bab iv 2199048 -...
TRANSCRIPT
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN NIKAH
DI BULAN MUHARRAM MENURUT ADAT JAWA
A. Analisis Terhadap Sistem Penanggalan (Neptu) Dalam Adat Jawa
Dalam sejarah penyebaran agama di Jawa, Islam mengalami
perkembangan yang cukup unik, dari segi agama, suku Jawa sebelum
menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu masih dalam taraf
animistis dan dinamistis, mereka memuja roh nenek moyang dan percaya
adanya kekuatan ghaib atau daya magis yang terdapat pada benda, tumbuh-
tumbuhan, binatang dan yang dianggap memiliki daya sakti. Kepercayaan dan
pemujaan seperti tersebut diatas dengan sendirinya belum mewujudkan diri
sebagai suatu agama secara nyata dan sadar.
Dalam taraf keagamaan seperti itu suku Jawa menerima pengaruh
agama dan kebudayaan Hindu. Hinduisme pada prinsipnya bersendikan adat
kebudayaan Hindu. Di Jawa Hinduisme ini kelihatan menyebar dari istana
kerajaan melalui pemahaman dan pengolahan golongan bangsawan serta para
cendikiawan. Dari pemahaman pengolahan para cendikiawan inilah para
orang-orang awam menerima pengaruh Hinduisme. Para cendekiawan yang
mengerti bahasa sangsekerta akhirnya dapat megolah huruf-huruf yang berasal
dari Hindu, untuk menulis bahasa Jawa. Penggunaan tulisan huruf Jawa
merupakan permulaan sejarah bagi suku Jawa, penggunaan huruf Jawa dan
perhitungan tahun saka, merupakan modal bagi pertumbuhan dan
perkembangan kepustakaan Jawa.
Suatu hal yang sangat menarik ditinjau dari segi sudut agama adalah
pandangan yang bersifat singkretis yang mempengaruhi watak dari
kebudayaan dan kepusutakaan Jawa. Singkretisme ditinjau dari segi agama
adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempesoalkan benar salahnya
suatu agama, yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak
murninya suatu agama. Orang yang berfaham singkretis, semua agama
dipandang baik dan benar, penganut paham singkretisme suka memadukan
unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda atau bahkan
berlawanan.
Sesudah kerajaan Majapahit runtuh dan berganti dengan zaman
Islam, menjadikan dasar pandangan singkretis dari kebudayaan Jawa secara
langsung menunjang pertumbuhan kepustakaan Islam kejawen, maka dalam
sejarah penyebaran Islam di Jawa berkembanglah dua jenis kepustakaan yakni
kepustakaan Islam santri dan kepustakaan Islam kejawen.
Santri adalah sebutan bagi semua orang Islam di Jawa yang
menjalankan syari’at (lima rukun Islam), dengan kesadaran dan taat, baik
mereka yang pernah belajar dipondok pesantren maupun yang tidak pernah
belajar dipondok pesantren, bagi para santri syari’at merupakan dasar yang
fundamental, oleh karena itu kepustakaan yang berkembang dalam pesantren
dan surau-surau, berdasarkan dan berkaitan dengan syari’at-syari’at
merupakan induk pelajaran agama. Dan syari’at merupakan ukuran untuk
membedakan antara ajaran yang lurus dan yang benar dengan ajaran-ajaran
yang menyimpang dari tuntunan Islam. Dengan demikian kepustakaan Islam
pesantren sangat terikat dengan syari’at-syari’at dalam pengertian yang luas
disebut syar’i yang berati agama.
Kepustakaan Islam kejawen adalah salah satu kepustakaan Jawa
yang memuat panduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam
terutama aspek-aspek ajaran tasawuf dan budi luhur yang terdapat dalam
perbendaharaan kitab-kitab tasawuf. Ciri kepustakaan kejawen ialah
mempergunakan bahasa Jawa, dan sangat sedikit mengungkapkan aspek
syari’at, bahkan sebagian ada yang kurang menghargai syari’at yakni, syariat
dalam arti hukum atau aturan-aturan lahir dari pada agama Islam. Bentuk
kepustakaan ini termaktub dalam lingkungan kepustakaan Islam, karena
ditulis oleh orang-orang yang telah menerima Islam sebagai agama mereka.
Nama yang sering dipergunakan untuk menyebut kepustakaan Islam
kejawen, ialah primbon, wirid dan suluk-suluk dan wirid berkaitan isinya
dengan ajaran tasawuf, yang sering disebut ajaran mistik dalam Islam.
Karena memang kedua ajaran tersebut bersumber dari ajaran tasawuf. Adapun
primbon isinya merangkum berbagai macam ajaran yang berkembang dalam
tradisi Jawa seperti, ngilmu petung, ramalan, guna-guna dan lainnya
disamping itu primbon umumnya juga memuat aspek-aspek ajaran Islam.1
1. Kedudukan Neptu Dalam Adat Jawa
1 Simuh, Mistik Islam Kejawen-Raden Ngabehi Ronggowarsito, Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Djati, Cet-I, Jakarta, Universitas Indonesia, 1988, hlm. 2-3.
Pada dasarnya orang-orang Jawa di Bambangkerep mengakui tiga
fase kehidupan yang harus dilalui seorang manusia yaitu, fase kelahiran,
fase perkawinan, dan fase kematian. Seseorang dituntut untuk dapat
melaluinya dengan baik. Perkawinan bagi masyarakat Bambangkerep
dianggap sebagai suatu yang sangat penting dan berperan besar dalam
kehidupan selanjutnya. Hal ini menjadi sebab mengapa gadis-gadis desa pada
masa dahulu menikah pada usia muda. Bagi keluarga yang akan menikahkan
anaknya, mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan biaya perkawinan
yang sangat banyak walaupun kekayaan yang mereka miliki tidak mencukupi
untuk menyelenggarakanya, namun mereka tetap berusaha untuk
melaksanakannya secara prestise.
Perkawinan yang merupakan upacara adat orang Jawa mempunyai
tempat yang sangat urgen dalam tata kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini
disebabkan sifat orang Jawa yang begitu kuat memegang tradisi dan
kepercayan mereka terhadap kekuatan supranatural membuat mereka takut
untuk meninggalkan suatu tradisi yang sudah ada.
