bab iii - smpn 2 rantau selamat kabupaten aceh timur ... · web viewkarena itu, penelitian ilmu...

36
BAB III ISLAM SEBAGAI SARANA STUDI DAN PENELITIAN A. ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI Islam merupakan agama yang memiliki ajaran- ajaran yang sangat holistic dan komprehensif. Ajaran- ajaran itu menjangkau seluruh tatanan aspek kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan seluruh ajarannya memiliki relevansi terhadap fitrah manusia. Ajaran- ajaran yang begitu luas dan mendalam itu dapat dibingkai menjadi kaplingan ilmu-ilmu yang memiliki ciri khas tersendiri sesuai dengan disiplinnya. Dari sudut kapling ilmu-ilmu inilah Islam memiliki keunggulan, karena keberadaanya sebagai objek studi mudah dikaji secara mendalam dan akurat bagi setiap orang yang memiliki minat dalam pengkajian Islam. Islam sebagai objek studi dapat dibedakan ke dalam tiga aspek, yakni sebagai berikut : 1. Islam sebagai sumber (mashdar), yaitu pengkajian Islam yang berpusat kepada isi kandungan materi

Upload: duongdieu

Post on 25-Apr-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB III

ISLAM SEBAGAI SARANA STUDI DAN PENELITIAN

A. ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI

Islam merupakan agama yang memiliki ajaran-ajaran yang sangat

holistic dan komprehensif. Ajaran-ajaran itu menjangkau seluruh tatanan aspek

kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan seluruh ajarannya memiliki relevansi

terhadap fitrah manusia. Ajaran-ajaran yang begitu luas dan mendalam itu dapat

dibingkai menjadi kaplingan ilmu-ilmu yang memiliki ciri khas tersendiri sesuai

dengan disiplinnya. Dari sudut kapling ilmu-ilmu inilah Islam memiliki

keunggulan, karena keberadaanya sebagai objek studi mudah dikaji secara

mendalam dan akurat bagi setiap orang yang memiliki minat dalam pengkajian

Islam.

Islam sebagai objek studi dapat dibedakan ke dalam tiga aspek, yakni

sebagai berikut :

1. Islam sebagai sumber (mashdar), yaitu pengkajian Islam yang berpusat

kepada isi kandungan materi Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw,

yang kedudukan sebagai sumber utama ajaran Islam. Apa saja dimensi

kehidupan manusia yang hendak dikaji oleh setiap orang dalam sudut

pandang Islam, maka bahan bedah materinya adalah Al-Qur’an dan

Sunnah. Kedua sumber ini adalah landasan asasi bagi setiap pihak yang

ingin mengkaji ajaran Islam.

2. Islam sebagai pemikiran, yaitu mengkaji Islam yang telah mengalami

pengembagan dengan berpusat pada hasil olah-pikir para ulama dan

cendikiawan muslim tentang masalah tertentu, sebagai perluasan

pemahaman terhadap keumuman konsep Al-Qur’an dan Hadis Nabi

Muhammad Saw. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu fikih,

ushul fikih, ilmu kalam, ushuluddin, tasawuf, dan sebagainya.

3. Islam sebagai pengamalan, yaitu pengkajian Islam yang lebih terfokus

pada pengejewatahan/aplikasi nilai-nilai keIslaman dalam praktek

kehidupan nyata sehari-hari. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh

ilmu tarbiyah (pendidikan), ilmu dakwah, ilmu seni, ilmu kedokteran,

ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan sebagainya.

B. AGAMA SEBAGAI GEJALA BUDAYA DAN GEJALA SOSIAL

Pada awalnya ilmu hanya ada dua : ilmu kealaman dan ilmu budaya.

Ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi, dan lain-lain mempunyai tujuan

utama mencari hukum-hukum alam dan mencari keteraturan-keteraturan yang

terjadi pada alam. Suatu penemuan yang dihasilkan oleh seseorang pada suatu

waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain

pada waktu yang berbeda, dengna memperhatikan gejala sesak. Contoh, kalau

sekarang air mengalir dari atas, besok kalau dites lagi juga begitu. Itulah itu dari

penelitian dalam ilmu-ilmu eksakta, yakni mencari keterulangan dari gejala-

gejala, yang kemudian diangkat menjadi teori dan hukum.

Sebaliknya, ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi unik.

Contoh, budaya Kraton Yogya unik buat Yogya, batu nisan seorang tokoh sejarah

unik untuk yang bersangkutan, dan sebagainya. Disini tidak ada keterulangan.

