serta keanekaragaman sumber daya yang dimiliki dapat saling bersinergi untuk
mencapai tujuan bersama. Masyarakat asli Wotay dengan sumber daya yang dimiliki sangat
diperlukan oleh masyarakat pendatang untuk menunjang kelangsungan hidupnya.Sebaliknya,
masyarakat pendatang dengan berbagai sumber daya yang dimiliki juga sangat diperlukan
oleh masyarakat Wotay untuk membangun hidup yang lebih layak.
Jika ditelusuri dari segi ekonomi, budaya moritari memiliki nilai ekonomis dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan perekonomian masyarakat Wotay.
Mengacu pada realitas hidup masyarakat Wotay masa kini, maka integrasi sebagai sebuah
16Durkheim, The Division of Labor…, 158-152.
85
proses sosial merujuk pada proses penyatuan karakter serta penyesuaian-penyesuaian
terhadap kebutuhan bersama di tengah masyarakat yang lebih plural termasuk kebutuhan
ekonomi. Dalam pespektif seperti ini, dapat dikatakan bahwa terjadi benturan kebudayaan di
mana dari segi budaya, kerja masyarakat Wotay maupun masyarakat TNS sejak dahulu kala
lebih banyak mengarah pada bidang kelautan sehingga keberadaan komunitas ini di tengah-
tengah masyarakat yang kerjanya lebih berorientasi ke hutan menghendaki mereka untuk
secara cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan lingkungan masyarakat sekitar.
Hal ini membuat masyarakat setempat mengalami perubahan yang sangat berarti. Meskipun
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan wilayah kerja tersebut turut berdampak
pada peningkatan ekonomi masyarakat setempat yang hingga kini semakin baik.
Indikasi dari kesuksesan masyarakat baik masyarakat Wotay maupun masyarakat
TNS pada umumnya dapat ditemukan dalam kemampuan mereka mengelola lahan-lahan
pertanian yang dimiliki sehingga dapat memberikan hasil yang baik bagi peningkatan
ekonomi masyarakat setempat. Dalam kerangka ini, moritari memainkan perannya sebagai
wadah untuk mengakomodir dan mendistribusi berbagai kekuatan sehingga tercipta
keseimbangan antara warga yang berekonomi kuat dan lemah. Melalui moritari kelompok
masyarakat marginal menemukan makna kehadiran orang lain dalam kehidupan mereka.
Sebaliknya, kelompok masyarakat yang berkelebihan juga menemukan makna hidupnya
dalam perjumpaan dengan kelompok masyarakat lain yang kurang beruntung.
Pergaulan yang intensif antara masyarakat asli Wotay dengan warga pendatang yang
berlangsung cukup lama akan menghantarkan masyarakat setempat pada fase akhir dari
proses integrasi sosial yaitu fase asimilasi. Susanto mengartikan tahapan ini sebagai proses di
mana individu atau kelompok yang dahulunya tidak sama menjadi dikenal dalam
pembangunan dan cara berpikir. Dikatakan juga bahwa proses integrasi merupakan proses
dua arah (two-ways process), yang mana dari segi pendatang atau kelompok yang mengalami
86
pengintegrasian terjadi proses belajar yaitu belajar peraturan-peraturan yang formal sekaligus
belajar norma-norma masyarakat yang dimasuki. Sementara itu, dari segi penerima
diperlukan pengakuan bahwa individu atau kelompok pendatang sudah sama dengan dirinya,
sehingga pendatang sudah sama dengan anggota in-group.17
Terkait dengan pandangan ini,
menurut hemat penulis masyarakat asli Wotay sementara berproses untuk menumbuhkan
pengakuan bahwa warga pendatang sudah sama dengan dirinya. Proses pengakuan itu sendiri
sangat berkaitan dengan eksistensi moritari bagi masyarakat pendatang, yang mana hal
tersebut bergantung pada cara masyarakat pendatang belajar dan menghayati moritari, serta
cara dan kemampuan mereka menyesuaikan diri dengan pola hidup moritari masyarakat
Wotay.
