bab iv hasil penelitian dan pembahasan 1.1 gambaran...

32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo berkedudukan di jalan Prof. Dr. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 Kelurahan Wongkaditi Timur Kecamatan Kota Utara Gorontalo Provinsi Gorontalo, Terletak diarea lahan seluas 54.000 M 2 . Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama RSU Kotamadya gorontalo. Semula hanya satu gedung yang terdiri dari 4 ruangan yaitu : Apotik, Poliklinik dan Rawat inap. Pada tanggal 17 September tahun 1987 berumah nama menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Gorontalo yang diambil dari nama seorang perintis kemerdekaan Putera Daerah yang diabadikan sebagai penghargaan atas pengabdiannya di bidang kesehatan dan ditetapkan berdasarkan SK Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun 1987. Tahun 1991 dan tahun 1992 sitambah Spesialis Mata dan tahun 1995 ditambah Spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Pada tanggal 31 Agustus 1995 oleh Pemerintah Daerah Tingkat II (Walikotamadya Gorontalo) diusulkan kenaikan kelas Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr.H. Aloei Saboe dari kelas C ke kelas B non Pendidikan. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Gorontalo Nomor : 315 tanggal 25 Maret tahun 2002 Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe

Upload: truongnga

Post on 07-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo

berkedudukan di jalan Prof. Dr. H. Aloei Saboe Nomor 91 RT 1 RW 4 Kelurahan

Wongkaditi Timur Kecamatan Kota Utara Gorontalo Provinsi Gorontalo, Terletak

diarea lahan seluas 54.000 M2.

Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo

dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama RSU

Kotamadya gorontalo. Semula hanya satu gedung yang terdiri dari 4 ruangan yaitu

: Apotik, Poliklinik dan Rawat inap.

Pada tanggal 17 September tahun 1987 berumah nama menjadi

Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Gorontalo yang diambil

dari nama seorang perintis kemerdekaan Putera Daerah yang diabadikan sebagai

penghargaan atas pengabdiannya di bidang kesehatan dan ditetapkan berdasarkan

SK Walikotamadya Gorontalo Nomor 97 Tahun 1987. Tahun 1991 dan tahun

1992 sitambah Spesialis Mata dan tahun 1995 ditambah Spesialis Telinga, Hidung

dan Tenggorokan. Pada tanggal 31 Agustus 1995 oleh Pemerintah Daerah Tingkat

II (Walikotamadya Gorontalo) diusulkan kenaikan kelas Rumah Sakit Umum

Daerah Prof Dr.H. Aloei Saboe dari kelas C ke kelas B non Pendidikan.

Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Gorontalo Nomor : 315

tanggal 25 Maret tahun 2002 Rumah Sakit Umum Prof.Dr.H.Aloei Saboe

merupakan bagian dari Organisasi Tata Kerja Pemerintah Kota Gorontalo yaitu

Badan Pengelola kelas Rumah Sakit Umum Daerah Prof Dr.H. Aloei Saboe Kota

Gorontato. Pada tanggal 29 Januari 2009 Rumah Sakit Prof. Dr.H. Alaei Saboe

Kota Gorontalo ditetapkan sebagai Rumah Sakit kelas B berdasarkan SK

MENKES Nomor 084 MENKES/SK/I/2009.

Status pengelolahan Rumah Sakit Prof. Dr.H. Alaei Saboe sejak bulan

Desember 2009 telah ditetapkan sebagai penyelenggaraan pada pengelolahan

keuangan BLU Daerah (PPK-BLUD) melalui surat keputuan Walikota Gorontalo

Nomor : 318Tahun 2009 tanggal 30 Desember 2009.

Rata–rata kunjungan perhari di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota

Gorontalo sebanyak 365 pasien/hari untuk kunjungan poliklinik, dan jumlah

tempat tidur di Rumah Sakit Umum Daerah RSU Prof.Dr.H. Aloei Saboe

Gorontalo saat ini 300 tempat tidur untuk rawat inap dengan perincian sebagai

berikut : Klas III 150 tempat tidur, Klas II 90 tempat tidur, Klas I 40 tempat tidur,

VIP 20 tempat tidur dengan rata – rata tingkat hunian (Bed Occupancy Ratio /

BOR) tahun 2012/2013 = 89 %.

Sementara untuk ruangan G2(Bedah Atas) sendiri terbagi menjadi 2

kelas, yaitu kelas II dan kelas III yang masing-masing mempunyai 10 kamar di

tiap kelas. Adapun pasien yang dirawat inap terdiri dari pasien pre dan post

operasi termasuk salah satunya appendictomy. Menurut laporan bulanan untuk

periode januari – april tahun 2013 yang melakukan operasi appenddicitis

sebanyak 129 pasien.

4.2 Hasil Penelitian

Pengumpulan data pada penelitian Analisis Faktor-faktor yang

mempengaruhi proses penyembuhan luka post appendictomy di Rumah Sakit

Umum Daerah Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo tahun 2013, dilaksanakan

pada tanggal 14 Mei – 30 Mei 2013. Penelitian ini dilaksanakan di ruang G2

(bedah atas) kelas III RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo sehingga

keadaan seluruh responden dapat disamakan dari segi faktor yang tidak diteliti

seperti faktor sirkulasi dan oksigenasi, iskemia, dan benda asing. Penelitian

dilakukan dengan menggunakan Kuesioner yang secara langsung diberikan

kepada responden yang bersedia dan menandatangani Informed Consent (Lembar

Persetujuan Responden) sekaligus dengan mengobservasi keadaan luka

responden.

Sampel penelitian secara keseluruhan berjumlah 38 responden. Data

yang diperoleh dari pengisian kuesioner oleh responden selanjutnya dilakukan

pengolahan data yang hasilnya disajikan dalam bentuk analisis univariat

(Distrisbusi Frekuensi Responden), analisis bivarat ( pengaruh variabel

independent terhadap variabel dependent), dengan menggunakan Uji Chi-Square.

