bab iii - smpn 2 rantau selamat kabupaten aceh timur ... · web viewkarena itu, penelitian ilmu...
TRANSCRIPT
BAB III
ISLAM SEBAGAI SARANA STUDI DAN PENELITIAN
A. ISLAM SEBAGAI OBJEK STUDI
Islam merupakan agama yang memiliki ajaran-ajaran yang sangat
holistic dan komprehensif. Ajaran-ajaran itu menjangkau seluruh tatanan aspek
kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan seluruh ajarannya memiliki relevansi
terhadap fitrah manusia. Ajaran-ajaran yang begitu luas dan mendalam itu dapat
dibingkai menjadi kaplingan ilmu-ilmu yang memiliki ciri khas tersendiri sesuai
dengan disiplinnya. Dari sudut kapling ilmu-ilmu inilah Islam memiliki
keunggulan, karena keberadaanya sebagai objek studi mudah dikaji secara
mendalam dan akurat bagi setiap orang yang memiliki minat dalam pengkajian
Islam.
Islam sebagai objek studi dapat dibedakan ke dalam tiga aspek, yakni
sebagai berikut :
1. Islam sebagai sumber (mashdar), yaitu pengkajian Islam yang berpusat
kepada isi kandungan materi Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw,
yang kedudukan sebagai sumber utama ajaran Islam. Apa saja dimensi
kehidupan manusia yang hendak dikaji oleh setiap orang dalam sudut
pandang Islam, maka bahan bedah materinya adalah Al-Qur’an dan
Sunnah. Kedua sumber ini adalah landasan asasi bagi setiap pihak yang
ingin mengkaji ajaran Islam.
2. Islam sebagai pemikiran, yaitu mengkaji Islam yang telah mengalami
pengembagan dengan berpusat pada hasil olah-pikir para ulama dan
cendikiawan muslim tentang masalah tertentu, sebagai perluasan
pemahaman terhadap keumuman konsep Al-Qur’an dan Hadis Nabi
Muhammad Saw. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh ilmu fikih,
ushul fikih, ilmu kalam, ushuluddin, tasawuf, dan sebagainya.
3. Islam sebagai pengamalan, yaitu pengkajian Islam yang lebih terfokus
pada pengejewatahan/aplikasi nilai-nilai keIslaman dalam praktek
kehidupan nyata sehari-hari. Pengkajian dalam aspek ini diwakili oleh
ilmu tarbiyah (pendidikan), ilmu dakwah, ilmu seni, ilmu kedokteran,
ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dan sebagainya.
B. AGAMA SEBAGAI GEJALA BUDAYA DAN GEJALA SOSIAL
Pada awalnya ilmu hanya ada dua : ilmu kealaman dan ilmu budaya.
Ilmu kealaman, seperti fisika, kimia, biologi, dan lain-lain mempunyai tujuan
utama mencari hukum-hukum alam dan mencari keteraturan-keteraturan yang
terjadi pada alam. Suatu penemuan yang dihasilkan oleh seseorang pada suatu
waktu mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat dites kembali oleh peneliti lain
pada waktu yang berbeda, dengna memperhatikan gejala sesak. Contoh, kalau
sekarang air mengalir dari atas, besok kalau dites lagi juga begitu. Itulah itu dari
penelitian dalam ilmu-ilmu eksakta, yakni mencari keterulangan dari gejala-
gejala, yang kemudian diangkat menjadi teori dan hukum.
Sebaliknya, ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang, tetapi unik.
Contoh, budaya Kraton Yogya unik buat Yogya, batu nisan seorang tokoh sejarah
unik untuk yang bersangkutan, dan sebagainya. Disini tidak ada keterulangan.
Kemudian, diantara penelitian kealaman dan budaya itu terdapat
penelitian ilmu-ilmu sosial. Penelitian ilmu sosial berada di antara ilmu budaya
dan ilmu kealaman, yang mencoba memahami gejala-gejala yang tidak berulang
tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Karena itu, penelitian ilmu sosial
mengalami problem dari segi objektivitasnya. Benarkah hasil penelitian sosial itu
objektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Dalam menjawab pertanyaan
ini ada dua aliran. Pertama, aliran bahwa penelitian sosial lebih dekat kepada
penelitian budaya, berarti sifatnya unik. Kedua, aliran yang mengatakan bahwa
ilmu sosial lebih dekat pada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat
berulang terjadinya dan dapat dites kembali. Kalau suatu kelompok masyarakat
diberikan suatu stimulan, dan mereka kemudian memberikan reaksi tertentu itu
dapat berulang pada kelompok masyarakat lain dengan stimulan yang sama.
