13. bab iii tinjauan pustaka (18-47)
DESCRIPTION
ffxiiiTRANSCRIPT
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
18
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Geologi Regional
3.1.1. Fisiografi
Secara umum fisiografi Pulau Jawa telah dibagi oleh Pannekoek (1949)
dan van Bemmelen (1949) menjadi beberapa zona fisiografi. Menurut Pannekoek
(1949) dapat dibedakan menjadi tiga zona yang membujur barat - timur yaitu :
1. Zona Selatan / Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan kearah
selatan menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara dipotong oleh
gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak terlihat lagi, untuk
kemudian berganti menjadi dataran aluvial.
2. Zona Tengah / Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang
disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada daerah
tersebut banyak tumbuh Gunung Api Kuarter.
3. Zona Utara / Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan yang
diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering berbatasan dengan aluvial. Zona
utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu : Perbukitan Kendeng
dan Perbukitan Rembang. Kedua perbukitan ini dipisahkan oleh depresi yang
memanjang dengan arah barat - timur, yang oleh van Bemmelen (1949)
depresi ini disebut sebagai Zona Randublatung. Dari Pannekoek (1949),
daerah penelitian termasuk di Zona Plato/Zona Selatan.
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
19
Sedangkan menurut van Bemmelen (1949), Fisiografi Jawa Tengah - Jawa
Timur) dibagi berdasarkan kondisi morfologi, litologi penyusun dan pola struktur
yang ada menjadi 7 Zona Fisiografi (Gambar 3.1), dari utara sampai selatan
adalah:
1. Zona Dataran Aluvial Pantai Utara Jawa,
2. Zona Gunung Api Kuarter,
3. Zona Antiklinorium Rembang - Madura,
4. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu Utara - Kendeng,
5. Zona Kubah dan Perbukitan dalam Depresi Sentral,
6. Zona Depresi Jawa, Solo dan Randublatung, dan
7. Zona Pegunungan Selatan.
Gambar 3.1. Peta Fisiografi Jawa Tengah & Jawa Timur
(modifikasi dari van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010).
: Fisiografi daerah penelitian
Daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Selatan dan Zona
Solo (Bemmelen, 1983). Daerah penelitian sebelah barat laut merupakan Zona
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
20
Solo dan sebelah timur hingga memanjang ke arah selatan merupakan Zona
Pegunungan Selatan.
Di pihak lain, menyatakan bahwa Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi
menjadi 4 sub zona (Harsolumekso dkk, 1997), yaitu Sub Zona Baturagung, Sub
Zona Wonosari, Sub Zona Gunung Sewu, dan Sub Zona Panggung Masif.
1) Sub Zona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang
dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri - Patuk), utara (G.
Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m).
Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah,
yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona
Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 10ᴼ
- 30ᴼ dan beda tinggi 200 - 700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh
batuan asal gunung api.
2) Sub Zona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di
bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan
sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan
utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona
Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang
mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak. Sebagai endapan permukaan
di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan
batuan dasarnya adalah batugamping.
3) Sub Zona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karst,
yaitu bentang alam dengan bukit - bukit batugamping membentuk banyak
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
21
kerucut dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit - bukit ini
dijumpai telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua
batugamping serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karst ini
membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah
timur.
4) Sub Zona Panggung Masif merupakan pembatas antara Cekungan Baturetno
di sebelah timur dan Cekungan Wonosari di sebelah barat. Sub zona ini tidak
memiliki tidak memiliki orientasi pelamparan tertentu. Bentuknya yang semi-
sirkuler mengindikasikan morfologi tubuh gunung komposit yang relatif tidak
terganggu oleh deformasi tektonik.
Dari ke-4 sub Zona tersebut daerah penelitian termasuk di Sub Zona
Baturagung yang memanjang dari timur laut ke arah selatan di daerah penelitian.
Sedangkan Lajur Baturagung secara umum memiliki pelamparan yang sangat
kompleks. Bagian utara lajur Baturagung yaitu berupa gawir memanjang dan
memiliki orientasi pelamparan timur – barat, sedangkan bagian selatan memiliki
orientasi timurlaut – baratdaya di sebelah timur untuk kemudian berarah tenggara
– baratlaut di sebelah barat (Gambar 3.2). Perubahan orientasi bagian selatan
Lajur Baturagung tersebut terjadi di Sungai Ngalang yang berorientasi timurlaut –
baratdaya. Sungai Ngalang sendiri ditafsirkan mengalir pada zona sesar geser
sinistral (Surono dkk, 1992 ; Sudarno 1997). Di ujung baratlaut Lajur Baturagung,
Perbukitan Prambanan (Prambanan Spur) mencuat melampar ke arah baratlaut –
tenggara yang sekaligus menjadi pembatas antara dataran rendah Klaten dan
dataran rendah Yogyakarta.