Meskipun moritari lahir dari realitas sosio-ekonomi, namun dimensi religius moritari
dapat ditemukan dari adanya sikap tolong-menolong, persekutuan, penghargaan, dan
solidaritas yang mengarah pada segi spiritual masyarakat Wotay. Semenjak masuknya Injil di
wilayah ini, moritari semakin mendapat tempat yang baik dalam realitas keagamaan
masyarakat Wotay. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan nilai-nilai moritari dalam
pergaulan hidup masyarakat Wotay sekaligus merupakan bentuk perwujudan nyata dari nilai-
nilai religius (Injili) masyarakat setempat. Melalui nilai-nilai penting yang terkandung di
dalam moritari inilah, anggota masyarakat Wotay dapat mengembangkan kehidupannya,
sekaligus mengaktualisasikan kepercayaannya kepada Tuhan pencipta langit dan bumi (Upler
Lapna Manyapi).
4.3. Moritari: Tantangan Integrasi Sosial Masyarakat Wotay.
Aktualisasi nilai-nilai moritari memiliki segi-segi tertentu yang dapat dipandang
melestarikan sekaligus melemahkan sistem nilai hidup masyarakat Wotay. Penyebabnya
17Susanto, Pengantar Sosiologi..., 16.
87
karena tidak selalu aktivitas masyarakat yang berdasar atas moritari berjalan sesuai harapan.
Situasi tersebut dipengaruhi oleh kondisi perubahan sosial yang saat ini dialami oleh
masyarakat Wotay. Menurut Roberth H. Lauer,18
perubahan sosial merupakan suatu konsep
inklusif yang menunjuk pada perubahan gejala sosial berbagai tingkat kehidupan manusia
mulai dari individu sampai global. Mengacu pada perspektif ini, perubahan sosial masyarakat
Wotay dapat dipahami sebagai suatu situasi di mana terjadi perbedaan keadaan yang
signifikan pada unsur-unsur dalam masyarakat Wotay sekarang ini dibanding dengan keadaan
sebelumnya.
Jika menelusuri dinamika hidup masyarakat Wotay saat masih berada dalam
komunitas kecil di Pulau Nila dan membandingkannya dengan kondisi masyarakat sekitar di
wilayah pemukiman baru, maka dapat ditemukan adanya perbedaan signifikan pada berbagai
bidang hidup masyarakat Wotay. Mengacu pada perspekif perubahan sosial sebagai sebuah
kemajuan (progress) sekaligus sebuah kemunduran (regress),19
diketahui bahwa sebagai
sebuah kemajuan perubahan sosial masyarakat Wotay yang diimbangi dengan semakin
terbukanya akses informasi dan transportasi menyebabkan adanya perbaikan di berbagai
bidang hidup masyarakat Wotay sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar.20
Sedangkan perubahan sosial sebagai sebuah kemunduran (regress) menyebabkan semakin
melemahnya sistem nilai yang dianut oleh masyarakat Wotay sebagai masyarakat adat.
Kondisi tersebut ditemukan dengan jelas pada berbagai bentuk aktivitas moritari yang
banyak mengalami pergeseran. Salah satu bentuk pergeseran itu ditandai dengan munculnya
segregasi maupun konflik dalam aktivitas moritari yang seharusnya diwarnai dengan nuansa
kekeluargaan dan persekutuan.
18Lauer, Perspektif Tentang Perubahan…, 5.
19Susanto, Pengantar Sosiologi…, 178. 20Lih.hlm 75-77.
88
Berdasarkan hasil penelitian (bab III), diketahui bahwa pola hidup persekutuan,
kekeluargaan, dan gotong-royong yang terkandung dalam moritari semakin ditinggalkan oleh
komunitas masyarakat Wotay masa kini akibat sentuhan modernisasi. Belum lagi berubahnya
lingkungan kerja masyarakat setempat yang sebelumnya berorientasi di bidang kelautan dan
pertanian, kini berubah dengan semakin beragamnya orientasi mata pencaharian penduduk
menyebabkan peningkatan harapan dan tuntutan masyarakat. Akibatnya akar-akar
tradisionalisme yang terkandung di dalam moritari menjadi terancam. Tradisionalisme itu
telah terkontaminasi oleh modernisasi.
Kondisi di atas menempatkan masyarakat Wotay dalam dua pilihan. Di satu sisi
masyarakat Wotay memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan budaya daerahnya
sekaligus mengembangkan kehidupannya. Akan tetapi di sisi yang lain perkembangan
masyarakat akibat modernisasi dapat mendorong ditinggalkannya nilai-nilai lama dalam
budaya lokal yang dipandang sudah ketinggalan zaman. Akibatnya aspek persekutuan,
harmoni sosial, dan integrasi masyarakat yang termanifestasi dalam moritari telah terkikis
dan digantikan oleh nilai-nilai baru yang seringkali mengabaikan harmoni sosial serta
integrasi masyarakat.