Kemudian, diantara penelitian kealaman dan budaya itu terdapat

penelitian ilmu-ilmu sosial. Penelitian ilmu sosial berada di antara ilmu budaya

dan ilmu kealaman, yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang

tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Karena itu, penelitian ilmu sosial

mengalami problem dari segi objektivitasnya. Benarkah hasil penelitian sosial itu

objektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Dalam menjawab pertanyaan

ini ada dua aliran. Pertama, aliran bahwa penelitian sosial lebih dekat kepada

penelitian budaya, berarti sifatnya unik. Kedua, aliran yang mengatakan bahwa

ilmu sosial lebih dekat pada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat

berulang terjadinya dan dapat dites kembali. Kalau suatu kelompok masyarakat

diberikan suatu stimulan, dan mereka kemudian memberikan reaksi tertentu itu

dapat berulang pada kelompok masyarakat lain dengan stimulan yang sama.

Karena itu, kata pendapat kedua, ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman,

sebab ternyata juga mempunyai keteraturan-keteraturan. Untuk mendukung

pendapat mengenai keteraturan itu, dalam ilmu sosial digunakan ilmu-ilmu

statistik yang juga digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman. Maka sekarang ada ilmu

statistic khusus untuk ilmu-ilmu sosial, untuk mengukur gejala-gejala sosial

secara lebih cermat dan lebih baku.

Inti ilmu kealaman adalah postivisme. Sesuatu itu baru dianggap sebagai

ilmu kalau diamati (observable), dapat diukur (measurable) dan dapat dibuktikan

(verifiable). Sebaliknya ilmu budaya hanya dapat diamati, kadang-kadang tidak

dapat diukur, apalagi diverivikasi. Ilmu sosial yang memandang dirinya lebih

dekat kepada ilmu alam mengatakan bahwa ilmu sosial dapat diamati, diukur dan

diverifikasi. Untuk itu, para pakar sosiologi Universitas Chicago mengembangkan

sosiologi kuantitatif yang lebih menekankan pada perhitugan-perhitungan

statistik. Di kalangan sosiologi Indonesia juga ada dua kelompok: kelompok

kualitatif dan kelompok kuantitatif. Keduanya mempunyai kelemahan dan

kekuatan.

Timbulnya pertanyaan: Bisakah agama didekati secara kualitatif atau

kuantitatif ? jawabannya, bisa. Agama bisa didekati secara kuantitatif dan

kualitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung agama yang sedang diteliti itu

dilihat sebagai gejala apa.

Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita

hendak mempelajari suatu agama. Pertama, Scripture atau naskah-naskah sumber

ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut, pemimpin atau pemuka

agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya, ketiga, ritus-

ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan

dan waris. Keempat, alat-alat seperti mesjid, gereja, lonceng, peci, dan

semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut

agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis,

Gejera Khatolik, Gereja Protestan, Syi’ah, dan lain-lain.

Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa

dari lima bentuk gejala ini. Orang boleh mengambil tokohnya, seperti

K.H.A. Dahlan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Harun Nasution dan lain-

lain sebagainya sasaran studinya. Studi semacam ini biasanya membahas tentang

kehidupan dan pemikiran tokoh itu, termasuk bagaimana tokoh itu mencoba

memahami dan mengartikulasikan agama yang diyakininya.

Dalam penelitian mengenai naskah atau sumber-sumber ajaran agama

yang pertama diteliti adalah persoalan fiologi, dan kedua adalah isi naskah yang

ada. Misalnya, dalam Islam membahas Al-Qur’an dan isinya, kritik atas

terjemahan orang lain, kitab tafsir atau penafsiran orang seseorang, kitab hadis,

naskah-naskah sejarah agama, dan sebagainya. Orang dapat pula meneliti ajaran

atau pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah suatu agama

(Islam).

Kalau orang hendak meneliti peralatan agama, maka tergantung alat apa

yang akan diteliti. Kalau yang hendak diteliti adalah ka’bah, alat ritus dalam

Islam, misalnya orang dapat meneliti sejarah ka’bah, kapan didirikan, siapa yang

membangun, bagaimana bentuknya, berapa tingginya, berapa lebar kelambunya,

dari bahan apa kelambunya dibuat, dan sebagainya.

Demikianlah alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian. Namun

perlu diperhatikan, bahwa ada yang betul-betul alat agama, dan ada yang

sebenarnya dianggap sebagai alat agama. Misalnya peci, dikampung, kalau orang

pergi ke mesjid tidak memakai peci dianggap kurang Islam. Tetapi ternyata peci

juga digunakan untuk upacara sumpah jabatan dan dipakai bukan hanya oleh

orang Islam. Bahkan didaerah batak (Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah,

Simalungun, Dairi dan sekitarnya) yang penduduknya banyak beragama Kristen,

umumnya mereka juga memakai peci. Jadi konsep peci yang dikampung tadi

dianggap sebagai alat agama ternyata berbenturan dengan konsep peci ditempat

lain. Ditempat lain, peci lebih bersifat symbol kebangsaan daripada keagamaan.