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
22
Gambar 3.2 Kenampakan morfologi daerah penelitian melalui citra SRTM
: morfologi daerah penelitian
Dari Perbukitan Prambanan, Lajur Baturagung berbelok melengkung ke arah
baratdaya yang menjadi batas fisiografi sebelah barat Pegunungan Selatan dengan
dataran rendah Yogyakarta. van Bemmelen (1949) menafsirkan adanya genesa
tektonik dari bentuk lengkung (arcuate) Lajur Baturagung di bagian barat laut
tersebut yaitu akibat dorongan pelengseran Cekungan Wonosari ke arah baratlaut
selama proses pensesaran listrik. Perbukitan terisolasi banyak tersebar di dataran
rendah Yogyakarta, tidak terlalu jauh dari gawir Lajur Baturagung dan tersusun
oleh batuan yang sama dengan penyusun Lajur Baturagung. Gawir utara Lajur
Baturagung yang menghadap ke arah Perbukitan Jiwo dianggap sebagai gawir
erosional (Bothe, 1929 ; Pannekoek,1949 ; van Bemmelen,1949). Namun gawir
barat Lajur Baturagung dianggap gawir sesar, dimana Sesar Opak sebagai patahan
utama yang membatasi Lajur Baturagung dengan dataran rendah Yogyakarta (van
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
23
Bemmelen, 1949; Untung dkk.,1973; Rahardjo dkk, 1995 ; Ign Sudarno,1997).
Arah utama sesar – sesar di Pegunungan Selatan bagian barat adalah barat daya –
timur laut, barat – timur, dan barat laut – tenggara bergantung pada posisi dan
arah bukaan gawir utama. Struktur geologi yang lain adalah sesar-sesar minor
oblik minor hasil reaktivasi kekar atau deformasi yang telah ada. Sesar-sesar
tersebut banyak dijumpai tidak hanya pada kelompok batuan Formasi Nglanggran,
tetapi juga memotong permukaan tanah di daerah Imogiri, Pleret, Banguntapan,
dan Piyungan. Hal itu mengindikasikan bahwa daerah ini sangat mudah
mengalami deformasi akibat sebelumnya telah terdeformasi dengan intensif
(Mulyaningsih dan Sanyoto, 2013).
Zona Pegunungan Selatan pada umumnya merupakan blok yang terangkat
dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup
kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan
Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis
dan Pacitan merupakan tipe karst (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau
Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann, 1939), sedangkan
antara Pacitan dan Plopoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga
tersusun oleh batuan hasil aktivitas vulkanis berkomposisi asam - basa antara lain
granit, andesit dan dasit (van Bemmelen, 1949).
Berdasarkan laporan yang pertama kali dilakukan oleh Hartono (2000)
ditemukan adanya sisa gunung api purba Parangtritis dan Sudimoro di mana
masing-masing gunung api itu membentuk bentang alam terpisah dengan berjarak
10 – 15 km berarah barat daya – timur laut. Fosil gunung api Parangtritis
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
24
menempati lokasi di sebelah utara kawasan pantai Parangtritis – Parangkusumo,
Kecamatan Kretek, sedangkan gunung api purba Sudimoro terletak di wilayah
Kecamatan Imogiri dan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Di lapangan kenampakan fosil gunung api Parangtritis berupa
perbukitan dengan ketinggian antara 100 m – 300 m di atas muka laut dengan
bentuk bukit relatif membulat dibanding dengan perbukitan batugamping
Wonosari yang terletak di sebelah timur – tenggara.
Gunung Sudimoro (+507 m) merupakan puncak tertinggi sisa gunung api
di wilayah Kecamatan Imogiri dan Dlingo, Kabupaten Bantul dengan letak secara
astronomisnya 7o 55’ 59’ LS – 110
o 19’ – 20’ 45’ BT. Pada lereng timur Gunung
Sudimoro tersingkap perlapisan breksi gunung api dan lava andesit yang
diperkirakan sebagai bagian fasies proksi dari gunung api purba Sudimoro. Di
sebelah barat puncak Sudimoro bentang alam berupa cekungan setengah lingkaran
membuka ke arah barat laut yang diperkirakan sebagai bekas kawah gunung api.
Pada saat ini fasies pusat gunung api purba itu ditempati dataran dan perbukitan
Imogiri yang merupakan bagian hilir daerah aliran Kali Oyo sampai
pertemuannya dengan Kali Opak.