Pelaksanaan dalam perkawinan adat Jawa merupakan suatu hal yang
mempunyai kedudukan penting dalam suatu perkawinan dan mempunyai
dampak yang sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari.2
Pedoman yang digunakan masyarakat Jawa dalam dalam
menentukan jodoh ialah “Pasatahan Salakurabi” perhitungan ini dilakukan
sebelum acara “Penigsetan” maka, terlebih dahulu dirundingkan tanggal, hari
2 Wawancara dengan Mashuri, Pucung, Bambangkerep, tanggal 7 Nopember 2003
serta bulan untuk melaksanakan perkawinan. Dalam perundingan itu
diperhitungkan “weton“ ialah perhitungan hari kelahiran kedua calon
pengantin berdasarkan kombinasi. Nama sistem perhitungan tanggal pasaran
(mingguan orang Jawa), merupakan unsur amat penting.3 Sebagai contoh
misalnya :
Pitung Salakurabi
Wetone penganten lanag wadon kagunggung banjur kebage 10
utowo 7, turahe ora keno luweh soko 7, menowo kabehe 10 turah soko 7, iku
banjur kabehe pitu, banjur kabehe 7 ongko turahe nuduhake ketemuning
pitungan. Upomo penganten lanang wetone rebo paing, kang wadon kemis
pon, neptune ono = 7 + 9 + 8 + 7 = 31 kebage 10 turah 1 (siji), pitungan
tibo = waseso segoro
Dene umpomo gunggunge neptu mau ketemu 28, iku menowo
kabage 10 ketemu turah 8 sadi luweh soko 7 iku ora keno mulo ora kabege 10
nanging kudu kabage 7 ing kono ketemu turah 7 petunge ketemu “Lebu katiup
angin” pratelane ono ing ngisor iki :
Yen turah 1 :Wasesone segoro, kamot, jembar budhine, sugih
pangapuro gede prabowone.
Yen turah 2 : Tunggak semi, cepak rejekine
Yen turah 3 : Satrio wibowo oleh kamulyan lan kaluhuran
Yen turah 4 : Sumur sinobo dadi pangunsening kapinteran
3 Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia , Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 338
Yen turah 5 : Satrio wirang pandang duka cita kewirangan isyarat
panulake, ngetokake getih umpomo mbelih ayam
Yen turah 6 : Bumi kapetak, petingan aten nanging tebeti ing gawe
kuat nandang lara lapa, resikan isyarat panulake mendem
lemah
Yen turah 7 : Lebu katiup angin mandang bopo citrako kabeh karepe
ora dadi karep ngelih omah isyarat penolake ngebul-
ngebul lemah.4
Perhitungan seperti tersebut diatas adalah merupakan salah satu
contoh penggunaan “neptu” untuk menentukan jodoh, maka dari perhitungan
itu dapat kita perhatikan, apabila perhitungan jatuh pada waseso segoro, satrio
segoro atau tunggak semi” maka perkawinan akan lebih disukai untuk
dilaksanakan. Sedangkan apabila perhitungan didalam menjodohkan putra-
putrinya jatuh pada “sartrio wirang atau bumi kapetak “ hal itu kurang disukai,
akan tetapi apa bila dalam memilih jodoh setelah di perhitungkan ternyata
neptunya jatuh pada “lebu katiup angin” maka sebisa-bisanya sebaiknya
dihindari dan tidak perlu dilangsungkan suatu pekawinan.
Untuk mencari waktu yang dianggap baik guna akat nikah dicarikan
hari sebagai berikut : jumlah neptu hari dan pasaran dari pengantin laki-laki
dengan neptu hari dan pasaran pengantin perempuan,……ditambah dengan
…….mencari neptu hari dan pasaran ……apabila dibagi 9 dapat habis (tidak
biasa), jika terdapat sisa :
4 Tjakradiningrat KPH, Primbon Lukman Hakim Adam Makna (dihimpun olehnya Siti
Woeryan Soemodiyan Noeradya), Soemodidjojo, Maha Dewa , Yogyakarta, 1994, hlm. 36
1……4……7…..: tidak baik
2……5…….8…..: sedang
0……3……10….: baik sekali
Contoh :
Pemuda X Kelahiran Senin Legi Senin Neptunya ....... 4
Legi Neptunya ......... 5
Jumlah ...................... 9
Gadis Y Kelahiran Saptu Pon Sabtu Neptunya ......... 9
Pon Neptunya........... 7
Jumlah ..................... 16
Jumlah neptu kedua pengantin = 9 + 16 = 25
Umpama dicarikan hari nikahnya jumuah legi
Jumuah neptunya 6
Legi neptunya 5
Jumlah neptu hari dan pasaran kedua pengantin = 25
Jumlah neptu hari dan pasaran untuk menikah = 11
Jumlah semua =36
36 : 9 = 4 sisa 0 berarti penganten baik sekali
Contoh satu lagi :
Pemuda R lahir selasa pahing seloso neptunya ……3
Pahing neptunya ………9
Jumlah …………..12
Gadis M lahir kemis wage kemis wage neptunya3
Wage neptunya 4
Jumlah……………12
Jumlah kedua neptu pengantin = 12 + 12 = 24
Umpmanya dicarikan hari nikah jumuah paing
Jumuah neptunya ……..6
Paing neptunya 9
Jumlah ……….15
Jumlah kedua neptu penganten = 24
Jumlah neptu hari nikah = 15
Jumlah semua 39
39 = 9 = 4 sisa 3 berati penganten baik sekali5
Neptu hari
Senin................... 4
Selasa ................. 3
Rabo ................... 7
Kamis ................. 8
Jum’at................. 6
Sabtu................... 9
Minggu ............... 5
Neptu pasaran
Pon .................... 7
Wage .................. 4
5 Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup Secara Islami Dengan Tradisi Dipulau
Jawa, Cet-Pertama, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1980, hlm. 131
Kliwon................ 8
Legi .................... 5
Paing................. 9 6
Bulan-bulan yang baik (tidak baik untuk perkawinan)
1. Sura .................... : Akan terjadi perselisihan hebat
2. Sapar .................. : Banyak hutang
3. Mulud................. : Kalah salah satu
4. Bakda mulud ...... : Sering mendapat celaan
5. Jumadil awal ...... : Sering kehilangan
6. Jumadil akhir...... : Bahagia
7. Rejep .................. : Banyak anak
8. Ruwah ................ : Bahagia
9. Poso.................... : Banyak godaan
10. Syawal................ : Banyak hutang
11. Apit .................... : Bercerai
12. Besar .................. : Bahagia7
Hari-hari yang tidak untuk perkawinan :
1. Sura........................ : Rabu pahing
2. Sapar ..................... : Kamis pon
3. Mulud .................... : Jum’ah wage
6 Ibid 7 Ibid, hlm. 132
4. Bakda mulud.......... : Sabtu kliwon
5. Jumadil awal .......... : Senin kliwon
6. Jumadil .................. : Selasa legi
7. Rejeb ..................... : Rebo pahing
8. Ruwah ................... : Kamis pahing
9. Pasa ....................... : Jum’ah wage
10.sawal .................... : Sabtu kliwon
11. Apit .................... : Senin kliwon
12. Besar ................... : Selasa lagi.8
Begitu juga yang harus di perhatikan terhadap penganten baru adalah
larangan-larangan (pantangan) dalam adat Jawa yaitu :
1. Pengantin baru sebelum sebesar (seminggu) tidak boleh adat jauh,
melawat jenazah, ziarah kubur.
