bab iv dampak kebijakan segregatif kelembagaan …digilib.uinsby.ac.id/3185/5/bab 4.pdf · bab iv...

94
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 134 BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN SEGREGATIF KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM DI ERA KOLONIAL BELANDA A. Pelapisan Kelembagaan Pendidikan, Krisis Ekonomi, dan Kebijakan Subsidi Salah satu konsekuensi dari keluarnya kebijakan pembentukan Departemen Pendidikan dan Pengajaran (Departement vaan Onderwijs en Eeredienst) dan Kantor Urusan Bumiputra (Kantoor voor Inlandsche Zaken) yang memiliki otonomi masing-masing adalah semakin menguatnya pelapisan dalam kelembagaan pendidikan dengan peruntukan keturunan Boemipoetra di Hindia Belanda. Jika sebelumnya, lekatnya pelapisan lebih terkait dengan antar lembaga pendidikan atau sekolah milik pemerintah (negeri), maka dalam perkembanganya, pelapisan juga menyentuh pada sekolah-sekolah partikelir (swasta). Meskipun sama-sama berstatus partikelir, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending Kristen dan Missi Katholik lebih beruntung dengan mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah kolonial. Sebaliknya, dimata pemerintah kolonial, tepatnya pada era sebelum pemberlakuan kebijakan politik etis, tidak satu pun lembaga pendidikan Islam mendapatkan status yang sama dengan sekolah-sekolah partikelir (swasta) Zending dan Missi. Dengan tidak adanya pengakuan dari pemerintah kolonial, lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak pernah tersentuh oleh bantuan finansial (subsidi) dari pemerintah kolonial. Secara politik, pemberian subsidi bukan saja merepresentasikan bentuk dukungan pemerintah terhadap keberlanjutan lembaga lembaga pendidikan partikelir yang menerima. Lebih dari itu, pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah

Upload: others

Post on 15-Oct-2019

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

134

BAB IV

DAMPAK KEBIJAKAN SEGREGATIF

KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM

DI ERA KOLONIAL BELANDA

A. Pelapisan Kelembagaan Pendidikan,

Krisis Ekonomi, dan Kebijakan Subsidi

Salah satu konsekuensi dari keluarnya kebijakan pembentukan Departemen

Pendidikan dan Pengajaran (Departement vaan Onderwijs en Eeredienst) dan Kantor

Urusan Bumiputra (Kantoor voor Inlandsche Zaken) yang memiliki otonomi

masing-masing adalah semakin menguatnya pelapisan dalam kelembagaan

pendidikan dengan peruntukan keturunan Boemipoetra di Hindia Belanda. Jika

sebelumnya, lekatnya pelapisan lebih terkait dengan antar lembaga pendidikan atau

sekolah milik pemerintah (negeri), maka dalam perkembanganya, pelapisan juga

menyentuh pada sekolah-sekolah partikelir (swasta). Meskipun sama-sama berstatus

partikelir, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending Kristen dan Missi Katholik

lebih beruntung dengan mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah kolonial.

Sebaliknya, dimata pemerintah kolonial, tepatnya pada era sebelum pemberlakuan

kebijakan politik etis, tidak satu pun lembaga pendidikan Islam mendapatkan status

yang sama dengan sekolah-sekolah partikelir (swasta) Zending dan Missi.

Dengan tidak adanya pengakuan dari pemerintah kolonial, lembaga-lembaga

pendidikan Islam tidak pernah tersentuh oleh bantuan finansial (subsidi) dari

pemerintah kolonial. Secara politik, pemberian subsidi bukan saja merepresentasikan

bentuk dukungan pemerintah terhadap keberlanjutan lembaga –lembaga pendidikan

partikelir yang menerima. Lebih dari itu, pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

135

partikelir sekaligus merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap status

sekolah-sekolah tersebut. Sekolah-sekolah partikelir bersubsidi berarti berstatus

diakui dan menjadi bagian dari sistem pendidikan Hindia Belanda.

Secara historis, subsidi pendidikan mulai menjadi perbincangan serius

dikalangan elit pemerintah kolonial, ketika ekonomi Hindia Belanda memburuk

akibat krisis gula yang terjadi pada tahun 1884 dan 1893.1 Bukan hanya gula, seluruh

industri di Hindia Belanda nyaris mengalami kebangkrutan, sehingga berpengaruh

sangat besar bagi perekonomian maupun pendapatan pemerintah saat itu.

Konsekuensinya, pemerintah kolonial melakukan pengeluaran dengan disertai

pengetatan atau perampingan anggaran besar-besaran diberbagai sektor publik,

termasuk didalamnya, sektor pendidikan.

Setidaknya terdapat dua faktor penting yang mendorong terjadinya krisis

industri gula di Hindia Belanda. Fakta yang pertama adalah, ketika Eropa yang saat

itu menjadi pangsa pasar terbesar gula dari Hindia Belanda, sebagian besar beralih

ke gula bit (beet sugar).2 Konsekuensinya, Hindia Belanda mengalami surplus gula,

karena semakin mengecilnya permintaan dari Negara-negara konsumen. Kondisi ini

diperparah oleh faktor kedua, yaitu serangan hama mulai menyerang tanaman tebu di

Cirebon, lalu menyebar ke arah timur dan mencapai ujung timur pulau Jawa pada

tahun 1892.3

1 S. Nasution, Sejarah Pendidikan (Bandung: Penerbit Jemmars, 1983), 14.

2 Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV

(Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), 125. 3 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007),

270.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

136

Krisis gula berkelindan dengan krisis disektor industri perkebunan lainnya,

terutama kopi dan tembakau. Seperti halnya industri gula, pada awalnya industri

kopi dan tembakau mengalami perkembangan pesat dan memberikan keuntungan

besar bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Terutama antara tahun 1870-1885,

keuntungan besar diperoleh paska dibukanya Terusan Suez pada 1869, sehingga

biaya pengangkutan hasil produksi semakin efisien. Seperti dicatat oleh

Poesponegoro dan Notosusanto, pembukaan Terusan Suez “sangat mengurangi jarak

antara negara penghasil tanaman-tanaman dagang ini dan pasaran dunia yang

terpenting di Eropa Barat.4

Sama halnya yang terjadi dalam industri gula, harga kopi juga anjlok

dipasaran dunia pada tahun 1885. Demikian pula, harga tembakau juga menurun

tajam pada tahun 1891.5 Ditengah menurunnya harga di pangsa pasar global,

perkebunan kopi terhimpit masalah serius dengan munculnya hama daun kopi yang

sudah mulai meluas sejak tahun 1878. Pada saat yang sama, “tidak adanya paksaan

terhadap tenaga kerja dan harga yang menarik, maka hasil kopi pun merosot”.6

Produksi tembakau juga cenderung menurun, terutama di Karesidenan Besuki yang

terletak di Jawa bagian timur paska berakhirnya sistem paksa.7

Krisis industri perkebunan yang sebelumnya menjadi andalan penopang

pendapatan pemerintah kolonial memiliki konsekuensi serius bagi perekonomian

Hinda Belanda. Menarik sekali uraian Parakitri,

4 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 125.

5 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 125.

6 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 270-271.

7 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 125.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

137

“Dengan berkurangnya peranan gula sejak resesi dunia pada 1884, hampir

semua usaha yang berkaitan dengannya (economic linkage) ikut pula susut.

Sebaliknya, tembakau, teh, sawit, dan karet, maupun minyak bumi dan timah,

yang berkembang di luar Jawa, tak dapat melahirkan kaitan ekonomis yang

sama kayanya. Karet, tembakau, sawit, dan teh, berbeda dengan gula, dapat

dikembangkan dengan teknologi yang kecanggihannya jauh lebih rendah.

Sebaliknya, pertambangan menuntut teknologi yang jauh lebih canggih,

sehingga berada diluar keperluan maupun kemampuan perekonomian

rakyat”.8

Pada pertengahan hingga paruh akhir tahun 1880-an, Hindia Belanda benar-benar

mengalami depresi ekonomi. Pemasukan dari perusahaan-perusahaan perkebunan

tidak lagi dapat diharapkan, karena sebagian besar telah mengalami kebangkrutan.9

Bahkan, sebagian besar perusahaan-perusahaan tersebut disita dan diambil alih

kuasanya oleh Bank-Bank Perkebunan (Cultuurbanken) dan perusahaan-perusahaan

besar.10

Sementara, pemerintah kolonial juga tidak memungkinkan untuk

mendapatkan sumber-sumber keuangan dari penduduk Hindia Belanda, yang saat itu

juga terpukul dan terkena dampak serius akibat krisis ekonomi.

Akibat depresi ekonomi, pemerintah kolonial menempuh kebijakan

memperketat, merampingkan, dan mengurangi alokasi anggaran, termasuk untuk

bidang pendidikan. Pengurangan alokasi anggaran memiliki konsekuensi serius

terhadap perkembangan pendidikan dengan peruntukan anak-anak keturunan

Boemipoetra. Depdikbud menggambarkan,

“Pemerintah mulai menangani dengan serius pendidikan Bumiputra sejak

tahun 1948 dan semenjak itu berkembang dengan pesat sampai tahun 1882.

Tahun berikutnya yaitu 1883, Belanda termasuk Hindia Belanda mengalami

masa sulit karena pengaruh dari tahun-tahun “malaise” yang berlangsung

8 Parakitri, Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), 167.

9 Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. IV, 126.

10 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 270.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

138

sampai tahun 1892. akibat dari periode itu, antara lain ialah membuang hal-

hal yang dirasakan tidak perlu dan mencari jalan-jalan baru untuk

mempertahankan yang ada. Personil dimana perlu dikurangi dan bagi yang

masih ada, tata tertib dan disiplin kerja ditingkatkan. Pada tahun-tahun malise

tersebut dilaksanakan kebijakan penghematan besar-besaran dan pendidikan

Bumiputra banyak “menderita” karenanya. Banyak sekolah Pendidikan Guru

(Kweekschool) yang ditutup dan banyak mata pelajaran yang dihapus. Lama

belajar, jumlah murid, tunjangan, dan gaji guru dikurangi. Usia (anak)

sekolah dasar dibatasi sampai umur 17 tahun (sebelumnya ada yang berusia

sampai 26 tahun). Gaji maksimum guru sebelum penghematan berjumlah

f.150,- kemudian diturunkan menjadi f.50,-. Sambil menunggu reorganisasi

yang ternyatan diadakan pada tahun 1893, tidak dibuka sekolah baru sama

sekali”.11

Selain tindakan-tindakan pemerintah diatas, beberapa kebijakan terkait dengan

keberlanjutan pendidikan boemipotra juga dikeluarkan. Salah satu kebijakan yang

dikeluarkan adalah memberikan kewenangan lebih besar atau lebih tepatnya,

mengalihkan tanggung jawab pendidikan (compulsory education) yang sebelumnya

berada ditangan pemerintah kepada masyarakat non pemerintah atau pihak swasta.

Penyerahan penyelenggaraan kepada pihak swasta disertai dengan pemberian

sokongan (subsidi) dari pemerintah. Tentu saja, memberikan subsidi jauh lebih

ringan beban keuangan yang harus ditanggung oleh pemerintah.

Setelah melalui perdebatan panjang di Parlemen, maka pada tahun 1889

disyahkan Undang-Undang yang salah satu substansinya mengatur tentang

pemberian subsidi bagi sekolah-sekolah swasta. Dan pada tahun 1890, melalui

ketentuan (Ind.Stb. No. 224), peraturan sebelumnya yang mengatur tentang larangan

11

Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 99. Bandingkan dengan deskripsikan Parakitri, “pada 18

Mei 1884, pemerintah menganggap A.W.P Verkerk Pistorius, tadinya Ajun Inspektur Pendidikan, sebagai

Kepala Proyek Pembaharuan Pendidikan Bumiputra. Dalam waktu singkat, Sekolah Dasar Bumiputra

sudah menghilangkan semua mata pelajaran tambahan (fakultatieve vakken), termasuk bahasa Belanda.

Gaji guru turun dari 75-150 ke 40-70 gulden perbulan, dan jaminan penempatan dihapus. Beberapa

Sekolah Guru malah ditutup: Magelang dan Tondano (1885), Padang Sidempuan (1891), Banjarmasin

(1893). Nantinya, pada 1895 Sekolah Guru di Makassar juga ditutup. Parakitri, Menjadi Indonesia, 218.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

139

pemberian subsidi bagi sekolah-sekolah partikelir bercirikan agama juga dicabut

oleh pemerintah kolonial. Dan ini berarti, “prinsip netralitas negatif diganti dengan

netralitas positif”.12

Dengan keluarnya kebijakan baru ini, maka “sejak tahun 1890,

sekolah-sekolah dari berbagai agama, termasuk Islam, yang memenuhi syarat, dapat

mengajukan permohonan subsidi dari pemerintah”.13

Masuknya sekolah-sekolah Islam sebagai bagian dari lembaga-lembaga

pendidikan yang mendapatkan subsidi, pada awalnya diwarnai pro dan kontra.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Otto van Rees (1884-1888) menolak

pemberian subsidi bagi sekolah-sekolah Islam, dengan alasan “mustahil karena ada

sekitar 17.000 sekolah bercirikan Islam”.14

Alasan keterbatasan anggaran pemerintah

Hindia Belanda yang tidak mungkin “dikorbankan” untuk kepentingan lembaga-

lembaga pendidikan Islam diajukan oleh Sprenger van Eyk saat menjabat Menteri

Jajahan guna mendukung penolakan Gubernur Jenderal tersebut.

“Pada tahun 1888, Menteri Kolonial menolak memberikan subsidi kepada

sekolah-sekolah Islam, karena campur tangan Gubernur Jendral yang tidak

mau mengorbankan keuangan Negara untuk sekolah-sekolah tersebut, yang

pada akhirnya hanya berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang

sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan kita

(Belanda)”.15

Namun, beberapa elit kekuasaan lain memberikan dukungan sepenuhnya terhadap

kemungkinan pemberlakuan subsidi tersebut. Selain itu, Menteri Jajahan yang baru

menggantikan Sprenger van Eyk, yakni L.W.C Keuchenius juga mendukung

12

Parakitri, Menjadi Indonesia, 219. 13

Nasution, Sejarah Pendidikan, 14. 14

Parakitri, Menjadi Indonesia, 219. 15

Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, dan Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun

Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), 6-7.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

140

pemberian subsidi bagi sekolah Islam. Demikian pula, W.P Groeneveldt yang

menggantikan posisi Stortenbeker pada tahun 1887 juga menyetujuinya. Secara

serius, Groeneveldt menyakinkan Gubernur Jenderal bahwa, pemberian subsidi bagi

sekolah-sekolah Islam tidak akan menghabiskan keuangan pemerintah dalam jumlah

besar, karena “sedikit sekali sekolah Islam yang bersifat tetap dan mampu memenuhi

syarat subsidi”.16

Kebijakan subsidi ini berkelindan dengan proyek pemerintah kolonial untuk

mengntegrasikan lembaga-lembaga pendidikan partikelir sebagai bagian dari sistem

pendidikan nasional, dan oleh karena itu, mendapatkan perlakuan lebih besar dari

Departemen Pendidikan, Agama, dan Perindustrian. Perlakuan bukan saja berkenaan

dengan pembinaan, pengawasan, dan kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan

pembelajaran di sekolah-sekolah partikelir, melainkan juga terkait dengan dukungan

finansial (keuangan). Tak kalah pentingnya, munculnya kebijakan subsidi ini sama

sekali tidak memiliki relasi dan relevansi dengan lembaga-lembaga pendidikan

Islam. Sebaliknya, pemerintah kolonial sadar betul bahwa, pemberian subsidi

semata-mata hanya menguntungkan sekolah-sekolah partikelir milik zending Kristen

maupun Misi Katholik. Selain mendapatkan keuntungan finansial, sekolah-sekolah

partikelir tersebut juga mendapatkan pengakuan legal sebagai bagian yang menjadi

16

Parakitri, Menjadi Indonesia, 219. Terbukanya peluang mendapat subsidi bagi sekolah-sekolah

Islam juga diuntungkan oleh perubahan peta politik dan kekuasaan di Belanda. Komposisi Parlemen saat

itu mayoritasnya berasal dari koalisi Partai Anti Revolusioner yang Protestan dengan Partai Katolik.

Koalisi dua partai besar ini berhasil menggantikan dominasi partai-partai berhaluan liberal yang dikenal

luas menolak dengan keras pemberian subsidi terhadap sekolah-sekolah bercirikan agama. Selain itu,

Menteri Jajahan Mr. L.W.C Keuchenius yang menggantikan Van Eyk bukan saja sepakat dengan subsidi

pendidikan, melainkan juga “pengecam keras larangan subsidi bagi sekolah Kristen”. Parakitri, Menjadi

Indonesia, 219.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

141

kewenangan dan tanggung jawab Departemen Pendidikan, Agama, dan

Perindustrian. Aritonang menguraikan,

“The advance of education of education was primarily, and especially the

province of the government, nevertheless the role of the private sector, both

as individuals and organizations, was also recognized. More than that, private

education was valued as an integral part of whole system of Dutch East

Indies education. In actuality, as a result of the new regulations, just the

private sector developed most markedly, especially missionary education,

thanks to the allocation of subsidies”.17

Paparan sebelumnya secara tegas menunjukkan, hanya sekolah-sekolah partikelir

yang memenuhi persyaratan dapat diterima pengajuan untuk mendapatkan subsidi

dari pemerintah. Persyaratan mendapatkan subsidi pada akhir tahun 1980-an ini,

memang tidak seketat pada era pemberlakuan politik etis awal tahun 1900-an. Syarat

yang paling utama untuk mendapatkan subsidi adalah, sekolah-sekolah partikelir

pengusul “mengajarkan huruf latin dengan baik”.18

Dalam bahasa lain dikatakan,

selama sekolah-sekolah partikelir mengajarkan membaca dan menulis huruf latin,

maka dapat mengajukan subsidi dari pemerintah.

Sungguh pun demikian, persyaratan yang sederhana ini sama halnya dengan

menyingkirkan akses lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk mendapatkan

subsidi dari pemerintah. Beberapa studi yang dilakukan oleh L.W.C van den Berg

(1845-1927), J.A. van der Chijs, Soebardi, Karel Steenbrink, dan Martin van

Brunessen menunjukkan bahwa, berbagai lembaga pendidikan Islam yang tumbuh

dan berkembang sebelum abad ke-20, tidak satupun yang mengajarkan huruf latin.

Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan hanya mengajarkan baca tulis al-Qur’an

17

Aritonang, The Encounter, 35. 18

Parakitri, Menjadi Indonesia, 219.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

142

dan kitab-kitab klasik, terutama dalam bidang fikih (hukum Islam), akidah (teologi)

dan tasawuf (mistisisme Islam). Materi-materi pelajaran ini nyaris tidak mengalami

perubahan sejak abad ke-16 hingga berakhirnya abad 19 M. Sebaliknya, sekolah-

sekolah partikelir zending Kristen maupun Missi Katholik yang sejak awal telah

mengajarkan kepada para siswanya tentang membaca dan menulis dengan huruf

latin. Selain, tentu saja, juga mengajarkan mata pelajaran moral atau etika

berdasarkan doktrin-doktrin keagamaan Kristen dan Katholik.

Penyingkiran terhadap kelembagaan pendidikan Islam sebenarnya sudah

dapat dibaca, sejak Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen

menggulirkan rencana kebijakan tentang perluasan akses pendidikan bagi penduduk

Boemipoetra melalui pendirikan sekolah-sekolah pemerintah yang baru berskala

luas. Salah satu usulan yang muncul saat itu adalah, memasukkan lembaga-lembaga

pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Hindia Belanda. Dalam

bahasa lain dapat dikatakan, lembaga-lembaga pendidikan Islam diusulkan agar

dimanfaatkan untuk mengembangkan pendidikan umum bagi penduduk bumiputra,

dan konsekuensinya, keberadaannya secara struktural menjadi bagian dari

Departemen Pendidikan, Agama, dan Perindustrian. Namun, usulan yang

mengemuka saat itu, terutama dari elit pemerintah kolonial, menolaknya dengan

tegas dan lebih memilih lembaga-lembaga pendidikan Zending maupun Missi.

Dalam penjelasan lebih luas dapat digambarkan, penyingkiran dapat dirunut

sejak tanggal 8 Maret 1819, ketika Gubernur Jenderal Van der Capellen

mengeluarkan keputusan berisikan agar diadakan penelitian menyeluruh di Jawa.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

143

Fokus penelitian terkait dengan pendidikan masyarakat Boemipoetra di Jawa yang

hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan merumuskan kebijakan tepat bagi

peningkatan baca dan tulis dikalangan penduduk Boemipoetra melalui lembaga

pendidikan. Penelitian, pada saat yang sama, juga diarahkan untuk menelusuri

“apakah sebaiknya guru yang ada dimanfaatkan dan diberi motivasi melalui

peraturan yang sesuai, atau perlu menciptakan suatu keadaan yang berbeda sama

sekali”.19

Namun, tanpa argumen yang jelas, hasil penelitian diabaikan begitu saja oleh

pemerintah kolonial. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, keputusan untuk

menyelidiki lembaga pendidikan pribumi, termasuk didalamnya lembaga-lembaga

pendidikan Islam sebagai bagian dari pembukaan akses pendidikan kepada penduduk

Boemipoetra, tidak lebih “hanya sekedar menghasilkan laporan-laporan resmi

pemerintah mengenahi kondisi pesantren”.20

Pemerintah kolonial nampak tidak

ingin, enggan atau gamang untuk menempatkan lembaga pendidikan Islam sebagai

pilar penting penyediaan akses pembalajaran bagi penduduk Boemipoetra, sehingga

hasil penyelidikan diabaikan begitu saja.

19

Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 1. Namun, Steenbrink juga melaporkan bahwa,

penelitian dengan menyebarkan angket berisikan daftar pertanyaan mengenahi fokus penelitian diatas dan

diberikan kepada seluruh Residen tidak menghasilkan data sesuai harapan pemerintah kolonial. Hanya 12

Residen yang mengisi dan memberikan jawaban, dan mereka “hanya 12 orang (Residen) saja yang

memberikan jawaban”. Selain itu, laporan juga menguraikan “adanya beberapa orang juru tulis yang

memberikan pelajaran bahasa dan huruf arab, jawa atau latin”. Dan narasi terpenting dalam laporan

penelitian adalah “adanya pendidikan agama Islam dengan memakai bahasa Arab, yang merupakan

lembaga pendidikan paling penting diantara orang-orang Jawa”. Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan

Sekolah, 1-2. 20

Yudi Lathif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-

20 (Bandung: Penerbit Mizan, 2005), 109.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

144

Keengganan pemerintah kolonial untuk memasukkan lembaga pendidikan

Islam (pesantren) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan Hindia Belanda

diperkuat oleh J.A. van der Chijs. Sejak awal, ia dikenal sebagai pejabat tinggi

pemerintah kolonial yang secara tegas menolak penyesuaian lembaga pendidikan

Islam dan menempatkannya dibawah naungan Departemen Pendidikan, Agama, dan

Industri. Chijs secara tegas mengatakan, “tidak ada manfaatnya untuk menjadikan

lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai titik tolak penyelenggaraan pendidikan

umum”.21

Dengan alasan teknis pendidikan, penolakannya dinyatakannya secara

tegas pada tahun 1865, tepatnya, satu tahun setelah dirinya menjabat Inspektur

Pendidikan Bumiputra.

“Walaupun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan

kebiasaan pribumi, namun saya tidak menerimanya karena kebiasaan tersebut

terlalu jelek, sehingga tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi. Yang

dimaksudkan kebiasaan jelek itu terutama adalah metode membaca teks Arab

yang hanya dihafal tanpa pengertian”.22

Karena tidak memungkinkan menyertakan lembaga-lembaga pendidikan Islam

sebagai bagian dari sistem pendidikan yang memberikan akses pengajaran bagi

penduduk Boemipoetra, maka ia mengusulkan adanya “proyek pemberangusan”.

Kepada pemerintah kolonial, Chijs mengajukan rekomendasi bahwa, di daerah-

21

Makmuri Sukarno dkk, Dinamika Lembaga Pendidikan Masyarakat: Studi Kasus di Nusa

Tenggara Brat dan Sulawesi Utara (Jakarta: Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan-Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia/PPT-LIPI, 2000), 7. 22

Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 3; Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and

Indonesian Islam, Contacts and Conflicts, 1596-1950 (Amsterdam: Atlanta, GA, 1993), 86. Bandingkan

dengan pernyataan Bruggmans, “sebelum abad ke-20 orang Indonesia hanya pernah mengenal satu jenis

saja dari apa yang di sebut lembaga pengajaran asli, yakni sekolah-sekolah agama Islam dalam berbagai

bentuknya (langgar, surau, pesantren). Di sana orang dilatih pengajian al-Qur’an dan mempelajari

kepercayaan dan syariat agama Islam; tetapi dari segi ilmu pengajaran, menurut pengertian barat,

lembaga-lembaga pengajaran tersebut, sesuai dengan penilaian dari, siapa lagi kalau bukan Snouck

Hurgronje, sedikit sekali artinya”. I.J. Brugmans, “Politik Pengajaran”, dalam Politik Etis dan Revolusi

Kemerdekaan, ed. H. Budet dan I.J Brugmans (Jakarta: Yayasan Obor, 1987), 176.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

145

daerah yang menjadi basis berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan Islam agar

hanya memajukan sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri) “yang diperuntukkan

bagi elit teratas dari kalangan Bumiputra”. Selain bertujuan untuk memberangus atau

setidak-tidaknya, menghambat laju perkembangan lembaga-lembaga pendidikan

Islam, sekolah-sekolah milik pemerintah merupakan media efektif “dalam rangka

untuk melindungi Belanda dari apa yang disebutnya sebagai gunung berapi Islam

(Islamic vulcano)”.23

Dilain pihak, sebagai pejabat kolonial yang otoritatif dalam merumuskan arah

pendidikan Boemipoetra, Chijs memiliki pandangan yang sama sekali berbeda

dengan lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh zending Kristen.

Berdasarkan hasil penyelidikannya di Minahasa dan Maluku pada tahun 1867, ia

melakukan inspeksi ke lembaga-lembaga pendidikan zending yang ada di kedua

daerah tersebut. Ia pun memiliki kesimpulan kurang baik dengan menegaskan

lembaga-lembaga pendidikan zending yang ada tidak lebih sama dengan pesantren

atau lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Hasil penelitian Chijs menunjukkan, dari aspek materi pelajaran, sekolah-

sekolah partikelir zending “hampir 100 persen memusatkan diri pada pendidikan

agama”.24

Dalam konteks ini, Steenbrink menguraikan:

“Pelajaran yang diajarkan antara lain membaca huruf latin dan bahasa

Melayu (bukan bahasa daerah) agar para murid dapat membaca Alkitab.25

23

Lathif, Intelegensia Muslim, 110. 24

Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 4. 25

Dengan kata lain dapat ditegaskan, sekolah-sekolah zending pada dasarnya lebih diorientasikan

untuk menghasilkan siswa yang taat menjalankan Kekristenannya. Oleh karena itu, tidak mengejutkan,

jika “Bibel dalam bahasa Melayu di sekolah-sekolah zending adalah buku yang terpenting”. Steenbrik,

Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 4.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

146

Pelajaran sejarah tidak lebih daripada sejarah para Nabi dari Perjanjian Lama

dan Baru. Latihan musik hanya diberikan untuk mempelajari lagu yang

dipakai dalam Gereja, sedangkan ilmu bumi terbatas pada ilmu bumi

Palestina dan Laut Tengah, dan peta yang ada hanya menunjuk tentang

perjalanan Paulus”.26

Seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan Islam saat itu, status sekolah-sekolah

zending lebih mengarah sebagai lembaga gereja atau lembaga keagamaan Kristiani

ketimbang lembaga pendidikan. Kedudukan sekolah, sebagaimana ditegaskan Chijs,

“hanya merupakan persiapan kebaktian didalam Gereja”.27

Konsekuensinya,

pengelolaan kelembagaan sekolah-sekolah zending juga memiliki kelemahan

mendasar. Masih berdasarkan penyelidikan Chijs di Minahasa dan Maluku pada

1867, para guru yang terlibat dalam kegiatan pengajaran memiliki peran ambivalen

(amphibisch).28

Sejak menempuh pendidikannya sebagai calon guru sekolah-sekolah zending,

para guru hanya mendapat materi-materi pelajaran yang “yang bertujuan mendidik

dan mempersiapkan pemimpin agama bagi masyarakat setempat”. Oleh karena itu,

ketika paska menyelesaikan studinya masing-masing, para guru lebih

merepresentasikan fungsi “sebagai pembina dan pelayan umatnya semata”.29

Setidak-tidaknya, para guru di sekolah-sekolah zending memiliki peran mendua atau

ganda. Kesimpulan penyelidikan Chijs menggambarkan,

“Kedudukan sosial orang-orang (para guru) tersebut masih bersifat mendua.

