bab iv hasil penelitian dan pembahasan 4.1 hasil...

40
40 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Gorontalo lahir pada hari Kamis, 18 Maret 1728 M atau bertepatan dengan Kamis, 06 Syakban 1140 Hijriah. Tepat tanggal 16 Februari 2001 Kota Gorontalo secara resmi ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Gorontalo (UU Nomor 38 Tahun 2000 Pasal 7). Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol ToliToli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.

Upload: nguyendung

Post on 14-Jul-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

40

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Gorontalo lahir pada hari Kamis, 18 Maret 1728 M atau bertepatan

dengan Kamis, 06 Syakban 1140 Hijriah. Tepat tanggal 16 Februari 2001 Kota

Gorontalo secara resmi ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Gorontalo (UU

Nomor 38 Tahun 2000 Pasal 7).

Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan

Hulawa Kecamatan Telaga tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Pada tahun

1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi

Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang.

Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini

dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang

terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.

Letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta

penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah

sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah

Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah

sekitarnya seperti Buol ToliToli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.

41

Gorontalo dikenal sebagai salah kota perdagangan, pendidikan, dan pusat

pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia Timur. Sejak dulu Gorontalo

dikenal sebagai Kota Serambi Madinah. Hal itu disebabkan pada waktu dahulu

Pemerintahan Kerajaan Gorontalo telah menerapkan syariat Islam sebagai dasar

pelaksanaan hukum, baik dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan, maupun

pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari filosofi budaya Gorontalo yang Islami

berbunyi, "Adat bersendikan syarak; dan syarak bersendikan Kitabullah (Al-

Quran)." Syarak adalah hukum yang berdasarkan syariat Islam. Karena itu,

Gorontalo ditetapkan sebagai salah satu dari 19 daerah hukum adat di Indonesia.

Raja pertama di Kerajaan Gorontalo yang memeluk agama Islam adalah Sultan

Amai, yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi Islam

di Provinsi Gorontalo, (STAIN Sultan Amai).

Gorontalo juga dikenal sebuah salah satu dari empat kota utama di

Sulawesi, yaitu (1) Makassar, (2) Manado, (3) Gorontalo, dan (4) Parepare. Dalam

catatan sejarah HULONTALO sebagai singkatan dari HULONTALANGI yang

selanjutnya disebut GORONTALO. Pendiri Kota Gorontalo adalah Sultan

Botutihe yang telah berhasil melaksanakan tugas-tugas pemerintahan atas dasar

Ketuhanan dan prinsip-prinsip masyarakat. Walaupun Gorontalo telah ada dan

terbentuk sejak tahun 1728 (sekitar 3 abad yang lalu), namun sebagai daerah

otonom Kota Gorontalo secara resmi terbentuk pada tanggal 20 Mei 1960 sebagai

pelaksanaan UU No. 29/1959 tentang pembentukan Dati II di Sulawesi.

42

Wilayah hukum Kotapraja Gorontalo dibagi 3 kecamatan berdasarkan UU

No. 29/1959 tersebut dan melalui Keputusan Kepala Daerah Sulawesi Utara No.

102 tanggal 4 Maret 1960 ditetapkan 39 kampung yang masih termasuk dalam

wilayah Kotapraja Gorontalo yang terbagi atas 3 kecamatan yaitu Kecamatan

Kota Selatan, Kecamatan Kota Barat dan Kecamatan Kota Utara.

Sebutan Kotapraja sesuai dengan istilah yang digunakan dalam UU No.

18/1965 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan UU No. 5/1974

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menggantikan istilah Kotapraja

menjadi Kotamadya dan saat ini disebut Kota. Sejak tahun 2003 sudah dua kali

terjadi pemekaran kecamatan di Kota Gorontalo sehingga bertambah menjadi 6

kecamatan yang sebelumnya hanya 3 kecamatan. Dan Juga pada Tahun 2011 di

adakan pemekaran kembali menjadi 9 Kecamatan dan 50 Kelurahan yang ada di

kota gorontalo.

Berikut data kecamatan-kecamatan tersebut:

No Nama Kecamatan Jumlah Kelurahan 1 Kota Utara 6 2 Kota Selatan 5 3 Kota Barat 7 4 Kota Timur 6 5 Dungingi 5 6 Kota Tengah 6 7 Dumbo Raya 5 8 Sipatana 5 9 Hulonthalangi 5

Total 50

43

Sejak terbentuknya Kota Gorontalo hingga saat ini telah dipimpin oleh 9

orang Walikota yang masing-masing adalah sebagai berikut:

1 A.T.J.E Slamet Tahun 1961-1963

2 Taki Niode Tahun 1963-1971

3 Letkol. Drs. Jusuf Bilondatu Tahun 1971-1978

4 Drs. H.A. Nusi Tahun 1978-1983

5 A.H Nadjamudin Tahun 1983-1988

6 Ir.H. Jusuf Dalie Tahun 1988-1993

7 Drs. Achmad Arbie Tahun 1993-1997

8 Dr.H. Medi Botutihe Tahun 1998-2008

9 H. Adhan Dambea, S.Sos, MA Tahun 2008 - sekarang

Khusus periode tahun 2008 sampai 2013 Kota Gorontalo dipimpin oleh

Bapak Hi Adhan Dambea. S.Sos sebagai Walikota Gorontalo dan Hi Feriyanto

Mayulu. S.Kom sebagai Wakil Walikota.

4.1.2 Keadaan Geografis

Kota Gorontalo terletak antara 000 28' 17" 00035' 56" LU dan 1220 59' 44"

1230 05' 59" BT, dengan batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Tapa, Kabupaten Bone

Bolango

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kabila, Kabupaten

Bonebolango

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini

44

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Batudaa, Kabupaten

Gorontalo

Kota Gorontalo yang terletak diantara wilayah Kabupaten Gorontalo,

Kabupaten Bone Bolango dan Teluk Tomini memiliki luas wilayah 64,79 Km2

atau 0,53% dari luas wilayah Provinsi Gorontalo yang terbagi atas 9 Kecamatan

dan 50 Kelurahan.

