bab iv ritual mangejing dan pembentukan integrasi …€¦ · bab iv. ritual mangejing dan...

30
BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA 4.1. Pengantar Dalam bab-bab sebelumnya, terungkap bahwa agama beserta ritualnya dalam suatu masyarakat terutama masyarakat suku, memiliki korelasi yang erat dengan proses terbentuknya integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Demikian pula Agama Marapu melalui ritual mangejing, berperan penting dalam pembentukan integrasi sosial bagi masyarakat Sumba. Berdasarkan data-data lapangan yang ditemukan, ritual mangejing di Kampung Waiwunga, merupakan instrumen pembentuk integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Ritual mangejing telah menjadi suatu kesatuan dan kompleksitas yang menjalin makna maupun simbol dan perilaku dalam pembentukan integrasi sosial. Integrasi sosial yang dimaksud adalah proses penyesuaian di antara sistem-unsur atau komponen yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi, serta sebagai suatu realita terjadinya pembauran menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Bertitik tolak dari pemahaman di atas, uraian dalam bab ini akan memaparkan pemikiran-pemikiran analitis terhadap ritual mangejing yang terdapat dalam masyarakat Kampung Waiwunga. Hal ini dilakukan guna menampilkan dimensi integrasi sosial bermakna logis dan integrasi sosial fungsional kausal yang terbentuk dalam masyarakat tersebut. Demikian juga berbagai potensi perubahan yang ditemukan, mendorong analisa diarahkan pada ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi sebagai akibat dari interaksi dan 74

Upload: others

Post on 08-Nov-2020

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

BAB IV

RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL

MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA

4.1. Pengantar

Dalam bab-bab sebelumnya, terungkap bahwa agama beserta ritualnya

dalam suatu masyarakat terutama masyarakat suku, memiliki korelasi yang erat

dengan proses terbentuknya integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Demikian

pula Agama Marapu melalui ritual mangejing, berperan penting dalam

pembentukan integrasi sosial bagi masyarakat Sumba. Berdasarkan data-data

lapangan yang ditemukan, ritual mangejing di Kampung Waiwunga, merupakan

instrumen pembentuk integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Ritual mangejing

telah menjadi suatu kesatuan dan kompleksitas yang menjalin makna maupun

simbol dan perilaku dalam pembentukan integrasi sosial. Integrasi sosial yang

dimaksud adalah proses penyesuaian di antara sistem-unsur atau komponen yang

saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola

kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi, serta sebagai suatu realita

terjadinya pembauran menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.

Bertitik tolak dari pemahaman di atas, uraian dalam bab ini akan

memaparkan pemikiran-pemikiran analitis terhadap ritual mangejing yang

terdapat dalam masyarakat Kampung Waiwunga. Hal ini dilakukan guna

menampilkan dimensi integrasi sosial bermakna logis dan integrasi sosial

fungsional kausal yang terbentuk dalam masyarakat tersebut. Demikian juga

berbagai potensi perubahan yang ditemukan, mendorong analisa diarahkan pada

ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi sebagai akibat dari interaksi dan

74

Page 2: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

penetrasi sejumlah faktor eksternal, serta keberadaan lembaga-lembaga sosial-

religius baru dalam konteks kehidupan masyarakat Waiwunga.

4.2. Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Bermakna Logis

Berdasarkan skema berpikir Cliford Geertz tentang kebudayaan dan

agama, ritual mangejing merupakan salah satu komponen pembentuk kebudayaan

sekaligus yang berperan dalam pembentukan integrasi sosial bermakna logis bagi

masyarakat kampung Waiwunga.28 Integrasi sosial bermakna logis (logico-

meaningful integration) adalah sesuatu yang khas kebudayaan, merupakan

kesatuan gaya, implikasi logis serta kesatuan makna dan nilai, dan tidak mudah

berubah-ubah. Aspek-aspek fundamental seperti “etos” dan “pandangan hidup”

merupakan dimensi makna yang turut membentuk integrasi sosial bermakna logis.

Etos adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan serta sikap mendasar terhadap

diri sendiri dan dunia diluar dirinya, yang direfleksikan dalam kehidupan nyata.

Sedangkan pandangan hidup (world view) merupakan aspek kognitif dan

eksistensial dari kehidupan atau kebudayaan dan merupakan gambaran tentang

kenyataan apa adanya baik konsep-konsep tentang alam, diri sendiri dan sesama

manusia.29

Berkaitan dengan hal di atas, kosmologi orang Sumba dalam konteks

Agama Marapu, terutama pandangan tentang alam semesta, pandangan tentang

Yang Ilahi, serta pandangan tentang manusia, menjadi titik pijak analitis untuk

menjelaskan lebih jauh tentang dimensi makna sebagai sumber integrasi sosial

bermakna logis.

28 Lihat Skema Berpikir Geertz pada Bab II 29 Geertz, Kebudayaan & Agama, 51.

75

Page 3: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

4.2.1. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Alam

Orang Sumba memahami alam sebagai totalitas yang memiliki kekuatan

gaib, memiliki kehidupan, memiliki kemauan atau kehendak. Konsepsi tentang

alam bagi orang Sumba terdiri dari tiga tingkat atau lapisan yaitu 1).Alam atas

atau langit sebagai tempat bersemayamnya Sang Ilahi yaitu Yang tidak dapat

disebutkan namaNya, Yang menciptakan Manusia, Ibu dan Bapak alam semesta

(Na Ndapa Tiki Tamu - Ndapa Nyura Ngara; Mawullu Tau - Majii Tau; Ina

Pakawurungu - Ama Pakawurungu) serta para leluhur (Marapu). 2).Alam Tengah

atau bumi, merupakan tempat manusia dan makluk-makluk lainnya; 3).Alam

bawah sebagai tempat bagi arwah-arwah atau roh orang mati yang tersesat dan

roh-roh jahat. Dunia ini merupakan tempat pertentangan roh-roh baik dan jahat.

Menjadi jelas bahwa orang Sumba memahami dirinya sebagai bagian

yang utuh dari alam semesta (totalitas kosmis). Dalam prinsip totalitas kosmis,

alam semesta yang diciptakan oleh Yang Ilahi, dilengkapi dengan keteraturan,

keharmonisan, keselarasan yang mana manusia memiliki tanggungjawab dan

kewajiban untuk terus memelihara keharmonisan itu. Keyakinan ini mengarahkan

segala aktivitas sosial-religious orang Sumba dalam berbagai-bagai bidang adat

istiadat (kawin mawin, pertanian, kematian), untuk menjaga keselarasan dan

keharmonisan hubungan dengan Yang Ilahi, alam semesta, dan sesama manusia.30

4.2.2. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Ilahi

Orang Sumba meyakini bahwa keberadaan alam semesta tidak terjadi

dengan sendirinya, namun diciptakan oleh Sang Ilahi yaitu Mawullu-Majii

30 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 38-40, 90-93; Mubyarto, Etos Kerja dan

Kohesi Sosial, 39-41

76

Page 4: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

(Pencipta) atau Ina Pakawurungu-Ama Pakawurungu (Ibu-Bapak semesta).