Tidak dapat dikatakan apakah kedudukan mereka itu: guru sekolah atau

pemimpin agama? Biasanya mereka disebut guru sekolah, namun pada saat

26 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1984), 159. 27

Steenbrink, Beberapa Aspek, 160. 28

Steenbrink, Beberapa Aspek, 159. 29

Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 4.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

147

yang sama, mereka bertindak sebagai guru agama atau juru baca do’a bagi

orang-orang yang sakit”.30

Dengan demikian, para guru selain sebagai pengajar, mereka sekaligus juga berstatus

pekerja Gereja (pendeta). Dualisme status ini dalam artikulasi praksisnya membawa

konsekuensi bahwa, “mereka lebih menitik beratkan tugasnya pada urusan Gereja

ketimbang mengurus sekolah dan berdiri di depan kelas sebagai guru profesional”.31

Jika dalam terhadap kelemahan lembaga-lembaga pendidikan Islam,

pemerintah kolonial tidak memberikan toleransi, maka sebaliknya, Chijs dan

pejabat-pejabat pemerintah kolonial memiliki perspektif lain terhadap sekolah-

sekolah zending. Bagi Chijs, misalnya, sekolah-sekolah zending tetap memiliki

kesempatan dimasukkan sebagai bagian dari Departemen Pendidikan, Agama, dan

Industri dan berperan aktif dalam memperluas akses pengajaran bagi Boemipoetra

serta patut mendapatkan dukungan penuh melalui subsidi. Ia pun mengusulkan agar

pemerintah “memperluas dan memperbaiki pendidikan (di sekolah-sekolah zending)

ini secara bertahap, sehingga unsur-unsur pendidikan umum akan menjadi lebih

kuat”.32

Secara operasional, Chijs mengusulkan agar dualisme peran para guru harus

dihapuskan atau setidak-setidaknya, dipisahkan. Karena “rangkap tugas sebagai

pendeta dan guru bertentangan dengan reglemen pemerintah”.33

Selain itu, ia juga

30

Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 5. 31

M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara, 1250-1950

(Ternate: Kerjasama Gora Pustaka Indonesia, Nala Cipta Litera, dan Bursa Kawasan Timur Indonesia,

2007), 244. 32

Steenbrink, Beberapa Aspek, 160. 33

Amal, Kepulauan Rempah-Rempah, 244.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

148

merekomendasikan kepada pengelola sekolah-sekolah zending yang berkeinginan

mendapatkan subsidi agar mengurangi bobot mata pelajaran agama.34

Secara normatif, penolakan pemerintah terhadap lembaga-lembaga

pendidikan Islam dan sebaliknya, afirmasi terhadap sekolah-sekolah zending

didasarkan pada argumen-argumen yang masuk akal. Steenbrink menguraikan

argumen-argumen tersebut.

“Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah zending ini akhirnya masuk

kedalam sistem pendidikan umum gubernemen. Secara teknis, memasukkan

sekolah tersebut kedalam sistem sekolah umum lebih mudah daripada

memasukkan pesantren kedalam sistem pendidikan umum. Hal itu antara lain

disebabkan para murid sekolah tersebut sudah terbiasa dengan tulisan latin.

Bahasa Melayu, yang merupakan bahasa asing bagi para murid,

kenyataannya lebih mudah dibandingkan dengan bahasa Arab. Bagi para juru

tulis dan pegawai gubernemen lainnya, bahasa Melayu merupakan bahasa

yang sangat penting dalam tugas sehari-hari mereka. Disamping itu, pada

sekolah-sekolah zending tersebut sudah diberikan dasar-dasar ilmu hitung.

Faktor lain yang tak kurang pentingnya dalam proses penggabungan tersebut,

adalah disebabkan sudah lama pemerintah mencampuri sekolah-sekolah

tersebut (karena hubungan organisatoris antara pemerintah dan zending) dan

zending juga mempunyai hubungan yang lebih mudah dengan pemerintah

dibanding dengan Islam. Oleh karena itu dapat dipahami, kalau sekolah

zending tersebut lebih mudah masuk dalam sistem pendidikan umum

daripada lembaga pendidikan Islam”.35

Namun sulit untuk menafikan bahwa, motif politik juga sangat lekat mewarnai

argumen pemerintah kolonial. Selain karena alasan kekhawatiran menguatnya

Islamic vulcano, penerimaan pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah zending

sangat erat dengan apa yang diistilahkan oleh Furnivall dengan “unholy coalition” di

Nederland pada tahun 1889.36

Pada tahun 1988, partai-partai berbasis agama berhasil

34

Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 5. 35

Steenbrik, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, 5-6. 36

Furnivall, Netherlands India, 220.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

149

mendapatkan dukungan suara lebih besar dibanding dengan perolehan partai-partai

non agama atau sekuler. Konsekuensinya, partai-partai berbasis agama berhasil

mendudukkan jumlah wakilnya di parlemen lebih banyak ketimbang partai-partai

sekuler. Partai-partai berbasis agama tersebut membangun koalisi untuk menggeser

dominasi kekuatan partai-partai sekuler di parlemen.

Goudsblom sebagaimana diadaptasi oleh Suminto, dari total 100 kursi

parlemen, koaliasi partai-partai berbasis agama memiliki jumlah total 52 kursi,

terdiri dari Partai Rakyat Katholik (Catholic People’s Party/Katholieke

Volkspartij/KPV)37

dengan 25 kursi dan Partai Anti Revolusioner (Anti-

Revolutionary Party/Antirevolutionaire Partij/ARP) berbasis Protestan sebanyak 27

kursi.38

Sementara hasil koalisi partai-partai sekuler mendapatkan 47 kursi di

37

Partai Rakyat Katholik didirikan oleh Hermanus Schaepman pada tahun 1883 yang secara khusus

menampung Catholic voters dalam pemilu parlemen. Program-program politik partai ini lebih menitik

beratkan pada pembelaan terhadap kepentingan umat Katholik di Belanda dan jajahannya. Joop W.

Koopman and Arend H. Hussen Jr, Historical Dictionary of the Netherlands (Toronto: The Scrarecrow

Press, Inc., 2007), 126. Berbeda dengan partai-partai lainnya, KVP mendapatkan dukungan penuh dari

hirarkhi Gereja dan para pemimpin gereja (Catholic clergies) yang ada di Negeri Belanda. Rudy B.

Andeweg and Galen A. Irwin, Governance and Politics of the Netherlands (New York: Palgrave

Macmillan Press, 2005), 49-50. Secara ideologis, partai ini hendak mewujudkan masyarakat Kristiani

yang demokratik (Christian-Democratic) yang digali dan mengacu pada prinsip-prinsip sosial agama

Katholik (Catholic social principles). Simon Pieter Otjes, Imitating the Newcomer, How, When and Why

Established Political Parties Imitate the Policy Positions and Issue Attention of New Political Parties in

the Electoral and Parliamentary Arena: The Case of the Netherlands (PhD Dissertation: Leiden

University, 2012). 38

Partai Anti-Revolusioner (ARP) didirikan oleh Abraham Kuyper yang juga dikenal luas sebagai

pakar teologi (theologian) dan tata negara (statesman) pada tahun 1877. Sebagai partai konservatif, ARP

secara tegas menolak gagasan dan cita-cita ideal revolusi Perancis, termasuk yang berkaitan dengan

pemisahan agama (Kristen) dan Negara. Melalui Kuyper, partai ini menggulirkan format baru sistem

politik yang diintrodusir dari doktrin-doktrin Protestan sebagai antitesis sistem politik didalam masyarakat

Belanda yang didasarkan atas “non-Christian political principles”. Koopman and Hussen Jr, Historical

Dictionary of the Netherlands, 9. Dengan kata lain, ARP dibentuk untuk menghambat politik liberal yang

berkembang pesat di Belanda akibat pengaruh revolusi Perancis yang menurut Kuyper telah keluar dari

prinsip-prinsip dasar Kristiani. Rudy B. Andeweg and Galen A. Irwin, Governance and Politics of the

Netherlands (New York: Palgrave Macmillan Press, 2005), 49. Secara ideologis, ARP berpegang teguh

pada doktrin-doktrin Calvinisme. Sebagaimana ditegaskan Kuyper, Chalvinisme “not merely a religious

system, but an all-embracing life system or worldview, with implications for all domains of life and

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

150

parlemen dengan perincian Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (People’s

Party for Freedom and Democracy/Volkspartij voor Vrijheid en Democratie/VVD)39

berhaluan liberal sebanyak 46 kursi dan 1 kursi diperoleh oleh Partai Buruh (Partij

van der Arbeid/Labour Party/PvdA) yang berideologi sosialis.40

Sedangkan satu

kursi lainnya berhasil direbut oleh partai politik yang netral (lihat tabel).41

Tabel 2

Komposisi Parlemen Berdasarkan Tahun 1888

Partai Politik Non

Agama

Jumlah

Kursi

Partai Politik

Agama

Jumlah

Kursi

Partai Politik

Netral

Jumlah

Kursi

Volkspartij voor

Vrijheid en

Democratie/VVD

25 Katholieke

Volkspartij/KPV

46 Roman

Catholic State

Party/RKSP

1

Partij van der

Arbeid/Labour

27 Antirevolutionaire

Partij/ARP

1 -

thought, including society and science”. Abraham C. Flipse, “The Origins of Creationism in the

Netherlands: The Evolution Debate among Twentieth-Century Dutch Neo-Calvinists”, Church History

81:1 (March 2012): 104–147, 108. 39

Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) sebelum digantikan dominasinya oleh

partai-partai berbasis Kristen dan Katholik merupakan salah satu partai dengan kekuatan dominan di

Parlemen. Oleh karena semakin tidak mendapat dukungan dari massa pemilih, perolehan suara partai

liberal ini terus menyusut sehingga terpaksa harus merger dengan Partai Kebebasan (the Partij van de

Vrijheid/Freedom Party) pada tahun 1948. Koopman and Hussen Jr, Historical Dictionary of the

Netherlands, 236. Sejak awal, partai ini dikenal luas sangat anti terhadap dominasi peran lembaga dan elit

keagamaan di Belanda, dan karena itu, dikenal luas sebagai partai yang “anti-clerical” dan “no special

relationship with any particular religious denomination”. Michael Wintle, An Economic and Social

History of the Netherlands, 1800–1920, Demographic, Economic and Social Transition (New York:

Cambridge University, 2003), 256. Selain sekulerisasi Negara, isu utama yang diusung partai adalah

kebebasan perseorangan (individual freedom), kebebasan beragama (freedom of religion) dan hak setiap

individu untuk memilih keyakinan masing-masing (individual’s right to believe). Rudy B. Andeweg and

Galen A. Irwin, Governance and Politics, 53. Lebih dari itu, partai ini juga berperan signifikan merubah

Belanda yang pada awalnya merupakan monarkhi absholut menjadi Negara monarkhi berbasis

konstitusionalisme. Wintle, An Economic and Social History, 317. 40

Sementara Partai Buruh (PvdA) merupakan partai buruh berbasis ideologi sosialis yang sejak

tanggal 12 Pebruari 1946 bergeser menjadi partai yang bertumpu pada ideologi demokrat sosialis

(socialist democrat party). Koopman and Hussen Jr, Historical Dictionary of the Netherlands, 173.

Agenda utama partai ini adalah mendorong terwujudnya “the welfare state and government control over

economic development”. Simon Pieter Otjes, Imitating the Newcomer, How, When and Why Established

Political Parties Imitate the Policy Positions and Issue Attention of New Political Parties in the Electoral

and Parliamentary Arena: The Case of the Netherlands (PhD Dissertation: Leiden University, 2012), 110. 41

Suminto, Politik Islam di Hindia Belanda, 215. Satu-satunya partai politik yang netral dan tidak

terlibat dalam ketegangan ideologis dengan partai-partai lain dan mendapatkan satu suara adalah Partai

Negara Katholik Roma (Rooms-Katholieke Staats Partij/Roman Catholic State Party/RKSP). Koopman

and Hussen Jr, Historical Dictionary of the Netherlands, 178.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

151

Party/PvdA

Jumlah

52

Jumlah

47

Jumlah

1

Sumber: Diolah dari Suminto: 1996: 215.

Salah satu agenda terpenting koalisi partai-partai berbasis agama di parlemen adalah

menghapus kebijakan negara yang netral terhadap sekolah-sekolah swasta di Negeri

Belanda yang sebagian besar dikelola oleh Kristen dan Katholik. Salah satu bentuk

netralitas kebijakan adalah mengurangi secara signifikan jumlah dana bantuan

pendidikan yang diberikan pemerintah kepada sekolah-sekolah swasta (private

schools) milik Kristen dan Katholik (denominational schools). Sebaliknya, anggaran

pendidikan lebih dikonsentrasikan alokasinya untuk membiayai sekolah-sekolah

Negeri atau milik pemerintah (public schools). Konsekuensinya, sebagian besar

denominasional schools mengalami kesulitan untuk membiayai kegiatan belajar

mengajarnya.

Netralitas dan ketimpangan subsidi pendidikan ini menjadi agenda

pembahasan utama koalisi partai-partai berbasis agama di Belanda paska

keberhasilannya mendominasi komposisi parlemen pada tahun 1888. Dengan suara

parlemen yang dimilikinya, mereka menggulirkan isu perubahan kebijakan netralitas

pemerintah dan termasuk didalamnya tentang subsidi pendidikan. Dengan

kewenangan yang dimilikinya, sejak tahun 1890, koalisi berhasil berhasil mengubah

netralitas pemerintah. Salah satu capaian pentingnya adalah, keluarnya kebijakan

pemerintah yang mengharuskan “provided some government funding for teacher’s

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

152

salaries in all schools, wheter state or private”.42

Tidak hanya itu, terutama setelah

Abraham Kuyper yang dikenal luas sebagai aktor kunci koalisi partai-partai berbasis

agama menjadi Perdana Menteri (1901-1905), kebijakan netralitas benar benar-benar

terberangus.

Sekolah-sekolah denominasional yang dikelola Kristen maupun

Katholik mendapatkan hak sama dibanding dengan sekolah-sekolah Negeri dalam

pembiayaan pendidikan diberbagai jenjang yang ada (an equal grant at all levels).43

Koalisi partai-partai agama juga memanfaatkan kekuatan politik legalnya

untuk merubah kebijakan kebijakan di Hindia Belanda. M. Hutasoit, sebagaimana

diadaptasi oleh Idris menggambarkan,

“But in 1890 a coalition of Church parties, Catholic and Protestant, came into

control of the Government in the Netherlands after a long campaign waged

largely on the issue of government subsidies to religious school. With this

shift at home the attitude of the East Indian of number of government-

subsidized Christian schools since 1890 reflects a similar doveleopment in

the Netherlands”.44

Koalisi akhirnya dapat merubah kebijakan pendidikan yang mengeliminasi sekolah-

sekolah denominasional (Zending dan Missi) untuk mendapatkan dukungan subsidi

penuh dari pemerintah. Sebaliknya, atas prakarsa parlemen yang dikuasai koalisi,

pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan terbuka untuk mengakses

bantuan pendidikan dengan syarat-syarat yang sangat mungkin dipenuhi oleh

sekolah-sekolah Zending dan Missi. Dengan demikian, pada dasarnya, subsidi bukan

saja mengandaikan pengakuan atas legalitas sekolah-sekolah Zending dan Missi

42

Wintle, An Economic and Social History, 272. 43

Wintle, An Economic and Social History, 272. 44

Muhammady Idris, KH Ahmad Dahlan, His Life and Thought (MA Thesis: The Institute of

Islamic Studies-McGill Uiversity Montreal, 1975), 153.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

153

sebagai bagian dari Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri semata. Namun,

subsidi pemerintah Hindia Belanda, sekaligus juga menyertakan lekatnya

kepentingan ekspansi Kristen dan Katholik secara terselebung melalui sekolah-

sekolah yang dikelolanya.45

Berbagai penjelasan sebelumnya memberikan petunjuk penting bahwa,

setidaknya terdapat tiga faktor utama yang melatari hadirnya pelapisan terhadap

lembaga-lembaga pendidikan Islam. Implementasi kebijakan pemerintah kolonial

Hindia Belanda untuk melibatkan sekolah-sekolah partikelir sebagai bagian dari

intitusi untuk memperluas akses pendidikan bagi penduduk Boemipoetra berdampak

pada munculnya pengakuan status diakui bagi sekolah-sekolah partikelir tersebut.

Kebijakan politik subsidi pendidikan semakin memperkokoh adanya pelapisan

terhadap lembaga-lembaga pendidikan tersebut. Tidak semua sekolah partikelir

mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, tetapi sebaliknya, hanya sekolah-

sekolah Zending dan Missi yang menjadi penerima. Sementara seluruh lembaga-

lembaga pendidikan Islam tidak satu pun yang terdaftar sebagai penerima subsidi

pemerintah. Perlakuan yang berbeda secara tegas menunjuk adanya stratifikasi yang

sengaja dibangun oleh pemerintah terhadap antar sekolah-sekolah partikelir. Data-

data sebelumnya menggambarkan, pilihan pada sekolah-sekolah Missi dan Zending

45

Selain melalui rumah sakit atau lembaga-lembaga pelayanan kesehatan lainnya, ekespansi agama

Kristen dan Katholik, tentu saja juga tidak menafikan fenomena yang sama di Islam, sekolah-sekolah juga

menjadi instrumen penting. Laporan hasil penelitian mereka dibukukan kedalam buku yang cukup tebal

dan lebih dari 1.000 halaman. Salah satu aspek yang diungkap dalam laporan penelitian adalah, kebijakan

subsidi pendidikan terhadap sekolah-sekolah Zending dan Missi. Dalam laporan dinyatakan, subsidi

pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah Missi dan Katholik, terutama di wilayah Indonesia bagian

timur memberikan pengaruh signifikan terhadap meningkatnya jumlah sekolah dan angka pemeluk agama

Kristen dan Katholik. Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia

(Leiden: Brill, 2008).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

154

sebagai institusi yang mendapatkan pengakuan status diakui dan sekaligus

mendapatkan subsidi sebagai akibat dari perubahan peta kekuatan politik di Belanda.

Sejak tahun 1888, era dominasi partai-partai berhaluan liberal di parlemen telah

berakhir dan digantikan oleh partai-partai berbasis ideologi agama (Protestan dan

Katholik). Pergantian kekuasaan di parlemen membawa pengaruh penting bagi

perubahan kebijakan di Hindia Belanda, salah satunya kebijakan pendidikan.

Kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang mendorong kearah pelapisan

kelembagaan pendidikan Islam dibakukan oleh parlemen, seperti ditunjukkan oleh

kebijakan subsidi pendidikan.

Akibat bekerjanya proyek pengakuan status terhadap sekolah partikelir dan

kebijakan subsidi, pelapisan lembaga-lembaga pendidikan menjadi mengemuka di

Hindia Belanda, terutama pada paruh awal tahun 1890-an. Jika dalam sistem

pendidikan sebelumnya, pelapisan hanya terjadi di lembaga pendidikan yang

dikelola oleh pemerintah atau sekolah-sekolah Negeri, maka dalam

perkembangannya bergeser dengan menyertakan sekolah-sekolah partikelir sebagai

objek pelapisan. Dalam konteks ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam berada

dalam lapisan yang tidak beruntung sama sekali dihadapan pemerintah kolonial.

Dalam era sebelum permberlakuan kebijakan politik etis, secara hirarkhis,

sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri) yang diperuntukkan bagi keturunan

Eropa (Belanda) dapat dipandang sebagai lembaga-lembaga pendidikan dalam

lapisan teratas. Pada jenjang pendidikan dasar, sekolah ini bernama Sekolah Rendah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

155

Eropa (Europese Lagere School) atau populer dengan akronim ELS.46

Sedangkan

untuk pendidikan lanjutan, sekolah elit dengan peruntukan keturunan Eropa

(Belanda) bernama Gymnasium dan belakangan namanya dirubah menjadi Hoogere

Burger School (HBS).47

Selain jenis-jenis sekolah diatas, pemerintah juga

mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang dikenal luas sebagai Sekolah Gadis.48

Karena peruntukannya yang ekslusif, maka baik ELS, Gyimnasium atau HBS

46

ELS pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 24 Februari 1917 yang dengan sengaja hanya

diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa (Belanda). Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 16;

Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 90. Karena peruntukannya tersebut, ELS mengedepankan prinsip

konkordansi yang sangat lekat dengan negeri induk (Belanda). Baik kurikulum, kualitas guru, maupun

infrastruktur pendidikan secara keseluruhan disamakan dengan satuan sekolah yang sama di Negeri

Belanda. Karena itu, tidak mengejutkan, jika pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi dukungan

penuh dan bahkan mendatangkan guru secukupnya dari Belanda. Nasution, Sejarah Pendidikan, 92. 47

Gymnasium pertama kali didirikan di Batavia pada tahun 1860 dengan nama Gymnasium Willem

III yang secara khusus diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa (Belanda). Djojonegoro, Lima

Puluh Tahun, 16. Sekolah menengah yang pada awalnya memiliki masa studi selama tiga tahun ini, pada

tahun 1867 direorganisasi menjadi dua bagian. Bagian (afdeeling) A dengan masa studi selama lima tahun

dan setiap lulusannya dapat langsung melanjutkan ke perguruan tinggi di negeri Belanda. Dan bagian B

memiliki masa studi lebih rendah, yaitu tiga tahun. Bagi setiap lulusannya, mereka “dapat melanjutkan ke

pendidikan perwira, pendidikan pegawai Negeri atau akademi perdagangan, dan kerajinan di Delft, negeri

Belanda”. Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 92. Pada tahun 1867 pula, Gymnasium dirubah namanya

menjadi Hoogere Burger School (HBS). Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Yogjakarta, 53. Hingga

menjelang akhir sistem politik liberal, perkembangan sekolah jenis ini sangat lambat. Berdasarkan catatan

yang ada, selain di Batavia, sekolah ini hanya dibuka di Surabaya pada tahun 1875 dan Semarang di tahun

1877. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 17; Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 92. 48

Sekolah Gadis merupakan lembaga pendidikan yang secara khusus hanya menampung siswa

perempuan. Secara kelembagaan, sekolah ini mengambil dua bentuk berbeda, yaitu selain berupa sekolah

kejuruan juga berupa lembaga pendidikan umum. Untuk sekolah kejuruan, pemerintah mendirikan sekolah

bernama Institut untuk Pendidikan Wanita-Wanita Muda (Instituut voor de Opleiding van Jonge-

juffrouwen) di Molenvliet, Batavia pada tahun 1824. Hanya saja, sekolah ini tidak berumur panjang dan

akhirnya ditutup oleh pemerintah pada tahun 1832. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 22. Sementara

Sekolah Gadis non kejuruan mulai dibuka seiring dengan menguatnya gerakan feminisme di Negeri induk

pada paruh kedua abad ke-19. Sekolah Gadis non kejuruan yang berupa Sekolah Rendah Eropa pertama

kali didirikan pada tahun 1876 di Batavia. Perkembangan selanjutnya untuk jenis sekolah dasar khusus

perempuan tidak ditemukan data pastinya, meskipun pemerintah memiliki kesempatan luas mendirikannya

diberbagai daerah. Kesempatan itu diperoleh satu tahun berikutnya, setelah pemerintah mengeluarkan

kebijakan bahwa, “dimana saja terdapat cukup murid wanita (Eropa) boleh didirikan Sekolah Gadis”,

sebagaimana tercatat dalam Lembaran Negara 51, Tahun 1876. Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 97.

Sedangkan untuk jenjang pendidikan menengah, pemerintah mendirikan HBS khusus bagi para gadis di

Batavia pada tahun 1882. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 22.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

156

maupun Sekolah Gadis lebih populer dan dikenal sebagai Sekolah Eropa

(Europeesche Scholen).

Menariknya, di internal kelembagaan ELS pun juga lekat dengan pelapisan

(stratifikasi), yang ditandai oleh munculnya ELS Pertama (Eerste Europeshe Lagere

School) dan ELS Kedua (Tweede Europeshe Lagere School). Pelapisan ini

mengemuka, ketika desakan dari elit Boemipoetra agar-agar anak mereka dapat

memasuki sekolah, sementara pemerintah belum mendirikan sekolah yang secara

khusus menampung mereka. Sesuai dengan namanya, ELS Pertama diperuntukkan

bagi keturunan elit elit Eropa (Belanda).49

Selain mewajibkan sumbangan dana

pendidikan yang begitu tinggi yaitu f.6 per bulan, ELS Pertama juga “tidak

menerima anak-anak Indonesia, sekalipun anak ningrat tinggi”.50

Sebaliknya, karena

tidak memungkinkan menolak tuntutan elit Boemipoetra, maka pemerintah secara

terbatas membuka akses untuk memasukkan anak-anak mereka ke ELS Kedua.

Anak-anak yang belajar di ELS Kedua ini, sebagian besar berasal dari keturunan

Eropa (Belanda) menengah kebawah, anak-anak Indo-Eropa, dan elit Boemipoetra.51

49

Diinternal elit Eropa (Belanda) yang memiliki jabatan tinggi di Hindia Belanda atau masuk

dalam katagori “orang tua yang berada”, enggan menyekolahkan anak-anak mereka ke ELS dengan alasan

“tidak menginginkan anaknya bercampur dengan anak-anak golongan rendah”. Sebaliknya, mereka lebih

memilih menyekolahkan anaknya ke Negeri Belanda. Untuk menjaga eksodus anak-anak orang kaya

maupun pejabat tinggi Hindia Belanda ke Eropa, maka pemerintah memisah ELS menjadi dua katagori.

Nasution, Sejarah Pendidikan, 92. Sampai dengan menjelang akhir era politik liberal, tepatnya, pada tahun

1895, jumlah keseluruhan ELS di Hindia Belanda mencapai 159 lembaga. Djojonegoro, Lima Puluh

Tahun, 16; Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 90; Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur

(Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, 1981), 127. 50

Nasution, Sejarah Pendidikan, 92. 51

Pelapisan ELS bahkan lebih luas lagi terjadi di Yogjakarta saat itu yang saat itu terdapat tiga

hirarkhi lapisan. Di daerah ini terdapat dua satuan pendidikan E.L.S, yaitu Eerste Europesche Lagere

School A yang berlokasi di Jalan Ungaran, dan Eerste Europesche Lagere School B yang saat ini gedung

sekolahnya dipergunakan oleh SMPN II Yogjakarta. Sementara satu jenis lainnya, yaitu Tweede

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

157

Sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri) dengan peruntukan keturunan

Boemipoetra menempati urutan kedua dalam hirarkhi dan stratifikasi kelembagaan

pendidikan di Hindia Belanda. Pada jenjang pendidikan dasar, pada awalnya hanya

ada sekolah satu jenis sekolah, yaitu Sekolah Raja (Hoofdenschool).52

Namun,

setelah keluarnya Keputusan Raja tertanggal 28 September No. 44 (Stbl. 1893, No.

125), maka sekolah dasar untuk keturunan Boemipoetra terbagi kedalam tiga satuan

pendidikan, yaitu Sekolah Raja (Sekolah Dasar), Sekolah Dasar Kelas Satu (de

Scholen der Eerste Klasse), dan Sekolah Dasar Kelas Dua (de Scholen der Tweede

Klasse).53

Pemisahan sekolah dasar menjadi dua katagori ini jelas sekali

merepresentasikan pelapisan peruntukan diinternal keturunan Boemipoetra sendiri.