Dalam Islam juga terjadi hak yang sama. Di dunia ini sebenarnya tidak

ada yang sakral. Di dalam konsep Islam benda-benda sakral sebenarnya tidak ada.

Mengenai hubungan orang muslim dengan Hajar Aswad, misalnya, Umar Bin

Khattab mengatakan: “Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak

akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu sama dengan batu-batu yang lain”.

Dari peristiwa ini maka nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak

pada kepercayaan oran Islam yang ada didalamnya. Islam tentu mensakralkan

wahyu Allah. Tetapi ada perbedaan, apakah wahyu itu tulisan, yang dibacakan,

atau isinya. Jika yang disebut wahyu itu adalah isi atau bacaannya, maka bentuk-

bentuk tulisan Al-Qur’an atau penggambaran titik dan harkat, apalagi kaligrafi Al-

Qur’an, adalah jelas merupakan gejala budaya yang dapat dijadikan objek

penilaian.

Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada

konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama mempunyai

hubungan timbal-balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi

agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama

mempelajari bukan sosial hubungan timbal-balik itu, melainkan lebih kepada

pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga

pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa

lahirnya teori Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah Wal Jama’ah sebagai produk

pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tapi anggapan bahwa Ali

sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik.

Oleh karena itu, dapat diteliti bagaimana perkembangan masyarakat

industri mempengaruhi keagamaan. Contohnya: Seseorang hidup dikampung dan

disebelah rumahnya dekat dengan mesjid. Jika ia tidak pernah kelihatan shalat

Jum’at disitu, ia dianggap kurang saleh dan kurang beragama. Lain halnya kalau

kita berkehidupan dikota, apabila kita tidak melakukan shalat Jum’at, maka orang

hanya berpandangan biasa, dan tidak dianggap sebagai orang yang kurang

pendidikan agama.

Contoh lain dan ini sekaligus menjadi tantangan para pemuka agama.

Sekarang di Jawa Timur sudah ada usulan agar pabrik beroperasi selama 24 jam

tanpa henti. Sementara shalat Jum’at yang konvensional dikerjakan di satu tempat

hanya satu kali. Kalau pabrik harus berhenti selama shalat Jum’at, akan

menimbulkan kerugian atau mengurangi produktivitas. Pertanyaanya, bagaimana

kalau shalat Jum’at dilakukan secara bergantia. Misalnya, ada pelaksanaan shalat

Jum’at jam 12 wib, ada yang jam 13.00 wib, dan ada pula yang jam 14.00 wib.

Dengan demikian, pabrik akan berjalan terus menerus. Kalau shalat Jum’at

bergiliran itu dijawab tidak boleh, kita berarti berpendapat bahwa Islam tidak

mengakomodir perkembangan industri. Padahal waktu Zuhur itu mulai dari jam

12.00 wib, sampai jam 15.30 wib. Memang belum ada yang memfatwakan seperti

itu. Hanya saja perlu dipertimbangkan, maka kira-kira lebih baik antara tidak

shalat Jum’at dengan shalat Jum’at secara bergiliran. Lagi pula kalau

diperhatikan, sebetulnya secara tidak langsung kita telah melakukan shalat Jum’at

secara bergiliran juga. Sebab mesjid IAIN, misalnya, berhenti shalat Jum’at pada

jam 12.30 wib, Mesjid sebelahnya jam 12.40 wib. Mesjid sebelahnya lagi jam

12.50 wib, dan seterusnya. Hanya saja pergiliran disini tidak disengaja dan

perbedaan waktunya hanya sedikit.

Sekedar contoh dari tuntutan seperti ini adalah shalat Idul Fitri di Los

Angles, Amerika Serikat. Di kota ini, yakni di Islamic Centernya shalat Idul Fitri

jam 07.00 dan ada yang jam 09.00 ditempat yang sama, sebab kalau semua datang

pada waktu yang bersamaan, tempat parkirnya tidak cukup, karena hampir semua

orang membawa kendaraan. Pertanyaannya, sahkah shalat Idul Fitri dilakukan

secara bergiliran ? jawabannya sah. Alasannya, bahwa shalat Idul Fitri adalah

waktu Dhuha. Jadi sepanjang waktu dhuha shalat tersebut sah hukumnya. Di

Indonesia belum ada kebutuhan untuk itu, karena tempat parkir masih cukup luas.

Di Negara-negara industri seperti tadi, di Negara-negara dimana tempat (space)

sudah menjadi kesulitan tersendiri, tuntutan-tuntutan itu ada. Perkembangan

masyarakat seperti ini memerlukan dan menuntut pemikiran-pemikiran agama

baru, dalam hal ini dibidang hukum ibadat. Perbedaan geografi dan wilayah juga

dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang menuntut pemikiran baru

keagamaan, yang selanjutnya dapat menjadi sasaran penelitian.