Setelah menciptakan, Sang Ilahi meninggalkan alam semesta dan bersemayan

ditempat yang jauh dan tak terjangkau oleh manusia yaitu tanah dan batu

keselamatan (Tana Manangu-Watu Manangu). Namun transendensi Ilahi tersebut

tidak menghalanginya untuk menjadi Yang Maha melihat dan Maha Mendengar

(Na ma Bakulu Wua Mata, Ma Mbaralu Kahilu) terhadap segala sesuatu yang

terjadi di dunia dan juga manusia dengan segala perilakunya. Dalam upaya

berhubungan dengan Yang Ilahi, orang Sumba percaya kepada leluhurnya yang

diperilah yaitu Marapu, yang dipandang memiliki kekuatan ilahi sebagai

“perantara” (Lindi Papakalangu, Ketu Papajolangu).31 Latar belakang

pemahaman inilah yang menyebabkan segala permohonan dalam ritual-ritual yang

dilakukan, disampaikan melalui Marapu.

Disamping sebagai perantara, Marapu diyakini pula sebagai pengatur,

pemelihara alam semesta yang mewujudkan kekuatan ilahi dalam bentuk tanda-

tanda alam (kilat, gempa bumi, dan lain-lain), maupun dalam bentuk benda-benda

(gunung, batu, pohon, emas yang dikeramatkan dan sebagainya). Eksistensi

rumah (uma), bukan sebagai tempat tinggal saja, namun melambangkan kesatuan

hidup manusia dengan Marapu yang diperilahnya, sekaligus menjadi pusat

penyelenggaraan penyembahan pada Marapu. Rumah-rumah adat dalam

perkampungan orang Sumba melambangkan hubungan dunia nyata yang tidak

dipisahkan begitu dengan alam baka. Rumah adat merupakan perpaduan mikro-

kosmos dan makro-kosmos.

31 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 87-88.

77

Page 5: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

4.2.3. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Manusia

Manusia merupakan makluk hidup yang juga turut diciptakan oleh Yang

Ilahi. Penciptaan manusia ini dilengkapi dengan hukum dan keteladanan (nuku

hara-hori pangerangu) yang menjadi dasar pokok hukum adat istiadat masyarakat

Sumba dan harus diberlakukan dalam seluruh kehidupan warganya. Dalam cerita

penciptaan manusia, sejarah leluhur orang Sumba hingga berada di Sumba

diungkapkan dalam syair adat (luluku) yang berbunyi: “Malaka-tana bara, hapa

riu-ndua riu, hapa njawa-ndua njawa, ruhuku mbali, ndima, ndima makaharu,

endi ambarai, numba hadamburu, haharu malai-kataka lindi watu”. Syair ini

berarti mengisahkan bahwa para leluhur datang ke Sumba melalui pulau-pulau

Riau, Jawa, Bali, Bima, Makassar, Ende, Manggarai, Ndao, Sabu-Raejua, lalu tiba

di salah satu tanjung yang bernama “tanjung sasar”. Ucapan kataka lindi watu

dimaksudkan bahwa semula antara Pulau Flores dan Sumba terdapat titian batu

yang dijadikan jembatan untuk menyeberang ke Pulau Sumba.32 Nuku hara-huri

pangerangu (hukum adat), merupakan standar normatif nilai-nilai dan tata aturan

yang dipesankan oleh para leluhur yang diperilah (Marapu) serta diwariskan

secara turun temurun dan berperan menata keteraturan serta menjadi pedoman

dalam kehidupan adat istiadat maupun perilaku keseharian bagi masyarakat

Sumba.

Kisah leluhur masyarakat Sumba dikisahkan dalam rumusan adat

“Awangu walu ndani-Tana walu tawa (Langit delapan tingkat dan bumi delapan

lapis), atau dari Bangga Bila-Mau Hanjata, Talora Mbidahu-Mau Mbidahu

32 Oe.H.Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, , 11-20, 26.

78

Page 6: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

(langit ke delapan). Para leluhur turun ke bumi yang bernama Malaka Tana Bara

(Lapis langit ke 9). Dalam kisah masyarakat Sumba bagian Lewa disebut bahwa

telah turun delapan (8) leluhur maramba (raja) dan delapan (8) orang ata

(hambanya) dari langit delapan lapis di Malaka Tana Bara (Lapis ke 9), lalu ke

Jawa, Mbali, Ndima, Humba (Jawa, Bali, Bima, hingga tiba di Sumba). Berikut

adalah gambar delapan lapis langit:

Gambar 13. Sejarah perjalanan leluhur Sumba melalui delapan lapis langit.33

Adapun Awangu Walu Ndani (delapan lapis langit) tersebut adalah:

Langit pertama disebut Hupu Makanjidingu-Hupu Makapatangu (Yang tergelap

dan gulita). Disinilah tempat bersemayam Sang Pencipta Alam Semesta, dan

tempat lahir pihu mini maramaba-walu kawini ratu (tujuh laki-laki raja dan

delapan perempuan ratu). Langit kedua disebut Kabundu Tana Mulungu-Watu

Pahingganggu (timbunan tanah lenyap dan himpunan hutan lama). Langit Ketiga

33 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 211-232

79

Page 7: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

adalah Tana Tanjuruku-Watu Pahingganggu (tanah yang licin dan batuyang

disokong). Langit keempat Lia Kanjidingu-Lia Kapatangu (Liang yang gelap

gulita). Langit kelima adalah Liangu lira-Ngamba watu (liang mengecil atau ciut

dan tebing batu). Langit Keenam adalah Reti Wula- Kudu Mbaya, Reti Ananjara-

Pindu Anatau (Kubur bulan dan batu kuningan, kubur arca kuda dan pintu patung

orang). Ditempat inilah dibuat bulan dan matahari. Langit ketujuh disebut Tana

Mumu-Watu Nggela (Tanah berguncang dan batu bergoyang). Langit kedelapan

adalah Talora Mbidahu-Mau Mundi, Bangga Bila-Mau Jati (Halaman rata dan

balai berkilat, dibawah naung pohon mundi-jeruk besar dan pohon jati). Pada lapis

kedelapan inilah para Marapu belajar segala sesuatu yang sekarang berlaku

dibumi, baik hal membuat rumah dengan segala ritusnya, membuat gong dan

tambur yang menjadi alat bunyi-bunyian. Semua hal ini diwariskan kepada

manusia. 34

4.2.4. Simbol-simbol Marapu

Pandangan dunia orang Sumba sebagaimana dipaparkan di atas,

merupakan sumber pembentuk Integrasi Sosial bermakna logis bagi masyarakat

Sumba, dan khususnya masyarakat Kampung Waiwunga. Ritual mangejing

merupakan panggung pentas tatanan makna, nilai, maupun perilaku dan simbol-

simbol kehidupan sosial-religi yang menjadi sumber pembauran dan penyatuan

masyarakat Kampung Waiwunga sebagai suatu identitas komunal sosial-religius.

Melalui ritual mangejing, dapat ditemukan bahwa tatanan makna

diproyeksikan dalam bentuk dan rumah adat orang Sumba dengan arsitektur dan

34 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 211-232; Wora Hebi, Ringkiknya Sandel

Harumnya Cendana, 25-30.