Europesche Lagere School berlokasi di Jalan Lempuyangan Wangi. Laporan Depdikbud menyebutkan,

Eerste Europesche Lagere School A “diperuntukkan bagi anak-anak Eropa (terutama Belanda) totok dari

golongan elit’. Sementara, Eerste Europesche Lagere School B merupakan satuan pendidikan yang

“diperuntukkan bagi anak-anak Eropa totok atau peranakan dari golongan menengah dan anak-anak dari

suku bangsa lain (terutama Boemipoetra ) dari golongan elit”. Sedangkan, Tweede Europesche Lagere

School dibuka untuk “anak-anak Eropa totok atau peranakan dan anak-anak bukan Eropa dari golongan

yang lebih rendah dari pada golongan-golongan yang sudah disebutkan diatas”. Depdikbud, Sejarah

Pendidikan Daerah Istimewa Yogjakarta (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan

Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, 1981), 52-53. 52

Sekolah Raja (Hoofdenscholen) didirikan oleh pemerintah dengan peruntukan bagi anak-anak

keturunan anak-anak elit Boemipoetra . Secara spesifik, Sekolah Raja diorientasikan untuk menghasilkan

tenaga terdidik untuk menjadi pegawai rendahan di kantor-kantor pemerintah maupun tenaga administrasi

di perusahaan-perusahaan di Hindia Belada. Pada awalnya, dua Sekolah Raja didirikan di Tondano yang

masing-masing pada tahun 1865 dan 1875. Kemudian didirikan pula sekolah yang sama di Bandung,

Magelang, dan Probolinggo pada tahun 1875. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 19; Depdikbud,

Pendidikan di Indonesia, 94. Karena ada keinginan dari pemerintah untuk menghapus Sekolah Raja, maka

sebagai langkah awalnya, sekolah ini direorganisasi menjadi dua bagian. Bagian pertama berupa kursus

dengan lama studi tiga tahun dengan materi pelajaran yang sama dan diberlakukan di Sekolah Raja. Dan

bagian kedua hanya memberikan materi-materi yang secara khusus dibutuhkan bagi calon-calon pegawai

pemerintah dengan lama studi dua tahun. Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, 133. Akhirnya,

Sekolah Raja benar-benar dihapuskan dari sistem pendidikan nasional Hindia Belanda pada tahun 1900

dan direorganisasi menjadi Obpleiding School voor Indische Abtenaren (OSVIA) atau Sekolah Untuk

Pendidikan Pegawai Pribumi. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 19; Depdikbud, Pendidikan di Indonesia,

94. 53

Djojonegoro, Lima Puluh Tahun,18.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

158

Sekolah Dasar Kelas Pertama merepresentasikan lembaga pendidikan Boemipoetra

yang “diperuntukkan bagi anak-anak tokoh terkemuka pribumi, bangsawan atau

ningrat, dan penduduk kaya atau berada”. Sementara Sekolah Dasar Kelas Kedua

didirikan oleh pemerintah kolonial untuk anak-anak keturunan Boemipoetra dari

lapisan menengah ke bawah. Dari sini cuku jelas bahwa, pelapisan lebih bukan

didasarkan karena kemampuan siswa, melainkan atas dasar stratifikasi sosial dan

ekonomi orang tua siswa.54

Selain jenjang pendidikan dasar, terdapat pula sekolah-sekolah kejuruan

Negeri yang diperuntukkan bagi keturunan Boemipoetra dan secara hirarkhis,

statusnya dibawah ELS dan HBS dimata pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Beberapa satuan sekolah kejuruan Negeri yang dibuka oleh pemerintah pada era

sebelum pemberlakuan sistem politik etis dapat disebut, diantaranya, Sekolah

Pertukangan (Ambachtshool),55

Sekolah Pendidikan Guru (Kweekschool),56

dan

Sekolah Dokter.57

54

Sejak awal, Departemen Pendidikan, Agama dan Industri sebagai lembaga pemerintah yang

paling bertanggung jawab terhadap pendidikan Boemipoetra dengan sengaja melakukan pelapisan atas

dasar status sosial dan ekonomi orang tua, dan bukan pada kemampuan calon siswa. Bagi Departemen ini,

masyarakat Hindia Belanda hanya memiliki dua kebutuhan dalam bidang pendidikan. Pertama, lapisan

masyarakat atas secara sosial maupun ekonomi yang membutuhkan membutuhkan pembelajaran supaya

“dapat membawanya kearah kemajuan dan yang dapat memenuhi syarat-syarat kepegawaian yang selalu

bertambah. Kedua, lapisan masyarakat pribumi rendah yang dirasakan cukup “dengan sekolah rendah

sangat sederhana, yang hanya memberikan pengetahuan pokok seperti: membaca, menulis, dan

berhitung”. Djumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, 132. 55

Sekolah Pertukangan Negeri mulai dibuka oleh pemerintah pada tahun 1860 di Surabaya, namun

akhirnya gulung tikar. Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 95. Karena di daerah-daerah tertentu,

Surabaya misalnya, kebutuhan tenaga kerja terdidik sedemikian tinggi sebagai konsekuensi dari pesatnya

industri gula, maka Sekolah Pertukangan kembali dibuka dengan formatnya yang baru. Pada tahun 1877,

misalnya, Sekolah Pertukangan di Surabaya menggunakan format kursus selama dua tahun yang dikaitkan

dengan H.B.S setempat. Pada tahun 1894, kursus diperpanjang masa studinya menjadi tiga tahun,

sehingga sejak saat itu sekolah berdiri sendiri dan terpisah dari H.B.S. Depdikbud, Pendidikan di

Indonesia, 95. Setelah lepas dari H.B.S, Sekolah Pertukangan ini kembali direorganisasi dengan lama

studi menjadi empat tahun. Dengan reorganisasi tersebut, sekolah ini memiliki kewenangan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

159

Dibawah sekolah-sekolah milik pemerintah, baik yang secara eksklusif

diperuntukkan bagi keturunan Eropa (Belanda) maupun Boemipoetra, dalam hirarkhi

ketiga terdapat sekolah-sekolah partikelir (swasta) bersubsidi. Pada era sebelum

pemberlakuan sistem politik etis, atau lebih tepatnya di era politik liberal, sekolah-

sekolah partikelir bersubsidi sepenuhnya dikelola oleh Zending dan Missi. Sekolah-

sekolah Zending dan Missi bersubsidi memiliki status legal “dipersamakan” dengan

sekolah-sekolah milik pemerintah (Negeri). Oleh karena itu, keberadaannya

ditempatkan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Hindia Belanda, dan

sekaligus, berada dibawah naungan Departemen Pendidikan, Agama, dan

perindustrian (Departement vaan Onderwijs en Eeredienst).

Lapisan terakhir dalam hirarkhi kelembagaan pendidikan di Hindia Belanda

adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam yang saat itu, sepenuhnya masih berupa

pesantren. Selain tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial, pesantren juga

tidak mendapatkan status legal sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang

mempersiapkan ujian akhir untuk Jurusan Perairan, Pekerjaan Umum, Pengukuran Tanah (Kadaster), dan

Mesin. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 20. 56

Sekolah Guru Negeri mulai dibuka oleh pemerintah pada tahun 1852 paska keluarnya Keputusan

Pemerintah tanggal 30 Agustus 1951 di Surakarta. Sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan guru-

guru sekolah dasar yang kuantitasnya terus meningkat. Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 20. Karena masih

belum mencukupi, sampai dengan menjelang berakhirnya sistem politik liberal, maka pemerintah akhirnya

mendirikan jenis sekolah yang sama diberbagai tempat, seperti Kweekschool di Bukit Tinggi (Fort de

Kock) pada tahun 1856, Tanah Batu (Tapanuli) tahun 1864, Tondano (1873), Ambon (1874), Probolinggo

(1875), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), dan Padang Sidempuan (1879). Depdikbud, Pendidikan di

Indonesia, 96; Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Yogjakarta, 56. 57

Sekolah Dokter sebenarnya lebih tepat disebut sebagai sekolah keperawatan yang mulai didirikan

pada berdasarkan keputusan pemerintah tertanggal 2 Januari 1849 untuk mencetak ahli kesehatan yang

akan diperbantukan di rumah sakit-rumah sakit militer di Batavia. Untuk pertama kali, sekolah ini

dinamakan Sekolah Dokter Jawa dan mulai melangsungkan kegiatan pembelajaran pada tahun 1851. Pada

awalnya, sekolah ini hanya memiliki masa studi selama dua tahun, kemudian diperpanjang menjadi tiga

tahun sejak tahun 1864. Masa studi kembali diperpanjang menjadi lima atau enam tahun pada 1875, dan

gelar yang disandang lulusannya pun juga mengalami perubahan, dari Dokter Jawa menjadi Ahli

Kesehatan Pribumi (Inlandsch Geneeskundige). Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 23; Depdibud,

Pendidikan di Indonesia, 97.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

160

ada pada saat itu. Karena statusnya yang tidak legal dimata pemerintah Hindia

Belanda, maka keberadaannya tidak menjadi bagian dari kewenangan dan tanggung

jawab Departemen Pendidikan, Agama, dan Perindustrian. Sebaliknya, pembinaan,

pengawasan, dan bahkan “pemberangusan” pesantren-pesantren di Hindia Belanda

berada dibawah tanggung jawab penuh Kantor Urusan Bumiputra (Kantoor voor

Inlandsche Zaken).

Pembiaran dan diskriminasi pemerintah kolonial dengan menempatkan

lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren-pesantren di Jawa dan

Madura direspon oleh elit muslim Hindia Belanda dengan membangun sikap dan

tindakan yang berbasis pada mentality outsiders. Melalui pesantren-pesantren yang

dikelolanya, elit muslim “mengambil sikap anti Belanda”, dan meniru atau

menggunakan segala atribusi gaya hidup (life style) yang berada di lingkungan

sekolah-sekolah bergaya Eropa (Belanda) adalah haram hukumnya. Konsekuensinya,

“celana dan dasi” yang biasa dikenakan oleh para guru dan siswa di sekolah-sekoah

bergaya Eropa adalah haram hukumnya, karena bagi mereka, “dinilai sebagai

pakaian identitas Belanda”.58

Menurut Suminto, sikap dan tindakan yang diputuskan oleh para elit muslim

dan pesantren-pesantren tersebut didasarkan pada satu teks Hadits Nabi SAW:

فهو منهم بقوم من تشبه“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari

kaum tersebut” (HR. Abu Dawud, Imam Ahmad, Tirmidzi, Abdun bin

Humaid, Ibnu Abi Syaibah, Imam Thabrani, Imam Baihaqi, dan lain-lain).59

58

Suminto, Politik Islam, 50. 59

Suminto, Politik Islam, 51. Teks hadits yang melarang bagi setiap muslim untuk menyerupai

terhadap orang-orang kafir diperkuat oleh ayat al-Qur’an yang menegaskan:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

161

Penggunaan teks Hadits diatas menjadi basis legitimasi untuk membangun sikap

mentality outsiders, bukan lah tanpa alasan. Selain sangat populer dikalangan

masyarakat muslim, hadits diatas juga memiliki bentuk teks berbeda dengan jalur

periwayatan yang berbeda-beda pula.

Dalam riwayat Imam Ahmad, misalnya, teks Hadits secara lengkap

menyebutkan:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani

menjadi pemimpin-pemimpin kalian; sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang

lain. Barangsiapa diantara kalian menjadikan mereka menjadi pemimpin, Maka sesungguhnya

orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-

orang yang zalim” (QS: Al-Maidah (5): 51).

Ayat diatas diperkuat dengan ayat lain yang beralih dari religiusitas Islam dan beralih untuk mengikuti

orang lain di luar Islam. Ayat dimaksud menegaskan:

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada

sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur

pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang

menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS: Al-Nur

(24): 63).

Demikian pula, ayat yang menegaskan larangan untuk meniru perbuatan buruk yang telah dilakukan oleh

orang-orang munafik dan musyrik.

“(Keadaan kamu Hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti Keadaan orang-orang

sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari

kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu

sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal

yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. mereka itu amalannya menjadi sia-sia di

dunia dan di akhirat; dan mereka Itulah orang-orang yang merugi (QS: Al-Taubah (9): 69).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

162

حدثٌا ابىالٌضز، حدثٌا عبدالزحوي بي ثابت، حدثٌا حساى بي عطٍة، عي أبً هٌٍب

بعثت بٍي ٌدي : قال رسىل اهلل صلى اهلل علٍَ وسلن: الجزشً، عي ابي عوز، قال

لَ، وجعل رسقً تحت ظل رهحً، الشزٌك وحدٍ الساعة بالسٍف حتى ٌعبد اهلل

.فهى هٌهن وجعل الذلة والصغار على هي خالف أهزي، وهي تشبَ بقىم

‚Telah berbicara kepada kami Abu> al-Nad}ri, telah berbicara kepada kami

Abdurrahma>n bin Tha>bit, telah berbicara kepada kami Hassa>n bin At}iyah,

dari Abu> Muni>b al-Jurasyi>, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW

telah bersabda: ‚Aku diutus diantara genggaman suatu masa dengan pedang

sehingga (manusia) menyembah Allah SWT dengan ke-Esa-an yang tidak

ada persekutuan bagi-Nya, dan telah dijadikan rizkiku dibawah bayang-

bayang tombakku, dan telah dijadikan kehinaan dan kecil harga dirinya

dihadapan orang yang menentang perintahku, dan barang siapa yang

menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari kaum tersebut.60

Sedangkan teks Hadits secara lengkap dalam riwayat Abu Dawud dapat dijabarkan

sebagai berikut:

شٍبة، آخبزًا ابىالٌضز، حدثٌا عبدالزحوي بي ثابت، حدثٌا أبى بي حدثٌا عثواى

قال رسىل اهلل صلى : حساى بي عطٍة، عي أبً هٌٍب الجزشً، عي ابي عوز، قال

.فهى هٌهن هي تشبَ بقىم: اهلل علٍَ وسلن

‚Telah berbicara kepada kami Uthman bin Abi Syaibah, telah mengabarkan

kepada kami Abu> al-Nad}ri, telah berbicara kepada kami Abdurrahma>n bin

Tha>bit, telah berbicara kepada kami Hassa>n bin At}iyah, dari Abu> Muni>b al-

Jurasyi>, dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:

‚Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia menjadi bagian dari

kaum tersebut‛.61

Hadits tentang keharusan untuk menjauhi melakukan imitasi terhadap apapun yang

memiliki keterkaitan dengan kolonial Belanda dan peradaban Eropa tersebut menjadi

bagian penting dalam tradisi pesantren. Oleh karena itu, tidak mengherankan, jika

60

Imam Ahmad juga meriwayatkan hadist lain yang hampir sama redaksi matannya dari Ibnu

Umar. Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Riyadh: Bait al-Ifkar al-Dauliyah,

1998), 410. 61

Abu Dawud, ‚Sunan Abu> Dawu>d‛, dalam Abdurrahma>n Muhammad Uthma>n, ‘Au>n al-Ma’bu>d Syarh Sunan Abu> Dawu>d, Vol. XI (Madinan: al-Nasyi>r Muhammad Abdul Muhsin, 1969), 86.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

163

kalangan pesantren, para guru agama, kyai dan para santri menjadi anti-

kolonialisme. Banyak kasus gerakan perlawanan terhadap pemerintah kolonial justru

dimotori oleh guru-guru agama yang mengelola pesantren dan santri-santri mereka.

Setidak-tidaknya, mereka tidak memiliki keinginan untuk mendekat atau menjadi

bagian dari penjajah, meskipun hanya berkaitan dengan gaya hidup sehari-hari.

Karena bagi kalangan pesantren, pemerintah kolonial maupun yang menjadi bagian

didalamnya berstatus kafir hukumnya menurut Islam.

B. Politik Etis, Subsidi Pendidikan

Dan Pelapisan Lembaga Pendidikan Islam

Perkembangan tidak terduga terjadi pada era pemberlakuan politik etis, yang

ditandai oleh kesediaan elit-elit muslim untuk mengadaptasi sistem pendidikan

modern bergaya Eropa. Beberapa madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam

bergaya Eropa didirikan dan bermunculan paska tahun 1900-an. Selain

menggunakan sistem klasikal, lembaga-lembaga pendidikan Islam juga mengadopsi

kurikulum pembelajaran yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial dengan

memasukkan mata pelajaran umum dan menggunakan huruf latin dalam kegiatan

tulis menulis di madrasah maupun sekolah. Perkembangan ini, tentu saja, berhasil

“memikat” dan mendorong pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk merubah

kebijakan-kebijakan terkait dengan pendidikan. Salah satu perubahan kebijakan

terpenting adalah, kebijakan pemberian bantuan finansial (subsidi) kepada madrasah-

madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa yang mengajukan permintaan

kepada pemerintah kolonial.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

164

Perubahan kebijakan, pada saat yang sama, menandai hadirnya pola baru

pelapisan (stratifikasi) lembaga-lembaga pendidikan. Jika sebelumnya, lekatnya

pelapisan terjadi dengan menempatkan lembaga-lembaga pendidikan kedalam

lapisan paling bawah, maka di era politik etis muncul pembengkakan (polarisasi).

Lembaga-lembaga pendidikan Islam tidak lagi, secara keseluruhan, berada dalam

satu stratum yang tunggal. Sebaliknya, di era pemberlakuan kebijakan politik etis,

pemerintah kolonial mereproduksi dua stratum diinternal lembaga-lembaga

pendidikan Islam. Madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa

(Belanda) berada dalam lapisan yang sama dengan sekolah-sekolah partikelir

lainnya, baik yang dikelola oleh Zending, Missi, maupun aktifis-aktifis nasionalis

sekuler, dan tentu saja, berhak mendapatkan subsidi. Sebaliknya, pesantren-

pesantren maupun madrasah-madrasah bergaya Eropa yang kukuh menolak

persyaratan-persyaratan mengajukan subsidi berada dilapisan paling bawah, yang

tidak mendapatkan jatah finansial dari pemerintah kolonial dan tetap ditempatkan

diluar sistem pendidikan Hindia Belanda dengan statusnya sebagai “sekolah liar”.

Secara historis, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mulai mengadaptasi

sistem Eropa (Belanda) dapat dirunut sejak berdirinya Madrasah Mamba’ul Ulum di

Surakarta. Laporan Umum tentang Pendidikan (Algemeen Verslag van het

Onderwijs) tahun 1906 yang dikeluarkan oleh Inspektur Pendidikan Dasar

menyebutkan, telah berdiri “Sekolah Pastor Tinggi” di Surakarta melakukan aktifitas

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

165

pembelajaran.62

Steenbrink menyebut keberadaan sekolah ini “sebagai pelopor

dalam pembaharuan pendidikan (Islam), antara lain (dengan) memasukkan beberapa

unsur pendidikan barat kedalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia”.63

Proposisi Steenbrink didasarkan pada pertimbangan bahwa, madrasah ini selain

mengajarkan berbagai mata pelajaran agama semata dan menggunakan bahasa arab,

namun pada saat yang sama “juga diberikan mata pelajaran ilmu falak, pengetahuan

tentang peredaran matahari, perhitungan tentang gerhana matahari, aljabar dan

mathiq (logika)”.64

Mamba’ul Ulum bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam yang

melakukan pembaharuan dengan mengadaptasi sistem barat (Eropa). Di wilayah

Hindia Belanda, gerakan pembaharuan kelembagaan pendidikan Islam

menggelinding begitu cepat, misalnya, di Sumatera Barat. Berdirinya lembaga-

lembaga pendidikan Islam yang mengadaptasi sistem Eropa, seperti Madrasah

Adabiyah (Adabiyah School), Madras School, Madrasah Diniyah (Diniyah School),

Arabiyah School, dan madrasah-madrasah yang berada dibawah koordinasi

Sumatera Thawalib menjadi petunjuk penting berlangsungnya gerakan pembaharuan

pendidikan Islam di Sumatera Barat.

Madrasah Adabiyah diakui sebagai “pelopor perubahan dan pembaharuan

yang pertama kali dilakukan di Sumatera Barat dalam bidang pendidikan Islam dan

62

Selain dikenal sebagai Sekolah Pastor Tinggi, madrasah ini juga di sebut dengan nama Sekolah

Penghulu (Opleiding School voor Penghulu). Ibnu Qayim Ismail, Kiai, Penghulu Jawa, Peranannnya di

Masa Kolonial (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 80; Suminto, Politik Islam, 8. 63

Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 36. 64

Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 36.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

166

pendidikan pada umumnya”.65

Perubahan ditandai oleh pergeseran dari “sistem surau

ke pendidikan yang mempergunakan sistem sekolah (bergaya Eropa) seperti yang

dilakukan oleh Belanda”.66

Pada awalnya, madrasah mengambil di surau yang

berlokasi di Padang Panjang, namun oleh Abdullah Ahmad dipindahkan ke surau

pamannya di Padang.67

Ketika masih di Padang Panjang, selain menggunakan sistem

klassikal, madrasah ini juga memasukkan ilmu pengetahuan umum, seperti membaca

dan menulis huruf latin, berhitung, ilmu bumi, dan bahasa.68

Bahkan, paska

perpindahan lokasi sekolah ke Padang, karena tuntutan masyarakat dan pendidikan

umum lebih laku di daerah tersebut, maka mata pelajaran umum lebih ditekankan

dari pada mata pelajaran agama. Abdullah Ahmad bahkan mendatangkan empat guru

berkebangsaan Belanda dan dua guru berkebangsaan Indonesia yang memiliki ijazah

mengajar setingkat HIS.69

Karena memiliki kesetaraan dengan sekolah-sekolah dasar

65

Madrasah Adabiyah didirikan oleh salah satu tokoh muda ternama Minangkabau bernama

Abdullah Ahmad. Ia lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 dari keluarga haji dan sekaligus sebagai

pedagang kecil. Noer, Gerakan Modern, 46. Seperti ulama-ulama Minang lainnya, ia lebih dulu

menyelesaikan pendidikan dasar Islam di lingkungan keluarga dan beberapa daerah sekitar Padang

Panjang. Ia mulai terlibat dalam dunia pendidikan sekembalinya menuntut ilmu dari Makkah pada tahun

1899. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 36. 66

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, 1981), I85. 67

Pada awalnya, Madrasah Adabiyah didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang Panjang pada

tahun 1909, namun “belum sampai usia setahun sekolah ini sudah ditutup dan dipindahkan ke Padang”.

Setidaknya terdapat dua faktor penting yang melatari perpindahan Madrasah Adabiyah dari Padang

Panjang ke Padang. Pertama, lokasi madrasah kurang strategis untuk “perdagangan kain (dimana

Abdullah Ahmad aktif bekerja) dan keinginan untuk menerbitkan koran, sedangkan fasilitas dan relasinya

yang baik terdapat di Padang”. Kedua, munculnya perlawanan dari masyarakat Padang Panjang terhadap

pendirian sekolah tersebut, sehingga ketika sekolah dibuka, praktis tidak mendapatkan siswa baru”.

Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah, 39. 68

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 86. 69

Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah, 39. Perubahan statusnya ini menempatkan Madrasah

Adabiyah sebagai “HIS yang pertama di Minangkabau yang memasukkan mata pelajaran agama dalam

rencana pembelajarannya”. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Hidakarya

Agung, 1996), 63.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

167

Boemipoetra pada umumnya, maka Madrasah Adabiyah pada tahun 1915 dirubah

statusnya menjadi HIS Adabiyah.70

Gerakan modernisasi madrasah Abdullah Ahmad yang mengadaptasi sistem

sekolah bergaya Eropa (Belanda) mendorong elit agama lainnya di Sumatera untuk

melakukan langkah yang sama. Syeikh Muhammad Thaib Umar, salah satunya, tiga

tahun setelah berdirinya Madrasah Adabiyah, ia membangun sekolah dengan model

yang sama bernama Madras School di Sungayang, Batusangkar pada tahun 1913.71

Meskipun tidak mengadaptasi ilmu pengetahuan umum sebagai bagian dari

kurikulum pembelajaran, namun madrasah ini telah menggunakan sistem klasikal.72

Data Yunus menyebutkan, Madras School akhirnya ditutup karena kekurangan

tempat pada tahun 1913, namun pada tahun 1918 dibangun lagi oleh Mahmud

Yunus. Pada 1923, nama lembaga dirubah lagi menjadi Diniyah School dan kembali

dirubah menjadi Al-Jami’ah Islamiyah di tahun 1931.73

70

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 151. 71

Muhammad Thaib Umar lahir di Sungayang Batusangkar pada tahun 1874 dari keluarga yang

taat beragama. Ayahnya sendiri bernama Umar bin Abdul Kadir yang dikenal sebagai guru mengaji di

Sungayang. Paska mendapatkan pendidikan dari keluarganya, Thaib Umar meneruskan studinya ke

beberapa Ulama Surau, seperti Haji Muhammad Yasin di Surau Sawah Tengah Sungayang, Syeikh Haji

Abdul Manan di Surau Talao Padang Ganting-Batusangkar, dan Syeikh M. Salih di Surau Padang Kandis

Suliki Payakumbuh. Seperti halnya Abdullah Ahmad, setelah menempuh studi di beberapa surau, Thaib

Umar menununaikan haji sambil belajar ke beberapa ulama ternama asal Jawi di Makkah, termasuk

kepada Syeikh Khatib Minangkabawi. Sekembalinya dari Makkah pada tahun 1897, Thaib Umar mulai

menyelenggarakan pengajian sistem surau dan akhirnya sesudah tahun 1908, sistem pengajaran surau

direformasi total menjadi sistem madrasah. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 156.

Nama Madras School yang digunakan oleh Thaib Umar tidak diketahui maksudnya hingga kini.

Burhanuddin, salah satunya mengatakan “tidak jelas kenapa dinamakan Madras, mungkin singkatan dari

kata Madrasah atau Sekolah Madrasah, yang berarti sekolah agama atau kombinasi sekolah dan agama

atau sekolah yang mata pelajarannya terdiri dari agama dan umum”. Burhanuddin Daya, Gerakan

Pembaharuan Pemikiran Islam, Kasus Sumatera Thawalib (Yogjakarta: Tiara Wacana, 1996), 160. 72

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 88. 73

Yunus, Sejarah Pendidikan, 66.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

168

Penggunaan sistem persekolahan bergaya Eropa sebagai bagian dari

gelombang reformasi kelembagaan pendidikan Islam semakin mengemuka di

Sumatera Barat, ketika tokoh muda lainnya bernama Zainuddin Labay El-Yunusi

mendirikan Madrasah Diniyah (Diniyah School) di Padang Panjang pada 15 Oktober

tahun 1915.74

Seperti halnya Madrasah Adabiyah, Madrasah Diniyah juga telah

menggunakan sistem klasikal dalam kegiatan pembelajarannya. Kurikulum yang

dipergunakan juga tidak hanya berisikan mata pelajaran agama semata, melainkan

juga telah memasukkan berbagai disiplin pengetahuan umum.75

Madrasah ini pula

yang mempelopori penggunaan sistem ko-edukasi seperti yang banyak diberlakukan

oleh sekolah-sekolah partikelir sekuler maupun milik pemerintah.76

Salah satu

Capaian terpenting Zainuddin Labay dengan Madrasah Adabiyahnya adalah,

penerimaan masyarakat muslim lokal Minangkabau yang begitu besar. Steenbrink

menggambarkan,

“Diniyah School yang dirintis oleh Zainuddin Labay ini ternyata juga banyak

mendapat reaksi yang hebat. Sebagai gambaran umum, pada tahun 1922 di

Sumatera Barat telah terdapat 15 belas sekolah yang mengikuti sistem ini.

Pada tahun yang sama, para murid sekolah ini menggabungkan diri dan

74

Zainuddin Labay el-Yunusi lahir di Padang Panjang pada tanggal 12 Rajab 1308 H/1890 dari

keluarga yang terpandang secara religious. Ayahnya yang bernama Syeikh Muhammad Yunus merupakan

salah satu guru agama Islam ternama di Padang Panjang. Ditengah penerimaan yang luar biasa terhadap

gagasan reformasi pendidikan Islam di Minangkabau, ia begitu cepat meninggalkan dunia. Ia meninggal

dalam usia masih sangat muda, yaitu 34 tahun dan tepatnya pada 1924 M. Samsul Nizar,

Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (Jakarta:

Prenada Media Group, 2008), 20. Setelah mendapat pendidikan dasar-dasar keagamaan dilingkungan

keluarga, ia melanjutkan studinya ke beberapa ulama muda terkenal saat itu. Kali pertama ia

memperdalam ilmunya kepada Syeikh Abdullah Ahmad di Padang, namun karena tidak merasa cocok, ia

kembali memutuskan ke Padang Japang, Payakumbuh untuk berguru kepada Syeikh Haji Abbas Abdullah.

