bab iv hasil penelitian dan pembahasan 4.1 hasil...
TRANSCRIPT
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Gorontalo lahir pada hari Kamis, 18 Maret 1728 M atau bertepatan
dengan Kamis, 06 Syakban 1140 Hijriah. Tepat tanggal 16 Februari 2001 Kota
Gorontalo secara resmi ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Gorontalo (UU
Nomor 38 Tahun 2000 Pasal 7).
Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan
Hulawa Kecamatan Telaga tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Pada tahun
1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi
Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang.
Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini
dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang
terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.
Letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta
penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah
sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah
Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah
sekitarnya seperti Buol ToliToli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
41
Gorontalo dikenal sebagai salah kota perdagangan, pendidikan, dan pusat
pengembangan kebudayaan Islam di Indonesia Timur. Sejak dulu Gorontalo
dikenal sebagai Kota Serambi Madinah. Hal itu disebabkan pada waktu dahulu
Pemerintahan Kerajaan Gorontalo telah menerapkan syariat Islam sebagai dasar
pelaksanaan hukum, baik dalam bidang pemerintahan, kemasyarakatan, maupun
pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari filosofi budaya Gorontalo yang Islami
berbunyi, "Adat bersendikan syarak; dan syarak bersendikan Kitabullah (Al-
Quran)." Syarak adalah hukum yang berdasarkan syariat Islam. Karena itu,
Gorontalo ditetapkan sebagai salah satu dari 19 daerah hukum adat di Indonesia.
Raja pertama di Kerajaan Gorontalo yang memeluk agama Islam adalah Sultan
Amai, yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi Islam
di Provinsi Gorontalo, (STAIN Sultan Amai).
Gorontalo juga dikenal sebuah salah satu dari empat kota utama di
Sulawesi, yaitu (1) Makassar, (2) Manado, (3) Gorontalo, dan (4) Parepare. Dalam
catatan sejarah HULONTALO sebagai singkatan dari HULONTALANGI yang
selanjutnya disebut GORONTALO. Pendiri Kota Gorontalo adalah Sultan
Botutihe yang telah berhasil melaksanakan tugas-tugas pemerintahan atas dasar
Ketuhanan dan prinsip-prinsip masyarakat. Walaupun Gorontalo telah ada dan
terbentuk sejak tahun 1728 (sekitar 3 abad yang lalu), namun sebagai daerah
otonom Kota Gorontalo secara resmi terbentuk pada tanggal 20 Mei 1960 sebagai
pelaksanaan UU No. 29/1959 tentang pembentukan Dati II di Sulawesi.
42
Wilayah hukum Kotapraja Gorontalo dibagi 3 kecamatan berdasarkan UU
No. 29/1959 tersebut dan melalui Keputusan Kepala Daerah Sulawesi Utara No.
102 tanggal 4 Maret 1960 ditetapkan 39 kampung yang masih termasuk dalam
wilayah Kotapraja Gorontalo yang terbagi atas 3 kecamatan yaitu Kecamatan
Kota Selatan, Kecamatan Kota Barat dan Kecamatan Kota Utara.
Sebutan Kotapraja sesuai dengan istilah yang digunakan dalam UU No.
18/1965 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan UU No. 5/1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menggantikan istilah Kotapraja
menjadi Kotamadya dan saat ini disebut Kota. Sejak tahun 2003 sudah dua kali
terjadi pemekaran kecamatan di Kota Gorontalo sehingga bertambah menjadi 6
kecamatan yang sebelumnya hanya 3 kecamatan. Dan Juga pada Tahun 2011 di
adakan pemekaran kembali menjadi 9 Kecamatan dan 50 Kelurahan yang ada di
kota gorontalo.
Berikut data kecamatan-kecamatan tersebut:
No Nama Kecamatan Jumlah Kelurahan 1 Kota Utara 6 2 Kota Selatan 5 3 Kota Barat 7 4 Kota Timur 6 5 Dungingi 5 6 Kota Tengah 6 7 Dumbo Raya 5 8 Sipatana 5 9 Hulonthalangi 5
Total 50
43
Sejak terbentuknya Kota Gorontalo hingga saat ini telah dipimpin oleh 9
orang Walikota yang masing-masing adalah sebagai berikut:
1 A.T.J.E Slamet Tahun 1961-1963
2 Taki Niode Tahun 1963-1971
3 Letkol. Drs. Jusuf Bilondatu Tahun 1971-1978
4 Drs. H.A. Nusi Tahun 1978-1983
5 A.H Nadjamudin Tahun 1983-1988
6 Ir.H. Jusuf Dalie Tahun 1988-1993
7 Drs. Achmad Arbie Tahun 1993-1997
8 Dr.H. Medi Botutihe Tahun 1998-2008
9 H. Adhan Dambea, S.Sos, MA Tahun 2008 - sekarang
Khusus periode tahun 2008 sampai 2013 Kota Gorontalo dipimpin oleh
Bapak Hi Adhan Dambea. S.Sos sebagai Walikota Gorontalo dan Hi Feriyanto
Mayulu. S.Kom sebagai Wakil Walikota.
4.1.2 Keadaan Geografis
Kota Gorontalo terletak antara 000 28' 17" 00035' 56" LU dan 1220 59' 44"
1230 05' 59" BT, dengan batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Tapa, Kabupaten Bone
Bolango
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kabila, Kabupaten
Bonebolango
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Tomini
44
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Batudaa, Kabupaten
Gorontalo
Kota Gorontalo yang terletak diantara wilayah Kabupaten Gorontalo,
Kabupaten Bone Bolango dan Teluk Tomini memiliki luas wilayah 64,79 Km2
atau 0,53% dari luas wilayah Provinsi Gorontalo yang terbagi atas 9 Kecamatan
dan 50 Kelurahan.
Kota Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi sehingga sangat strategis baik
sebagai pusat perdagangan, pusat pendidikan serta pusat jasa lainnya di kawasan
Gorontalo dan sekitarnya. Topografi wilayah relatif datar dengan ketinggian dari
permukaan laut
antara 0-500 meter, dilalui oleh tiga buah sungai besar yaitu Sungai Bone, Sungai
Bolango, dan Sungai Tamalate yang ketiganya bermuara di Teluk Tomini.
4.1.3 Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Kota Gorontalo setiap tahun mengalami perubahan, dari
tahun 2004 sejumlah 148.08 jiwa dengan luas wilayah sebesar 64.79 Km2
sehingga kepadatan penduduk menjadi 2.286 jiwa/Km2.
