bab iii (tinjauan pustaka)

17
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Defenisi Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik, sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel ganas tersebut di dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik (1). Salah satu jenis leukemia adalah Chronic Myeloid Leuemia (CML). Chronic Myeloid Leuemia merupakan kelainan klonal dari stem sel pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif seperti agnogenic myeloid meytaplasia , polisitemia vera, dan thrombositemia primer. Chronic myeloid leyukemia juga dikenal sebagia chronic myelocytic, myelogenous , atau granulocytic leukemia.Chronic Myeloid Leukemia juga merupakan keganasan yang berkembang lambat di sumsum

Upload: muhammad-azmi-agung

Post on 18-Dec-2015

239 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

mm

TRANSCRIPT

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

3.1DefenisiLeukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoetik, sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel ganas tersebut di dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik (1).Salah satu jenis leukemia adalah Chronic Myeloid Leuemia (CML). Chronic Myeloid Leuemia merupakan kelainan klonal dari stem sel pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif seperti agnogenic myeloid meytaplasia , polisitemia vera, dan thrombositemia primer. Chronic myeloid leyukemia juga dikenal sebagia chronic myelocytic, myelogenous , atau granulocytic leukemia.Chronic Myeloid Leukemia juga merupakan keganasan yang berkembang lambat di sumsum tulang dengan ditandasi berkembangnya leukosit dalam jumlah yang banyak (2,5)Chronic Myeloid Leukemia merupakan keganasan pertama yang memiliki kelainan kromosom spesifik yang unik yang dikenal sebagai kromosom philadelphia. Kromosom philadelphia merupakan hasil dari translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22. Dan hal yang terpenting adalah adanya translokasi ABLI protoonkogen dalam kromosom 9 dan BCR (Break Point Cluster Region). Oleh karena itu , pada seorang CML akan ditemukan BCR ABL positif (3)

3.2Epidemiologi Secara epidemiologi, seluruh lapisan umur dapat terkena CML. Insidensi CML seitar 1 2 per 100.000 populasi. CML jarang mengenai anak kecil, tetapi 15 % pasien leukemia dewasa terdiagnosis CML. Pasien yang terdiagnosis CML biasanya berumur antara 60 65 tahun. Tahun 2009 , 5050 pasien telah didiagnosis CML dan 470 pasien dinyatakan meninggal di Amerika Serikat (3,6)Di Asia, insidensi Chronic Myeloid Leukemia lebih rendah dibandingkan negara barat. Di negara barat, sebagian besar laki laki memmilii resiko yang lebih tinggi dibandingkan wanita (7).3.3EtiologiEtiologi CML tidak diketahui secara pasti. Sedikit sekali Evidence base mengenai keterkaitan faktor genetik pada pasien CML. Sebaliknya, pasien CML lebih merupakan penyakit yang datang secara tiba tiba dibandingan keturunan. Menurut Jorge E. Cortes dk (2011), paparan radiasi dan nuklir termasuk radioterapi, juga dapat meningkatkan angka kejadian CML. Seperti halnya di jepang, kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor Chernobil meledak (9).

3.4KlasifikasiChronic Myeloid Leukemia tgerdiri atas enam jenis leukemia, yaitu a. Leuemia mieloid kronik, ph positif (CML, Ph+) (chronic granulocytic leuykemia, CGL)b. Leuemia mieloid kronik , Ph negatif (CML, Ph-)c. Juvenille Chronic Myeloid Leuemia (CML yang timbul pada anak anak )d. Chronic Neutrophilic Leukemiae. Eosinophilic Leukemiaf. Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML)3.5PatogenesisChronic Myeloid Leukemia memiliki kelainan di stem sel hematopoetik. Berdasarkan hasil penelitian, pada pasien CML biasanya didapatkan adanya abnormalitas genetik berupa translokasi t (9;22) (q34;q11) , yaitu terjadinya translokasi resiprokal antara lengan panjang dari kromosom 22 dan 9 yang menghasilkan kromosom baru yang kecil dibandingkan kromosom normal, yaitu kromosom philadelphia. Translokasi ini menyebabkan fusi gen yang dinamakan BCR ABL (6).Richard (2002) telah melakukan penelitian dengan menggunakan tikus sebagai bahan percobaan dengan menginduksi gen BCR ABL leukemia. Hal ini dapat memberiokan epngetahuan baru yang penting tentang patofisiologi molekular penyakit ini. Menurun John dkk (2003) diketahui pada CML didaptakan splenomegali massive yang dihubungkan dengan kejadian leukositosis. Pada pasien CML, telah dideteksi bahwa adanya pembenntukan kromosom abnormal yang disebut Philadelphia (Ph1 ATAU Ph). Kromosom ini merupakan kromosom 22 yang mengalami pemendekan (translokasi resiprokal). Hal ini terjadi karena didapatkan adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34) , yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (Break Cluster Region) yang terletak di lengan panjang kromosom 22 (22q11). Gabungan gen ini sering ditulis sebagai BCR-ABL, diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada CML, akibatnya terjadi gabungan onkogen baru (Chimeric oncogen) yaitu BCR ABL onkogen. Gen baru akan mentranskripkan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan mempengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi yang menyebabkan proliferasi berlebihan pada seri mieloid (sel induk pluripoten) pada sistem hematopoiesis dan menurunnya apoptosis sehingga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal ( sel gen BCR ABL . bersifat anti apoptosis). Dampak edua mekanisme di atas adalah terbentuknya klon lon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoietik lainnyaPemahaman mekanisme kerja gen BCR ABL mutlak diketahui, mengingat besarnya peranan gen in pada diagnostik, perjalanan penyait, prognostik , serta impliasi terapeutiknya. Oleh karena itu perlu diketahui sitogenetik dasn kejadian di tingkat molekular.

A. SitogenikMekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya PH dampai menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas, hingga ini masih belum diketahui secara pasti. Menurun John dkk (2003) , diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, dengan adanya radiasi yang tinggi pada seseorang maka secara signifikan akan meningkatkan kejadian CML tersebut.sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL BCR pada kromosom 9Gen hibrid BCR ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanju7tnya mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedangkan peranana gen resiprokal ABL BCR tidak diketahui.Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian varian ini dapat terbentuk arena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11, akan tetapi dapat juga di daerah q12 atau q13, dengan sendirinya protein yang dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.Jadi sebenarnya gen BCR ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada pasien CML, tetapi gen BCR - ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien CML. Dalam perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terdapat adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60 80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang romosom 17i,. Diketahui terdapat beberapa pasien yang terdiagnosis CML tetapi dengan Ph negatif, BCR ABL negatif. Hal ini dikarenakan terdapat penyimpangan sitogeni melalui adanya translokasi beberapa gen selain kromosom ph, yaitu t (5;12) (q33;p13) dan t (8;13) (p11;q12). Kedua translokasi ini menimbulkan fusion genes baru yang mengkode tyrosin kinase reseptor, yaitu platelet derived growth factor receptor dan Fibroblast growth factor receptor di t (8;13)B. Biologi Molekular Pada Patogenesis CMLGen BCR ABL pada CML didapatkan dari gabungan 2 gen normal yakni gen ABL pada kromosom 9 dan gen BCR pada kromosom 22. Edua gen ini diekspresikan secara normal oleh ajringan, akan tetapi fungsinya tidak terkontrol dengan baik. Patahan pada gen ABL terjadi pada exon a2 dan terjadi juga patahan pada major breakpoint cluster region pada gen BCR. Ini menghasilkan juxtaposisi antara a 5 portion of BCR dan a 3 portion of ABL, yang menghasilkan kromosom 22 pende (22q- dan Ph+)Pada kebanyaan pasien CML , molekul messenger RNA (mRNA) ditranskripsi oleh BCR ABL di junction e13a2 (b2a2) dan e14a2 (b3a2) atau disebut dengan Mayor Break Cluster Region ( M Bcr), kemudian gen BCR ABL nya akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis P210BCR-ABL. Selanjutnya, molekul mRNA BCR ABL diubah menjadi 210 kD oncroprotein (P210BCR-ABL). Ada beberapa variasi break point dan gabungan beberapa gen yang dapat mengaktifkan BCR ABL protein onkogen seperti P190BCR-ABL Potensi leukomogenic dari P210 BCR ABL didasarkan dengan kenyataan bahwa aktifitas tyroin kinase yang adiaktifan oleh adanya BCR sebagai benda asing pada ABL protein. BCR bertindak dengan melakukan dimerisasi onkoprotein seperti gen BCR ABL yang mengaktifkan tirosin inase. Aktivitas tirosin kinase yang tidak terkendali BCR ABL, menggantikan fungsi fisiologis enzym ABL normal dengan berinterasi dengan berbagai protein efektor yang menghasilkan ebrbagai macam reaksi seperti proliferasi selular yang tidak terkendali, gangguan perlekatan sel leukemia pada stroma sumsum tulang dan terjadinya penurunan respon apoptosis yang menyebabkan rangsangan mutagenic.Meskipun CML berasal dari sel induk mieloid multipoten, prasel granulosit jugba menentukan jalur dominan sel. Tida seperti kasus leukemia akut , tida ada hambatan dalam maturasi sel induk leukemi, sebagaimana dibuktikan dengan sejumlah besar sel matur dalam sel perifer. Kinetik sel dan teknik biatakan in vitro menunjukkan bahwa ada 10 sampai 20 kali lipat peningkatan massa prasel granulosit dalma sumsum tulang dan limpa, tetapi keadaanya tidak membelah lebih cepat daripada sel induk normal. Dasar peningkatan massa sel induk mieloid dalam CML tampaknya karena kegagalan sel induk untuk menanggapi isyarat fisiologi yang mengatur proliferasinya.