80

Page 8: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

fungsinya masing-masing yang menggambarkan posisi serta keutuhan hidup

manusia dalam hubungan dengan Yang Ilahi dan makluk ciptaan lainnya.35 Secara

sosial keyakinan akan keutuhan diatas, nampak pula dalam pola kampung

(praingu) sebagai bentuk keterikatan individu, marga, maupun klan (kabihu)

dalam lingkungan yang lebih luas. Konsepsi kampung (praingu) merupakan

gambaran keterikatan bathiniah dan kehidupan nyata bagi masyarakat kampung

Waiwunga baik terhadap tanah yang didiaminya untuk tidak boleh ditinggalkan

sebagai bentuk menjaga dan memelihara pemberian Yang Ilahi, maupun untuk

hidup bersama dan berdampingan satu dengan lain dalam menjalankan kehidupan

dan aktivitas bersama secara kolektif.36 Kuburan yang terletak ditengah kampung

(praingu), serta altar-altar persembahan (katoda) yang terletak ditengah kampung

atau di depan rumah setiap kabihu dan menjadi tempat pelaksanaan ritual

penyembahan kepada Marapu, merupakan pancaran faktualitas makna hubungan

manusia dengan Yang Ilahi. Dalam hal ini masyarakat kampung Waiwunga

berupaya terus berhubungan dengan para leluhur atau yang diperillah sebagai

Marapu melalui keberadaan kuburan, katoda (altar), dan simbol benda-benda suci

(tanggu Marapu).

Disamping simbol rumah, kampung, kuburan, dan katoda (altar

penyembahan), terdapat pula tanggu marapu (benda-benda suci Marapu) yang

disimpan dirumah.37 Benda-benda suci terdiri dari anyaman daun pandan atau

anyaman daun lontar maupun rotan yang dipergunakan untuk menyimpan beras,

nasi dan lauk pauk (mbola), periuk tanah (wurung tana), tempat sirih-pinang

35 Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, 36: Lihat pula Bab III tulisan ini 36 Lihat konsep kampung (praingu) dalam Bab II 37 Lihat Bab III tentang Tanggu Marapu

81

Page 9: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

(tanga wahil). Tanggu marapu ini secara simbolis menunjukkan keberadaan salah

satu marga tertentu dalam kabihu, sekaligus menjadi pengikat setiap anggota

kabihu dan marga tersebut sebagai bagian dari kolektivitas kabihu. Tanggu

marapu telah membentuk ikatan rasa sebagai suatu kesatuan keluarga. Hubungan

kekeluargaan ini bukan lahir hanya karena mereka memiliki hubungan darah yang

jelas dan baku saja, namun karena mereka disatukan secara simbolis melalui

keberadaan benda-benda suci yang diklasifikasi sesuai nama marganya masing-

masing. Secara kolektif mereka telah ditandai dengan simbol-simbol benda suci

sebagai bagian yang utuh dari kolektif. Emile Durkheim mengatakan bahwa

kesatuan dan kepaduan mereka muncul dari nama dan lambang yang sama, dari

kepercayaan akan adanya ikatan bersama dengan kategori-kategori hal-ihwal

tertentu, dan dari ritus-ritus yang juga mereka praktekkan bersama.38

Mengelola alam terutama kegiatan bercocok tanam, adalah ibadah dan

karena itu menjadi kewajiban bagi setiap individu maupun kolektif masyarakat

Kampung Waiwunga untuk melakukannya. Makna mendasar di balik kegiatan

bertani (dan beternak) bukan sebatas untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis,

namun berorientasi religius dan sosial. Orientasi religiusnya adalah menjaga

keseimbangan hubungan dengan alam dan menghasilkan bahan persembahan

kepada Marapu. Sedangkan orientasi sosialnya adalah bahwa apa yang dihasilkan,

akan menjadi bahan-bahan pendukung pelaksanaan adat istiadat dalam keluarga,

kabihu maupun dalam kebersamaan di kampung (praingu). Tuntutan-tuntutan

kerja sawah dan kebun dengan kondisi alam yang kering, memerlukan ketetapan-

38 Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Keagamaan : Sejarah Bentuk-bentuk

Agama Yang Paling Dasar, 252.

82

Page 10: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

ketetapan khusus untuk kerja sama teknis dan memperkuat kebersamaan dan

kohesivitas kelompok. Dalam konteks inilah ritual mangejing telah menjadi

instrument religious, dalam gaya yang sama sebagai pola perayaan bersama, dan

berperan memperkuat kembali rasa kebersamaan. Pelaksanaan ritual mangejing

dengan mengacu pada nilai-nilai, aturan-aturan, mekanisme, dan sejumlah kriteria

pelaksanaannya, merupakan ekspresi pelaksanaan dan penerapan hukum serta

keteladanan (nuku hara-hori pangerangu) yang menjadi dasar pokok hukum adat

istiadat masyarakat Sumba dan harus diberlakukan dalam seluruh kehidupan

warganya.

Penanggalan musim yang menjadi acuan masyarakat Kampung

Waiwunga dalam berinteraksi dan mengelola alam, menggambarkan adanya

kebutuhan yang besar bagi masyarakat Waiwunga untuk mengetahui posisi

mereka secara ruang dan waktu. Mereka membuat garis-garis waktu dalam

ingatan dan ruang kehidupannya, sebagai upaya menempatkan posisi mereka

dalam ruang dan waktu kehidupannya, dan dalam garis-garis waktu itulah mereka

menjalankan kehidupan dalam hubungannya dengan Yang Ilahi, alam, dan sesama

manusia.39 Dalam pandangan Clifford Geertz penanggalan musim adalah sebagai

mesin kultural yang memotong-motong waktu menjadi unit-unit terbatas, bukan

supaya dapat menghitung atau menjumlahkan, melainkan untuk menjelaskan dan

mencirikan, untuk merumuskan makna sosial, intelektual dan religius yang

berbeda dari unit-unit waktu itu.40 Durkheim menyebutkan bahwa kategori waktu

adalah framework abstrak yang tidak hanya berisikan eksistensi individual tapi

39 Lihat Bab III

40 Geertz, Tafsir Kebudayaan, 182.

83

Page 11: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

juga humanitas. Pengorganisasian waktu bersifat kolektif dan karena itu

merupakan ekspresi ritme aktivitas kolektif yang berpatokan pada keteraturan

tersebut.41

Dapat dikatakan bahwa ritual mangejing merupakan panggung pentas

tenunan makna integrasi sosial bermakna logis bagi masyarakat Kampung

Waiwunga. Dengan memahami ritual mangejing, menjadi jelas bahwa integrasi

sosial bermakna logis yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat Waiwunga

adalah perpaduan dan pembauran sejumlah pandangan hidup, etos, nilai dan

norma, sifat, watak, batasan-batasan, benda-benda, peristiwa dalam ruang dan

proses, serta kualitas kehidupan dan sikap mendasar terhadap diri sendiri dan

dunia diluar dirinya, yang diekspresikan dan direfleksikan dalam kehidupan nyata.

Sebagai sesuatu yang khas kebudayaan, integrasi sosial bermakna logis bagi

masyarakat Kampung Waiwunga adalah seperangkat makna yang secara umum

diterima dan dirasakan artinya, dan karenanya dimiliki bersama oleh masyarakat

tersebut. Makna tersebut terekspresikan dalam berbagai bentuk simbol dan sistim

social yang didalamnya berlangsung perilaku sosial, bentuk-bentuk kelompok dan

lapisan masyarakat. Kondisi ini ang pada gilirannya membentuk sistim arti dan

rasa atau menjadi sistim keberartian.42

4.3. Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Fungsional Kausal

Integrasi sosial fungsional-kausal (causal-function integration) adalah

integrasi yang khas bagi sistim sosial, yaitu jenis integrasi yang ditemukan dalam

41 Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Keagamaan : Sejarah Bentuk-bentuk

Agama Yang Paling Dasar, 31 42 Bruce J. Malina, Asal Usul Kekristenan & Antropologi Budaya, (Jakarta:BPK

Gunung Mulia, 2011), 18-19.