Setelah cukup lama belajar dan sekaligus menjadi salah satu pengajar di Surau Syeikh Abdullah Abbas, ia

memutuskan untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri dengan nama Madrasah Diniyah (Diniyah

School) pada tahun 1915. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 163. 75

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 89. 76

Noer, Gerakan Modern, 62.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

169

membentuk organisasi yang bernama “Persatuan Murid-Murid Diniyah

School”.77

Arabiyah School juga dapat disebut sebagai madrasah dan menjadi bagian dari

kelembagaan pendidikan Islam di Sumatera Barat yang mengadaptasi sistem

persekolahan Eropa. Sekolah yang didirikan oleh Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukit

Tinggi pada tahun 1918 ini, meskipun dengan bangunan sangat sederhana sudah

menggunakan sistem klasikal. Seperti halnya Madrasah Diniyah, Arabiyah School

juga memasukkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum sebagai bagian dari

kurikulum pembelajaran.78

Dari Arabiyah School ini, beberapa madrasah yang

memiliki paradigma keagamaan sejalan dengan Syeikh Abbas mendirikan Persatuan

Madrasah Tarbiyah Islamiyah Islamiyah pada 5 Mei 1928 di Candung, Bukit

Tinggi.79

Selain beberapa madrasah diatas, Sumatra Thawalib dapat disebut sebagai

lembaga pendidikan yang paling penting dalam gerakan pembaharuan pendidikan

77

Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 46. Catatan Noer menunjukkan, kelima belas sekolah

tersebut tersebar di berbagai wilayah Minangkabau, seperti; 1) Solok; 2) Silungkang; 3) Bukit Tinggi; 4)

Payakumbuh; 5) Pariaman; 6) Carik (Banuhampu); 7) Maninjau; 8) Balingka; 9) Sungai Aur (Ujung

Gading); 10) Sasak; 11) Sumpu; 12) Guning; 13) Ampek Angkek; 14) Sawahlunto; dan 15) Kamang.

Noer, Gerakan Modern, 62. 78

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 91-92. 79

Yunus, Sejarah Pendidikan, 97. Selain Syeikh Abbas, beberapa ulama pengelola madrasah yang

hadir dalam pertemuan tersebut, seperti Syeikh Sulaiman al-Rasuli, Syeikh Muhammad Jamil Jaho,

Syeikh Abdul Wahid ash-Shalihy, Syeikh Arifin Arsyadi, Syeikh Muhammad Salim, Syeikh Khatib Ali,

Syeikh Muhammad Said, Syeikh Makhudum, Syeikh Muhammad Yunus, Syeikh Adam, Syeikh Hasan

Basri, dan Syeikh Abdul Madjid. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. IV (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1997), 96. Beberapa madrasah yang dikelola mereka, dapat disebut, misalnya, Madrasah Islamiyah

Candung Bukit Tinggi yang berdiri pada tahun 1907, Madrasah Tabek Gadang yang mulai membuka

pelajaran di tahun 1906, dan Madrasah Tarbiyah Batu Hampar yang dibangun pada tahun 1910. Yunus,

Sejarah Pendidikan, 97. Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah sendiri merupakan “organisasi yang

bertanggung jawab untuk membina dan memperjuangkan serta mengembangkan madrasah-madrasah

tarbiyah yang sudah ada”. Demikian pula, organisasi ini juga berfungsi sebagai wadah komunikasi dan

koordinasi untuk merumuskan “kesatuan pola dalam pembinaan madrasah, baik nama, sistem pengajaran

maupun kurikulumnya”. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. IV, 96.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

170

Islam di Sumatera Barat, terutama dalam penerapan sistem persekolahan Eropa

(Barat).80

Sumatra Thawalib bukanlah satu lembaga yang tunggal, melainkan lebih

merupakan konsorsium dari berbagai lembaga pendidikan dan tersebar di berbagai

kawasan di Sumatera Barat. Seluruh sekolah-sekolah yang berada dibawah supervisi

Sumatra Thawalib memiliki satu model nyaris sama, menggunakan sistem klasikan

dan sekaligus memasukkan mata pelajaran umum.

Secara garis besar, transformasi sistem persekolahan Eropa kedalam

lembaga-lembaga pendidikan dilingkungan jaringan Sumatera Thawalib terkait

dengan berbagai aspek. Pertama, merubah sistem surau yang bertumpu pada model

pembelajaran halqah menjadi sistem sekolah. Kedua, mempersingkat masa studi

yang berkepanjangan dan tidak ada batas waktu sebagaimana berlaku dalam sistem

80

Sumatera Thawalib pada awalnya merupakan organisasi pelajar yang beranggotakan “pelajar-

pelajar mengaji Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parebek Bukit Tinggi” dengan tujuan

“membina sekolah-sekolah yang memberikan pelajaran umum dan agama, berdasarkan Islam modern”.

Daya, Gerakan Pembaharuan, 93. Sejarah berdirinya Sumatera Thawalib dapat dirunut sejak berdirinya

“Perkumpulan Sabun” pada tahun 1916. Perkumpulan ini dimotori oleh para siswa atau santri Surau

Jembatan Besi. Perkumpulan Sabun sendiri lebih tepat disebut koperasi dengan managemen sederhana

yang dibentuk setelah mendengarkan substansi Pidato Bagindo Djamaluddin Rasyad dalam sebuah Rapat

Umum di Padang Panjang pada tahun 1915. Dalam pidatonya tersebut, Rasyad menguraikan berbagai

manfaat yang dapat diambil dalam dengan berorganisasi. Dinamakan dengan Perkumpulan Sabun, karena

organisasi ini dibentuk untuk “memenuhi ataupun berusaha memenuhi keperluan sehari-hari para pelajar

seperti sabun, pensil, tinta, dan sebagainya”. Meskipun dalam perkembangannya, organisasi ini sejak

tahun 1917 “tampaknya dapat memenuhi segala macam keperluan pelajar sampai-sampai kepada

menggunting rambut, menjahit pakaian, dobi”. Keuntungan yang diperoleh dari koperasi digunakan untuk

membayar gaji para guru di Surau Jembatan Besi. Noer, Gerakan Modern, 55. Pada saat yang hampir

bersamaan, Syeikh Ibrahim Musa juga mempelopori berdirinya organisasi pelajar di Surau Parebek

dengan nama Jami’atul Ikhwan atau Mudzakaratul Ikhwan pada 14 Agustus 1919, dan akhirnya kembali

dirubah menjadi Sumatera Thuwailib (Pelajar Kecil Sumatera). Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Vol. VI

(Jakarta: PT Intermasa, 2005), 253. Proses pembentukan Sumatera Thawalib mulai mengemuka, ketika

wakil pelajar dari kedua organisasi ini mulai melakukan pertemuan berkala sekali dalam setiap

minggunya. Tidak hanya itu, pertukaran pemikiran antar kedua pengelola juga semakin giat dilakukan,

baik antara pengurus surau dengan pengasuhnya maupun antara Haji Abdul Karim Amrullah dengan

Ibrahim Musa. Serangkaian pertemuan dan tukar pemikiran tersebut menghasilkan keputusan bersama

tentang perlunya persatuan dengan cara membentuk satu organisasi bersama. Noer, Gerakan

Pembaharuan, 56. Puncaknya, pada tanggal 15 Februari 1920 dibentuklah organisasi baru yang bernama

Sumatera Thawalib. Daya, Gerakan Pembaharuan, 91; Noer, Gerakan Modern, 56.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

171

surau menjadi beberapa tahun pelajaran. Ketiga, mengelola penyampaian mata

pelajaran sedemikian rupa dan disesuikan dengan tingkat perkembangan kognitif

siswa. Keempat, meringkas atau membuat diktat-diktat yang akan dipergunakan

sebagai bahan ajar di kelas dengan tidak lagi atau menghindari penggunaan buku-

buku yang cukup tebal. Kelima, memberikan jam mengajar kepada masing-masing

guru berdasarkan keahlian spesifik masing-masing, sehingga konsekuensinya, tidak

ada lagi seorang guru untuk semua mata pelajaran. Keenam, mengatur jadwal

pelajaran kedalam satu daftar pelajaran yang tetap, sehingga guru dituntut

menyesuaikan waktu mengajarnya berdasarkan daftar tersebut dan tidak boleh

mengajar hanya berdasarkan kemampuannya semata. Ketujuh, mewajibkan kepada

siswa membayar biaya pendaftaran awal dan iuran wajib setiap bulan. Kedelapan,

mengatur gaji guru dan pengelola lainnya, termasuk didalamnya penjaga madrasah.

Kesembilan, mengangkat tenaga administrasi yang secara khusus berperan

mengelola administrasi madrasah.81

Jaringan madrasah-madrasah modern Sumatra Thawalib dapat dirunut sejak

Haji Abdul Karim Amrullah kembali dari studinya di Timur Tengah.82

Kesempatan

81

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 94-95. 82

Haji Abdul Karim Amrullah dikenal juga dengan nama Haji Rasul yang lahir di Kampung Kepala

Kabun, Jorong Betung Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Safar 1296 bertepatan dengan 10

Februari 1879 M. Subhan SD, Ulama-Ulama, Syeikh Haji Rasul, Utstadz Ahmad Hassan, KH Zainal

Mustofa, dan KH Isa Anshary (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 33. Sebagaimana tokoh-tokoh muda

Minangkabau lainnya, Haji Rasul berasal dari keluarga dengan latar belakang agama yang taat dan

sekaligus bangsawan. Ayahnya bernama Syeikh Muhammad Amrullah dengan gelar Tuanku Kisai yang

merupakan tokoh agama di daerahnya. Pada awalnya, selain kepada anggota keluarganya, ia juga

menghabiskan waktunya belajar diberbagai surau di Minangkabau. Pada tahun 1894, Ia melanjutkan

studinya di Makkah selama kurang lebih 7 tahun dan sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya.

Noer, Gerakan Modern, 45. Karena kapasitas keilmuwan agama Islam yang begitu mendalam, maka

sekembaliknya dari Makkah, ia mendapat gelar Tuanku Syeikh nan Mudo, sebuah gelar yang

merepresentasikan pengakuan masyarakat Minangkabau terhadap kedalaman ilmunya. Nizar,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

172

luas yang dimilikinya dalam pengelolaan Surau Jembatan Besi Padang Panjang

digunakan seluas-luasnya untuk melakukan modernisasi kelembagaan. Model

pembelajaran tidak lagi menggunakan sistem trasional, melainkan mulai menerapkan

sistem klasikal. Reformasi kurikulum juga menjadi bagian penting dari pembaharuan

Surau Jembatan Besi yang tidak lagi hanya mengajarkan ilmu pengetahuan agama

klasik dan modern. Sebaliknya, beberapa pengetahuan umum juga menjadi materi

wajib yang diajarkan dalam kegiatan pembelajaran.83

Sistem klasikal pada awalnya

hanya berupa tiga kelas, yakni kelas 1, 2, dan kelas 3. Berdasarkan hasil evaluasi

yang dilakukan, maka jumlah kelas ditambah dan secara keseluruhan menjadi tujuh

kelas. Tujuh kelas ini berasal dari kelas 1 yang dipecah menjadi 4 tingkatan, yaitu

1A, 1B, 1C, dan 1D. Sementara kelas 2 dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu 2A dan

2B. Sedangkan kelas 3 dipertahankan tetap menjadi satu tingkatan. Formasi kelas ini

kembali mengalami reorganisasi, yakni kelas 1A, 1B, 1C, dan 1D menjadi kelas 1,

2, 3, dan 4, kelas 2A dan 2B menjadi kelas 5 dan 6, dan kelas 3 menjadi kelas 7.84

Memperbincangkan Dinamika, 17. Meski gelar Syeikh telah disandangnya, namun ia merasa belum cukup

keilmuwan yang dimilikinya. Haji Rasul kembali memutuskan pergi haji ke Makkah sambil menuntut

ilmu untuk kedua kalinya selama beberapa tahun dan kembali ke Minangkabau pada tahun 1906. Noer,

Gerakan Modern, 45. Sekembalinya di Makkah untuk kedua kalinya, ia mendirikan dan mengelola surau

di Maninjau. Ditengah-tengah proses mengelola surau di Maninjau, ia diminta oleh Abdullah Ahmad

untuk membantu mengajar di Surau Jembatan Besi, meskipun tidak menetap. Keterlibatan Haji Rasul di

Jembatan Besi sangat dirasakan oleh Abdullah Ahmad, ia diminta untuk meninggalkan Maninjau dan

menetap di Padang. Sejak saat itu, untuk keperluan mengajar di Jembatan Besi, ia tidak lagi bolak balik

Maninjau-Padang Pandang, melainkan Padang-Padang Panjang. Ketika Haji Abdul Lathif Rasyidi yang

juga merupakan tokoh utama Surau Jembatan Besi selain Abdullah Abbas meninggal dunia, seluruh

masyarakat muslim Padang Panjang meminta kepada Haji Rasul agar menetap dan memimpin Surau. Dan

akhirnya, atas restu dari Abdullah Ahmad, maka Haji Rasul sejak tahun 1912 menetap di Padang Panjang

dan sekaligus pemimpin tunggal Surau Jembatan Besi. Daya, Gerakan Pembaharuan, 86. 83

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 93. 84

Daya, Gerakan Pembaharuan, 115.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

173

Reformasi kelembagaan yang terjadi di Surau Jembatan Besi menginspirasi

Syeikh Ibrahim Musa Parabek untuk memodernisasi surau yang dikelolanya.85

Pada

21 September tahun 1921, Surau Parebek yang dikelola oleh Ibrahaim Musa mulai

menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dengan sistem klasikal dan juga

memasukkan mata pelajaran umum kedalam kurikulum yang harus dipelajari oleh

setiap siswa di berbagai tingkatan dan diberi nama Sumatera Thawalib Parebek.86

Pada awal tahun 1926, misalnya, Ibrahim Musa telah berhasil membangun sebuah

gedung sekolah yang terdiri dari tujuh lokal sebagai tempat belajar bagi kelas 1

sampai dengan kelas 7. Tidak hanya itu, ruangan kantor dan kamar khusus untuk

para pengajar juga berhasil dibangun. Untuk memenuhi tempat tinggal para siswa,

Sumatera Thawalib Parebek juga berhasil membangun sebuah asrama bertingkat dua

dengan kapasitas 16 kamar. Sistem pembelajaran modern juga berhasil

diimplementasikan secara sempurna. Selain mata pelajaran umum, ilmu-ilmu sekuler

seperti berhitung, sejarah Islam, ilmu bumi, bahasa Inggris, Perancis dan Belanda

juga diajarkan di kelas.87

Sumatera Thawalib Padang Japang juga menjadi bagian dari gerakan

pembaharuan pendidikan yang dimanifestasikan kedalam adaptasi sistem

85

Syeikh Ibrahim Musa Parebek memiliki nama lengkap Syeikh Ibrahim bin Musa bin Abdul

Malik Perebek lahir pada tahun 1882 di Bukit Tinggi dari keluarga yang taat beragama. Nizar,

Memperbincangkan Dinamika, 20. Pendidikan dasar ke-Islam-an diperolehnya dari ayah dan ibunya yang

bernama Musa dan Maryam, dan setelah mengkhatamkan al-Qur’an pada usia 13 tahun, ia mulai

meneruskan studinya ke beberapa surau. Pada usia 18 tahun, ia melanjutkan studinya ke Makkah selama

kurang lebih 8 tahun. Tidak puas dengan apa yang diperolehnya, ia pada tahun 1909-1912 kembali ke

Makkah untuk menuntut ilmu sambil menunaikan ibadah haji. Noer, Gerakan Modern, 48. Sekembalinya

dari Makkah, ia mendirikan surau dan kemudian direorganisasi menjadi Sumatera Thawalib Parebek pada

21 September 1921. Daya, Gerakan Pembaharuan, 128. 86

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 94. 87

Daya, Gerakan Pembaharuan, 129.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

174

persekolahan Eropa (Barat) juga mengemuka di Sumatera Thawalib Padang Japang.

Gerakan pembaharuan ini dipelopori oleh Syeikh Abbas Abdullah yang melakukan

perubahan secara radikal terhadap surau yang didirikan dan dikelolanya, yaitu Surau

Padang Japang.88

Adaptasi sistem persekolahan Eropa di Sumatera Thawalib Padang

Japang ini dideskripsikan secara detail oleh Burhanuddin Daya.

“Sekembalinya ke Padang Japang, dicurahkan pikiran, waktu dan tenaganya

kembali kepada Perguruan Sumatera Thawalib, yang sudah tiga tahun

ditinggalkannya itu.89

Sepeninggalnya, memang sekolahnya ini tetap

berjalan, diasuh oleh pembantu-pembantunya. Mereka berhasil membangun

gedung sekolah dan asrama untuk murid-muridnya. Hanya setelah Syeikh

Abbas menanganinya kembali, organisasi sekolah, administrasinya, kegiatan

belajar dan mengajar serta kurikulum dan mata pelajarannya diatur dengan

baik dan disempurnakan. Lama belajar ditetapkan tujuh tahun, kelas satu

sampai dengan kelas tujuh, meniru HIS. Dengan sistem klasikal, pelajar-

pelajarnya duduk dibangku dan menghadapi meja tulis dalam mengikuti

pelajaran, sistem halqah ditinggalkan. Mata pelajarannya terbagi dalam dua

bidang ilmu, agama dan umum. Mata pelajaran agama terdiri dari: ilmu fikih,

ilmu tauhid, tafsir, hadist, sejarah Islam, mantiq, dan bahasa Arab. Mata

pelajaran umum meliputi ilmu bumi, sejarah, berhitung, membaca dan

menulis latin, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan juga bahasa

88

Syeikh Abbas Abdullah anak laki-laki Syeikh Abdullah yang juga dikenal sebagai salah satu

pasukan Padri dalam melawan Belanda. Setelah mendapatkan pendidikan dari keluarga dan surau-surau

sekitarnya, ia dalam usia 13 tahun menunaikan ibadah haji dan menetap disana guna menuntut ilmu

selama kurang lebih 8 tahun. Selama di Makkah, ia memperdalam Islam terutama kepada Syeikh Khatib

Minangkabau, Syeikh Khatib Kumango, Syeikh Latif Syukur, dan lain-lain. Sekembalinya ke Padang

Japang, Syeikh Abbas mendirikan dan mengelola surau dengan sistem tradisional dengan hanya

mengajarkan kitab-kitab keagamaan Islam. Pembelajaran sistem surau terus dpertahankan Syeikh Abbas

hingga kurang lebih lima belas tahun. Dalam kaitan ini, Daya menyebutkan “setelah sekitar lima belas

tahun membina pengajian (di surau) ini, beliau (Syeikh Abbas) berusaha mengubah pengajian di suraunya

dan mengikuti jejak Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) dan Haji Ibrahim Musa, mendirikan

Sumatera Thawalib dan mengubah pengajian suraunya menjadi Perguruan Sumatera Thawalib dengan

sistem kelas menurut pola yang berlaku di Jembatan Besi Padang Panjang dan Parebek Bukit Tinggi,

tahun 1919”. Daya, Gerakan Pembaharuan, 133. 89

Sebagaimana dilaporkan Daya, Syeikh Abbas melakukan ibadah haji untuk kedua kalinya pada

tahun 1921. Sementara kegiatan pembelajaran atau pengajian surau diserahkan kepada para pembantunya,

seperti Sa’aduddin dari Padang Japang, Munir Datuk Palindih dari Padang Luar, dan Engku Abizar dari

Koto Tuo”. Selepas menunaikan haji, ia melanjutkan perjalanannya ke Mesir dan sempat memperdalam

pengetahuan di Negara tersebut. Beberapa Negara lain, seperti Palestina, Syiria, Libanon, dan sekitarnya

juga dijelajahi oleh Syeikh Abbas. Ia dalam perjalanannya juga sempat berkeliling Jawa dan mengamati

berbagai pesantren dan sekolah-sekolah umum, seperti HIS, MULO, AMS, dan sebagainya yang telah

mengalami kemajuan pesar di Jawa. Daya, Gerakan Pembaharuan, 134.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

175

Indonesia. Buku pelajaran untuk mata pelajaran umum disesuaikan dengan

yang dipakai oleh sekolah umum, terutama sekolah kelas dua (Sekolah Kelad

Dua), sedangkan untuk pelajaran agama dipakai kitab-kitab yang dibawa

sendiri oleh Syeikh Abbas dari Mesir”.90

Perguruan Thawalib Jembatan Besi, Parebek, dan Padang Japang hanyalah tiga dari

begitu banyak Perguruan yang masing-masing seringkali mengelola lebih dari sebua

lembaga pendidikan (madrasah). Beberapa dapat disebut, diantaranya, Perguruan

Sumatera Thawalib Sungayang yang dikelola oleh Muhammad Thaib Umar.

Demikian pula, Sumatera Thawalib Payakumbuh yang mendirikan Mursyidah

School di Batang Tabit, Sungai Kemuning dan dikelola oleh Angku Mudo Karung

Sicincin sebagai kepala madrasah dan Haji Abdullah Abbas Padang Japang sebagai

pemimpin umumnya. Terdapat pula Perguruan Sumatera Thawalib Maninjau yang

merupakan cabang dari Sumatera Thawalib Padang Japang dan pada awalnya

merupakan surau yang diasuh oleh Syeikh Abdussalam. Di Bukit Tinggi juga

terbentuk cabang Sumatera Thawalib Parebek yang dikelola oleh Emil Imron dan

beberapa alumni dari Parebek. Sumatera Thawalib juga berkembang di Pariaman

melalui Sutan Darap (1888-1942), alumni Abdullah Padang Japang dan berhasil

mendirikan Diniyah School di Surau Tepi Air pada tahun 1920. Di Kubang Putih

dekat Bukit Tinggi juga berdiri Sumatera Thawalib School pada tahun 1924 yang

dipelopori oleh Buya Labay Khatib, seorang alumni Padang Panjang. Di Tanjung

Limau, H. Mukhtar yang juga alumni Thawalib Parebek berhasil mendirikan

Madrasah Perguruan Thawalib pada tahun 1923. Pada tahun 1928, Sumatera

90

Daya, Gerakan Pembaharuan, 134.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

176

Thawalib juga berkembang di Padusunan Pariaman yang pembentukannya dimotori

oleh Engku Bukhari, alumni Thawalib Parebek.91

Contoh-contoh lainnya dapat disebutkan, misalnya, Perguruan Thawalib

Bandar Dalam, Payakumbuh yang mendirikan dua lembaga sekaligus, yaitu Al-Islam

School dan Tauhidul Islam School di Situjuh Batur. Perguruan Thawalib Pasar

Gadang juga mendirikan madrasah di lokasi yang sama. Demikian pula di Lubuk

Lintah, Pauh Sembilan juga telah berdiri Perguruan Sumatera Thawalib yang

digerakkan oleh masyarakat muslim setempat. Para penghulu dan kaum cerdik

pandai yang didukung penuh oleh masyarakat juga mendirikan Perguruan Thawalib

di Lubuk Busung. Bahkan laporan Burhanuddin Daya juga menyebutkan, di Padang

Panjang sendiri juga terdapat madrasah-madrasah yang didirikan dan

diselenggarakan Perguruan Thawalib berbeda, seperti Perguruan Thawalib Sigando

di Gunung, Perguruan Thawalib Ngalau, dan Perguruan Thawalib Padang Lawas.

Selain itu, terdapat Perguruan Thawalib Kampung Dalam (Pariaman) yang

mendirikan Madrasah Al-Manar, dan Sumatera Thawalib Sikapak (Pariaman)

membangun Perguruan Thawalib Sikapak. Di daerah-daerah lain juga berdiri

Perguruan Thawalib dengan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikelolanya,

seperti Perguruan Thawalib Kurai Taji (Pariaman), Perguruan Thawalib Indarung,

Perguruan Thawalib Alang Laweh yang keduanya berlokasi di daerah Padang,

91

Daya, Gerakan Pembaharuan, 136-146.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

177

disusul Perguruan Thawalib Sianok, Perguruan Thawalib Pasar (Bukit Tinggi),

Perguruan Thawalib Bingkang (Solok), dan seterusnya.92

Normaal School (Normal Islam) atau yang dalam bahasa Arab populer

dengan nama Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah juga termasuk dari lembaga-

lembaga yang secara serius mengadaptasi sistem persekolahan Eropa di Sumatera

Barat. Sekolah ini didirikan oleh organisasi Persatuan Guru-Guru Agama Islam

(PGAI) di Minangkabau. Secara resmi, sekolah ini mulai melaksanakan kegiatan

belajar mengajar pada tanggal 1 April 1931.93

Berbeda dengan madrasah-madrasah

yang ada diatas, Normal School sepenuhnya mengadaptasi sistem persekolah Eropa

(Belanda). Laporan Depdikbud menyebutkan,

“Sekolah Normal Islam betul-betul sudah merupakan sekolah umum yang

bercorak Islam, karena dari 17 buah mata pelajaran, sekitar 12 % saja mata

pelajaran Islam dan bahasa Arab. Tetapi kalau dilihat dari jumlah jam

pelajaran, maka jam pelajaran untuk mata pelajaran agama dan bahasa Arab

berjumlah 41%, mata pelajaran umum lebih banyak daripada mata pelajaran

agama.

Sekolah Normal Islam diasuh oleh guru yang ahli dibidang mata pelajaran

agama dan bahasa Arab oleh guru didikan Mesir. Guru yang mengajarkan

92

Daya, Gerakan Pembaharuan, 147-148. 93

Yunus, Sejarah Pendidikan, 103. Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) merupakan organisasi

bagi para guru agama Islam di Minangkabau yang pada dasarnya sudah berdiri pada tahun 1919, namun

baru mendapatkan pengesahan dari pemerintah kolonial satu tahun kemudian (tanggal 7 Juli tahun 1920).

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 104. Pendirian organisasi ini dimotori oleh guru

dan sekaligus intelektual muda Minangkabau, Zainuddin Labay el-Yunusi yang saat itu berumur 30 tahun.

Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah, 47. Ia mendapatkan dukungan penuh dari salah satu ulama

senior kaum muda Minangkabau, yakni Syeikh H. Abdullah Ahmad Padang. Yunus, Sejarah Pendidikan,

93. Beberapa ulama Minang yang terlibat dalam pendirian organisasi dapat disebut, misalnya, Abdullah

Ahmad, Jamil Jambek, Abdul Karim Amrullah, Sutan Ibrahim Parebek, Abdul Rusydi, dan tokoh-tokoh

lain yang berjumlah 15 orang. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 104. Dalam

kepengurusan pertama, Zainuddin Labay terpilih menjadi ketua, sementara Jamil Jambek dan Haji Abdul

Karim menempati posisi sebagai penasehat. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 48. Sebagaimana

ditegaskan dalam Anggaran Dasar (AD) PGAI tahun 1921, organisasi ini bertujuan untuk “menjaga

martabat, memperbaiki nasib, dan memberikan pertolongan kepada guru agama Islam, memajukan dan

memperbaiki pengajaran agama Islam”. Selain itu, PGAI juga bertujuan untuk “mendirikan sekolah Islam,

menguasahakan kebebasan dalam pengembangan agama Islam dan lain-lain sebagainya”. Depdikbud,

Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 104.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

178

mata pelajaran umum diambil dari tamatan HIK atau AMS atau HBS,

sekolah yang dibina oleh Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Brat. Dari

mereka itu yang diambil hanya ilmunya saja, sedangkan kebiasaan barat

sedapat mungkin tidak diperlihatkan didalam lingkungan Normal Islam”.94

Masih di daerah Minangkabau, transformasi sistem persekolahan Eropa (Barat) juga

mengemuka di lembaga pendidikan yang dikelola oleh dua aktifis perempuan, yaitu

Rahmah el-Yunusiah dan Rohana Kudus. Meski dengan latar belakang berbeda,

keduanya memiliki satu pemikiran. Perempuan Minangkabau harus memiliki

kesempatan yang sama untuk mendapatkan akses pendidikan yang menggunakan

sistem persekolahan bergaya Eropa. Madrasah-madrasah bergaya Eropa yang

tumbuh menjamur di era keduanya belum dirasakan manfaatnya secara optimal bagi

komunitas perempuan. Karena itu, mereka pun tergerak untuk mendirikan lembaga

pendidikan yang secara eksklusif membuka akses pendidikan bagi perempuan

Minangkabau.