Pada tahun 2005 berjumlah 156.39 jiwa dengan kepadatan penduduk
sebesar 2.414 jiwa/Km2. Pada tahun 2006 jumlah penduduk berjumlah 158.36
dengan kepadatan penduduk sebesar 2.444 jiwa/Km2. Pada tahun 2007 jumlah
penduduk di Kota Gorontalo sebesar 162.325 jiwa dengan kepadatan penduduk
2.505 jiwa/Km2.
45
Tahun 2008 jumlah penduduk Kota Gorontalo naik sebesar 165.175 jiwa
dengan kepadatan penduduk mencapai 2.549 jiwa/Km2, untuk tahun 2009 jumlah
penduduk Kota Gorontalo naik sebesar 181.102 jiwa dengan kepadatan penduduk
mencapai 2.759 jiwa/Km2. dan jumlah penduduk Kota Gorontalo pada tahun
tahun 2010 berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Gorontalo adalah sebanyak 184.185 jiwa yang terdiri dari Laki-laki sebanyak
95.576 jiwa dan perempuan sebanyak 88.609 jiwa. Jumlah angkatan kerja
sebanyak 79.167 jiwa yang bekerja sebanyak 72.040 jiwa dan pengangguran
sebanyak 7.027 jiwa. Lapangan usaha yang paling besar menyerap tenaga kerja
adalah Jasa sebanyak 22.799 jiwa, perdagangan, hotel & restoran sebanyak 21.066
jiwa, transportasi dan komunikasi sebanyak 10.837 jiwa, konstruksi sebanyak
5.767 jiwa, pertanian sebanyak 4.630 jiwa, industri sebanyak 5.021 jiwa, lain-lain
sebanyak 1.920 jiwa.
Tabel 1 : Penduduk Kota Gorontalo Tahun 2003 s/d 2010
Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa)
Luas Wilayah (Km2)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
2003 147.354 64.79 2.274 2004 148.08 64.79 2.286 2005 1536.39 64.79 2.414 2006 158.36 64.79 2.444 2007 162.325 64.79 2.505 2008 165.175 64.79 2.549 2009 181.102 64,79 2.795 2010 184.185 64.79 2.842
Sumber : BPS Kota Gorontalo
46
Tabel 2 : Jumlah Penduduk Menurut Agama
Agama No Kecamatan
Islam Kristen Katholik Hindu Budha Lainnya
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
1 Kota Barat 20.765 117 21 0 17 0 20.92
2 Kota Selatan 36.174 1.621 243 17 621 3 38.679
3 Kota Utara 32.592 176 28 16 7 2 32.821 4 Dungingi 21.301 612 112 28 49 2 22.104
5 Kota Timur 42.464 754 117 15 227 1 43.578
6 Kota Tengah 24.978 916 77 38 74 0 26.083
Jumlah 178.274
4.196 598 114 995 8 184.185
Sumber : Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil Kota Gorontalo (Per April 2010)
Tabel 3 : Jumlah Penduduk Menurut Pendidikan Akhir
Kecamatan No Pend.
Terakhir Kota Barat
Kota Selatan
Kota Utara Dungingi Kota
Timur Kota Tengah
Jumlah
1 Tidak / Belum sekolah
3.527 6.817 5.229 3.686 6.823 4.101 30.183
2
Tidak Tamat SD / Sederajat
3.892 4.616 5.324 3.012 6.032 3.173 26.048
3 Tamat SD / Sederajat
4.555 6.136 7.190 3.805 7.843 3.107 32.636
4 SLTP / Sederajat 2.875 5.781 4.496 2.836 6.898 3.253 26.139
5 SLTA / Sederajat 4.970 12.194 8.015 6.358 12.901 8.612 53.050
6 Diploma I/II 208 272 307 224 374 305 1.690
47
7
Akademi / Diploma III / Sarjana Muda
241 657 567 492 748 730 3.435
8 Diploma IV / Strata I
613 1.991 1.509 1.470 1.779 2.456 9.818
9 Strata II 39 195 177 207 157 3.254 1.100 10 Strata III 0 20 7 14 24 21 86 JUMLAH 20.920 38.679 32.821 22.140 43.578 26.083 184.185
Sumber : Dinas Kependudukan Pencatatan Sipil Kota Gorontalo (Per April 2010)
4.1.4 Kondisi Sosial Masyarakat Kota Gorontalo
Penduduk Kota Gorontalo memiliki corak dan budaya tersendiri, yang
menjunjung tinggi nilai nilai luhur masyarakat berupa gotong royong dalam
berbagai aspek kehidupan yang dikenal dengan " Huyula, Ambuwa, Ti'ayo,
Hulunga ". Ungkapan Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah "
merupakan pandangan hidup masyarakat Gorontalo yang memadukan adat dengan
agama. Pandangan hidup ini selaras dengan masyarakat yang terbuka , modern
dan demokratis.
Ciri khas lainnya dapat dilihat pada makanan khas, rumah adat, kesenian
seperti sastra, musik dan tari serta kerajinan rakyat. Diantaranya sulaman krawang
dan anyaman " Upiya Karanji " atau kopiah keranjang yang terbuat dari bahan
rotan.
48
Budaya Kondisi sosial budaya masyarakat kota mengalami perkembangan
yang cukup baik. Indikator perkembangan dapat dilihat pada indeks kualitas hidup
masyarakat yang antara lain meliputi angka kematian bayi dan ibu melahirkan,
status gizi, harapan hidup dan angka partisipasi wajib belajar yang setiap tahunnya
mengalami peningkatan.
4.2 Pembahasan
1 Sejarah Cina
Cina adalah salah satu sejarah kebudayaan tertua di dunia. Penemuan para
pakar arkeologi dan antropologi, daerah Cina telah didiami oleh manusia purba
sejak 1,7 juta tahun yang lalu. Peradaban Cina berawal dari berbagai negara kota
di sepanjang lembah Sungai Kuning pada zaman Neolitikum. Sejarah tertulis Cina
dimulai sejak Dinasti Shang (k. 1750 SM - 1045 SM). Cangkang kura-kura
dengan tulisan Cina kuno yang berasal dari Dinasti Shang memiliki penanggalan
radiokarbon hingga 1500 SM. Budaya, sastra, dan filsafat Cina berkembang pada
zaman Dinasti Zhou (1045 SM hingga 256 SM) yang melanjutkan Dinasti Shang.
Dinasti ini merupakan dinasti yang paling lama berkuasa dan pada zaman dinasti
inilah tulisan Cina modern mulai berkembang.
Dinasti Zhou terpecah menjadi beberapa negara kota, yang menciptakan
Periode Negara Perang. Pada tahun 221 SM, Qin Shi Huang menyatukan berbagai
kerajaan ini dan mendirikan kekaisaran pertama Cina. Pergantian dinasti dalam
sejarah Cina telah mengembangkan suatu sistem birokrasi yang memungkinkan
Kaisar Cina memiliki kendali langsung terhadap wilayah yang luas.
