bab iv hasil dan pembahasan 4.1 struktur mikroanatomi...

14
33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl 2 ) menggunakan konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari terhadap struktur mikroanatomi hati ikan tagih (Mystus nemurus) mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan menyebabkan kerusakan organ semakin berat. Terjadinya suatu perubahan dalam struktur mikroanatomi hati pada ikan tagih merupakan suatu indikator bahwa ikan tersebut telah terkena dampak toksisitas merkuri klorida. Reessang (1984) dan Sudiono (2003) menyatakan kerusakan hati dapat diketahui berdasarkan tingkatan ringan hingga berat. Kerusakan ringan ditandai dengan pembengkakan sel atau degenerasi vakuola, kerusakan sedang meliputi hemoragi dan kongesti, sedangkan tingkat kerusakan berat adalah kematian sel atau nekrosis. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan preparat struktur mikroanatomi hati bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan maka tingkat kerusakannya semakin berat berupa kongesti, hemoragi dan nekrosis. Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Upload: phungliem

Post on 08-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih

Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl2) menggunakan

konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari terhadap struktur

mikroanatomi hati ikan tagih (Mystus nemurus) mengindikasikan bahwa semakin

tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan menyebabkan kerusakan organ

semakin berat. Terjadinya suatu perubahan dalam struktur mikroanatomi hati pada

ikan tagih merupakan suatu indikator bahwa ikan tersebut telah terkena dampak

toksisitas merkuri klorida.

Reessang (1984) dan Sudiono (2003) menyatakan kerusakan hati dapat

diketahui berdasarkan tingkatan ringan hingga berat. Kerusakan ringan ditandai

dengan pembengkakan sel atau degenerasi vakuola, kerusakan sedang meliputi

hemoragi dan kongesti, sedangkan tingkat kerusakan berat adalah kematian sel

atau nekrosis. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan preparat struktur

mikroanatomi hati bahwa semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang

diberikan maka tingkat kerusakannya semakin berat berupa kongesti, hemoragi

dan nekrosis. Data hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

34

Tabel 2. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi hati ikan tagih

Konsentrasi

HgCl2

Kerusakan

Yang Terjadi

Tingkat

Kerusakan

Keterangan

0 ppm Tidak

ditemukan

- - Vena sentralis tampak

kosong dan berbentuk bulat

- Sinusoid terlihat jelas

- Sel hepatosit berbentuk

polihedral dengan inti

berbentuk bulat hingga oval

- Sitoplasma berwarna merah

muda

0,02 ppm Kongesti Sedang - Adanya pembengkakan sel

- Sinusoid mengalami

penyempitan

- Terjadi pembendungan darah

0,04 ppm

Kongesti

Hemoragi

Sedang - Adanya pembengkakan sel

- Sinusoid mengalami

penyempitan

- Terjadi pembendungan darah

- Pecahnya pembuluh darah

- Darah keluar dari sinusoid

0,08 ppm Kongesti

Hemoragi

Nekrosis

Berat - Adanya pembengkakan sel

- Sinusoid mengalami

penyempitan

- Terjadi pembendungan darah

- Pecahnya pembuluh darah

- Darah keluar dari sinusoid

- Dinding sel lisis

- Inti sel mengkerut dan ada

sebagian yang mati

Gambaran struktur mikroanatomi hati pada berbagai uji toksisitas dengan

perbesaran mikroskop 10x40 dapat dilihat pada Gambar 4.

