bab iv analisis terhadap pertimbangan hakim pada …
TRANSCRIPT
100
BAB IV
ANALISIS TERHADAP
PERTIMBANGAN HAKIM PADA
PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
KORPORASI
Setelah menyajikan tinjauan pustaka dalam
Bab II dan Pembahasan Kasus di Bab III, maka
dalam Bab ini, penulis menyajikan analisis penulis
sehubungan dengan pertimbangan hakim dalam
tindak pidana korupsi oleh korporasi dari dua
putusan tersebut, serta formulasi aturan pemidaan
dalam tindak pidana korupsi korporasi.
A. Pertimbangan Hakim dalam Tindak
Pidana Korupsi Korporasi
Baik dalam Kasus Perkara No.
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, maupun dalam
Putusan Kasus Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg, majelis
101
hakim secara yakin menemukan bahwa unsur-
unsur dalam Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 jo pasal
20 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan UU No. 31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tidak Pidana korupsi, terbukti.
Majelis hakim melihat bahwa unsur-unsur
tindak pidana korupsi sperti terdapat dalam
Pasal 2 (1) telah terpenuhi semua, sehingga
tidak ragu untuk memberikan putusannya.
Unsur “setiap orang”
Perkara No.
812/Pid.Sus/2010/PN.
Bjm
Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN
.Tipikor.Smg
PT. GIRI JALADHI
WANA adalah korporasi
sesuai dengan rumusan
UU Tipikor, dibuktikan
dengan Akta Notaris
pendirian.
H. IMAM SUDJONO
adalah subjek hukum
sesuai dengan
rumusan UU Tipikor.
Majelis Hakim menempatkan korporasi
sebagai pelaku tindak pidana korupsi seperti
102
terlihat dalam kasus Perkara No.
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, PT. GIRI JALADHI
WANA, dengan alasan bahwa unsur telah
terpenuhi. Selain unsur “setiap orang”, telah
sesuai dengan rumusan UU Tipikor, dan dapat
dibuktikan dengan Akta Notaris pendirian PT,
unsur “melawan hukum” juga terpenuhi. Hal itu
terlihat dari, Pertama, perbuatan “melawan
hukum” itu di lakukan/diperintahkan oleh
directing mind dari korporasi tersebut atau
dengan kata lain bahwa untuk dapat korporasi
bertanggung jawab atas perbuatan pengurusnya
telah terpenuhi syaratnya. Kedua, fakta-fakta
hukum yang terungkap dalam persidangan telah
terbukti benar, bahwa sesuai anggaran dasar
perusahaan PT. GIRI JALADHI WANA (PT. GJW)
bergerak bidang usaha Perdagangan, Industri,
Agrobisnis, Pengadaan Barang, Jasa,
Transportasi, Pembangunan, Design Interior,
telah melakukan pelaksanaan Perjanjian Kerja
Sama Nomor 664/I/548/Prog–Nomor
003/GJW/VII/1998 tentang Kontrak Bagi
Tempat Usaha Dalam Rangka Pembangunan
Pasar Induk Antasari Kota Banjarmasin dan
surat Walikota Banjarmasin Nomor
103
500/259/Ekobang/2004 tanggal 30 Mei 2004
tentang Penunjukan Pengelolaan Sementara
Sentra Antasari kepada terdakwa.
PT GJW dalam penandatanganan maupun
pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama tersebut
diwakili oleh STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI
SASTRODIWIRYO Direktur Utama dan Drs.
TJIPTOMO selaku Direktur, dalam
kedudukannya sebagai direktur utama dan
sebagai direktur tersebut keduanya adalah
directing mind. Tidak hanya itu, dalam upaya
untuk mendapatkan kucuran dana Kredit Modal
Kerja yang diajukan oleh terdakwa, diwakilkan
oleh STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI
SASTRODIWIRYO dan Drs. TJIPTOMO selaku Di
rektur, keduanya adalah directing mind pada PT.
GJW.
Jika dilihat menggunakan kriteria
perbuatan tindak pidana korupsi oleh korporasi
yang ada dalam Pasal 20 (2) UU Tipikor,
diketahui bahwa dalam kasus Perkara No.