2. Pengantin baru sebelum selapan (sebulan) dilarang memasuki hutan,
menyeberang bengawan, berlayar, maksudnya apapila di langgar akan
mendapat halangan.9
Juga dalam jalannya hari dan pasaran menurut adat Jawa itu
mempunyai hitungan-hitungan tersendiri di antaranya : hari ahad, utara
tempatnya, rupanya kelabu dan Nabi Nuh yang memiliki.
Hari senin empat, penghidupannya selatan tempatnya, rupanya kuning
dan Nabi Musa yang memilikinya :
8 Ibid. 9 Ibid
Hari selasa tiga penghidupannya di selatan Barat tempatnya, rupanya
merah dan kuning dan Nabi Isa yang memiliki.
Jika hari rabu itu tujuh, penghidupannya di selatan timur tempatnya,
rupanya hitam dan putih dan Nabi Ibrahim yang memiliki.
Hari Kamis delapan, penghidupannya di timur tempatnya, rupanya
merah dan Dewi Fatimah yang memiliki.
Hari jum’at enam, penghidupannya di barat tempatnya, rupanya hitam
dan Nabi Muhammad yang memiliki.
Hari sabtu sembilan, pengidupanya di utara barat tempatnya, rupanya
putih dan Nabi Yusuf yang memilikinya.10
Begitu juga jalannya pasaran :
Jika legi timur, rupanya putih, katanya selaka, lautnya santen,
burungnya kutut, kayunya sekara petak dn harada dewanya.
Pahing selatan rupanya merah, kotanya tembaga, lautnya darah,
kayunya ingas, burungnya kuning, kotanya kencana, lautnya madu, kayunya
kemuning, burungya podang dan dewanya kumajaya.
Wage utara, rupanya hitam, kotanya besi, lautannya nila, kayunya
telasih, burungnya dandang dan dewanya wisnu.
Kliwon tengah betul tempatnya, rupanya putih ada merah kuning
majupat, kotanya seloko tembaga kencana besi, burungya bayan ulesnya
10 Ahmad Qusyairi, Mujarabat Lengkap, Jakarta: Bintang Terang, t, th., hlm. 74
bermcam-macam, lautnya majapat, timur santen, selatan darat barat madu dan
utara mula.11
Begitu pula hitungan jalannya pertemuan hari dan pasaran :
Jika bertemu tujuh jalannya bumi
Jika bertemu delapan jalannya api
Jika bertemu sembilan jalanya arsy empat
Jika bertemu sebelas jalannya bunga
Jika bertemu dua belas jalannya syetan
Jika bertemu tiga belas jalannya bintang
Jika bertemu empat belas jalanya bulan
Jika bertemu lima belas jalannya matahari
Jika bertemu enam belas jalannya air
Jika bertemu tuju belas jalannya bumi
Jika bertemu delapan belas jalanya api
Dari gambaran di atas, bisa diketahui bahwa sebelum Islam masuk ke
tanah Jawa, sebenarnya telah ada beberapa kepercayaan yang dikenal
masyarakat dan telah am tertenam di hari pemeluknya. Terutam Hindu Budha.
Keprcayaan ini cukup lama mendominasi kehidupan masyarakat Jawa.,
sehingga tidak mengherankan apabila adat istiadat, kebiasaan serta bidang
kebudayaanya, banyak di warnai olehnya.
Setelah mendominasi dan bertahan sekian lama, kerajan-kerajan
Hindu-Budha mulai goyah, agama Hindu-Budhapun juga goyah. Belum ada
11 Ibid
teori yang pasti apakah goyahnya kerajaan mempengaruhi keberadaan agama
ataukah sebaliknya. Yang jelas menurunya hegemoni Hindu-Budha tersebut,
ditandai dengan jatuhnya kerajaan Majapahit akibat perebutan tahta
sepeninggalan Hayam Wuruk pada tahun 1389.
Sebagai lambang supremasi Hindu-Budha tentu saja keberadaan
kerajaan menjadi sangat menentukan bagi perkembangan agama dan
peradaban Hindu-Budha itu sendiri.
Bersamaan dengan itu, para penganut Islam, secara individual mulai
aktif memberikan dakwahnya.12
Jawabannya petung sala kirabi semacam ini tidak dijupai dalam
syari’at Islam. Maka bagaimana pandangan syari’at Islam terhadap kedudukan
“neptu” untuk memilih hari dan bulan. Untuk melaksanakan pernikahan
sebagaimana yang berlaku di kalangan masyarakat suku Jawa ini ? adakah
larangan yang mengaturnya ataukah ada suatu kaidah fiqhiyah yang dapat
memberi jalan keluar, maksudnya adakah dalil syar’i yang membolehan.
Sepanjang penulis mengadakan suatu penelitian dalam menyusun skripsi ini.
Belum penulis dapati adanya suatu perintah ataupun suatu larangan tentang
pemakaian “neptu” untuk menentukan memilih jodoh ataupun melaksanakan
perikahan. Maka kita kembalikan permasalahan tersebut kepada kaidah fiqh,
mengenai bagaimana kedudukan “urf” (adat kebiasaan) dalam syaria’t Islam.
Jalal ad-Din as-Suyuti dalam kitab “as-Bah wa al-Nadha’ir” nya meletakkan
12 Joko Triharyanto, (ed), IAIN Walisongo Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan, cet. 1,
Semarang, Puslit IAIN Walisongo, 2003, hlm. 5
suatu kiadah fiqhiyah mengenai kedudukan adat dalam syari’at Islam sebagai
berikut :
������������� 13 Artinya : “Adat kebiasaan itu dikokohkan”
Kaidah ini memberi suatu pengertian bahwa, untuk menentukan
hukum-hukum ijtihadiah, adat kebiasaan dapat diterima sebagai salah satu
sumbernya. Tetapi perlu diketahui pula bahwa “urf” (adat kebiasaan) itu tidak
mesti semuanya baik sehingga dapat dijadikan sandaran ijtihadiah, maka ada
kalanya “urf” itu sahih dan ada pula “urf” itu sendiri adalah “Urf Fasid”.
Urf sahih dikatakan demikian apa bila adat kebiasaan yang dilakukan
oleh orang-orang tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghalalan
yang haram dan tidak membatakan yang wajib.14
‘Urf dikatakan fasid bila mana kebiasaan yang dilakukan oleh orang-
orang, berlawanan dengan syar’at Islam, karena membawa penghalalan yang
haram atau membatalkan yang wajib, misalnya kebiasaan-kebiasaan dalam
akad perjanjian yang bersifat riba, kebiasaan-kebiasaan mencari dana dengan
mengadakan macam-macam kupon berhadiah, menarik pajak hasil perjudian
dan lain sebagainya.15
Dari keterangan menganai u’rf fasid dan ‘urf sahih tersebut di atas,
maka jelaskah kiranya bahwa ‘urf itu sendiri untuk bisa dijadikan sebagai
13 Jalal ad-Din as-Suyuti, al-Asbah wa al-Nadha’ir fi al-Furu’, Dar al- Fikr, Beirut , t.
th., hlm. 23. 14 Muhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, PT. al-Maarif
Bandung, 1988, hlm. 110 15 Ibid.
dasar hukum (ijtihadiah dalam fiqh, tentunya memiliki persyaratan-
persyaratan tetentu).