Rahmah el-Yunusiah mendirikan sekolah Islam khusus untuk perempuan

dengan nama Al-Madrasah al-Diniyah (Sekolah Keagamaan) di Padang Panjang

94

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 105. Menariknya, meski menggunakan

standar yang berlaku dalam sistem persekolahan Eropa, namun bagi lulusannya sangat ditekankan untuk

tidak menjadi pegawai pemerintah. Laporan Depdikbud menyebutkan, “suatu hal yang patut di tiru oleh

generasi muda sekarang dari Normal School adalah bahwa tamatannya tidak ada yang menggantungkan

nasib pada pemerintah waktu itu, karena masalah tersebut sudah ditekankan betul sewaktu masih belajar,

baik didalam kelas maupun diasrama”. Dalam kelembagaan Normal School tidak hanya berfungsi sebagai

tempat tinggal, tetapi juga sebagai sarana pendidikan non formal di luar sekolah. Keberhasilan tamatan

Normal Islam bukan hanya pada nilai ijazah saja, tetapi juga kemampuannya untuk mengajarkan dan

menyampaikan pelajaran kepada masyarakat”. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat,

106. Prinsip dasar untuk tidak menggantungkan pekerjaan pada ijazah yang diperolehnya, nampak begitu

kuat dipegang oleh salah satu lulusan Normal Islam, yaitu KH Zarkasyi yang juga pendiri Pondok

Pesantren Modern Gontor Ponorogo (Jawa Timur). Ia bahkan mengkritik sistem persekolahan Eropa

(Belanda) yang semata-mata diorientasikan untuk mencetak tenaga kerja semata di lembaga-lembaga

pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Lance Castles, “Notes on the Islamic School at Gontor”, Indonesia,

Vol. 1 (April 1966), 30-45.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

179

pada 1 November 1923.95

Pada awalnya, sekolah ini masih menggunakan sistem

tradisional, pelajaran diberikan tiap hari selama tiga jam dan proses kegiatan

pembelajaran berlangsung di sebuah masjid Pasar Usang, Padang Panjang. Namun,

sistem klasikal mulai diberlakukan sejak tahun 1924 seiring dengan perpindahan

kegiatan pembelajaran dari masjid ke sebuah balai berlantai dua di dekat masjid.

Selain itu, meja, bangku dan papan tulis juga mulai digunakan untuk menunjang

efektifitas pembelajaran. Sementara lantai atas digunakan sebagai asrama bagi para

pelajar putri dengan kapasitas tampung sebanyak 60 siswa pada tahun 1925. Dalam

perkembangannya, pada 1930, Rahmah berhasil mendirikan sebuah kelas tambahan

tingkat menengah untuk mempersiapkan lulusannya menjadi guru madrasah tingkat

95

Rahmah el-Yunusi lahir di Padang Panjang pada hari Jum’at tanggal 1 Rajab 1318 H/26 Oktober

1900 M dan meninggal di kota yang sama pada hari Rabo, 9 Dzulhijjah 1388 H bertepatan dengan tanggal

26 Februari 1969. Ia lahir dari keluarga yang sangat taat beragama dan tokoh terpenting di Padang

Panjang dan sekitarnya. Ayahnya bernama Syeikh Muhammad Yunus yang pernah menjabat hakim

(qadhi) di Pandai Sikat, Padang Panjang. Sementara kakeknya bernama Imanuddin dikenal luas sebagai

ulama ahli falak dan tokoh penting tarekat Naqsaqabandiyah di Minangkabau. Sementara ibu Rahmah el-

Yunusi bernama Rafi’ah. Nizar, Memperbincangkan Dinamika, 93. Ia adalah adik dari Zainuddin Labay,

sehingga tidak mengejutkan, jika pendidikan pada masa kecilnya dihabiskan bersama bersamanya,

meskipun kakaknya yang lain bernama Muhammad Rasyid juga berperan penting. Meskipun hanya

sampai mengenyam pendidikan formal ditingkat dasar selama tiga tahun, tetapi karena didikan kedua

kakaknya tersebut, Rahmah cukup lancar membaca dan menulis huruf Arab maupun huruf latin.

Junaidatul Munawarah, “Rahmah el-Yunusiah: Pelopor Pendidikan Perempuan”, dalam Ulama

Perempuan Indonesia, ed. Jajad Burhanuddin dkk (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), 5. Selain

kepada kedua kakaknya, ia juga belajar kepada beberapa ulama surau terkenal saat itu, seperti Abdul

Karim Amrullah di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Demikian pula, ia juga sempat berguru kepada

Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Abdul Rasyid Rasyidi, Muhammad Jamil Jambek, dan Daud Rasyidi.

Adjisman dkk, Rahmah el-Yunusiah, Tokoh Pembaharu Pendidikan dan Aktifis Perempuan di Sumatera

Barat (Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional-Badan Pengembangan Kebudayaan dan

Pariwisata, 2002), 23-24. Tidak hanya pengetahuan Islam, Rahmah juga sangat tertarik dengan

pengetahuan umum, terutama yang berkenaan dengan reproduksi perempuan. Ia pernah mengikuti kursus

ilmu kebidanan di RSU Kayu Taman pada tahun 1931-1935 dan berhasil mendapatkan ijin praktek dari

dokter. Ilmu kebidanan tradisional juga dipelajarinya dari kakak ibunya, Kudi Kurai yang pernah

menangani persalinan Rahmah dan Sutan Syahrir. Untuk menyempurnakan pengetahuan tentang

kesehatan, ia juga pernah berguru secara langsung kepada enam dokter yang pernah mengajarnya ditempat

kursus ilmu kebidanan, yaitu dr. Sofyan Rasyad, dr. Tazar, dr. A. Saleh, dr. Arifin, dr. Rasidin, dan dr.

Sani. Menariknya, Rahmah juga pernah mendalami “gimnastik dari seorang guru Belanda, Mej. Oliver,

pada Majelis Normal School (Sekolah Pendidikan Guru) di Guguk Malintang”. Munawarah, “Rahmah el-

Yunusiah”, 6.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

180

dasar. Puncaknya, Rahmah pada tahun 1937 berhasil membangun sekolah guru

khusus untuk perempuan, dan dalam waktu hampir bersamaan, sekolah jenis yang

sama berhasil pula didirikan khusus untuk siswa laki-laki.96

Selain menggunakan sistem klasikal, sekolah yang didirikan Rahmah juga

memasukkan mata pelajaran umum. Hanya saja, masuknya ilmu-ilmu umum dalam

kurikulum madrasah dilakukan secara bertahap. Hasil laporan penelitian

menyebutkan,

“Selain mempersiapkan sarana fisik, Rahmah juga memperhatikan

pengembangan bidang kurikulum dan program pendidikan. Sekolah yang

semula hanya mengajarkan ilmu agama, lima tahun kemudian secara

bertahap memasukkan mata pelajaran umum (sekuler) dalam kurikulumnya,

disamping program ekstra kurikuler seperti renang, bertenun, menganyam,

dan musik. Pelajaran sekuler mulai dimasukkan dalam kurikulum pada 1928,

kemudian dikembangkan lebih luas pada 1931 dan 1938, sehingga dalam

kurikulumnya terdapat pelajaran bahasa Indonesia, menulis latin, berhitung,

kesehatan, ilmu bumi, menggambar, ilmu tumbuhan, ilmu binatang, kerja

tangan, bahasa Inggris, hitung dagang, tata buku, ilmu tubuh manusia, ilmu

alam, dan bahasa Belanda”.97

Sementara Rohana Kudus berhasil mendirikan Sekolah Amai Setia yang secara

khusus juga diperuntukkan bagi perempuan.98

Sebelum mendirikan sekolah

bersistem Eropa, Rohana sejak umur 12 tahun telah menyelenggarakan pendidikan

96

Noer, Gerakan Modern, 63. 97

Munawarah, “Rahmah el-Yunusiah”, 18. 98

Rohana Kudus lahir di Koto Gadang Bukit Tinggi pada tanggal 28 Desember 1884 dengan nama

singkat Rohana. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 158. Pada usia 24 tahun, ia

menikah dengan Abdoel Koedoes yang kemudian nama belakang suaminya nya sekaligus menjadi nama

belakang Rohana. Nizar, Memperbincangkan Dinamika, 92. Berbeda dengan Rahmah el-Yunusi yang

berlatar belakang keluarga muslim taat, ia merupakan keturunan bangsawan. Ayah Rohana bernama

Muhammad Arsyad Maharadja Sutan yang berprofesi sebagai juru tulis. Jika dilihat dari silisilah keluarga

besarnya, ia merupakan kakak sulung seayah lain ibu dengan St Syahrir dan masih satu nenek dengan Haji

Agus Salim. Karena latar belakang keluarga ini pula yang membuka kesempatan dirinya untuk menempuh

dan menyelesaikan pendidikannya di Normaal School voor Meisjers. Setelah selesai studinya, ia bersama-

sama dengan beberapa temannya mendirikan lembaga pendidikan yang secara khusus diperuntukkan bagi

perempuan. Nizar, Memperbincangkan Dinamika, 92.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

181

non formal, tepatnya pada tahun 1896. Dalam usianya tersebut, ia sudah mengajar

teman-teman sebayanya untuk menulis dan membaca tulisan dalam bahasa Arab dan

latin. Ketika usianya memasuki 21 tahun, ia mendirikan lembaga pendidikan yang

diberinya nama Sekolah Gadis di Koto Gadang, Bukit Tinggi dengan materi

pelajaran utamanya Kerajinan Wanita. Enam tahun kemudian, tepatnya pada 1

Februari 1911, ia pun berhasil mengubah Kerajinan Amai Setia yang pada awalnya

merupakan lembaga kursus khusus bagi perempuan menjadi Sekolah Amai Setia.99

Berbagai madrasah dan sekolah Islam diatas hanyalah merupakan contoh dari

begitu banyak lembaga-lembaga pendidikan Islam di Minangkabau yang berhasil

memodernisasi kelembagaan masing-masing seiring berjalannya impelementasi

kebijakan politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meskipun tidak

merepresentasikan perkembangan kuantitas yang sesungguhnya atas fenomena

menguatnya transformasi sistem persekolahan Eropa dikalangan masyarakat muslim

Minangkabau, tetapi contoh-contoh diatas menjadi petuntuk penting pergeseran

sistem kelembagaan pendidikan Islam. Di Minangkabau, surau tidak lagi menjadi

satu-satunya model kelembagaan pendidikan Islam, tetapi sebaliknya, terdapat pula

madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam dengan coraknya yang cukup

beragam. Meskipun madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam secara

keseluruhan memiliki satu sistem kelembagaan yang sama, menggunakan sistem

klasikal dan memasukkan mata pelajaran umum kedalam kurikulum pembelajaran.

99

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 145; Ahmadi, Sejarah Pendidikan, 37;

Jumhur dan Danasaputra, Sejarah Pendidikan, 158.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

182

Sejak tahun 1900-an, menguatnya transformasi sistem persekolahan Eropa

(Barat) tidak hanya terjadi di Sumatera Barat, melainkan juga mulai merasuk ke

Jawa. Hal ini ditandai oleh berdirinya madrasah-madrasah maupun sekolah-sekolah

Islam yang menggunakan sistem klasikal dan sekaligus memasukkan mata pelajaran

pengetahuan umum (sekuler). Sebagian besar, lembaga-lembaga pendidikan Islam

bersistem Eropa didirikan dan dikelola oleh organisasi-organisasi keagamaan Islam.

Dan hanya sebagian kecil diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut yang

dikelola oleh elit-elit muslim secara perseorangan maupun jaringan keluarga besar.

Selain di madrasah Mamba’ul Ulum, madrasah Jami’at Khair dapat disebut

sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang mulai mengadaptasi sistem

persekolahan Eropa di Jawa paska pemberlakuan kebijakan sistem politik etis.100

Kehendak kuat Jami’at Khair untuk mengadaptasi sistem persekolahan Eropa pada

dasarnya sudah mulai mengemuka sejak tahun 1901, namun upaya yang dilakukan

menemui jalan buntu. Organisasi Islam ini baru berhasil mendirikan madrasah

tingkat dasar dengan sistem Eropa pada 1905, sebuah lembaga pendidikan “pertama

100

Jami’at Khair didirikan oleh muslim keturunan Arab di Jakarta yang bergerak dalam bidang

sosial dan pendidikan. Organisasi ini sudah mulai menjalankan aktifitasnya sejak tahun 1905, namun

masih bersifat informal dan diam-diam, karena belum mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.

Meskipun keanggotaan organisasi bersifat terbuka dan tanpa diskriminasi, organisasi ini didirikan hampir

sepenuhnya oleh masyarakat muslim keturunan Arab di Jakarta. Beberapa dari mereka dapat disebut,

misalnya, Sayid Muhammad Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur, Syeikh Muhammad bin Abdullah bin

Syihab, dan Sayid Syehan bin Syihab. Noer, Gerakan Modern, 68. Setelah menjalankan aktifitasnya

secara informal, pada tahun 1903 organisasi ini mengajukan izin resmi kepada Pemerintah Hindia

Belanda. Dan baru dua tahun kemudian, organisasi mendapatkan pengakuan legal dari pemerintah dengan

nama Jami’at Khair pada tanggal 17 Juni 1905 dengan besluit No. 4. Muhammad Syamsu As, Ulama

Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1999), 282.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

183

bagi masyarakat Arab di Jakarta”.101

Tentang keberadaan madrasah Jami’at Khair

ini, Noer menggambarkan,

“Sekolah Dasar Jami’at Khair didirikan pada tahun 1905. Sekolah ini bukan

suatu sekolah yang semata-mata bersifat agama tetapi merupakan suatu

sekolah dasar biasa dimana bermacam-macam mata pelajaran seperti

berhitung, sejarah (umumnya sejarah Islam), dan ilmu bumi diberikan.

Kurikulum disusun, sedangkan kelas-kelas telah diorganisir. Bahasa

perantara adalah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu, oleh sebab memang

lingua franca dikalangan anak-anak Arab Indonesia adalah bahasa Melayu

atau bahasa daerah, bergantung pada dimana mereka tinggal”.102

Akibat perselisihan tajam antara beberapa pengajar yang berhaluan modernist

dengan elit Jami’at Khair pada tahun 1910 berdampak pada pecahnya organisasi

menjadi dua. Para pengajar berhaluan modernist dimotori oleh Ahmad Syurkati yang

secara terbuka mengkritik praktek-praktek pemberian hak istimewa kepada

keturunan Rasul Muhammad atau lebih populer dengan istilah Sayyid.103

Perselihan

semakin meruncing pada tahun 1913, sehingga Surkati menyatakan keluar dari

101

Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 59. 102

Neor, Gerakan Modern, 69. Yang menarik, bahasa Inggris merupakan bahasa wajib kedua

setelah bahasa Indonesia, sementara bahasa Belanda justru tidak diajarkan. Demikian pula, bahasa Arab

juga tidak digunakan sebagai bahasa wajib dalam kegiatan pembelajaran, melainkan hanya menjadi

bahasa pengantar. Tenaga pengajar yang berasal dari Indonesia juga diseleksi secara ketat, dan untuk

guru-guru agama tidak jarang madrasah ini mendatangkan langsung dari negeri Arab. Steenbrink,

Pesantren, Madrasah, Sekolah, 60. 103

Syeikh Ahmad Surkati lahir di Dongola Sudan pada tahun 1292 H bertepatan dengan 1872 M

dari keluarga muslim yang taat dan sekaligus terpelajar. Ayahnya yang bernama Muhammad Surkati

adalah lulusan Universitas Al-Azhar yang memiliki banyak koleksi kahazanah Islam. Bisri Affandi, Syeikh

Ahmad Syurkati (1874-1943), Pembaharu dan Pemurni Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

1999), 209. Selepas menempuh pendidikan dasar dan menengah di Sudan, ia dikirim ayahnya untuk

melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Namun, seperti halnya ayahnya, ia tidak berhasil berhasil

menyelesaikan studinya. Meskipun tidak selesai studinya, ia tidak kembali ke kampung halaman,

melainkan mengembara dan memperdalam ilmunya di Madinah selama kurang lebih 4 tahun dan ke

Makkah selama 11 tahun. Keseriusannya dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman menempatkan dirinya

sebagai orang pertama dari Sudan yang mendapatkan sertifikasi tertinggi guru agama dari pemerintah

Istambul (Turki Utsmani). Noer, Gerakan Modern, 74. Perkenalan Surkati dengan Jami’at Khair terjadi,

ketika organisasi ini membutuhkan guru-guru agama lulusan Al-Azhar dan dia diusulkan oleh teman-

temannya. Akhirnya, ia bersama dengan dua temannya yakni Muhammad Thayyib dari Maroko dan Abdul

Hamid dari Sudan meninggalkan Makkah menuju Jakarta pada tahun 1329 H bertepatan dengan 1911 M.

Affandi, Syeikh Ahmad Syurkati, 210.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

184

Jami’at Khair dan untuk selanjutnya, ia mendirikan organisasi Jami’ah Al-Islam wa

Al-Irsyad Al-Arabiyah atau Al-Irsyad.104

Di Jakarta dan cabang-cabang yang

didirikan diberbagai daerah di Hindia Belanda dan terutama Jawa, Al-Irsyad berhasil

membangun madrasah-madrasah maupun sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa

(Belanda), baik ditingkat dasar, menengah, maupun sekolah guru. Dengan

menggunakan sistem persekolahan Eropa, lulusan Al-Irsyad, seperti di Jakarta dan

Surabaya, tidak saja akhirnya berprofesi sebagai guru dan pedagang, melainkan

“sebagian diantaranya menjadi pegawai pemerintah seperti yang bekerja di kantor-

kantor masalah pribumi (Kantoor voor Inlandsche Zaken)”.105

Menguatnya fenomena adaptasi sistem persekolahan Eropa juga terjadi di

Jawa Barat. Hal ini ditandai oleh berdirinya madrasah-madrasah yang

diselenggarakan oleh Persatuan Islam (PERSIS) Bandung.106

Di Bandung, organisasi

Islam modernist ini mendirikan madrasah dari jenjang dasar hingga menengah atas,

terdiri dari madrasah tingkat Tajhiziyah, Tsanawiyah, Mu’allimin, dan Aliyah.

Keseluruhan tingkatan madrasah-madrasah yang diskelola PERSIS tersebut telah

mengunakan sistem klasikal.107

Selain itu, madrasah-madrasah yang ada tidak hanya

mengajarkan ilmu pengetahuan agama semata, melainkan juga mata pelajaran

umum. Untuk tingkat Ibtidaiyah, misalnya, mata pelajaran agama yang diajarkan

104

Secara resmi Al-Irsyad secara resmi berdiri pada tahun 1914, namun baru mendapatkan

pengakuan Pemerintah Hindia Belanda satu tahun kemudian melalui besluit No. 47 tertanggal 17 Agustus

1915 dengan alamat Petojo Jaga Monyet No. 19 Jakarta. Syamsu As, Ulama Pembawa Islam, 288. 105

Noer, Gerakan Modern, 76. 106

Secara resmi, Persatuan Islam (PERSIS) terbentuk pada tanggal 12 September 1923 di Bandung

yang diketuai oleh Ahmad Hassan dan M. Natsir sebagai penasehat sekaligus menjadi guru senior.

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Kebudayaan Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), 87. 107

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, 88.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

185

meliputi fikih, Qur’an dan tafsirnya, bahasa Arab, tauhid (teologi), gramatika bahasa

Arab (nahwu dan sharf), tajwid, sejarah Islam, faraidz (hukum waris), membaca dan

menulis huruf Arab, dan pidato dengan menggunakan bahasa Arab. Sementara mata

pelajaran umum mencakup membaca dan menulis huruf latin, berhitung, ilmu bumi,

sejarah, bahasa Indonesia, dan bahasa Daerah.108

Masih di Jawa, tepatnya di Majalengka Jawa Barat juga berdiri sekolah Islam

modern bergaya Eropa (Belanda) dan populer nama “Santi Asrama” atau sekolah

berasrama. Sekolah ini didirikan pada tahun 1932 dan dikelola KH Abdul Halim

bukan hanya memberikan mata pelajaran yang berorientasi pada penguatan aspek

kognitif semata, melainkan juga afektif dan psikomotorik.109

Selain juga

menggunakan sistem klasikal dalam kegiatan belajar mengajarnya. Orientasi pada

aspek kecakapan (psikomotorik) didasarkan pada pertimbangan Halim bahwa, belum

ditermukan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dilengkapi bukan saja

“berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga

108

Yunus, Sejarah Pendidikan, 299. Demikian pula tingkat atau jenjang Tsanawiyah yang juga

mengajarkan mata pelajaran agama dan umum (sekuler) sekaligus. Untuk mata pelajaran agama di tingkat

Tsanawiyah meliputi; 1) tauhid (teologi); 2) tafsir; 3) hadits; 4) fikih; 5) ushul fikih; 6) musthalah hadits;

7) faraidz (hukum waris), 8) nahwu; 9) sharf; 10) bahasa Arab; 11) balaghah; 12) tarikh (sejarah); dan 13)

mantiq (logika). Sedangkan mata pelajaran umum yang diajarkan dan menjadi bagian dari kurikulum

tingkat Tsanawiyah mencakup; 1) bahasa Inggris; 2) bahasa Indonesia; 3) berhitung; 4) ilmu alam; 5) ilmu

bumi; 6 ilmu kesehatan; dan 7) ilmu pedagogis (mengajar). Yunus, Sejarah Pendidikan, 301. 109

Abdul Halim merupakan salah satu tokoh penting pendidikan Islam di Jawa Barat dalam era

kolonial Hindia Belanda. Ia lahir di kampung Cibolerang, Majalengka pada tahun 1887 M dari keluarga

muslim yang sangat taat. Ayahnya yang bernama KH Abdul Halim merupakan pejabat penghulu di

Jatiwangi, Cirebon. Pendidikan dasarnya banyak dihabiskan di berbagai pesantren yang tersebar di Jawa

Barat, seperti pesantren Bobos (Cirebon), pesantren Ciwedas, Cilimus (Kuningan), pesantren Kanayangan

(Pekalongan). Di masing-masing pesantren, ia menghabiskan waktu untuk memperdalam pengetahuan

keislaman selama kurang lebih satu sampai tiga tahun hingga ia berumur 22 tahun. Setelah merasa cukup

belajar di tanah air, ia pergi ke Makkah untuk menunaikan haji sekaligus memperdalam pengetahuan

Islam dihadapan ulama-ulama terkenal saat itu, misalnya, kepada Syeikh Khayyath. Tepat pada tahun

1911, ia kembali ke Majalengka dan memulai aktifitasnya sebagai motor gerakan pembaharuan

pendidikan Islam di Jawa Barat . Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, 72.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

186

kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian,

bergantung dari bakat masing-masing”.110

Tidak mengejutkan, jika di Santi Asrama,

selain “diberikan pelajaran agama dan umum, juga diberikan pendidikan

ketrampilan, seperti pertanian, pertukangan, dan ukiran kayu”.111

Selain Jami’at Khair, Al-Irsyad, Santi Asrama PUI dan madrasah-madrasah

PERSIS, organesasi modernist Islam Muhammadiyah dapat disebut sebagai

organisasi yang palings sukses mengadaptasi sistem persekolahan Eropa

(Belanda).112

Sejak organesasi ini didirikan, perluasan akses pendidikan modern bagi

penduduk muslim Boemipoetra menjadi salah satu agenda utamanya. Satu tahun

sebelum wafatnya KH Muhammad Dahlan pada tahun 1923, Muhammadiyah telah

berhasil mendirikan 8 sekolah partikelir dengan sistem Eropa (Belanda) jenjang

pendidikan dasar, menengah dan kejuruan dengan 73 orang guru dan 1.019 siswa.

Sekolah-sekolah bergaya Eropa dimaksud meliputi; 1) Opleiding School di

110

Noer, Gerakan Modern, 82. 111

Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 74. 112

Muhammadiyah secara resmi berdiri pada tanggal 18 November 1912 di Yogjakarta dengan KH

Ahmad Dahlan sebagai pendiri utamanya dan didukung sepenuhnya oleh beberapa abdi dalem Keraton

Yogjakarta yang sekaligus menjadi pengurus pertama organisasi. Secara lengkap, pengurus

Muhammadiyah periode pertama, terdiri; 1) Mas Ketib Amin, KH Ahmad Dahlan sebagai Ketua dan Mas

Penghulu, Haji Abdullah Siradj (Sekretaris). Selain Ketua dan Sekretaris, pengurus periode pertama juga

menyertakan beberapa anggota, yaitu: 1) Raden Ketib Tjandana, Haji Ahmat; 2) Haji Abdul Rahman; 3)

Raden Haji Sarkawi; 4) Mas Gebajan, Haji Mohammad; 5) Raden Haji Djaelani; dan 6) Haji Anis; dan 7)

Mas Tjarik, Haji Muhammad Pakih. Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan

Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), 29; Achmad Jainuri,

The Muhammadiyah Movement in Twentieth-Century Indonesia: A Socio-Religious Study (MA Thesis:

McGill University Montreal, Canada, 1992), 21; Ahmad Najib Burhani, “Revealing the Neglected

Missions: Some Comments on the Javanese Elements of Muhammadiyah Reformism”, Studia Islamika,

Vol. 12, No. 1 (2005), 105; Ahmad Najib Burhani, The Muhammadiyah’s Attitude to o Javanese Culture

in 1912-1930: Appreciation and Tension (MA Thesis: Leiden University, 2004), 50-51; Weinata Sairin,

Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), 51-52. Namun,

organisasi ini baru mendapatkan pengesahan (Besluit) dari Gubernur Jendral pada tanggal 14 Agustus

1914, setelah KH Ahmad Dahlan dan Haji Abdullah Siradj mengajukan permohonan pada 20 Desember

1912. Jainuri, The Muhammadiyah Movement, 22; Sairin, Gerakan Pembaharuan, 52.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

187

Magelang; 2) Kweekschool di Magelang dan Purworejo; 3) Normaal School di

Blitar; 4) NBS di Bandung; 5) Algemeene Midelbare School di Surabaya; 6) TS

School di Yogjakarta; 7) Sekolah Guru di Kotagede; dan 8) Hoogere Kweekschool di

Purworejo.113

Sekolah-sekolah bergaya Eropa yang dikelola Muhammadiyah meningkat

sangat signifikan sepeninggalnya KH Ahmad Dahlan. Data tahun 1932, misalnya,

menunjukkan, jumlah lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi modernist

ini mencapai 207 lembaga. Data ini belum termasuk lembaga-lembaga pendidikan

lain yang juga telah menggunakan sistem modern, seperti klasikal dan memasukkan

mata pelajaran umum (sekuler), selain mata pelajaran umum dalam kurikulum

pembelajarannya (lihat tabel). Selain itu, jumlah keseluruhan ini hanya diambil dari

daerah Jawa dan Madura, sehingga angka lebih besar akan didapatkan, jika dihitung

secara keseluruhan di Hindia Belanda.114

Tabel 3

Muhammadijah School in Jawa and Madura in 1932

Type of School West

Java

Central

Java

East

Java

Madura Total

Western School System

Volksschool

Standard School

Schakel School

H.I.S

MULO/Normaal H.I.K

Kweekschool

8

1

0

7

1

1

88

23

17

32

2

3

2

2

5

10

1

0

0

2

1

1

0

0

98

28

23

50

4

4

Total 18 165 20 4 207

Religious Schools

Dinijah

Wustha

2

1

59

9

12

1

4

0

77

11

113

Mulkhan, Pemikiran KH Ahmad Dahlan, 23-24. 114

Alfian, Muhammadiyah: Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch

Colonialism (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1989), 190.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

188

Total 3 68 13 4 88

Other Schools

Aisjiah/Meisje School

Jatimschool (School for

Orphans)

Bustan (Kindergarten)

Others

2

0

1

0

6

7

1

4

0

0

0

0

8

0

0

0

0

7

2

4

Total 3 18 0 0 13

Grand Total

24

251

33

8

316

Sumber: Alfian: 1989: 190

Sistem persekolahan Eropa (Belanda) juga berpengaruh dalam proses pembentukan

Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo (Jawa Timur).115

Pondok Darussalam

mendirikan madrasah yang menggunakan sistem klasikal, terdiri dari 6 kelas dengan

masa studi di enam tahun. Selain menggunakan sistem klasikal, madrasah di Gontor

juga menyertakan beberapa pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulum

pembelajaran. Beberapa pengetahuan sekuler yang diajarkan di Gontor meliputi; 1)

Berhitung; 2) Aljabar; 3) Ilmu ukur; 4) Ilmu alam; 5) Ilmu hayat; 6) Sejarah

Indonesia/Umum; 7) Ilmu bumi; 8) Pendidikan ilmu jiwa; 9) Praktek mengajar; 10)

Tata negara; 11) Gerak badan yang merupakan kegiatan ekstrakurikuler; 12

115

Pondok Modern Gontor didirikan pada tahun 1926 bertepatan dengan tahun 1344 H oleh tiga

bersaudara, yaitu KH Imam Zarkasyi, KH Ahmad Zahal, dan KH Zainuddin Fanani. Saat pertama berdiri,

KH Syarkasyi bertanggung jawab sebagai direktur madrasah, sementara Ahmad Sahal menempati posisi

sebagai pengasuh. Sementara Zainuddin Fanani tidak begitu aktif, karena setelah itu, ia diangkat sebagai

pegawai di Departemen Sosial Depsos) Jakarta. Lance Castles, “Notes on Islamic School at Gontor”,

Indonesia, Vol. 1 (April 1966): 30-45, 30. Setelah didirikan pada tahun 1926, pesantren ini mengalami

reorganisasi besar-besaran pada tahun 1936, tepat satu tahun setelah Imam Zarkasyi menyelesaikan

studinya di Normal School Padang. Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur (Jakarta: Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional-Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), 156. Diatara tiga nama pendiri ini, Imam Zarkasyi lah yang memiliki

peran terpenting dalam menjaga keberlanjutan pesantren di masa selanjutnya. Peran penting yang

mengemuka dalam diri Zarkasyi adalah wajar, karena ia adalah lulusan Normal School Padang yang

dikelola oleh Mahmud Yunus dan kawan-kawan. Catatan Yunus sendiri menyebutkan, Zarkasyi

menyelesaikan studinya dari Normal School pada tahun 1935 M. Yunus, Sejarah Pendidikan, 249. Siti

Fathimah, Modernism and The Contextualization of Islamic Doctrines, The Reform of Indonesian Islam

Proposed by Nurcholish Madjid (MA Thesis: McGill University Montreal, Canada, 1995), 20.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

189

Menggambar/seni suara yang juga ekstrakurikuler; 13) Bahasa Indonesia; dan 14)

Bahasa Inggris.116

Nahdhatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) juga dapat disebut sebagai

bagian dari madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam yang mengadaptasi

sistem persekolahan Eropa (Barat).117

Sejak tahun 1929, selain telah menggunakan

sistem klasikal, madrasah-madrasah Nahdhatul Wathan juga memasukkan mata

pelajaran umum dalam kurikulum pembelajarannya.

