bab iii pengakuan negara baru

28
BAB I LEMBAGA PENGAKUAN INTERNASIONAL 1. Fungsi Pengakuan Para sarjana Hukum Internasional pada umumnya sependapat bahwa Pengakuan(Inggris : recognition, Prancis : reconnaissance, Jerman : Anerkennung) adalah suatu lembaga yang sangat penting artinya dalam hubungan antarnegara. Dalam abad ke-20 ini, tidak ada satu negara pun dapat hidup terasing dari negara-negara lainnya, dan alat-alat komunikasi modern telah mendorong menciptakan hubungan interpendensi yang erat antara negara-negara di dunia ini. Tetapi sebelum suatu negara baru dapat mengadakan hubungan yang lengkap dan sempurna dalam berbagai bidang dengan negara-negara lainnya, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dan sebagainya, terlebih dahulu harus melalui ‘pintu pengakuan’. Tapi tidak berarti tanpa pengakuan dari negara- negara lain, suatu negara baru tidak dapat melangsungkan hidupnya. Demikian pula suatu negara baru tidak dilahirkan karena adanya pengakuan yang diberikan oleh negara-negara lain. Terlepas dari pemberian pengakuan itu, negara tersebut telah memiliki atribut-atribut kedaulatan, tetapi baru setelah diakui oleh negara-negara lain, maka negara yang bersangkutan dapat menggunakan atribut-atribut kedaulatannya dengan sebaik- baiknya. Seperti dikatakan oleh sarjana Hukum Internasional Amerika yang terkenal, Moore, makna dari penegakan hukum adalah : ‘the assurance given to a

Upload: muhammad-ade

Post on 20-Jan-2016

110 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

SUKSESI

TRANSCRIPT

Page 1: Bab III Pengakuan Negara Baru

BAB I

LEMBAGA PENGAKUAN INTERNASIONAL

1. Fungsi Pengakuan

Para sarjana Hukum Internasional pada umumnya sependapat bahwa ‘Pengakuan’ (Inggris : recognition, Prancis : reconnaissance, Jerman : Anerkennung) adalah suatu lembaga yang sangat penting artinya dalam hubungan antarnegara.

Dalam abad ke-20 ini, tidak ada satu negara pun dapat hidup terasing dari negara-negara lainnya, dan alat-alat komunikasi modern telah mendorong menciptakan hubungan interpendensi yang erat antara negara-negara di dunia ini.

Tetapi sebelum suatu negara baru dapat mengadakan hubungan yang lengkap dan sempurna dalam berbagai bidang dengan negara-negara lainnya, baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dan sebagainya, terlebih dahulu harus melalui ‘pintu pengakuan’.Tapi tidak berarti tanpa pengakuan dari negara-negara lain, suatu negara baru tidak dapat melangsungkan hidupnya. Demikian pula suatu negara baru tidak dilahirkan karena adanya pengakuan yang diberikan oleh negara-negara lain. Terlepas dari pemberian pengakuan itu, negara tersebut telah memiliki atribut-atribut kedaulatan, tetapi baru setelah diakui oleh negara-negara lain, maka negara yang bersangkutan dapat menggunakan atribut-atribut kedaulatannya dengan sebaik-baiknya.

Seperti dikatakan oleh sarjana Hukum Internasional Amerika yang terkenal, Moore, makna dari penegakan hukum adalah : ‘the assurance given to a new state that it will be permitted to hold its place or rank, in the character of an independent political organism, in the society of nations’.

Dengan demikian, fungsi pengakuan adalah untuk menjamin suatu negara baru dapat menduduki tempat yang wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa, sehingga secara aman dan sempurna dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik itu akan diganggu oleh negara-negara yang telah ada.

De Visscher, seorang sarjana Hukum Internasional terkemuka berkebangsaan Belgia, mengemukakan bahwa lembaga-lembaga pengakuan Internasional itu memenuhi dua kebutuhan sosial dalam kehidupan antarnegara, “pertama, untuk tidak mengasingkan kumpulan manusia dari hubungan-hubungan Internasional; kedua, untuk menjamin kontinuitas hubungan-hubungan Internasional dengan jalan mencegah

Page 2: Bab III Pengakuan Negara Baru

adanya suatu kekosongan (vacuum) hukum yang merugikan, baik bagi kepentingan-kepentingan individu maupun bagi hubungan-hubungan antarnegara.