35

A1 Normal A2 Vena sentralis A3 Hepatosit A4 Sinusoid

B1 Kongesti B2 Pembesaran

C1 Kongesti C2 Pembesaran

C3 Hemoragi C4 Pembesaran D1 Kongesti D2 Pembesaran

D3 Hemoragi D4 Pembesaran D5 Nekrosis D6 Pembesaran

Gambar 4. Struktur mikroanatomi hati ikan tagih pada berbagai uji toksisitas

Keterangan :

A

B

C

D

V

S

H

K

H

: HgCl2 0 ppm

: HgCl2 0,02 ppm

: HgCl2 0,04 ppm

: HgCl2 0,08 ppm

: Vena sentralis

: Sinusoid

: Hepatosit

: Kongesti

: Hemoragi

N

E

D

Si

Ps

Sp

In

Id

: Nekrosis

: Eritrosit

: Dinding sel

: Sitoplasma

: Pembengkakan Sel

: Sinusoid pecah

: Inti sel normal

: Inti sel degenerasi

36

Struktur mikroanatomi hati ikan tagih tanpa pemberian merkuri klorida

tampak normal seperti yang terlihat pada Gambar 4 A1,2,3,4 ditandai dengan sel

hepatosit berbentuk polihedral, sitoplasma setelah dilakukan pewarnaan

menunjukan warna merah muda dan terlihat jelas, memiliki inti berbentuk bulat

hingga oval terletak di tengah sitoplasma, sinusoid terlihat jelas, dan vena

sentralis sebagai pusat lobulus tampak kosong dan berbentuk bulat.

Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,02 ppm (Gambar 4 B1,2)

mengakibatkan kerusakan struktur mikroanatomi hati berupa kongesti. Kongesti

adalah pembendungan darah yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi darah

pada sinusoid (Sudiono 2003). Kongesti terjadi akibat adanya pembengkakan sel.

Anderson (1995) menyatakan bahwa sel melakukan kestabilan lingkungan

eksternal dengan cara mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion

natrium keluar dari sel. Terakumulasinya bahan beracun merkuri klorida di dalam

sel hati menyebabkan terganggunya proses metabolisme sehingga sel tidak

mampu memompa ion natrium keluar cukup banyak, akibatnya konsentrasi ion

natrium di dalam sel lebih tinggi dan air dapat masuk kedalam sel. Masuknya air

berlebih ke dalam sel menyebabkan terjadinya pembengkakan sel, sehingga

ukuran bertambah yang mengakibatkan sinusoid menyempit. Sinusoid

merupakan suatu rongga yang terdapat pada jaringan hati yang memungkinkan

terjadinya pertukaran nutrisi dan zat lainnya antara darah dan hepatosit. Apabila

sinusoid menyempit akibat pembengkakan sel, maka darah akan terbendung di

dalam jaringan hati sehingga proses pertukaran nutrisi maupun zat lain antara

darah dan hepatosit terganggu.

Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,04 ppm (Gambar 4 C1,2,3,4)

mengakibatkan kerusakan berupa kongesti dan hemoragi. Terjadinya kongesti

pada konsentrasi 0,04 ppm lebih banyak ditemukan bila dibandingkan dengan

konsentrasi 0,02 ppm, hal ini dikarenakan konsentrasi merkuri korida yang

digunakan lebih tinggi sehingga pembengkakan sel pun lebih cepat terjadi. Selain

kongesti ditemukan juga kerusakan lain yaitu hemoragi. Menurut Ressang (1984)

hemoragi merupakan kerusakan pada jaringan hati berupa keluarnya darah dari

sistem sirkulasi kardiovaskuler karena terjadinya kerusakan pada susunan

37

kardiovaskuler (arteri, vena dan kapiler). Hemoragi merupakan tahap kerusakan

selanjutnya dari kongesti, karena sinusoid sudah tidak mampu untuk membendung

darah dan pada akhirnya pembuluh-pembuluh darah yang ada di sinusoid pecah.

Apabila terjadi kerusakan berupa hemoragi maka asupan nutrisi dan zat lain ke

hati akan terhenti sehingga sel-sel akan kekurangan nutrisi, dan apabila kerusakan

ini berangsur dalam jangka waktu yang lebih lama maka akan menyebabkan sel

hati mengalami degradasi atau nekrosis akibatnya hati tidak berfungsi

sebagaimana mestinya.

Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,08 ppm (Gambar 4

D1,2,3,4,5,6) mengakibatkan kerusakan berupa kongesti, hemoragi, dan nekrosis.

Pada konsentrasi ini kerusakan lebih sering ditemukan daripada konsentrasi 0,04

ppm, karena konsentrasi merkuri klorida yang diberikan lebih besar. Pada

perlakuan ini ditemukan juga kerusakan hati yang sudah memasuki tingkat berat

yaitu nekrosis atau degenerasi sel. Nekrosis pada perlakuan ini diduga akibat

pembendungan darah atau kongesti yang semakin parah. Kerusakan ini

disebabkan karena darah yang mengalir dari perifer lobulus hati ke pusat (vena

sentralis) kebanyakan sudah kehilangan nutrien saat sampai di pertengahan

lobulus, sehingga sel hati akan kekurangan nutrien dan lama kelamaan akan

terjadi degenerasi (Ressang 1984). Selain itu nekrosis diduga disebabkan oleh

pembengkakan sel dalam jangka waktu yang lama. Pembengkakan sel ini akan

menyebabkan sel kehilangan intergitas membrannya yang berakibat keluarnya

materi sel dan mengalami kematian (nekrosis).

Pembengkakan sel atau degenerasi vakuola bersifat reversibel sehingga

apabila bahan beracun tidak terdapat dalam sel maka sel dapat kembali normal,

tetapi jika pengaruh bahan beracun berlangsung lama maka sel tidak dapat

mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh bahan beracun tersebut. Pemberian

merkuri klorida 0,08 ppm (perlakuan D) dengan lama waktu pemaparan 28 hari

ikan uji tidak mengalami kematian, hal ini diduga bahwa sel hati masih dapat

melakukan proses regenerasi, tetapi apabila dilakukan dengan waktu yang lebih

lama diduga ikan akan mengalami kematian. Hal ini sesuai dengan pernyataan

38

Destiany (2007) yang melakukan uji toksisitas merkuri klorida 0,08 ppm pada

minggu ke 5 ikan mengalami kematian.

Kerusakan hati akibat logam berat merkuri klorida disebabkan aktifitas

logam tersebut dalam mempengaruhi kerja enzim/hormon proteolitik (Lu 1995).

Enzim dan hormon terdiri dari protein kompleks yang sistem kerjanya

memerlukan adanya aktivator atau kofaktor. Logam berat yang masuk ke dalam

tubuh dapat menonaktifkan aktivator (berikatan dengan enzim menggantikan

aktivator/kofaktor) sehingga enzim atau hormon tidak dapat bekerja dan akan

menghambat kerja sel yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Hal ini sesuai pernyataan Ochiai dalam Connel dan Miller (1995), bahwa salah

satu mekanisme toksisitas ion logam adalah menahan gugus fungsi biologi yang

essensial dalam biomolekul, misalnya protein dan enzim.

4.2 Struktur Mikroanatomi Insang Ikan Tagih

Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl2) menggunakan

konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari terhadap struktur

mikroanatomi insang ikan tagih (Mystus nemurus) mengindikasikan bahwa

semakin tinggi konsentrasi merkuri klorida yang diberikan menyebabkan

kerusakan insang semakin parah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

