bab iv deskripsi wilayah -...

20
BAB IV DESKRIPSI WILAYAH 4.1 Keadaan Sumberdaya Alam 4.1.1 Letak dan Luas Daerah penelitian terletak di Kabupaten Bone Bolango. Secara geografis terletak pada koordinat di antara 0 0 41' sampai 1 0 15' Lintang Utara dan 122 0 00' sampai 125 0 14' Bujur Timur dan berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi dan Kecamatan Atinggola di sebelah Utara. Sementara di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Gorontalo. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Telaga, Kota Selatan dan Kota Utara. Daerah penelitian tercakup dalam peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000 (Bakosurtanal, 2006) dan peta Satuan Lahan Kabupaten Bone Bolango (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 2008). Luas daerah penelitian sekitar 83.745 ha. Daerah penelitian mudah dicapai dari kota Gorontalo melalui jalur darat dengan kondisi baik. 4.1.2 Iklim Data iklim untuk daerah penelitian bersumber dari stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo pada ketinggian 18 m di atas permukaan laut berupa data temperatur udara, kelembaban nisbi, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin. Sedangkan data curah hujan untuk daerah penelitian bersumber dari stasiun BPP Tapa pada ketinggian 14 m di atas permukaan laut dan BPP Suwawa pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut (BMKG Gorontalo, 2011). Keadaan iklim daerah penelitian sebagai berikut: 4.1.2.1 Curah Hujan Data rata-rata curah hujan bulanan, daerah penelitian selama sepuluh tahun (2002 2011), dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan stasiun BPP Suwawa berkisar antara 61,60-143,50 mm dengan rata-rata 108,51 mm/bulan. Rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (61,60 mm), dan tertinggi pada bulan Maret (143,50 mm).

Upload: buikhue

Post on 12-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IV

DESKRIPSI WILAYAH

4.1 Keadaan Sumberdaya Alam

4.1.1 Letak dan Luas

Daerah penelitian terletak di Kabupaten Bone Bolango. Secara geografis

terletak pada koordinat di antara 00

41' sampai 10

15' Lintang Utara dan 1220

00'

sampai 1250 14' Bujur Timur dan berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi dan

Kecamatan Atinggola di sebelah Utara. Sementara di sebelah Timur berbatasan

dengan Kabupaten Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Di sebelah Selatan

berbatasan dengan Kota Gorontalo. Di sebelah Barat berbatasan dengan

Kecamatan Telaga, Kota Selatan dan Kota Utara. Daerah penelitian tercakup

dalam peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000 (Bakosurtanal, 2006) dan peta

Satuan Lahan Kabupaten Bone Bolango (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 2008).

Luas daerah penelitian sekitar 83.745 ha. Daerah penelitian mudah dicapai dari

kota Gorontalo melalui jalur darat dengan kondisi baik.

4.1.2 Iklim

Data iklim untuk daerah penelitian bersumber dari stasiun Meteorologi

Jalaludin Gorontalo pada ketinggian 18 m di atas permukaan laut berupa data

temperatur udara, kelembaban nisbi, lama penyinaran matahari dan kecepatan

angin. Sedangkan data curah hujan untuk daerah penelitian bersumber dari stasiun

BPP Tapa pada ketinggian 14 m di atas permukaan laut dan BPP Suwawa pada

ketinggian 10 m di atas permukaan laut (BMKG Gorontalo, 2011). Keadaan iklim

daerah penelitian sebagai berikut:

4.1.2.1 Curah Hujan

Data rata-rata curah hujan bulanan, daerah penelitian selama sepuluh tahun

(2002 – 2011), dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa

rata-rata curah hujan bulanan stasiun BPP Suwawa berkisar antara 61,60-143,50

mm dengan rata-rata 108,51 mm/bulan. Rata-rata curah hujan terendah terjadi pada

bulan Agustus (61,60 mm), dan tertinggi pada bulan Maret (143,50 mm).