“Nahdhatul Wathan membuka enam jenjang kelas. Kelas pertama dan kedua

dinamakan sifir awal (Nol A) dan sifir tsani (Nol B). Para murid sifir awal

dididik untuk bisa menulis Arab, menyusun kalimat Arab, dan membaca Al-

Qur’an. Dan untuk tahun berikutnya mereka bisa menjadi murid sifir tsani,

dengan mata pelajaran yang sama dengan sifir awal tetapi lebih mendalam.

116

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur, 161. 117

Madrasah Nahdhatul Wathan merupakan madrasah yang didirikan oleh para aktifis muslim

didikan timur tengah di Surabaya pada tahun 1914. Beberapa yang terlibat dalam pendirian madrasah ini,

diantaranya, KH Mas Mansur, KH Wahab Chasbullah, KH Abdul Kahar Muzakkar yang dikenal sebagai

salah satu saudagar penting di Surabaya saat itu. Dua tahun setelah mengajukan pendirian kepada

pemerintah kolonial, maka Nahdhatul Wathan mendapatkan status badan hukum (Rechtsperson) pada

tahun 1916. Dalam kepengurusan pertama, KH Abdul Kahar menempati posisi sebagai Direktur,

sementara Ketua Dewan Guru dijabat oleh KH Wahab, dan Mas Mansur menjadi Kepala Sekolah yang

dibantu KH Ridlwan Abdullah. Choirul Anam, Sejarah dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Surabaya:

Duta Aksara Mulia, 2010), 28-29. Dalam perkembangannya, Mas Mansur yang juga memiliki peran

penting dalam pendirian madrasah menyatakan diri keluar dari Nahdhatul Wathan pada tahun 1922, sebagi

akibat dari memburuknya hubungan dengan KH Wahab Chasbullah. Fealy menyebutkan bahwa,

memburuknya hubungan antara keduanya mengemuka, ketika “pada tahun 1921, Muhammadiyah

membuka cabang di Surabaya dan berhasil meyakinkan Mas Mansur, yang mempunyai hubungan

keluarga dan relasi profesional baik dikalangan modernist maupun tradisionalist, untuk bergabung dalam

organisasi tersebut”. Greg Fealy, “Wahab Chasbullah, Tradisionalisme dan Perkembangan Politik NU”,

dalam Tradisionalisme Radikal, Persinggungan Nahdhatul Ulama-negara, ed. Greg Fealy dan Greg

Barton (Yogjakarta: LKiS, 1997), 9. Jabatan Mas Mansur sebagai kepala sekolah diserahkan kepada

dewan pengurus dan kemudian ditunjuk KH Mas Alwi bin Abdul Aziz sebagai penggantinya. Anam,

Sejarah Pertumbuhan, 32. Sepeninggal Mas Mansur, KH Wahab dan pengelola yang lain tetap

mengembangan Nahdlatul Wathan, bukan saja di Surabaya melainkan juga dibeberapa daerah di Jawa

Timur. Haidar menggambarkan, “dalam waktu yang sangat singkat, lima tahun pertama berdiri beberapa

cabang madrasah di Malang, Semarang, Gresik, Jombang, dan beberapa tempat di Surabaya sendiri”.

Haidar menambahkan, “sebagian ada yang tetap menggunakan nama Nahdhatul Wathan, sebagian lagi

menggunakan nama lain, seperti Far’u al-Wathan (Gresik dan Malang), Hidayah al-Wathan (Jagalan dan

Jombang), Khithabah al-Wathan (Pacarkeling) atau Akh al-Wathan (Semarang) dan lain-lain”. Anam,

Sejarah Pertumbuhan, 33; M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih

Dalam Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), 43.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

190

Sedangkan murid sifir tsani dipersiapkan untuk memasuki madrasah empat

tahun berikutnya, mulai dari kelas satu sampai dengan kelas empat (tamat).

Sedangkan mata pelajaran kelas I: menulis halus (Arab), menyusun kalimat

dan membaca al-Qur’an, tajwid (ilmu membaca al-Qur’an) dan menghafal

tuntunan agama dalam bahasa Jawa. Kelas II mata pelajaran agama seperti

kelas I tetapi lebih mendalam dan ditambah mata pelajaran nahwu dan sharf

(gramatika Arab), tauhid (teologi), hisab (ilmu hitung), dan membaca kitab.

Sedangkan kelas III, sama dengan kelas II tapi lebih mendalam lagi. Kelas IV

sama seperti kelas III ditambah mata pelajaran ilmu bumi”.118

Menariknya, sistem persekolahan Eropa (Belanda) juga diadaptasi oleh kalangan

pesantren yang dikelola oleh muslim tradisionalist. Pesantren Tebuireng, Jombang

(Jawa Timur), misalnya, selain tetap mempertahankan sistem pendidikan pesantren

juga mendirikan madrasah bergaya Eropa.119

Transformasi sistem persekolahan

Eropa (Belanda) di Pesantren yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari mulai

mengemuka paska keterlibatan aktif KH M. Ilyas dan KH Wahid Hasyim.

Keputusan mengadaptasi sistem persekolahan Eropa (Belanda) berawal dari

pendirian Madrasah Salafiyah Syafi’iyah pada tahun 1916 yang dipimpin oleh KH

Ma’sum yang juga menantu Hasyim Asy’ari. Dengan tetap tidak meninggalkan

118

Anam, Sejarah Pertumbuhan, 89. 119

Pesantren Tebuireng Jombang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari sepulangnya dari menuntut

ilmu di Makkah. Pesantren ini didirikan pada tanggal 26 Rabi’ul Awal 1317 H bertepatan dengan tahun

1899 Masehi. Heru Soekardi, Kyai Haji Hasyim Asy’ari (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Sejarah Nasional-Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980),

47. Banyak kolega, terutama dari kalangan kyai saat itu yang cukup heran dengan Tebuireng sebagai

tempat yang dipilih Hasyim. Mas’ud mendeskripsikan, “para kyai lain yang semasa dengan Hasyim

mentertawakan kekonyolan keputusan Hasyim untuk mendirikan sekolah di Tebuireng, karena Tebuireng

adalah desa terpencil yang jauh dari kota Jombang”. Tidak hanya itu, “kritik semakin tajam, ketika

mengetahui bahwa wilayah tersebut tidak aman, karena di sana banyak penduduk yang tidak agamis,

perampok, pemabuk, penjudi, serta prostitusi”. Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara,

Jejak Intelektual Arsitek Islam (Jakarta: Prenada Media, 2006), 234. Untuk pertama kalinya, pesanren

Tebuireng hanya memperoleh 28 anak sebagai pendaftar. Dalam perkembangannya, Hasyim berhasil

membangun pesantren Tebuireng sebagai basis pengembangan Islam tradisional terkenal, bukan hanya di

Jawa melainkan juga di luar Jawa. Spesialisasi Hasyim dibidang Hadits telah mendorong banyak santri,

termasuk kyai senior untuk mendalami disiplin ilmu tersebut ke Tebuireng. Salah satunya adalah KH

Khalil Bangkalan yang juga sekaligus pernah menjadi guru Hasyim. Ia secara khusus datang ke Tebuireng

untuk belajar hadits kepada Hasyim Asy’ari, beberapa tahun sebelum Khalil meninggal dunia. Mas’ud,

Dari Haramain ke Nusantara, 238-239.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

191

sistem pembelajaran tradisional seperti halqah dan bandongan, madrasah Salafiyah

yang dikelola secara terpisah telah menggunakan sistem klasikal. Secara

keseluruhan, madrasah terbagi menjadi enam kelas (tingkatan), yakni “kelas

persiapan selama setahun dan lima tahun program madrasah”.120

Selain itu, mata

pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Sejarah, Matematika,

dan Geografi juga diajarkan di madrasah.121

Transformasi sistem persekolahan bergaya Eropa (Belanda) semakin

menemukan bentuknya, ketika KH Muhammad Ilyas menjabat sebagai direktur

madrasah. Sejak tahun 1926, mata pelajaran umum diperluas yang tidak hanya

beberapa mata pelajaran diatas, melainkan dimasukkan sejarah Indonesia. Selain itu,

buku-buku yang dipakai dalam pengajaran mata pelajaran umum ditulis dalam huruf

latin. Meskipun, bahasa Arab tetap digunakan untuk mata pelajaran sejarah Islam.122

Perubahan kearah sistem persekolahan modern semakin mengemuka, ketika KH

Wahid Hasyim mulai terlibat aktif membantu pengelolaan madrasah. Atas

persetujuan KH Hasyim, Wahid merubah Madrasah Salafiyah menjadi Madrasah

Nidzamiyah pada tahun 1934.123

Selain satu tahun sekolah persiapan, masa studi

diperpanjang menjadi 6 tahun. Berbagai mata pelajaran umum “lebih banyak

120

Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi KH Hasyim Asy’ari (Yogjakarta: LKiS,

2008), 45. 121

Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, 241. 122

Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, 45. 123

Saiful Umam, “KH Wahid Hasyim, Konsolidasi dan Pembelaan Eksistensi”, dalam Menteri-

Menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik, Ed. Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Jakarta: PPIM

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah-INIS-Balitbang Departemen Agama RI, 1998), 103.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

192

dimasukkan kedalam kurikulum yang merupakan 70 % dari seluruh mata pelajaran”,

dan didalamnya, “bahasa Inggris juga diajarkan lebih intensif”.124

Beberapa eksemplar madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam diatas,

hanya merupakan sebagian kecil dari potret yang sesungguhnya di seluruh Hindia

Belanda di era pemberlakuan sistem politik etis. Masih begitu banyak lembaga-

lembaga pendidikan Islam yang melakukan modernisasi kelembagaannya dengan

mengadaptasi sistem persekolahan Eropa (Belanda). Sungguh pun demikian,

beberapa contoh madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam diatas dapat

digunakan sebagai petunjuk menguatnya keinginan elit-elit muslim lokal untuk

menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan nasional Hindia Belanda. Tentu saja,

hal ini merupakan fenomena yang nyaris tak terjadi di era sebelum kebijakan politik

etis diberlakukan. Konsekuensinya adalah, lembaga pendidikan Islam di Hindia

Belanda tidak lagi tunggal yang hanya direpresentasikan oleh keberadaan pesantren,

dayah atau surau.

Berdirinya madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa

(Belanda) ini mendapatkan respon cukup berarti dari pemerintah kolonial. Respon

tersebut dimanifestasikan kedalam kebijakan pendidikan yang memberikan peluang

bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk mendapatkan akses subsidi,

sebagaimana yang telah lebih dulu dinikmati oleh sekolah-sekolah partikelir Zending

dan Missi. Hanya saja, tidak semua lembaga pendidikan mendapatkan guliran

subsidi dari pemerintah kolonial. Selain dihadapkan pada persyaratan yang cukup

124

Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara, 47.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

193

ketat, subsidi hanya diberikan kepada sekolah-sekolah partikelir yang mengajukan

diri sebagai penerima. Oleh karena itu, meskipun telah memiliki persyaratan yang

ditentukan, selama sekolah tidak mengajukan diri sebagai penerima, maka tidak akan

mendapatkan guliran subsidi pendidikan dari pemerintah kolonial.

Dalam konteks sebagai pendaftar penerima, lembaga-lembaga pendidikan

Islam terpecah menjadi dua arus utama. Disatu sisi, madrasah-madrasah dan sekolah-

sekolah Islam yang dikelola oleh Muhammadiyah bersedia untuk mengajukan diri

sebagai penerima subsidi.125

Sebagai organisasi yang mengelola lembaga pendidikan

Islam dengan sistem persekolahan Eropa terbanyak saat itu, Muhammadiyah

mendapatkan subsidi terbanyak di era kolonial Belanda dibanding dengan madrasah-

madrasah dan sekolah-sekolah Islam lainnya.126

Bahkan, sekolah-sekolah Islam

bergaya Eropa (Belanda) Muhammadiyah yang mendapatkan subsidi secara

keseluruhan lebih besar kunatitas numeriknya dibandingkan dengan total lembaga

pendidikan partikelir neutral agama. Data tahun 1937, misalnya, jumlah sekolah

Muhammadiyah bersubsidi mencapai 122 lembaga, sementara sekolah-sekolah netral

125

Sungguh pun demikian, bukan berarti lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah

sepenuhnya menggantungkan diri dari subsidi pemerintah kolonial. Karena organisasi ini menempatkan

pendidikan sebagai program utamanya, maka prinsip swakelola tetap menjadi prinsip utama. Pendirian

setiap lembaga pendidikan, karena itu, dilakukan berdasarkan sistem perencanaan yang sistematis dengan

tidak bergantung pada bantuan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Steenbrink menggambarkan,

“Muhammadiyah tetap merupakan satu-satunya organisasi yang mampu mendirikan sekolah baru dengan

perencanaan yang agak sistematis, misalnya, pertama-tama dikumpulkan uang, kemudian dibuat

perencanaan, dicari yang bersedia mengajar, dicari pengakuan resmi pemerintah, dibangun gedung, baru

kemudian sekolah dibuka”. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 66. 126

Salah satu yang menyebabkan banyaknya jumlah lembaga pendidikan penerima subsidi dari

Muhammadiyah, karena sejak awal organisasi ini banyak mendirikan sekolah-sekolah Islam bergaya

Eropa (Belanda), selain tentu saja, juga mendirikan madrasah dan pesantren. Catatan Suminto

menunjukkan, pada tahun 1939, Muhammadiyah memiliki 1.744 sekolah yang “sekitar separuh

daripadanya merupakan sekolah model pemerintah, dan separuh lainnya model madrasah”. Oleh karena

“model pertama pada umumnya dinilai baik pemerintah kolonial, (maka) diberi subsidi olehnya”.

Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 47.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

194

agama hanya 89 buah lembaga, dan sekolah-sekolah partikelir yang diselenggarakan

oleh perkumpulan-perkumpulan lainnya 33 lembaga.127

Selain Muhammadiyah, Madrasah Adabiyah (Adabiyah School) di Sumatera

juga termasuk lembaga pendidikan Islam yang menerima subsidi dari pemerintah

kolonial. Madrasah ini mulai mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah Hindia

Belanda satu tahun, setelah “pada tahun 1916 sekolah Adabiyah ini diakui oleh

pemerintah sebagai HIS pertama yang didirikan oleh organisasi Islam”.128

Sayangnya, setelah mendapatkan subsidi pemerintah, madrasah ini tidak lagi

mendapatkan tempat dihati masyarakat muslim dan tokoh-tokoh kaum mudo

setempat, sehingga berakhir dengan popularitasnya yang merosot tajam.129

Dan

127

Muhammad Saleh, Gerakan Muhammadiyah Dan Posisi Dalam Politik di Era Kepemimpinan

Amien Rais dan Syafii Ma’rif (MA Thesis: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004),

70-71. Alfian memberikan statistik berbeda tentang perbandingan total lembaga pendidikan

Muhammadiyah penerima subsidi dengan sekolah-sekolah netral agama. Berdasarkan tahun 1937-1938,

sekolah-sekolah rakyat (Volksschool) yang menerima subsidi sejumlah 99 lembaga, sementara sekolah-

sekolah netral agama dari jenis yang sama sebanyak 95 yang menerima. Sebaliknya, untuk sekolah-

sekolah dasar berpengantar bahasa Belanda, sekolah-sekolah netral agama sebanyak 69 lembaga yang

menerima subsidi, dan sebaliknya sekolah-sekolah Muhammadiyah ”only 5 received subsidies from the

government”. Untuk satuan pendidikan MULO, sebanyak 3 MULO partikelir netral agama berhasil

mendapatkan subsidi pemerintah, sementara satu jenis sekolah yang sama milik Muhammadiyah tidak

mendapatkan subsidi. Demikian pula untuk jenis sekolah pendidikan guru, meskipun Muhammadiyah

berhasil membangun di Yogjakarta, Solo, dan Jakarta, tetapi tak satupun yang mendapatkan subsidi,

sedangkan 7 sekolah netral agama jenis yang sama diberi subsidi oleh pemerintah kolonial. Alfian,

Muhammadiyah, The Political, 310. 128

Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 39-40. 129

Salah satu faktor terpenting menurunnya popularitas Madrasah Adabiyah adalah dominasi mata

pelajaran umum, sehingga mengesampingkan berbagai mata pelajaran agama. Latif, Intelegensia Muslim,

134. Dalam kaitan ini, Steenbrink menegaskan, “akan tetapi usahanya (Abdullah Ahmad) dibidang

pendidikan dengan Sekolah Adabiyah ini oleh kebanyakan orang tidak dinilai tinggi”. Alasannya,

“sekolah ini sesungguhnya merupakan bentuk adaptasi dari sistem pendidikan surau kepada suaru

penyesuaian total kepada sistem barat” yang ditandai oleh “perhatian terhadap pendidikan agama di

sekolah ini sangat kecil, sedangkan seluruh unsur tradisional dalam waktu beberapa tahun saja telah

ditinggalkan”. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 41. Selain itu, kedekatannya dengan para

pejabat pemerintah kolonial Hindia Belanda juga menjadi pemicu memudarnya kredibilitas Madrasah

Adabiyah sebagai agen terpenting modernisasi kelembagaan pendidikan Islam. Dalam satu karyanya, Latif

menggambarkan, “kedekatan Abdullah Ahmad dengan para pejabat Belanda menjadikan sekolah ini

kehilangan statusnya sebagai pelopor gerakan reformisme-modernisme Islam”. Latif, Intelegensia Muslim,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

195

bahkan, status Abdullah Ahmad sebagai salah satu tokoh kaum muda Minangkabau

tidak lagi diperhitungkan secara mendalam oleh para koleganya.130

Tanpa menafikan menguatnya pro dan kontra dikalangan elit muslim

Boemipoetra terhadap penerimaan subsidi dikalangan lembaga-lembaga pendidikan

Islam, terdapat potret yang menarik dicermati. Di era pemberlakukan kebijakan

politik etis, pemerintah kolonial melalui pemberian subsidi dengan sengaja telah

membangun pelapisan atau stratifikasi lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa (Belanda) yang

mendapatkan subsidi, sama halnya diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan

nasional Hindia Belanda dan berada dibawah naungan Departemen Pendidikan dan

Agama. Dengan pengakuan ini, maka lembaga-lembaga pendidikan Islam bersubsidi

dimata pemerintah memiliki status yang sama dengan sekolah-sekolah partikelir

Zending dan Missi.

Pada saat yang sama, madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya

Eropa (Belanda) tidak bersubsidi berada dilapisan ketiga, dibawah sekolah-sekolah

milik pemerintah dilapisan pertama, dan sekolah-sekolah partikelir bersubsidi yang

menempati lapisan kedua. Bagi pemerintah kolonial, lembaga-lembaga pendidikan

Islam partikelir non subsidi masuk dalam katagori sekolah liar (wilde scholen).

134. Lebih spesifik lagi, Noer menyebut duduknya seorang berkebangsaan Belanda sebagai Kepala

Sekolah HIS Adabiyah berimplikasi serius bagi kredibilitas madrasah. Bagi Noer, “Kepala sekolahnya

pada waktu itu adalah seorang Belanda, dan oleh sebab itu, maksud agar sekolah itu merupakan tiang

tumpuan bagi golongan pembaharuan menjadi hilang”. Noer, Gerakan Modern, 52. 130

Pudarnya kredibilitas keulamaan dalam diri Abdullah Ahmad dimata para ulama modernist saat

itu semakin menemukan bentuknya, ketika ditengah perlawanan sengit ulama Minangkabau terhadap

kebijakan Ordonansi Guru, namun pada saat yang sama, “ia (Abdullah Ahmad) berpihak pada Belanda

dalam perlawanan terhadap guru Ordonansi di Sumatera Barat”. Steenbrink, Pesantren, Madrasah,

Sekolah, 41-42.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

196

Berbeda dengan hampir seluruh lembaga pendidikan pesantren yang benar-benar

menjauhkan diri dari sistem persekolahan Eropa, sekolah-sekolah liar tetap

menggunakan sistem pendidikan bergaya Eropa. Hanya saja, sekolah-sekolah liar ini

memiliki karakternya yang khas. Secara keseluruhan, para pengelola sekolah

mengambil sikap non kooperatif secara tegas terhadap sistem pendidikan nasional

Hindia-Belanda. Mereka tidak pernah memerlukan ijin kepada pemerintah kolonial

untuk mendapatkan pengakuan resmi, tidak pernah mengajukan sebagai penerima

dan sekaligus menolak pemberian subsidi pendidikan.131

Sekolah-sekolah liar ini tentu saja berhasil menciptakan kekhawatiran luar

biasa bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bagi aparat pemerintah kolonial,

mereka cukup menyadari bahwa sebagian dari sekolah-sekolah liar memiliki kualitas

yang setara dengan sekolah-sekolah partikelir bersubsidi. Setidaknya, sekolah-

sekolah yang dikelola oleh Normal Islam Padang, Taman Siswa dan INS Kayutanam

dapat disebut sebagai eksemplar lembaga pendidikan liar berkualitas. Para

lulusannya dapat dipastikan memiliki kompetensi yang tidak kalah dengan keluaran

sekolah-sekolah partikelir bersubsidi. Sementara sejak awal, anak-anak keluaran

sekolah-sekolah partikelir ini “menemukan diri mereka sebagai orang luar yang

131

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vo. V, 138-142; Suminto, Politik

Islam Hindia Belanda, 58-63; Latif, Intelegensia Muslim, 226; Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 393;

H.A.R Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional, 1945-1995, Suatu Analisis Kebijakan

(Jakarta: PT Grasindo, 1995), 12-18. Diskusi secara mendalam tentang kharakter khas sekolah liar ini

dapat dirujuk dalam Aria Maulana, Berbeda Haluan Satu Tujuan, Pandangan Soeara Umum, Persatoean

Indonesia dan Daulat Ra’jat terhadap Ordonansi Sekolah Liar (1932) (Skripsi: Fakultas Ilmu

Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia, 2008); Handoko Candra, Sistem Pendidikan Kolonial, Kasus

Ordonansi Sekolah Liar (Skripsi: Fakultas Sastra-Universitas Indonesia, 1987).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

197

mutlak dari sistem”.132

Pada saat yang sama, lulusan sekolah liar dapat dipastikan

akan bekerja diluar sistem, karena ijazah yang dimilikinya tidak mendapatkan

pengakuan dari pemerintah kolonial. Mereka memiliki potensi menjadi intelegensia

modern yang memainkan peran penting dalam aktifitas pergerakan nasional

melawan kolonialisme di Hindia Belanda.

Pesantren yang secara kuantitas numerik lebih besar dibanding madrasah-

madrasah dan sekolah-sekolah Islam bergaya Eropa (Belanda) tetap dalam statusnya

yang tidak berubah dimata kolonial. Kecuali beberapa pesantren yang telah

memodernisasi diri, seperti ditunjukkan oleh Pesantren Tebuireng Jombang dan

sebagian kecil pesantren lainnya. Pesantren-pesantren yang masih kukuh dengan

sistem kelembagaan tradisionalnya tetap tidak diakui sebagai bagian dari sistem

pendidikan nasional Hindia Belanda. Konsekuensinya, kewenangan dan tanggung

jawab untuk mengawasi dan memperkecil pengaruh pesantren diserahkan kepada

Kantor Urusan Bumiputra (Kantoor voor Inlandsche Zaken), dan bukan menjadi

tanggung jawab langsung Departemen Pendidikan dan Agama secara langsung.

Seiring dengan pemberlakuan kebijakan politik etis, tetap saja mustahil bagi

pesantren untuk mendapatkan dan menikmati subsidi pemerintah, seperti halnya

yang didapatkan oleh madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah Islam partikelir

bergaya Eropa (Belanda).

132

Poesponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vo. V, 141.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

198

C. Anggaran Pendidikan, Distribusi Subsidi, Dan Diskriminasi

Lekatnya pelapisan yang diproduksi oleh pemerintah kolonial Hindia

Belanda dalam era liberal dan direproduksi kembali paska pemberlakuan kebijakan

politik etis, berdampak serius bagi menguatnya kebijakan-kebijakan pendidikan yang

diskriminatif terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Salah satu indikasi yang

sangat mengemuka adalah, ketimpangan distribusi subsidi pendidikan yang

diberikan oleh pemerintah kolonial. Baik secara kuantitas numerik maupun jumlah

nominal bantuan yang diberikan selalu dalam komposisi yang timpang. Bahkan,

sebelum permberlakuan sistem politik etis, tidak ada satu pun lembaga pendidikan

Islam yang mendapatkan bantuan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.

Dalam era paska krisis pada paruh akhir 1880-an, kebijakan diskriminatif

belum menyentuh lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebaliknya, diskriminasi

lebih pada ketidak adilan distribuasi anggaran pendidikan antara sekolah-sekolah

dengan peruntukan keturunan Eropa (Belanda) dan keturunan Boemipoetra. Data

L.F. Van Gent dkk dalam “Gedenboek voor Nederlansch-Indie, 1898-1923”,

sebagaimana diadaptasi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud)

menyebutkan, sejak tahun 1883 sampai dengan 1892, sekolah-sekolah dengan

peruntukan keturunan Eropa (Belanda) selalu mendapatkan guliran anggaran lebih

besar dibanding dengan sekolah-sekolah Boemipoetra (lihat tabel).133

133

Depdikbud, Pendidikan di Indonesia Dari Jaman Ke Jaman (Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, 1986), 99.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

199

Tabel 4

Perbandingan Murid, Biaya, dan Satuan Biaya

Antara SD Eropa dengan SD Bumiputra

Berdasarkan Tahun 1883 dan 1892

Tahun Pengeluaran Jumlah Murid

Sekolah Rendah

Eropa

Sekolah Rendah

Bumiputra

Sekolah Rendah

Eropa

Sekolah Rendah

Bumiputra

1883 f. 1.631.000 f. 1.196. 000 9.700 35.000

1886 f. 1.746.000 f. 990.000 10.700 43.000

1889 f. 1.934.000 f. 978.000 10.900 -

1892 f. 2.096.000 f. 1.040.000 18.700 53.000

Sumber: Depdikbud: 1986: 99

Tabel diatas memberi petunjuk penting bahwa, pemerintah kolonial dengan sengaja

telah membakukan kebijakan anggaran pendidikan diskriminatif terhadap sekolah-

sekolah dengan peruntukan keturunan Boemipoetra. Pada saat menjelang krisis,

tepatnya tahun 1883, sekolah-sekolah rendah Eropa yang hanya menampung kurang

lebih 9.700 siswa mendapatkan porsi anggaran sebesar f. 1. 631.000, sementara

dengan jumlah total siswa sebesar 35.000 siswa di tahun yang sama, sekolah-sekolah

rendah dengan peruntukan keturunan boempoetra hanya mendapatkan jatah

1.196.000 gulden. Ketika ekonomi Hindia Belanda mulai membaik pada tahun 1892,

diskriminasi peruntukan anggaran justru semakin mengemuka.134

Pada tahun

134

Hindia Belanda mulai berhasil keluar dari krisis finansial pada awal tahun 1890-an, ketika

pemerintah berhasil mempertahankan industri gula sebagai komoditas ekspor unggulan. Dalam konteks

ini, Rickleaf menggambarkan, “Industri gula akhirnya bertahan. Sesudah uji coba yang panjang dan sulit

dalam seleksi pembastaran berganda, pihak Belanda akhirnya menghasilkan tebu yang menolak hama.