39

Tabel 3. Hasil pengamatan struktur mikroanatomi insang ikan tagih

Konsentrasi

HgCl2

Kerusakan Yang

Terjadi

Tingkat

Kerusakan

Keterangan

0 ppm Tidak

ditemukan

- - Pada lamela primer terlihat

jelas tulang rawan penopang,

sel mukus, dan sel-sel

interlamela

- Pada lamela sekunder terlihat

jelas butiran eritrosit, sel

pillar, epithelium, dan lumen

kapiler

0,02 ppm Edema Ringan - Adanya pembengkakan sel

akibat penimbunan cairan

- Eritrosit terlihat pecah

0,04 ppm Edema

Hiperplasia

Teleangiotaksis

Sedang - Adanya pembengkakan sel

akibat penimbunan cairan

- Eritrosit terlihat pecah

- Penambahan jumlah sel pada

lamela primer

- Penyempitan pembuluh

darah

- Terjadi pembendungan darah

pada pangkal lamela

sekunder

0,08 ppm Edema

Hiperplasia

Teleangiotaksis

Fusi lamela

Berat - Adanya pembengkakan sel

akibat penimbunan cairan

- Eritrosit terlihat pecah

- Penambahan jumlah sel pada

lamela primer

- Penyempitan pembuluh

- Terjadi pembendungan darah

pada pangkal lamela

sekunder

- Lamela sekunder saling

menempel

Gambaran struktur mikroanatomi insang pada berbagai uji toksisitas

dengan perbesaran mikroskop 10x40 dapat dilihat pada Gambar 5.

40

A1 Lamela primer A2 Lamela sekunder

B1 Edema B2 Pembesaran

C1 Teleangiotaksis dan

edema C2 Pembesaran C3 Pembesaran

C4 Hiperplasia

C5 Pembesaran

D1 Fusi lamela D2 Pembesaran

D3 Hiperplasia dan

edema

D4 Pembesaran D5 Pembesaran D6 Teleangiotaksis D7 Pembesaran

Gambar 5. Struktur mikroanatomi insang ikan tagih pada berbagai uji

toksisitas

Keterangan :

A

B

C

D

TP

Si

Sm

L

: HgCl2 0 ppm

: HgCl2 0,02 ppm

: HgCl2 0,04 ppm

: HgCl2 0,08 ppm

: Tulang rawan

penopang

: Sel interlamela

: Sel mukus

: Lamela

Ep

E

T

H

F

IE

Pc

Er

Sp

: Epithelium

: Edema

: Teleangiotaksis

: Hiperplasia

: Fusi Lamela

: Investasi ektoparasit

: Penimbunan cairan

: Eritrosit

: Sel Pilar

Ps

Pe

Pj

: Penyempitan

sinusoid

: Pembendungan

eritrosit

: Penambahan

jumlah sel

41

Berdasarkan pengamatan struktur mikroanatomi insang ditemukan

berbagai kerusakan yang terjadi meliputi edema, hiperplasia, teleangiotaksis, dan

fusi lamela. Kerusakan ini disebabkan karena permukaan insang bersifat

permeable terhadap senyawa kimia seperti merkuri klorida, sehingga senyawa ini

akan mudah masuk melalui insang dan terakumulasi (Darmono 1995). Pada

insang ikan yang normal, dalam satu lengkung insang terdiri dari beberapa lamela

primer, satu lamela primer terdiri dari beberapa lamela sekunder. Insang ikan yang

normal hanya terdiri dari dua atau tiga lapis sel epitel yang rata dan terletak di

membran basal. Jika lebih atau kurang maka insang tersebut dapat dikatakan

abnormal. Lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan

lingkungan luar menyebabkan berpeluang besar terpapar bahan beracun. Di antara

sel-sel epitel insang terdapat sel-sel klorid. Sel-sel tersebut berbentuk bulat dan

berperan penting dalam osmoregulasi.

Gambaran struktur mikroanatomi insang tanpa pemberian merkuri klorida

dengan perbesaran mikroskop 10x40 tampak normal (Gambar 5 A1,2). Insang

yang normal memiliki bagian-bagian lamela primer dan lamela sekunder masih

lengkap dan belum mengalami kerusakan. Pada lamela primer terdapat tulang

rawan penopang yang berfungsi sebagai penegak lamela primer. Pada lamela

sekunder terdapat selubung epithelium pipih dan sub epithelium yang kaya akan

eritrosit. Sel pillar pada lamela sekunder berfungsi sebagai penegak (Lagler et al.,

1977). Apabila terjadi kerusakan berupa hyperlasia maka sel pillar ini akan

terdorong menyentuh bagian lamela sekunder lain sehingga akan terlipat, tentu hal

ini akan mengganggu dalam proses respirasi pada ikan.