Gambar 9. Peta Administrasi Kabupaten Bone Bolango

Sedangkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.302,10 mm/tahun. Gambar 3

memperlihatkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan stasiun BPP Tapa berkisar

antara 54,70-207,10 mm dengan rata-rata 135,48 mm/bulan. Rata-rata curah hujan

terendah terjadi pada bulan Agustus (54,70 mm), dan tertinggi pada bulan Maret

(207,10 mm). Sedangkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.625,80

mm/tahun.

Gambar 3. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan (mm) Stasiun BPP Suwawa dan BPP

Tapa Selama 10 Tahun (2002-2011)

4.1.2.2 Temperatur Udara, Lama Penyinaran, Kelembaban Nisbi dan Kecepatan

Angin

Data rata-rata temperatur udara, lama penyinaran, kelembaban nisbi dan

kecepatan angin, di daerah penelitian selama sepuluh tahun (2002-2011) diambil

dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Meteorologi Jalaludin

Gorontalo pada ketinggian 18 m di atas permukaan laut.

Gambar 4 menunjukkan temperatur bulanan berkisar antara 26,50oC

(Februari) sampai 27,70oC (Oktober) dengan nilai rata-rata tahunan sebesar 26,94

oC. Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata lama penyinaran bulanan berkisar

antara 57,10% (Desember) sampai 71,70% (Oktober) dengan nilai rata-rata

tahunan sebesar 644,09%. Selanjutnya Gambar 6 menunjukkan bahwa rata-rata

kelembaban nisbi bulanan berkisar antara 73,40% (September) sampai 84,20%

0

50

100

150

200

250

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des

mm

BPP Suwawa

BPP Tapa

(Maret) dengan nilai rata-rata tahunan sebesar 80,33%. Sedangkan Gambar 7

menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin berkisar antara 1,60 km/jam (April)

sampai 3,80 km/jam (Agustus) dengan nilai rata-rata tahunan sebesar 2,32 km/jam.

Gambar 4. Rata-Rata Temperatur Bulanan (oC) Selama 10 Tahun (2002-2011)

Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo

Gambar 5. Rata-Rata Lama Penyinaran Matahari (%) Selama 10 Tahun (2002-

2011) Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo

25.00

26.00

27.00

28.00

29.00

30.00

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des

C

50.00

56.00

62.00

68.00

74.00

80.00

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des

(%)

Gambar 6. Rata-Rata Kelembaban Nisbi (%) Selama 10 Tahun (2002-2011)

Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo

Gambar 7. Rata-Rata Kecepatan Angin Bulanan (km/jam) Selama 10 Tahun (2002-

2011) Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo

4.1.2.3 Evapotranspirasi

Nilai evapotranspirasi daerah penelitian yang dihitung dengan menggunakan

persamaan 1, 2 dan 3 (Penman 1948). Hasilnya, nilai evapotranspirasi daerah

penelitian berkisar antara 87,07-141,44 mm/bulan. Nilai evapotranspirasi tertinggi

terjadi pada bulan Oktober sebesar 141,44 mm/bulan, sedangkan evapotranspirasi

terendah terjadi pada bulan Juni 87,07 mm/bulan. Selanjutnya untuk melihat

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des

km

/ja

m

70.00

75.00

80.00

85.00

90.00

95.00

100.00

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des

(%)

hubungan antara evapotranspirasi dengan curah hujan, maka disajikan data-data

yang tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Hubungan antara Rata-rata Curah Hujan Efektif dengan Nilai

Evapotranspirasi di Daerah Penelitian

Bulan Curah Hujan

(mm/bulan)

Curah Hujan Efektif

(mm/bulan)

ETp

(mm/bulan)

0.5 Etp

(mm/bulan)