Dr. Subhi Mahmasani, mensyaratkan adanya kebiasaan yang dapat
dijadikan sebagai dasar (hujjah) hukum dalam Islam sebagai berikut :
1. Adat kebiasaan harus diterima oleh watak yang baik yaitu dapat diterima
oleh akal yang sehat atau pendapat yang umum.
2. Hal-hal yang dianggap sebagai adat, harus berlangsung berulangh-ulang
dengan tersebar luas.
3. Yang dianggap perilaku dalam perbuatan mu’amalah ialah adat kebiasaan
yang lama atau campuran bukan yang terakhir ……. dan lain-lain.16
Tersebut adalah suatu keharusan.Allah mencela hambanya yang taklid buta
(mengekor) terhadap ajaran nenek moyang tenap pernah berpikir ebanr atau
salah. Sebagaimana firman Allah :
B. Penggunaan Neptu Dalam Pandangan Hukum Islam
Menurut perhitungan kalender Islam, dalam satu tahun itu dibagi 12
bulan tiap-tiap bulan terdiri dari 29 dan 30 hari dengan berganti-ganti. Tahun
itu ada dua yaitu, satu tahun Qomariyah, dan dua tahun Syamsiyah, tahun
Qamariyah atau tahun bulan, adalah dasar tahun bangsa Arab dan Islam
dihitung dari terbitnya awal bulan pada peredaranya mengelilingi bumi sampai
terbenam, yang lamanya memakan waktu 29 hari, 12 jam 44 menit menurut
hakikinya, kemudian timbulah bulan baru. Kalau didasarkan dengan tahun
matahari yaitu bumi mengelilingi matahari selama 365 hari, 5 jam dan 46
16 Subhi Mahmasani, (ter. Sarjono), Filsafat Hukum Islam, PT. al-Ma’arif, Bandung,
1981, hlm. 195
menit, maka tahun Qomariyah terdiri 13 (tiga belas), bulan. Untuk keterangan
jumlah bilangan dari dalam setahun adalah sebagai berikut, 6 bulan yang
mempunyai 29 hari dan 6 bulan lagi yang mempunyai 30 hari yaitu :
6 x 29 hari = 174 hari
6 x 30 hari = 180 hari
Jumlah = 354 hari (tahun basitah), dan 355 hari pada tahun kabisatnya.
Tahun masehi dihitung dengan peredaran bumi mengelilingi matahari
terdiri dari 12 jam (dua belas), bulan yang dimulai dari januari, pebruari,
maret, april, mei, juni, agustus, september, oktober, november, dan
desember.
Perselisihan jumlah hari antara tahun Islam dengan tahun masehi,
tepatnya antara tahun Qamariyah dengan tahun Syamsiyah adalah 11 hari
yaitu: 365 –354 17 sebenarnya tahun itu ada 2 (dua) yang sangat perlu diketahui
dan yang sangat banyak dipergunakan oleh umat manusia didunia ini yaitu :
Tahun masehi (Syamsiyah)
Tahun hijriyah (Qamariah)
Dan tahun Jawa itu termasuk kedalam lingkungan pehitungan “tahun
hijrah atau tahun Arab atau tahun Islam. Tahun masehi itu, menurut lamanya
bumi beredar mengelilingi matahari yaitu, 365 hari 5 jam dan 48 menit, 46
detik atau 365 hari ditambah hampir 6 jam. Untuk menggenapkan perhitungan
harinya maka, kelebihan yang 6 jam tersebut ditetapkan oleh para ahli falaq
17 Amir Taat Nasution, Muharram dan Hijriyah, Cet-1, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982,
hlm. 12
setiap 4 tahun sekali yaitu 4 x 6 jam = 24 jam atau 1 hari itulah yang disebut
tahun kabisat atau panjang.
Maka pada tahun kabisat itu jumlah hitungan hari ada sebanyak 366 hari
kelebihan yang satu hari itu dimaksukan pada bulan kedua tiap tahun yaitu
bulan pebruari, maka jumlah hari dalam bulan pebruari pertama ini ada 28
hari, maka pada bulan pebruari tahun kabisat itu jadi 29 hari. Demikianlah
serba ringkas tentang tahun masehi atau tahun Syamsiyah itu, atau tahun
matahari.18
Berlainan dasar perhitungan tahun hijriyah ini didasarkan dari peredaran
bulan mengelilingi bumi selama 29 hari, 12 jam, 44 menit, dan 3 detik.
Menurut perhitungan hakikinya oleh ahli ilmu falaq tahun hijriyah ini disebut
juga tahun Qamariyah atau tahun bulan, karena bulan mengelilingi bumi.
Lama waktu peredaran bulan ini lebih 12 jam, 44 menit dan 3 detik
sedikit saja dari setengah hari, maka lama waktu bulan hijrah itu dalam
setahun 6 bulan memakai 29 hari dan 6 bulan memakai 30 hari. Dari tahun
masehi (Syamsiyah-matahari), menghasilkan 4 musim dalam setahun yaitu :
1. Musim dingin
2. Musim berbunga
3. Musim berbuah
4. Musim panas
Dari tahun hijriyah (tahun Qamariyah-tahun Islam), menghasilkan 1
bulan (setiap mengelilingi bumi), dua minggu dengan perkembagan adanya
18 Ibid.,
besar bulan, yaitu minggu pertama disebut nilai, minggu kedua disebut badar
(bulan purnama) minggu ketiga disebut nubut akhir dan minggu terakhir
disebut muhaq, bulan genap dalam tempo 29 jam menjelang terbitnya awal
bulan baru. Dari adanya minggu tersebut diketahuilah adanya hari yang
didasarkan jangka waktu peredaran bumi disekeliling sumbunya selama 24
jam.
Adanya jangka waktu peredaran bumi disekeliling sumbunya tersebut
dibagi kepada 24 bagian tersebut dibagi kepada 24 bagian waktu dan itulah
yang ditetapkan menjadi satu jam atau enampuluh menit. Kesimpulannya dari
adanya tahun Qamariyah oleh bangsa Arab lahirlah bulan, minggu, hari dan
jam.19
Adat dan kebiasaan boleh kita katakan mempunyai arti yang sama
menurut definisi dari Ibnu Majah didalam “Syarih al Mughni”, adalah suatu
pengertian dari yang ada didalam jiwa orang-orang berupa perkara-perkara
yang berulangkali terjadi yang bisa diteima oleh tabiat yang waras.