3.1.2. Stratigrafi
Penamaan satuan litostratigrafi Pengunungan Selatan telah dikemukakan
oleh beberapa peneliti. Daerah penelitian yang terletak pada daerah Selopamioro
yang termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan, maka untuk stratigrafi
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
25
regionalnya peneliti mengacu pada stratigrafi Pegunungan Selatan menurut
(Rahardjo,dkk,1995) (Gambar 3.3)
Gambar 3.3 Sebagian Peta Geologi lembar Yogyakarta (A) dan stratigrafi regional
Lembar Yogyakarta (B) Rahardjo,dkk (1995)
B
A
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
26
Berdasarkan pada Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Gambar 3.2)
stratigrafi Pegunungan Selatan menurut (Rahardjo,dkk,1995) terbagi atas 24
formasi meliputi :
1. dr : batuan terobosan diorit
2. a : batuan terobosan andesit
3. da : batuan terobosan dasit
4. Tmse : Formasi Semilir
5. Tmn : Formasi Nglanggran
6. Tms : Formasi Sambipitu
7. Tmpk : Formasi Kepek
8. Tmwl : Formasi Wonosari
9. Teon : Formasi Nanggulan
10. Tmok : Formasi Kebubutak
11. Tmj : Formasi Jonggrangan
12. Tmps : Formasi Sentolo
13. Qb : Breksi Gunung Api
14. Qmo : Endapan Gunung Merapi Tua
15. Qmi : Endapan Gunung Merapi Muda
16. na : Endapan Longsoran dari Awan Panas
17. d : Kubah lava dan leleran
18. Qsmo : Endapan Gunung Sumbing Tua
19. Qsm : Endapan Gunung Sumbing Muda
20. Qme : Endapan Gunung Merbabu
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
27
21. Qdf : Kubah Lava, Leleran Puncak dan Leleran Lereng
22. Qcc : Endapan Kerucut Abu
23. Qc : Koluvium
24. Qa : Aluvium
Dari 24 Formasi di atas, daerah penelitian mencakup 3 formasi yaitu dari
tua ke muda : Formasi Nglanggran (Tmn), Formasi Wonosari (Tmwl) dan
Endapan Gunung Merapi Muda (Qmi). Secara keseluruhan stratigrafi Pegunungan
Selatan Jawa Timur bagian barat (dataran Yogyakarta) dari tua ke muda akan
dibahas seperti di bawah ini:
3.1.2.1. Formasi Nglanggran (Tmn)
Lokasi tipe formasi ini adalah di Desa Nglanggran di sebelah selatan Desa
Semilir. Batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunung api, aglomerat, tuf dan
aliran lava andesit - basal dan lava andesit. Seperti halnya Formasi Semilir, maka
Formasi Nglanggran ini tersebar luas dan memanjang dari Parangtritis di sebelah
barat hingga tinggian G. Panggung di sebelah timur. Ketebalan satuan batuan ini
di dekat Nglipar sekitar 530 meter. Formasi ini menjemari dengan Formasi
Semilir dan Formasi Sambipitu, tetapi secara tidak selaras ditumpangi oleh
Formasi Oyo dan Formasi Wonosari.
Breksi gunung api dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya
tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 - 50
cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunung api, Sekalipun jarang,
di beberapa tempat kadang - kadang ditemukan batugamping terumbu yang
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
28
membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh
batupasir gunung api epiklastika dan tuf yang berlapis baik.
Pada umumnya Formasi Nglanggran ini juga miskin akan fosil.
Sudarminto (1982, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menemukan fosil
foraminifera Globigerina praebulloides BLOW, Globigerinoides primordius
BLOW dan BANNER, Globigerinoides sacculifer BRADY, Globoquadrina
dehiscens CHAPMANN, PARR dan COLLINS pada sisipan batulempung yang
menunjukkan umur Miosen Awal. Di pihak lain, Saleh (1977, dalam Bronto dan
Hartono, 2001) menemukan fosil foraminifera Globorotalia praemenardii
CUSHMAN dan ELLISOR, Globorotalia archeomenardii BOLLI, Orbulina
suturalis BRONNIMANN, Orbulina universa D’ORBIGNY dan Globigerinoides
trilobus REUSS pada sisipan batupasir yang menunjukkan umur Miosen Tengah
bagian bawah. Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa umur formasi ini adalah Awal -
Miosen Tengah bagian bawah.
3.1.2.2 Formasi Wonosari (Tmwl)
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi
Punung yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan
keduanya sulit untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari - Punung.
Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk
bentang alam Subzona Wonosari dan topografi karst Subzona Gunung Sewu.
Ketebalan formasi ini diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di
bagian bawah menjemari dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
29
menjemari dengan Formasi Kepek. Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat
yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Sedangkan
sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera besar dan kecil yang melimpah,
diantaranya Lepidocyclina sp dan Miogypsina sp, ditentukan umur formasi ini
adalah Miosen Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut
dangkal (zona neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992).
3.1.2.3 Endapan Gunung Merapi Muda (Qmi)
Endapan gunung merapi merupa tuf, abu, breksi, aglomerat dan lelehan
lava tak terpisahkan, terdapat pada dataran Yogyakarta dan sekitarnya. Umumnya
tersusun oleh material lepas. Ketebalan endapan Gunung Merapi Muda ini
mencapai ± 36 m (Surono dkk, 1992).
3.1.3. Tektonik
3.1.3.1 Pola Tektonik
Pulau Jawa menempati posisi tepi aktif interaksi lempeng - lempeng antara
Benua Eurasia dan Lempeng Samudera Hindia yang saling berinteraksi sejak
Kapur Akhir. Elemen tektonik utama sebagai akibat interaksi Lempeng Eurasia
dan Hindia adalah jalur subduksi, jalur magmatik - volkanik. Akibatnya, Pulau
Jawa disusun oleh gabungan antara kerak benua Eurasia dan kerak hasil akresi
antara dua lempeng.