Penulis menemukan beberapa faktor penting yang mempengaruhi eksistensi moritari
dalam kehidupan masyarakat Wotay. Masing-masing faktor memiliki segi tertentu yang dapat
dipandang menguatkan atau melemahkan moritari. Faktor-faktor tersebut adalah faktor
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), faktor ekonomi, faktor lingkungan
masyarakat, faktor pemuda, faktor kurangnya sosialisasi, faktor religius, dan faktor perbedaan
sikap.
89
4.3.1. Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Mengacu pada perspektif perubahan sosial seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, sebagai suatu kemajuan perubahan sosial mendorong perkembangan masyarakat
Wotay dalam arti perubahan sosial memberi ruang bagi masyarakat sekitar untuk
meningkatkan pembangunan desa menjadi setara dengan masyarakat pedesaan lainnya yang
telah maju. Perkembangan ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan baru, terbukanya akses
perekonomian dan pemerintahan, serta jalur transportasi pasca pindah ke wilayah pemukiman
baru di Pulau Seram merupakan bentuk-bentuk angin segar perubahan yang saat ini dirasakan
oleh masyarakat Wotay. Mirisnya, perubahan sosial juga sekaligus mendatangkan suatu
kemunduran (regress) karena bersama dengan perubahan yang terjadi mengakibatkan
lunturnya nilai-nilai gotong royong yang terkandung di dalammoritari.
Menurut Susanto21
situasi kemunduran tersebut berkaitan dengan kemajuan dan
perubahan IPTEK (technical change) yang berdampak pada mental manusia berupa
perubahan pendapat/penilaian terhadap suatu bentuk penemuan baru yang dianggap mutlak.
Hal ini menyebabkan kemunduran yang ditandai dengan manusia menemukan sistem nilai
dan filsafat yang baru, serta tidak dapat mengambil sikap atau keputusan terhadap suatu
keadaan baru itu. Susanto juga menambahkan bahwa perubahan sosial masyarakat desa
menyebabkan terganggunya kesatuan antarwarga masyarakat dan dapat mengubah pola
masyarakat itu. Apalagi dengan semakin mudahnya akses masyarakat terhadap teknologi
serta nilai-nilai baru yang diperoleh melalui lembaga-lembaga pendidikan formal maupun
jaringan internet dipandang sebagai suatu hal mutlak dan sesuai dengan perkembangan
zaman. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi moritari, sebab perhatian
masyarakat Wotay yang lebih tertuju pada nilai-nilai baru mengakibatkan melemahnya nilai-
nilai moritari.
21Susanto, Pengantar Sosiologi…, 179.
90
4.3.2.Faktor Ekonomi.
Dalam berbagai bentuk aktivitas moritari selalu ada dukungan dari anggota
masyarakat baik yang bersifat materil maupun non-materil dalam rangka menopang satu
sama lain. Bentuk dukungan tersebut dalam bahasa sekitar dikenal dengan istilah puli atau
tanggungan. Puli juga dapat dipandang sebagai bentuk dukungan ekonomi masyarakat
setempat terhadap anggota masyarakat lainnya. Melalui puli masyarakat Wotay dapat
membantu meringankan kondisi ekonomi sesamanya saat diperhadapkan dengan berbagai
situasi. Meskipun puli tidak hanya dikumpulkan bagi golongan masyarakat yang kurang
mampu, tetapi juga bagi golongan masyarakat yang mampu, namun melaluinya masyarakat
Wotay dapat memaknai keberadaannya untuk sesama. Di samping itu, melalui media tersebut
golongan masyarakat yang kuat dapat menopang sesama mereka yang lemah, sebaliknya
golongan masyarakat yang lemah merasa diberdayakan dengan topangan sesama mereka
yang kuat.
4.3.3. Faktor Lingkungan Masyarakat.
Lingkungan masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat Wotay masa kini yang
telah berbaur dengan warga pendatang. Pengaruh lingkungan masyarakat dapat digolongkan
atas pengaruh eksternal yang berasal dari masyarakat pendatang, dan pengaruh internal yang
berasal dari masyarakat asli Wotay sendiri.
Dari sisi eksternal, keterlibatan masyarakat pendatang dalam aktivitas moritari dapat
memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap eksistensi budaya ini. Secara positif
kehadiran para pendatang dalam aktivitas moritari dilihat sebagai bentuk keikutsertaan
mereka terhadap tradisi masyarakat setempat. Keterlibatan tersebut merupakan bentuk
penghargaan masyarakat pendatang terhadap budaya masyarakat sekitar. Di samping itu,
kehadiran mereka menjadi bukti tidak adanya pembedaan di antara golongan pendatang
91
dengan golongan masyarakat asli Wotay sekalipun keduanya berasal dari latar belakang
historis yang berbeda.