Ada dua macam adat kebiasaan pertama yang bersifat umum, yaitu
kebiasaan yang dianut oleh seluruh rakyat dari suatu bangsa mengenai
perbuatan-perbuatan yang termasuk muamalat, kedua yang bersifat khusus.
Yaitu yang dianut oleh segolongan rakyat atau sebagian daerah saja dari suatu
negara, akan tetapi kedua-duanya ini tetap dianggap sebagai ketentuan hukum
yang mengikat.
19 Ibid, hlm. 13
Sesuai dengan pengertian ini maka, di katakan bahwa adat kebiasaan
adalah menentukan ini termasuk salah satu dari empat kaidah yang menurut Al-
Husna berasal dari ilmu fiqih yang kemudian diambil alih oleh Al-Majjallah
dengan rumusan “Al-Adatumuhakamah”yang berarti bahwa adat itu baik yang
bersifat umum ataupun yang besifat khusus bisa dijadikan dasar hukum untuk
menetapkan suatu hukum syari’at.
Yang dijadikan dalil untuk berlakunya hukum adat ini didalam perkara-
perkara syari’at adalah ijma’. Ahli-ahli fiqih yang diambil dari yuriprudensi
peradilan Islam tentang ini ada sebuah kaul :
�� �������������������������������
Artinya :”Apa yang menurut umat Islam baik, maka baik pula disisi Allah”20
Suatu tradisi betapapun mashurnya tetap dikenakan suatu hukum, bukan
dia menjadi sumber hukum, sedang tradisi-tradisi betapapun kuatntya tetap ada
kalahnya salah, dan ada kalanya bercampur antara yang hak dan yang batil
untuk itu semua sebagai neraca ialah kitabullah dan sunnah rasulullah.SAW.
Kiranya pelu kita ketahui, bahwa seseorang yang berjalan dalam arena
kehidupan ini tetapi ia telah kehilangan iradah, dan pikiranya telah mati,
manusia semacam itu tidak berarti lagi ini tidak lain justru karena kakinya
diinjakkan di jalan yang telah diinjak juga oleh orang-orang dulu. Manusia
semacam ini adalah manusia yang jalan pikiranya dan iradahnya Sudah jauh
menyimpang dari Islam.21
20 Subhi Mahmasani, Filsafat Hukum dalam Islam, Cet-1, Bandung, Al-Ma’arif, 1976,
hlm. 260 21 Asy Syaikh Muhammad Al Ghozali, Laisa Mihal Islam, terj. H.Mua’mal Hamidy,
Bukan Dari Ajaran Islam, Cet III, Surabaya , PT Bina Ilmu, 1982, hlm. 200
Apakah kesehatan generasi-generasi dulu justru karena tumbuh dengan
tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik itu, untuk menjawab ini
kiranya cukup apa yang di kisahkan Allah dalam Al-Qur’an Surat As-Shafa’at.
���������� ��!"���#��������$�����%����&��'�&�%()����*�����+����,���-�����%���.�/���&��'�&�%(�)������*��� � ��0���%12�"3�����4���5���%�&6�')����*�����%��/��%7����1���(3�,�$�����%���)�����*
��� ���&8�9����%/�:�;�5���%��$�<�=�&>�0����?���8)���� *����?���8�� 7���@�A��������� ���$�B���5)������*��� 7���@�%�����%��<�=������;��C���;��/%D6��)���*�� ��E�$�F%������G&$������<���&��')���*�
Artinnya: “Sesungguhnya nenek moyang mereka itu dalam keadaan sesat, kemudian mereka dengan segera (meniru) jejak-jejak mereka itu. Padahal sesungguhnya kebanyakan orang-orang dulu sebelum mereka telah sesat, dan kepada mereka telah kami utus beberapa Nabi yang bertugas untuk menyadarkan (mundzirin), oleh karena itu lihatlah betapa akibatntya orang-orang yang diancam itu kecuali hamba-hamba Allah yang di bersihkan.”(Q.S.As-Syafa’at : 69-74)22
Islam tidak mengenal neptu-neptu sebagai mana pon, wage, kliwon, legi,
paing. Islam hanya mengenal ahad, selasa, rabu, kamis, jum’at dan sabtu.
Islam juga tidak mengenal pitung-pitung naga tahun, pasatohan naga
jatigarang dan yang lainnya. Sebab ini bukan dari ajaran-ajaran syari’at Islam.
Dalam Islam dilarang menikahkan dengan menghitung-hitung (berpedoman) :
- Hari kelahiran si jejaka neptunya…….
- Hari kekahiran si gadis neptunya…….
- Perbintangan si jejaka…….
- Perbintangan si gadis….
- Hari ijabnya harus hari …….bulan……..tahun
- Harus memberi sajen-sajen dijalan perempatan…dan yang lainnya
22 Al-Qur’an dan Terjemahnya, op., cit, hlm. 793
Semuannya itu termasuk didalam lingkaran syirik sebab, Islam hanya
percaya kepada tuhan 100% tidak menggantungkan kepercayaan kepada
neptu-neptu kelahiran, horoskop-horoskop dan yang lain.23
Agama ini sangat menekankan agar tidak setiap kabar yang didengar atau
dilihat diterima begitu saja tanpa ada sikap bertanya, apa, kenapa dan
bagaimana, menurut kacamata Islam, apalagi bila itu berkaitan dengan
keyakinan nenek moyang maka, tabayun.
������62�"3� �G���$��������4���5� ���%H�<&I�6��>�"����%��=�%GJ$����K�L6�5���� ��%�<&M��%�%�����>��=� ��N�'�8����8%��I���7��O�8�!P���Q����%$�?��7��O���%1%R�"3����;������8�5�
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka”ikutlah apa yang teleh diturunkan Allah mereka menjawab ( tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kmi dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (apakah mereka akanmengikuti juga) walaupun nenek moyang itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk. (al-Baqarah : 170).24
Pengaruh suatu bulan sebagai bulan sial tidak hanya terjadi Jawa saja,
di berbagai daerah di tanah air juga mengalami hal sarupa bahkan keyakina
begini sudah menjangkt luas ke berbagai belahan dunia dan sudah ada sejak
zaman jahiiyah dahulu, sehingga yang terjadi sekarang adalah warisan lama.