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
30
Dari uraian regional, cukup jelas bahwa Jawa menempati posisi penting
dalam geologi Indonesia bagian barat karena wilayah ini menempati daerah
frontal pada peralihan kerak penyusun batuan dasar maupun pola struktur.
Kondisi tersebut akan berdampak langsung pada daerah penelitian saya.
Secara umum daerah penelitian berada di daerah Pegunungan Selatan Jawa
Timur bagian barat yang dikontrol oleh struktur geologi. Struktur geologi di
daerah Pegunungan Selatan bagian barat berupa perlapisan homoklin, sesar, kekar
dan lipatan.
Gambar 3.4. Peta regional Jawa memperlihatkan pola struktur, dua sesar
mendatar regional dan implikasi geologi yang disebabkan (Satyana dan
Purwaningsih, 2002).
: Daerah penelitian
Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Sub Zona Baturagung
mulai dari Formasi Kebo - Butak di sebelah utara hingga Formasi Sambipitu dan
Formasi Oyo di sebelah selatan. Perlapisan tersebut mempunyai jurus lebih
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
31
kurang berarah barat - timur dan miring ke selatan. Kemiringan perlapisan
menurun secara berangsur dari sebelah utara (20ᴼ - 35
ᴼ) ke sebelah selatan (5
ᴼ -
15ᴼ). Bahkan pada Subzona Wonosari, perlapisan batuan yang termasuk Formasi
Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai kemiringan sangat kecil (kurang dari 5ᴼ)
atau bahkan datar sama sekali. Pada Formasi Semilir di sebelah barat, antara
Prambanan - Patuk, perlapisan batuan secara umum miring ke arah baratdaya.
Sementara itu, di sebelah timur, pada tanjakan Sambeng dan Dusun Jentir,
perlapisan batuan miring ke arah timur. Perbedaan jurus dan kemiringan batuan
ini mungkin disebabkan oleh sesar blok (anthithetic fault blocks; van Bemmelen,
1949) atau sebab lain, misalnya pengkubahan (updoming) yang berpusat di
Perbukitan Jiwo atau merupakan kemiringan asli (original dip) dari bentang alam
kerucut gunungapi dan lingkungan sedimentasi Zaman Tersier (Bronto dan
Hartono, 2001).
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola anthithetic
fault blocks (van Bemmelen, 1949). Sesar utama berarah baratlaut - tenggara dan
setempat berarah timurlaut - baratdaya. Di kaki selatan dan kaki timur
Pegunungan Baturagung dijumpai sesar geser mengkiri. Sesar ini berarah hampir
utara - selatan dan memotong lipatan yang berarah timurlaut - baratdaya. Bronto
dkk. (1998, dalam Bronto dan Hartono, 2001) menginterpretasikan tanda - tanda
sesar di sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta di sebelah timur (Dusun
Jentir, tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar (mega slumping)
batuan gunungapi tipe Mt. St. Helens. Di sebelah barat K. Opak diduga dikontrol
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
32
oleh sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut - baratdaya dengan blok barat
relatif turun terhadap blok barat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sudarno (1997)
mengenai struktur sesar yang terletak di Pegunungan Selatan, DIY dan Perbukitan
Jiwo, Klaten, Jawa Tengah mengemukakan bahwa terdapat 4 set sesar mayor,
masing-masing berarah timur laut-barat daya (set 1), arah utara – selatan (set 2),
barat laut – tenggara (set 3), dan barat – timur (set 4). Set 1 terbentuk pada akhir
Kapur dan akhir Eosen – Miosen Tengah, set 2 dan set 3 terbentuk pada awal
Pliosen dan set 4 terbentuk pada Plistosen Tengah.
Pada akhir Eosen dan Miosen Tengah tegasan purba jenis kompresi
bekerja berarah utara – selatan (N 185o E). Pada Pliosen Awal tegasan purba
masih berjenis kompresi, tetapi arahnya berubah menjadi utara barat laut – selatan
tenggara (N 158o E). Pada Plistosen Tengah berubah jenisnya menjadi tegasan
regangan (tensional stress) dengan arah utara timur laut – selatan barat daya (N
21o E) dan baratlaut – tenggara (N 317
o E).
Sesar set 1 (arah timur laut – barat daya) yang ditemukan pada batuan
malihan (batuan dasar) merupakan sesar tua yang terbentuk karena hasil
tumbukan lempeng Eurasia dengan lempeng Indo-Australia pada umur Kapur.
Sesar set 1 yang ditemukan pada batuan yang terletak di atas batuan dasar,
terbentuk karena adanya reaktivasi sesar set 1 pada batuan malihan.
Sesar set 2 dan 3 terbentuk dari perkembangan struktur-struktur kekar
akibat sistem wrenching sesar-sesar set 1. Sesar arah utara-selatan (set 2) dan
barat laut- tenggara (set 3) bukan hasil secara langsung dari reaktivasi sesar set 1
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
33
pada batuan dasar. Tegasan regangan berarah utara timur laut – selatan barat daya
menghasilkan sesar turun di sebelah utara kaki utara gawir Baturagung ( Sesar
turun Prambanan – Bayat dan sesar turun Gunung Kampak). Tegasan regangan
berarah barat laut – tenggara mengaktifkan sesar-sesar geser mendatar sekitar
Sungai Opak sehingga berubah menjadi sesar turun. Reaktivasi tersebut hasil
salah satunya adalah sesar turun Opak yang membentuk terban Yogyakarta.