Dan analisis multivariat ( analisis besarnya pengaruh dari masing-masing variabel

Independent terhadap variabel dependent) dengan menggunakan uji regresi.

4.2.1 Analisis Univariat

Analisis univariat pada penelitian ini bertujuan untuk melihat

karakteristik responden, distribusi frekuensi dari variabel independent maupun

variabel dependent pada pasien Post appendictomy.

Adapun penjelasannya dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 4.1

Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD Prof. Dr. Aloei

Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Jenis Kelamin Jumlah

N %

Laki-laki 16 42.1

Perempuan 22 57.9

Total 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, dapat diketahui bahwa responden

dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 16 responden (42.1 %), sedangkan

responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 22 responden (57.9%).

Tabel 4.2

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di RSUD Prof. Dr. Aloei

Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Umur Jumlah

N %

12-25 Tahun 18 47.4

26-45 Tahun 7 18.4

46-65 Tahun 13 34.2

Total 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa responden dengan

umur 12-25 tahun (remaja) didapatkan sebanyak 18 responden (47.4%),

responden dengan umur 26-45 tahun (dewasa) sebanyak 7 responden (18.4%), dan

responden dengan umur 46-65 tahun (usia lanjut) sebanyak 13 responden (34.2

%).

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan IMT Responden di RSUD Prof. Dr.

Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

IMT Jumlah

N %

IMT > 27 15 39.5

IMT ≤ 27 23 60.5

Total 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan responden dengan IMT > 27

(obesitas) sebanyak 15 responden (39.5%), sedangkan responden dengan IMT ≤

27 (tidak obesitas) sebanyak 23 responden (60.5%).

Tabel 4.4

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kebiasaan Merokok Responden di

RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Kebiasaan Merokok Jumlah

N %

Perokok 13 34.2

Bukan Perokok 25 65.8

Total 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan responden yang memiliki

kebiasaan merokok (perokok) sebanyak 13 responden (34.2%), sedangkan

responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok (bukan perokok) sebanyak 25

responden (65.8%)

Tabel 4.5

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Nutrisi Responden di RSUD Prof.

Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Nutrisi Jumlah

N %

Kurang 20 52.6

Baik 18 47.4

Total 38 100

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian responden

memiliki nutrisi yang baik sebanyak 18 responden (47.4%), sedangkan sebagian

lagi memiliki nutrisi yang kurang baik sebanyak 20 responden (52.6%).

Tabel 4.6

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Mobilisasi Dini Responden di

RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Mobilisasi Dini Jumlah

N %

Kurang 16 42.1

Baik 22 57.9

Total 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa responden dengan

mobilisasi yang baik sebanyak 16 (42.1%), sedangkan responden dengan

mobilisasi yang kurang sebanyak 22 responden (57.9%).

Tabel 4.7

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Penyembuhan Luka di RSUD Prof.

Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Penyembuhan Luka Jumlah

N %

Sembuh 21 55.3

Tidak Sembuh 17 44.7

Total 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden dengan luka

sembuh sebanyak 21 responden (55.3%) sedangkan responden dengan luka tidak

sembuh sebanyak 17 responden (44.7%).

4.2.2 Analisis Bivariat

Analisis Bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh variabel

Independent (Umur, IMT, Kebiasaan Merokok, Nutrisi, dan Mobilisasi) terhadap

variabel Dependent (Proses Penyembuhan Luka) pada pasien post appendiktomy

di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo, maka digunakan uji chi-square

dengan tingkat kemaknaan α = 0,05, maka ketentuan bahwa pengaruh variabel

Independent (Umur, IMT, Kebiasaan Merokok, Nutrisi, dan Mobilisasi) memiliki

pengaruh terhadap variabel Dependent (Proses Penyembuhan Luka) atau H0

ditolak dan Ha diterima apabila P Value < 0,05.

1. Pengaruh Umur Terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendiktomy

Berdasarkan hasil analisis bivariat, pengaruh umur terhadap proses penyembuhan

luka post appendictomy tidak layak untuk diuji chi-square terdapat 2 sel (33.3%)

yang memiliki nilai expectednya kurang dari 5 (lima), sehingga dilakukan

penggabungan sel yang dapat dilihat pada tabel 4.8

Tabel 4.8

Pengaruh Umur Terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendictomy di

RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Umur

Responden

Penyembuhan Luka Total P Nilai RO

(Rasio

Odds) Sembuh Tidak Sembuh

n % n % n %

12-25

Tahun dan

26-45

Tahun

18 85,7 7 41,2 25 65.8 0.004 0.11

46-65

Tahun

3 14.3 10 58.8 13 34.2

Total 21 100 17 100 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.8 diatas, menunjukkan dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, responden yang mengalami luka sembuh pada umur 12-

25 tahun dan 26-45 tahun yaitu sebanyak 18 responden (85.7%) sedangkan

responden dengan umur 12-25 tahun dan 26-45 tahun yang mengalami luka tidak

sembuh sebanyak 7 responden (41.2%). Sementara responden yang mengalami

luka sembuh pada umur 46-65 tahun sebanyak 3 responden (14.3%), sedangkan

respoden yang mengalami lika tidak sembuh pada usia 46-65 tahun sebanyak 10

responden (58.8%).

Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai p value = 0.004 yang

berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian Ha diterima dan H0 ditolak,

artinya umur mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penyembuhan luka.

Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 0.11 dengan IK 95% 0.02-0.55, artinya

pasien dengan umur 46-65 tahun mempunyai kemungkinan 0.11 kali untuk

mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan umur 12-25 tahun dan

26-45 tahun.