Januari 145,40 120,4 124,21 62,11

Februari 114,55 89,55 108,94 54,47

Maret 175,30 150,3 115,70 57,85

April 153,65 128,65 110,03 55,01

Mei 123,40 98,4 98,12 49,06

Juni 131,40 106,4 87,07 43,54

Juli 118,35 93,35 92,75 46,37

Agustus 58,15 48,15 113,51 56,75

September 77,35 52,35 123,69 61,85

Oktober 103,15 78,15 141,44 70,72

November 117,60 92,6 138,36 69,18

Desember 145,65 120,65 113,64 56,82

Total 1.463,95 1.178,95 1.367,45 683,72

Rata-rata 122,00 98,2458 113,95 56,98

Sumber: Hasil Perhitungan (2012)

Nilai evapotranspirasi tahunan sebesar 1.367,45 mm dengan rata-rata nilai

evapotranspirasi tahunan sebesar 113,95 mm/tahun. Menurut Bachri dan

Djaenuddin (1999), bahwa untuk melihat lama pertumbuhan tanaman maka

besarnya evepotranspirasi harus dibagi dua (0,5 ETp). Selanjutnya curah hujan

efektif berkisar antara 58,15 mm/bulan pada bulan Agustus sampai 175,30

mm/bulan pada bulan Maret. Hubungan ini yang selanjutnya menjadi dasar dalam

pembuatan kalender tanaman dan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan Antara Curah Hujan Efektif dan Evapotranspirasi (ETp) dan

0,5 ETp (mm)

Gambar 8 memperlihatkan bahwa surplus curah hujan terjadi pada bulan

Januari dan turun pada bulan Februari, walaupun tidak sampai mengalami defisit.

Kondisi surplus curah hujan, puncaknya terjadi pada bulan Maret, turun mulai

bulan April sampai mendekati defisit curah hujan pada bulan Agustus. Sementara

itu, mulai bulan September sampai Desember telah mengalami kondisi surplus.

Dari kondisi tersebut, diharapkan masayarakat yang ada di Kabupaten Bone

Bolango dapat memanfaatkan bulan-bulan surplus untuk berusahatani tanaman

perkebunan seperti tanaman kopi robusta tinggal disesuaikan dengan kondisi

tersebut di atas,

4.1.3 Hidrologi

Air sebagai salah satu kebutuhan makhluk hidup yang utama sebenarnya

merupakan bahan di permukaan bumi yang selalu mengalami perubahan dari fase

padat, cair, dan gas (uap), serta mengikuti bentuk tempat dimana air tersebut

berada. Proses ini menyebabkan air dalam sistem bumi-atmosfer membentuk suatu

siklus yang disebut siklus hidrologi (Puslittanak 1995).

Siklus hidrologi merupakan konsep dasar mengenai keseimbangan air secara

global dan juga menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan air (Kodoatie,

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des

mm

Curah Hujan (mm)

Curah Hujan Efektif (mm/bulan)

ETP (mm/bulan)

0,5 ETP (mm/bulan)

1996). Selanjutnya Puslittanak (1995), menyatakan bahwa meskipun siklus ini

berlangsung terus menerus, tetapi ternyata tidak merata. Perbedaan kondisi ini

sangat dipengaruhi oleh kondisi meteorology (suhu, tekanan atmosfer, angin,

radiasi dan lain-lain), serta topografi (ketinggian, lereng dan sebagainya).

Salah satu aspek hidrologi yang penting adalah aspek pengaliran air. Sungai-

sungai yang mengalir ke Kabupaten Bone Bolango itu cukup banyak, terdiri atas 2

sungai besar dan sungai kecil. Kedua sungai besar tersebut adalah:

a. Sungai Bone dengan panjang sungai kira-kira 90,00 kilometer

b. Sungai Bolango dengan panjang sungai kira-kira 40,00 kilometer

Sungai-sungai kecil yang terdapat di Bone Bolango antara lain sungai Tamboo

(3,50 kilometer), sungai Inengo (10,25 kilometer), sungai Kiki (5,00 kilometer),

sungai Molotabu (5,50 kilometer), sungai Aladi (5,00 kilometer), sungai Bututonuo