Kota Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi sehingga sangat strategis baik

sebagai pusat perdagangan, pusat pendidikan serta pusat jasa lainnya di kawasan

Gorontalo dan sekitarnya. Topografi wilayah relatif datar dengan ketinggian dari

permukaan laut

antara 0-500 meter, dilalui oleh tiga buah sungai besar yaitu Sungai Bone, Sungai

Bolango, dan Sungai Tamalate yang ketiganya bermuara di Teluk Tomini.

4.1.3 Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Kota Gorontalo setiap tahun mengalami perubahan, dari

tahun 2004 sejumlah 148.08 jiwa dengan luas wilayah sebesar 64.79 Km2

sehingga kepadatan penduduk menjadi 2.286 jiwa/Km2.

Pada tahun 2005 berjumlah 156.39 jiwa dengan kepadatan penduduk

sebesar 2.414 jiwa/Km2. Pada tahun 2006 jumlah penduduk berjumlah 158.36

dengan kepadatan penduduk sebesar 2.444 jiwa/Km2. Pada tahun 2007 jumlah

penduduk di Kota Gorontalo sebesar 162.325 jiwa dengan kepadatan penduduk

2.505 jiwa/Km2.

45

Tahun 2008 jumlah penduduk Kota Gorontalo naik sebesar 165.175 jiwa

dengan kepadatan penduduk mencapai 2.549 jiwa/Km2, untuk tahun 2009 jumlah

penduduk Kota Gorontalo naik sebesar 181.102 jiwa dengan kepadatan penduduk

mencapai 2.759 jiwa/Km2. dan jumlah penduduk Kota Gorontalo pada tahun

tahun 2010 berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota

Gorontalo adalah sebanyak 184.185 jiwa yang terdiri dari Laki-laki sebanyak

95.576 jiwa dan perempuan sebanyak 88.609 jiwa. Jumlah angkatan kerja

sebanyak 79.167 jiwa yang bekerja sebanyak 72.040 jiwa dan pengangguran

sebanyak 7.027 jiwa. Lapangan usaha yang paling besar menyerap tenaga kerja

adalah Jasa sebanyak 22.799 jiwa, perdagangan, hotel & restoran sebanyak 21.066

jiwa, transportasi dan komunikasi sebanyak 10.837 jiwa, konstruksi sebanyak

5.767 jiwa, pertanian sebanyak 4.630 jiwa, industri sebanyak 5.021 jiwa, lain-lain

sebanyak 1.920 jiwa.

Tabel 1 : Penduduk Kota Gorontalo Tahun 2003 s/d 2010

Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa)

Luas Wilayah (Km2)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

2003 147.354 64.79 2.274 2004 148.08 64.79 2.286 2005 1536.39 64.79 2.414 2006 158.36 64.79 2.444 2007 162.325 64.79 2.505 2008 165.175 64.79 2.549 2009 181.102 64,79 2.795 2010 184.185 64.79 2.842

Sumber : BPS Kota Gorontalo

46

Tabel 2 : Jumlah Penduduk Menurut Agama

Agama No Kecamatan

Islam Kristen Katholik Hindu Budha Lainnya

Jumlah Penduduk

(Jiwa)

1 Kota Barat 20.765 117 21 0 17 0 20.92

2 Kota Selatan 36.174 1.621 243 17 621 3 38.679

3 Kota Utara 32.592 176 28 16 7 2 32.821 4 Dungingi 21.301 612 112 28 49 2 22.104

5 Kota Timur 42.464 754 117 15 227 1 43.578

6 Kota Tengah 24.978 916 77 38 74 0 26.083

Jumlah 178.274

4.196 598 114 995 8 184.185

Sumber : Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil Kota Gorontalo (Per April 2010)

Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Akhir

Kecamatan No Pend.

Terakhir Kota Barat

Kota Selatan

Kota Utara Dungingi Kota

Timur Kota Tengah

Jumlah

1 Tidak / Belum sekolah

3.527 6.817 5.229 3.686 6.823 4.101 30.183

2

Tidak Tamat SD / Sederajat

3.892 4.616 5.324 3.012 6.032 3.173 26.048

3 Tamat SD / Sederajat

4.555 6.136 7.190 3.805 7.843 3.107 32.636

4 SLTP / Sederajat 2.875 5.781 4.496 2.836 6.898 3.253 26.139

5 SLTA / Sederajat 4.970 12.194 8.015 6.358 12.901 8.612 53.050

6 Diploma I/II 208 272 307 224 374 305 1.690

47

7

Akademi / Diploma III / Sarjana Muda

241 657 567 492 748 730 3.435

8 Diploma IV / Strata I

613 1.991 1.509 1.470 1.779 2.456 9.818

9 Strata II 39 195 177 207 157 3.254 1.100 10 Strata III 0 20 7 14 24 21 86 JUMLAH 20.920 38.679 32.821 22.140 43.578 26.083 184.185

Sumber : Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil Kota Gorontalo (Per April 2010)

4.1.4 Kondisi Sosial Masyarakat Kota Gorontalo

Penduduk Kota Gorontalo memiliki corak dan budaya tersendiri, yang

menjunjung tinggi nilai nilai luhur masyarakat berupa gotong royong dalam

berbagai aspek kehidupan yang dikenal dengan " Huyula, Ambuwa, Ti'ayo,

Hulunga ". Ungkapan Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah "

merupakan pandangan hidup masyarakat Gorontalo yang memadukan adat dengan

agama. Pandangan hidup ini selaras dengan masyarakat yang terbuka , modern

dan demokratis.

Ciri khas lainnya dapat dilihat pada makanan khas, rumah adat, kesenian

seperti sastra, musik dan tari serta kerajinan rakyat. Diantaranya sulaman krawang

dan anyaman " Upiya Karanji " atau kopiah keranjang yang terbuat dari bahan

rotan.

48

Budaya Kondisi sosial budaya masyarakat kota mengalami perkembangan

yang cukup baik. Indikator perkembangan dapat dilihat pada indeks kualitas hidup

masyarakat yang antara lain meliputi angka kematian bayi dan ibu melahirkan,

status gizi, harapan hidup dan angka partisipasi wajib belajar yang setiap tahunnya

mengalami peningkatan.