Dahulu, orang-orang jahiliyah menganggap bulan shafar adalah bulan
kesialan dan tak menguntungkan, maka oleh Nabi Muhammad Saw. hal ini
kemudian di batalkan.25 Hadits dari Abu Hurairah r.a ia menuturkan bahwa
Rasulullah bersabda :
23 Muhammad Ali Akbar, Perbandingan Hidup Secara Islam Dengan Tradisi Di Pulau
Jawa, op., cit, hlm. 112 24 Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 71 25 Majalah Keluarga Islami Nikah, Vol. 2 No. 11, Pebruari 2004, hlm. 6
�������1�O8�/4S�O8��/�TO8�U8���O26
Artinya : Tidak ada ‘adwa, thiyarah, shafar dan hamah”
Menurut pendapat penulis di depan telah diuraikan tentang adat kebiasaan
dapat dijadikan sebagai hujjah hukum apabila :
1. Adat kebiasaan itu dapat diterima oleh watak yang baik artinya dapat di
terima oleh akal yang sehat atau pendpat yang umum.
2. Hal-hal yang dianggap sebagai adat, harus berlangsung secara berulang-
ulang dengan tersebar luas.
3. Yang dianggap perilaku dalam perbuatan muamalah ialah adat kebiasaan
yang lama atau campuran bukan yang terakhir…. dan lain-lain.
4. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya “Hukum Adat Bagi Umat Islam”
menambahkan bahwa adat kebiasaan harus tidak bertentangan dengan
nash al-Qur'an dan sunnah Rasul, begitu juga Nurruzzaman Shiddiqy
dalam bukunya “ Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya”
Bila kita lihat kembali perhitungan “weton” (perhatikan bab II mengenai
petung persotahan salakirabi) maka lebih banyak bersifat meramal, yang
seolah-olah manusia telah mengetahui terlebih dahulu akan takdirnya. Maka
apabila “perhitunan weton” dalam melaksanakan pernikahan (jodoh ini kita
hadapkan pada persyaratan ‘urf yang pertama seperti tersebut di atas, yaitu
adat kebiasaan harus dapat diterima oleh akal yang sehat, maka apabila
dipikir, sebagai akal yang waras rasanya sulit untuk menerima adat kebiasaan
26 Al-Imam Al-Khafid Abi Dawud Sulaiman Ibn Al-Asy’asyari Al-Asabkhasatani, Sunan
Abu Dawud Juz III, Beirut-Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyah, tt, hlm. 16
“petung weton” dalam memilih jodoh. Sedangkan apabila “perhitungan
weton” atau “ neptu hari dan neptu pasaran” ini kita hadapkan pada kitab al-
Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad, maka rasanya perhitungan weton dalam
perkawinan ini bertentangan denagan kedua sumber hukum Islam (al-Qur'an
dan Hadits Nabi Muhmmad Saw) dat kebiasaan yang bertentangan dengan
akal sehat, adalah termasuk ‘urf yang fasid. Sedang ‘urf yang fasid tidak dapat
dipakai sebagai hujjah. Fiman Allah :
�%��/���F����%�%�������%��7���5��!/���5�%G%��%B���8�%G&$���,�V�=���N�'��������W%�����8�� ���W%�������;����8!���<A��!��$�0�&>�0����?���%G���%B���8��G&$����X ��7� ���8����1�/���5�� ��)��YL�Z��[�*�
Artinya : “Dan tidaklah patut bai laki-lai yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suau ketetapan, akan ada pilihan bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan brang sifat mendurhakai Allaah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sehat, sesat yang nyata,” (Q.S. al-Ahzab : 36).27
Atas dasar firman Allah tersebut, maka penulis berkesimpulan bahwa “
Neptu hari dan neptu pasaran, serta bulan” dipakai sebagai pedoman dalam
memilih jodoh maupun dalam adat jiwa dapat digolongan ke dalam ‘urf yang
kapid. Dengan demikian maka perhitungan weton” tidak perlu dijadikan hijjah
dalam memilih jodoh mapu melaksanakan nikah.
B. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN NIKAH
DIBULAN MUHARRAM DI DESA BAMBANGKEREP MENURUT
ADAT JAWA
27 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op, cit, hlm. 748
Semenjak dahulu di berbagai negeri dan bangsa terdapat anggapan
atau kepercayaan bahwa hari bulan atau soal tertentu tidak baik untuk
melangsungkan pernikahan. Kalau hari atau saat yang dikatakan tidak baik
tidak cocok itu hubungannya dengan keradaan ruhani atau jasmani kedua
mempelai yang bersangkutan umpamanya mereka sedang sakit atau mempelai
perempuan sedang dapat haid, maka hal itu memang masuk akal dan bisa
dipikirkan sebab musyababnya. Akan tetapi anggapan itu hampir semuannya
berdasarkan tahayul belaka dan tidak ada dasarnya sama sekali.
Disini biasanya orang beranggapan bahwa hari selasa adalah hari yang
naas buat pernikahan anehnya tidak ada seorangpun yang tahu dan bisa
meneranmgkan mengapa hari itu dikatakan hari naas (sial), bagi perkawinan.
dibaratpun orang tidak dapat menerangkan mengapa angka tiga belas (13)
dianggap angka sial atau angka celaka. Kalau hari yang dianggap sial itu
disebabkan oleh keadaan letak perbintangan dilangit, tidaklah dapat diterima
oleh akal sehat bahwa bintang-bintang jaraknya bermilyar kilo meter di
angkasa akan bisa mempengaruhi kehidupan dan nasip sekian banyak pasangan
suami isteri saja diatas permukaan bumi ini.
Bagaimana mestinya keyakinan dan pendirian kita dalam hal ini sudah
tentu hal itun tidak termasuk hari-hari yang memang telah ditentukan hukum
agama sebagai hari-hari yang dilarang bagi umat Muslim (muslimat),
melakukan pernikahan. Semua hari adalah baik untuk melakukan pernikahan.
Tuhan tidak menjadikan hari yang sial diantara hari-hari yang tujuh.
Kecelakaan atau halangan dalam perkawinan jika terjadi bukanlah karena
kesalahan hari, melainkan karena kekhilafan atau tidak ada persetujuan ruhani
orang yang melakukan perkawinan itu sendiri.28
Bagi sebagian orang terutama di Jawa di desa Bambangkerep hari atau
bulan menjadi pertimbanghan khusus dalam melakukan sesuatu. Ada hari-hari
tertentu yang dianggab baik dan ada yang keramat dihri keramat seseorang
dilarang keluar rumah, membangun rumah, pindah rumah, hajatan dan lain
sebagainya.
Demikian pula, ada bulan-bulan tertentu yang dianggap berkah dan
ada yang bermasalah bagi mereka. Kalau berani melanggar apa yang
dipantangkan tersebut pelakunya “dipastikan“ akan celaka, aatu bulan yang
dipantangkan yaitu muharram (suro-Jawa), bulan ini dianggab gawat yang
tidak boleh seseorang main-main atau bersenang-senang didalamnya seperti
melaksanakan hajatan, pernikahan atau sunatan.