Karena itu, kata pendapat kedua, ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman,
sebab ternyata juga mempunyai keteraturan-keteraturan. Untuk mendukung
pendapat mengenai keteraturan itu, dalam ilmu sosial digunakan ilmu-ilmu
statistik yang juga digunakan dalam ilmu-ilmu kealaman. Maka sekarang ada ilmu
statistic khusus untuk ilmu-ilmu sosial, untuk mengukur gejala-gejala sosial
secara lebih cermat dan lebih baku.
Inti ilmu kealaman adalah postivisme. Sesuatu itu baru dianggap sebagai
ilmu kalau diamati (observable), dapat diukur (measurable) dan dapat dibuktikan
(verifiable). Sebaliknya ilmu budaya hanya dapat diamati, kadang-kadang tidak
dapat diukur, apalagi diverivikasi. Ilmu sosial yang memandang dirinya lebih
dekat kepada ilmu alam mengatakan bahwa ilmu sosial dapat diamati, diukur dan
diverifikasi. Untuk itu, para pakar sosiologi Universitas Chicago mengembangkan
sosiologi kuantitatif yang lebih menekankan pada perhitugan-perhitungan
statistik. Di kalangan sosiologi Indonesia juga ada dua kelompok: kelompok
kualitatif dan kelompok kuantitatif. Keduanya mempunyai kelemahan dan
kekuatan.
Timbulnya pertanyaan: Bisakah agama didekati secara kualitatif atau
kuantitatif ? jawabannya, bisa. Agama bisa didekati secara kuantitatif dan
kualitatif sekaligus, atau salah satunya, tergantung agama yang sedang diteliti itu
dilihat sebagai gejala apa.
Ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan kalau kita
hendak mempelajari suatu agama. Pertama, Scripture atau naskah-naskah sumber
ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut, pemimpin atau pemuka
agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya, ketiga, ritus-
ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan
dan waris. Keempat, alat-alat seperti mesjid, gereja, lonceng, peci, dan
semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut
agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis,
Gejera Khatolik, Gereja Protestan, Syi’ah, dan lain-lain.
Penelitian keagamaan dapat mengambil sasaran salah satu atau beberapa
dari lima bentuk gejala ini. Orang boleh mengambil tokohnya, seperti
K.H.A. Dahlan, Muhammad Iqbal, Muhammad Abduh, Harun Nasution dan lain-
lain sebagainya sasaran studinya. Studi semacam ini biasanya membahas tentang
kehidupan dan pemikiran tokoh itu, termasuk bagaimana tokoh itu mencoba
memahami dan mengartikulasikan agama yang diyakininya.
Dalam penelitian mengenai naskah atau sumber-sumber ajaran agama
yang pertama diteliti adalah persoalan fiologi, dan kedua adalah isi naskah yang
ada. Misalnya, dalam Islam membahas Al-Qur’an dan isinya, kritik atas
terjemahan orang lain, kitab tafsir atau penafsiran orang seseorang, kitab hadis,
naskah-naskah sejarah agama, dan sebagainya. Orang dapat pula meneliti ajaran
atau pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah suatu agama
(Islam).
Kalau orang hendak meneliti peralatan agama, maka tergantung alat apa
yang akan diteliti. Kalau yang hendak diteliti adalah ka’bah, alat ritus dalam
Islam, misalnya orang dapat meneliti sejarah ka’bah, kapan didirikan, siapa yang
membangun, bagaimana bentuknya, berapa tingginya, berapa lebar kelambunya,
dari bahan apa kelambunya dibuat, dan sebagainya.
Demikianlah alat-alat agama dapat menjadi sasaran penelitian. Namun
perlu diperhatikan, bahwa ada yang betul-betul alat agama, dan ada yang
sebenarnya dianggap sebagai alat agama. Misalnya peci, dikampung, kalau orang
pergi ke mesjid tidak memakai peci dianggap kurang Islam. Tetapi ternyata peci
juga digunakan untuk upacara sumpah jabatan dan dipakai bukan hanya oleh
orang Islam. Bahkan didaerah batak (Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah,
Simalungun, Dairi dan sekitarnya) yang penduduknya banyak beragama Kristen,
umumnya mereka juga memakai peci. Jadi konsep peci yang dikampung tadi
dianggap sebagai alat agama ternyata berbenturan dengan konsep peci ditempat
lain. Ditempat lain, peci lebih bersifat symbol kebangsaan daripada keagamaan.
Dalam Islam juga terjadi hak yang sama. Di dunia ini sebenarnya tidak
ada yang sakral. Di dalam konsep Islam benda-benda sakral sebenarnya tidak ada.
Mengenai hubungan orang muslim dengan Hajar Aswad, misalnya, Umar Bin
Khattab mengatakan: “Kalau saya tidak melihat Nabi menciummu, saya tidak
akan menciummu. Kamu hanya sebuah batu sama dengan batu-batu yang lain”.