4.2 Pembahasan

1 Sejarah Cina

Cina adalah salah satu sejarah kebudayaan tertua di dunia. Penemuan para

pakar arkeologi dan antropologi, daerah Cina telah didiami oleh manusia purba

sejak 1,7 juta tahun yang lalu. Peradaban Cina berawal dari berbagai negara kota

di sepanjang lembah Sungai Kuning pada zaman Neolitikum. Sejarah tertulis Cina

dimulai sejak Dinasti Shang (k. 1750 SM - 1045 SM). Cangkang kura-kura

dengan tulisan Cina kuno yang berasal dari Dinasti Shang memiliki penanggalan

radiokarbon hingga 1500 SM. Budaya, sastra, dan filsafat Cina berkembang pada

zaman Dinasti Zhou (1045 SM hingga 256 SM) yang melanjutkan Dinasti Shang.

Dinasti ini merupakan dinasti yang paling lama berkuasa dan pada zaman dinasti

inilah tulisan Cina modern mulai berkembang.

Dinasti Zhou terpecah menjadi beberapa negara kota, yang menciptakan

Periode Negara Perang. Pada tahun 221 SM, Qin Shi Huang menyatukan berbagai

kerajaan ini dan mendirikan kekaisaran pertama Cina. Pergantian dinasti dalam

sejarah Cina telah mengembangkan suatu sistem birokrasi yang memungkinkan

Kaisar Cina memiliki kendali langsung terhadap wilayah yang luas.

49

Pandangan konvensional terhadap sejarah Cina adalah bahwa Cina

merupakan suatu negara yang mengalami pergantian antara periode persatuan dan

perpecahan politis yang kadang-kadang dikuasai oleh orang-orang asing, yang

sebagian besar terasimiliasi ke dalam populasi Suku Han. Pengaruh budaya dan

politik dari berbagai wilayah di Asia, yang dibawa oleh gelombang imigrasi,

ekspansi, dan asimilasi yang bergantian, menyatu untuk membentuk budaya Cina

modern.

2 Awal Kedatangan Bangsa Cina

Masyarakat etnis Cina/Tionghoa sebenarnya sudah hadir berabad-abad

lalu. Mereka melebur manjadi ‘warga setempat’ yang memiliki pasang-surut

sejarah panjang, meski tak selalu mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang

tak terbantah, bahwa warga etnis Cina adalah pendatang (terlepas dari kenyataan

bahwa kedatangannya terjadi berabad-abad lampau, sehingga keberadaannya

bukan lagi hal baru).

Kedatangan Bangsa Cina ke Indonesia banyak disebabkan oleh adanya

bencana seperti kelaparan, penyakit, serta peperangan yang tiada henti di Dataran

Cina akibat perebutan kekuasaan. Masyarakat Cina golongan atas (Upper Class)

yang terdiri atas kaum Bangsawan dan pelajar banyak yang melarikan diri ke

dataran Eropa dan Amerika Utara, akan tetapi masyarakat Cina golongan bawah

(lower level Class) yang terdiri atas pedagang, petani, dan buruh, lebih memilih

Nanyang (Asia Tenggara) sebagai tempat tujuan migrasi.

50

Berdasarkan fakta sejarah, orang-orang Tionghoa diketahui telah lama

datang ke Indonesia. Kedatangan mereka tidak saja untuk keperluan berdagang

tetapi juga kepentingan-kepentingan lain seperti penyebarluasan agama Budha

dan pengetahuan-pengetahuan lain seperti sastra dan lain sebagainya

Menurut catatan sejarah, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke

Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada masa

itu, Tiongkok telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara yang

ada di kawasan Asia Tenggara, dan menurut catatan sudah ada orang Tionghoa

yang datang ke Pulau Jawa (Djawa Dwipa). Pada masa Dinasti Tang (618 – 907

M) juga didapati orang-orang Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya. Jauh pada paruh

kedua abad ke-9, ketika tentara pemberontak pimpinan Huang Chao menduduki

Guangzhou, muslim Tionghoa serta saudagar Arab dan Persia yang berjumlah

besar dan bermukim di sekitar Guangzhou berbondong-bondong mengungsi ke

Sriwijaya. Selanjutnya pada masa dinasti Ming, orang-orang Tionghoa datang

bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho sebanyak tujuh kali ke

Nusantara.

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak

ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-

kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang

berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan

lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

51

Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa

kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang

daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai

pandai perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin

meningkat, maka didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu ikut dalam

kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan.

Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan

daerah sekitarnya.

Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah

pada masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang. Kedatangan

mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikhan atau juga sering disebut

sebagai Jhengiskan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan

yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini diakrenakan ditolaknya

utusan tersebut oleh Raja ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja

Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak

menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang

mereka beri nama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri

pantai dan mendarat disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi

Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat

(Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.

52

Karena runtuhnya Singasarai dan Majapahit, serta munculnya kerajaan

baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini

dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran

agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena panglima armada laut yang mendarat

di Semarang, seoarang yang beragama islam, yaitu Cheng Ho. Penyebaran Islam

di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh

penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo

merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan

Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan

Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina ini juga diberi

wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan

Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut

yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti

bandar laut Tuban dan Gresik.

Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada

abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di

Jawa (“To lo mo”) dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama

Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di

Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra Dalam suatu prasasti

perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang

berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana.

Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-

motif kain sutera Tiongkok.

53

Masuknya kelompok Tionghoa ke Jawa Timur utamanya terdapat di buku

Nanyang Huarena (1990) berjudul The overseas Chinese state. Kertanagara, raja

Singasari yang terakhir, pada tahun1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol

Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau memulangkan utusan

kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa.

Tetapi sebelum kedatangan tentara tersebut, Kertanagara pada tahun 1292 telah

tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai

Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan

diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri

Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara.

Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan

Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang

tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang

tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan

menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para

pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya

dapat dikepung.

Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang

dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun

1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kublai

Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 dan

1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman

yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat

54

telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit

pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.

Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara

sebenarnya tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-

benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah

Batanghari dan Kalimatan Barat maupun yang disimpan di berbagai kraton dan

genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah,

Sumatera Selatan.