Menurut Chen Ti-Chiang yang telah banyak membahas masalah pengakuan dalam bukunya ‘The International Law of Recognition’, umumnya diakui bahwa pengakuan itu adalah salah satu masalah yang paling membingungkan dalam Hukum Internasional, ‘.... by general agreement one of the most perplexing problems of International Law’.Dan Brierly, sarjana Hukum Internasional yang terkenal itu, mengatakan dalam kata pengantar untuk buku Chen di atas, bahwa lembaga pengakuan Internasional di samping artinya yang penting dilihat dari segi doktrin Hukum Internasional, juga merupakan masalah yang selalu menjadi pemikiran bagi kementerian-kementerian luar negeri dan bagi sarjana Hukum Internasional yang perhatiannya terutama tertuju kepada penerapan sistem itu dalam praktek.

Starke berpendapat bahwa masalah pengakuan kelihatannya merupakan suatu hal yang sederhana, tetapi kesan itu memperdayakan, karena sebenarnya masalah ini merupakan salah satu bagian yang paling sulit dalam Hukum Internasional, bukan saja dilihat dari segi asas-asas, tetapi juga secara intrinsik karena banyaknya masalah-masalah pelik yang sering terjadi dalam praktek.

2. Bentuk-bentuk Pengakuan Lembaga pengakuan bukan hanya tampil ke muka pada waktu

munculnya suatu negara atau pemerintahan baru, akan tetapi dapat diterapkan terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan suatu negara yang telah lama berdiri. Pada umumnya terdapat persamaan pandangan dalam pembagian peristiwa-peristiwa itu oleh para sarjana Hukum Internasional, di bawah ini diberikan beberapa contoh dari pembagian tersebut. Bentuk-bentuk pengakuan itu oleh Oppenheim – Lauterpacht misalnya, di rinci sebagai berikut : a. Recognition of States (pengakuan negara);b. Recognition of New Heads of Governments of Old States (pengakuan

kepala pemerintah baru dari negara lama);c. Recognition of Goverments and Representation In the United Nations

(pengakuan pemerintah dan perwakilan dalam PBB);d. Recognition of Belligerency (pengakuan beligerensi);e. Recognition of Insurgency (pengakuan pemberontakan);f. Recognition of New Territorial Titles and International Situations

(pengakuan hak-hak teritorial dan situasi Internasional baru).

Page 3: Bab III Pengakuan Negara Baru

Rincian yang tidak banyak berbeda diberikan oleh Fenwick, yaitu meliputi pengakuan :

a. New States (negara baru);b. Revolting Territories (daerah yang memberontak);c. Belligerency (beligerensi)d. Insurgency (pemberontakan);e. New Governments (pemerintahan baru);f. Absented Governments (pemerintah pelarian).

3. Literatur tentang PengakuanDari buku-buku terpenting yang membahas lembaga pengakuan Internasional ini, baik secara umum maupun khusus mengenai praktek suatu negara tertentu di antaranya sebagai berikut : Arechaga :Reconocimiento de Gobiernos (1947); Chen Ti-Chiang :The International Law of Recognition (1951); Cole :Recognition Policy of the U.S. since 1901 (1928); Fusco :11 Reconoscimento di stalindirito Internazionale (1938); Gorbel :The Recognition Policy of the U.S. (1915); Graham :The League of Nations and the Recognition of States (1933); Hershey :The Legal Effects of Recognition in International Law (1928); Kunz :Die Anerkennung von States und Regierungen Im Volkerrecht (1928); Kleist :Die Volkerrechtllehe Anerkennung Sowjetrusslands (1934); Lauterpacht :Recognition in International Law (1947); Le Normand :La Reconnaissance Internazionale et Ses Divers Applications (1999).

Page 4: Bab III Pengakuan Negara Baru

BAB IINEGARA SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

4. Unsur-unsur Negara

Yang ditekankan oleh Hukum Internasional adalah apakah beberapa syarat telah dipenuhi untuk menerapkan istilah negara kepada suatu masyarakat poltik, agar dapat diterima sebagai subyek Hukum Internasional.

Adapun unsur-unsur yang harus dimiliki oleh suatu masyarakat politik agar dapat dianggap sebagai negara, menurut Oppenheim-Lauterpacht adalah sebagai berikut :a. Harus ada rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat yaitu kumpulan

manusia dikedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan menganut kepercayaan yang berlainan ataupun memiliki warna kulit yang berlainan.

b. Harus ada daerah. Di mana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain (A Wandaring People) bukan termasuk negara, tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil; dapat juga hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota.

c. Harus ada pemerintah. Yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat, dan memerintah menurut hukum negerinya. Suatu masyarakat yang anchitis bukan termasuk negara.

d. Pemerintah itu harus berdaulat (sovereign). Yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.