Dari peristiwa ini maka nilai Hajar Aswad bagi seorang pengamat agama terletak
pada kepercayaan oran Islam yang ada didalamnya. Islam tentu mensakralkan
wahyu Allah. Tetapi ada perbedaan, apakah wahyu itu tulisan, yang dibacakan,
atau isinya. Jika yang disebut wahyu itu adalah isi atau bacaannya, maka bentuk-
bentuk tulisan Al-Qur’an atau penggambaran titik dan harkat, apalagi kaligrafi Al-
Qur’an, adalah jelas merupakan gejala budaya yang dapat dijadikan objek
penilaian.
Mengenai agama sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada
konsep sosiologi agama. Pada zaman dahulu, sosiologi agama mempunyai
hubungan timbal-balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi
agama, dan agama mempengaruhi masyarakat. Belakangan, sosiologi agama
mempelajari bukan sosial hubungan timbal-balik itu, melainkan lebih kepada
pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimanapun juga, ada juga
pengaruh masyarakat terhadap pemikiran keagamaan. Orang tentu sepakat bahwa
lahirnya teori Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah Wal Jama’ah sebagai produk
pertikaian politik. Tauhidnya memang asli dan satu, tapi anggapan bahwa Ali
sebagai imam dan semacamnya adalah produk perbedaan pandangan politik.
Oleh karena itu, dapat diteliti bagaimana perkembangan masyarakat
industri mempengaruhi keagamaan. Contohnya: Seseorang hidup dikampung dan
disebelah rumahnya dekat dengan mesjid. Jika ia tidak pernah kelihatan shalat
Jum’at disitu, ia dianggap kurang saleh dan kurang beragama. Lain halnya kalau
kita berkehidupan dikota, apabila kita tidak melakukan shalat Jum’at, maka orang
hanya berpandangan biasa, dan tidak dianggap sebagai orang yang kurang
pendidikan agama.
Contoh lain dan ini sekaligus menjadi tantangan para pemuka agama.
Sekarang di Jawa Timur sudah ada usulan agar pabrik beroperasi selama 24 jam
tanpa henti. Sementara shalat Jum’at yang konvensional dikerjakan di satu tempat
hanya satu kali. Kalau pabrik harus berhenti selama shalat Jum’at, akan
menimbulkan kerugian atau mengurangi produktivitas. Pertanyaanya, bagaimana
kalau shalat Jum’at dilakukan secara bergantia. Misalnya, ada pelaksanaan shalat
Jum’at jam 12 wib, ada yang jam 13.00 wib, dan ada pula yang jam 14.00 wib.
Dengan demikian, pabrik akan berjalan terus menerus. Kalau shalat Jum’at
bergiliran itu dijawab tidak boleh, kita berarti berpendapat bahwa Islam tidak
mengakomodir perkembangan industri. Padahal waktu Zuhur itu mulai dari jam
12.00 wib, sampai jam 15.30 wib. Memang belum ada yang memfatwakan seperti
itu. Hanya saja perlu dipertimbangkan, maka kira-kira lebih baik antara tidak
shalat Jum’at dengan shalat Jum’at secara bergiliran. Lagi pula kalau
diperhatikan, sebetulnya secara tidak langsung kita telah melakukan shalat Jum’at
secara bergiliran juga. Sebab mesjid IAIN, misalnya, berhenti shalat Jum’at pada
jam 12.30 wib, Mesjid sebelahnya jam 12.40 wib. Mesjid sebelahnya lagi jam
12.50 wib, dan seterusnya. Hanya saja pergiliran disini tidak disengaja dan
perbedaan waktunya hanya sedikit.
Sekedar contoh dari tuntutan seperti ini adalah shalat Idul Fitri di Los
Angles, Amerika Serikat. Di kota ini, yakni di Islamic Centernya shalat Idul Fitri
jam 07.00 dan ada yang jam 09.00 ditempat yang sama, sebab kalau semua datang
pada waktu yang bersamaan, tempat parkirnya tidak cukup, karena hampir semua
orang membawa kendaraan. Pertanyaannya, sahkah shalat Idul Fitri dilakukan
secara bergiliran ? jawabannya sah. Alasannya, bahwa shalat Idul Fitri adalah
waktu Dhuha. Jadi sepanjang waktu dhuha shalat tersebut sah hukumnya. Di
Indonesia belum ada kebutuhan untuk itu, karena tempat parkir masih cukup luas.
Di Negara-negara industri seperti tadi, di Negara-negara dimana tempat (space)
sudah menjadi kesulitan tersendiri, tuntutan-tuntutan itu ada. Perkembangan
masyarakat seperti ini memerlukan dan menuntut pemikiran-pemikiran agama
baru, dalam hal ini dibidang hukum ibadat. Perbedaan geografi dan wilayah juga
dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang menuntut pemikiran baru
keagamaan, yang selanjutnya dapat menjadi sasaran penelitian.