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, yang menempatkan
korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi,
maka diketahui bahwa, Pertama, tindak pidana
104
korupsi oleh korporasi dilakukan oleh orang-
orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, dalam
kasus ini dilakukan oleh STEVANUS WIDAGDO
bin SURAJI SASTRODIWIRYO Direktur Utama
PT. GJW, bertindak mewakili PT. GJW, sesuai
dengan bukti-bukti surat berupa akta pendirian
perusahaan dan akta-akta lain yang
berhubungan dengan perusahaan PT GJW,
semuanya dibuat didepan Notaris. Kedua,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama. STEVANUS
WIDAGDO bin SURAJI SASTRODIWIRYO
Direktur Utama PT. GJW dan Drs. TJIPTOMO
selaku Direktur PT. GJW, yang bertindak
mewakili PT. GJW, melakukan aktifitas sesuai
dengan tujuan korporasi dengan melakukan
perjanjian-perjanjian dengan pihak-pihak lain,
dalam hal ini Perjanjian Kerja Sama Nomor
664/I/548/Prog–Nomor 003/GJW/VI I / 1998
tentang Kontrak Bagi Tempat Usaha Dalam
Rangka Pembangunan Pasar Induk Antasari
Kota Banjarmasin, dan mengadakan perjanjian
untuk kucuran dana Kredit Modal Kerja dari PT.
Bank Mandiri, Tbk.
105
Berbeda dengan kasus di atas, dalam
Kasus Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg, Majelis
Hakim tidak menjatuhkan pidana terhadap
korporasinya, melainkan hanya menjatuhkan
pidana bagi direksi, yakni A. IMAM SUDJONO
(Direktur PT. Sabda Amarta Bumi). Sehubungan
dengan hal itu, ada beberapa hal yang menarik
dalam pertimbangan hakim, yakni:
a. Mengenai Keabsahan PT SAB.
Majelis hakim melihat dalam fakta
persidangan bahwa PT SAB adalah PT
yang sebenarnya sudah lama tidak
beroperasi, belum dilakukan
pembaharuan, tidak membayar pajak, dan
sudah sekian tahun tidak pernah diaudit.
b. Imam Sudjono, bertindak sebagai
direktur, menggunakan PT SAB untuk
melakukan kerjasama dengan pihak-pihak
lain, dan mengambil keuntungan dari
hasil kerjasama itu.
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Hakim
hanya menempatkan Direkturnya sebagai
pelaku tindak pidana korupsi. Selain karena
106
unsur-unsurnya telah terpenuhi, namun
absennya directing mind dalam kasus tersebut.
Lebih lanjut, ada 3 (tiga) aspek dalam
pertimbangan hakim, seperti penulis sampaikan
di dalam Bab II. Ketiganya adalah Asepk Yuridis,
Aspek Sosiologis, dan Aspek Filosofis.
Pertama, Aspek yang berkenaan dengan
Yuridis. Aspek ini merupakan aspek paling
utama dan pertama yang bertolak ukur kepada
peraturan perundangan yang berlaku. Berikut
adalah dasar yuridis dari pertimbangan hakim
dalam kedua kasus yang penulis gunakan.
Kasus Perkara No.
812/Pid.Sus/2010/P
N.Bjm
Putusan Kasus Perkara
No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipik
or.Smg
Pasal 2 ayat (1) jo
pasal 18 jo pasal
20 UU No. 31
Tahun 1999
sebagaimana telah
diubah dengan UU
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal
18 UU No. 31 Tahun
1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
sebagaimana telah
107
No. 20 Tahun
2001 Tentang
Perubahan UU No.
31 tahun 1999
Tentang
Pemberantasan
Tidak Pidana
korupsi jo pasal 64
ayat (1) KUHP
diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No.
31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP
Pasal yang dikenakan oleh majelis hakim
menggunakan dasar UU Tipikor dan KUHP.
Pasal yang dikenakan dalam UU Tipikor sama,
yakni merujuk kepada: Pasal 2 ayat (1) jo pasal
18, namun ada tambahan dalam Putusan Kasus
Perkara No. 131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg,
yakni masuknya Pasal 18. Perbedaan terjadi
dalam pengunaan KUHP, yakni: pasal 64 ayat
(1) dan disisi yang berbeda menggunakan Pasal
55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1).