Gambaran struktur mikroanatomi insang pada konsentrasi 0,02 ppm

(Gambar 5 B1,2) terdapat kerusakan berupa edema dan masih dalam kriteria ringan

(Tandjung 1982). Edema merupakan suatu gejala awal apabila insang telah

terkena suatu bahan toksik berupa merkuri klorida. Edema adalah pembengkakan

sel atau penimbunan cairan secara berlebih di dalam jaringan tubuh (Laksman

2003). Edema yang terjadi pada penelitian ini diduga oleh dua hal, pertama yaitu

masuknya zat toksik merkuri klorida ke dalam insang yang menyebabkan sel

mengalami iritasi sehingga sel membengkak. Proses masuknya merkuri klorida ke

42

dalam insang menurut Palar (1994) yaitu merkuri bersama-sama dengan ion

logam lain membentuk ion-ion yang dapat larut dalam lemak. Ion-ion logam yang

dapat larut dalam lemak akan mampu melakukan penetrasi pada membran sel

insang sehingga akhirnya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam

insang. Dugaan kedua yaitu karena hilangnya pengaturan volume pada bagian sel

yang menyebabkan terhambatnya pertukaran ion natrium. Hal ini akan

mengakibatkan meningkatnya konsentrasi natrium dan masuknya air ke dalam sel

(Anderson 1995).

Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,04 ppm (Gambar 5

C1,2,3,4,5) mengakibatkan kerusakan struktur mikroanatomi insang berupa edema,

hiperplasia dan teleangiotaksis. Pada konsentrasi ini terdapat peningkatan

kerusakan dari konsentrasi 0,02 ppm, hal ini sesuai dengan pernyataan Lu (1995)

yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu bahan beracun di

perairan maka kerusakan yang terjadi pun akan semakin banyak. Edema yang

terjadi pada bagian lamela primer terlihat hampir pada seluruh tulang rawan

penopang yang mengakibatkan eritrosit beresiko pecah karena terdesak oleh

cairan di dalam sel. Apabila Hal ini terjadi maka dapat menyebabkan asphyxia

yaitu kesulitan bernafas karena kekurangan oksigen, sehingga apabila ikan

terpapar dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan kematian. Pengaruh

lain yang diakibatkan edema pada konsentrasi 0,04 ppm menyebabkan lamela

primer membesar dan lamela sekunder terdorong hingga menabrak lamela yang

lainnya sehingga sel pilar sebagai penegak lamela primer patah.

Kerusakan lain yang terlihat pada konsentrasi 0,04 ppm yaitu hiperplasia.

Laksman (2003) menyatakan bahwa hiperplasia adalah pembentukan jaringan

secara berlebih karena bertambahnya jumlah sel. Dengan adanya penambahan

jumlah sel menyebabkan tertutupnya sebagian lamela sekunder sehingga proses

pertukaran oksigen dalam insang akan terganggu. Selain edema dan hiperplasia

ditemukan juga kerusakan berupa teleangiotaksis. Teleangiotaksis adalah

pembendungan atau penggumpalan darah akibat terjadinya edema dan hiperplasia.

Teleangiotaksis pada Gambar 5 C3 terlihat menggelembung dan didalamnya

terjadi pembendungan eritrosit. Kerusakan ini mengakibatkan gangguan fungsi

43

insang dalam proses respirasi karena aliran darah yang membawa oksigen

terhambat. Teleangiotaksis akan berakibat fatal jika ikan berada pada kondisi

lingkungan yang bersuhu tinggi, karena oksigen terlarut dalam air akan menjadi

rendah, sedangkan kebutuhan oksigen metabolik pada ikan akan tinggi.