Dari sisi lain, kehadiran para pendatang dalam aktivitas moritari memiliki dampak
negatif karena keterbatasan pengetahuan dan pemaknaan mereka tentang moritari yang
dianggap berbeda dari masyarakat asli. Di samping itu, adanya perbedaan sentimen karena
perbedaan latar belakang kultural dan historis juga menjadi pemicu perbedaan sikap dalam
pelaksanaan moritari.
Secara internal, masyarakat asli Wotay sebagai pemangku moritari memberi pengaruh
yang sangat besar bagi eksistensi budaya ini. Salah satu indikasi melemahnya eksistensi
moritari ditandai dengan makin terkikisnya pemahaman masyarakat Wotay terhadap nilai-
nilai moritari. Salah satu unsur negatif yang seringkali melemahkan moritari yaitu adanya
konsumerisme yang berlebihan dari anggota masyarakat pada saat berlangsungnya aktivitas
moritari, misalnya dalam pesta adat maupun hajatan keluarga. Konsumerisme yang kurang
terkontrol itu bahkan tidak jarang mengurangi partisipasi masyarakat Wotay di bidang lain.
Selain membawa dampak yang dapat melemahkan sistem hidup masyarakat setempat,
sikap penerimaan masyarakat Wotay terhadap golongan pendatang merupakan salah satu segi
yang menguatkan eksistensi moritari. Masyarakat pendatang dianggap sebagai saudara yang
harus dihimpun dalam persekutuan hidup orang basudara masyarakat Wotay. Aktualisasi
dari pemahaman tersebut adalah keikutsertaan masyarakat Wotay dalam menopang hidup
anggota masyarakat pendatang, merangkum masyarakat pendatang dalam soa/matarumah
asli Wotay, serta mengikutsertakan golongan pendatang dalam pembangunan desa dan
berbagai bentuk aktivitas moritari.
92
4.3.4.Faktor Pemuda.
Bertahannya moritari juga ditopang oleh pemahaman generasi muda masyarakat
Wotay. Apalagi generasi muda pada dasarnya merupakan aset berharga bagi pembangunan
masyarakat setempat. Kurangnya pemaknaan generasi muda terhadap moritari menjadi salah
satu penghambat terlaksananya pembangunan masyarakat di berbagai lini. Fenomena tersebut
jelas terlihat dari sikap generasi muda yang hanya mengutamakan hura-hura dalam aktivitas
moritari. Akibatnya generasi muda masyarakat Wotay dinilai kurang produktif dalam
menyikapi berbagai aktivitas yang berdasar atas semangat kekeluargaan dan persaudaraan.
Kondisi ini menyebabkan melemahnya eksistensi moritari.
4.3.5.Faktor Kurangnya Sosialisasi dalam Keluarga.
Pemahaman generasi muda masyarakat Wotay sangat dipengaruhi oleh tingkat
sosialisasi nilai-nilai moritari dari generasi tua kepada generasi muda. Menurut Stephen
K.Sanderson, secara sederhana sosialisasi yaitu proses di mana manusia berusaha menyerap
isi kebudayaan yang berkembang di tempat kelahirannya.22
Dalam konteks moritari sosialisasi budaya dari satu generasi ke generasi yang lain
penting untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lokal. Sementara itu, kebudayaan sendiri
berproses dalam suatu mekanisme dimana budaya diterima dan diteruskan melalui proses
pembelajaran yang disadari maupun yang tidak disadari. Pola perilaku yang mencakup aspek-
aspek biologis, sosial, transendental dan menghasilkan kebudayaan tersebut sebagian besar
diajarkan atau dipelajari baik melalui proses yang disengaja maupun yang tidak disadari.
Sosialisasi moritari dapat berlangsung dalam paradigma ini, dan melaluinya generasi tua
masyarakat Wotay dapat mengajarkan nilai-nilai moritari lewat penuturan dan sikap/teladan
22Stephen K.Sanderson, Makro Sosiologi; Suatu Pendekatan Terhadap Realitas Sosial Edisi Kedua (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2003), 46.
93
hidup. Sebaliknya generasi muda masyarakat Wotay dapat belajar, mengetahui, dan
memaknai nilai-nilai moritari dari generasi tua.