Pasal 55 (1) ke-1 KUHP:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
108
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
Pasal 65 (1) KUHP:
(1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan
yang harus dipandang sebagai perbuatan yang
berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok
yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
Pasal 64 (1) KUHP:
(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun
masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan
pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Terlihat perbedaan penggunaan Pasal
KUHP dalam kedua kasus tersebut. Kasus
Perkara No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm
menngunakan Pasal 64 (1), sedangkan Kasus
Perkara No. 131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg
yang memakai Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo
Pasal 65 ayat (1) KUHP. Majelis hakim melihat
bahwa dalam kasus Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg, adanya
penyertaan penyertaan dalam tindak pidana
atau tindak pidana yang dilakukan oleh 2 orang
atau lebih.
109
Kedua, Aspek dari sisi Filosofis. Aspek
yang berintikan kepada kebenaran dan keadilan
ini menggambarkan semangat/roh lahirnya
perundangan yang digunakan. Dalam kasus
pertimbangan hakim yang penulis gunakan
dalam tesis ini. Semangat pemberantasan
korupsi tercermin dalam pertimbangan hakim.
Hal itu terlihat dari pertimbangan hakim yang
berbunyi, “Perbuatan terdakwa bertentangan
dengan program dan upaya pemerintah untuk
melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi”, dan “Bahwa tindak pidana korupsi
merupakan kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) yang memerlukan penanganan
secara luar biasa pula karena dipandang dapat
menghancurkan sendi – sendi keuangan dan
/atau perekonomian negara”.
Aspek terakhir, yakni Aspek yang
bermuatan Sosiologis, diamana merujuk kepada
nilai-nilai budaya yang hidup di masyarakat.
Dalam kedua putusan, hakim memasukan
aspek sosiologis dalam bentuk pertimbangan
tersebut hanya pada putusan Kasus Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg, sedangkan
110
Kasus Perkara No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm
tidak. Berikut lebih dalamnya.
1. Kasus Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg.
a. Terdakwa bersikap sopan di persidangan.
b. Terdakwa memiliki tanggungan keluarga.
2. Kasus Perkara No.
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm
a. Tidak ada.
Terlihat pada putusan Kasus Perkara No.
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, hakim tidak
menggunakan pertimbangan aspek sosiologis,
kepada Korporasi. Namun, putusan untuk
menutup sementara korporasi, walau telah
sesuai dengan semangat hakim dalam memutus
sesuai dengan aturan yang berlaku, namun
disisi lain dampak yang dialami bagi korporasi,
terkhusus nasib para pekerja harusnya patut
diperhatikan. Dengan penutupan korporasi,
maka aspek sosial yang ditimbulkan cukup
besar.
111
Pertimbangan Hakim
Yuridis Filosofis Sosiologi
Banjarmasin
Semarang
Menimbang hal itu, maka penulis
menyimpulkan bahwa Majelis Hakim dalam
memutus kasus di atas lebih menitikberatkan
kepada aspek yuridisnya saja, sedangkan aspek
sosiologis (yang mana jika dipahami sebenarnya
menimbulkan permasalahan sosial yang besar)
tidak diperhatikan sama sekali. Lebih lanjut,
penulis juga melihat bahwa dalam menjatuhkan
putusan, Hakim menngunakan perpaduan
pendekatan, tidak hanya satu pendekatan saja.
Hal itu tercermin dari hasil putusan yang
memikirkan keseimbangan yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, kepentingan
terdakwa dan kepentingan korban. Selain itu,
Hakim turut memperhatikan dengan seksama
dan penuh kehati-hatian dalam menggambil
putusan, tidak hanya dengan dasar intuisi,
melainkan juga dilengkapi dengan ilmu
pengetahuan hukum dan juga wawasan
112
keilmuan hakim dalam menghadapi suatu
perkara yang perlu diputuskan.
B. Konstruksi Pertanggungjawaban Pidana
Korpoasi Dalam Tindak Pidana Korupsi
Pemidanaan dimulai dari adanya
“kesalahan”, karena dimulai dari hal itu maka
muncullah pertanggungjawaban. Dalam dua
putusan yang penulis jadikan sebagai bahan
kajian dalam tesis ini, Majelis Hakim berdasarkan
fakta-fakta persidangan, mampu menemukan
“kesalahan” yang dilakukan pelaku pembuat
kesalahan (baik korporasi dalam Kasus Perkara
No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, dan pribadi
Kasus Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg). Kesalahan
tersebut terformulasikan dalam bentuk
“perbuatan melawan hukum”. Fakta-fakta hukum
yang terungkap di persidangan, membukatikan
bahwa benar adanya penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan PT GJW, dengan
cara melanggar isi perjanjian yang telah
disepakati dan perbuatan-perbuatan lain yang
113
merugikan pihak Pemerintah Kota Banjarmasin.