Tegasan regangan juga berhubungan dengan gaya-gaya release pada fase akhir
pembentukkan lipatan di Pegunungan Selatan.
3.1.3.2 Perkembangan Tektonik
Proses tektonika yang bekerja di daerah Pegunungan Selatan dan
sekitarnya ditunjukkan oleh adanya beberapa kali ketidakselarasan (Surono dkk,
1992 dan Toha drr,1994), yaitu pada akhir Kapur atau Awal Paleosen, akhir
Eosen, Miosen Tengah, Pliosen Awal, dan Plistosen Tengah. Tektonika pertama
menghasilkan struktur pada batuan malihan yang merupakan batuan dasar di
Perbukitan Jiwo di Bayat. Tektonika kedua menghasilkan struktur pada batuan
Formasi Wungkal-Gamping. Tektonika yang lebih muda setelah Awal Paleosen
mengaktifkan sesar dalam batuan dasar (basement), sehingga sesar pada batuan
penutup batuan dasar terbentuk akibat proses reaktivasi struktur pada batuan
malihan (Sudarno, 1999).
Reaktivasi sesar pada batuan dasar dapat menghasilkan sesar pada batuan
penutup dengan pola sejajar dengan sesar pada batuan dasar (Riedel,1929, lihat
Price Cosgove,1990). Pasangan kekar gerus tipe R dan R’ dijumpai pada zona
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
34
gerusan, yaitu zona atau blok yang dibatasi oleh sesar yang sejajar dengan batuan
penutup (Riedel,1929, lihat Tchalenk, 1970). Struktur pola Meratus di Pulau Jawa
dan sebelah utaranya (berarah timurlaut – baratdaya) terjadi pada Akhir Kapur
(Pulunggono dan Mertodjoyo,1994). Struktur tersebut memotong daerah
Pegunungan Selatan dan Perbukitan Jiwo. Arah tersebut ternyata sesuai dengan
arah sesar yang ditafsirkan dari penyelidikan gaya berat di Pulau Jawa
(Untung,1978) dan salah satu diantaranya merupakan sesar turun yang terletak di
Sungai Opak dan sekitarnya (Untung,1973).
3.2 Dasar Teori
3.2.1 Geomorfologi
Satuan geomorfologi morfometri yaitu pembagian kenampakan
geomorfologi yang didasarkan pada kelerengan dan beda tinggi menurut van
Zuidam & Cancelado (1979) (Tabel 3.1) dan dalam penentuan
pewarnaannya menggunakan klasifikasi bentukan asal berdasarkan van
Zuidam (1983) (Tabel 3.2). Berdasarkan hal itu, untuk setiap satuan
dicantumkan kode huruf, untuk sub satuan dengan penambahan angka
dibelakang. Untuk klasifikasi unit Geomorfologi berdasarkan bentuklahan
dalam penelitian ini membahas 4 klasifikasi unit geomorfologi yaitu :
bentuklahan asal Denudasional (Tabel 3.3), Karst (Tabel 3.4), Struktural
(Tabel 3.5) dan Fluvial (Tabel 3.6).
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
35
Tabel 3.1 Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van
Zuidam-Cancelado, 1979)
No
Relief Kemiringan
Lereng ( % )
Beda Tinggi
( m
) 1 Topografi dataran 0 – 2 < 5
2 Topografi bergelombang lemah 3 – 7 5 – 50
3 Topografi bergelombang lemah – kuat 8 – 13 25 – 75
4 Topografi bergelombang kuat – perbukitan 14 – 20 50 – 200
5 Topografi perbukitan – tersayat kuat 21 – 55 200 – 500
6 Topografi tersayat kuat – pegunungan 56 – 140 500 – 1000
7 Topografi pegunungan > 140 > 1000
Tabel 3.2 Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem
pewarnaan (van Zuidam, 1983).
No Genesa Pewarnaan
1 Denudasional (D) Coklat
2 Struktural (S) Ungu
3 Vulkanik (V) Merah
4 Fluvial (F) Biru muda
5 Marine (M) Biru tua
6 Karst (K) Orange
7 Glasial (G) Biru muda
8 eolian (E) Kuning
Tabel 3.3 Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal denudasional,
(van Zuidam, 1983)
Kode Unit Karakteristik
D1 Denudational slopes and
hills Lereng landai-curam menengah
(topografi bergelombang kuat), tersayat
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
36
lemah-menengah.
D2 Denudational slopes and
hills
Lereng curam menengah-curam
(topografi ber-gelombang kuat-berbukit),
tersayat menengah tajam.
D3 Denudational hills and
mountain
Lereng berbukit curam-sangat curam
hingga topografi pegunungan, tersayat
menengah tajam.