C. ISLAM SEBAGAI PRODUK SEJARAH DAN SASARAN PENELITIAN
Perlu ditegaskan, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk
sejarah. Diatas sudah disebutkan, teologi Syi’ah adalah bagian dari wajah Islam
produk sejarah. Konsep khulafah al-Rasyid adalah produk sejarah, karena nama
ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah dan
modern adalah produk sejarah. Orang dapat berkata, andaikata Islam tidak terus di
Spanyol, sejarahnya lain lagi. Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya
Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain pula. Andaikata Inggris tidak datang ke
India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah produk sejarah,
paham Muktazilah, kembali kepada pemikiran, sebetulnya juga produk sejarah.
Andaikata Khalifah Harus al-Rasyid tidak meminta Imam Malik
menulis al-Muwatta’, kitab hadis semacam itu mungkin tidak ada. Karena itu Al-
Muwatta’ sebagai kumpulan hadis juga merupakan produk sejarah. Sejarah
politik, ekonomi dan sosial Islam, sejarah regional Islam di Pakistan, di Asia
Tenggara, di Indonesia. Di Brunai Darussalam dan dimanapun juga adalah bagian
dari Islam sebagai produk sejarah. Demikian juga filsafah Islam, kalam, fikih,
ushul fikih juga produk Islam sejarah. Akhlak sebagai ilmu, adalah produk
sejarah. Akhlak sebagai nilai yang bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu
yang disistematisir akhlak adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik,
tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, musik, bentuk-bentuk mesjid Timur
Tengah dan di Jawa, bentuk pagoda di Jawa merupakan bagian kebudayaan Islam
yang dapat dijadikan objek studi dan penelitian. Demikian juga seni dan metode
bacaan Al-Qur’an yang berkembang di Indonesia adalah produk sejarah. Naskah-
naskah Islam, seperti undang-undang malaka, serat-serat keagamaan di berbagai
tempat, seperti di Jawa dan diluar Jawa, Maroko, Kairo, dan dimana-maan adalah
produk sejarah.
Demikianlah, banyak bangunan pengetahuan kita tentang Islam,
sebenarnya adalah produk sejarah. Karena itu, semuanya dapat dan perlu
dijadikan sasaran penelitian.
BAB IV
AGAMA DALAM PENELITIAN BUDAYA DAN SOSIAL
A. AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA
Terlebih dahulu dicatat, bahwa dengan meletakkan agama sebagai
sasaran penelitian budaya tidaklah berarti agama yang diteliti itu adalah hasil
kreasi budaya manusia; sebagian agama tetap diyakini sebagai wahyu dari Tuhan.
Adapun yang dimaksudkan adalah bahwa pendekatan yang digunakan disitu
adalah pendekatan penelitian yang lazim digunakan dalam penelitian budaya.
Yang termasuk penelitian budaya, seperti disinggung sebelumnya adalah
penelitian tentang naskah-naskah (filologi), alat-alat ritus keagamaan, benda-
benda purbakala agama (arkeologi), sejarah agama, nilai-nilai dan mitos-mitos
yang dianut para pemeluk agama, dan sebagainya.
Kalau sebelumnya dikemukakan beberapa contoh dengan uraian singkat,
pada bagian ini ditulis contoh lain dengan uraian yang lebih panjang, yakni contoh
penelitian sejarah. Dalam contoh ini, akan dianalisis naskah-naskah yang ada.
Contoh yang akan diuraikan dalam kasus ini adalah penelitian tentang naskah
Sirah Ibn Hisyam tentang orang yang pertama masuk Islam.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai siapa orang yang pertama
dari sahabat Nabi yang masuk Islam. Ada yang mengatakan khadijah, ada yang
mengatakan Ali bin Abi Thalib, dan ada yang mengatakan Abu Bakar Sidiq, dan
ada juga yang menunjuk Zaid bin Haris. Sebab utama munculnya perselisihan
pendapat dikalangan sejarawan adalah karena dengan mendapat status sebagai
sahabat pertama yang masuk Islam, ia memiliki kehormatan tersendiri. Dalam hal
ini yang kita bahas adalah satu sumber sejarah yang berjudul Sirah al-Nabi, karya
Abdul Malik bin Hisyam (atau terkenal dengan Ibnu Hisyam) yang ditulis pada
abad ke-8 H. dalam buku itu dikatakan bahwa sahabat pertama yang masuk Islam
adalah Ali bin Abi Thalib, tanpa menyebut-nyebut nama Khadijah.
Adapun konsep metodelogi yang diuji dan ditetapkan disini meliputi
sejarawan dan fakta yang dimilikinya, proses seleksi dari fakta-fakta kesejarahan
itu, baik yang bersifat kritik eksternal maupun internal, dan seberapa jauh
sejarawan sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat atau kelompok
masyarakat tertentu mempunyai dampak terhadap penafsiran sejarahnya.