84

Page 12: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

suatu organisme, dimana seluruh bagiannya terpadu dalam suatu jaringan kausal.43

Dalam upaya memahami substansi integrasi sosial fungsional kausal dalam

masyarakat Kampung Waiwunga berdasarkan konsep ini, cara pandang terhadap

masyarakat Kampung Waiwunga haruslah dilihat sebagai suatu kesatuan sistim

sosial yang dibentuk oleh struktur sosial yang didalamnya berlangsungnya

interaksi dan pola perilaku sosial-religius. Sejumlah unsur yang menjadi sumber

terbentuknya integrasi sosial fungsional kausal adalah struktur sosial yang di

dalamnya terdapat perilaku sosial-religius sebagai ekspresi konkrit akan tatanan

makna kehidupan mendasar sebagaimana yang sudah dibahas pada bagian

sebelumnya. Demikian pula dalam sistim sosial terdapat kelompok sosial, lapisan

social, maupun institusi sosial.

Perspektif fungsionalisme menekankan bahwa perilaku seseorang dalam

bidang kebudayaan, menampilkan dunia-dalamnya. Kebudayaan terbentuk oleh

perilaku manusia mengekpresikan dirinya dan mencari relasi-relasi tepat terhadap

dunia sekitarnya.44 Pandangan ini dapat menjelaskan bahwa perilaku sosial dan

religius masyarakat Kampung Waiwunga merupakan cerminan dari unsur-unsur

makna yang terdapat dan dianutnya sebagi bagian dari spirit kehidupan suatu

masyarakat religi dan berbudaya. Menjadi jelas bahwa sekalipun terdapat

pembedaan antara integrasi sosial yang bermakna logis dan integrasi sosial

fungsional kausal, namun keduanya tetap saling terikat dan mempengaruhi. Hal

ini nampak dalam sistim sosial-religius masyarakat Kampung Waiwunga yang

merupakan cerminan pandangan hidupnya tentang kesatuan manusia dengan alam

43 Geertz, Tafsir Kebudayaan, 74. 44 C.A.Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 105

85

Page 13: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

dan Yang Ilahi, serta sikap, watak, motivasi, dan penilaiannya terhadap

lingkungan alam dan sosialnya.

4.3.1. Menyikapi Kondisi Alam

Kondisi alam seperti topografi, geografi, serta iklim memiliki peranan

penting dalam proses terbentuk dan berlangsungnya integrasi sosial fungsional

kausal dalam kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga. Alam yang kering dan

curah hujan yang sedikit, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat

Waiwunga. Kondisi alam ini memberikan pilihan sikap dan kesempatan bagi

masyarakat Kampung Waiwunga untuk mengembangkan pola sikap dan

perilakunya terhadap lingkungan alam maupun sosialnya.

Dalam menghadapi dan menyikapi kondisi alam yang demikian,

masyarakat Waiwunga memiliki prinsip bahwa kebersamaan atau kolektivitas

dalam bekerja bercocok tanam dengan mengelola sawah maupun berkebun,

menjadi sebuah keharusan. Kolektivitas menjadi modal sosial yang membentuk

mental dan sistim perilakunya untuk mengatasi segala kesulitan hidup baik yang

dihadapi dalam lingkungan alam maupun sosial. Prinsip yang dianutnya adalah

bahwa dengan bersama-sama sebagai suatu kelompok baik kabihu maupun antar

kabihu, mereka mampu menanggulangi berbagai tantangan alam serta masalah-

masalah kehidupan lainnya. Itulah sebabnya dalam melakukan kegiatan pertanian

atau aktivitas adat istiadat lainnya seperti kematian dan perkawinan, selalu

dilakukan dalam kebersamaan sebagai suatu kolektif. Pola pengambilan

keputusan melalui kesepakatan forum bersama (pahamang), serta kerja gotong

86

Page 14: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

royong untuk saling membantu (pandulang-panjulur), menjadi mekanisme

tersendiri yang mengatur kebersamaan itu dalam tuntutan kolektivitas.45

Prinsip dasar ini telah membentuk kohesi sosial dan solidaritas kelompok

yang kuat bagi masyarakat Kampung Waiwunga dalam memandang dan

berperilaku pada semua aspek kehidupannya. Artinya bahwa kebersamaan atau

prinsip kolektifitas yang diterapkan tidak terbatas dalam hal bekerja di sawah atau

kebun saja, namun juga dalam hal memperlakukan alam secara bertanggungjawab

sebagai bagian daripada usaha menjaga keharmonisan hubungan dengan Yang

Ilahi dan alam semesta, serta dalam hal bersikap terhadap sesama manusia dalam

kehidupan sosial. Pelanggaran yang dilakukan seorang individu seumpama

merusak alam atau berbuat kejahatan menjadi tanggungjawab bersama pula

karena akan berdampak buruk bagi kelompok secara kabihu maupun yang lebih

luas yaitu kampung. Oleh karena itu perilaku individu senantiasa ada dalam

kontrol sosial yang ketat dari kelompok.

Ritual mangejing secara jelas menggambarkan bahwa prinsip-prinsip

kolektivitas, solidaritas kelompok, kohesi sosial, dan kontrol sosial, telah

melembaga dalam kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga. Unsur kolektif itu

nampak dalam pelaksanaan ritual mangejing yang dilakukan dalam kebersamaan

kabihu baik intra-kabihu maupun bersama kabihu-kabihu lain dalam kampung

Waiwunga. Solidaritas kelompok yang dimiliki sangat mempengaruhi kelancaran

pelaksanaan ritual mangejing, karena terdapat peran yang harus dilakukan sesuai

45 Diki Takanjanji (Kabihu Leba Karuku) dan Manggal Malahina (Kabihu Hudu),

Wawancara dalam FGD Waiwunga, 24 September 2016.

87

Page 15: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

dengan pembagian kerja yang telah ada,46 dan membutuhkan keterlibatan nyata

untuk saling melengkapi secara material guna memenuhi berbagai kebutuhan

selama penyelenggaraan ritual.

Dalam prinsip kolektivitas dan solidaritas diatas, ritual mangejing juga

menjadi instrument mekanisme kontrol sosial dengan melakukan koreksi sosial

dalam upaya penyelesaian persoalan-persoalan sosial yang dialami oleh warga

kabihu atau kabihu-kabihu pelaksana ritual. Peran dan fungsi kontrol sosial ini

menjadi daya pengikat dan pembentuk kohesi sosial yang kuat bagi masyarakat

Kampung Waiwunga. Koreksi dan rekonsiliasi yang dilakukan melalui tahapan-

tahapan khusus ritual, semakin memperkokoh dan menegaskan kembali identitas

sosial kabihu maupun keseluruhan kehidupan Kampung Waiwunga. Masyarakat

Waiwunga meyakini bahwa dengan kolektivitas dan solidaritas kelompok yang

selalu terjaga, serta perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap

manusia juga alam semesta, merupakan syarat mutlak dalam menjaga hubungan

yang harmonis dengan Yang Ilahi atau para leluhur. Situasi baik ini pada

gilirannya akan mendatangkan kebaikan dan kecukupan dalam hidup kabihu dan

keseluruhan Kampung Waiwunga.