Fa Hian seorang pendeta dari Tiongkok mengunjungi pulau Jawa dalam

perjalanannya ke India antara tahun 399 sampai 414.. Pengalamannya di tulis

dalam buku Fahuek,s eratus tahun kemudian Sun Yun dan Hwui Ning

mengikutinya dengan melakukan ziarah dari Tiongkok ke India. Pada tahun 671

Pendeta I-tsing berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Seluruh

pengalamannya diuraikan dengan cermat dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa

Ch"uan dan Ta T"ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch"uan. Pendeta I Tsing

mengembara di luar Tiongkok selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwangtung pada

pertengahan musim panas pemerintahan Cheng Heng (tahun 695) dengan

membawa pulang 4.000 naskah yang terdiri dari lima ratus ribu sloka. Dari tahun

700 sampai 712 ia menterjemahkan 56 buku dalam 230 julid. Hingga abad ke VII

hanya pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang

mengunjungi Sriwijaya.

55

Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke

Indonesia pada abad ke IX yaitu pada zaman dinasti Tang untuk berdagang

dengan membawa barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselen, sutera,

teh, alat-alat pertukangan, pertanian dsbnya untuk ditukar dengan hasil-hasil

pertanian terutama rempah-rempah, sarang burung walet,gambir, bahan obat-

obatan dsbnya. Mereka yang sebelumnya hanya menunggu pedagang-pedagang

asing yang datang ke Canton dengan menggunakan kapal-kapal Persia kemudian

tertarik untuk melakukan perdagang sendiri ke negara-negara Laut Selatan.

Mereka juga datang melalui perjalanan panjang menghadapi gelombang

laut dan perompak yang ganas. Mereka harus tinggal berbulan-bulan menunggu

bergantinya musim dan angin yang akan membawa mereka kembali ke daratan

Tiongkok. Sudah tentu yang datang ketika itu hanya laki-laki saja karena

perjalanan tersebut sangat berbahaya. Emigrasi secara besar-besaran termasuk

perempuan-perempuan Tiongkok baru dimulai pada pertengahan abad ke XIX dan

permulaan abad ke XX bertalian dengan berkembangnya fasilitas kapal motor dan

dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar dinasti Ching.Karena

tertarik akan keindahan dan kesuburan daerah-daerah yang mereka kunjungi dan

keramahan penduduk setempat, sebagian dari mereka menetap dan mengawini

perempuan-perempuan setempat. Mereka pada umumnya menjadi petani, tukang

dan pedagang pengumpul hasil-hasil pertanian dan hasil hutan untuk di tukar

dengan barang-barang dari daratan Tiongkok.

56

Akhirnya mereka beranak pinak dan membaur dengan penduduk setempat

dan saling mempengaruhi dalam proses percampuran budaya, tradisi dan

kebiasaan-kebiasaan lainnya termasuk dalam hal bahasa, kesenian, makanan,

dsbnya.

3. Perkembangan Etnis Cina A. Masa Kolonial

Kolonialisme dan Kedudukan Etnis Cina pada masa Pemerintah kolonial

Belanda menggunakan prinsip devide et impera untuk menguasai wilayah

jajahannya. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi maka jumlah

penduduk Belanda adalah sangat kecil. Dalam usahanya mengendalikan penduduk

pribumi yang mayoritas, pemerintah kolonial menggunakan kelompok-kelompok

masyarakat tertentu, misalnya kelompok bangsawan pribumi yang diperbolehkan

menduduki posisi pemerintahan dan kelompok-kelompok minoritas asing seperti

orang-orang Tionghoa yang hanya diperbolehkan bergerak di bidang ekonomi.

Pemerintah kolonial Belanda melakukan politik separatisme antargolongan

penduduk atau mencoba mengisolasi antara satu golongan dengan golongan yang

lain.11 Penduduk dibagi dalam tiga golongan, yaitu warga negara kelas satu yang

terdiri dari orang-orang Belanda dan bangsa kulit putih umumnya, warga negara

kelas dua yang terdiri dari Vreemde Oosterlingen yaitu orang India, Arab,

Tionghoa, dan orang-orang Timur Asing lainnya, dan warga negara kelas tiga

yang terdiri dari penduduk pribumi. Penggolongan kelas masyarakat

menimbulkan eksklusivisme, karena masing-masing golongan masyarakat

57

tersebut diposisikan dalam stratifikasi sosialnya masing-masing dan tidak boleh

diperbaurkan. Orang-orang Tionghoa juga mendapatkan perlakukan hukum dan

peradilan yang diskriminatif. Dalam perkara kriminal, tertuduh Tionghoa harus

diadili di Landraad, yaitu pengadilan bagi warga pribumi karena dalam aturan

hukum pidana orang Tionghoa statusnya disamakan dengan kaum pribumi

(gelijkgesteld met de Inlanders). Dalam perkara sipil/perdata yang berkaitan

dengan soal perdagangan, hutang-piutang, dan harta warisan, peradilan orang

Tionghoa ditangani Raad van Justitie, yaitu peradilan untuk orang Eropa, apalagi

sejak tahun 1848 hukum dagang Hindia Belanda (Wetboek van Koophandel)

memasukkan orang Tionghoa dalam yurisdiksinya.

Menjelang akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda juga

mengeluarkan aturan-aturan lain yang intinya adalah untuk membatasi gerak

langkah etnis Tionghoa di Indonesia. Melalui Wijkenstelsel pemerintah kolonial

menciptakan sejumlah pusat pemukiman etnis Tionghoa di beberapa kota besar di

Indonesia yang disebut sebagai kampung pecinan. Etnis Tionghoa diisolasi secara

fisik sehingga antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi benar-benar

terpisah. Selain wijkenstelsel, pemerintah kolonial juga memberlakukan

passenstelsel (pas jalan) yang mengharuskan etnis Tionghoa untuk meminta izin

bila akan melakukan perjalanan.

Aturan yang menghambat dan diskriminatif tersebut baru dihapuskan pada tahun

1925, sejalan dengan dijalankannya sistem desentralisasi pemerintahan di negara

koloni. Namun demikian status kewarganegaraan orang Tionghoa yang

58

digolongkan dalam masyarakat Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret

Pembauran di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000), hlm. 146-151.

Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutipoleh

Liem Twan Djie (1996: 29) bahwa orang-orang Cina sangat gesit dan rajin serta

merekatidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan demi

memperoleh uang. Oleh karenaorang Cina unggul di bidang perdagangan, orang

Cina pernah menjadi rebutan antara PangeranBanten dengan penjajah Belanda.