Ada beberapa pendekatan dalam memahami dan menafsirkan sejarah
Islam selama ini, diantarannya adalah sebagai berikut :
1. Idealist Approach, yaitu memahami dan menafsirkan sejarah Islam
dengan cara mengidealisasikannya sedemikian rupa sehingga seolah-olah
dalam sejarah itu tidak ada cacatnya. Masa Khulafa al-Rasyidin, misalnya,
dianggap sebagai masa tak tercatat, meskipun kita mengetahui bahwa
disana terjadi juga pembunuhan khalifah dimasa itu. Pendekatan ini
biasanya dimiliki oleh orang Islam yang nalarnya tertutup.
2. Reductionist Approach, yaitu usaha memahami dan menafsirkan sejarah
Islam dengan mengurangi apa yang semestinya. Pendekatan ini biasanya
dimiliki oleh para orientalis dan musuh Islam.
Kedua pendekatan itu sama-sama mempunyai kelemahan karena tidak
objektif. Sekarang ini perlu dikembangkan pendekatan baru yang objektif dan
mampu melihat sumber-sumber sejarah sebagaimana adanya, tanpa menambah
atau mengurangi. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh sejarahwan muslim yang
mempunyai kepercayaan diri yang tinggi.
Dari segi materi, sejarah Islam seringkali lebih dilihat sebagai sejarah
politik, bahkan kadang-kadang menjadi sejarah etnik tertentu. Cara pandang
demikian tentu kurang tepat. Untuk itu, sudah waktunya dikembangkan
pendekatan lain seperti regional approach. Dengan pendekatan-pendekatan baru
ini diharapkan sejarah Islam akan dapat dilihat secara lebih komprehensif, dan
Islam tidak menjadi indentik dengan politik atau etnik tertentu, suatu kesalahan
yang sudah lama terjadi.
B. AGAMA SEBAGAI SENDI SASARAN PENELITIAN SOSIAL
1. Letak Ilmu Sosial
Umumnya, orang berpendapat bahwa ilmu sosial terletak
diantara ilmu alam dan ilmu budaya. Hanya saja orang berbeda pendapat
mengenai letak yang sebenarnya, apakah ilmu sosial lebih dekat kepada
ilmu alam atau ilmu budaya. Kuam strukturalis, termasuk didalamnya
sebagian antropolog, cenderung meletakkan ilmu sosial lebih dekat kepada
ilmu budaya. Mereka melihat, tingkah laku sosial pada dasarnya selalu
mengacu kepada aturan-aturan tingkah laku (ruler of behavior) yang
berdasarkan atas pola ideal yang bersumber dari nilai. Karena itu, kunci
memahami masyarakat adalah memahami nilai yang ada pada masyarakat
itu, sehingga mereka lupa bahwa nilai itu sendiri merupakan produk
interaksi sosial juga. Karena itu, muncul kaum positivis yang berpendapat
bahwa memahami masyarakat dengan memahami nilainya merupakan
perbuatan yang menduga-duga. Dalam hal ini mereka melihat metode
verstehen juga sebagai perbuatan menduga-duga yang tak berdasar secara
ilmiah. Bagi kaum positivis, memahami masyarakat haruslah dengan
mengamati apa yang dapat dilihat, diukur dan dibuktikan sebagaimana
halnya dalam ilmu pengetahuan alam. Kaum positivis meletakkan ilmu
sosial lebih dekat kepada ilmu pengetahuan alam. Prof. D.C. Marsh, guru
besar dari University of Nottingham, dalam sebuah entrinya tentang sosial
science dalam buku A Dictionary of Sociology, yang diedit oleh Profesor
G. Duncan Mitchell dari jurusan Sosiologi University of Exeter,
menyatakan bahwa: “Sosial science refers to the application of scientific
methods to the study of the intricate and complex network of human
relationship and the forms of organization designed enable peoples to live
together ini societies”
Ilmu sosial menunjukkan kepada penerapan metode ilmiah
untuk mempelajari jaringan-jaringan hubungan manusia yang pelik dan
rumit, dan bentuk-bentuk organisasi yang dimaksudkan agar orang dapat
hidup bersama dalam masyarakat.
2. Ilmu Sosial dan Teori
Perbedaan pandangan antara kaum strukturalis dan kuam
positivis ini perlu dikemukakan karena mempunyai dampak langsung
terhadap perbedaan tingkatan penggunaan teori dan pemilihan metode
penelitian. Para ahli ilmu sosial, khususnya para sosiolog, sependapat
bahwa teori merupakan perlengkapan ilmu yang sangat berguna, mengutip
pendapat Prof. Goode dan Hatt, teori sedikitinya berfungsi untuk :
1) Mendefinisikan orientasi utama dari suatu cabang ilmu dengan
mengarahkan bentuk-bentuk data mana yang perlu diabstraksikan.