(7,25 kilometer), sungai Oluhuta (3,75 kilometer), sungai Olele (4,00 kilometer),

sungai Tolotio (6,25 kilometer), sungai Butalo (11,50 kilometer), sungai Bilungala

(15,00 kilometer), sungai Tongokiki (6,50 kilometer), sungai Tongodaa (2,75

kilometer), sungai Uabanga (7,75 kilometer), sungai Tombulilato (20,00

kilometer), sungai Ombulo (3,50 kilometer), sungai Mamunga Daa (7,00

kilometer), sungai Mopuya Daa (5,00 kilometer), sungai Mopuya Kiki (3,50

kilometer), sungai Tapambudu (3,25 kilometer), sungai Monano (9,50 kilometer),

sungai Topidaa (3,50 kilometer), sungai SogitaDaa (6,50 kilometer), sungai Sogita

Kiki (5,50 kilometer), sungai Taludaa (18,00 kilometer) (Peta Rupa Bumi

Indonesia, 1993).

4.1.4 Geologi dan Bahan Induk

Menurut Apandi dan Bachir (1997), daerah penelitian memiliki struktur

berupa sesar dan lipatan. Sesar normal arahnya kurang beraturan namun dibagian

barat lembang cenderung berarah lebih - kurang timur – barat. Sesar mendatar

besar berpasangan dengan arah UUB – SST (sesar menganan) dan UUT – SSB

(sesar mengiri).

Gambar 10. Peta Geologi Kabupaten Bone Bolango

Menurut Peta Geologi Lembar Kotamobagu Sulawesi Utara, skala 1 :

250.000 (Apandi dan Bachri 1997), daerah penelitian ini terdiri atas 6 formasi

geologi yaitu : Alluvium dan Endapan Pantai (Qal), Batu Gamping Terumbu (Ql),

Endapan Danau (Qpl), Batuan Gunung Api Pinogu (TQpv), Diorit Bone (Tmb),

Batuan Gunung Api Bilungala (Tmbv).

a. Aluvium dan Endapan Pantai (Qal): Pasir, lempung, lumpur, kerikil dan

kerakal.

b. Batu Gamping Terumbu (Ql): Batu gamping terangkat dan batu gamping

klastik dengan komponen utama koral, setempat berlapis, terutama dijumpai di

daerah pantai selatan dan setempat di dekat Panong, daerah pantai utara.

c. Endapan Danau (Qpl): Satuan ini dikuasai oleh batu lempung kelabu, setempat

mengandung sisa tumbuhan dan lignit. Batu pasir berbutir halus sampai kasar

serta kerikil dijumpai di beberapa tempat. Satuan ini termampatkan lemah,

tebalnya menurut data bor mencapai 94 meter (Trail 1974.

d. Batuan Gunung Api Pinogu (TQpv): Tuf, tuf lapili, breksi dan lava. Breksi

gunung api di Pegunungan Bone, Gunung Mongadalia dan Pusian bersusun

andesit piroksin dan dasit. Tuf yang tersingkap di Gunung Lemibut dan

Gunung Lolombulan umumnya berbatu apung, kuning muda, berbutir sedang

sampai kasar, diselingi oleh lava bersusunan menengah sampai basa. Tuf dan

tuf lapili di sekitar Sungai Bone bersusunan dasitan. Lava berwarna kelabu

muda hingga kelabu tua pejal, umumnya bersusunan andesit piroksin. Satuan

ini secara umum termampatkan lemah sampai sedang, umumnya diduga

Pliosen-Plistosen (John and Bird, 1973) atau Tropic Endeavour, 1973

e. Diorit Bone (Tmb): Diorit kuarsa, diorit, granodiorit, granit. Diorite kuarsa

banyak dijumpai di daerah S. Taludaa dengan keragaman diorite, granodiorit

dan granit. Sedang granit utamanya dijumpai didaaerah S. Bone. Satuan ini

menerobos batuan gunung api Bilungala maupun formasi Tinombo. Umur

satuan ini sekitar miosen akhir.