Bulan suro (Jawa), atau muharram (hijriyah), memang cenderung
dikeramatkan oleh sebagian masyarakat, khususnya yang menganut budaya
jawa (kejawen), konon pada bulan itu nyi roro kidul yang diyakini sebagai
penguasa laut selatan mantu (menikahkan anaknya), dan ada angin kencang
yang mengiringi hajatan itu. Ada juga yang beranggapan bahwa bulan suro
adalah bulan baik bagi keraton dan hanya keluarga keratonlah yang beerhak
mengadakan hajatan dibulan itu, misalnya selametan , larung sajen, (melarung
sesaji kelaut), jamasan wesi (memandikan pusaka-pusaka keraton), dan
sebagainya yang terkait dengan budaya kejawen. Orang “biasa’ bukan orang
28Sultan Marojo Nasiruddin Latif, Problermantika Seputar Keluarga dan Rumah Tangga,
Cet-1, Bandung, Pustaka Hidayah, 2001, hlm. 27
keluarga keraton kalau mau mengadakan hajatan pada bulan itu takut kuatat.
Yang jelas menurut yang percaya bila tak ingin celaka seseorang tidak boleh
mengadakan hajatan di bulan keramat itu.29
Adapun nama-nama antara Arab dengan Jawa sebagai berikutt :
Arab Jawa
1. Muharram 1. Suro
2. Shafar 2. Sapar
3. Rabiul Awal 3. Grebeg Mulut
4. Rabiul Akhir 4. Silih Mulud
5. Jumadil Awal 5. Jumadi Awal
6. Jumadil Akhir 6. Jumadil Akhir
7. Rajab 7. Rejep
8. Sya’ban 8. Ruwah
9. Ramadhan 9. Poso/Syiam
10. Syawal 10. Syawal/Lebaran
11. Zulqai’dah 11. Silal atau Apit (Dulkaidah)
12. Zulhijah 30 12. Besar/Dul Kijah 31
Bawasanya hal seperti itu adalah mitos, istilah yunani mitos artinya
adalah ucapan tetapi bukan asal ucapan, bukan sembarang ucapan, tetapi
29 Wawancara Dengan Bapak Teunku Tumirin, Staff Sesepuh Adat Desa. Bambangkerep
Kec. Ngaliyan Kota. Semarang Tanggal 6 Januari 2004 30 H. Ibrahim Lubis, Agama Islam Suatu Pengantar, Cet-1, Jakarta, Galia Indonesia,
1982, hlm. 249 31 Amir Taat Nasution, Muharram dan Hijriyah, op., cit, hlm 17
ucapan suci. Dalam keseluruhan mitos bangsa primitif mitos sebagai suatu
pernyataan yang berdasarkan kewibawaan dari yang ghaib yang luar biasa.
Jadi mitos mereka dapat diserupakan dengan ilham, wahyu, tetapi
muitos diterima oleh bangsa primitif karena berhubungan dengan alam. Gejala
alam merupakan manifestasi dari yang suci, dan merupakan bahan bagi
pembangunan mitos. Ucapan suci (mitos), tersebut selalu merupakan suatu
rahasia yang ajaib dan diluar pemikiran manusia. Begitu pula wahyu Allah atau
firman Allah seperti Al-Qur’an yang juga berarti ucapan (tetapi bukan arti
kasar), dari Allah, akan tetapi firman Allah dalam Al-Qur’an mendukung
susunan logis alam semesta, jadi berbeda dengan mitos yang tidak logis.32
Mitos bukan dongeng yang serta merta dianggap sebagai khayal,
tetapi bagi bangsa primitif merupakan suatu gambaran keyakinan mereka
mengenai rahasia-rahasia alam yang yang mengatasi segalakehidupan manusia
yang sukar digambarkan atau dipikirkan. Oleh karena itu mitos bagi bangsa
primitif dapat memberikan pedoman dan arah kepada mereka. Mitos dapat
dicerminkan kembali pada saat-saat tertentu,tetapi dapat pula ditarikan atau
dilakonkan pada suatu saat dan pada tempat tertentu.33
Al-Qur’an telah menyebutkan tujuan missi kerasulan Nabi
Muhammad SAW, dalam kalimat-kalimat padat dan tepat, salah satu darinya
yang patut dikaji adalah “membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
32 Derektorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Perbandingan Agama, Jilid I,
Cet-II, Jakarta, 1982, hlm. 173 33 Ibid.,
belenggu yang ada pada mereka” 34. Yakni melepaskan mereka dari berbagai
perbuatan sulit yang sia-sia dan menyingkirkan belenggu yang memikat tangan
dan kaki mereka.
Sekarang perlu dipahami dengan jelas apa yang dimaksud dengan
belenggu yang mengikat tangan-tangan dan kaki orang-orang arab zaman
jahiliyah, dimasa fajar Islam jelaslah itu bukan rantai dan belenggu besi, tapi
kepercayaan yang mengakar dan takhayul yang telah mengekang pikiran
mereka dari kemajuan.35
Mitos-mitos ini menghalangi jalan kemajuan Islam, dan karena itu
Nabi berusaha sekuat-kuatnya menghapus tanda-tanda kejahilan yang
berbentuk tahayul ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman beliau,
memberikan intruksi kepadanya, hai Muadz singkirkan dari manusia tanda-
tanda kejahilan serta gagasan dan kepercayaan takahyul, dan hidupkan tradisi
Islam yang mengajak kita berfikir dan bersikap rasional.36 Sebagaimana hadits
Nabi SAW :
Di Jawa sebagian masyarakat memang menganggap waktu-waktu
tertentu sebagian waktu spesial, salah satunya adalah bulan muharram.
Spesialnya bukan dengan menganggapnya sebagai bulan suci, tetapi bulan tabu
untuk aktivitas tertentu. Masyarakat didesa Bambangkerep kecamatan
ngaliyan punya anggapan yang terlanjur menjadi keyakinan, bulan muharram
34 Ja’far Subhani, Ar-Risalah : Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (terj) Muhammad
Hasym, Cet-IV, Jakarta, Lentera, 2000, hlm.27 35Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Q.S. Al-A’ Raaf 7:157, Semarang,
Wicaksono, 1997, hlm.318 36Ibid., hlm. 29
(dalam kaender jawa disebut suro), adalah bulan terlarang bagi hajatan
pernikahan.
Istilah suro lebih akrab terdengar dimasyarakat Bambangkerep
dibanding muharram. Mitos pantang melakukan pernikahan tersebut tentu ada
latar belakangnya dari hasil populasi dilapangan peneliti menyimpulkan ada
beberapa versi mengapa sebagian besar masyarakat begitu takut melanggar
pantangan tersebut paling tidak ada dua alasan yang peneliti tulis :
Sebagian menjelaskan bahwa pada zaman bahula, pihak kerajaan
mengelurakan maklumat, isinya menetapkan bahwa pada bulan suro adalah
bulan larangan untuk melakukan hajatan dikalangan rakyat. Dalam ketetapan
tersebut disertai ancaman bahwa barang siapa melanggar maklumat/larangan
tersebut akan terkena bala alias mengalami celaka. Keputusan ini ditengarai
bahwa pihak kerajaan tidak ingin rkayatnya tidak mengikuti upacara ritual
dikeraton hanya gara- gara sedang menikahkan anaknya.