Pengaruh merkuri klorida dengan konsentrasi 0,08 ppm (Gambar 5

D1,2,3,4,5,6,7) mengakibatkan kerusakan berupa edema, hyperplasia, teleangiotaksis,

dan fusi lamela. Pada konsentrasi ini ditemukan kerusakan struktur mikroanatomi

insang yang lebih banyak dari konsentrasi 0,02 ppm dan 0,04 ppm. Menurut

Robert (2001) edema pada lamela dapat diakibatkan karena terpaparnya limbah

bahan-bahan kimia diantaranya logam berat. Pada gambar juga terlihat lamela

primer membesar dan menghimpit lamela sekunder, apabila hal ini terjadi lebih

lama maka sel-sel epitel akan mengalami nekrosis atau kematian sel. Hyperplasia

dan edema yang berlebih pada konsentrasi 0,08 ppm menyebabkan fusi lamela.

Fusi lamela adalah penempelan 2 bagian lamela sekunder. Selain itu fusi lamela

juga diakibatkan oleh adanya lendir yang berlebih pada insang sehingga akan

menutup lamela sekunder. Lendir yang berlebih ini merupakan salah satu respon

kelenjar mukus untuk melindungi insang dari merkuri klorida, namun apabila

lendir yang dihasilkan berlebihan tentu akan bersifat negatif sehingga

pengambilan oksigen dari air akan terhambat. Pada konsentrasi 0,08 ppm,

kerusakan teleangiotaksis yang terjadi sudah cukup parah karena pembendungan

darah terlihat lebih banyak jika dibandingkan dengan konsentrasi 0,04 ppm.

Selain itu lamela sekunder yang berada di sekitar lamela yang mengalami

teleangiotaksis telah menghilang, hal ini disebabkan karena lamela sekunder

tersebut telah rusak akibat teleangiotaksis sehingga terlepas dan mati.

Lagler (1977) menyebutkan bahwa sebagian besar kematian ikan yang

disebabkan oleh bahan pencemar atau bahan beracun terjadi karena kerusakan

pada bagian insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Lamela

insang merupakan organ yang paling lembut diantara struktur insang ikan dan

merupakan alat utama bagi kelangsungan proses pernafasan. Insang sebagai organ

pernafasan merupakan tempat pertukaran gas oksigen dengan karbondioksida

melalui proses infiltrasi air, sehingga ikan dapat berhubungan langsung dengan

44

media hidupnya. Kerusakan insang akibat merkuri klorida adalah adanya

degradasi sel atau bahkan kerusakan jaringan insang. Sandi (1994) menyatakan

bahwa secara langsung bahan anorganik terlarut menyebabkan iritasi pada insang

dan lamella insang menjadi tertutup. Hal ini menyebabkan fungsi insang menjadi

tidak normal dan mengganggu proses pernafasan karena insang merupakan organ

utama yang terkena langsung oleh merkuri.

4.3 Struktur Misai Ikan Tagih

Gambaran Kerusakan misai pada ikan tagih didapat dengan cara

dokumentasi langsung menggunakan kamera. Pengamatan tidak dilakukan pada

tingkat struktrur mikroanatomi, melainkan pengamatan langsung secara kasat

mata. Hasil pengamatan kerusakan yang terjadi pada misai ikan tagih setelah

dilakukan pemaparan merkuri klorida selama 28 hari dapat terlihat pada gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan misai normal dan rusak akibat pemberian merkuri

klorida

Supyan (2011) menyatakan bahwa ikan tagih memiliki 3-4 pasang misai

peraba yang panjang dan secara fisik dapat terihat. Misai atau yang biasa disebut

sungut ini memiliki peran penting bagi ikan yang biasa hidup di dasar perairan

berlumpur dan sedikit cahaya matahari yang masuk. Misai merupakan organ

indera khusus bagi ikan sejenis catfish karena berperan penting dalam mendeteksi

makanan yang ada di badan perairan. Hasil pengamatan secara fisik, terlihat

dengan jelas bahwa misai ikan tagih yang tidak diberi merkuri klorida tampak

terlihat normal, ukuran panjang misai sama dan berwarna keabu-abuan. Hal ini

Normal Rusak

45

menunjukan bahwa misai ikan tagih pada perlakuan kontrol masih berfungsi

dengan baik dalam mencari makan.