Pada tahun 1916, J.P. Cohen hendak memindahkan orang Cinayang berada di

Banten, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 2000 orang ke Jakarta. Maksudnya

adalah agar perdagangan di Banten lumpuh sehingga Jakarta menggantikan posisi

Bantensebagai tempat penimbunan komoditas perdagangan. Namun usaha itu

dapat digagalkan olehPangeran Banten yang menyadari taktik jahat dari penguasa

penjajah Belanda itu. Sebab, pemindahan orang Cina dari Banten berakibat pada

lumpuhnya usaha perdagangan di Banten. (Hoetink dikutip Liem Twan Djie,

1996: 29).

Pendiskriminasian orang Cina terlepas dari apakah pendiskriminasian itu

menguntungkan orang Cina atau tidak berlanjut ke masa kolonial Jepang,dan

sampai ke masa pemerintahan Indonesia merdeka.Ketika Indonesia berada di

bawah penjajahan Belanda, etnis Cina hanya diperbolehkan bergerak di bidang

perdagangan. Tertutupnya akses etnis Cina berusaha di bidang laindisebabkan

oleh hambatan-hambatan perundang-undangan yang merintangi mereka.

Misalnya, pada tahun 1823 pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal Van

Der Capellenmengeluarkan peraturan yang melarang penyewaan tanah kepada

59

orang-orang Cina dan asinglainnya (Wie, 1995: 14).

Hal inilah yang mengawali mengapa orang Cina banyak bergerak di

bidang perdagangan.Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina digolongkan

sebagai bangsa asing yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tanggal 11

April 1942. Oleh karena itu etnis atau orang Cinadiharuskan membayar pajak

bangsa asing misalnya untuk laki-laki f100 dan perempuan f50. Dengandemikian,

kemanapun etnis Cina dewasa bepergian, mereka diharuskan membawa kartu

pengenal asing dan surat jalan (Kwartanada, 1996: 31).

Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang hampir mirip

dengan yangdilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi.

Berbagai pungutan--baik resmiataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha

Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingatstatus mereka sebagai minoritas

yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI,

yang berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk

masuk sekolah/kuliah (Kwartanada, 1996: 37).

Berbagai aturan yang dijelaskan itu, secara eksplisit dinyatakan bahwa

etnis Cina bukanlah orang "asli" Indonesia. Sebab, yang diwajibkan untuk

melengkapi persyaratan sebagaiwarga negara Indonesia seperti di atas hanyalah

etnis Cina atau warga asing yang menjadi warganegara Indonesia. Padahal dilihat

dari segi historis, etnis Cina sudah lama diakui keberadaannyadi Indonesia.

Walaupun demikian, etnis Cina masih dikategorikan sebagai orang asing.

60

Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan

Eropa atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga

pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali,

Ambon, Jawa dan lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin

komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi

penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara

mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng

Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta,

Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.

Terdapat juga beberapa kelompok etnis Cina yang pernah berjuang

melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa,

kelompok etnis Cina berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan

Barat, komunitas Cina yang tergabung dalam “Republik” Lanfong berperang

dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra

kemerdekaan, beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pembunuhan massal atau

penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang

Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan

dari etnis Cina yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula

oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.

Orang Cina tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan

Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Cina di sejumlah kota besar di

Hindia Belanda.

61

Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam

sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-

lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi

sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi

Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki

oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie,

1991:322-323).

Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh

etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan

negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif

meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara

kuantitas hampir tidak ada.

Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-

anak Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk

sekolah Belanda, tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka

pada tahun 1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan

nama Tionghoa Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan

di berbagai kota di Hindia Belanda.

Munculnya nasionalisme Indonesia berkaitan erat dengan adanya

kolonialisme Belanda di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah

yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan-tekanan disebut

nasionalisme. Melalui keinginan bersama yang didasarkan oleh persamaan

62

kepentingan itu akhirnya menciptakan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme

mengacu pada paham yang mementingkan perbaikan dan kesejahteraan nasio atau

bangsanya. Kelompok-kelompok suku atau etnik-etnik yang bersifat lokal

dikoordinasikan secara kolektif untuk menuju keinginan bersama dan klimaksnya

adalah pembentukan nasion Indonesia. Renan menyebut nasion sebagai keinginan

untuk ada bersama atau keinginan untuk hidup bersama. Etnik-etnik yang ada di

Indonesia salah satunya adalah etnis Tionghoa.

Orang Tionghoa dalam berbagai hal hampir tidak pernah disebutkan secara

panjang lebar meskipun banyak bukti sejarah yang menunjukkan sumbangan etnis

Tionghoa bagi perkembangan Indonesia, misalnya dalam bidang agama,

kesusasteraan, bahasa, kesenian, olah raga, bangunan, teknologi makanan dan

dalam bidang kedokteran. Bahkan gambaran umum mengenai etnis Tionghoa di

Indonesia yang ada selama ini adalah stigma bahwa golongan Tionghoa

merupakan “binatang ekonomi” (economic animal) yang bersifat oportunis, tidak

memiliki loyalitas politik, tidak nasionalis, dan hanya memikirkan kepentingan

diri sendiri. Kalaupun masyarakat etnis Tionghoa banyak berkaitan dengan

peranannya di bidang ekonomi sebagai penguasa jalur ekonomi perantara yang

banyak merugikan masyarakat pribumi dari kota sampai pelosok desa. Berkaitan

dengan masalah nasionalisme khususnya dalam usaha mencapai kemerdekaan,

Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa adalah dengan didirikannya

Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Jakarta oleh

orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat. Perlakuan hukum dan peradilan yang

diskriminatif oleh pemerintah Kolonial Belanda telah membangkitkan kesadaran

63

nasional di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Di masa kolonial ada Undang-

undang Agraria (1870) yang melarang orang-orang Asing (termasuk Cina)

bergerak di bidang pertanian. Puncak tragedi orang Tionghoa di Indonesia

terjadi dengan terjadinya Pembantaian orang Cina oleh Kompeni VOC tahun

1740 di Batavia, yang kemudian meluas menjadi Geger Pacinan atau Perang

Cina di Jawa. Sementara itu perubahan situasi di Cina Daratan terbukti juga

berpengaruh terhadap sikap dan orientasi orang Cina di Indonesia. Kebangkitan

Nasional di Daratan Cina pada awal Abad XX, telah mendorong munculnya

perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tanggal 17 Maret 1900,

disusul berdirinya sekolah-sekolah dasar Tionghoa dengan sistim modern, dengan

bahasa pengantar bahasa Mandarin. Lembaga-lembaga ini ternyata begitu efektif

untuk “Men-Cinakan kembali” orang-orang yang disebut Cina Peranakan (Tan

Swee Ling, 2000:3).