C. ISLAM SEBAGAI PRODUK SEJARAH DAN SASARAN PENELITIAN

Perlu ditegaskan, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk

sejarah. Diatas sudah disebutkan, teologi Syi’ah adalah bagian dari wajah Islam

produk sejarah. Konsep khulafah al-Rasyid adalah produk sejarah, karena nama

ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah dan

modern adalah produk sejarah. Orang dapat berkata, andaikata Islam tidak terus di

Spanyol, sejarahnya lain lagi. Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya

Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain pula. Andaikata Inggris tidak datang ke

India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah produk sejarah,

paham Muktazilah, kembali kepada pemikiran, sebetulnya juga produk sejarah.

Andaikata Khalifah Harus al-Rasyid tidak meminta Imam Malik

menulis al-Muwatta’, kitab hadis semacam itu mungkin tidak ada. Karena itu Al-

Muwatta’ sebagai kumpulan hadis juga merupakan produk sejarah. Sejarah

politik, ekonomi dan sosial Islam, sejarah regional Islam di Pakistan, di Asia

Tenggara, di Indonesia. Di Brunai Darussalam dan dimanapun juga adalah bagian

dari Islam sebagai produk sejarah. Demikian juga filsafah Islam, kalam, fikih,

ushul fikih juga produk Islam sejarah. Akhlak sebagai ilmu, adalah produk

sejarah. Akhlak sebagai nilai yang bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu

yang disistematisir akhlak adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik,

tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, musik, bentuk-bentuk mesjid Timur

Tengah dan di Jawa, bentuk pagoda di Jawa merupakan bagian kebudayaan Islam

yang dapat dijadikan objek studi dan penelitian. Demikian juga seni dan metode

bacaan Al-Qur’an yang berkembang di Indonesia adalah produk sejarah. Naskah-

naskah Islam, seperti undang-undang malaka, serat-serat keagamaan di berbagai

tempat, seperti di Jawa dan diluar Jawa, Maroko, Kairo, dan dimana-maan adalah

produk sejarah.

Demikianlah, banyak bangunan pengetahuan kita tentang Islam,

sebenarnya adalah produk sejarah. Karena itu, semuanya dapat dan perlu

dijadikan sasaran penelitian.

BAB IV

AGAMA DALAM PENELITIAN BUDAYA DAN SOSIAL

A. AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA

Terlebih dahulu dicatat, bahwa dengan meletakkan agama sebagai

sasaran penelitian budaya tidaklah berarti agama yang diteliti itu adalah hasil

kreasi budaya manusia; sebagian agama tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan.

Adapun yang dimaksudkan adalah bahwa pendekatan yang digunakan disitu

adalah pendekatan penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian budaya.

Yang termasuk penelitian budaya, seperti disinggung sebelumnya adalah

penelitian tentang naskah-naskah (filologi), alat-alat ritus keagamaan, benda-

benda purbakala agama (arkeologi), sejarah agama, nilai-nilai dan mitos-mitos

yang dianut para pemeluk agama, dan sebagainya.

Kalau sebelumnya dikemukakan beberapa contoh dengan uraian singkat,

pada bagian ini ditulis contoh lain dengan uraian yang lebih panjang, yakni contoh

penelitian sejarah. Dalam contoh ini, akan dianalisis naskah-naskah yang ada.

Contoh yang akan diuraikan dalam kasus ini adalah penelitian tentang naskah

Sirah Ibn Hisyam tentang orang yang pertama masuk Islam.

Para sejarawan berbeda pendapat mengenai siapa orang yang pertama

dari sahabat Nabi yang masuk Islam. Ada yang mengatakan khadijah, ada yang

mengatakan Ali bin Abi Thalib, dan ada yang mengatakan Abu Bakar Sidiq, dan

ada juga yang menunjuk Zaid bin Haris. Sebab utama munculnya perselisihan

pendapat dikalangan sejarawan adalah karena dengan mendapat status sebagai

sahabat pertama yang masuk Islam, ia memiliki kehormatan tersendiri. Dalam hal

ini yang kita bahas adalah satu sumber sejarah yang berjudul Sirah al-Nabi, karya

Abdul Malik bin Hisyam (atau terkenal dengan Ibnu Hisyam) yang ditulis pada

abad ke-8 H. dalam buku itu dikatakan bahwa sahabat pertama yang masuk Islam

adalah Ali bin Abi Thalib, tanpa menyebut-nyebut nama Khadijah.

Adapun konsep metodelogi yang diuji dan ditetapkan disini meliputi

sejarawan dan fakta yang dimilikinya, proses seleksi dari fakta-fakta kesejarahan

itu, baik yang bersifat kritik eksternal maupun internal, dan seberapa jauh

sejarawan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat atau kelompok

masyarakat tertentu mempunyai dampak terhadap penafsiran sejarahnya.