Gambar 11. Peta lereng Kabupaten Bone Bolango

f. Batuan Gunung Api Bilungala (Tmbv): Breksi, tuf dan lava bersusunan

andesit, dasit dan riolit. Zeolit dan kalsit sering dijumpai pada kepingan batuan

penyusun breksi. Tuf umumnya bersifat dasitan, agak kompak dan berlapis

buruk dibeberapa tempat. Di daerah pantai selatan dekat Bilungala satuan ini

dikuasai oleh lava dan breksi yang umumnya bersusunan dasit, dan dicirikan

oleh warna alterasi kuning sampai cokelat, mineralisasi pirit, perekahan yang

intensif, serta banyak dijumpai batuan terobosan diorit. Propilitisasi, klorotisasi

dan epidotisasi banyak dijumpai pada lava. Tebal satuan diperkirakan lebih dari

1000 meter, sedang umunya berdasarkan kandungan fosil dalam sisipan

batugamping adalah Miosen Bawah-Miosen Akhir. Nama satuan pertama kali

diajukan oleh PT. Tropic Endeavour, (1972).

4.1.5 Fisiografi

Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000, maka daerah

penelitian terletak pada ketinggian 100 sampai dengan 500 meter di atas pemukaan

laut. Fisiografi daerah penelitian dibedakan ke dalam 3 grup landform, yaitu

(Puslittanak, 1995):

a. Grup landform alluvial merupakan landform muda baik resen maupun subresen

yang terbentuk dari proses fluviasi (sungai danau), maupun koluviasi

(gravitasi), atau gabungan keduanya. Endapan bahan-bahan tersebut bersifat

berlapis-lapis (stratified), yang menunjukkan pengendapan terjadi secara

berulang-ulang dari bahan yang berbeda jenis dan ukurannya dan biasanya

bahan halus berada di atas lahan yang lebih kasar sebab gravitasi. Bahan yang

diendapkan aluvio-kolovium di atas endapan danau (lakustrin), kadang-kadang

di atas lapisan gambut.

b. Grup landform karst merupakan landform yang didominasi oleh bahan batu

gamping, pada umumnya keadaan morfologi daerah ini tidak teratur. Landform

ini dicirikan oleh adanya proses pelarutan bahan batuan penyusun yaitu dengan

terjadinya sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalagtit, stalagmit, dll.

c. Grup landform volkan yang terbentuk dari hasil aktivitas erupsi gunung api,

baik yang masih muda (resen), maupun yang sudah agak tua (subresen).

Landform ini dicirikan oleh bentukan kerucut volkan, aliran lava atau lahar,

creater, perbukitan volkan atau dataran yang merupakan akumulasi bahan

volkan.

4.1.6 Tanah

Di daerah penelitian tanah-tanah diklasifikasikan menurut sistem Soil

Taxonomy (Soil Survey Staff, 1999), sampai tingkat famili tanah. Hasilnya

ditemukan 4 ordo di daerah penelitian yaitu Alfisols, Entisols, Inceptisols dan

Mollisols yang tersebar pada 33 satuan lahan yang diuraikan sebagai berikut:

a. Alfisols, tanah ini mempunyai perkembangan profil yang dicirikan oleh

terjadinya iluviasi liat yang membentuk horison argilik. Solum tanah tebal,

struktur cukup kuat dan konsistensi teguh. Terbentuk dari bahan induk volkan

andesitik-basaltik dan intrusi diorit, dan granodiorit. Penyebarannya di

landform aluvial dan perbukitan volkan. Pada landform aluvial, tanah ini

berasosiasi dengan Inceptisol dan Mollisol. Pada landform aluvial, terdapat

pengaruh stagnasi air atau proses redoks sehingga membentuk tanah

berdrainase terhambat, dan banyak karatan di lapisan bawah. Tanah bersolum

tebal, tekstur liat, banyak karatan besi dan mangan, reaksi tanah agak masam

sampai alkalis. Pada landform perbukitan, tanah berdrainase baik, tekstur halus

diatas skeletal atau fragmental, selaput liat jelas, reaksi tanah agak masam

sampai netral. Kadang-kadang dijumpai sisipan batukapur di lapisan bawah.