Sedangkan dalam kasus Semarang, Imam
Sudjono selaku direktur PT SAB, menggunakan
PT tersebut untuk mengambil keuntungan dari
kerjaa sama yang dijalin dari pihak-pihak di
instansi pemerintah maupun swasta.
Kesalahan yang dilakukan menuntut
pertanggungjawaban. Berbeda dengan Perkara
No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm yang meminta
pertanggungjawaban Korporasinya, dalam Kasus
Perkara No. 131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg,
majelis hakim meminta pertanggungjawaban dari
direkturnya saja, sedangkan Korporasinya tidak.
Sesuai dengan fakta-fakta persidangan, hakim
mampu melihat dengan jeli bahwa dalam kasus
di Banjarmasin, korporasi turut
bertanggungjawab terhadap kasus tersebut,
sedangkan dalam kasus di Semarang, hanya
direkturnya saja yang dikenakan, hal itu karena
korporasinya sendiri sudah lama tidak aktif
(fiktif). Berikut adalah unsur-unsur yang
diperlukan untuk menjerat pertanggungjawaban
pidana korporasi menurut Sutan Remy.
114
a. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh
STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI
SASTRODIWIRYO Direktur Utama PT.
GJW, bertindak mewakili PT. GJW
(sebagai directing mind dari korporasi).
b. Tindak pidana yang dilakukan oleh
STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI
SASTRODIWIRYO Direktur Utama PT.
GJW, sesuai dengan maksud dan tujuan
korporasi.
c. Tindak pidana dilakukan STEVANUS
WIDAGDO bin SURAJI SASTRODIWIRYO
Direktur Utama PT. GJW, bertindak
dalam rangka tugasnya dalam korporasi.
d. Apa yang dilakukan oleh STEVANUS
WIDAGDO bin SURAJI SASTRODIWIRYO
Direktur Utama PT. GJW, dengan
maksud memberikan manfaat bagi PT
GJW.
e. STEVANUS WIDAGDO bin SURAJI
SASTRODIWIRYO Direktur Utama PT.
GJW, tidak memiliki alasan pembenar
atau alasan pemaaf untuk dibebaskan
dari pertanggungjawaban pidana.
115
f. Terpenuhinya unsur perbuatan dan
unsur kesalahan dalam tindakan yang
dilakukan oleh STEVANUS WIDAGDO
bin SURAJI SASTRODIWIRYO Direktur
Utama PT. GJW.
Seperti telah disinggung oleh Sutan, bahwa
apabila salah satu unsur atau syarat tidak
terpenuhi, maka manusia dianggap pelaku yang
dapat dituntut dan dijatuhi pidana, sedangkan
korporasinya bebas. Berdasarkan hal itu, pada
Kasus Perkara No.
131/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg yang hanya
dikenakan kepada Direksinya, dapat dipahami
karena ada unsur yang tidak terpenuhi, yakni
apa yang dilakukan oleh A. IMAM SUDJONO
Direktur PT. Sabda Amarta Bumi, tidak
memberikan manfaat bagi korporasi, melainkan
untuk memperkaya diri sendiri, salah satunya
untuk membeli 55 persil tanah di daerah
Kabupaten Rembang.
Mengenai keabsahan secara hukum dari PT SAB
yang pada kenyataannya: (1) PT SAB adalah
perusahaan yang tidak terdaftar sebagai badan
hukum pada Kemenkumham RI; (2) PT SAB juga
116
tidak melakukan kewajiban pajak setiap
tahunnya, dan (3) PT SAB selama tiga tahun
terakhir tidak pernah diaudit akuntan publik,
maka penulis berpendapat bahwa dengan
melihat definisi korporasi dalam UU Tipikor
yang menyatakan bahwa, “Korporasi adalah
kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum”, menunjukan
bahwa korporasi juga dikenakan kepada badan
yang tidak berhukum, maka pertanyaan
mengenai masalah keabsahan secara hukum PT
SAB menjadi gugur.