2) Menawarkan suatu kerangka konseptual untuk mengarahkan fenomena
mana yang perlu disitematisasikan, diklasifikasikan, dan dihubungkan
satu sama lain.
3) Meringkaskan sejumlah fakta menjadi generalisasi dan sistem
generalisasi
4) Meramal fakta, dan
5) Menunjukkan kesenjangan yang ada dalam pengetahuan.
Para ahli ilmu sosial lain berpendapat bahwa penggunaan teori
dalam suatu penelitian tidak perlu. Barney g. Glaser dan Anselm Stauss,
dalam buku mereka berjudul The Discovery of Grounded Theory (Aldine
Press, 1967) mengatakan, suatu penelitian sosial tidak perlu dan tidak
boleh beranjak dari suatu teori, karena penelitian itu justru yang harus
melahirkan teori. Bahkan Glaser dan Strauss menyatakan, menggunakan
suatu hipotesis pun tidak diperlukan. Menurut pendapat mereka, penelitian
yang beranjak dari suatu hipotesis mengakibatkan hasil atau penemuan
yang cenderung sempit, yaitu menerima atau menolak hipotesis tersebut
dan tertutup kemungkinan menghasilkan guru baru. Glaser Strauss tidak
menolak perlunya hipotesis dalam penelitian, tetapi hipotesis yang mereka
maksud adalah yang dibangun atas dasar data yang diperoleh setelah
mengadakan penelitian lapangan dan bukan diperoleh setelah mengadakan
penelitian lapangan dan bukan dirumuskan dibelakang meja sebelum
penelitian dimulai. Beberapa hipotesis mungkin jatuh bangun selama
penilaian lapangan berlangsung, dan hipotesis yang tetap tegak yang
ditopang oleh data akhir dari lapangan penelitian itulah yang akan menjadi
hasil penelitian, dan sekaligus itulah teori hasil penelitian. Inilah yang
disebut Glaser dan Strauss dengan grounded theory.
Kalau demikian, dimana peranan literatur tentang teori dalam
penelitian seperti itu? Jawabnya, teori hanya berfungsi mempertajam
kepekaan (insight) si peneliti dalam melihat data. Pendapat Glaser dan
Strauss tentang grouded theory ini sebenarnya merupakan protes bahkan
pemberontakan terhadap orang-orang seperti Talcott Parsons yang oleh
sebagian antropolog seperti tukang sulap, karena kesukaannya
merumuskan teori dengan spekulasi tanpa mendasarkan pada data empirik.
Sebagian ahli ilmu sosial yang lainnya mempunyai pandangan
yang lebih mengikat tetang teori. Bagi golongan ini, teori dapat dijadikan
titik tolak penelitian untuk membatasi pengertian konsep-konsep, bahkan
mengarahkan data apa yang perlu dikumpulkan, sehingga timbulah
persoalan-persoalan validitas dan reliabilitas. Akibat lebih lanjut,
penelitian seperti ini cenderung menjadi kuantitatif. Tetapi perlu dicatat,
tidak semua penelitian kuantitatif memerlukan teori sebagaimana yang
telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya yang melahirkan teori itu.
3. Grounded Research : Sebuah Contoh Metode Penelitian Sosial.
Salah satu metode penelitian sosial yang dapat digunakan dalam
penelitian agama adalah grounded research, metode grounded research
adalah metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori
melalui data yang diperoleh secara sistematis dengan menggunakan
metode analisis komparatif konstan. Dari definisi tersebut terlihat ada tiga
hal pokok yang menjadi ciri gruouded research, yaitu :
~ Adanya tujuan menemukan atau merumuskan teori
~ Adanya data sistematik
~ Dipergunakannya analisa komparatif konstan.
C. Tujuan Merumuskan Teori
Merumuskan teori atas dasar data yang diperoleh merupakan tujuan
utama dalam grounded research dan merupakan alternative lain dari metode-
metode penelitian sosial yang ada selama ini, yang sering lebih bersifat verifikatif.
Ada beberapa pertimbangan yang mendorong grounded research untuk
merumuskan teori, yaitu :
a. Menilai kegunaan suatu teori harus juga dilihat dari segi bagaimana
dahulunya teori itu dirumuskan, disamping penilian tentang keruntuhan
logika, kejelasan, kehematan, kepadatan, keutuhan, dan
operasionalisasinya.
b. Penelitian-penelitian sosial, khususnya sosiologi, selama ini lebih banya
bersifat membuktikan kebenaran teori yang telah ada (verifikatif) dan
kurang memberikan perhatian bagi penjelmaan teori baru. Hal ini akan
berakibat mandegnya pemuculan teori-teori. Sedangkan perkembangan
sosial itu sendiri tidak pernah akan berubah.