49
Pandangan konvensional terhadap sejarah Cina adalah bahwa Cina
merupakan suatu negara yang mengalami pergantian antara periode persatuan dan
perpecahan politis yang kadang-kadang dikuasai oleh orang-orang asing, yang
sebagian besar terasimiliasi ke dalam populasi Suku Han. Pengaruh budaya dan
politik dari berbagai wilayah di Asia, yang dibawa oleh gelombang imigrasi,
ekspansi, dan asimilasi yang bergantian, menyatu untuk membentuk budaya Cina
modern.
2 Awal Kedatangan Bangsa Cina
Masyarakat etnis Cina/Tionghoa sebenarnya sudah hadir berabad-abad
lalu. Mereka melebur manjadi ‘warga setempat’ yang memiliki pasang-surut
sejarah panjang, meski tak selalu mulus. Sebab, adalah suatu fakta sejarah yang
tak terbantah, bahwa warga etnis Cina adalah pendatang (terlepas dari kenyataan
bahwa kedatangannya terjadi berabad-abad lampau, sehingga keberadaannya
bukan lagi hal baru).
Kedatangan Bangsa Cina ke Indonesia banyak disebabkan oleh adanya
bencana seperti kelaparan, penyakit, serta peperangan yang tiada henti di Dataran
Cina akibat perebutan kekuasaan. Masyarakat Cina golongan atas (Upper Class)
yang terdiri atas kaum Bangsawan dan pelajar banyak yang melarikan diri ke
dataran Eropa dan Amerika Utara, akan tetapi masyarakat Cina golongan bawah
(lower level Class) yang terdiri atas pedagang, petani, dan buruh, lebih memilih
Nanyang (Asia Tenggara) sebagai tempat tujuan migrasi.
50
Berdasarkan fakta sejarah, orang-orang Tionghoa diketahui telah lama
datang ke Indonesia. Kedatangan mereka tidak saja untuk keperluan berdagang
tetapi juga kepentingan-kepentingan lain seperti penyebarluasan agama Budha
dan pengetahuan-pengetahuan lain seperti sastra dan lain sebagainya
Menurut catatan sejarah, awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke
Indonesia dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada masa
itu, Tiongkok telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara yang
ada di kawasan Asia Tenggara, dan menurut catatan sudah ada orang Tionghoa
yang datang ke Pulau Jawa (Djawa Dwipa). Pada masa Dinasti Tang (618 – 907
M) juga didapati orang-orang Tionghoa di Kerajaan Sriwijaya. Jauh pada paruh
kedua abad ke-9, ketika tentara pemberontak pimpinan Huang Chao menduduki
Guangzhou, muslim Tionghoa serta saudagar Arab dan Persia yang berjumlah
besar dan bermukim di sekitar Guangzhou berbondong-bondong mengungsi ke
Sriwijaya. Selanjutnya pada masa dinasti Ming, orang-orang Tionghoa datang
bersamaan dengan ekspedisi Laksamana Cheng Ho sebanyak tujuh kali ke
Nusantara.
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak
ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-
kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang
berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan
lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
51
Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa
kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang
daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai
pandai perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin
meningkat, maka didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu ikut dalam
kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan.
Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan
daerah sekitarnya.
Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah
pada masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang. Kedatangan
mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikhan atau juga sering disebut
sebagai Jhengiskan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan
yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini diakrenakan ditolaknya
utusan tersebut oleh Raja ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja
Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak
menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang
mereka beri nama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri
pantai dan mendarat disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi
Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat
(Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.
52
Karena runtuhnya Singasarai dan Majapahit, serta munculnya kerajaan
baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini
dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran
agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena panglima armada laut yang mendarat
di Semarang, seoarang yang beragama islam, yaitu Cheng Ho. Penyebaran Islam
di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh
penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo
merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan
Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan
Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina ini juga diberi
wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan
Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut
yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti
bandar laut Tuban dan Gresik.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada
abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di
Jawa (“To lo mo”) dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama
Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di
Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra Dalam suatu prasasti
perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang
berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana.
Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-
motif kain sutera Tiongkok.
53
Masuknya kelompok Tionghoa ke Jawa Timur utamanya terdapat di buku
Nanyang Huarena (1990) berjudul The overseas Chinese state. Kertanagara, raja
Singasari yang terakhir, pada tahun1289 telah menantang wibawa kaisar Monggol
Kublai Khan, yang masa itu berkuasa di Tiongkok. Beliau memulangkan utusan
kaisar dengan muka yang dilukai. Kublai Khan mengirim tentaranya ke Jawa.
Tetapi sebelum kedatangan tentara tersebut, Kertanagara pada tahun 1292 telah
tewas disebabkan pemberontakan Kediri. Singasari jatuh. Ketika tentara Kublai
Khan tiba, Raden Wijaya, kemenakan dan menantunya Kertanagara, menyerahkan
diri pada pimpinan tentara Monggol dan menyatakan, bahwa Raja Kediri
Jayakatwang telah menggantikan Kertanagara.
Raden Wijaya berhasil membujuk tentara Kublai Khan untuk menjatuhkan
Daha (Kediri). Setelah tentara Kediri hancur, Raden Wijaya berbalik menyerang
tentara Kublai Khan. Beliau minta diberi 200 pengawal Monggol/Tionghoa yang
tak bersenjata untuk kepergiannya ke kota Majapahit dimana beliau akan
menyerah dengan resmi pada wakil2 Kublai Khan. Ditengah perjalanan para
pengawal dibantai dan sebagian lain tentara Monggol yang tidak menduganya
dapat dikepung.
Siasat Raden Wijaya menghasilkan pihak Monggol kehilangan 3000 orang
dan terpaksa meninggalkan pulau Jawa tanpa hadiah2 yang dijanjikan. Tahun
1293-94 Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kublai
Khan, cucunya Jengiz Khan, meninggal 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 dan
1375 hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Sang Adityawarman
yang dibesarkan di Majapahit dan yang kemudian menjadi Raja Sumatera-Barat
54
telah mengunjungi istana kaisar Tiongkok sebagai menteri dan utusan Majapahit
pada thn. 1325 dan sekali lagi pada thn 1332.
Keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara
sebenarnya tidak jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-
benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah
Batanghari dan Kalimatan Barat maupun yang disimpan di berbagai kraton dan
genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah,
Sumatera Selatan.