Ada beberapa pendekatan dalam memahami dan menafsirkan sejarah

Islam selama ini, diantarannya adalah sebagai berikut :

1. Idealist Approach, yaitu memahami dan menafsirkan sejarah Islam

dengan cara mengidealisasikannya sedemikian rupa sehingga seolah-olah

dalam sejarah itu tidak ada cacatnya. Masa Khulafa al-Rasyidin, misalnya,

dianggap sebagai masa tak tercatat, meskipun kita mengetahui bahwa

disana terjadi juga pembunuhan khalifah dimasa itu. Pendekatan ini

biasanya dimiliki oleh orang Islam yang nalarnya tertutup.

2. Reductionist Approach, yaitu usaha memahami dan menafsirkan sejarah

Islam dengan mengurangi apa yang semestinya. Pendekatan ini biasanya

dimiliki oleh para orientalis dan musuh Islam.

Kedua pendekatan itu sama-sama mempunyai kelemahan karena tidak

objektif. Sekarang ini perlu dikembangkan pendekatan baru yang objektif dan

mampu melihat sumber-sumber sejarah sebagaimana adanya, tanpa menambah

atau mengurangi. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sejarahwan muslim yang

mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.

Dari segi materi, sejarah Islam seringkali lebih dilihat sebagai sejarah

politik, bahkan kadang-kadang menjadi sejarah etnik tertentu. Cara pandang

demikian tentu kurang tepat. Untuk itu, sudah waktunya dikembangkan

pendekatan lain seperti regional approach. Dengan pendekatan-pendekatan baru

ini diharapkan sejarah Islam akan dapat dilihat secara lebih komprehensif, dan

Islam tidak menjadi indentik dengan politik atau etnik tertentu, suatu kesalahan

yang sudah lama terjadi.

B. AGAMA SEBAGAI SENDI SASARAN PENELITIAN SOSIAL

1. Letak Ilmu Sosial

Umumnya, orang berpendapat bahwa ilmu sosial terletak

diantara ilmu alam dan ilmu budaya. Hanya saja orang berbeda pendapat

mengenai letak yang sebenarnya, apakah ilmu sosial lebih dekat kepada

ilmu alam atau ilmu budaya. Kuam strukturalis, termasuk didalamnya

sebagian antropolog, cenderung meletakkan ilmu sosial lebih dekat kepada

ilmu budaya. Mereka melihat, tingkah laku sosial pada dasarnya selalu

mengacu kepada aturan-aturan tingkah laku (ruler of behavior) yang

berdasarkan atas pola ideal yang bersumber dari nilai. Karena itu, kunci

memahami masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat

itu, sehingga mereka lupa bahwa nilai itu sendiri merupakan produk

interaksi sosial juga. Karena itu, muncul kaum positivis yang berpendapat

bahwa memahami masyarakat dengan memahami nilainya merupakan

perbuatan yang menduga-duga. Dalam hal ini mereka melihat metode

verstehen juga sebagai perbuatan menduga-duga yang tak berdasar secara

ilmiah. Bagi kaum positivis, memahami masyarakat haruslah dengan

mengamati apa yang dapat dilihat, diukur dan dibuktikan sebagaimana

halnya dalam ilmu pengetahuan alam. Kaum positivis meletakkan ilmu

sosial lebih dekat kepada ilmu pengetahuan alam. Prof. D.C. Marsh, guru

besar dari University of Nottingham, dalam sebuah entrinya tentang sosial

science dalam buku A Dictionary of Sociology, yang diedit oleh Profesor

G. Duncan Mitchell dari jurusan Sosiologi University of Exeter,

menyatakan bahwa: “Sosial science refers to the application of scientific

methods to the study of the intricate and complex network of human

relationship and the forms of organization designed enable peoples to live

together ini societies”

Ilmu sosial menunjukkan kepada penerapan metode ilmiah

untuk mempelajari jaringan-jaringan hubungan manusia yang pelik dan

rumit, dan bentuk-bentuk organisasi yang dimaksudkan agar orang dapat

hidup bersama dalam masyarakat.

2. Ilmu Sosial dan Teori

Perbedaan pandangan antara kaum strukturalis dan kuam

positivis ini perlu dikemukakan karena mempunyai dampak langsung

terhadap perbedaan tingkatan penggunaan teori dan pemilihan metode

penelitian. Para ahli ilmu sosial, khususnya para sosiolog, sependapat

bahwa teori merupakan perlengkapan ilmu yang sangat berguna, mengutip

pendapat Prof. Goode dan Hatt, teori sedikitinya berfungsi untuk :

1) Mendefinisikan orientasi utama dari suatu cabang ilmu dengan

mengarahkan bentuk-bentuk data mana yang perlu diabstraksikan.