2. Pengaruh IMT (obesitas) terhadap penyembuhan luka post appendiktomy,

dapat dilihat pada tabel 4.9.

Tabel 4.9

Pengaruh IMT terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendictomy di RSUD

Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

IMT Penyembuhan Luka P RO

(Rasio

Odds) Sembuh Tidak Sembh Total

n % n % n %

> 27 3 14.3 12 70.6 15 39.5 0.000 14.40

≤ 27 18 85.7 5 29.4 23 60.5

Total 21 100 17 100 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.9 di atas, menunjukkan dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, responden yang mengalami luka sembuh dengan IMT >

27 (Obesitas) sebanyak 3 responden (14.3 %) sedangkan responden dengan IMT >

27 (Obesitas) yang mengalami luka tida sembuh sebanyak 12 responden (70.6%).

Responden yang mengalami luka sembuh dengan IMT ≤ 27 (Tidak Obesitas)

sebanyak 18 responden (85.7%) sedangkan responden dengan IMT ≤ 27 (Tidak

Obesitas) yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 5 responden (29.4%).

Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0.000 yang berarti

lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ha diterima

dan H0 ditolak, artinya IMT mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

penyembuhan luka.

Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 14.40 dengan IK 95% 2.88-71.82,

artinya pasien dengan IMT > 27 (obesitas) mempunyai kemungkinan 14.40 kali

untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan IMT ≤ 27 (tidak

Obesitas).

3. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka, dapat

dilihat pada tabel 4.10

Tabel 4.10

Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Proses Penyembuhan Luka Post

Appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Kebiasaan

Merokok

Penyembuhan Luka p RO

(Rasio

Odds) Sembuh Tidak Sembh Total

N % n % n %

Perokok 4 19.0 9 52.9 13 42.1 0.029 4.78

Bukan

perokok

17 81.0 8 47.1 25 57.9

Total 21 100 17 100 38 100

Sumber : data primer

Berdasarkan tabel 4.10 di atas menunjukkan bahwa dari seluruh

sampel yang berjumlah 38 responden, responden dengan kategori perokok yang

mengalami luka sembuh sebanyak 4 responden (19.0%), dan responden dengan

kategori perokok yang megalami luka tidak sembuh sebanyak 9 responden

(552.9%) sedangkan responden dengan kategori bukan perokok yang mengalami

luka sembuh sebanyak 17 responden (81.0%) dan responden dengan kategori

bukan perokok yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 8 responden

(47.1%).

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p = 0.029

yang berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan Ha

diterima dan H0 ditolak, artinya ada pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses

penyembuhan luka.

Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 4.78 dengan IK 95% 1.12-20.31,

artinya pasien yang perokok mempunyai kemungkinan 4.78 kali untuk mengalami

luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan kategori bukan perokok.

4. Pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka, dapat dilihat pada

tabel 4.11

Tabel 4.11

Pengaruh Nutrisi terhadap Proses Penyembuhan Luka Post Appendictomy di

RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Nutrisi Penyembuhan Luka p RO

(Rasio

Odds) Sembuh Tidak Sembh Total

N % n % n %

Kurang 3 14.3 15 88.2 18 47.4 0.000 45.00

Baik 18 85.7 2 11.8 20 52.6

Total 21 100 17 100 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.11 di atas, menunjukkan dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, responden yang mengalami luka sembuh dengan nutrisi

yang baik sebanyak 18 responden (85.7%) dan responden dengan nutrisi yang

baik yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 2 responden (11.8%).

Sedangkan responden yang mengalami luka sembuh dengan nutrisi yang kurang

sebanyak 3 responden (14.3%) dan responden dengan nutrisi yang kurang yang

mengalami luka tidak sembuh sebanyak 15 responden (88.2%).

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value =

0.000 yang berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan

Ha diterima dan H0 ditolak, artinya nutrisi mempunyai pengaruh yang signifikan

terhadap penyembuhan luka.

Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 45.00 dengan IK 95% 5.09-199.48,

artinya pasien dengan nutrisi yang kurang mempunyai kemungkinan 45 kali untuk

mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan nutrisi yang baik.

5. Pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka, dapat dilihat

pada tabel 4.12

Tabel 4.12

Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap Proses Penyembuhan Luka Post

Appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun 2013

Mobilisasi

Dini

Penyembuhan Luka p RO

(Rasio

Odds) Sembuh Tidak Sembh Total

n % n % n %

Kurang

Baik

3 14.3 13 76.5 16 42.1 0.000 19.50

Baik 18 85.7 4 23.5 22 57.9

Total 21 100 17 100 38 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel 4.12 di atas menunjukkan dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, responden dengan mobilisasi baik yang mengalami luka

sembuh sebanyak 18 responden (85.7%) dan responden dengan mobilisasi baik

yang mengalami luka tidak sembuh sebanyak 4 responden (23.5%), sedangkan

responden dengan mobilisasi kurang baik yang mengalami luka sembuh sebanyak

3 responden (14.3%) dan responden dengan mobilisasi kurang baik yang

mengalami luka tidak sembuh sebanyak 13 responden (76.5%).

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value =

0.000 yang berarti lebih kecil dari α = 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan

Ha diterima dan H0 ditolak, artinya mobilisasi dini mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap penyembuhan luka.

Nilai RO (Rasio Odds) sebesar 19.50 dengan IK 95% 3.71-102.37,

artinya pasien dengan mobilisai dini yang kurang baik mempunyai kemungkinan

20 kali untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan pasien dengan

mobilisai dini yang baik.

4.2.3 Analisis Multivariat

1. Faktor yang paling berpengarug (Dominant) terhadap proses penyembuhan

luka post appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

Tabel 4.13

Analisi Multivariat

Variabel B S.E Wald df Sig.