c. Teori yang didasarkan atas data akan tahan lama dan sulit diubah
walaupun setiap teori memerlukan perubahan atau reformulasi, seperti
teori Birokrasinya weber dan teori Suicide-nya Durkheim, sebaliknya,
teori-teori atas dasar dedukasi logis (bukan atas dasar data) yang
didasarkan pada asumsi yang melayang (ungrouded assumptions) dapat
menyesatkan para pemakainya.
d. Teori yang dihasilkan oleh grounded research berdasar pada data, karena
itu ia disebut dengan teori berdasar (grounded theory). Keuntungan
grounded theory dibandingkan dengan teori dedukatif logis(logis
deductive theory), ia dapat mencegah pemunculan dan penggunaan teori
secara oportunistik karena selalu didasarkan dan dikendalikan oleh data.
e. Penelitian verifikasi bertitik tolak dari suatu hipotesis atau teori yang telah
dirumuskan sebelum penelitian dilakukan dan kemudian dibuktikan
kebenarannya melalui penelitian. Sebaliknya, grounded research tidak
bertolak dari suatu hipotesis atau teori, hipotesis justru muncul setelah
penelitian dilakukan dan teori dibangun pada akhir penelitian. Dalam
grouded research, pengetahuan teori yang dimiliki peneliti hanyalah
untuk mempertajam kepekaan penelitian dalam melihat suatu data.
Dengan demikian, grounded research akan memberikan kemungkinan
yang lebih luas bagi jenis atau warna teori yang akan muncul, sedangkan
dalam penelitian verifikatif kemungkinan itu hanya dibatasi untuk
menjawab benar atau tidaknya hipotesis atau teori yang telah dicanangkan.
Prosedur suatu penelitian atas dasar grounded research secara singkat
dapat disebutkan dalam lima langkah sebagai berikut :
1. Menemukan sasaran studi dan memilih kelompok-kelompok sosial yang
hendak diperbandingkan yang sekaligus akan menjadi sumber data,
biasanya termasuk penentuan informan pangkal (key informan).
2. Data yang diperoleh (melalui teknik-teknik pengumpulan data yang
digunakan) diklasifikasikan dengan cara mencari persamaan dan
perbedaannya sehingga melahirkan kategori-kategori. Kategori adalah
hasil dari data setelah diklasifikasikan, tetapi ia bukan data itu sendiri.
3. Kategori-kategori tersebut (setelah diketahui sifat-sifatnya) kemudian
dihubungkan satu sama yang lain sehingga melahirkan hipotesis-hipotesis.
4. Hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain sehingga
melahirkan hipotesis-hipotesis.
5. Hipotesis-hipotesis itu kemudian dihubungkan lagi satu sama lain
sehingga melahirkan jalur-jalur kecenderungan yang lebih umum yang
akan menjadi inti dari teori yang akan muncul.
Analisis Kompratif
Yang dimaksud dengan analisis kompratif ialah, bahwa analisis terhadap
setiap data atau kategori yang muncul selalu dilakukan dengan cara
meperbandingkannya satu sama lain, dengan analisis komparatif tidak perlu
dibayangkan bahwa lokasi penelitian harus luas dan berserak-serak karena analis
komparatif dapat digunakan untuk segala ukuran unit sosial. Prinsipnya kerja
metode analisis ini terdiri atas dua tahap pokok, yaitu :
~ Memperbandingkan setiap data untuk memunculkan berbagai kategori.
~ Memperbandingkan dan mengintegrasikan kategori-kategori dan sifat-
sifatnya untuk memunculkan hipotesis dan memberikan batasan teori.
Gambaran tentang beberapa gambaran yang ada dalam menganalisis
data kualitatif pada umumnya, kiranya dapat diikuti dan menjelaskan arti analisis
komparatif tersebut. Pada dasarnya, pendekatan untuk menganalisis data kualitatif
itu terdiri atas empat macam, yaitu :
~ Peneliti melakukan pengkodean terlebih dahulu baru kemudian melakukan
analisis dan bermaksud untuk menguji teori.
~ Peneliti langsung merumuskan ide-ide dan analisis secara serempak
dengan tujuan untuk merumuskan teori melalui beberapa tingkat hipotesis.
~ Peneliti melakukan pengkodean dan analisis secara serempak dengan
tujuan untuk merumuskan teori melalui beberapa tingkat.
~ Penelitian melakukan induksi analisis dengan kombinasi pendekatan
pertama dan kedua, dengan maksud merumuskan dan membuktikan teori
sekaligus. Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang menggunakan
constant comparative method yang disarankan oleh grounded research.