b. Entisols, tanah ini dijumpai belum mempunyai perkembangan profil tanah

dengan susunan horison A-C. Terbentuk dari bahan induk aluvium, endapan

liat dan pasir, endapan marin, lavilli, abu, batu apung, tufa, breksi andesit dan

lava. Penyebarannya pada landform grup aluvial, marin, fluvio-marin dan

volkanik. Mulai dari jalur aliran sungai meandering, pesisir, dataran pasang

surut, delta estuarin, dataran estuarin, kaki volkan, dataran volkan dan

pegunungan volkan tua tertoreh. Bentuk wilayah datar sampai agak datar,

berombak, bergelombang dan bergunung, drainase dari terhambat sampai

cepat, tekstur liat sampai pasir, reaksi tanah agak masam.

c. Inceptisols, tanah ini mempunyai perkembangan profil dengan susunan horison

A-Bw-C, dicirikan oleh horison kambik. Terbentuk dari bahan induk aluvium

dan intrusi volkan (diorit-granodiorit). Penyebarannya pada landform aluvial

dan perbukitan volkan. Pada landform aluvial datar atau agak datar umumnya

berdrainase terhambat, tekstur liat, kadang-kadang dijumpai bidang kilir, reaksi

tanah netral sampai alkalis. Pada dataran banjir, stratifikasi bahan endapan

masih terlihat jelas, bertekstur berlempung sampai berliat halus, dan reaksi

tanah netral. Pada landform teras sungai, banyak dijumpai lapisan kerikil di

lapisan bawahnya. Di daerah perbukitan, tekstur dan kedalaman tanah

bervariasi. Tekstur umumnya berliat diatas skeletal atau fragmental (berkerikil

atau berbatu), kedalaman tanah dangkal pada wilayah curam, dan dalam pada

lereng landai. Reaksi tanah agak masam sampai agak alkali, kadang-kadang

mengandung hablur kapur di lapisan bawah.

d. Mollisols, tanah mempunyai perkembangan profil dengan susunan horison A-

Bw-C atau A-Bt-C, yang dicirikan oleh epipedon molik dan horison kambik

atau argilik. Sebagian tanah mempunyai epipedon molik tebal (>50 cm).

Penyebarannya cukup luas di daerah perbukitan volkan pada lereng bawah, dan

berasosiasi dengan Alfisol atau Inceptisol. Umumnya digunakan untuk tegalan

dan perkebunan kelapa. Tanah berpenampang dalam, drainase baik, tekstur

umumnya halus dan mengandung kerikil dan fragmen batuan di lapisan bawah,

dan reaksi tanah netral sampai alkalis. Kadang-kadang dijumpai hablur atau

nodul kapur di lapisan bawah.

Tabel 4 memperlihatkan bahwa Alfisols merupakan ordo tanah yang terluas

di daerah penelitian yaitu 49.045 ha (58,56% dari luas total) yang tersebar pada

satuan lahan 8, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 29, 31 dan 32. Ordo

Entisols seluas 24.382 ha (29,11% dari luas total) yang tersebar pada satuan lahan

2, 4, 30 dan 33. Selanjutnya ordo Inceptisols seluas 9.652 ha (11,52% dari luas

total) yang tesebar pada satuan lahan 1, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 14, 15, 20, 25 dan 27.

Gambar 13. Peta Jenis Tanah Kabupaten Bone Bolango

Sedangkan ordo Mollisols seluas 675 ha (0,81% dari luas total) yang tersebar pada

satuan lahan 19.