3.6DiagnosisA. Gejala KlinisCML merupakan penyakit bifasik atau trifasik yang selalu terdiagnosis menjadi chronic , indolent , atau stabledan kemudian berkembang setelah beberapa tahun menjadi advanced phase. Advanced Phase ini dibagi menjadi dua, yaitu accelerated phase (awal) dan blast phase atau blast transformation (terakhir).Kriteria fase CMLa. Fase KronikFase yang berjalan 3 4 tahun dan responsif terhadap kemoterapi. Karakteristi pada fase ini adalah massive expansion dari seri granulosit. Pada fase ini , teradapat beberapa blast (kurang dari 5%) di darah dan sumsum tulang. Kemungkinan gejala yang timbul antara lain1. Gejala Hiperatabolik : Berat badan menurun, lemah, anoreksia, keringat malam2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan4. Gejala gout, gangguan penglihatan dan pripismus 5. Anemia pada fase awal sering hanya ringan6. Kadang kadang asimptomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain

b. Fase Akselerasi atau Transformasi akutPada fase ini, sel blat meningkat sebanyaik 15%. Fase ini dapat berjlaan beberapa minggu sampai bulan. Pada fase ini juga dapat terjadi anemia, jumlah sel darah putih dapat meningkat atau menurun dan trombosit mengalami penurunan. Dalam fase ini , jumlah sel blast mengalami peningkatan dan disertai dengan adanya pembesaran spleen. Pasien CML yang berada pada fase ini, dapat mengeluhan rasa sakit pada tubuhnya , seperti demam, lelah , nyeri tulang (sternum) yang semakin progresifc. Fase Blastik atau krisis blastLebih dari 30% sel blast pada fase ini. Pasioen CML pada fase ini akan terjadi peningkatan sel blast dalam sumsum tulang dan darah. Hal ini terjadi karena, sebagian besar pasien mengalami akumulasi pada myeloid dan sisanya mengalami akumulasi pada sel blast lympoid. Jumlah sel darah merah dan trombosit mengalami penurunan. Kemungkinan pasien akan mengalami infeksi dan perdarahan. Pasien juga dapat merasa kelelahan dan sulit bernafasm nyeri abdomen atau nyeri tulang. Pada fase ini juga biasanya, sel blast akan mendesa ke sumsum tulang atau limfonodi. Fase ini dapat menjadi aggresive acute leukemia.B. Pemeriksaan Penunjang1. Hematologi RutinPada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, leuosit antara 20.000 60.000/mm3. Walaupun sangat jarang, beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia.2. Apusan Darah TepiSering terjadi peningkatan WBC sekitar 100 x 109/L (leukositosis), dan apabila terjadi infeksi yang dikarenakan penyebab lain maka kemungkinan WBC akan mengalami kenaikan lagi. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi sel granulosit, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat. Basofil di darah tepi jug amengalami peningkatamn, seitasr 7 % pada 10% - 15% pasien. Eosinofil juga terjadi peningkatan. Jumlah limfosit juga terjadi peningkatan terutama limfosit T. Jumlah trombosit juga mengalami peningkatan terutama limfosit T. Jumlah trombosit juga mengalami peningkatan sekitar 30% - 50%. Ketika terjadi trombositopenia, biasanya merupakan tanda fase akselerasi. beberapa pasien didiagnosis anemia. Fungsi neutrofil dapat normal atau terganggu, tetapi aktifitgas sel Natural Killer (NK) akan terganggu. Eritrosit sebagian besar normorkrom normositter.3. Apus Sumsum TulangPada sumsum tulang terjadi hiperselulasr dengan selularitas sekitasr 75% sampai 90% akibat proliferasi dari sel sel leukemia, se hingga rasio myeloid dan eritroid meningat, seitar 10:1 sampai 30 : 1. Semua tahpaan maturasi seri WBC selalu terlihat tetapi myelosit lebih dominan. Megakariosit tampa meningkat lebih dulu pada fase awal penyakit ini, kemudian terlihast gambaran displasia. Pada tahap ini, megakariosit nampak lebih kecil ukurannya dibandingkan normal megakariosit. Dengan pewarnaaan retikulin, nampa bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis.4. Hasil laboratorium lainnyaTerjadi penurunan aktifitas leukocyte alkaline phosphatase. Vitamin B12 dan transcamin di serum mengalami peningkatan sekitar 10 kali dasri normal. Asam urat dan dihidrogenase laktat juga mengalami peningkatan dalam serum penderita5. Cytogenic and Molecular FindingSekitar 5% - 10% pasien CML, tidak dapat didetesi adanya kromosom Ph dengan karyotyping, 30 % - 40% dapat didentifikasi dengan fluroscent in situ hibridization (FISH/