Dalam konteks sosialisasi moritari dewasa ini menunjukan kurangnya pewarisan
nilai-nilai moritari dari generasi tua kepada generasi muda bahkan dalam lingkungan kecil
sekalipun semisal lingkungan keluarga. Padahal, dalam proses sosialisasi agen terpenting
yang berpengaruh bagi pewarisan nilai-nilai budaya adalah orang-orang terdekat yaitu
lingkungan keluarga. Kondisi ini secara perlahan tetapi pasti dapat melemahkan eksistensi
moritari.
4.3.6. Faktor Religius.
Faktor religius merupakan salah satu faktor yang dapat melestarikan serta menguatkan
moritari. Kenyataan ini didukung oleh adanya pemahaman masyarakat Wotay tentang nilai-
nilai kepercayaan kepada Tuhan pencipta alam semesta (Upler’ Lapna Manyapi) yang juga
terkandung dalam moritari. Masyarakat Wotay percaya bahwa melalui moritari, masyarakat
Wotay sebagai masyarakat adat sekaligus Jemaat Kristen telah mengamalkan nilai-nilai Injil.
Meskipun nilai-nilai moritari tidak bertentangan dengan nilai-nilai religius
(Kekristenan), namun ada segi-segi tertentu dalam aktivitas moritari di masa kini yang perlu
dikurangi. Hal ini tampak dari adanya sedikit peringatan yang diberikan oleh gereja untuk
mengurangi konsumsi miras secara berlebih dalam setiap pelaksaan moritari. Di samping
dapat memicu segregasi, mengonsumsi miras secara berlebih dapat mengganggu
ketenteraman hidup bersama, sehingga melemahkan nilai-nilai religius yang terkandung di
dalam moritari.
94
4.3.7. Faktor Perbedaan Sikap Antar Generasi.
Kurangnya pewarisan moritari dari generasi tua kepada generasi muda yang
berdampak pada kurangnya pemaknaan menyebabkan terganggunya aktivitas moritari.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan fakta bahwa terjadinya konflik pada saat
berlangsungnya aktivitas moritari tidak selalu disebabkan adanya pengaruh para pendatang.
Seringkali konflik malah disebabkan oleh kurangnya kontrol masyarakat asli Wotay sendiri
terhadap emosi mereka yang berlebih saat berlangsungnya aktivitas moritari. Kebanyakan
kekacauan terjadi karena adanya perbedaan sikap antara generasi tua dan generasi muda
dalam memandang moritari.23
Keadaaan tersebut dapat mempengaruhi melemahnya nilai-
nilai moritari.
4.5. Kesimpulan
Integrasi sosial masyarakat Wotay yang berlangsung di dalam bingkai moritari
memerlukan adanya penyatuan unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat Wotay. Karena
moritari dalam dirinya mengandung nilai-nilai penting yang bermanfaat bagi interaksi
masyarakat setempat, maka moritari memainkan peran penting dalam proses interaksi antara
masyarakat asli Wotay dan masyarakat pendatang. Di mana melalui interaksi itu, terjadi
proses pembauran antara unsur-unsur masyarakat yang berbeda sehingga menjadi satu
kesatuan sosial yang dikenal sebagai masyarakat Wotay.
Integrasi masyarakat Wotay tidak dapat dipisahkan dari pengaruh perubahan sosial
sebagai sebuah kemajuan sekaligus kemunduran. Karena integrasi sosial masyarakat Wotay
mengharuskan adanya interaksi antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang, maka
dengan adanya perubahan sosial sebagai sebuah kemunduran, proses integrasi itu sendiri
dapat mengalami tantangan. Adapun tantangan integrasi sosial selain dipandang sebagai segi
23Lih.hlm.62.
95
melemahkan moritari, namun bila disikapi secara bijak dapat menjadi segi menguatkan
moritari. Salah satu unsur masyarakat yang sangat mempengaruhi eksistensi moritari secara
internal adalah generasi muda. Namun karena generasi muda Wotay telah tersentuh dengan
nilai-nilai baru yang diperoleh lewat perubahan sosial masyarakat setempat, maka
tradisionalisme yang terkandung dalam moritari mulai terkikis.
Terciptanya integrasi sosial masyarakat Wotay berkaitan dengan adanya kerjasama.
karena itulah, moritari menjadi ideologi yang mendorong terjadinya kerjasama demi tujuan
objektif bersama yaitu pembangunan secara holistik.