Berdasarkan hal-hal di atas, menjadi jelas bahwa terdapat dialektika yang

dinamis dan terus menerus antara makna dan simbol di satu sisi, serta sistim sosial

disisi lain. Pandangan tentang Yang Ilahi, alam dan manusia, telah membentuk

konsepsi dan pola berperilaku terhadap alam maupun lingkungan sosial.

46 Pembagian kerja yang dimaksud adalah tugas umum warga kabihu untuk

mempersiapkan tempat penyelenggaraan ritual mangejing baik kesiapan konsumsi maupun

akomodasi bagi semua yang menghadiri, maupun tugas-tugas khusus pelaksana ritual seperti Rato,

Wunang dan Mahamayang. Lebih jelasnya lihat bagian pelaksana ritual mangejing pada Bab III.

88

Page 16: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

Keseluruhan prinsip dan proses tersebut yang secara utuh diyakini dan diterima

bersama dan menjadi rujukan pola beperilaku, telah membentuk konfigurasi

integrasi fungsional kausal bagi masyarakat Kampung Waiwunga.

Namun patut dipahami bahwa uraian dan pandangan ini, tidak berada

dalam perspektif determinasi geografis yang menekankan pengaruh alam sebagai

faktor yang menentukan kebudayaan manusia. Determinasi geografis tidak dapat

dibenarkan secara teoritis maupun historis oleh karena manusia memiliki budi dan

kemauan untuk mengatasi daya-buta alam. Manusia dapat mengubah dan

menguasai, memilih dan menghindari daya-daya alam menurut perencanaannya.47

4.3.2. Dalam Hubungan dengan Struktur Sosial

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sistim makna dan simbol menjadi

bingkai terjadinya interaksi sosial, dan menjadi kerangka kerja kepercayaan-

kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai. Dengan kerangka ini

individu atau masyarakat kolektif mendefinisikan dunia mereka, mengungkapkan

perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian-penilaian mereka. Pada sisi

lain, terdapat proses terus menerus dari tingkah laku interaktif. Bentuk tetap

tingkah laku interaktif ini disebut struktur sosial. Struktur sosial adalah bentuk

yang diambil oleh tindakan itu, jaringan relasi-relasi sosial yang nyata.48 Struktur

sosial merupakan bangunan (jaringan) sosial yang mencakup hubungan sosial

antara individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis

dari suatu sistem sosial. Sebagai suatu bangunan sosial, struktur sosial dibentuk

47 J.W.M. Bakker.S.J, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Yogyakarta:Kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 65.

48 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), 74

89

Page 17: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

oleh sejumlah unsur yaitu kelompok-kelompok sosial, lapisan-lapisan sosial atau

stratifikasi sosial, dengan mengacu pada kaidah-kaidah atau norma-norma sosial.

Ritual mangejing yang dilaksanakan masyarakat Kampung Waiwunga,

adalah ekspresi tindakan sosial religius masyarakat kampung Waiwunga sebagai

komunitas masyarakat yang dibentuk oleh keberadaan klan-klan (kabihu-kabihu).

Hal ini memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok kekerabatan sosial yang ada

yaitu klan, menjadi basis pelaksanaan kegiatan sosial religius seperti adat istiadat

kematian, kawin mawin, maupun pertanian. Kabihu-kabihu memainkan peranan

penting sebagai pelaksana sekaligus penopang segala aspek bagi terselenggaranya

kegiatan-kegiatan social-religius. Dengan kata lain bahwa berbagai ritual dan

aktivitas sosial-religi yang dilaksanakan menjadi tanggungjawab kabihu.

Kolektivitas kabihu sangat menentukan kontinuitas kehidupan sosial dan religius

bersama masyarakat tersebut.

Peran serta keterlibatan kabihu-kabihu sebagai suatu kolektivitas,

ditentukan pula oleh peran dan tindakan para tokoh masyarakat atau pimpinan

adat yang terdapat dalam kabihu-kabihu tersebut. Dalam kabihu terdapat

stratifikasi sosial dalam bentuk kepemimpinan kabihu yaitu seorang yang

dipercayakan menjadi pimpinan atau tokoh kabihu dan menjadi figur sentral

dalam keseluruhan kehidupan anggota kabihu. Legitimisasi kepemimpinan kabihu

diberikan dengan sejumlah syarat kualifikasi hidup terutama integritas dan

pemahaman sosial-religiusnya. Melalui ritual mangejing, nampak bahwa seorang

pemimpin dalam kabihu harus memainkan peran kepemimpinan dengan

pengetahuan dan pemahamannya untuk menyampaikan waktu yang tepat guna

90

Page 18: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

melaksanakan ritual mangejing, memimpin pertemuan bersama untuk persiapan

pelaksanaan ritual, melakukan koordinasi dalam rangka penyampaian rencana dan

kebutuhan-kebutuhan mendasar pelaksanaan ritual mangejing kepada setiap

anggota kabihu, mengkoordinir pelaksanaan ritual-ritual awal, serta mampu

menyelesaikan masalah-masalah teknis dalam persiapan dan pelaksanaan ritual

tersebut. Fungsi kepemimpinan ini sangat mempengaruhi keterlibatan dan

kebersamaan anggota kabihu serta kelancaran pelaksanaan ritual.

Mendukung aspek kepemimpinan kabihu diatas, terdapat pula pembagian

kerja yang jelas dalam pelaksanaan ritual mangejing yang juga menjadi elemen

penting dalam pelaksanaan ritual mangejing. Seorang Rato (imam) merupakan

pengendali dan perumus pokok-pokok doa dalam ritual serta membaca tanda-

tanda khusus kejadian hidup dan kehendak Marapu melalui organ-organ dalam

hewan persembahan seperti ayam dan babi (hati dan empedal). Seorang Wunang

(jubir), disamping mendampingi Rato, memiliki tugas menyampaikan rumusan

pokok-pokok doa tersebut dalam bentuk kalimat-kalimat syair. Sedangkan

seorang MaHamayang (pendoa), menjadi pelaksana khusus yang melantunkan

pokok-pokok doa tersebut dalam prosesi sembahyang. Pembagian kerja seperti ini

merupakan sesuatu yang telah melembaga dan bersifat tetap dalam ritme

pelaksanaan ritual mangejing.

Menjadi jelas bahwa dalam perspektif struktur sosial, ritual mangejing

merupakan gabungan unsur dan peran kabihu, kepemimpinan, dan pembagian

kerja yang pelaksanaannya terjadi dalam bingkai kolektivitas dengan sejumlah

tata aturan berdasarkan nilai dan norma yang dianut masyarakat Waiwunga. Tata

91

Page 19: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

aturan yang ada merupakan hukum adat yang relatif stabil dan tetap sebagai

pedoman pelaksanaan ritual seperti ketepatan waktu, tahap-tahap pelaksanaan,

pola proses ritual, pokok-pokok utama dalam pelaksanaan ritual, tempat

pelaksanaan, hingga bahan-bahan penyembahan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistim sosial yang terdapat

dalam ritual mangejing, merupakan perpaduan sejumlah unsur perilaku soSial,

eksistensi kelompok dan lembaga sosial, susunan lapisan-lapisan sosial yang

saling berinteraksi, yang terjadi dalam ritme waktu serta tradisi yang stabil dan

tetap, dalam hal mana semua bagian terpadu di dalam satu jaringan kausal. Inilah

substansi integrasi sosial fungsional kausal oleh karena masing-masing bagian

merupakan sebuah uur di dalam lingkaran sebab akibat yang berulang dan

menjaga kelangsungan sistem.