Industri ini juga meningkatkan produksinya. Wilayah yang ditanami tebu diperluas, tetapi pertumbuhan

produksi yang lebih besar berasal dari kemajuan teknologi. Pada tahun 1885, produksi gula dari Jawa

berjumlah 380.400 metrik ton dan hanya sedikit dibawah 400.000 ton pada tahun 1890. Tapi ia meningkat

hingga 581.600 metrik ton pada tahun 1895 dan 744.300 metrik ton pada tahun 1900”. Ricklefs, Sejarah

Indonesia Modern, 1200-2004 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), 271. Selain itu, meskipun

Parakitri bernah mengatakan bahwa, komoditas-komoditas selain gula kurang maksimal hasilnya sebagai

sumber anggaran pemerintah Hindia Belanda, namun sulit membantah bahwa, karet salah satunya,

memiliki kontribusi cukup penting. Komoditas ini secara gemilang berhasil menarik investor Eropa untuk

berinvestasi, bukan saja di Jawa, melainkan juga di luar Jawa. Siahaan menguraikan, “setelah percobaan

pertama berhasil dengan sangat memuaskan, dilanjutkan dengan penanaman berikutnya secara besar-

besaran. Ternyata tanaman baru (karet) ini sangat cocok; mutu dan produksinya jauh lebih baik dibanding

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

200

tersebut, dari jumlah total siswa sekolah-sekolah rendah Eropa sebanyak 18.700,

pemerintah kolonial memberikan jatah bantuan sebesar f. 2.096.000. Sedangkan

sekolah-sekolah rendah Boemipoetra yang total siswanya mencapai kurang lebih

53.000 anak hanya mendapatkan sokongan anggaran sebesar f. 1.040.000.

Jika dihitung anggaran pendidikan per siswa, diskriminasi alokasi yang

dikeluarkan oleh pemerintah kolonial lebih lekat dan kentara lagi (lihat tabel).135

Tabel 5

Perbandingan Murid, Biaya, dan Satuan Biaya

Antara SD Eropa dengan SD Bumiputra

Berdasarkan Tahun 1883-1892

Tahun SD Eropa SD Bumiputra

Murid Biaya Satuan

Biaya

Murid Biaya Satuan

Biaya

1883 9.700 f. 1.631.300 f. 168 35.000 f. 1.196.000 f. 34

1886 10.700 f. 1.746.000 f. 163 43.000 f. 990.000 f. 23

1889 10.900 f. 1.934.000 f. 177 48.000 f. 978.000 f. 20

1892 18.700 f. 2.096.000 f. 112 53.000 f. 1.040.000 f. 20

Sumber: Djojonegoro: 1996: 58

Alokasi anggaran masing-masing siswa sekolah rendah Eropa (Belanda) pada saat

menjelang krisis mencapai 168 gulden pertahun, yang tentu sangat tidak sebanding

dengan karet dari negeri asalnya, Brazil. Keberhasilan tanaman karet di Deli dan Pulau Jawa, dengan cepat

menarik perhatian pengusaha Eropa. Hampir setiap minggu lahir perkebunan karet baru di daerah Deli.

Karena di Sumatera Timur banyak tanah kosong yang sangat luas dan iklimnya cocok untuk pohon karet,

menyebabkan Sumatera Timur disebut Garden of the East untuk tanaman hevea”. Siahaan, Industrialisasi

di Indonesia Sejak Hutang Kehormatan Sampai Banting Stir (Jakarta: Departemen Perindustrian dan

Perdagangan, 1996), 14. Pemulihan ekonomi juga didukung oleh jenis-jenis komoditas lain berkualitas

ekspor yang juga berkembang relatif pesat, terutama di luar Jawa, meskipun keuntungan yang diperoleh

pemerintah belum mampu menyamai komoditas gula. Kartodirdjo mencatat bahwa sejak tahun 1890,

terdapat tiga kecenderungan yang menjadi daya dukung membaiknya ekonomi Hindia Belanda. Pertama,

meningkatnya beberapa hasil ekspor, seperti tembakau, teh, karet, dan minyak tanah. Kedua, semakin

besar bagian yang diambil oleh daerah luar Jawa dalam produksi untuk keperluan ekspor tersebut. Ketiga,

meningkatnya pertumbuhan tanaman untuk ekspor jual (cash crops) secara pesat dibandingkan dengan

perkembangan tanaman pangan (food crops), terutama di daerah-daerah di luar Jawa. Kartodirdjo,

Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium, Vo. I (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1993), 328. 135

Djojonegoro, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), 58.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

201

dengan peruntukan bagi sekolah-sekolah Boemipoetra untuk setiap siswa hanya

mendapatkan jatah sebesar 34 gulden. Pada saat krisis mencapai puncaknya,

kebijakan penganggaran yang diskriminatif tetap saja mengemuka. Tahun 1886,

masing-masing siswa yang belajar di sekolah-sekolah Eropa (Belanda) mendapatkan

alokasi anggaran sebesar 163 dan 177 gulden di tahun 1889. Sebaliknya, siswa-siswa

yang menempuh pendidikannya di sekolah-sekolah Boemipoetra hanya mendapatkan

alokasi sebesar 23 gulden pada tahun 1886, dan turun menjadi 20 gulden pada tahun

1889. Seiring dengan membaiknya perekonomian Hindia Belanda, tepatnya pada

tahun 1892, penganggaran yang diskriminatif tetap menjadi bagian penting dari

kebijakan pendidikan pemerintah kolonial. Tabel diatas melaporkan bahwa, setiap

siswa di sekolah-sekolah Eropa mendapatkan jatah anggaran sebesar 112 gulden, dan

sebaliknya, peruntukan bagi para siswa di sekolah-sekolah Boemipoetra hanya 20

gulden.

Kebijakan penganggaran yang diskriminatif terus diberlakukan hingga

menjelang berakhirnya sistem politik liberal di Hindia Belanda. Diskriminasi

anggaran dapat dilihat dari rasio distribusi anggaran bagi sekolah-sekolah rendah

berdasarkan tahun 1898 (lihat tabel).

Tabel 6

Keadaan Anggaran Pendidikan Sekolah Rendah

Berdasarkan Tahun 1898

1898 Jumlah Keterangan

Jumlah Sekolah Rendah Bumiputra 721 (201) Yang dikurung

berstatus sekolah

swasta

Jumlah murid Bumiputra 131.000 -

Jumlah biaya f. 1.359.000 -

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

202

Jumlah Sekolah Rendah Eropa 146 (5) Yang dikurung

berstatus sekolah

swasta

Jumlah murid Sekolah Rendah Eropa 18.000 -

Jumlah biaya f. 2.188.000 -

Jumlah murid pada lembaga pendidikan

lainnya di Hindia Belanda

150.000 -

Jumlah seluruh pengeluaran untuk

pendidikan

f. 4.048.000 -

Sumber: Depdikbud: 1986: 100

Sumber Depdikbud tentang kebijakan penganggaran yang diskriminatif dalam tabel

diatas, dapat diperbandingkan dengan data yang ajukan oleh Djojonegoro (lihat

tabel).

Tabel 7

Perbandingan Murid, Biaya, dan Satuan Biaya

Antara SD Eropa dengan SD Bumiputra

Berdasarkan Tahun 1898

Deskripsi Sekolah

Negeri Swasta Jumlah Murid Biaya Satuan

Biaya

SD Eropa 141 5 146 18.000 f. 2.188.000 f. 122

SD Bumiputra 520 201 721 131.000 f. 1.359.000 f. 10

Lembaga-lembaga

lainnya

- - - 150.000 f. 501.000 f. 3

Jumlah

206

206

867

299.000

f. 4.048.000

f. 14

Sumber: Djojonegoro: 1996: 58

Data Depdikbud dan Djojonegoro diatas mengggambarkan, dari jumlah total

sekolah-sekolah rendah Boemipoetra sebesar 721 lembaga dan memiliki 131.000

siswa pada tahun 1898, pemerintah Hindia Belanda hanya mengalokasikan anggaran

sebesar 1.359.000 gulden. Dari jumlah anggaran yang diberikan, masing-masing

siswa mendapatkan jatah sebesar 10 gulden. Pada saat yang sama, sekolah-sekolah

Eropa yang jumlah totalnya sebesar 146 lembaga mendapatkan porsi anggaran

sebesar 2.188.000 gulden. Dengan jumlah anggaran sebesar itu, maka masing-

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

203

masing siswa yang menempuh pelajaran di sekolah-sekolah Eropa mendapatkan

dukungan dana sebesar 122 gulden. Padahal, jumlah keseluruhan lembaga hanya

sebanyak 146 sekolah dengan total 18.000 siswa.

Seiring dengan implementasi kebijakan politik etis di Hindia Belanda, terjadi

pergeseran menarik terkait dengan kebijakan alokasi distribusi anggaran pendidikan.

Masuknya sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai penerima subsidi

dari pemerintah, disatu sisi memunculkan fenomena baru dalam sistem pendidikan

Hindia Belanda. Sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah yang menggunakan sistem

modern atau bergaya Eropa bermunculan dan berhasil menarik perhatian pemerintah

kolonial untuk mengeluarkan kebijakan pemberian dukungan finansial (subsidi)

kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Penerimaan pemerintah

kolonial nyaris mustahil terjadi pada era sebelum pemberlakuan kebijakan politik

etis. Sungguh pun demikian, kebijakan pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah

Islam, pada saat yang sama, menghadirkan pembengkakan praktek diskursif

diskriminasi kebijakan pendidikan.

Dalam manifesnya yang pertama, diskriminasi mengemuka dalam bentuk

kebijakan alokasi anggaran dengan peruntukan sekolah-sekolah rendah milik

pemerintah (Negeri) maupun sekolah-sekolah partikelir (swasta) Boemipoetra.

Kebijakan penganggaran diskriminatif ini dapat dilihat dalam dari statistik

pengeluaran pemerintah dari tahun 1909 sampai dengan 1920 (lihat tabel). Sekolah-

sekolah rendah Negeri dan partikelir yang menampung anak-anak Boemipoetra dari

lapisan bawah, seperti Sekolah Desa dan Sekolah Rendah Kelas II memperoleh

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

204

anggaran yang jauh lebih kecil nominalnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah

rendah yang diperuntukkan bagi keturunan Eropa, China, dan elit Boemipoetra, baik

ELS, HIS maupun HCS .

Tabel 8

Perkembangan Jumlah Sekolah, Murid, Biaya, dan Satuan Biaya

Sekolah Dasar Negeri dan Bersubsidi

Berdasarkan Tahun 1909-1920

No Komponen

1909 1915 1918 1920

01

Sekolah Desa - 4.700 6.000 7.700

Murid - 328.000 380.000 423.000

Biaya - f. 938.000 f. 169.000 f. 3.496.000

Satuan Biaya - f. 3 f. 4 f. 8

02

Sekolah Bumiputra

(Kelas II)

1.853 4.400 4.200 5.200

Sekolah Swasta 1.138 2.700 2.600 -

Murid 162.000 321.000 355.000 358.000

Biaya f. 1.359.000 f. 1.493.000 f. 4.420.000 f. 7.036.000

Satuan Biaya f. 8 f. 5 f. 12 f. 20

03

HIS dan HCS - 153 228 239

Sekolah Swasta - 24 - -

Murid - 28.000 39.000 48.000

SD Eropa 219 235 238 249

Sekolah Swasta 35 40 50 53

Murid 25.000 32.000 36.000 37.000

Sekolah Swasta 5.000 - - -

Biaya (termasuk HIS

dan HCS)

f. 267.000 f. 6.600.000 f. 9.648.000 f. 12.380.000

Satuan Biaya f. 107 f. 110 f. 129 f. 146

04

Murid Semua

Lembaga Pendidikan

di Hindia Belanda

196.000 718.000 822.000 922.000

Biaya f. 5.500.000 f. 16.000.000 f. 24.000.000 f. 31.684.000

Satuan f. 28 f. 22 f. 29 f. 34

Sumber: Djojonegoro: 1996: 59

Sekolah-sekolah desa (Volkschool) dapat dikatakan sebagai lembaga pendidikan

untuk anak-anak Boemipoetra dari lapisan bawah termasuk yang paling merasakan

akibat langsung dari kebijakan penganggaran diskriminatif pemerintah kolonial.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

205

Tabel diatas menunjukkan, pada tahun 1915, misalnya, dari jumlah 4.700 sekolah

dengan 328.000 siswa Boemipoetra hanya mendapatkan 938.000 gulden. Dari

jumlah anggaran yang diberikan pemerintah pusat di Batavia, masing-masing

sekolah hanya mendapatkan jatah sebesar 3 gulden setiap tahunnya. Peningkatan

kuantitas numerik cukup pesat pada tahun 1918 tetap saja tidak membuat pemerintah

memiliki perhatian lebih terhadap sekolah-sekolah desa. Alokasi anggaran yang

diberikan bagi masing-masing siswa tetap kecil, yakni 4 gulden pertahunnya.

Padahal, jumlah sekolah meninggat secara signifikan dari 4.700 pada tahun 1915

menjadi 6.000 di tahun 1918. Perhatian pemerintah kolonial baru mulai dirasakan

pada tahun 1920 yang ditandai oleh peningkatan alokasi anggaran dari 4 gulden pada

tahun 1918 menjadi 8 gulden untuk masing-masing siswa. Sungguh pun demikian,

alokasi anggaran sekolah-sekolah desa tetap saja paling kecil dibanding jenis-jenis

sekolah lainnya.

Kebijakan anggaran yang diskriminatif juga sangat terasa bagi Sekolah

Rendah Kelas II. Alokasi anggaran untuk jenis sekolah ini, pada tahun 1909 hanya

sekitar 1. 359.000 gulden yang diperuntukkan bagi 1.853 lembaga yang terdiri dari

715 Sekolah Rendah Kelas II milik pemerintah dan selebihnya, yakni sebanyak

1.138 lembaga berstatus partikelir (swasta). Dana yang digulirkan pemerintah

diperuntukkan bagi 162.000 anak keturunan Boemipoetra, sehingga masing-masing

siswa hanya mendapatkan alokasi sebesar 8 gulden. Ironisnya, jika dihitung dari

peruntukan bagi masing-masing siswa, alokasi anggaran bagi jenis sekolah ini

menurun, meskipun secara nominal mengalami peningkatan dari 1.359.000 pada

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

206

tahun 1909 menjadi 143.000 gulden di tahun 1915. Mengacu pada tabel diatas, jika

dihitung berdasarkan jumlah total siswa sebesar 321.000 anak, maka masing-masing

hanya mendapatkan sokongan anggaran dari pemerintah sebesar 5 gulden.

Diskriminasi anggaran terus melekat pada tahun 1918 dan 1920 terhadap Sekolah

Dasar Kelas II. Pada tahun 1918, misalnya, dari jumlah total 4.200 lembaga dengan

355.000 siswa, anggaran yang diberikan oleh pemerintah sebesar 4.420.000 gulden.

Dengan jumlah anggaran tersebut, maka masing-masing siswa hanya mendapatkan

porsi bantuan 12 gulden. Sementara pada tahun 1920, dengan jumlah total siswa

sebanyak 358.000 dan tersebar di 5.200 sekolah, pemerintah memberikan anggaran

sebanyak 7.036.000 gulden dan dengan demikian, masing-masing siswa

mendapatkan dukungan pembiayaan sebesar 20 gulden.

Alokasi anggaran untuk sekolah-sekolah desa dan sekolah-sekolah rendah

kelas II diatas, jauh sekali kesenjangannya, bila dibandingkan dengan jenjang

pendidikan dasar dengan peruntukan bagi keturunan Eropa (Belanda), China, dan elit

Boemipoetra, seperti ELS, HIS, dan HCS. Pada tahun 1907, misalnya, sekolah-

sekolah dasar Eropa yang berjumlah 219 lembaga dengan 25.000 siswa mendapatkan

anggaran sebesar 267.000 gulden. Dengan jumlah anggaran sebesar itu, maka

masing-masing siswa mendapatkan aliran dana sebesar 107 gulden pertahun.

Demikian pula pada tahun 1915, pemerintah menggulirkan anggaran sebesar

6.600.000 gulden yang diperuntukkan bagi 388 ELS, HIS, dan HCS. Dengan total

anggaran yang ada, masing-masing siswa mendapat dukungan pembiayaan

pendidikan sebesar 110 gulden pertahun. Rasio anggaran semakin timpang antara

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

207

sekolah-sekolah dengan peruntukan keturunan Boemipoetra lapisan bawah (Sekolah

Desa dan Sekolah Rendah Kelas II) berdasarkan tahun 1918 dan 1920. Dari jumlah

total 466 lembaga yang terdiri dari 228 HIS dan HCS serta 238 ELS, pemerintah

kolonial mengalokasikan anggaran sebesar 9.648.000 gulden. Dengan total anggaran

yang ada, maka masing-masing siswa mendapatkan bantuan dana sebesar 129 gulden

pertahun. Jumlah anggaran yang diperoleh masing-masing siswa meningkat menjadi

146 gulden pada tahun 1920. Besaran bantuan bagi masing-masing siswa dihitung

berdasarkan jumlah total alokasi anggaran sebesar 12.380.000 gulden dibagi besaran

jumlah total siswa 239 HIS dan HCS yang memiliki 48.000 siswa, dan 249 ELS

dengan total siswa sebanyak 37.000 anak.

Rasio alokasi anggaran antara sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi

keturunan Eropa (Belanda), China dan elit Boemipoetra dibandingkan dengan

lembaga-lembaga pendidikan dengan berbagai satuannya yang diperuntukkan bagi

keturunan bomipoetra lapisan menengah ke bawah. Menariknya, kebijakan

diskriminatif tidak saja diberlakukan pada jenjang pendidikan dasar, melainkan juga

menengah dan kejuruan. Statistik pendidikan tahun 1937 dengan gamblang

menunjukkan, pemerintah memberikan anggaran yang timpang antara sekolah-

sekolah Eropa, China dan elit bomipoetra dengan sekolah Boemipoetra dengan

peruntukan bagi masyarakat lapisan menengah ke bawah (lihat tabel).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

208

Tabel 9

Perbandingan Biaya Tiap Murid Menurut Tipe Sekolah

Berdasar Tahun 1937

No Bentuk Dasar Sekolah

Dengan Bahasa Pengantar

Belanda

Biaya Rata-

Rata Tiap

Murid

Setahun

(Gulden)

Sekolah Dengan

Bahasa Pengantar

Bumiputra

Biaya

Rata-Rata

Tiap

Murid

Setahun

(Gulden)

01 SEKOLAH PENDIDIKAN UMUM

Sekolah Rendah

1. Sekolah Eropa (ELS)

2. HIS

3. Sekolah Khusus

4. Schakel

5. HAS (Seperti HIS untuk

Arab).

6. HCS (Untuk China)

f. 90

f. 45

-

-

-

f. 60

1. Sekolah Desa

2. Sekolah Vervolg

3. Sekolah Vervolg

berpengantar

Bahasa Belanda

4. Sekolah Vervolg

untuk Gadis

f. 5

f. 14.50

f. 20

f. 17

Sekolah Menengah

1. Tingkat Pertama MULO

2. Tingkat Atas untuk

Persiapan Perguruan

Tinggi:

A. HBS 5 Tahun

B. AMS

f. 213

f. 174

f. 260

1. MULO Bumiputra

f. 65

02 SEKOLAH PENDIDIKAN KEJURUAN

Sekolah Ketrampilan Untuk Anak Laki-Laki

1. Sekolah Amabcht

(Pertukangan)

2. Sekolah Latihan

Pertukangan untuk yang

Berbahasa Belanda

3. Sekolah Teknik 5 Tahun

f. 202

f. 169

f. 345

Sekolah Latihan

Pertukangan (Ambachts

Leergang).

f. 169

Sekolah Ketrampilan untuk Anak Gadis

1. Sekolah Kesejahteraan

Keluarga.

f. 58 - -

Sekolah Dagang

1. Sekolah Dagang Pertama.

2. Sekolah Dagang

Menengah Atas (2 Tahun).

-

f. 175

Sekolah Dagang Kecil f. 23

(f. 24)

03 PERGURUAN TINGGI

Sekolah Tinggi Teknik f. 1.100 - -

Sekolah Tinggi Hukum f. 260 - -

Sekolah Tinggi Kedokteran f. 375 - -

Sumber: Depdikbud: 1986: 129

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

209

Tabel diatas menggambarkan, siswa-siswa dari keturunan Eropa (Belanda), China,

Timur Asing (Arab), dan elit Boemipoetra yang menempuh pendidikan di ELS, HIS,

Sekolah Khusus, Schakel School, HAS, dan HCS mendapatkan sokongan dana dari

pemerintah jauh lebih tinggi. Anak-anak yang bersekolah di ELS, misalnya,

mendapatkan dukungan finansial untuk masing-masing sebesar 90 gulden.

Sedangkan, para siswa HCS menempati urutan kedua dengan mendapatkan porsi

bantuan sebesar 60 gulden, disusul siswa-siswa yang bersekolah di HIS dengan

bantuan sebesar 45 gulden pertahunnya. Sebaliknya, bagi siswa-siswa yang

bersekolah di Sekolah Desa, Vervolg School berpengantar bahasa daerah dan

Melayu, Vervolg School berpengantar bahasa Belanda, Vervolg School khusus bagi

perempuan memperoleh dukungan dana lebih rendah. Para siswa yang belajar di

Vervolg School berpengantar bahasa Belanda, masing-masing hanya mendapatkan

20 gulden pertahunnya, disusul Vervolg School khusus bagi perempuan dengan 17

gulden, Vervolg School sebesar 14.50, dan Sekolah Desa yang masing-masing siswa

hanya mendapat suntikan anggaran sebesar 5 gulden pertahun.

Kebijakan penganggaran diskriminatif juga menyentuh jenjang pendidikan

jenjang pendidikan menengah. Pemerintah, misalnya, mengalokasikan anggaran

untuk Sekolah MULO Tingkat Pertama yang diperuntukkan, terutama bagi

keturunan Eropa (Belanda) sebesar 213 gulden bagi setiap siswa pertahun.

Sebaliknya, para siswa yang menempuh pendidikannya di MULO Bumiputra hanya

mendapatkan guliran dana dari pemerintah sebesar 65 gulden pertahun. Dari data ini

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

210

dapat ditegaskan, anggaran MULO Eropa lebih dari 300 persen jumlahnya

dibandingkan dana yang diperoleh oleh MULO Bumiputra.

Kebijakan diskriminatif juga mengemuka di sekolah-sekolah kejuruan dalam

berbagai satuan pendidikan yang ada. Dari tiga satuan pendidikan kejuruan untuk

siswa laki-laki keturunan Eropa (Belanda) dan elit Boemipoetra, seperti Sekolah

Amabcht (Pertukangan) dan Sekolah Teknik dengan masa belajar 5 tahun

mendapatkan alokasi anggaran lebih besar dibanding dengan Sekolah Latihan

Pertukangan (Ambachts Leergang), salah satu jenis sekolah kejuruan dengan

peruntukan bagi keturunan Boemipoetra. Sekolah Amabcht, salah satunya,

mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar 202 gulden, dan Sekolah Teknik 5

Tahun mendapatkan alokasi lebih besar, yaitu 345 gulden untuk setiap siswa

pertahun. Sementara, Sekolah Latihan Pertukangan (Ambachts Leergang)

mendapatkan porsi bantuan sebesar 169 gulden setiap siswa pertahunnya.

Diskriminasi juga melekat dalam sekolah kejuruan dengan konsentrasi

pendidikan perdagangan. Alokasi anggaran untuk masing-masing siswa di Sekolah

Dagang Menengah Atas dengan masa studi 2 tahun dan diperuntukkan, terutama

bagi keturunan Eropa (Belanda) dan elit Boemipoetra mendapatkan suntikan

anggaran dari pemerintah sebesar 175 gulden pertahun. Sebaliknya, masing-masing

siswa yang menempuh pendidikan di Sekolah Dagang Kecil yang sebagian besar

berasal dari kalangan Boemipoetra kelas menengah kebawah hanya mendapatkan

dukungan anggaran sebesar 23 atau 24 gulden setiap tahunnya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

211

Kebijakan penganggaran dibidang pendidikan yang diskriminatif terus

mengemuka dalam bentuknya yang berbeda paska tahun 1920-an (lihat tabel).

Tabel 10

Pengeluaran Terperinci Menurut Jenis dan Satuan Pendidikan

Jumlah Absolut Dalam Ribuan Gulden

Berdasarkan Tahun 1931-1940 Tahun Sekolah Untuk Pendidikan Umum Jumlah Pendidikan

Kejuruan

Perguruan

Tinggi

Pengeluaran

Terperinci

Bukan

Menurut

Jenis

Sekolah

Jumlah

Total Pendidikan

Rendah

Bumiputra

Pendidikan

Rendah

Eropa

(Belanda)

MULO

dan

Menengah

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

1931 20.351.9 18.045.9 8.830.3 47.288.1 8.881.4 1.057.6 4.089.1 61.886.2

1932 20.369.6 15.490.1 8.049.6 43.909.3 7.889.4 993.6 2.831.6 55.623.9

1933 19.027.9 14.191.9 7.158.1 40.377.9 6.689.0 968.9 2.161.4 50.197.2

1934 14.440.5 11.976.7 5.845.7 32.262.9 4.666.1 810.6 1.727.6 39.467.2

1935 11.493.4 9.667.6 4.656.7 25.817.7 4.008.6 724.2 1.882.7 32.373.2

1936 12.008.3 9.360.0 4.719.2 24.793.9 3.488.6 718.4 1.716.0 32.829.1

1937 10.714.7

4.113.0*

9.624.7 4.888.9 26.513.9

18.626.6

3.533.2

3.059.1

739.1 2.042.9 32.829.1

24.467.7

1938 4.235.3** 11.401.4 6.352.4 21.989.1 3.785.1 865.3 2.882.2 29.521.7

1939 3.574.6 12.435.0 7.152.6 23.162.2 4.505.0 986.5 4.008.5 32.662.3

1940 4.027.2 12.281.1 7.484.1 23.792.4 4.826.1 998.5 4.223.9 33.850.9

Sumber: Depdikbud: 1986: 127

Keterangan:

* Bilangan yang digaris bawahi mengatakan pengeluaran Pemerintah Pusat yang sebenarnya

tanpa terhitung didalamnya, subsidi untuk sekolah-sekolah yang penyelenggaraannya

diserahkan kepada kesatuan-kesatuan otonomi lokal.

** Sebagai akibat penyerahan pada 1 Januari 1937 kepada kesatuan otonomi lokal di Jawa

dan Madura, penyelenggaraan sekolah desa, vervolg, dan pertukangan, maka jumlah

pengeluaran Pemerintah Pusat menurun sekali.

Secara sepintas, tabel diatas memperlihatkan rasio alokasi anggaran pendidikan

rendah Boemipoetra lebih besar dibandingkan dengan pendidikan rendah Eropa

(Belanda). Tahun 1931, salah satunya, alokasi anggaran untuk sekolah rendah

Boemipoetra mencapai 20.351.900 gulden, sementara sekolah-sekolah rendah Eropa

mendapatkan porsi anggaran sebesar 18.045.900 gulden. Begitu pula pada tahun

1932, sekolah-sekolah rendah Eropa mendapatkan bantuan pembiayaan dari

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

212

pemerintah sebesar 15.490.100 gulden, menjadi 14.191.900 di tahun 1933,

11.976.700 (1934), 9.667.600 (1935), dan menurun menjadi 9.630.000 ribu gulden

pada tahun 1936. Pada saat yang sama, meskipun alokasi anggaran bagi sekolah-

sekolah rendah Boemipoetra juga mengalami penurunan, tetap saja, jumlah dana

yang diperoleh lebih besar dibanding sekolah-sekolah rendah Eropa (Belanda). Data

tahun 1932 menunjukkan, sekolah-sekolah Boemipoetra memperoleh guliran dana

dari pemerintah kolonial sebesar 20.369.600 gulden, menurun menjadi 19.027.900

(1933), 14.440.500 (1934), 11.493.4 (1935), dan tahun 1936 meningkat secara tidak

signifikan menjadi 12.008.300 gulden.