Nutrisi -3.714 1.210 9.415 1 .002

Mobilisasi Dini -2.858 1.215 5.530 1 .019

Berdasarkan tabel 4.13 di atas, dapat diketahui bahwa dengan analisis

multivariat (metode Backward LR), hanya menyisakan nutrisi dan mobilisasi dini

yang merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap proses penyembuhan

luka post appendictomy dengan signifikansi Wald yang paling besar masing-

masing adalah nutrisi (9.415) dan mobilisasi dini (5.530). dengan demikian dapat

dikatakan bahwa nutrisi merupakan faktor yang paling berpengaruh (dominant)

terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy.

2. Menilai kulitas rumus yang diperoleh dari analisis multivariat

Dari hasil analisis multivariat, didapatkan persamaan untuk memprediksikan

seorang pasien untuk mengalami luka tidak sembuh sebagai berikut :

P = 1/ (1+ e –y

), dimana :

P : probabilitas untuk terjadinya suatu kejadian

e : bilangan natural = 2,7

y : konstanta + a1x1+a2x2+...+aixi

a : nilai koefisien tiap variabel

x : nilai variabel bebas

(Rumus umum untuk memprediksi variabel terikat)

Kualitas rumus yang diperoleh dapat dinilai berdasarkan Diskriminasi dan

kalibrasi

a. Diskriminasi

Diskriminasi dilihat berdasarkan Area Under Curve (AUC) pada analisis ROC.

Suatu rumus dikatakan memiliki diskriminasi yang baik jika nilai AUC semakin

mendekati angka 1. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.15.

Tabel 4.14

Area Under Curve

Area Std.Errora Asymptotic

Sig.b

Asymptotic 95% Confidence

Interval

Lower Bound Upper Bound

.063 .043 .000 .000 1.000

Berdasarkan tabel 4.14 di atas, dapat diketahui nilai AUC yang diperoleh adalah

0.063, dengan demikian, dapat dikatakan persamaan yang diperoleh memiliki

diskriminasi yang lemah.

b. Kalibrasi

Kalibrasi dinilai berdasarkan uji Hosmer and Lameshow Test. Suatu rumus

dikatakan memiliki kalibrasi yang baik apabila nilai p > 0.05 pada uji Hosmer and

Lameshow Test. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.16.

Tabel 4.15

Hosmer and Lameshow Test

Step Chi-Square Df Sig

1

2

3

4

5.521

3.121

2.557

1.357

6

5

3

2

.512

.681

.465

.507

Berdasarkan tabel 4.15 di atas, dapat diketahui bahwa nilai p pada uji

Hosmer and Lameshow Test yang diperoleh adalah 0.507. dengan demikian dapat

dikatakan persamaan yang diperoleh memiliki kalibrasi yang baik.

4.3 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian dan membandingkan dengan teori yang ada dapat

dikemukakan bahwa :

4.3.1 Pengaruh Umur terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy

Dari hasil analisis bivariat didapatkan hasil dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, menunjukkan sebagian besar responden yang mengalami

luka sembuh pada umur 12-25 tahun dan 26-45 tahun yaitu sebanyak 18

responden (85.7%) sedangkan sebagian kecilnya adalah responden yang

mengalami luka sembuh pada umur 46-65 tahun sebanyak 3 responden (14.3%).

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa masih ada 7

responden atau sebesar 41.2 % yang mengalami luka tidak sembuh pada usia 12-

25 tahun dan 26-45 tahun dan terdapat 3 responden (14.3%) yang mengalami luka

sembuh pada usia 46-65 tahun, sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya

luka tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor umur namun bisa juga

dari faktor obesitas dimana pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan lemak

sangat rentan terhadap terjadinya infeksi. Selain itu pasien obesitas sering sulit

dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring

miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca

operasi, kebiasaan merokok dimana pasien dengan riwayat rokok sering

mengalami gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah.

Hal ini mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka, selain itu, nutrisi dan

mobilisasi dini yang kurang dapat juga mempengaruhi proses penyembuhan luka.

Begitu pula dengan adanya luka sembuh pada usia 46-65 tahun yang seharusnya

pada usia tersebut mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain

seperti nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, bukan perokok, dan tidak obesitas,

sehingga membuat responden dengan usia tersebut mengalami luka sembuh. Hal

ini dapat berlaku sebaliknya.

Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh umur

terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy. Dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

menunjukkan bahwa umur pasien 46-65 tahun akan mempengaruhi penyembuhan

luka dimana pasien dengan umur 46-65 tahun memiliki kemungkinan 0.11 kali

untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan dengan pasien yang berumur

12-25 tahun dan 26-45 tahun. Hal ini dikarenakan pada usia 46-65 tahun pasien

telah mengalami penuaan sel dan penurunan frekuensi sel epidermis yang

seringkali membuat lamanya pembentukan sel-sel baru untuk penyembuhan luka

pasien. Di sini kita dapat melihat melihat ada pengaruh umur terhadap proses

penyembuhan luka sehingga pasien dengan umur 12-25 tahun dan 26-45 tahun

cenderung lebih cepat penyembuhannya dibandingkan dengan umur 46-65 tahun.

Hal ini didukung oleh beberapa pendapat para ahli bahwa seorang

yang mengalami usia menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup yang

terakhir, pada masa ini akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial,

sampai tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi sehingga bagi kebanyakan

orang masa tua itu merupakan masa yang kurang menyenangkan (Haspari, 2008).

Usia merupakan salah satu faktor menentukan proses penyembuhan luka. Penuaan

dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka karena terjadi perubahan

vaskuler yang mengganggu ke daerah luka, penurunan fungsi hati mengganggu

sintesis faktor pembekuan, respon inflamasi lambat, pembentukan antibodi dan

limfosit menurun, jaringan kolagen kurang lunak dan jaringan parut kurang elastis

(Potter & Perry, 2010).