Skema 4: Ritual Mangejing dan Pembentukan Integrasi Sosial di Waiwunga

4.4. Mengintip Perubahan Perilaku

Transfigurasi hubungan antara makna dan simbol pada satu sisi, dan

perilaku masyarakat dengan individu anggota masyarakat pada sisi lain

sebagaimana yang digambarkan di atas, menggambarkan terjadinya arus

92

Page 20: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

pengaruh dan efek terus menerus yang lewat dari dan diantara ketiganya di dalam

sistem budaya agama.49 Victor Turner menyebutnya sebagai proses yaitu bahwa

ritus ataupun integrasi sosial mengiringi setiap perubahan yang terjadi dalam

masyarakat baik secara sosial yang nampak, maupun aspek moral dan

bathiniahnya. Disamping mengukuhkan dan menegaskan identitas suatu

masyarakat, integrasi sosial juga menjadi modal bagi proses perubahan suatu

masyarakat yang terus berproses.50 Hal ini berarti bahwa kebudayaan suatu

masyarakat dan bahkan masyarakat itu sendiri akan mengalami perubahan.

Kebudayaan pasti berubah dengan atau tanpa penetrasi unsur budaya asing

sekalipun, karena dalam setiap kebudayaan terdapat kebebasan tertentu dalam

menyerap dan memperkenalkan variasi-variasi baru.51 Perubahan berasal dari

pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru, dan akibatnya dalam

penyesuaian cara hidup dan kebiasaan kepada situasi baru. Sikap mental dan nilai

budaya turut dikembangkan guna keseimbangan dan integrasi yang baru.52

Prinsip di atas menghantar pada pemahaman bahwa ritual mangejing

dalam masyarakat Waiwunga merupakan ritual yang mengiringi setiap perubahan

yang terjadi dalam masyarakat tersebut baik secara sosial yang nampak maupun

secara bathiniah dan moralnya. Integrasi sosial yang terdapat dalam masyarakat

Waiwunga adalah modal sosial bagi proses perubahan masyarakat tersebut dalam

berproses. Sebagai masyarakat yang hidup dalam heterogenitas negara bangsa

49 Geertz, Religion as a Cultural Sistem, 114-117. 50 Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor

Turner, 68. 51 T.O.Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2016), 41 52 J.W.M. Bakker.S.J, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Yogyakarta:Kanisius;

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 113

93

Page 21: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

Indonesia, serta berada dalam jaman keterbukaan informasi dan komunikasi,

masyarakat Kampung Waiwunga juga mengalami kompleksitas dinamika

kehidupan yang mau atau tidak menuntunnya dalam perubahan pula. Perubahan

seperti apa yang sedang terjadi? Apakah penyebab itu berasal dari luar atau dalam

masyarakat itu sendiri? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya

perubahan? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang membutuhkan jawaban.

4.4.1. Indikator-indikator Perubahan Perilaku

Beberapa indikator perubahan yang disampaikan berikut ini tidak dapat

dikatakan sebagai representasi semua kondisi perubahan yang terjadi. Indikator-

indikator ini lebih bersifat empirik sesuai pengamatan terhadap fenomena yang

ditemukan dan analisa terhadap fenomena serta interaksi yang terjadi dalam

proses pengumpulan data.

4.4.1.1. Perubahan Musim Mempengaruhi Perilaku Perilaku

Menegaskan kembali bahwa kondisi alam yang kering dan curah hujan

yang sedikit, semakin diperparah oleh ketidakpastian musim penghujan dan

kemarau yang terjadi. Kondisi ini mempengaruhi pola sikap dan tindakan

masyarakat Kampung Waiwunga terutama dalam hal mengelola alam khususnya

kegiatan pertanian. Seringkali mereka terjebak dalam tindakan spekulatif untuk

memulai kegiatan menanam tanpa berpatokan pada kalender musim. Hal ini

dilakukan untuk memanfaatkan curah hujan yang sedikit dengan harapan

mendapatkan hasil yang memadai bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Kondisi

ini dapat dipahami karena kalender musim yang menjadi acuan selama ini, sangat

tergantung pada ketepatan siklus musim yang dialami. Kenyataannya adalah

94

Page 22: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

bahwa kondisi musim yang demikian telah mengakibatkan sejumlah perubahan

dan memberi dampak bagi masyarakat Kampung Waiwunga, baik secara

ekonomi, sosial, maupun kehidupan religiusnya. Kegagalan panen sebagai akibat

kondisi ini, mengakibatkan banyak generasi muda yang beralih pola mencari

nafkahnya yang semula sebagai petani, kepada sektor jasa dengan bekerja di

proyek-proyek pembangunan fisik di luar kampung atau sebagai tenaga kerja di

sejumlah pertokoan lokal.

4.4.1.2. Berkurangnya Intensitas Pelaksanaan Ritual

Dampak langsung dari kondisi diatas juga terlihat pada intensitas

pelaksanaan ritual-ritual pertanian. Ritual mangejing terakhir dilaksanakan pada

tahun 2014.53 Sedangkan pada tahun 2016 masyarakat Waiwunga hanya

melaksanakan ritual meminta air hujan (Hamayang Karai Wai Urang) sebagai

respon terhadap kekeringan akibat tidak adanya curah hujan yang berpotensi pada

kekeringan dan dagal panen. Dibalik kegagalan pelaksanan ritual mangejing,

tercatat sejumlah hal sebagai hambatannya yaitu: kekurangan bahan-bahan

material konsumsi serta bahan persembahan dalam ritual, kesiapan rumah adat

tempat penyelenggaraan sebagai tempat berkumpul bersama yang belum selesai

dikerjakan, serta kesulitan koordinasi kepada banyak anggota kabihu yang berada

di luar kampung dalam rangkah mencari penghasilan ekonomi.

4.4.1.3. Perubahan Fisik

Berbagai keterbatasan sumber daya alam, berdampak pada perubahan

penggunaan bahan-bahan dasar rumah-rumah adat dan kuburan. Kebanyakan

53 Catatan akhir Bab III memberitahukan bahwa masyarakat Kampung Waiwunga

melaksanakan ritual mangejing terakhir pada tahun 2014.

95

Page 23: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

rumah adat telah menggunakan seng karena kekurangan ilalang. Demikian juga

kuburan, banyak menggunakan bahan semen dan beton sebagai pengganti

lempengan batu asli. Hal ini dilkukan karena selain tidak mudah mendapatkannya

ditempat terdekat, juga memiliki biaya sosial dan finansial yang besar.