Fa Hian seorang pendeta dari Tiongkok mengunjungi pulau Jawa dalam
perjalanannya ke India antara tahun 399 sampai 414.. Pengalamannya di tulis
dalam buku Fahuek,s eratus tahun kemudian Sun Yun dan Hwui Ning
mengikutinya dengan melakukan ziarah dari Tiongkok ke India. Pada tahun 671
Pendeta I-tsing berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Seluruh
pengalamannya diuraikan dengan cermat dalam bukunya Nan Hai Chi Kuei Fa
Ch"uan dan Ta T"ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch"uan. Pendeta I Tsing
mengembara di luar Tiongkok selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwangtung pada
pertengahan musim panas pemerintahan Cheng Heng (tahun 695) dengan
membawa pulang 4.000 naskah yang terdiri dari lima ratus ribu sloka. Dari tahun
700 sampai 712 ia menterjemahkan 56 buku dalam 230 julid. Hingga abad ke VII
hanya pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang
mengunjungi Sriwijaya.
55
Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai berdatangan ke
Indonesia pada abad ke IX yaitu pada zaman dinasti Tang untuk berdagang
dengan membawa barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselen, sutera,
teh, alat-alat pertukangan, pertanian dsbnya untuk ditukar dengan hasil-hasil
pertanian terutama rempah-rempah, sarang burung walet,gambir, bahan obat-
obatan dsbnya. Mereka yang sebelumnya hanya menunggu pedagang-pedagang
asing yang datang ke Canton dengan menggunakan kapal-kapal Persia kemudian
tertarik untuk melakukan perdagang sendiri ke negara-negara Laut Selatan.
Mereka juga datang melalui perjalanan panjang menghadapi gelombang
laut dan perompak yang ganas. Mereka harus tinggal berbulan-bulan menunggu
bergantinya musim dan angin yang akan membawa mereka kembali ke daratan
Tiongkok. Sudah tentu yang datang ketika itu hanya laki-laki saja karena
perjalanan tersebut sangat berbahaya. Emigrasi secara besar-besaran termasuk
perempuan-perempuan Tiongkok baru dimulai pada pertengahan abad ke XIX dan
permulaan abad ke XX bertalian dengan berkembangnya fasilitas kapal motor dan
dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar dinasti Ching.Karena
tertarik akan keindahan dan kesuburan daerah-daerah yang mereka kunjungi dan
keramahan penduduk setempat, sebagian dari mereka menetap dan mengawini
perempuan-perempuan setempat. Mereka pada umumnya menjadi petani, tukang
dan pedagang pengumpul hasil-hasil pertanian dan hasil hutan untuk di tukar
dengan barang-barang dari daratan Tiongkok.
56
Akhirnya mereka beranak pinak dan membaur dengan penduduk setempat
dan saling mempengaruhi dalam proses percampuran budaya, tradisi dan
kebiasaan-kebiasaan lainnya termasuk dalam hal bahasa, kesenian, makanan,
dsbnya.
3. Perkembangan Etnis Cina A. Masa Kolonial
Kolonialisme dan Kedudukan Etnis Cina pada masa Pemerintah kolonial
Belanda menggunakan prinsip devide et impera untuk menguasai wilayah
jajahannya. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi maka jumlah
penduduk Belanda adalah sangat kecil. Dalam usahanya mengendalikan penduduk
pribumi yang mayoritas, pemerintah kolonial menggunakan kelompok-kelompok
masyarakat tertentu, misalnya kelompok bangsawan pribumi yang diperbolehkan
menduduki posisi pemerintahan dan kelompok-kelompok minoritas asing seperti
orang-orang Tionghoa yang hanya diperbolehkan bergerak di bidang ekonomi.
Pemerintah kolonial Belanda melakukan politik separatisme antargolongan
penduduk atau mencoba mengisolasi antara satu golongan dengan golongan yang
lain.11 Penduduk dibagi dalam tiga golongan, yaitu warga negara kelas satu yang
terdiri dari orang-orang Belanda dan bangsa kulit putih umumnya, warga negara
kelas dua yang terdiri dari Vreemde Oosterlingen yaitu orang India, Arab,
Tionghoa, dan orang-orang Timur Asing lainnya, dan warga negara kelas tiga
yang terdiri dari penduduk pribumi. Penggolongan kelas masyarakat
menimbulkan eksklusivisme, karena masing-masing golongan masyarakat
57
tersebut diposisikan dalam stratifikasi sosialnya masing-masing dan tidak boleh
diperbaurkan. Orang-orang Tionghoa juga mendapatkan perlakukan hukum dan
peradilan yang diskriminatif. Dalam perkara kriminal, tertuduh Tionghoa harus
diadili di Landraad, yaitu pengadilan bagi warga pribumi karena dalam aturan
hukum pidana orang Tionghoa statusnya disamakan dengan kaum pribumi
(gelijkgesteld met de Inlanders). Dalam perkara sipil/perdata yang berkaitan
dengan soal perdagangan, hutang-piutang, dan harta warisan, peradilan orang
Tionghoa ditangani Raad van Justitie, yaitu peradilan untuk orang Eropa, apalagi
sejak tahun 1848 hukum dagang Hindia Belanda (Wetboek van Koophandel)
memasukkan orang Tionghoa dalam yurisdiksinya.
Menjelang akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda juga
mengeluarkan aturan-aturan lain yang intinya adalah untuk membatasi gerak
langkah etnis Tionghoa di Indonesia. Melalui Wijkenstelsel pemerintah kolonial
menciptakan sejumlah pusat pemukiman etnis Tionghoa di beberapa kota besar di
Indonesia yang disebut sebagai kampung pecinan. Etnis Tionghoa diisolasi secara
fisik sehingga antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi benar-benar
terpisah. Selain wijkenstelsel, pemerintah kolonial juga memberlakukan
passenstelsel (pas jalan) yang mengharuskan etnis Tionghoa untuk meminta izin
bila akan melakukan perjalanan.
Aturan yang menghambat dan diskriminatif tersebut baru dihapuskan pada tahun
1925, sejalan dengan dijalankannya sistem desentralisasi pemerintahan di negara
koloni. Namun demikian status kewarganegaraan orang Tionghoa yang
58
digolongkan dalam masyarakat Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret
Pembauran di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000), hlm. 146-151.
Selain itu, seperti yang dikemukakan oleh Duyvendak yang dikutipoleh
Liem Twan Djie (1996: 29) bahwa orang-orang Cina sangat gesit dan rajin serta
merekatidak segan bekerja dan tidak gentar menghadapi kesulitan demi
memperoleh uang. Oleh karenaorang Cina unggul di bidang perdagangan, orang
Cina pernah menjadi rebutan antara PangeranBanten dengan penjajah Belanda.