Namun, jika ditelusuri secara mendalam, maka tetap saja pemerintah kolonial

Hindia Belanda memberlakukan kebijakan penganggaran yang diskriminatif bagi

sekolah-sekolah Boemipoetra. Jika paparan sebelumnya menunjukkan bahwa,

kebijakan penganggaran diskriminatif lebih terkait dengan perbedaan perlakuan

pemerintah kolonial dalam pemberian bantuan dana pendidikan antara sekolah-

sekolah Boemipoetra dengan peruntukan masyarakat lapisan bawah dengan sekolah

bagi keturunan Eropa (Belanda), China dan elit Boemipoetra, maka tabel diatas

mengandaikan diskriminasi dalam bentuk berbeda. Sekolah-sekolah dengan

peruntukan keturunan Boemipoetra dari berbagai lapisan mendapatkan alokasi

anggaran pendidikan dari pemerintah kolonial jauh lebih sedikit dibanding dengan

sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi keturunan Eropa (Belanda).

Dalam sistem pendidikan Hindia Belanda, jenis sekolah rendah Eropa

(Belanda) hanya satu, yaitu Sekolah Dasar Eropa (Europeesche Lagere School/ELS).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

213

Jika melihat S.L. Van der Wal dalam “Het Onderwijsbeleid in Nederlands, 1900-

1940”, diperoleh data bahwa, pada tahun 1935, misalnya, jumlah keseluruhan ELS

baik Negeri maupun partikelir mencapai sekitar 277 lembaga, terdiri dari 170 ELS

Negeri dan 107 berstatus partikelir (Swasta). Dari jumlah keseluruhan ELS di tahun

yang sama, terdapat 45.033 siswa.136

Jika dihitung rata-rata, maka masing-masing

ELS mendapat kucuran dana dari pemerintah 34.901.1 gulden. Dan jika dihitung

berdasarkan jumlah total siswa, masing-masing mendapatkan porsi anggaran dari

pemerintah sebesar 214.7 gulden pertahunnya.

Sebaliknya, sekolah-sekolah dasar yang diperuntukkan bagi keturunan selain

Eropa (Belanda) cukup banyak jenis dan kuantitasnya. Termasuk dalam jenis ini

adalah, Sekolah Rendah Bumiputra Kelas I (Eerste Klase) yang terdiri dari Sekolah

Rendah China (Hollandsch Chineesche School/HCS), Sekolah Rendah Bumiputra

(Hollandsch Inlandsche School/HIS). Selain itu, terdapat pula satuan-satuan sekolah

lain yang masuk dalam katagori pendidikan rendah Boemipoetra, seperti Sekolah

Desa (Volksschool), Sekolah Rendah Kelas II (Tweede Klasse), dan Sekolah Rendah

Lanjutan (Vervolgschool) dengan lama studi dua tahun.137

Pada tahun 1935, kuantitas numerik masing-masing satuan pendidikan

rendah Boemipoetra diatas dapat dideskripsikan sebagai berikut. Jumlah keseluruhan

Sekolah Rendah Kelas II berdasarkan tahun 1935 sebanyak 64 lembaga dengan

jumlah siswa keseluruhan sekitar 12.154 anak.138

Di tahun yang sama, jumlah HCS

136

Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 62. 137

Depdikbud, Pendidikan di Indonesia, 112-113. 138

Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 64.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

214

di Hindia Belanda baik milik pemerintah maupun partikelir sebanyak 106 lembaga

dengan total siswa mencapai 22.856.139

Disusul HIS yang memiliki jumlah

keseluruhan lembaga mencapai 286 sekolah dan menampung 62.040 siswa.

Demikian pula, Sekolah Desa yang pada tahun 1935 berjumlah 16.962 lembaga dan

menampung siswa dari keturunan Boemipoetra paling besar, yaitu 1.595.140 anak.140

Sementara jumlah Vervolgschool di tahun yang sama mencapai 2.586 lembaga dan

memiliki siswa secara keseluruhan mencapai sekitar 214. 326 anak.141

Secara

keseluruhan, jumlah satuan pendidikan rendah Boemipoetra mencapai 20.004

lembaga dan memiliki total siswa sekitar 1.906.516 anak. Jika dihitung secara

keseluruhan jumlah lembaga pendidikan rendah Boemipoetra pada tahun 1935, maka

masing-masing sekolah hanya mendapatkan porsi bantuan dana dari pemerintah

sebesar 574.5 gulden pertahun. Sedangkan, dari jumlah total siswa yang menempuh

pendidikannya di seluruh jenjang pendidikan dasar Boemipoetra, maka masing-

masing dari siswa tersebut mendapatkan bantuan pembiayaan dari pemerintah

kolonial kurang lebih 6.0 gulden pertahunnya.

Ditengah belitan kebijakan penganggaran yang diskriminatif di era

pemberlakuan sistem politik etis, lembaga-lembaga pendidikan Islam benar-benar

dalam posisi yang kurang beruntung. Bagi madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah

Islam yang menggunakan sistem pendidikan Eropa (Belanda), sebagian dari mereka

disamakan statusnya dengan lembaga-lembaga pendidikan partikelir, baik yang

139

Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 63. 140

Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 65. 141

Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, 65.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

215

diselenggarakan oleh Zending Kristen, Missi Katholik maupun gerakan-gerakan

nasionalis sekuler. Konsekuensinya, lembaga-lembaga pendidikan Islam bergaya

Eropa (Belanda) mendapat dukungan finansial atau subsidi dari pemerintah.

Sayangnya, kebijakan penganggaran yang sejak awal didesain dengan watak

dasarnya yang diskriminatif berakibat hanya sebagian kecil dari lembaga-lembaga

pendidikan Islam yang berhasil menikmati subsidi. Pada saat yang sama, sekolah-

sekolah partikelir Zending, Missi, dan Nasionalist yang menerima bantuan

pembiayaan pendidikan atau subsidi secara numerik jauh lebih besar jumlahnya.

Dengan demikian, kebijakan penganggaran diskriminatif juga memiliki bentuknya

yang lain, yaitu pembedaan perlakuan pemerintah terhadap sekolah-sekolah

partikelir bergaya Eropa di Hindia Belanda.

Dalam era pemberlakuan politik etis, diskriminasi kebijakan penganggaran

terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari

kebijakan makro pemerintah tentang pemberian bantuan finansial (subsidi) terhadap

agama-agama di Hindia Belanda, terutama Kristen, Katholik, dan Islam. Terhadap

ketiga agama tersebut, pemerintah benar-benar telah berlaku tidak adil dengan

mengeluarkan kebijakan pengalokasian dana bantuan yang timpang.

W.H. Alting von Geusau, sebagaimana diadaptasi oleh Suminto,

menunjukkan bentuk nyata kebijakan penganggaran diskriminatif tersebut. Pada

tahun 1917, misalnya, pemerintah kolonial hanya mengeluarkan subsidi dengan

peruntukan bagi aktifitas keagamaan Islam sebesar 127.029 gulden (lihat tabel).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

216

Tabel 11

Subsidi Pemerintah terhadap Islam

Berdasarkan Tahun 1917

No Peruntukan

Jumlah Total

Jumlah

01 Gaji 212 Penghulu a.f. 49 perbulan setara f. 582

pertahun.

f. 123.384 f. 123.384

02 Sumbangan pesta Islam pertahun:

A. Pesta lebaran di Palembang.

B. Pesta Islam di Solo Yogjakarta

f. 100

f. 550

f. 650

03 Sumbangan kepada ulama:

A. Untuk tiga orang penghulu (2 orang di

Pekalongan dan 1 orang di Batang).

B. Untuk beberapa ulama Aceh

f. 655

f. 2.340

f. 2.995

Jumlah

f. 127.029

Sumber: Suminto: 1996: 33.

Sebaliknya, pada tahun yang sama, pemerintah kolonial memberikan subsidi atau

bantuan aktifitas keagamaan Kristen dan Katholik dalam jumlah yang jauh lebih

besar. Untuk mendukung aktifitas keagamaan kedua agama dimaksud, pemerintah

kolonial Hindia Belanda pada tahun 1917 memberikan sumbangan dana sebesar

1.235.500 gulden (lihat tabel).

Tabel 12

Subsidi Pemerintah terhadap Kristen dan Katholik

Berdasarkan Tahun 1917

No Peruntukan

Jumlah Total

Jumlah

01 Bantuan kepada Kristen:

A. Pendeta Protestan pertahun.

B. Rumah yatim piatu Semarang

C. Pembantu pendeta Protestan

f. 550.000

f. 54.000

f. 14.300

f. 618.350

02 Bantuan kepada Katholik

A. Kelas 1 seorang.

B. Kelas 2 di Jawa 11 orang a.f . 4.200

C. Kelas 2 di Luar Jawa 5 orang a.f. 4.200

D. Kelas 3 di Luar Jawa 11 orang a.f. 1.800

E. Pembantu Pastur 11 orang a.f. 300

F. Penolong kelas 26 orang a.f. 4.200

G. Rumah yatim piatu Katholik Semarang

f. 6.000

f. 46.200

f. 21.000

f. 19.800

f. 3.300

f.25.200

f. 60.550

182.050

03 Sekolah Dasar Swasta (umumnya Kristen) f. 414.000 f. 414.000

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

217

04 Organisasi Zending, Pembudayaan Mentawai f. 10.500 f. 10.500

05 Organisasi Zending, Pembudayaan Enggano f. 3.000 f. 3.000

06 Lembaga Penyebar Bijbel, 2 orang ahli bahasa f. 7.600 f. 7.600

Jumlah

f. 1.235.500

Sumber: Suminto: 1996: 33.

Kebijakan diskriminatif dalam pemberian subsidi kepada Kristen, Katholik, dan

Islam terus mengemuka yang ditandai oleh alokasi ketimpangan alokasi bantuan

untuk mendukung aktifitas ketiga agama tersebut. Majalah “Berita Nahdlatoel

Oelama’, Tahun 9, 11/137”, sebagaimana dikutip Anam mendeskripsikan

ketimpangan bantuan finansial yang diberikan oleh pemerintah kolonial dari tahun

1920-1940 (lihat tabel).

Tabel 13

Perbandingan Subsidi Pemerintah

Dengan Peruntukan Protestan, Katholik dan Islam

Berdasar Tahun 1920-1940

Tahun Kristen

Dan Protestan

Islam

1920 f. 1.010.100 f. 5.900

1921 f. 1.110.100 f. 5.900

1922 f. 1.077.100 f. 5.900

1923 f. 1.095.100 f. 5.900

1924 f. 1.116.100 f. 5.900

1925 f. 1.115.000 f. 4.000

1926 f. 1.108.000 f. 4.000

1927 f. 1.417.000 f. 4.000

1928 f. 1.748.000 f. 4.000

1929 f. 1.728.000 f. 4.000

1930 f. 1.641.000 f. 4.000

1931 f. 1.612.000 f. 4.000

1932 f. 1.862.300 f. 4.700

1933 f. 1.601.300 f. 7.700

1934 f. 1.511.500 f. 7.500

1935 f. 1.176.500 f. 7.500

1936 f. 1.007.500 f. 7.500

1937 f. 1.004.500 f. 7.500

1938 f. 1.022.500 f. 7.500

1939 f. 1.197.500 f. 7.500

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

218

1940 f. 1.304.400 f. 4.600

Sumber: Anam: 2010: 112.

Data yang dipublikasikan oleh majalah Berita Nahdlatoel Oelama’ diperkirakan

belum merepresentasikan jumlah bantuan sesungguhnya yang digulirkan oleh

pemerintah kolonial kepada Kristen dan Katholik. Hal ini dapat dibandingkan

dengan laporan Van der Plas tertanggal 20 Maret 1928 dan Hary J. Benda. Sungguh

pun demikian, perbedaan data yang diberikan tidak mengurangi keabsahan penilaian

terhadap kebijakan diskriminatif pemerintah terhadap Islam.

Dalam laporan Van der Plas tentang Kongres Muhammadiyah di Yogjakarta

yang berlangsung pada 12-20 Februari 1928, ia menyertakan deskripsi bantuan

finansial pemerintah Hindia yang dikucurkan kepada Kristen dan Islam (lihat tabel).

Tabel 14

Perbandingan Subsidi Pemerintah

Dengan Peruntukan Protestan dan Islam

Berdasar Tahun 1928

Kristen Jumlah

Islam* Jumlah

Gaji wakil sekretaris Gereja-

gereja Prostestan

f. 2.700 Pemugaran masjid

Kutaraja Aceh

f. 2.250

Tunjangan para pendeta, guru

agama, pembantu pendeta,

dan guru Kristen pribumi

f. 1.503.100 Lain-lain kepentingan

Islam

f. 1.600

Lain-lain pada pos 570a f. 160.500 - -

Jumlah

f. 1.666.300

Jumlah

f. 3.950

Sumber: Suminto: 1996: 36.

Tabel diatas menunjukkan, jumlah subisidi pemerintah untuk mendukung aktifitas

keagamaan Kristen mencapai 1.666.300 gulden, dan sebaliknya, aktifitas keagamaan

Islam hanya mendapatkan kucuran dana bantuan pemerintah sebesar 3.950 gulden.

Secara sepintas, jumlah bantuan yang diberikan lebih sedikit dibanding dengan data

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

219

hasil publikasi Berita Nahdlatoel Oelama’ yang melansir jumlah bantuan pemerintah

terhadap Kristen dan Katholik sebesar 1.748.000 gulden. Namun, jika dhitung

seksama, bantuan bagi kedua agama sangat potensial lebih besar jumlahnya. Jumlah

1.666.300 gulden yang dilaporkan Van der Plas hanya untuk Kristen dan belum

mencakup bantuan dengan peruntukan Katholik yang rata-rata mencapai 35-40 %

dari total bantuan yang dikucurkan kepada Kristen. Dengan demikian, baik Berita

Nahdlatoel Oelama’ dan laporan Van der Plas pada dasarnya memiliki muara yang

sama bahwa, pemerintah kolonial telah dengan sengaja memberikan perlakuan

berbeda terhadap Islam dibanding Kristen dan Katholik.

Statistik diskriminasi bantuan bagi Kristen, Katholik, dan Islam yang dilansir

Berita Nahdlatoel Oelama’ dapat diperbandingkan pula dengan hasil temuan Harry

J. Benda (lihat tabel).142

Tabel 15

Perbandingan Subsidi Pemerintah

Dengan Peruntukan Protestan, Katholik dan Islam

Berdasar Tahun 1936-1939

No Staatsblad van Nederlands

Indie

Protestan

Katholik Islam

01 1936, No. 355 (hal. 25-26) f. 686.100 f. 286.500 f. 7.500

02 1937, No. 410 (hal. 25-26) f. 683.200 f. 290.700 f. 7.500

03 1938, No. 511 (hal. 27-28) f. 696.100 f. 296.400 f. 7.500

04 1939, No. 593 (hal. 32) f. 844.000 f. 335.700 f. 7.600

Sumber: Benda: 1985: 263.

142

Statistik singkat tentang perbandingan alokasi subsidi pemerintah terhadap aktifitas keagamaan

Kristen, Katholik, dan Islam berdasarkan tahun 1936-1939 cukup mendapat tempat diberbagai hasil studi

relasi Islam dan kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Benda merupakan intelektual yang berhasil

mentabulasi subsidi dan belakangan digunakan oleh banyak pengkaji Islam di era kolonial Belanda. Harry

J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang (Bandung:

Pustaka Jaya, 1985), 263.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

220

Tabel yang dideskripsikan oleh Benda memberikan petunjuk penting bahwa,

ketimpangan bantuan pemerintah terhadap ketiga agama (Kristen, Katholik dan

Islam) juga cukup lekat, seperti halnya hasil temuan Berita Nahdlatoel Oelama’.

Meskipun, angka-angka subsidi bagi Kristen dan Katholik yang dideskripsikan

Benda lebih rendah jumlahnya. Bantuan pemerintah terhadap Kristen dan Katholik,

jika dihitung secara komulatif pada tahun 1936, misalnya, akan didapatkan angka

sebesar 972.600 gulden pertahun, meningkat menjadi 973.900 (1937), 992.500

(1938), dan kembali mengalami peningkatan menjadi 1.179.700 gulden pada tahun

1939. Bantuan bantuan sedikit lebih rendah dibanding dengan angka-angka yang

dipublikasikan oleh Berita Nadlatoel Olema’, yaitu 1.007.500 gulden pada tahun

1936, menurun menjadi 1.004.500 (1937), kembali meningkat menjadi 1.022.500

(1938), dan pada tahun 1939 bertambah mencapai 1.197.500 gulden. Sungguh pun

demikian, Perbedaan data jumlah bantuan pemerintah terhadap aktifitas keagamaan

Kristen dan Katholik tetap mencerminkan lekatnya diskriminasi kebijakan alokasi

anggaran dibidang keagamaan di Hindia Belanda.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik dalam bentuk madrasah-madrasah,

sekolah-sekolah Islam, dan pesantren menjadi bagian tak terpisahkan dari bidang

keagamaan. Konsekuensinya, ketika diskriminasi menemukan bentuknya dalam

bidang keagamaan, tentu saja, dapat dipastikan lembaga-lembaga pendidikan Islam

juga menjadi bagian dari objek kebijakan diskriminatif pemerintah Hindia Belanda.

Sepanjang sejarah pemberlakuan politik etis di Hindia Belanda, sekolah-sekolah

partikelir yang dikelola Zending dan Missi mendapatkan alokasi bantuan atau subdisi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

221

pendidikan jauh besar kuantitasnya dibandingkan dengan lembaga-lembaga

pendidikan partikelir Islam.

Diskriminasi kebijakan subsidi pendidikan dapat dilihat dari rasio sekolah-

sekolah partikelir bergaya Eropa (Belanda) yang mendapatkan dukungan pendanaan

dari pemerintah kolonial (lihat tabel).

Tabel 16

Perbandingan Jumlah Sekolah Swasta Bersistem Barat

Yang Bersubsidi Pemerintah Tahun 1936

No

Jenis Sekolah Afiliasi Sekolah

Islam Katholik Protestan Umum

01 Volksscholen 98 515 1.661 14.482

02 Vervolgscholen 23 70 1.335 2.338

03 HIS dan Schakelscholen 6 21 39 218 Sumber: Steenbrink: 1994: 89.

Deskripsi Steenbrink memberi petunjuk penting bahwa, sekolah-sekolah Volkssholen

Kristen dalam satuan pendidikan yang sama berada diurutan kedua penerima subsidi

terbanyak dengan jumlah 1.611 sekolah, disusul Katholik 515, dan Islam yang hanya

sejumlah 98 sekolah. Diskriminasi juga mengemuka pada jenis sekolah sambungan

(Vervolgscholen). Tabel diatas menunjukkan, sebanyak 1.335 Vervolgscholen

Kristen menerima subsidi dari pemerintah, Katholik 70, dan baru Islam dengan 23

sekolah. Pemerintah juga memberlakukan kebijakan subsidi diskriminatif untuk jenis

sekolah HIS dan Schakelscholen. Pada kedua jenis ini, sejumlah 39 milik Kristen,

disusul 21 Katholik, dan hanya 6 sekolah HIS dan Schakelscholen Islam yang

mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.

Perlakuan diskriminatif sama halnya dengan menegasikan konstribusi

signifikan lembaga-lembaga pendidikan Islam era kolonial. Terutama menjelang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

222

akhir era pemberlakuan politik etis, kuantitas numerik lembaga pendidikan Islam

mengalami peningkatan cukup pesat. Dengan meningkatnya kuantitas kelembagaan,

maka dapat dipastikan penduduk Boemipoetra Hindia Belanda semakin terbuka

aksesnya untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan, di daerah-daerah yang

dikenal luas sebagai basis Islam seperti Aceh dan Sumatera Barat, jumlah lembaga

pendidikan Islam lebih besar. Di Sumatera Barat, misalnya, kuantitas numerik

lembaga pendidikan Islam lebih banyak dibanding dengan sekolah-sekolah bergaya

Eropa, baik milik pemerintah (Negeri) maupun partikelir bersubsidi (lihat tabel).

Tabel 17

Perbandingan Sekolah Pemerintah dan Bersubsidi

Dengan Lembaga Pendidikan Islam Di Sumatera Barat

Berdasarkan Tahun 1933

Pemerintah/Bersubsidi Islam

Tingkat Sekolah Jumlah Murid Tingkat Sekolah Jumlah Murid

HIS 13 3.435 Sekolah Agama

Murni

589 9.285

Schakel 3 401 Sekolah Agama

dengan Pengetahuan

Umum

452 25.292

Kelas II (dan

Vervolgscholen)

163 401 Sekolah Umum

Disertai Agama

132 44.577

ELS 6 1.061 - - -

MULO 4 516 - - -

Jumlah

189

32.286

Jumlah

1.173

79.154

Sumber: Poesponegoro dan Notosusanto:V: 1993: 142.

Keterangan:

* Dalam katagori lembaga pendidikan Islam, 35 HIS Partikelir yang didirikan oleh

organisasi lokal dengan murid 825 tidak dimasukkan.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang mendapatkan subsidi pemerintah kolonial

sebagian besar adalah milik organisasi Islam Muhammadiyah. Karena sebagian besar

sekolah ”sesuai dengan stelsel pengajaran Pemerintah Hindia Belanda”, maka

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

223

sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mengajukan permintaan subsidi dipenuhi oleh

pemerintah, meskipun pemenuhan hanya diberikan kepada sebagian kecil dari

jumlah keseluruhan sekolah bergaya Eropa (Belanda) yang dikelola organisasi

modernist tersebut.143

Alfian memberikan deskripsi tentang sekolah-sekolah Muhammadiyah yang

berhasil mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial berdasarkan data tahun 1937-

1937. Dalam satuan pendidikan Sekolah Desa (Volkschool), ia mengatakan,

“In 1937-1938, for example, there were 216 Muhammadiyah Volksholen in

Indonesia, of which 99 received subsidies from the government. In the same

year, the Protestant school system alone had 1.727 Volscholen receiving

subsidies, while there were also 537 Catholic Volkscholen and 95 Neutral

Volkscholen receiving subsidies. Of the 2.458 subsidized Volkscholen there

were 209.497 pupils, of whom only 9.999 were in 99 subsidized Volkscholen

of Muhammadiyah. In the same year, the government Volkscholen had a

total of 1.530.648 pupils”.144

Meskipun dalam jumlah yang sangat terbatas, sekolah-sekolah rendah bergaya Eropa

(Belanda) dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar kegiatan

pembelajaran milik Muhammadiyah juga mendapatkan sokongan atau subsidi dari

pemerintah. Hanya saja, jumlah sekolah penerima subsidi sangat jauh dibanding

sekolah-sekolah partikelir jenis yang sama dari Kristen dan Katholik. Berdasarkan

tahun 1937-1938, jumlah sekolah rendah berpengantar bahasa Belanda, seperti HIS

dan Schkelschool milik Muhammadiyah mencapai 166 sekolah, dan hanya 5

diantaranya yang mendapat subsidi pemerintah. Pada saat yang sama, sekolah-

143

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Yogjakarta (Jakarta: Proyek Inventarisasi Dan

Dokumentasi Kebudayaan Daerah-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981), 89. 144

Alfian, Muhammadiyah: Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch

Colonialism (Yogjakarta: Gajah Mada University Press, 1989), 310-311.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

224

sekolah Kristen mendapatkan subsidi sebanyak 102 lembaga, disusul Katholik

dengan jumlah 84 sekolah, dan 69 sekolah netral dari jenis ini juga mendapat

sokongan atau bantuan dana dari pemerintah kolonial.145

Basoeni memberikan angka sedikit lebih besar berkenaan dengan pemberian

subsidi terhadap lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dibandingkan

sekolah-sekolah partikelir agama yang diselenggarakan oleh Zending dan Missi.

Secara deskriptif, sekolah-sekolah Muhammadiyah bersubsidi mencakup MULO 1,

disusul HIS sebanyak 4, Schakelschool 2, Vervolgsschool 1, dan Volkscholen

dengan jumlah paling besar dan mencapai 95 lembaga. Dengan demikian, jumlah

keseluruhan sekolah-sekolah Muhammadiyah dari berbagai jenjang dan satuan

pendidikan yang mendapatkan subsidi pemerintah sebanyak 123 sekolah. Pada saat

yang sama, sekolah-sekolah partikelir Missi yang mendapat guliran subsidi mencapai

692 lembaga. Jumlah tesebut terdiri dari AMS sebanyak 1 sekolah, disusul HBS 3,

MULO 10, ELS 40, HCS 12, HIS 18, Schakel 3, Vervolgsschool 71, Volksshool 529,

HIK 1, Normaalschool 1, dan Technisschool sebanyak 3 lembaga. Seperti halnya

data yang diajukan oleh Alfian, Basoeni juga menyebutkan bahwa, sekolah-sekolah

Kristen mendapat porsi subsidi lebih besar ketimbang Katholik dan Islam. Secara

deskriptif, sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi meliputi Lycium 1, AMS

1, MULO 12, ELS 24, HCS 28, HIS 35, Schakel 3, Vervolgsschool 148, Volksschool

145

Alfian, Muhammadiyah, 310-311.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

225

1.628, Kweeksschool 2, Cursusavond 11, Technisschool 3, dan Lagere School

sejumlah 2 lembaga (lihat tabel).146

Tabel 18

Perbandingan Sekolah Muhammadiyah Bersubsidi

Dengan Sekolah-Sekolah Kristen dan Protestan

Sekolah Kristen Katholik Muhammadiyah

Lycium 1 - -

AMS 1 1 -

HBS - 3 -

MULO 12 10 1

ELS 24 40 -

HCS 28 12 -

HIS 35 18 4

Schakelschool 3 3 2

Vervolgschool 148 71 1

Volksschool 1.628 529 95

HIK - 1 -

Normaalschool - 1 -

Kweekschool 2 - -

Cursuusavond 11 - -

Technisschool 3 2 -

Lagere School 2 - -

Jumlah

1.898

692

123

Sumber: Basoeni: 1942: 2.

Jika diperbandingkan antara data Steenbrink, Alfian, dan Basoeni, maka dapat

diperoleh petunjuk penting bahwa, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang

mendapatkan subsidi dari pemerintah sebagian besar dan bahkan nyaris seluruhnya

merupakan lembaga-lembaga yang dikelola oleh Muhammadiyah. Konsentrasi

subsidi kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah cukup dapat dipahami, karena

sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan yang dikelolanya berdasarkan sistem

pendidikan nasional Hindia Belanda saat itu.

146

Ahmad Basoeni, “Pengadjaran Rakjat”, Kalimantan Raya, 02 Mei 1942, 2.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

226

Perhatian pemerintah kolonial kepada lembaga-lembaga pendidikan Islam

bergaya Eropa, sebaliknya, bertolak belakang dengan dukungannya terhadap

madrasah-madrasah Islam dan pesantren. Sejak dikeluarkannya kebijakan subsidi

pendidikan pada paruh akhir tahun 1880-an hingga berlakunya sistem politik etis,

madrasah-madrasah dan pesantren hampir seluruhnya tidak tersentuh oleh subsidi

pemerintah. Salah satu alasan terpentingnya adalah, kedua lembaga pendidikan Islam

ini “merupakan jenis sekolah yang coraknya bertolak belakang dengan sekolah yang

diperkenalkan pemerintah (kolonial Hindia Belanda), baik dari sudut isi pengajaran,

cara pendidikan, maupun dari kemungkinan yang bisa diharapkan oleh anak didik”.

Kesimpulannya, jika sekolah-sekolah partikelir berusaha “mengikuti sejauh mungkin

corak serta sifat dari sekolah pemerintah”, sehingga mendapatkan subsidi, maka

sebaliknya, madrasah dan pesantren dapat dikatakan sebagai lembaga-lembaga

pendidikan Islam “yang secara sadar mencari sifat lain”, dan karena itu, nyaris

mustahil mendapatkan dukungan pembiayaan pendidikan dari pemerintah.147

Konsekuensi dari pilihan madrasah dan pesantren, maka keduanya bukan saja

tidak diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional Hindia Belanda. Lebih

dari itu, seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan di kedua lembaga pendidikan

Islam tersebut sepenuhnya ditanggung oleh pengelola dan masyarakat. Beberapa

contoh dapat disebut, misalnya, Nahdhatul Wathan, madrasah-madrasah non subsidi

milik Muhammadiyah, Pesantren Tebuireng (Jombang), dan Pesantren Modern

Gontor (Ponorogo). Demikian pula, surau-surau dan madrasah-madrasah yang

147

Posponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. V, 138.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

227

tergabung dalam Perguruan Sumatera Thawalib di Sumatera Barat juga

mengandalkan sumber dana mandiri dari masyarakat dengan tanpa menggantungkan

subsidi atau sokongan finansial dari pemerintah Hindia Belanda.