Pada konsentrasi merkuri klorida 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm

terdapat kerusakan pada misai. Pada gambar 6 terlihat ada bagian misai yang

hilang, terputusnya misai menunjukan bahwa ikan tersebut telah terkena dampak

dari merkuri klorida. Terputusnya bagian misai disebabkan karena misai sering

terkena merkuri klorida yang mengendap di dasar wadah pemeliharaan, akibatnya

sel-sel yang terdapat pada misai ini mengalami nekrosis atau kematian, hal ini

sesuai dengan pernyataan Robert (2001) bahwa semakin lama suatu organ terkena

dampak dari zat toksik maka sel-sel yang membentuk organ tersebut akan

mengalami degenerasi dan lama-kelamaan akan mati atau nekrosis.

4.4 Kualitas Air

Hasil penelitian kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kisaran parameter kualitas air pada setiap perlakuan

Parameter Perlakuan Standar

A

(0 ppm)

B

(0,02 ppm)

C

(0,04 ppm)

D

(0,08 ppm)

Suhu (oC) 25,5 – 26,5 25,5 – 26 25 – 26,5 25,5 – 26,5 24 – 27*

Oksigen

terlarut

(ppm)

6,7 – 7,3 6,2 – 7,1 6,8 – 7,2 6,3 – 7,2 Minimal 4

ppm*

pH 7 – 7,3 7,4 – 7,6 7,1 – 7,5 7,4 – 7,6 Normal*

* Supyan 2011

Pada tabel 4 terlihat bahwa kualitas air selama penelitian yang meliputi

suhu (oC), oksigen terlarut (ppm), dan pH masih berada dalam kisaran normal

bagi pertumbuhan ikan tagih.

Suhu selama masa pemeliharaan berkisar antara 25oC – 26,5

oC pada

semua perlakuan dan kontrol, kisaran suhu tersebut berada pada kisaran suhu

normal untuk ikan tagih, hal ini sesuai dengan peryataan supyan (2011) yang

menyatakan bahwa suhu optimum bagi kehidupan ikan tagih berkisar antara

24oC - 27

oC. Suhu air memiliki peranan penting dalam kecepatan laju

metabolisme dan respirasi. Apabila suhu meningkat diluar kisaran toleransi ikan

46

tagih, maka respirasi akan semakin cepat dan akan berpengaruh terhadap uptake

rate logam berat di perairan (Connel 1995).

Menurut Connel (1995) kenaikan pH di perairan lebih dari 7 cenderung

akan menurunkan kelarutan logam berat sehingga logam berat akan mengendap.

Logam berat yang mengendap akan lebih cepat terserap oleh ikan tagih, karena

ikan ini hidup di dasar perairan. Pada penelitian ini kisaran pH masih berada pada

nilai normal yaitu 7,0 – 7,3. Dengan kisaran pH yang normal maka logam berat

tidak akan mudah larut dan mengendap.

Sama halnya dengan suhu, apabila perairan memiliki konsentrasi oksigen

terlarut yang rendah maka organisme perairan akan melakukan respirasi lebih

cepat dari biasanya sehingga mengakibatkan masuknya logam berat ke insang

akan lebih cepat (Connel 1995). Kisaran oksigen terlarut selama penelitian ini

berkisar antara 6,2 – 7,3 ppm dan masih dalam kisaran yang aman bagi ikan tagih

yaitu minimal 4 ppm (Supyan 2011). Apabila dilihat dari ketiga parameter

kualitas air ini maka tidak ada yang berpengaruh terhadap uptake rate logam berat

pada ikan tagih, sehingga akumulasi logam berat lebih cenderung disebabkan oleh

konsentrasi merkuri klorida yang diberikan.