Pada tahun 1916, J.P. Cohen hendak memindahkan orang Cinayang berada di
Banten, yang jumlahnya diperkirakan sekitar 2000 orang ke Jakarta. Maksudnya
adalah agar perdagangan di Banten lumpuh sehingga Jakarta menggantikan posisi
Bantensebagai tempat penimbunan komoditas perdagangan. Namun usaha itu
dapat digagalkan olehPangeran Banten yang menyadari taktik jahat dari penguasa
penjajah Belanda itu. Sebab, pemindahan orang Cina dari Banten berakibat pada
lumpuhnya usaha perdagangan di Banten. (Hoetink dikutip Liem Twan Djie,
1996: 29).
Pendiskriminasian orang Cina terlepas dari apakah pendiskriminasian itu
menguntungkan orang Cina atau tidak berlanjut ke masa kolonial Jepang,dan
sampai ke masa pemerintahan Indonesia merdeka.Ketika Indonesia berada di
bawah penjajahan Belanda, etnis Cina hanya diperbolehkan bergerak di bidang
perdagangan. Tertutupnya akses etnis Cina berusaha di bidang laindisebabkan
oleh hambatan-hambatan perundang-undangan yang merintangi mereka.
Misalnya, pada tahun 1823 pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal Van
Der Capellenmengeluarkan peraturan yang melarang penyewaan tanah kepada
59
orang-orang Cina dan asinglainnya (Wie, 1995: 14).
Hal inilah yang mengawali mengapa orang Cina banyak bergerak di
bidang perdagangan.Pada masa penjajahan Jepang, etnis Cina digolongkan
sebagai bangsa asing yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 7 tanggal 11
April 1942. Oleh karena itu etnis atau orang Cinadiharuskan membayar pajak
bangsa asing misalnya untuk laki-laki f100 dan perempuan f50. Dengandemikian,
kemanapun etnis Cina dewasa bepergian, mereka diharuskan membawa kartu
pengenal asing dan surat jalan (Kwartanada, 1996: 31).
Pada masa pemerintahan Indonesia merdeka, praktek yang hampir mirip
dengan yangdilakukan oleh Jepang ketika menjajah Indonesia banyak terjadi.
Berbagai pungutan--baik resmiataupun tidak--harus dibawar oleh pengusaha
Tionghoa, sebagai "uang keamanan" mengingatstatus mereka sebagai minoritas
yang tidak disukai. Setiap etnis Tionghoa diwajibkan untuk memiliki SBKRI,
yang berfungsi sebagai "surat sakti" untuk berbagai keperluan, seperti untuk
masuk sekolah/kuliah (Kwartanada, 1996: 37).
Berbagai aturan yang dijelaskan itu, secara eksplisit dinyatakan bahwa
etnis Cina bukanlah orang "asli" Indonesia. Sebab, yang diwajibkan untuk
melengkapi persyaratan sebagaiwarga negara Indonesia seperti di atas hanyalah
etnis Cina atau warga asing yang menjadi warganegara Indonesia. Padahal dilihat
dari segi historis, etnis Cina sudah lama diakui keberadaannyadi Indonesia.
Walaupun demikian, etnis Cina masih dikategorikan sebagai orang asing.
60
Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan
Eropa atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga
pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali,
Ambon, Jawa dan lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin
komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi
penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara
mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng
Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta,
Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.
Terdapat juga beberapa kelompok etnis Cina yang pernah berjuang
melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa,
kelompok etnis Cina berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan
Barat, komunitas Cina yang tergabung dalam “Republik” Lanfong berperang
dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra
kemerdekaan, beberapa kali etnis Cina menjadi sasaran pembunuhan massal atau
penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang
Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan
dari etnis Cina yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula
oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram.
Orang Cina tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan
Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Cina di sejumlah kota besar di
Hindia Belanda.
61
Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam
sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-
lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi
sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi
Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki
oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie,
1991:322-323).
Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh
etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan
negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif
meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara
kuantitas hampir tidak ada.
Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-
anak Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk
sekolah Belanda, tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka
pada tahun 1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan
nama Tionghoa Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan
di berbagai kota di Hindia Belanda.
Munculnya nasionalisme Indonesia berkaitan erat dengan adanya
kolonialisme Belanda di Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah
yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan-tekanan disebut
nasionalisme. Melalui keinginan bersama yang didasarkan oleh persamaan
62
kepentingan itu akhirnya menciptakan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme
mengacu pada paham yang mementingkan perbaikan dan kesejahteraan nasio atau
bangsanya. Kelompok-kelompok suku atau etnik-etnik yang bersifat lokal
dikoordinasikan secara kolektif untuk menuju keinginan bersama dan klimaksnya
adalah pembentukan nasion Indonesia. Renan menyebut nasion sebagai keinginan
untuk ada bersama atau keinginan untuk hidup bersama. Etnik-etnik yang ada di
Indonesia salah satunya adalah etnis Tionghoa.
Orang Tionghoa dalam berbagai hal hampir tidak pernah disebutkan secara
panjang lebar meskipun banyak bukti sejarah yang menunjukkan sumbangan etnis
Tionghoa bagi perkembangan Indonesia, misalnya dalam bidang agama,
kesusasteraan, bahasa, kesenian, olah raga, bangunan, teknologi makanan dan
dalam bidang kedokteran. Bahkan gambaran umum mengenai etnis Tionghoa di
Indonesia yang ada selama ini adalah stigma bahwa golongan Tionghoa
merupakan “binatang ekonomi” (economic animal) yang bersifat oportunis, tidak
memiliki loyalitas politik, tidak nasionalis, dan hanya memikirkan kepentingan
diri sendiri. Kalaupun masyarakat etnis Tionghoa banyak berkaitan dengan
peranannya di bidang ekonomi sebagai penguasa jalur ekonomi perantara yang
banyak merugikan masyarakat pribumi dari kota sampai pelosok desa. Berkaitan
dengan masalah nasionalisme khususnya dalam usaha mencapai kemerdekaan,
Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa adalah dengan didirikannya
Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Jakarta oleh
orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat. Perlakuan hukum dan peradilan yang
diskriminatif oleh pemerintah Kolonial Belanda telah membangkitkan kesadaran
63
nasional di kalangan etnis Tionghoa di Indonesia. Di masa kolonial ada Undang-
undang Agraria (1870) yang melarang orang-orang Asing (termasuk Cina)
bergerak di bidang pertanian. Puncak tragedi orang Tionghoa di Indonesia
terjadi dengan terjadinya Pembantaian orang Cina oleh Kompeni VOC tahun
1740 di Batavia, yang kemudian meluas menjadi Geger Pacinan atau Perang
Cina di Jawa. Sementara itu perubahan situasi di Cina Daratan terbukti juga
berpengaruh terhadap sikap dan orientasi orang Cina di Indonesia. Kebangkitan
Nasional di Daratan Cina pada awal Abad XX, telah mendorong munculnya
perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tanggal 17 Maret 1900,
disusul berdirinya sekolah-sekolah dasar Tionghoa dengan sistim modern, dengan
bahasa pengantar bahasa Mandarin. Lembaga-lembaga ini ternyata begitu efektif
untuk “Men-Cinakan kembali” orang-orang yang disebut Cina Peranakan (Tan
Swee Ling, 2000:3).