D4 Residual hills
Lereng berbukit curam-sangat curam,
tersayat menengah. Monadnocks :
memanjang, curam, bentukan yang tidak
teratur.
D5 Paneplains Hampir datar, topografi bergelombang
kuat, tersayat lemah-menengah.
D6 Upwarped paneplains
plateau
Hampir datar, topografi bergelombang
kuat, tersayat lemah-menengah.
D7 Footslopes
Lereng relatif pendek, mendekati
horisontal hingga landai, hampir datar,
topografi berge-lombang normal-tersayat
lemah
D8 Piedmonts
Lereng landai menengah, topografi
berge-lombang kuat pada kaki atau
perbukitan dan zona pegunungan yang
terangkat, tersayat menengah.
D9 Scarps Lereng curam-sangat curam, tersayat
lemah-menengah.
D10 Scree slopes and fans Landai-curam, tersayat lemah-menengah
D11 Area with several mass
movement
Tidak teratur, lereng menengah curam,
to-pografi bergelombang-berbukit,
tersayat menengah (slides, slump, and
flows).
D12 Badlands Topografi dengan lereng curam-sangat
curam, tersayat menengah.
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
37
Tabel 3.4 Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal karst
(van Zuidam,1983)
Kode Unit Karakteristik
K1 Karst Plateaus
Topografi bergelombang – bergelombang
kuat dengan sedikit depresi hasil
pelarutan dan lembah mengikuti kekar.
K2 Karst/Denudation Slope
and Hills
Topografi dengan lereng menengah –
curam, bergelombang kuat – berbukit,
permukaan tak teratur dengan
kemungkinan dijumpai lapis, depresi
hasil pelarutan dan sedikit lembah kering.
K3 Karstic/Denudational
Hills and Mountains
Topografi dengan lereng menengah
sangat curam, berbukit, pegunungan,
lapis, depresi hasil pelarutan,cliff,
permukaan berbatu.
K4 Labyrint or Starkarst
Zone
Topografi dengan lereng curam – sangat
curam, permukaan sangat kasar dan tajam
dan depresi hasil pelarutan yang tak
teratur.
K5 Conical Karst Zone
Topografi dengan lereng menengah –
sangat curam, bergelombang kuat –
berbukit, perbukitan membundar bentuk
conic & pepino & depresi polygonal
(cockpits & glades).
K6
Tower Karst Hills or
Hills Zone/Isolated
Limestone Remnant
Perbukitan terisolir dengan lereng sangat
curam – amat sangat curam (towers,
hums, mogots atau haystacks).
K7 Karst Aluvium Plains
Topografi datar – hampir datar
mengelilingi sisa batugamping terisolasi /
zona perbukitan menara karst atau
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
38
perbukitan normal atau terajam lemah.
K8 Karst Border/Marginal
Plain
Lereng hampir datar – landai, terajam dan
jarang atau sangat jarang banjir.
K9 Major Uvala/Glades
Sering ditamukan depresi polygonal atau
hasil pelarutan dengan tepi lereng curam
menengah – curam, jarang banjir.
K10 Poljes
Bentuk depresi memanjang dan luas,
sering berkembang pada sesar dan kontak
litologi, sering banjir oleh air sungai, air
hujan & mata air karst.
K11 DryValleys (Major)
Lembah dengan lereng landai curam –
menengah, sering dijumpai sisi lembah
yang curam – sangat curam, depresi hasil
pelarutan (ponors) dapat muncul.
K12 Karst Canyons/Collapsed
Valleys
Lembah berlereng landai curam –
menengah dengan sisi lembah sangat
curam – teramat curam, dasar lembah tak
teratur dan jembatan dapat terbentuk.
Tabel 3.5. Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal struktural (Van Zuidam,
1983).
Kode Unit Karakteristik
S 1
Topografi bergelombang sedang
hingga bergelombang kuat dengan
pola aliran berhubungan dengan
kekar, dan patahan
Tersayat
S 2
Topografi bergelombang sedang
hingga bergelombang kuat dengan
pola aliran berkaitan dengan
singkapan batuan berlapis
Berbentuk liniear
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
39
S 3
Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan dengan pola
aliran berkaitan dengan kekar dan
patahan
Tersayat kuat
S 4
Topografi perbukitan hingga
pegunungan denganpola aliran
berkaitan dengan singkapan
batuan berlapis
Berbentuk liniear, tersayat kuat
S 5 Mesag/dataran tinggi dikontrol
struktur
Topografi datar hingga
bergelombang lemah di atas
plateau dan perbukitan di bagian
tebing
S 6 Cuestas
Bergelombang lemah di bagian
lereng belakang dan perbukitan
pada lereng depan. Tersayat
lemah.
S 7 Hogbacks dan flatirons Tinggian berupa topografi
perbukitan tersayat.
S 8 Structural denudational terraces Topografi bergelombang lemah
hingga perbukitan. Tersayat.
S 9 Perbukitan antiklin dan sinklin Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan.
S 10 kubah/perbukitan sisa Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan.
S 11 Dykes
Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan. Tersayat.