Di zaman pemerintahan Hindia Belanda orang Cina, bersama dengan

orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing dengan

implikasi bahwa hukum yang diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda

atau hukum adat dari Pribumi. Dampaknya adalah bahwa mereka itu tidak

tergolong sebagai Belanda dan tidak tergolong pula sebagai pribumi. Mereka

adalah Orang Asing dari Timur. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan diri

menjadi warganegara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada

mereka adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda

yang ada di Indonesia. Sebagian dari mereka yang berhasil dalam bisnis, yang

dapat membiayai sekolah anak-anak mereka di sekolah Belanda, menghasilkan

64

generasi orang Cina yang berpendidikan Barat dan yang cenderung menjadi

Kristen. Sebagian dari mereka inilah yang kemudian memanfaatkan kesempatan

untuk menjadi warganegara Belanda.

Pada sisi lain pengisolasian pemukiman orang Tionghoa oleh pihak

Kolonial, sehingga terbentuk kampung-kampung Cina atau Pecinan (China

Town), ditambah stratifikasi sosial versi kolonial yang membagi masyarakat

menjadi tiga kelas, yakni kelas satu untuk orang Eropa, kelas dua untuk Orang-

orang Timur Asing (termasuk Tionghoa) dan pribumi sebagai klas terendah,

barangkali juga menjadi salah satu faktor penyebab munculnya dis-integrasi dan

konflik-konflik sosial di masa-masa kemudian.

Di Kalimantan Barat, terutama di kota Pontianak dan Singkawang serta di

daerah-daerah sekitarnya terdapat komuniti-komuniti orang Cina. Mereka yang di

daerah perkotaan terutama hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan

buruh, sedangkan yang hidup di daerah pedesaan dari bertani, menangkap ikan,

disamping menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam komuniti-

komuniti asal daerah mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan bahasa

asal mereka, disamping mengadaptasi diri dengan kebudayaan Melayu

setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu dan

pemujaan ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde Baru mereka itu

menyembunyikan keyakinan keagamaan ini di bawah label agama

Budha. Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan

Eropa atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga

pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali,

65

Ambon, Jawa dan lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin

komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi

penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara

mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng

Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia.

Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang

melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa,

kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan

Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam “Republik” Lanfong berperang

dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra

kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal

atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa

perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan

perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah

yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya

kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di

sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis

Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam

sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-

lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi

sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi

Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki

66

oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-

323).

Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh

etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan

negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif

meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara

kuantitas hampir tidak ada.

Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-

anak Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk

sekolah Belanda, tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka

pada tahun 1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan

nama Tionghoa Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan

di berbagai kota di Hindia Belanda.

Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadap sekolah THHK ini mulai besar,

banyak guru yang dikirim ke Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan

baru ini pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau tidak dapat menguasai gerak

orang Tionghoa maka didirikan sekolah Belanda untuk orang Tionghoa. Namun

biaya di sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk

mereka yang kaya, maka anak Tionghoa yang sekolah di THHK lebih banyak.

Dalam perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena lulusan

dari sekolah Belanda gajinya lebih besar dan lebih mudah mencari pekerjaan di

kantor-kantor besar. Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi

kenyataannya tidak. Para pengelola eTHHK ini ternyata lebih tanggap terhadap

67

perubahan jaman sehingga masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa,

bahkan hingga kini masih ada dan dikenal sebagai salah satu skolah nasional

B. Masa Orde Lama

Pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat

mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Pada tahun

1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu

belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan

Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri

dibelakang Republik Indonesia. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak

ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen

dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk barisan

berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan sesuai contoh batalyon

Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke II, di Malang

ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lain-lain kesatuan

bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (gol. Menado), Trip (pelajar) dsb.

Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan

bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tsb.

Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk

masing-masing masuk kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi.

Namun etnis Cina yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru

menjadi sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI

yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis

pasti orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa

68

G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis

Tionghoa selain kierusuhan Mei 98.

C. Masa Orde Baru

Di awal kemerdekaan, secara umum keberadaan orang Tionghoa dapat

dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah kelompok yang

berorientasi ke Indonesia, dari kelompok ini banyak tokoh yang begitu gigih

memperjuangkan terbentuknya nation and character building di Indonesia.

Kedua, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok, diantara mereka ini adalah

sekitar 40.000 orang Tionghoa yang di tahun 1949 menolak tawaran

kewarganegaraan pemerintah RI dan memilih pulang ke negeri leluhur. Ketiga,

adalah kelompok Tionghoa yang berorientasi ke Barat (Greif, 1991:11).

Dalam zaman Orde Baru ini pemerintah memberlakukan berbagai

peraturan sebagai cara untuk mengontrol orang-orang Cina di

Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah diskriminasi

secara hukum terhadap orang Cina karena mereka itu dianggap asing dan

kesetiaan mereka terhadap negara dan bangsa Indonesia diragukan oleh

pemerintah. Secara sosial, tindakan-tindakan yang diskriminatif secara hukum

itu diikuti oleh anggota-anggota masyarakat yang pribumi yang berkepentingan

untuk menguasai atau mengambil alih kekuasaan orang-orang Cina dalam bidang

bisnis dan perdagangan. Dampak dari tindakan-tindakan diskriminatif tersebut

adalah pemalakan, pemerasan, dan bahkan pembakaran dan penghancuran rumah

dan pertokoan mereka, tanpa orang-orang Cina ini dapat memperoleh

perlindungan sewajarnya secara hukum dan keamanan.

69

Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia,

yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi

ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi

keberadaan Komunis di Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim

Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan

keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal

ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di

samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang

kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara

Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif

terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial

budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat

Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat

itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya

menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono

Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke

dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978.

Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan

yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian

dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).

Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia

yaitu:

Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang

70

masalah ganti nama.

Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang

Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam

Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.

Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967,

tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI

keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya

kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing

yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.

Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang

tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah

nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak

daripada murid-murid WNA Cina.

Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang

penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.

Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No.

02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/

iklan beraksen dan berbahasa Cina.