Di zaman pemerintahan Hindia Belanda orang Cina, bersama dengan
orang Arab, secara hukum digolongkan sebagai Orang Timur Asing dengan
implikasi bahwa hukum yang diberlakukan kepada mereka bukan hukum Belanda
atau hukum adat dari Pribumi. Dampaknya adalah bahwa mereka itu tidak
tergolong sebagai Belanda dan tidak tergolong pula sebagai pribumi. Mereka
adalah Orang Asing dari Timur. Mereka mempunyai hak untuk mengajukan diri
menjadi warganegara Belanda, sehingga hukum yang diberlakukan kepada
mereka adalah sama dengan yang diberlakukan terhadap orang-orang Belanda
yang ada di Indonesia. Sebagian dari mereka yang berhasil dalam bisnis, yang
dapat membiayai sekolah anak-anak mereka di sekolah Belanda, menghasilkan
64
generasi orang Cina yang berpendidikan Barat dan yang cenderung menjadi
Kristen. Sebagian dari mereka inilah yang kemudian memanfaatkan kesempatan
untuk menjadi warganegara Belanda.
Pada sisi lain pengisolasian pemukiman orang Tionghoa oleh pihak
Kolonial, sehingga terbentuk kampung-kampung Cina atau Pecinan (China
Town), ditambah stratifikasi sosial versi kolonial yang membagi masyarakat
menjadi tiga kelas, yakni kelas satu untuk orang Eropa, kelas dua untuk Orang-
orang Timur Asing (termasuk Tionghoa) dan pribumi sebagai klas terendah,
barangkali juga menjadi salah satu faktor penyebab munculnya dis-integrasi dan
konflik-konflik sosial di masa-masa kemudian.
Di Kalimantan Barat, terutama di kota Pontianak dan Singkawang serta di
daerah-daerah sekitarnya terdapat komuniti-komuniti orang Cina. Mereka yang di
daerah perkotaan terutama hidup dari berdagang dan berbagai kegiatan jasa dan
buruh, sedangkan yang hidup di daerah pedesaan dari bertani, menangkap ikan,
disamping menjadi pedagang dan buruh. Mereka mengelompok dalam komuniti-
komuniti asal daerah mereka di Cina, mempertahankan kebudayaan dan bahasa
asal mereka, disamping mengadaptasi diri dengan kebudayaan Melayu
setempat. Mereka juga mempertahankan keyakinan keagamaan Konghucu dan
pemujaan ritual kepada nenek moyang, walaupun di masa Orde Baru mereka itu
menyembunyikan keyakinan keagamaan ini di bawah label agama
Budha. Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan
Eropa atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga
pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali,
65
Ambon, Jawa dan lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin
komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi
penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara
mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng
Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia.
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang
melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa,
kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan
Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam “Republik” Lanfong berperang
dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra
kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal
atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa
perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan
perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah
yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya
kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di
sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis
Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam
sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-
lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi
sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi
Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki
66
oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-
323).
Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh
etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan
negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif
meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara
kuantitas hampir tidak ada.
Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-
anak Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk
sekolah Belanda, tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka
pada tahun 1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan
nama Tionghoa Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan
di berbagai kota di Hindia Belanda.
Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadap sekolah THHK ini mulai besar,
banyak guru yang dikirim ke Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan
baru ini pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau tidak dapat menguasai gerak
orang Tionghoa maka didirikan sekolah Belanda untuk orang Tionghoa. Namun
biaya di sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk
mereka yang kaya, maka anak Tionghoa yang sekolah di THHK lebih banyak.
Dalam perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena lulusan
dari sekolah Belanda gajinya lebih besar dan lebih mudah mencari pekerjaan di
kantor-kantor besar. Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi
kenyataannya tidak. Para pengelola eTHHK ini ternyata lebih tanggap terhadap
67
perubahan jaman sehingga masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa,
bahkan hingga kini masih ada dan dikenal sebagai salah satu skolah nasional
B. Masa Orde Lama
Pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat
mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Pada tahun
1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu
belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan
Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri
dibelakang Republik Indonesia. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak
ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen
dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk barisan
berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan sesuai contoh batalyon
Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke II, di Malang
ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lain-lain kesatuan
bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (gol. Menado), Trip (pelajar) dsb.
Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan
bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tsb.
Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk
masing-masing masuk kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi.
Namun etnis Cina yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru
menjadi sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI
yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis
pasti orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa
68
G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis
Tionghoa selain kierusuhan Mei 98.
C. Masa Orde Baru
Di awal kemerdekaan, secara umum keberadaan orang Tionghoa dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, adalah kelompok yang
berorientasi ke Indonesia, dari kelompok ini banyak tokoh yang begitu gigih
memperjuangkan terbentuknya nation and character building di Indonesia.
Kedua, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok, diantara mereka ini adalah
sekitar 40.000 orang Tionghoa yang di tahun 1949 menolak tawaran
kewarganegaraan pemerintah RI dan memilih pulang ke negeri leluhur. Ketiga,
adalah kelompok Tionghoa yang berorientasi ke Barat (Greif, 1991:11).
Dalam zaman Orde Baru ini pemerintah memberlakukan berbagai
peraturan sebagai cara untuk mengontrol orang-orang Cina di
Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah diskriminasi
secara hukum terhadap orang Cina karena mereka itu dianggap asing dan
kesetiaan mereka terhadap negara dan bangsa Indonesia diragukan oleh
pemerintah. Secara sosial, tindakan-tindakan yang diskriminatif secara hukum
itu diikuti oleh anggota-anggota masyarakat yang pribumi yang berkepentingan
untuk menguasai atau mengambil alih kekuasaan orang-orang Cina dalam bidang
bisnis dan perdagangan. Dampak dari tindakan-tindakan diskriminatif tersebut
adalah pemalakan, pemerasan, dan bahkan pembakaran dan penghancuran rumah
dan pertokoan mereka, tanpa orang-orang Cina ini dapat memperoleh
perlindungan sewajarnya secara hukum dan keamanan.