S 12 Tebing sesar Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan. Tersayat.
S 13 Depresi graben Topografi bergelombang lemah
hingga bergelombang kuat.
S 14 Tinggian Horst Topografi bergelombang kuat
hingga perbukitan.
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
40
Tabel 3.6 Klasifikasi unit geomorfologi bentuklahan asal fluvial
(van Zuidam, 1983)
Kode Unit Karakteristik
F1 Rivers beds
Hampir datar, topografi teratur dengan
garis batas permukaan air yang bervariasi
mengalami erosi dan bagian yang
terakumulasi.
F2 Lakes Tubuh air.
F3 Flood plains Hampir datar, topografi tidak teratur, banjir
musiman.
F4 Fluvial levees, alluvial
ridges and point bar
Topografi dengan lereng landai,
berhubungan erat dengan peninggian dasar
oleh akumulasi fluvial.
F5 Swamps, fluvial basin Topografi landai-hampir landai (swamps,
tree vege-tation)
F6 Fluvial terraces Topografi dengan lereng hampir datar-
landai, tersayat lemah-menengah.
F7 Active alluvial fans
Lereng landai-curam menengah, biasanya
banjir dan berhubungan dengan peninggian
dasar oleh akumulasi fluvial.
F8 Inactive alluvial fans
Lereng curam-landai menengah, jarang
banjir dan pada umumnya tersayat lemah-
menengah.
F9 Fluvial-deltaic
Topografi datar tidak teratur lemah, oleh
karena banjir dan peninggian dasar oleh
fluvial, dan pengaruh marine.
Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian berdasarkan klasifikasi
Howard (1967, dalam Thornburry, 1969) (Gambar 3.5). Pola - pola pengaliran
yang berhubungan erat dengan topografi, litologi, struktur dan curah hujan,
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
41
merupakan sifat - sifat yang paling penting untuk klasifikasi bentang alam. Pola
pengaliran (drainage pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang
merupakan hasil penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling
berhubungan suatu pola dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Perkembangan
dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah
kemiringan lereng, perbedaan resisten batuan, proses gunung api Kuarter, serta
sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage basin).
Gambar 3.5. Jenis - jenis pola aliran sungai menurut Howard (1967, dalam
Thornbury, 1969).
A. Pola aliran dasar B. Pola aliran ubahan
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
42
Untuk menentukan stadia geomorfologi suatu daerah, maka sangat erat
hubungannya dengan proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai yang telah
terbentuk. Stadia erosi juga akan menentukan stadia geomorfologi suatu daerah.
Hal ini semua dapat ditafsirkan dari ciri - ciri morfologi, sub satuan geomorfologi,
pola aliran sungai dan ciri - ciri yang lainnya.
Menurut Lobeck (1939), stadia daerah ada tiga dan mempunyai ciri
tersendiri (Gambar 3.6), yaitu stadia muda dicirikan oleh dataran yang masih
tinggi dengan lembah sungai yang relatif curam dimana erosi vertikal lebih
dominan dan kondisi geologi masih orisinil. Stadia dewasa dicirikan oleh adanya
bukit sisa erosi dan erosi lateral lebih dominan, sungai bermeander dengan point
bar, pola pengaliran berkembang baik, kondisi geologi mengalami pembalikan
topografi seperti punggungan sinklin atau lembah antiklin. Stadia tua dicirikan
permukaan relatif datar, aliran sungai tidak berpola, sungai berkelok dan
menghasilkan endapan di kanan kiri sungai dan litologi relatif seragam. Stadia tua
dapat kembali menjadi seperti stadia muda apabila terjadi peremajaan atas suatu
bentang alam.
Gambar 3.6. Stadia daerah menurut Lobeck (1939)
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
43
3.2.2 Stratigrafi
Pembuatan peta geologi menggunakan metode pengelompokan
penyebaran batuan hasil pemetaan geologi didaerah penelitian, berdasarkan ciri
litologi yang dominan yang dapat dikenali dilapangan. Metode pengelompokan
lapisan - lapisan batuan hasil pemetaan geologi di daerah penelitian dilakukan
berdasarkan konsep litostratigrafi dan stratigrafi gunungapi.
Pembagian berdasarkan litostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan
batuan di bumi secara bersistem menjadi satuan – satuan bernama yang bersendi
pada ciri litologi yang dominan yang dapat dikenali di lapangan. Pengelompokan
dengan sistem penamaan satuan batuan tidak resmi seperti yang tercantum dalam
Bab II pasal 14 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), juga dengan memperhatikan
urutan stratigrafi yang dilakukan beberapa peneliti sebelumnya, antara lain : van
Bemmelen (1949), Surono dkk (1992), Bronto dkk (2008). Sedangkan untuk
penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan ekstrapolasi.
Pembagian stratigrafi gunungapi dimaksudkan untuk menata
batuan/endapan gunungapi berdasarkan urutan kejadian agar evolusi pembentukan
gunungapi mudah dipelajari dan dimengerti. Pembagian batuan/endapan
gunungapi dimaksud untuk menggolongkan batuan/endapan secara bersistem
berdasarkan sumber, deskripsi, dan genesa. Pengelompokan dengan sistem
penamaan satuan batuan tidak resmi seperti yang tercantum dalam Bab III pasal
27 (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996).