Tabel 6. Klasifikasi Tanah di Daerah Penelitian

Ordo Sub Ordo Great Group Famili Satuan

Lahan

Luas

(Ha)

Lithic

Haplustalfs,

halus

21, 22, 28,

31

17.693

Alfisols Ustalfs Haplustalfs Typic

Haplustalfs,

berlempung

halus

8, 11, 12,

13, 16, 17,

18, 23, 24,

26, 29,32

31.353

Aquents

Endoaquents

Typic

Endoaquents,

halus

2

1.814

Entisols

Psamments

Ustipsamments

Typic

Ustipsamments,

sandy

4

3.821

Orthents

Ustorthents

Typic

Ustorthents,

fragmentasi

dangkal

30, 33

18.747

Aquic

Haplustepts,

berlempung

halus

5

1.124

Inceptisols

Ustepts

Haplustepts

Fluventic

Haplustepts,

berlampung

halus di atas

berpasir

1

1.225

Typic

Haplustepts,

berlempung

halus

3, 6, 7, 9,

10, 14, 15,

20, 25, 27

7.303

Mollisols

Ustolls

Haplustolls

Typic

Haplustolls,

fragmentasi

dangkal

19

675

Total 83.745

Sumber: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) Deptan (2005)

4.2 Keadaan Sumberdaya Manusia

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone Bolango (2012),

maka keadaan masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut:

4.2.1 Luas dan Kepadatan Penduduk

Data luas dan kepadatan penduduk daerah penelitian tertera pada Tabel 7.

Tabel 7 memperlihatkan bahwa kecamatan terluas adalah Kecamatan Suwawa

Timur (489,20 km2) dan kecamatan yang terkecil adalah Kecamatan Bulango

Selatan (9,87 km2). Sedangkan penduduk terbanyak adalah Kecamatan Kabila

(22.332 jiwa), dengan kepadatan penduduk 115 per km2 dan penduduk terendah

adalah Kecamatan Bulango Ulu (3.878 jiwa), dengan kepadatan penduduk 49 per

km2.

Tabel 7. Luas dan Kepadatan Penduduk di Daerah Penelitian

Kecamatan

Luas Penduduk Kepadatan

Penduduk

km2 % Jumlah

(orang) % (orang/km2)

001. Tapa 64,41 3,25 7.563 4,95 117

002. Bulango Utara 176,10 8,87 7.291 4,77 41

003. Bulango Selatan 9,87 0,50 10.168 6,66 1.030

004. Bulango Timur 10,82 0,55 5.292 3,46 489

005. Bulango Ulu 78,41 3,95 3.878 2,54 49

006. Kabila 193,45 9,75 22.332 14,62 115

007. Botupingge 47,11 2,37 6.120 4,01 130

008. Tilongkabila 79,74 4,02 17.034 11,15 214

009. Suwawa 33,51 1,69 11.898 7,79 355

010. Suwawa Selatan 184,09 9,28 5.158 3,38 28

011. Suwawa Timur 489,20 24,65 7.184 4,70 15

012. Suwawa Tengah 64,70 3,26 6.151 4,03 95

013. Bone Pantai 161,82 8,15 10.789 7,06 67

014. Kabila Bone 143,51 7,23 10.817 7,08 75

015. Bone Raya 64,12 3,23 6.486 4,25 101

016. Bone 72,71 3,66 9.374 6,14 129

017. Bulawa 111,01 5,59 5.228 3,42 47

Kabupaten Bone Bolango 1.984,58 100,00 152.763 100,00 77

Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)

4.2.2 Jumlah Penduduk Menurut Umur

Penggambaran penduduk menurut struktur umur berguna untuk mengetahui

jumlah penduduk produktif dan penduduk non produktif, hal ini akan berpengaruh

pada angkatan kerja di suatu wilayah serta tingkat ketergantungan penduduk non

produktif pada penduduk produktif. Selain itu, penggambaran penduduk menurut

struktur umur juga diperlukan untuk perhitungan penyediaan fasilitas sosial dan

ekonomi.