Kulit utuh pada dewasa muda yang sehat merupakan suatu barier yang

baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitupun yang berlaku pada

efisiensi sistem imun, sistem kardiovaskuler, dan sistem respirasi yang

memungkinkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Seiring dengan berjalannya

usia perubahan yang terjadi dikulit yaitu frekuensi penggantian sel epidermis,

respon inflamasi terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi

barier kulit. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah naiknya

frekusensi gangguan patologis yang berhubungan dengan usia yang dapat

memperlambat penyembuhan luka melalui berbagai mekanisme seperti status

nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan mineral, anemia, adanya gangguan

pernafasan yang menyebabkan penurunan suplai oksigen sehingga buruknya

suplai darah dan hipoksia disekitar luka, gangguan kardiovaskuler seperti

arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung kongestif, selain itu, adanya arthritis

rheumatoid dan uremia (Morison, 2004).

Pengaruh umur terhadap penyembuhan luka post operasi juga pernah

diteliti oleh Hayati (2010) di IRNA Bedah RSUP DR. M. Djamil Padang tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka pasca operasi.

Penelitian deskriptif kuantitatif dengan pendekatan cross sectional ini menemukan

bahwa ada kaitan erat antara umur (p value=0,021) terhadap penyembuhan luka.

Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan penelitian

sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh umur tehadap proses

penyembuhan luka post appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota

Gorontalo.

4.3.2 Pengaruh Obesitas (IMT) terhadap proses penyembuhan luka post

appendictomy

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, sebagian besar responden yang mengalami luka sembuh

dengan IMT ≤ 27 (Tidak Obesitas) yaitu sebanyak 18 responden (85.7%)

sedangkan sebagian kecilnya adalah responden dengan IMT > 27 (Obesitas) yang

mengalami luka sembuh sebanyak 3 responden (14.3%).

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa masih terdapat

reponden dengan IMT < 27 (tidak obesitas) yang mengalami luka tidak sembuh

sebanyak 5 responden (29.4%) dan 3 responden dengan IMT > 27 yang

mengalami luka sembuh, sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka

tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor IMT namun juga dipengaruhi

oleh beberapa faktor seperti umur dimana semakin tua usia seseorang akan

semakin lama dalam proses penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya

penurunan elastin dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi

penyembuhan luka, kemudian kebiasaan merokok dimana pasien dengan riwayat

rokok sering mengalami gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis

pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka, selain

itu, nutrisi yang kurang dapat mempengaruhi penyembuhan luka karena

penyembuhan luka memmbutuhkan nutrisi yang tepat, dan mobilisasi dini yang

kurang dilakukan sehingga suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu pula

dengan adanya luka sembuh pada responden dengan obesitas (IMT > 27) yang

seharusnya mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti

usia, nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, dan bukan perokok, sehingga

membuat responden dengan obsitas mengalami luka sembuh. Hal ini dapat

berlaku sebaliknya.

Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh IMT

(obesitas) terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy. Dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota

Gorontalo menunjukkan bahwa IMT > 27 (obesitas) akan mempengaruhi

penyembuhan luka dimana pasien dengan IMT > 27 (obesitas) memiliki

kemungkinan 6.75 kali untuk mengalami luka tidak sembuh (penyembuhan yang

kurang baik) dibandingkan dengan pasien dengan IMT ≤ 27 (tidak Obesitas). Hal

ini dikarenakan pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan lemak sangat

rentan terhadap terjadinya infeksi. Selain itu pasien obesitas sering sulit dirawat

karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring miring

sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca operasi.

Hal ini didukung oleh pendapat para ahli bahwa sejumlah kondisi fisik

yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Misalnya adanya sejumlah besar

lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada

orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih

sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Jaringan lemak

kekurangan persediaan darah yang adekuat untuk menahan infeksi bakteri dan

mengirimkan nutrisi dan elemen-elemen selular untuk penyembuhan. Apabila

jaringan yang rusak tersebut tidak segera mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

maka proses penyembuhan luka juga akan terhambat (Gitarja dan Hardian, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang ada, maka dapat dikatakan

bahwa terdapat pengaruh obesitas (IMT) terhadap proses penyembuhan luka post

appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

4.3.3 Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap proses penyembuhan luka post

appendictomy

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa dari seluruh sampel

yang berjumlah 38 responden, sebagian besar responden yang mengalami luka

sembuh pada kategori bukan perokok yaitu sebanyak 17 responden (81.0%)

sedangkan sebagian kecilnya adalah yang mengalami luka sembuh dengan

kategori perokok yaitu sebanyak 4 responden (19.0%).

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa bukan perokok tidak

menjamin tercapainya luka sembuh, hal ini dibuktikan masih ada responden yang

bukan perokok masih mengalami luka tidak sembuh dan yang perokok masih

mengalami luka sembuh. Sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka

tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi bukan hanya dipengaruhi oleh faktor

kebiasaan merokok namun juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur

dimana semakin tua usia seseorang akan semakin lama dalam proses

penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastin dalam kulit

dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi penyembuhan luka, kemudian

dari faktor Obesitas (IMT) dimana pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan

lemak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi, pasien obesitas sering sulit

dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring

miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca

operasi. selain itu, nutrisi yang kurang dapat mempengaruhi penyembuhan luka

karena penyembuhan luka memmbutuhkan nutrisi yang tepat, dan mobilisasi dini

yang kurang dilakukan sehingga suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu

pula dengan adanya luka sembuh pada responden dengan kategori perokok yang

seharusnya mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti

usia, nutrisi yang baik, mobilisasi yang baik, dan tidak obesitas, sehingga

membuat responden dengan kategori perokok mengalami luka sembuh. Hal ini

dapat berlaku sebaliknya.

Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy. Dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota

Gorontalo menunjukkan bahwa kebiasaan merokok akan mempengaruhi

penyembuhan luka dimana pasien perokok memiliki kemungkinan 4.78 kali

untuk mengalami luka tidak sembuh dibandingkan dengan pasien dengan bukan

perokok. Ini dikarenakan pasien dengan riwayat rokok, sering mengalami

gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah. Hal ini

mempengaruhi pada suplai darah ke daerah luka.

Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa merokok akan

mengakibatkan oksigenasi jaringan yang buruk pada jaringan normal. Pada

jaringan yang mengalami perlukaan, misalnya jaringan yang mengalami sayatan

operasi, kebutuhan oksigen justru menjadi lebih tinggi daripada kebutuhan

normal. Karena itu sel-sel jaringan pada luka operasi orang yang merokok akan

„tersengal-sengal‟ relatif lebih berat karena kekurangan oksigen yang diharapkan

justru mendapat sediaan kadar oksigen yang rendah di dalam aliran darah. Oleh

karena itu, risiko kematian sel-sel kulit dan/atau jaringan bawah kulit menjadi

lebih serius. Adanya jaringan yang non-vital akan memudahkan tumbuhnya

infeksi kuman kulit, dan kedua kondisi tersebut akan sangat mengancam hasil

akhir penyembuhan luka operasi. Kulit perokok yang biasanya lebih kering

dibandingkan kulit normal akan lebih memperburuk penyembuhan. Kulit yang

kering relatif lebih mudah terpecah-pecah, sehingga masa penyembuhan luka

menjadi sangat memanjang (Fawzy Ahmad, 2012).

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hayati (2010),

dengan judul Faktor-Faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka pasca

operasi di IRNA Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang Tahun 2010, menunjukkan

adanya bahwa meskipun lebih banyak responden yang tidak merokok tetapi masih

ada dari responden Tersebut yang mengalami penyembuhan luka tidak normal,

dan hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara merokok

dengan penyembuhan luka.

Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan dengan melihat

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa

terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan luka post

appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

4.3.4 Pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, sebagian besar responden mengalami luka sembuh

dengan nutrisi yang baik yaitu sebanyak 18 responden (85.7%) sedangkan

sebagian kecilnya adalah responden dengan nutrisi yang baik yang mengalami

luka tidak sembuh yaitu sebanyak 2 responden (11.8%).

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa masih ada responden

dengan nutrisi yang baik mengalami luka tidak sembuh dan nutrisi yang kurang

mengalami luka sembuh, sehingga peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka

tidak sembuh bukan hanya dipengaruhi oleh faktor nutrisi, tapi juga dari beberapa

faktor, seperti umur dimana semakin tua usia seseorang akan semakin lama dalam

proses penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastin

dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi penyembuhan

luka, kemudian dari faktor Obesitas (IMT) dimana pada pasien yang mengalami

obesitas, jaringan lemak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi, pasien obesitas

sering sulit dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal

saat berbaring miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi

pulmonal pasca operasi, dan mobilisasi dini yang kurang dilakukan sehingga

suplai darah ke daerah luka berkurang. Begitu pula dengan adanya luka sembuh

pada responden dengan nutrisi yang kurang, yang seharusnya mengalami luka

tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti usia, mobilisasi yang baik,

bukan perokok dan tidak obesitas, sehingga membuat responden dengan nutrisi

yang kurang mengalami luka sembuh. Hal ini dapat berlaku sebaliknya.

Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nutrisi

terhadap proses penyembuhan luka. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo menunjukkan bahwa

nutrisi akan mempengaruhi penyembuhan luka dimana pasien dengan nutrisi yang

kurang memiliki kemungkinan 31.87 kali untuk mengalami luka tidak sembuh

dibandingkan pasien dengan nutrisi yang baik. Ini dikarenakan penyembuhan luka

secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Pada dasarnya nutrien yang berguna

ialah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral.

Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa penyembuhan luka

secara normal memerlukan nutrisi yang tepat, karena proses fisiologi

penyembuhan luka bergantung pada tersedianya protein, vitamin (terutama

vitamin A dan C) dan mineral. Kolagen adalah protein yang terbentuk dari asam

amino yang diperoleh fibroblas dari protein yang dimakan. Vitamin C dibutuhkan

untuk mensintesis kolagen. Vitamin A dapat mengurangi efek negatif steroid pada

penyembuhan luka. Elemen renik zink diperlukan untuk pembentukan epitel,

sintesis kolagen (zink) dan menyatukan serat-serat kolagen. (Potter, 2005 : 1859).

Proses zat gizi dalam penyembuhan luka : protein berfungsi sebagai

pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh,

mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, mengangkat zat-zat gizi dan

sumber energi. Karbohidrat berfungsi sebagai penyedia energi bagi tubuh.

Vitamin A berfungsi sebagai kekebalan pertumbuhan dan vitamin C berfungsi

sebagai sistem kolagen, mencegah infeksi. Dan air (mineral) berfungsi sebagai

bagian penting dari struktur sel dan jaringan. Zat-zat makanan tersebut dapat

mempercepat pembentukan jaringan baru dalam proses penyembuhan luka

(Potter, 2005 : 1859).

Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hamidarsat

(2007) bahwa kepercayaan untuk tidak boleh memakan jenis makanan tertentu,

seperti ikan atau udang adalah kurang benar karena jenis makanan ini banyak

mengandung protein, apabila asupan dalam tubuh kurang akan menyebabkan

kegagalan atau lambatnya pembentukan jaringan baru sehingga luka akan lama

menutup dan yang paling buruk kemungkinan akan terjadi infeksi. Demikian juga

dengan kekurangan asupan nutrisi lain seperti karbohidrat dan berbagai jenis

vitamin yang telah banyak diuraikan diatas, akan mempengaruhi penyembuhan

luka.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh puspitasari (2011) di

RSMG didapati dari 38 responden terdapat 3 responden (7.89%) yang mengalami

penyembuhan luka kurang baik akibat intake makanan/konsumsi makanan yang

kurang bergizi, beragam, dan berimbang. Juga penelitian yang dilakukan oleh

Hayati (2010), menunjukkan adanya hubungan bermakna antara status nutrisi

dengan penyembuhan luka. Dan penelitian oleh Widyasari (2007), juga

menyatakan bahwa ada pengaruh kecukupan nutrisi terhadap penyembuhan luka.

Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan dengan melihat

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dikatakan nutrisi

responden merupakan faktor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka

post appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

4.3.5 Pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka post

appendictomy

Dari hasil analisis bivariat menunjukkan dari seluruh sampel yang

berjumlah 38 responden, sebagian besar responden mengalami luka sembuh

dengan mobilisasi baik yaitu sebanyak 18 responden (85.7%) dan sebagian

kecilnya adalah responden dengan mobilisasi kurang baik yang mengalami luka

sembuh yaitu sebanyak 3 responden (14.3%).

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa mobilisasi yang baik

tidak menjamin tercapainya luka sembuh, hal ini dibuktikan masih adanya

responden dengan mobilisasi baik yang mengalami luka tidak sembuh dan

responden dengan mobilisasi yang kurang mengalami luka sembuh, sehingga

peneliti berasumsi bahwa masih adanya luka tidak sembuh bukan hanya

dipengaruhi oleh faktor mobilisasi dini, tapi juga dari beberapa faktor, seperti

umur dimana semakin tua usia seseorang akan semakin lama dalam proses

penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penurunan elastin dalam kulit

dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi penyembuhan luka, kemudian

dari faktor Obesitas (IMT) dimana pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan

lemak sangat rentan terhadap terjadinya infeksi, pasien obesitas sering sulit

dirawat karena tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring

miring sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca

operasi. Selain itu, nutrisi yang kurang dapat mempengaruhi penyembuhan luka

karena penyembuhan luka memmbutuhkan nutrisi yang tepat. Begitu pula dengan

adanya luka sembuh pada responden dengan mobilisasi yang kurang, yang

seharusnya mengalami luka tidak sembuh, namun karena ada faktor lain seperti

usia, nutrisi yang baik, bukan perokok dan tidak obesitas, sehingga membuat

responden dengan mobilisasi yang kurang mengalami luka sembuh. Hal ini dapat

berlaku sebaliknya.

Dan dari hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka. Dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh peneliti di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

menunjukkan bahwa mobilisasi dini akan mempengaruhi penyembuhan luka

dimana pasien dengan mobilisasi dini yang kurang memiliki kemungkinan 11 kali

untuk mengalami luka tidak sembuh (penyembuhan yang kurang baik)

dibandingkan pasien dengan mobilisasi yang baik. Karena dengan mobilisasi dini

masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat

dipersingkat. Hal ini tentu akan mengurangi waktu rawat inap di rumah sakit,

menekan biaya perawatan dan mengurangi stres psikis (A. Majid, M. Judha, U.

Istianah. 2011).

Dengan mobilisasi dini, dapat menunjang proses penyembuhan luka

pasien karena ddengan menggerakkan anggota badan ini akan mencegah kekauan

otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri dan dapat memperlancar

peredaran darah ke bagian yang mengalami perlukaan agar proses penyembuhan

luka cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa Salah satu faktor

yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan

apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini.

Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan

mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam

percepatan hari rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti

terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh,

gangguan sirkulasi darah, gangguan pernapasan dan gangguan peristaltik maupun

berkemih (Carpenito, 2000).

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka

akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) yang mengalami peradangan

adalah mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam

mempercepat pemulihan, mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah dan

mencegah terjadinya trombosis vena (Carpenito, 2000).

Penelitian Wiyono dalam Akhrita (2011), yang dalam penelitiannya

terhadap pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan”. Hasil

penelitiannya mengatakan bahwa keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya

mempercepat proses pemulihan luka pasca pembedahan namun juga mempercepat

pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan (Israfi dalam Akhrita,

2011).

Hal yang sama juga pernah diteliti oleh Inayati (2006) dengan judul

penelitian “Pengaruh mobilisasi dini terhadap waktu kesembuhan luka fase

proliferasi post operasi“ diperoleh hasil penelitian ada pengaruh mobilisasi dini

terhadap waktu kesembuhan luka fase proliferasi dengan p value sebesar 0,009.

Berdasarkan hasil penelitian, teori yang ada, dan dengan melihat penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dikatakan mobilisasi dini responden

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka post

appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

4.3.6 Pengaruh umur, IMT, kebiasaan merokok, nutrisi, dan mobilisasi dini

terhadap proses penyembuhan luka post appendictomy

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh

Hayati (2010) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penyembuhan luka

pasca operasi, bahwa dari banyak faktor yang berhubungan dengan penyembuhan

luka, faktor nutrisi merupakan faktor yang paling dominan terhadap penyembuhan

luka pasca operasi.