Analisis paleontologi dilakukan dengan membuat sayatan untuk batuan
yang diperkirakan mengandung fosil, lalu disebandingkan dengan kisaran fosil
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
44
menurut Blow (1969), Postuma (1974),dll. Analisis petrografi yaitu analisis
sayatan tipis batuan dibawah mikroskop untuk melihat mineral – mineral
penyusun batuan tersebut dan melakukan pemerian nama batuan tersebut.
Tahapan ini dilakukan dengan mengacu pada klasifikasi, Williams et al (1954),
Dunham (1962) dan Embry & Klovan (1971) (Tabel 3.7), Pettijohn (1975)
(Gambar 3.6), Fisher (Gambar 3.8)
Tabel 3.7 Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962), modifikasi
dari Embry and Klovan (1971)
Gambar 3.7. Klasifikasi batupasir menurut Pettijohn (1975)
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
45
Gambar 3.8. Klasifikasi batuan piroklastik menurut Fisher (1966)
3.2.3. Struktur Geologi
Dalam mempelajari struktur yang berkembang pada daerah penelitian dan
untuk mencoba menerangkan proses dan mekanisme struktur pada daerah
penelitian dilakukan pendekatan dengan model struktur yang dikemukakan oleh
Moody dan Hill (1976) (Gambar 3.9). Konsep tersebut menerangkan mengenai
struktur geologi pada batuan sebagai akibat adanya gaya kompresi yang
disebabkan oleh proses tektonik atau gerak - gerak lempeng tektonik.
Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami
pergeseran melalui bidang rekahnya.Suatu sesar dapat berupa Bidang Sesar (Fault
Plane), atau rekahan tunggal.Tetapi lebih sering berupa Jalur Sesar (Fault Zone),
yang terdiri dari lebih dari satu sesar. Klasifikasi sesar umumnya berdasarkan
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
46
pergerakan blok sesar (Gambar 3.10) dan dapat dibagi menjadi beberapa kelas
sebagai berikut:
1) Umum : Normal/turun, Reverse/naik (termasuk “Thrust” sesar
anjakan/sungkup), Sesar mendatar.
2) Sifat Pergeseran : Slip (gerak sebenarnya), Separation (gerak semu).
3) Sifat gerak terhadap bidang sesar : Dip slip, Strike slip, Oblique
Gambar 3.9 Model Struktur Geologi (Moody dan Hill 1967)
Foot wallblock
Rotationalfaults
Hanging wallblock
F. Sinistral-reverse
Foot wallblock
G.E. Sinistral-normal
Hanging wallblock
Oblique-slipfaults
Dip-slipfaults
Dip-slipfaults
B. Thrust D. Left-lateral, or sinistralA. Normal C. Right-lateral, or dextral
Gambar 3.10. Pergerakan relatif blok-blok sesar (Twiss dan Moore, 1992)
Tugas Akhir Tipe I BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Al-Hussein Flowers Rizqi / 410009047
47
Lipatan dijumpai dalam berbagai bentuk (geometri), yang disebut sebagai
“fold style” dan ukuran. Variasi geometri lipatan terutama tergantung pada sifat
dan keragaman bahan, dan asal kejadian mekanik pada saat proses
perlipatan.Secara umum terdapat “antiform”, bentuk tertutup keatas dan
“synform”, bentuk tertutup kebawah. Suatu antiklin adalah bentuk lipatan dengan
bagian lapisan tertua pada inti (sisi cekung permukaan lipatan) sedangkan sinklin
dengan bagian termuda pada inti. Lipatan dapat diklasifikasikan secara diskriptif
atau secara geometris. Klasifikasi ini didasarkan pada kedudukan dari bidang
sumbu (axial plane/surface) dan garis sumbu (fold axis). Contoh : lipatan tegak,
lipatan miring, lipatan menunjam dan sebagainya (Gambar 3.11).
Recumbent
Moderately inclinedhorizontal
Moderately inclinedmoderately plunging
Reclined
Inflectionsurface
Upright moderately plunging
Vertical
Recumbent
Dip or axial surface
90 80 60 30 10 0
Simply inclined Moderately inclined Gently inclined
90
Upright
All folds below thisline are 'reinclined'
90
Sub horizontal
10
Gently plunging
30
60
Moderately plunging
80
Sleeply plunging
Plu
ng
e
of
fo
ld
hin
ge
vertical foldsSub vertical
Upright horizontal
Inflectio
n line
Hinge line
Inflectionsurface
Axial surface traceon a vertical plane
Axialsurface
Fold II
Fold I
Axial surface
Axial surfaceAxial surface
Axial surfacetrace on ahorizontalplane
Hinge line
Fol
ding
axi
s
Hin
ge li
ne
Gambar 3.11 Geometri dan nomenclature struktur perlipatan (Twiss dan
Moore, 1992)