69
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia,
yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi
ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi
keberadaan Komunis di Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim
Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan
keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal
ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di
samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang
kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara
Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif
terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial
budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat
Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat
itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya
menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono
Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke
dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978.
Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan
yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian
dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia
yaitu:
Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang
70
masalah ganti nama.
Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang
Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam
Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.
Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967,
tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI
keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya
kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing
yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.
Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang
tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah
nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak
daripada murid-murid WNA Cina.
Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang
penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.
Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No.
02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/
iklan beraksen dan berbahasa Cina.
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967,
warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan
kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di
Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima
71
pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada
jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa
untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk
diajarkan dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru
ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati
kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari
raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah
Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian
ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski
beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional
Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
72
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
D. Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan
perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya
memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan
pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis,
walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan
birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-
Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah
menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi
terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya,
ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah
menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara,
misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa
Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu,
pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid
Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk
menarik minat warga Tionghoa.
Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan
pemimpin masa orde baru. Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui
Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah
Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan
73
untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk
membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada
umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada
adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan
lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No
14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan
huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden
Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya
kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden
Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono,
agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis
Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi
WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan
yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin
memperbaharui paspor dan KTP.
Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan
pendidikan. Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka kembali melakukan kegiatan
sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di
pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi mereka
mulai berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka membuka
diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual agama dst.
Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah: ‘berakar di bumi tempat
berpijak’, artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya.
74
4.2.3 Perkembangan Etnis Cina Di Kota Gorontalo
Seperti kota-kota besar lain, Kota Gorontalo memiliki warga negara asing
yang berasal dari negeri Cina. Di Kota Gorontalo, perkampungan yang sebagian
warganya adalah keturunan etnis Cina ini disebut Kampung Cina, tepatnya berada
di kelurahan Biawao merupakan pusat permukiman orang pecinan pada jaman
Belanda.
Komunitas Cina di Gorontalo, yang secara historis telah melakukan
hubungan dagang sejak awal abad Masehi dan tentunya juga mempunyai sejarah
yang panjang tentang pemukimannya. Meskipun demikian, keterbatasan data
tidak memungkinkan untuk merekonstruksi pola pemukimannya sejak awal
kehadiran mereka di Gorontalo. Pemukiman masyarakat Cina di Gorontalo
dimulai sejak masa kolonial. Terjalin hubungan dagang anatara Cina dengan
Gorontalo tidak hanya hubungan dagang saja yang terjalin di anatara kedua
wilayah ini, melainkan juga hubungan agama.
Berdasarkan data sejarah dapat diketahui bahwa kelompok etnis Cina
sudah mulai mengadakan kontak dagang sejak masa kolnial, saat daerah ini masih
Pada masa kemudian kedatangan orang-orang Cina yang menetap di Gorontalo
justru melahirkan kepemimpinan kelompok etnis Cina di wilayah ini.
Etnis Cina yang ada di Gorontalo berasal dari Canton, Chang-chou dan
Ch’uan-chou. Pemukiman masyarakat Cina terdapat di Kota Gorontalo yang
secara administratif termasuk wilayah Kelurahan Biawao, kecamatan Kota Selatan
Kota Gorontalo, yang tepatnya berada di pusat Kota.
75
Masyarakat Cina yang merupakan bagian dari penduduk Gorontalo
tentunya pola pemukimannya tidak jauh berbeda. Awalnya kelompok etnis Cina,
seperti halnya masyarakat asing lainnya yang bermukim di wilayah Gorontalo,
yang berdasarkan status sosial, pekerjaan dan etnis telah terjadi di Gorontalo.
Pemukiman etnis Cina ini ditandai dengan adanya kelenteng dan
pemakaman masyarakat yang berasal dari negeri Cina. Di kawasan tersebut
banyak terdapat rumah bertingkat dengan arsitektur Cina. Arsitektur bangunan di
kawasan ini memang didominasi dengan nuansa tempo dulu. Rumah-rumah di
kawasan ini kebanyakan dibangun memanjang ke belakang, dan digunakan