2) Menawarkan suatu kerangka konseptual untuk mengarahkan fenomena

mana yang perlu disitematisasikan, diklasifikasikan, dan dihubungkan

satu sama lain.

3) Meringkaskan sejumlah fakta menjadi generalisasi dan sistem

generalisasi

4) Meramal fakta, dan

5) Menunjukkan kesenjangan yang ada dalam pengetahuan.

Para ahli ilmu sosial lain berpendapat bahwa penggunaan teori

dalam suatu penelitian tidak perlu. Barney g. Glaser dan Anselm Stauss,

dalam buku mereka berjudul The Discovery of Grounded Theory (Aldine

Press, 1967) mengatakan, suatu penelitian sosial tidak perlu dan tidak

boleh beranjak dari suatu teori, karena penelitian itu justru yang harus

melahirkan teori. Bahkan Glaser dan Strauss menyatakan, menggunakan

suatu hipotesis pun tidak diperlukan. Menurut pendapat mereka, penelitian

yang beranjak dari suatu hipotesis mengakibatkan hasil atau penemuan

yang cenderung sempit, yaitu menerima atau menolak hipotesis tersebut

dan tertutup kemungkinan menghasilkan guru baru. Glaser Strauss tidak

menolak perlunya hipotesis dalam penelitian, tetapi hipotesis yang mereka

maksud adalah yang dibangun atas dasar data yang diperoleh setelah

mengadakan penelitian lapangan dan bukan diperoleh setelah mengadakan

penelitian lapangan dan bukan dirumuskan dibelakang meja sebelum

penelitian dimulai. Beberapa hipotesis mungkin jatuh bangun selama

penilaian lapangan berlangsung, dan hipotesis yang tetap tegak yang

ditopang oleh data akhir dari lapangan penelitian itulah yang akan menjadi

hasil penelitian, dan sekaligus itulah teori hasil penelitian. Inilah yang

disebut Glaser dan Strauss dengan grounded theory.

Kalau demikian, dimana peranan literatur tentang teori dalam

penelitian seperti itu? Jawabnya, teori hanya berfungsi mempertajam

kepekaan (insight) si peneliti dalam melihat data. Pendapat Glaser dan

Strauss tentang grouded theory ini sebenarnya merupakan protes bahkan

pemberontakan terhadap orang-orang seperti Talcott Parsons yang oleh

sebagian antropolog seperti tukang sulap, karena kesukaannya

merumuskan teori dengan spekulasi tanpa mendasarkan pada data empirik.

Sebagian ahli ilmu sosial yang lainnya mempunyai pandangan

yang lebih mengikat tetang teori. Bagi golongan ini, teori dapat dijadikan

titik tolak penelitian untuk membatasi pengertian konsep-konsep, bahkan

mengarahkan data apa yang perlu dikumpulkan, sehingga timbulah

persoalan-persoalan validitas dan reliabilitas. Akibat lebih lanjut,

penelitian seperti ini cenderung menjadi kuantitatif. Tetapi perlu dicatat,

tidak semua penelitian kuantitatif memerlukan teori sebagaimana yang

telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya yang melahirkan teori itu.

3. Grounded Research : Sebuah Contoh Metode Penelitian Sosial.

Salah satu metode penelitian sosial yang dapat digunakan dalam

penelitian agama adalah grounded research, metode grounded research

adalah metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori

melalui data yang diperoleh secara sistematis dengan menggunakan

metode analisis komparatif konstan. Dari definisi tersebut terlihat ada tiga

hal pokok yang menjadi ciri gruouded research, yaitu :

~ Adanya tujuan menemukan atau merumuskan teori

~ Adanya data sistematik

~ Dipergunakannya analisa komparatif konstan.

C. Tujuan Merumuskan Teori

Merumuskan teori atas dasar data yang diperoleh merupakan tujuan

utama dalam grounded research dan merupakan alternative lain dari metode-

metode penelitian sosial yang ada selama ini, yang sering lebih bersifat verifikatif.

Ada beberapa pertimbangan yang mendorong grounded research untuk

merumuskan teori, yaitu :

a. Menilai kegunaan suatu teori harus juga dilihat dari segi bagaimana

dahulunya teori itu dirumuskan, disamping penilian tentang keruntuhan

logika, kejelasan, kehematan, kepadatan, keutuhan, dan

operasionalisasinya.

b. Penelitian-penelitian sosial, khususnya sosiologi, selama ini lebih banya

bersifat membuktikan kebenaran teori yang telah ada (verifikatif) dan

kurang memberikan perhatian bagi penjelmaan teori baru. Hal ini akan

berakibat mandegnya pemuculan teori-teori. Sedangkan perkembangan

sosial itu sendiri tidak pernah akan berubah.