4.4.2. Faktor-faktor penyebab perubahan

Faktor-faktor penyebab perubahan yang dialami masyarakat Waiwunga,

dapat bersumber dari internal masyarakat tersebut atau yang datang dari luar

sebagai faktor eksternal. Beberapa perubahan berkesan sumbernya adalah internal

masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh sedikitnya anggota kabihu yang memiliki

kemampuan memahami konsepsi ritual mangejing maupun ritual-ritual lain,

mengakibatkan terjadi keterbatasan anggota kabihu yang berperan sebagai Rato

atau Wunang dan memimpin pelaksanaan ritual-ritual.54 Namun jikalau dicermati

lebih dalam, kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor eksternal yang

dihadapi masyarakat Waiwunga ditengah perubahan global, dan faktor eksternal

tersebut justru lebih dominan mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat.

4.4.2.1. Kekristenan Sebagai Nilai Eksternal

Kekristenan sebagai kelompok sosial keagamaan terbesar di Pulau

Sumba, memiliki peran terhadap perubahan yang dialami orang Sumba penganut

Marapu. Perjumpaan Kekristenan dengan Marapu (Kebudayaan Sumba) yang

dimulai pada penghujung abad ke 19 atau awal abad ke 20, ditandai oleh

kolaborasi kekuatan politik militer pemerintah Hindia Belanda dengan program

54 Kondisi ini terjadi pada empat kabihu dalam masyarakat Waiwunga yaitu hanya

memiliki seorang Rato (Imam) yaitu Bapak Pura Tanya dari kabihu Katina. Manakala kabihu lain

melaksanakan ritual, maka Bapak Pura Tanya menjadi satu-satunya pilihan untuk berperan sebagai

Rato (Imam)

96

Page 24: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

pacifikasinya (1906-1912). Penaklukan kekuasaan politik raja-raja lokal diikuti

pelaksanaan Pekabaran Injil Gereja oleh Gereja dengan dukungan pelayanan

pendidikan serta pelayanan kesehatan, menjadi titik baru peradaban Sumba yang

lebih terbuka. Gereja secara tegas melakukan penolakan praktek-praktek adat-

budaya Sumba terutama yang berkenaan dengan ritual atau yang dianggap

merugikan dan tidak sesuai dengan Firman Allah dan Pengakuan Gereja Kristen

Sumba. Sekalipun sikap ini tidak serta merta menjadi sikap “anti budaya”.55

Namun berbagai doktrin serta peraturan gerejawi yang diterapkan, telah

menciptakan ketegangan-ketegangan sosial-religius dengan tatanan nilai dan

keyakinan Agama Marapu. Dalam batas tertentu sikap penolakan tersebut masih

mewarnai sikap gereja terhadap budaya maupun religiusitas masyarakat Sumba.

Hal ini dapat dipahami karena teologi awal yang dianut dalam masa-masa awal

Pekabaran Injil yang cenderung mereduksi segala keberadaan kelompok dan

ajaran lain di luar gereja, masih cukup mempengaruhi paradigma bergereja dan

bertelogi masa kekinian. Salah seorang Zending di Pulau Sumba, H. Dijkstra

(1902) dalam suratnya yang berjudul Den Duivelen Offeren atau

mempersembahkan kurban pada setan, menulis:

Sungguh tidak perlu disangsikan bahwa penyembahan berhala oleh kaum

kafir sungguh beraneka ragam. Bila anda datang ke Pulau Sumba, misalnya,

Anda akan menemukan penyembahan berhala yang langsung ditujukan

kepada roh-roh jahat. Orang Sumba sesungguhnya mengetahui Allah Yang

Esa, Yang Agung dan Baik, Yang tak berkarya, dan karena itu tidak

disembahnya; dan dia tahu pula tentang arwah dari almarhum leluhurnya,

yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Arwah itu

dibedakan ke dalam dua golongan yaitu yang baik dan yang jahat; yang baik

55 Sesungguhnya GKS cukup memberi perhatian pada kebudayaan Sumba. Kehadiran

Prof.Dr. L.Onvlee yang berupaya menyelidiki bahasa Sumba dan dipakai sebagai wahana PI,

merupakan hal yang tidak ternilai harganya; A.A.Yewangoe, Injil dan Kebudayaan: Skema

Niebuhr dalam Perspektif Orang Sumba (Jakarta: Persetia, 1995), 206

97

Page 25: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

menghendaki kesejahteraan turunan mereka dan hanya berbuat kebajikan

bagi turunannya, sedangkan yang jahat menghendaki kehancuran bagi kaum

manusia. Arwah jahat itu membalas dendam atas nasib buruk yang

dialaminya sewaktu hidup di dunia, serta atas kealpaan dalam

mengenangkan arwahnya. Lalu arwah yang jahat itu hendak dipuaskan

hatinya oleh orang Sumba dengan mempersembahkan kurban. Maka

penyembahan berhalanya itu langsung merupakan pemujaan setan-setan56.

Interaksi keKristenan dan kebudayaan Sumba dalam perjalanan waktu

yang panjang telah menciptakan ketegangan-ketegangan bahkan konflik tertentu

yang mereduksi banyak hal dalam aspek kebuayaan Sumba. Agama Marapu

diposisikan sebagai budaya “kafir” yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran

agama Kristen. Konsekuensinya adalah bahwa sistem nilai religi dan budaya

masyarakat Sumba tergeser dan terancam punah dari konteks Sumba. Pada saat

yang sama gereja sendiri telah menjadi unsur kebudayaan yang diterima begitu

saja, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kebudayaan.57

Perubahan ini pula yang sedang terjadi dalam konteks kehidupan

masyarakat Waiwunga dalam hubungannya dengan kekristenan. Masyarakat

Waiwunga sedang berada dalam tahapan reinterpretasi dan penyelarasan unsur-

unsur konseptual kebudayaannya dalam hubungan dengan kekristenan.

Penerimaan mereka terhadap kekristenan nampak dengan memberikan ijin kepada

anak-anaknya untuk mengikuti sekolah minggu atau kebaktian di Gereja.

Demikian juga sejumlah orang dewasa yang telah masuk gereja, selalu memberi

persembahan hasil buminya pada Gereja dari hasil panen pertama yang

didapatnya. Sikap ini merupakan bentuk penyelarasan konsep uhu kawungang

56 Th. Van den End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Kristen Sumba,

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 165-166. 57 A.A.Yewangoe, Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr dalam Perspektif Orang Sumba

(Jakarta: Persetia, 1995), 207.

98

Page 26: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

(padi awal)58 dengan konsep Gereja tentang hulu hasil. Polarisasi kelompok

sosial juga bertambah. Semula terdiri dari kabihu-kabihu, kini terbentuk pula

kelompok sosial baru berdasarkan keanggotaannya dalam Gereja.

4.4.2.2. Kebijakan Politik Ekonomi dan Pembangunan

Kehadiran pembangunan dan industrialisasi bukan sekedar kehadiran

barang, jasa, teknologi, dan informasi, namun juga disertai dengan kehadiran

nilai-nilai dan budaya baru. Paradigma pembangunan positivistik rasional yang

dikembangkan di kebanyakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia,

menempatkan negara sebagai lembaga yang mendominasi segala konsepsi

pengetahuan dan pembangunan. Pada kondisi ini, tidak terdapat ruang bagi

terjadinya relasi-relasi sosial dan kemajemukan. Dampaknya adalah kebudayaan

lokal dinegasikan, masyarakat adat dipinggirkan, dan demi stabilitas serta

pencapaian kesejahteraan ekonomi, negara memiliki legalitas memformat segala

kebijakan makro maupun mikro dalam menjalankan pembangunan.59 Penerapan

Undang undang Desa pada tahun 1979 yang menggantikan tradisi musyawarah

desa dan menggantikan dengan lembaga desa yang dikontrol oleh pemerintah

merupakan bentuk dominasi negara dan penerapan ideologi pembangunan dengan

mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang ketat.60 Perubahan format

politik di Indonesia pasca reformasi yang menerapkan sistim multi partai dengan

prinsip demokrasi satu orang satu suara (one man, one vote), juga berdampak

58 Lihat penjelasan tentag ritual mangejing dalam Bab III tentang uhu kawungang. 59 Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 137-146 60 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001), 204-208

99

Page 27: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

langsung pada pola-pola demokrasi lokal yang dianut masyarakat komunal

dengan prinsip satu komunitas, satu suara (one community, one vote).