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967,

warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan

kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga

menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di

Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima

71

pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada

jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa

untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk

diajarkan dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru

ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati

kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari

raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini

diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas

pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak

pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa

Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung

Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia

berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan

pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah

Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian

ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski

beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional

Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan

pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang

populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat

Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.

Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai

72

pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh

komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

D. Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan

perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya

memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan

pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis,

walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan

birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-

Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah

menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi

terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya,

ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah

menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara,

misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa

Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu,

pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid

Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk

menarik minat warga Tionghoa.

Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan

pemimpin masa orde baru. Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui

Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah

Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan

73

untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk

membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada

umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada

adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan

lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No

14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan

huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden

Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya

kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden

Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono,

agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis

Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi

WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan

yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin

memperbaharui paspor dan KTP.

Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan

pendidikan. Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka kembali melakukan kegiatan

sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di

pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi mereka

mulai berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka membuka

diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual agama dst.

Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah: ‘berakar di bumi tempat

berpijak’, artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya.

74

4.2.3 Perkembangan Etnis Cina Di Kota Gorontalo

Seperti kota-kota besar lain, Kota Gorontalo memiliki warga negara asing

yang berasal dari negeri Cina. Di Kota Gorontalo, perkampungan yang sebagian

warganya adalah keturunan etnis Cina ini disebut Kampung Cina, tepatnya berada

di kelurahan Biawao merupakan pusat permukiman orang pecinan pada jaman

Belanda.

Komunitas Cina di Gorontalo, yang secara historis telah melakukan

hubungan dagang sejak awal abad Masehi dan tentunya juga mempunyai sejarah

yang panjang tentang pemukimannya. Meskipun demikian, keterbatasan data

tidak memungkinkan untuk merekonstruksi pola pemukimannya sejak awal

kehadiran mereka di Gorontalo. Pemukiman masyarakat Cina di Gorontalo

dimulai sejak masa kolonial. Terjalin hubungan dagang anatara Cina dengan

Gorontalo tidak hanya hubungan dagang saja yang terjalin di anatara kedua

wilayah ini, melainkan juga hubungan agama.

Berdasarkan data sejarah dapat diketahui bahwa kelompok etnis Cina

sudah mulai mengadakan kontak dagang sejak masa kolnial, saat daerah ini masih

Pada masa kemudian kedatangan orang-orang Cina yang menetap di Gorontalo

justru melahirkan kepemimpinan kelompok etnis Cina di wilayah ini.

Etnis Cina yang ada di Gorontalo berasal dari Canton, Chang-chou dan

Ch’uan-chou. Pemukiman masyarakat Cina terdapat di Kota Gorontalo yang

secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Biawao, kecamatan Kota Selatan

Kota Gorontalo, yang tepatnya berada di pusat Kota.

75

Masyarakat Cina yang merupakan bagian dari penduduk Gorontalo

tentunya pola pemukimannya tidak jauh berbeda. Awalnya kelompok etnis Cina,

seperti halnya masyarakat asing lainnya yang bermukim di wilayah Gorontalo,

yang berdasarkan status sosial, pekerjaan dan etnis telah terjadi di Gorontalo.

Pemukiman etnis Cina ini ditandai dengan adanya kelenteng dan

pemakaman masyarakat yang berasal dari negeri Cina. Di kawasan tersebut

banyak terdapat rumah bertingkat dengan arsitektur Cina. Arsitektur bangunan di

kawasan ini memang didominasi dengan nuansa tempo dulu. Rumah-rumah di

kawasan ini kebanyakan dibangun memanjang ke belakang, dan digunakan

sebagai toko oleh para pemiliknya yang kemudian disebut sebagai rumah toko

atau ruko, juga terdapat kuil tempat untuk peribadatan yang disebut dengan nama

Klenteng.

Para penghuninya kebanyakan bermatapencaharian sebagai pedagang /

pengusaha. Para warganya juga membuka toko penyedia kebutuhan pokok dan

berbagai macam alat-alat elektronik. Orang-orang cina sangat berperan dalam hal

perekonomian di kota Gorontalo. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya

bangunan-bangunan dan toko-toko yang pada umumnya yang berasal dari orang-

orang Cina itu sendiri. Etnis Cina sudah lama menempati wilayah kota Gorontalo

sejak zaman dulu (sebelum kemerdekaan Indonesia). Sesuai dengan pengamatan

penulis terdapat beberapa pendapat dari kalangan orang Cina yang menjelaskan

tentang perkembangan etnis Cina di Kota Gorontalo diantanya sebagai berikut :

Menurut Guru Hong (Salah seorang pendeta di Klenteng) mengatakan bahwa Penyebaran orang Cina terjadi dari zaman dulu, Sejak abad ke-15, orang Cina telah datang ke Tanah Melayu. Pembukaan Melaka dan

76

hubungan perdagangan di antara Melaka dengan negara China menggalakkan kedatangan orang Cina. Penghijrahan orang Cina semakin bertambah menjelang awal abad ke-19. Orang Cina telah berhijrah ke Negeri-negeri Selat akibat perkembangan perdagangan di Pulau Pinang dan Singapura serta dasar pemerintahan British di Pulau Pinang dan Singapura yang longgar memudahkan lagi kemasukan imigran Cina. Orang Cina berhijrah ke Johor pada masa pemerintahan Temenggung Ibrahim (1825-1862) untuk membuka ladang gambir dan lada hitam. Penghijrahan masuk orang Cina meningkat lagi pada pertengahan abad ke-19. Mereka berhijrah secara beramai-ramai untuk bekerja sebagai buruh di lombong bijih timah dan ladang lada hitam. Orang Cina kebanyakan berasal dari sepanjang sungai Kuning dan Sungai Yangzi, yang berada di tengah daratan Tiongkok, waktu itu disebut Tiongguan atau Dataran Tengah. Karena suku yang mendiami di daerah itu adalah orang Hua, sedang dinasti tertua adalah dinasti Xia, maka suku Hua itu sering disebut suku Huaxia. Suku Hua ini kemudian menyebar ke selatan dan tenggara Tiongkok, dan menyebar lagi ke arah barat.Sedang suku Hua yang berada di utara selalu berperang melawan serangan-serangan suku di utara, itulah sebabnya para kaisar sejak dulu membangun Tembok Besar untuk menahan musuh. Transmigrasi terjadi berlangsung terus, setelah pelayaran berkembang, orang Hua ini menyeberang lautan ke Asia Tenggara, inilah asal usul orang Cina di Indonesia dan akhirnya kami sampai di Gorontalo. Tiong adalah tengah, Hua adalah nama sukunya, jadilah yang disebut orang Tionghoa, dalam bahasa Mandarin adalah Huaren (orang Hua). Ditambahkan pula oleh informan bernama Ko’ Candra menuturkan, bahwa pada awal kedatangan etnis Cina sebagai kuli kontrak di Pulau Jawa. Mereka mengeruk tanah untuk mengumpulkan butiran-butiran timah. Mereka juga membangun permukiman di sekitar tempat kerja dengan sebutan "parit",yang mengacu pada lubang-lubang galian tambang. Seiring dengan perkembangan penduduk dipulau Jawa dan dengan adanya peraturan pemerintah tentang untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa maka, permukiman kuli kontrak ini juga menyebar ke berbagai pelosok Nusantara termasuk ke wilayah Gorontalo. Hingga sampai detik ini, terutama di wilayah perkotaan, terdapat pemukiman penduduk masyarakat Cina yang diberinama dengan sebutan Kampung Cina. Berangkat dari penjelasan salah seorang pendeta buda bahwa orang-orang