Dari hasil analisis multivariat yang dilakukan oleh peneliti, diketahui

bahwa dari beberapa faktor (umur, IMT, kebiasaan merokok, nutrisi, dan

mobilisasi dini) yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, dapat diketahu

bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka adalah

nutrisi dengan signifikansi Wald 9.415 dan mobilisasi dini dengan signifikansi

Wald 5.530. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi merupakan faktor

yang paling berpengaruh (dominant) terhadap proses penyembuhan luka post

appendictomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

Berdasarkan hasil analisis ini, peneliti berasumsi bahwa nutrisi

merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi proses penyembuhan luka

post appendictomy dibanding faktor lainnya, karena nutrisi berpengaruh langsung

terhadap proses penyembuhan luka dimana proses fisiologi penyembuhan luka

bergantung pada tersedianya protein, vitamin (terutama vitamin A dan C) dan

mineral. Kolagen adalah protein yang terbentuk dari asam amino yang diperoleh

fibroblas dari protein yang dimakan. Vitamin C dibutuhkan untuk mensintesis

kolagen. Vitamin A dapat mengurangi efek negatif steroid pada penyembuhan

luka. Elemen renik zink diperlukan untuk pembentukan epitel, sintesis kolagen

(zink) dan menyatukan serat-serat kolagen.

Selain itu juga bahwa proses zat gizi dalam penyembuhan luka yang

melibatkan protein, vitamin, dan mineral dimana protein berfungsi sebagai

pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh,

mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, mengangkat zat-zat gizi dan

sumber energi. Karbohidrat berfungsi sebagai penyedia energi bagi tubuh.

Vitamin A berfungsi sebagai kekebalan pertumbuhan dan vitamin C berfungsi

sebagai sistem kolagen, mencegah infeksi. Dan air (mineral) berfungsi sebagai

bagian penting dari struktur sel dan jaringan. Zat-zat makanan tersebut dapat

mempercepat pembentukan jaringan baru dalam proses penyembuhan luka.

Sehingga apabila nutrisi tidak terpenuhi akan sangat mempengaruhi proses

penyembuhan luka.

Menurut peneliti, hal ini tidak seperti faktor lain yang mempengaruhi

proses penyembuhan luka, seperti faktor umur yang secara teori mengatakan

bahwa Seiring dengan berjalannya usia perubahan yang terjadi dikulit yaitu

frekuensi penggantian sel epidermis, respon inflamasi terhadap cedera, persepsi

sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi barier kulit. Beberapa faktor yang

mempengaruhi hal tersebut adalah naiknya frekusensi gangguan patologis yang

berhubungan dengan usia yang dapat memperlambat penyembuhan luka melalui

berbagai mekanisme seperti status nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan

mineral, anemia, adanya gangguan pernafasan yang menyebabkan penurunan

suplai oksigen sehingga buruknya suplai darah dan hipoksia disekitar luka,

gangguan kardiovaskuler seperti arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung

kongestif, selain itu, adanya arthritis rheumatoid dan uremia (Morison, 2004).

Hal ini menunjukkan bahwa usia tidak langsung mempengaruhi proses

penyembuhan luka dan masih dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

naiknya frekusensi gangguan patologis yang berhubungan dengan usia yang dapat

memperlambat penyembuhan luka melalui berbagai mekanisme seperti status

nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan mineral, anemia, adanya gangguan

pernafasan yang menyebabkan penurunan suplai oksigen sehingga buruknya

suplai darah dan hipoksia disekitar luka, gangguan kardiovaskuler seperti

arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung kongestif, selain itu, adanya arthritis

rheumatoid dan uremia.

Sama halnya dengan faktor obesitas, yang secara teori mengatakan

bahwa pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan

lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Jaringan

lemak kekurangan persediaan darah yang adekuat untuk menahan infeksi bakteri

dan mengirimkan nutrisi dan elemen-elemen selular untuk penyembuhan. Apabila

jaringan yang rusak tersebut tidak segera mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

maka proses penyembuhan luka juga akan terhambat (Gitarja dan Hardian, 2011).

Ini menunjukkan bahwa obesitas tidak secara langsung mempengrauhi proses

penyembuhan luka karena meskipun orang dengan obesitas namun apabila

mendapatkan nutrisi yang baik maka proses penyembuhan lukanya tidak akan

terhambat.

Begitu pula dengan faktor kebiasaan merokok, yang secara teori

mengatakan bahwa merokok akan mengakibatkan oksigenasi jaringan yang buruk

pada jaringan normal. Pada jaringan yang mengalami perlukaan, misalnya

jaringan yang mengalami sayatan operasi, kebutuhan oksigen justru menjadi lebih

tinggi daripada kebutuhan normal. Karena itu sel-sel jaringan pada luka operasi

orang yang merokok akan „tersengal-sengal‟ relatif lebih berat karena kekurangan

oksigen yang diharapkan justru mendapat sediaan kadar oksigen yang rendah di

dalam aliran darah. Oleh karena itu, risiko kematian sel-sel kulit dan/atau jaringan

bawah kulit menjadi lebih serius. Adanya jaringan yang non-vital akan

memudahkan tumbuhnya infeksi kuman kulit, dan kedua kondisi tersebut akan

sangat mengancam hasil akhir penyembuhan luka operasi. (Fawzy, Ahmad,

2012). Ini menunjukkan bahwa merokok tidak lagsung mempengaruhi proses

penyembuhan luka melainkan harus melalui beberapa proses seperti oksigenasi

jaringan yang buruk, gangguan vaskuler, terutama arterosklerosis nantinya akan

mempengaruhi proses penyembuhan luka.

Begitupun dengan faktor mobilisasi dini yang dapat menunjang proses

penyembuhan luka pasien karena dengan menggerakkan anggota badan ini akan

mencegah kekauan otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri dan dapat

memperlancar peredaran darah ke bagian yang mengalami perlukaan agar proses

penyembuhan luka cepat. Ini menunjukkan bahwa mobilisasi dini masih harus

mempengaruhi peredaran darah kebagian yanng mengalami perlukaan kemudian

lancarnya peredaran darah inilah yang akan mempercepat penyembuhan luka.