Berbagai problematik di atas adalah konteks kehidupan pembangunan

sosial, politik dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat Kampung

Waiwunga sebagai bagian yang integral dari kehidupan berbangsa dan bernegara

di Indonesia. Konteks ini merupakan penetrasi eksternal yang tidak dapat

dihindari dan menuntun mereka pada sebuah perubahan. Otoritas pemimpin

kabihu, berhadapan dengan legalitas kepemimpinan desa dan dusun sebagai hasil

demokrasi politik formal. Kelompok sosial kabihu-kabihu yang telah terbagi

dalam komunitas keagamaan lain seperti kekristenan, juga harus rela melebur dan

terbagi lagi dalam kelompok-kelompok tani serta usaha ekonomi bentukan

pemerintah desa. Sistim politik multi partai dan pemilihan langsung, berdampak

pada terbentuknya friksi politik dalam komunitas masyarakat karena perbedaan

afiliasi politik. Demikian pula orientasi pembangunan pada pertumbuhan

ekonomi, merubah orientasi aktivitas bercocok tanam sebagai “ibadah” menjadi

aktivitas yang berorientasi keuntungan ekonomis.

4.4.2.3. Persebaran Uang : Pasar

Mekanisme pasar yang ditandai dengan persebaran mata uang sebagai

alat transaksi, dan ukuran kesejahteraan ekonomi serta menentukan status sosial,

berperan besar bagi terjadinya perubahan pemahaman dan berpikir masyarakat

Kampung Waiwunga. Secara perlahan uang menjadi orientasi untuk memenuhi

berbagai kebutuhan hidup mendasar. Kegagalan panen dalam kegiatan bercocok

tanam akibat ketidakjelasan dan ketidaktepatan iklim, mendorong banyak warga

100

Page 28: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

masyarakat Waiwunga untuk beralih pola mencari nafkah ke sektor jasa dan

mendapatkan uang guna dalam memenuhi kebutuhan dasar sandang dan

pangannya. Hasil pertanian maupun peternakan yang semula berorientasi

“penyembahan kepada Marapu”, perlahan mengalami pergeseran orientasi

menjadi komoditas ekonomi yang menentukan untung atau ruginya suatu

aktivitas. Demikian pula banyak sedikitnya pengeluaran material dalam

pelaksanaan ritual, akan diukur pula secara keuntungan dan kerugian material

ekonomis, dan bukan lagi untuk kemanfaatannya bagi solidaritas dan kohesivitas

kelompok (kabihu). Kehadiran fisik dalam ritual sebagai bentuk kebersamaan dan

solidaritas kolektif, dapat digantikan dengan keterwakilan “uang” yang diberikan

sebagai sumbangan untuk kebutuhan pelaksanaan ritual. Perubahan pola pikir dan

tindak seperti ini sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat Kampung

Waiwunga sebagai suatu komunitas sosial-religius.61

4.5. Perubahan Perilaku dan Bukan Makna

Masyarakat Kampung Waiwunga sebagai bagian dari peradaban dan

keberagaman, berada dalam konteks perubahan yang sedang dan terus terjadi

dalam interaksinya dengan lingkungan hidup dan alam disekitarnya. Integrasi

sosial yang menjadi inti pembahasan dan kajian dalam karya ini, menjadi

perspektif telaah terhadap keberadaan masyarakat Kampung Waiwunga sebagai

suatu realitas sosial dan religius. Integrasi sosial bermakna logis maupun integrasi

sosial fungsional kausal merupakan transfigurasi hubungan antara makna dan

simbol pada satu sisi, dan perilaku masyarakat dengan individu anggota

61 Lihat Alasan-alasan kegagalan pelaksanaan ritual mangejing tahun 2016 pada bagian

akhir Bab III

101

Page 29: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

masyarakat pada sisi lain dalam lingkungan alam serta sosialnya, dan secara

dialektis-dinamis telah jalin menjalin membentuk identitas sosial-religius bagi

masyarakat Kampung Waiwunga. Integrasi sosial tersebut terbentuk dalam proses,

dan melalui konsensus masyarakat Waiwunga, baik karena homogenitas pikiran,

perasaan, dan tanggungjawab kolektifnya, maupun juga karena sejumlah

ketegangan dan konflik nilai-norma, dalam interaksi dengan berbagai unsur

eksternal sebagaimana telah disebutkan diatas.

Ritual mangejing menjadi wujud pancaran faktualitas tranfigurasi unsur-

unsur integrasi sosial masyarakat Kampung Waiwunga. Berdasarkan prinsip ini

pula, ketika masyarakat Waiwunga sedang berada dalam tantangan perubahan

yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan sosial religiusnya, Ritual

mangejing memiliki peran integratif dan menjadi bagian dari mekanisme sosial

yang dapat memulihkan keseimbangan serta solidaritas kelompok.

Dalam keberartian ritual mangejing tersebut, dapat disimpulkan bahwa

perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga,

terutama terjadi dimensi perilaku sebagai salah satu unsur pembentuk inetegrasi

sosial fungsional kausal. Sedangkan integrasi sosial bermakna logis masih

menjadi kekuatan perekat masyarakat Waiwunga pada masa kini sebagai suatu

komunitas masyarakat Sumba yang masih mempertahankan tradisi-tradisi

kebudayaannya. Sebagai satu komunitas religius-soaial, sikap keterbukaan

masyarakat Waiwunga untuk menerima dan berinteraksi dengan banyak pengaruh

eksternal, tidak membuatnya melebur dalam gejala perubahan menyeluruh yang

sedang terjadi pada kebanyakan komunitas-komunitas lokal di Sumba. Dimensi

102

Page 30: BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA. 4.1. Pengantar. Dalam bab-bab

makna merupakan modal sosialnya dalam beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Ketegangan-ketegangan atau konflik yang dialaminya dalam lingkungan hidup

yang kompleks, dapat menjadi peluang bagi masyarakat Kampung Waiwunga

menguatkan dan menegaskan identitasnya. Belajar dari pengalaman masyarakat

Ndembu dalam penelitian Turner, ritual mangejing dapat menjadi mekanisme

penyelesaian konflik, sekaligus menguatkan identitas masyarakat Waiwunga

sebagai sebuah integrasi. Sekalipun banyak perselisihan atau konflik, namun

struktur sosial masyarakat Ndembu tetap utuh. Keutuhan ini terjadi oleh karena

ritual-ritual yang dilaksanakan masyarakat Ndembu telah berperan

mengintegrasikan masyarakat tersebut.62

62 Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer

(Jogyakarta: AK Group, 2003), 295

103