Pihak lain berpendapat bahwa pantangan tersebut berasal dari
pengaruh ajaran agama syiah seperti diketahui bersama bahwa cucu rasulullah
yang diklaim kelompok syiah sebgai Imamnya terbunuh pada tanggal 10
muharram. Karena itu kelompok ini menjadikan bulan muharram yang
bertepatan dengan bulan suro sebagai bulan kersedihan, bukan penuh duka .
ajaran kelompok ini salah satunya adalah menjadikan bulan muharram sebgai
waktu yang tidak boleh dilakukan perayaan, termasuk didalamnya adalah
pernikahan.37 Ironis memang, ternyata tidak sedikit kaum Muslim yang
termakan oleh mitos pantang menikah dibulan suro, bagaimana layak seorang
yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya kepada takdir
Allah, juga kitab-kitabnya bisa terpedaya oleh isu tidak populer tersebut.
Baik karena alasan pertama ataupun kedua tentu tidak pantas seorang
Muslim lantas begitu saja percaya dengan ancamanya. Percaya bahwa selain
Allah bisa mencegah kejahatan dan mendatangkan manfaat merupakan dalam
bentuk kesyrikan. Apalagi percaya kepada benda mati (abstrak), lagi. Suatu
keyakinan yang secara akal tidak bisa dibenarkan lebih-lebih secara syari’at.
Keyakinan demikian sebenarnya mirip dengan keyakinan orang-orang
jahiliyah dahulu. Kaum yang belum tersentuh dakwah rasulullah SAW tersebut
punya keyakinan bahwa bukan shafar adalah bulan kesalahan, yang berada di
sini hanyalah hitungan bulannya, disini bulan muharram disana bulan shafar.
Kebanyakan kaum jahiliyah tersebut dibantah oleh rasulullah Muhammad
SAW beliau berkata, dan perkataan beliau merupakan pengejawantahan wahyu
Allah yang Maha Suci.38
,4SO8���1�O8��/TO8�U8��O39�
Artinya :”Tidak ada adwa, tyaroh hamah , dan shafar “
Shafar adalah bulan kedua pada tahun kedua hijriyah. Walaupun
hadits tersebut dikatakan bulan shafar, tetapi secara subtantif larangannya
adalah menyandarkan kesalahan dan ketergantungan pada nama bulan. Kaum
37 Wawancara dengan bapak Ridwan desa Bambangkerep pada tanggal 14 Desember 2004
38Majalah Keluarga Islami Nikah, op., cit, hlm. 6 39 Al-Imam Al-Khafid Abi Dawud Sulaiman Ibn Al-Asy’asyari Al-Asabkhasatani, op.,
cit, hlm. 16
muslimin yakin bahwa hidupnya bersama Allah, diawasi dan diatur oleh Allah,
maka sudah semestinya bertawakal hanya kepada-Nya.
Lalu mengapa warga masyarakat desa Bambangkerep mengeramatkan
bulan muharram sedangkan menurut Islam bulan baik.
Menurut pendapat penulis Jawabannya diantarannya adalah sebagai
berikut :
1. Pengaruh Animisme dan Dinamisme
Menilik sejarah bangsa Indonesia yang lama terbelenggu dalam
praktek animisme dan dinamisme menjadikan bangsa ini kental dengan
nuasa klenik dan sangat menyukai hal-hal yang berbau mistik. Hal ini
kemudian turun-temurun melahirkan budaya-budaya baru seiring dengan
masuknya agama samawi di Indonesia. Budaya kesyirikan (yang terlanjur
mengakar tersebut ), belum juga pudar malah kemudian akulrurasi dengan
ajaran agama melahirkan beragam bid’ah, syirik, dan khurafat. Seperti
upacara sekatenan, ziarah kemakam wali, dan yang lain sebagainya.
2. Akibat Penggabungan Kalender Jawa dan Hijriyah
Pada masa Sultan Agung (931H/1509), dilakukan penggabungan
kalender jawa dan hijriyah. Penggabungan tersebut oleh sebagian orang
diduga sebagai strategi untuk merukunkan dua golongan waktu itu, yaitu
Islam santri dan Islam abangan Sultan Agung menginginkan persatuan
rakyatnya untuk menggepur Belanda di Batavia dan menyatukan pulau
Jawa dia ingin rakyatnya tidak terbelah karena hanya disebabkan keyakinan
agama dalam penggabungan tersebut. 1 muharram (satu suro jawa), jatuh
pada hari jum’at legi. Oleh Sultan Agung hari jum’at legi dijadikan dino
paseban (hari pertemuan resmi), sebagai pelaporan resmi pemerintahan
daerah kepada keraton. Khusus daerah timur pada hari yang sama laporan
pem,erintahann dilakukan sambil mengadakan pengajian oleh para penghulu
kabupaten sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul (kalau tepat waktu),
kemakam Sunan Ampel dan Sunan Giri sejak saat itulah 1 muharram (1 suro
Jawa), kemudian dikeramatkan bahkan dianggap sial kalau ada orang yang
memanfaatkannya diluar kepentingan mengaji ziarah dan haul. Keyakinan
ini selanjutnya berkembang menjadi khurafatdan syirik, sebagaiman yang
terjadi dikeraton Yogyakarta dan sekitarnya yang sampai sekarang
terpelihara seperti upacara siraman pusaka keraton, mengitari benteng
keraton di malam imuharrom, mandi derngan tujuh air dari tujuh sungai,
mengisi enceh pusaka dimakam imogiri Yogyakarta dan sebagainya.
3. Ratapan Orang Syi’ah Terhadap Kematian Husain bin Ali
Kematian cucu rasulullah husain bin Ali dikota karbala menimbulkan
duka yang mendalam bagi mereka. Terbunuhnya husain bin Ali oleh
pasukan yazid bin muawiyyah pada bulan muharram melahirkan sebuah
kepercayaanbaru dikalangan syiah yang menganggap muharram sebagai
bulan kesedihan dan bulan sial. Dalam perkembangan selanjutnya penganut
syiah menciptakan ritual-ritual khusus untuk memperingati tragedi karbala
berupa majelis-majelis ratapan (penyiksaan diri), yang berpuncak pada 10
muharram tepat pada wafatnya husain bin Ali. Keyakinan ililah yang
kemudian menjadi beimbas pada sebagian kaum muslimin di Indonesia
yang menganggap bulan muharam sebagai bulan keramat sekaligus bulan
kesialan.