cina masuk ke Gorontalo pada walnya berasal dari sepanjang sungai kuning. Hal senada juga terdapat penjelasan salah seorang warga Cina yang yang mengatakan bahwa :

kami sudah mendiami wilayah Gorontalo jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi Orang-orang Hua yang datang duluan, melalui kontrak kerja atau datang sendiri, lazimnya hanya laki-laki muda, mereka

77

kemudian menikah dengan penduduk setempat, dan lahirlah orang-orang Cina dari hasil perkawinan campuran. Jumlah mereka juga tak sebanyak penduduk pribumi, maka mereka menyerap kebudayaan dan menggunakan bahasa setempat. Ini asal mula sebutan peranakan.Kedatangan orang Tionghoa tak pernah berhenti. (Ko’ Kiyong). Pada pernyataan lain juga seorang pengusaha cina yang sudah lama yang

mendiami wilayah kota Gorontalo mengatakan bahwa :

Saya sudah lama berada di Gorontalo jauh sejak pemerintahan/penjajahan Belanda. Saya datang dari negeri Cina masuk ke Indonesia pertama kali di Jawa Timur, kemudian pada waktu itu terjadi transmigrasi maka saya mendapatkan tempat saya berada di Gorontalo. (Ko Candra). Disisi lain, selain masukya etnis cina di gorontalo khususnya di kota

Gorontalo dibawah ini terdapat pernyataan dari :

Ci Lin menambahkan bawa Orang Cina masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1740an jumlah kami pada saat masih sedikit. Ayah saya orang Cina asli yang berasal dari suku Han. Ketika itu terjadi perang dan kekacauan, beliau memutuskan untuk berlayar dengan teman-teman, mula-mula mereka sampai di kalimantan, kemudian tak lama di kalimantan beliau berlayar lagi sehingga sampai di Gorontalo dan akhirnya meninggal dunia di kelurahan Biawu

Ditambahkan pula oleh :

Yan Se bahwa kami datang ke Gorontalo berawal dari keinginan kami untuk mencari wilayah yang baik untuk berdagang.

4.2.3 Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Masuknya Etnis Di Cina Di

Kota Gorontalo

Perubahan masyarakat pada umumnya dapat terjadi dengan sendirinya

secara wajar dan teratur, terutama apabila, perubahan itu sesuai dengan

kepentingan masyarakat jika tidak biasanya masyarakat akan terganggu akibat

perubahan itu sendiri akan tetapi pada kondisi tertentu jika keadaan sekarang di

anggap tidak berkemajuan atau tidak memuaskan lagi.

78

Salah satu dasar terbentuknya pecinan adalah karena faktor sosial, dimana

merupakan keinginan masyarakat Tionghoa sendiri untuk hidup berkelompok

karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu.

Pada bagian ini penulis menguraikan tentang faktor-faktor yang melatar

belakangi sehingga masuknya orang-orang di Cina di Kota Gorontalo.

Keberadaan masyarakat Tionghoa di kota Gorontalo, tidak jauh berebeda dengan

kedatangan orang China ke Indonesia. Umumnya para perantau China selalu

bermukim di dekat pasar, baik itu pasar tradisional yang memperdagangkan

komoditas lokal maupun komoditas ekspor impor. Hal itu dilatar belakangi

kegiatan orang Tionghoa banyak berhubungan dengan perdagangan. Untuk

mempermudah aktifitas mereka dalam berdaganag, maka ia membangun suatu

komunitas atau perkampungan. menurut hasil wawancara dengan warga

masyarakat yang berasal dari Cina antara lain :

Guru Hong berpendapat bahwa arus imigrasi orang cina ke indonesia beberapa hal: a) Pertempuran yang tak kunjung selesai, perebutan kekuasaan antara

para raja, atau pejabat setempat. b) Perang antar suku, orang Hua lawan suku-suku utara yang jumlahnya

tak banyak tapi kemampuannya perangnya luar biasa, seperti suku Xianbei, suku Qidan, suku Nvzhen (kemudian disebut Manzu), suku Mongol dll. Suku di selatan relatif lebih lemah, sehingga kepindahan ke selatan berjalan lebih mulus.

c) Ingin berdagang ke daerah baru mencari kehidupan baru, d) Kekurangan tenaga kerja di Asia Tenggara e) Terdorong mencari kehidupan yang lebih baik. Selain itu juga kedatangan orang-orang Cina ke Indonesia, seperti

dikemukakan oleh ko Kiyong bahwa kedatang mereka ke Indonesia khususnya ke

Gorontalo, bertujuan untuk berdagang.

79

Ditambahkan pula bahwa faktor pendorong kedatangan orang-orang Cina

ke Gorontalo yaitu ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik dan dapat

meneruskan atau melangsungkan keturunan dengan baik.

Dari beberapa penjelasan dari warga masyarakat Cina yang ada di Kota

Gorontalo bahwa dapat diperoleh gambaran mengenai faktor kedatangan mereka

ke Kota Gorontalo selain berdagang mereka juga ingin merubah pola hidup.