Beberapa contoh penelitian yang dilalukan dengan studi komparatif
tetapi bukan sebagaimana dimaksud oleh grounded research menurut Glaser dan
Strauss, antara lain: Gay Swanson, The birth of the Gods (University of Michigan
Press : 1960) dan Robert Blauner, Alienation and Freedon (University of
Chicago: 1964 ), yang keduanya dinilai menggunakan metode komperatif tetapi
untuk tujuan verifikatif; kemudian Emitai Etzioni, A comparative Analysis of
Complex Organization (Illinois Free Press: 1961) yang dinilai sebagai kombinasi
antara teori deduksi logis dan teori grouded; Cilfford Geertz, Peddlers and
Princes (University of Chicago Press: 1963), dinilai perumusan teotrinya cukup
grounded tetapi group yang diperbandingkan terlalu terbatas; dan Anselm Strauss
et al, Peychiatric Idealogis and Instritutions (Free Prees of Glencoe: 1964), yang
merumuskan teorinya dinilai cukup grounded tetapi tidak cukup integrated, dan
lain-lain.
Kekuatan dan Kelemahan Grounded Research.
Walaupun uraian singkat diatas mungkin belum dapat menjelaskan
tentang grounded research sebagai kebulatan pengertian, namun cukuplah kiranya
memberikan gambaran awal tentang celah-celah kekuatan dan kelemahan metode
penelitian ini.
Kekuatan penelitian dengan metode ini ialah, data bisa lebih lengkap
dan lebih mendalam karena langsung dianalisis, sehingga sesuatu yang dianggap
sebagai lowongan data segera akan dapat diketahui dan disempurnakan. Teori
yang akan munculpun terbuka dari kemungkinan yang lebih banyak,
dibandingkan dengan penelitian verifikatif yang hanya terbatas pada sutu
kemungkinan, yaitu menerima atau menolak hipotesis atau menolak hipotesis atau
teori yang diuji.
Kelemahan metode ini terletak pada sudutnya menentukan saat yang
tepat kapan penelitian harus berhenti, karena hipotesis yang sudah dibangun dapat
jatuh kembali berhubungan dengan datangnya data baru yang membatalkannya,
dan dapat dibangun kembali bila datang lagi data baru yang menyokongnya.
Demikianlah hipotesis jatuh bangun karena datangnya data baru, sehingga sulit
menentukan mana hipotesis yang final. Akan tetapi menurut Glaser dan Strauss,
justru disini pula letak perbedaan metode ini dari metode penelitian lain. Metode
penelitian verifikatif cenderung melihat hasil penelitian sebagai sesuatu yang
final, sendangkan grounded research melihat suatu hasil penelitian hanyalah
sebagai suatu jedah dari proses merumuskan teori yang sebenarnya tidak pernah
berakhir. Untuk inilah grounded research menawarkan prosedur yang disebut
theoretical saturation (kejenuhan teoritis) yaitu criteria untuk menetapkan kapan
harus mengakhiri pencarian data dari setiap kategori.
Kelemahan lain dari grouded research terletak pada pandangan
dasarnya, bahwa untuk memahami suatu data tidak perlu digunakan suatu teori
tertentu, melainkan semata-mata menurut kepekaan dan keluasan wawasan
(theoretical insight) peneliti. Pandangan ini agaknya didasarkan atas asumsi
bahwa seorang penelitian sosial sudah barang tentu sebelumnya telah mempelajari
dan menguasai berbagai teori sosial, khususnya menangani masalah yang
bersangkutan. Asumsi ini mungkin tepat untuk Negara-negara maju yang telah
memiliki tenaga-tenaga penelitian yang telah menguasai teori sosial. Akan tetapi
untuk Negara-negara baru berkembang yang tenaga-tenaga penelitiannya belum
memiliki penguasaan dasar teori yang cukup, maka penggunaan metode grouded
research dapat menghasilkan laporan penelitian yang tidak berbeda dengan
laporan seorang wartawan. Dari sinilah lahirnya pendapat bahwa dalam kaitannya
untuk memajukan ilmu pengetahuan sosial di Negara berkembang seperti
Indonesia, maka menggunakan metode grounded research adalah kurang tepat.
Mesjid dan Bakul Keramat: Sebuah Aplikasi Grounded Research.
Sebagai contoh penelitian agama sebagai gejala sosial yang
menggunakan metode grounded research adalah sebuah hasil peneltian yang
berjudul “Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam masyarakat
Bugis Amparita”. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok
keagamaan dimana orang Islam, orang Towano Tolitang, dan orang Tolitang
Benteng di desa Amparita, Sulawesi Selatan, berinteraksi atau sama lain, kadang-
kadang dalam bentuk konflik dan kandang-kadang dalam bentuk kerja sama atau
bahkan integrasi. Pada aspek kehidupan apa saja yang mendorong konflik dan
integrasi itu?
Penelitian itu menemukan, bahwa konflik antara ketiga kelompok itu
bermula dari soal keagamaan kemudian bertambah intesitas dan kempleksitasnya
setelah kemasukan unsur politik. Setelah itu berbagai pranata sosial seperti
perkawinan, pendidikan agama, aturan agama, aturan tentang makanan dan lain-
lain berfungsi melestarikan konflik tersebut.