c. Teori yang didasarkan atas data akan tahan lama dan sulit diubah

walaupun setiap teori memerlukan perubahan atau reformulasi, seperti

teori Birokrasinya weber dan teori Suicide-nya Durkheim, sebaliknya,

teori-teori atas dasar dedukasi logis (bukan atas dasar data) yang

didasarkan pada asumsi yang melayang (ungrouded assumptions) dapat

menyesatkan para pemakainya.

d. Teori yang dihasilkan oleh grounded research berdasar pada data, karena

itu ia disebut dengan teori berdasar (grounded theory). Keuntungan

grounded theory dibandingkan dengan teori dedukatif logis(logis

deductive theory), ia dapat mencegah pemunculan dan penggunaan teori

secara oportunistik karena selalu didasarkan dan dikendalikan oleh data.

e. Penelitian verifikasi bertitik tolak dari suatu hipotesis atau teori yang telah

dirumuskan sebelum penelitian dilakukan dan kemudian dibuktikan

kebenarannya melalui penelitian. Sebaliknya, grounded research tidak

bertolak dari suatu hipotesis atau teori, hipotesis justru muncul setelah

penelitian dilakukan dan teori dibangun pada akhir penelitian. Dalam

grouded research, pengetahuan teori yang dimiliki peneliti hanyalah

untuk mempertajam kepekaan penelitian dalam melihat suatu data.

Dengan demikian, grounded research akan memberikan kemungkinan

yang lebih luas bagi jenis atau warna teori yang akan muncul, sedangkan

dalam penelitian verifikatif kemungkinan itu hanya dibatasi untuk

menjawab benar atau tidaknya hipotesis atau teori yang telah dicanangkan.

Prosedur suatu penelitian atas dasar grounded research secara singkat

dapat disebutkan dalam lima langkah sebagai berikut :

1. Menemukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial yang

hendak diperbandingkan yang sekaligus akan menjadi sumber data,

biasanya termasuk penentuan informan pangkal (key informan).

2. Data yang diperoleh (melalui teknik-teknik pengumpulan data yang

digunakan) diklasifikasikan dengan cara mencari persamaan dan

perbedaannya sehingga melahirkan kategori-kategori. Kategori adalah

hasil dari data setelah diklasifikasikan, tetapi ia bukan data itu sendiri.

3. Kategori-kategori tersebut (setelah diketahui sifat-sifatnya) kemudian

dihubungkan satu sama yang lain sehingga melahirkan hipotesis-hipotesis.

4. Hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain sehingga

melahirkan hipotesis-hipotesis.

5. Hipotesis-hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain

sehingga melahirkan jalur-jalur kecenderungan yang lebih umum yang

akan menjadi inti dari teori yang akan muncul.

Analisis Kompratif

Yang dimaksud dengan analisis kompratif ialah, bahwa analisis terhadap

setiap data atau kategori yang muncul selalu dilakukan dengan cara

meperbandingkannya satu sama lain, dengan analisis komparatif tidak perlu

dibayangkan bahwa lokasi penelitian harus luas dan berserak-serak karena analis

komparatif dapat digunakan untuk segala ukuran unit sosial. Prinsipnya kerja

metode analisis ini terdiri atas dua tahap pokok, yaitu :

~ Memperbandingkan setiap data untuk memunculkan berbagai kategori.

~ Memperbandingkan dan mengintegrasikan kategori-kategori dan sifat-

sifatnya untuk memunculkan hipotesis dan memberikan batasan teori.

Gambaran tentang beberapa gambaran yang ada dalam menganalisis

data kualitatif pada umumnya, kiranya dapat diikuti dan menjelaskan arti analisis

komparatif tersebut. Pada dasarnya, pendekatan untuk menganalisis data kualitatif

itu terdiri atas empat macam, yaitu :

~ Peneliti melakukan pengkodean terlebih dahulu baru kemudian melakukan

analisis dan bermaksud untuk menguji teori.

~ Peneliti langsung merumuskan ide-ide dan analisis secara serempak

dengan tujuan untuk merumuskan teori melalui beberapa tingkat hipotesis.

~ Peneliti melakukan pengkodean dan analisis secara serempak dengan

tujuan untuk merumuskan teori melalui beberapa tingkat.

~ Penelitian melakukan induksi analisis dengan kombinasi pendekatan

pertama dan kedua, dengan maksud merumuskan dan membuktikan teori

sekaligus. Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang menggunakan

constant comparative method yang disarankan oleh grounded research.