Data jumlah penduduk menurut umur daerah penelitian tertera pada Tabel 6.

Tabel 8 memperlihatkan bahwa kelompok umur penduduk muda (young population)

yang berumur 0–19 untuk Kabupaten Bone Bolango 59.542 jiwa dengan persentase

39,90%, sedangkan kelompok umur penduduk produktif (productive population)

yang berumur 20–49 untuk Kabupaten Bone Bolango 69.874 jiwa dengan persentase

46,83% dan kelompok umur penduduk tua (old population) yang berumur 50–65+

untuk Kabupaten Bone Bolango 19.797 jiwa dengan persentase 13,27% dari total

penduduk.

Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Daerah Penelitian

Kelompok Umur / Aged Group

Penduduk (Orang)

Laki-laki /

Male

Perempuan /

Female Jumlah/Total

0 – 4 6.108 5.731 11.839

5 – 9 8.699 8.462 17.161

10 – 14 8.075 7.665 15.740

15 – 19 7.496 7.306 14.802

20 – 24 6.370 6.099 12.469

25 – 29 6.727 6.567 13.294

30 – 34 6.456 6.143 12.599

35 – 39 6.364 6.077 12.441

40 – 44 5.296 5.087 10.383

45 – 49 4.316 4.372 8.688

50 – 54 3.457 3.514 6.971

55 – 59 2.802 2.958 5.760

60 – 64 1.891 2.079 3.970

65+ 1.373 1.723 3.096

Jumlah 75.430 73.783 149.213

Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)

4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Data keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kabupaten Bone

Bolango tertera pada Tabel 9. Tabel 9 memperlihatkan bahwa di Kabupaten Bone

Bolango penduduknya terbesar bermata pencaharian sebagai kelompok lapangan

pekerjaan utama yaitu dengan persentase 23,63% pada tahun 2009, meningkat pada

tahun 2011 dengan persentase 26,37%.

Tabel 9. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Daerah Penelitian

Lapangan Pekerjaan Utama Persentase (%)

2009 2010 2011

1. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan,

Perburuan dan Perikanan 41,24 36,13 28,43

2. Industri Pengolahan 5,17 6,18 7,09

3. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah

Makan dan Hotel 11,11 11,71 13,30

4. Jasa Kemasyarakatan 18,85 22,44 24,81

5. Lainnya (Pertambangan, Listrik, Gas,

Air, Bangunan, Transportasi) 23,63 23,50 26,37

Jumlah 100,00 100,00 100,00

Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)

4.3 Sarana Penunjang Pertanian di Daerah Penelitian

Ketersediaan sarana penunjang pertanian di Kabupaten Bone Bolango dapat

dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 memperlihatkan bahwa sarana penunjang pertanian

di daerah penelitian sudah cukup memadai walaupun tidak semua kecamatan

memiliki KUD, KOPERTA dan Koperasi Perkebunan. Namun hampir disetiap

kecamatan sudah memiliki pasar.

Tabel 10. Sarana Penunjang Pertanian di Daerah Penelitian

No Kecamatan

Sarana

KUD KOPERTA

Koperasi

Perkebunan Pasar

1 Tapa 1 0 0 1

2 Bulango Utara 1 0 0 0

3 Bulango Selatan 0 2 1 0

4 Bulango Timur 0 0 0 1

5 Bulango Ulu 0 0 0 0

6 Kabila 1 3 1 2

7 Botupingge 1 0 0 1

8 Tilongkabila 1 3 0 1

9 Suwawa 0 2 1 2

10 Suwawa Selatan 0 1 0 0

11 Suwawa Timur 0 1 0 1

12 Suwawa Tengah 1 0 0 1

13 Bone Pantai 1 0 0 1

14 Kabila Bone 0 1 0 1

15 Bone Raya 1 1 0 1

16 Bone 0 1 0 3

17 Bulawa 0 0 0 1

Kab Bone Bolango 8 15 3 17

Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)