sebagai toko oleh para pemiliknya yang kemudian disebut sebagai rumah toko
atau ruko, juga terdapat kuil tempat untuk peribadatan yang disebut dengan nama
Klenteng.
Para penghuninya kebanyakan bermatapencaharian sebagai pedagang /
pengusaha. Para warganya juga membuka toko penyedia kebutuhan pokok dan
berbagai macam alat-alat elektronik. Orang-orang cina sangat berperan dalam hal
perekonomian di kota Gorontalo. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya
bangunan-bangunan dan toko-toko yang pada umumnya yang berasal dari orang-
orang Cina itu sendiri. Etnis Cina sudah lama menempati wilayah kota Gorontalo
sejak zaman dulu (sebelum kemerdekaan Indonesia). Sesuai dengan pengamatan
penulis terdapat beberapa pendapat dari kalangan orang Cina yang menjelaskan
tentang perkembangan etnis Cina di Kota Gorontalo diantanya sebagai berikut :
Menurut Guru Hong (Salah seorang pendeta di Klenteng) mengatakan bahwa Penyebaran orang Cina terjadi dari zaman dulu, Sejak abad ke-15, orang Cina telah datang ke Tanah Melayu. Pembukaan Melaka dan
76
hubungan perdagangan di antara Melaka dengan negara China menggalakkan kedatangan orang Cina. Penghijrahan orang Cina semakin bertambah menjelang awal abad ke-19. Orang Cina telah berhijrah ke Negeri-negeri Selat akibat perkembangan perdagangan di Pulau Pinang dan Singapura serta dasar pemerintahan British di Pulau Pinang dan Singapura yang longgar memudahkan lagi kemasukan imigran Cina. Orang Cina berhijrah ke Johor pada masa pemerintahan Temenggung Ibrahim (1825-1862) untuk membuka ladang gambir dan lada hitam. Penghijrahan masuk orang Cina meningkat lagi pada pertengahan abad ke-19. Mereka berhijrah secara beramai-ramai untuk bekerja sebagai buruh di lombong bijih timah dan ladang lada hitam. Orang Cina kebanyakan berasal dari sepanjang sungai Kuning dan Sungai Yangzi, yang berada di tengah daratan Tiongkok, waktu itu disebut Tiongguan atau Dataran Tengah. Karena suku yang mendiami di daerah itu adalah orang Hua, sedang dinasti tertua adalah dinasti Xia, maka suku Hua itu sering disebut suku Huaxia. Suku Hua ini kemudian menyebar ke selatan dan tenggara Tiongkok, dan menyebar lagi ke arah barat.Sedang suku Hua yang berada di utara selalu berperang melawan serangan-serangan suku di utara, itulah sebabnya para kaisar sejak dulu membangun Tembok Besar untuk menahan musuh. Transmigrasi terjadi berlangsung terus, setelah pelayaran berkembang, orang Hua ini menyeberang lautan ke Asia Tenggara, inilah asal usul orang Cina di Indonesia dan akhirnya kami sampai di Gorontalo. Tiong adalah tengah, Hua adalah nama sukunya, jadilah yang disebut orang Tionghoa, dalam bahasa Mandarin adalah Huaren (orang Hua). Ditambahkan pula oleh informan bernama Ko’ Candra menuturkan, bahwa pada awal kedatangan etnis Cina sebagai kuli kontrak di Pulau Jawa. Mereka mengeruk tanah untuk mengumpulkan butiran-butiran timah. Mereka juga membangun permukiman di sekitar tempat kerja dengan sebutan "parit",yang mengacu pada lubang-lubang galian tambang. Seiring dengan perkembangan penduduk dipulau Jawa dan dengan adanya peraturan pemerintah tentang untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa maka, permukiman kuli kontrak ini juga menyebar ke berbagai pelosok Nusantara termasuk ke wilayah Gorontalo. Hingga sampai detik ini, terutama di wilayah perkotaan, terdapat pemukiman penduduk masyarakat Cina yang diberinama dengan sebutan Kampung Cina. Berangkat dari penjelasan salah seorang pendeta buda bahwa orang-orang
cina masuk ke Gorontalo pada walnya berasal dari sepanjang sungai kuning. Hal senada juga terdapat penjelasan salah seorang warga Cina yang yang mengatakan bahwa :
kami sudah mendiami wilayah Gorontalo jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi Orang-orang Hua yang datang duluan, melalui kontrak kerja atau datang sendiri, lazimnya hanya laki-laki muda, mereka
77
kemudian menikah dengan penduduk setempat, dan lahirlah orang-orang Cina dari hasil perkawinan campuran. Jumlah mereka juga tak sebanyak penduduk pribumi, maka mereka menyerap kebudayaan dan menggunakan bahasa setempat. Ini asal mula sebutan peranakan.Kedatangan orang Tionghoa tak pernah berhenti. (Ko’ Kiyong). Pada pernyataan lain juga seorang pengusaha cina yang sudah lama yang
mendiami wilayah kota Gorontalo mengatakan bahwa :
Saya sudah lama berada di Gorontalo jauh sejak pemerintahan/penjajahan Belanda. Saya datang dari negeri Cina masuk ke Indonesia pertama kali di Jawa Timur, kemudian pada waktu itu terjadi transmigrasi maka saya mendapatkan tempat saya berada di Gorontalo. (Ko Candra). Disisi lain, selain masukya etnis cina di gorontalo khususnya di kota
Gorontalo dibawah ini terdapat pernyataan dari :
Ci Lin menambahkan bawa Orang Cina masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1740an jumlah kami pada saat masih sedikit. Ayah saya orang Cina asli yang berasal dari suku Han. Ketika itu terjadi perang dan kekacauan, beliau memutuskan untuk berlayar dengan teman-teman, mula-mula mereka sampai di kalimantan, kemudian tak lama di kalimantan beliau berlayar lagi sehingga sampai di Gorontalo dan akhirnya meninggal dunia di kelurahan Biawu
Ditambahkan pula oleh :
Yan Se bahwa kami datang ke Gorontalo berawal dari keinginan kami untuk mencari wilayah yang baik untuk berdagang.
4.2.3 Faktor-Faktor Yang Melatar Belakangi Masuknya Etnis Di Cina Di
Kota Gorontalo
Perubahan masyarakat pada umumnya dapat terjadi dengan sendirinya
secara wajar dan teratur, terutama apabila, perubahan itu sesuai dengan
kepentingan masyarakat jika tidak biasanya masyarakat akan terganggu akibat
perubahan itu sendiri akan tetapi pada kondisi tertentu jika keadaan sekarang di
anggap tidak berkemajuan atau tidak memuaskan lagi.
78
Salah satu dasar terbentuknya pecinan adalah karena faktor sosial, dimana
merupakan keinginan masyarakat Tionghoa sendiri untuk hidup berkelompok
karena adanya perasaan aman dan dapat saling bantu-membantu.
Pada bagian ini penulis menguraikan tentang faktor-faktor yang melatar
belakangi sehingga masuknya orang-orang di Cina di Kota Gorontalo.
Keberadaan masyarakat Tionghoa di kota Gorontalo, tidak jauh berebeda dengan
kedatangan orang China ke Indonesia. Umumnya para perantau China selalu
bermukim di dekat pasar, baik itu pasar tradisional yang memperdagangkan
komoditas lokal maupun komoditas ekspor impor. Hal itu dilatar belakangi
kegiatan orang Tionghoa banyak berhubungan dengan perdagangan. Untuk
mempermudah aktifitas mereka dalam berdaganag, maka ia membangun suatu
komunitas atau perkampungan. menurut hasil wawancara dengan warga
masyarakat yang berasal dari Cina antara lain :
Guru Hong berpendapat bahwa arus imigrasi orang cina ke indonesia beberapa hal: a) Pertempuran yang tak kunjung selesai, perebutan kekuasaan antara
para raja, atau pejabat setempat. b) Perang antar suku, orang Hua lawan suku-suku utara yang jumlahnya
tak banyak tapi kemampuannya perangnya luar biasa, seperti suku Xianbei, suku Qidan, suku Nvzhen (kemudian disebut Manzu), suku Mongol dll. Suku di selatan relatif lebih lemah, sehingga kepindahan ke selatan berjalan lebih mulus.
c) Ingin berdagang ke daerah baru mencari kehidupan baru, d) Kekurangan tenaga kerja di Asia Tenggara e) Terdorong mencari kehidupan yang lebih baik. Selain itu juga kedatangan orang-orang Cina ke Indonesia, seperti
dikemukakan oleh ko Kiyong bahwa kedatang mereka ke Indonesia khususnya ke
Gorontalo, bertujuan untuk berdagang.
79
Ditambahkan pula bahwa faktor pendorong kedatangan orang-orang Cina
ke Gorontalo yaitu ingin memperoleh kehidupan yang lebih baik dan dapat
meneruskan atau melangsungkan keturunan dengan baik.
Dari beberapa penjelasan dari warga masyarakat Cina yang ada di Kota
Gorontalo bahwa dapat diperoleh gambaran mengenai faktor kedatangan mereka
ke Kota Gorontalo selain berdagang mereka juga ingin merubah pola hidup.