Beberapa contoh penelitian yang dilalukan dengan studi komparatif

tetapi bukan sebagaimana dimaksud oleh grounded research menurut Glaser dan

Strauss, antara lain: Gay Swanson, The birth of the Gods (University of Michigan

Press : 1960) dan Robert Blauner, Alienation and Freedon (University of

Chicago: 1964 ), yang keduanya dinilai menggunakan metode komperatif tetapi

untuk tujuan verifikatif; kemudian Emitai Etzioni, A comparative Analysis of

Complex Organization (Illinois Free Press: 1961) yang dinilai sebagai kombinasi

antara teori deduksi logis dan teori grouded; Cilfford Geertz, Peddlers and

Princes (University of Chicago Press: 1963), dinilai perumusan teotrinya cukup

grounded tetapi group yang diperbandingkan terlalu terbatas; dan Anselm Strauss

et al, Peychiatric Idealogis and Instritutions (Free Prees of Glencoe: 1964), yang

merumuskan teorinya dinilai cukup grounded tetapi tidak cukup integrated, dan

lain-lain.

Kekuatan dan Kelemahan Grounded Research.

Walaupun uraian singkat diatas mungkin belum dapat menjelaskan

tentang grounded research sebagai kebulatan pengertian, namun cukuplah kiranya

memberikan gambaran awal tentang celah-celah kekuatan dan kelemahan metode

penelitian ini.

Kekuatan penelitian dengan metode ini ialah, data bisa lebih lengkap

dan lebih mendalam karena langsung dianalisis, sehingga sesuatu yang dianggap

sebagai lowongan data segera akan dapat diketahui dan disempurnakan. Teori

yang akan munculpun terbuka dari kemungkinan yang lebih banyak,

dibandingkan dengan penelitian verifikatif yang hanya terbatas pada sutu

kemungkinan, yaitu menerima atau menolak hipotesis atau menolak hipotesis atau

teori yang diuji.

Kelemahan metode ini terletak pada sudutnya menentukan saat yang

tepat kapan penelitian harus berhenti, karena hipotesis yang sudah dibangun dapat

jatuh kembali berhubungan dengan datangnya data baru yang membatalkannya,

dan dapat dibangun kembali bila datang lagi data baru yang menyokongnya.

Demikianlah hipotesis jatuh bangun karena datangnya data baru, sehingga sulit

menentukan mana hipotesis yang final. Akan tetapi menurut Glaser dan Strauss,

justru disini pula letak perbedaan metode ini dari metode penelitian lain. Metode

penelitian verifikatif cenderung melihat hasil penelitian sebagai sesuatu yang

final, sendangkan grounded research melihat suatu hasil penelitian hanyalah

sebagai suatu jedah dari proses merumuskan teori yang sebenarnya tidak pernah

berakhir. Untuk inilah grounded research menawarkan prosedur yang disebut

theoretical saturation (kejenuhan teoritis) yaitu criteria untuk menetapkan kapan

harus mengakhiri pencarian data dari setiap kategori.

Kelemahan lain dari grouded research terletak pada pandangan

dasarnya, bahwa untuk memahami suatu data tidak perlu digunakan suatu teori

tertentu, melainkan semata-mata menurut kepekaan dan keluasan wawasan

(theoretical insight) peneliti. Pandangan ini agaknya didasarkan atas asumsi

bahwa seorang penelitian sosial sudah barang tentu sebelumnya telah mempelajari

dan menguasai berbagai teori sosial, khususnya menangani masalah yang

bersangkutan. Asumsi ini mungkin tepat untuk Negara-negara maju yang telah

memiliki tenaga-tenaga penelitian yang telah menguasai teori sosial. Akan tetapi

untuk Negara-negara baru berkembang yang tenaga-tenaga penelitiannya belum

memiliki penguasaan dasar teori yang cukup, maka penggunaan metode grouded

research dapat menghasilkan laporan penelitian yang tidak berbeda dengan

laporan seorang wartawan. Dari sinilah lahirnya pendapat bahwa dalam kaitannya

untuk memajukan ilmu pengetahuan sosial di Negara berkembang seperti

Indonesia, maka menggunakan metode grounded research adalah kurang tepat.

Mesjid dan Bakul Keramat: Sebuah Aplikasi Grounded Research.

Sebagai contoh penelitian agama sebagai gejala sosial yang

menggunakan metode grounded research adalah sebuah hasil peneltian yang

berjudul “Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam masyarakat

Bugis Amparita”. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok

keagamaan dimana orang Islam, orang Towano Tolitang, dan orang Tolitang

Benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan, berinteraksi atau sama lain, kadang-

kadang dalam bentuk konflik dan kandang-kadang dalam bentuk kerja sama atau

bahkan integrasi. Pada aspek kehidupan apa saja yang mendorong konflik dan

integrasi itu?

Penelitian itu menemukan, bahwa konflik antara ketiga kelompok itu

bermula dari soal keagamaan kemudian bertambah intesitas dan kempleksitasnya

setelah kemasukan unsur politik. Setelah itu berbagai pranata sosial seperti

perkawinan, pendidikan agama, aturan agama, aturan tentang makanan dan lain-

lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.