5. Negara-negara Setengah Berdaulat

Beberapa sarjana berpedoman kepada kenyataan, bahwa terdapat masyarakat-masyarakat politik, meskipun tidak merdeka sepenuhnya, juga memiliki kecakapan mengadakan hubungan Internasional, sehingga dapat dianggap sebagai suatu pribadi Internasional atau lebih mudah lagi sebagai negara di bawah Hukum Internasional.

Briggs misalnya mengatakan, “Although some writers maintain that the possesion of sovereignty is an essential qualification of the state, many communities not completely sovereign or independent nevertheless

Page 5: Bab III Pengakuan Negara Baru

posses the capacity of entering into International legal relations. These communities and state may be termited International persons, but it will be more convenient to term them them all ‘states’ in the sense of International Law”.

Menurut Kaplan-Katzenbach, kalau ketiga unsur negara yaitu rakyat, daerah, dan pemerintah itu merupakan hal-hal yang nyata (faktis), maka unsur kedaulatan sifatnya adalah normatif, sehingga lebih banyak merupakan syarat yang yuridis daripada syarat faktis. Yang menjadi pertanyaan, apakah suatu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat faktis untuk menjadi negara itu memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan Internasional karena kedudukannya sebagai negara, atau apakah disebut sebagai negara karena justru memiliki kecakapan sedemikian. Hal ini benar-benar merupakan suatu tautologi.

6. Terbentuknya Negara Baru

Selanjutnya akan dijelaskan dalam keadaan bagaimana menurut Hukum Internasional, suatu negara baru dapat terbentuk di tengah-tengah negara-negara lainnya yang telah ada. Kemungkinan-kemungkinannya adalah sebagai berikut :a. Pembentukan negara-negara baru sebagai hasil revolusi sosial, yang

menghasilkan penggantian suatu sistem sosial dengan sistem lainnya, misalnya dari kapitalis menjadi sosialisme, sebagaimana yang terjadi dengan Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya.

b. Pembentukan negara-negara dalam perjuangan kemerdekaan nasional, apabila daerah-daerah bekas jajahan atau apabila rakyat yang tergabung kepada bangsa lain mendirikan negara nasional mereka sendiri yang merdeka (India, Tunisia, Maroko, dan sebagainya).

c. Pembentukan negara-negara baru sebagai akibat dua negara atau lebih (Austria-Hongaria tahun 1967), atau apabila satu negara pecah menjadi negara-negara yang berlainan (India dan Pakistan).

7. Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Negara

Sebagai subyek Hukum Internasional, sebuah negara baru dianggap memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban di bawah sistem Hukum itu. Dan untuk mengetahui bagaimana sifatnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu, perlu kita pelajari falsafah Ilmu Negara.

Untuk itu akan disimak beberapa uraian yang dikemukakan seorang sarjana Jerman, Petraschek, yang mengadakan analogi antara seorang Individu dengan hak-hak dan kewajibannya di bawah Sistem

Page 6: Bab III Pengakuan Negara Baru

Hukum Perdata, dengan sebuah negara sebagai subyek Hukum Internasional.

Karena pengaruh ajaran-ajaran Hukum Alam, maka seorang individu itu dianggap memiliki “... subjective individualrechte, wie die Freizugigkeit, versammlung-und verelus-freiheit der kunst und wissenschaft sowie, ihrer lehre, wirschaftliche und vertragsfreiheit, freiheit der presse...”.

Hak-hak diatas ini adalah yang umum dikenal sebagai hak-hak asasi manusia, yaitu di antaranya kebebasan untuk bergerak, berserikat, beragama, menyatakan fikiran, memiliki pers merdeka, dan sebagainya. Atau jika kita tegaskan lebih singkat menurut rumusan Presiden Roosevelt, maka hak-hak asasi manusia itu tercakup dalam The Four Freedoms : Freedom of Speech, Freedom of Religion, Freedom from Fear, and Freedom from Want.

Apabila hak-hak asasi individu itu secara analogis diterapkan pada sebuah negara sebagai subyek di bawah Sistem Hukum Internasional, maka untuk tiap bentuk hak itu dapat dicarikan persamaannya.“Betrachten Wir nun die Staaten als Individuen und ubertrangen wir die obengekennzeichneten Verhaltnisse auf sie, so entspricht dem recht auf freiheit zu das Selbsterhaltungsrecht der Staaten und dem Recht auf Freiheit von ihr Recht auf unabhangigkeit Beide Rechte verelaingten sich aber im Recht der Staaten auf Freiheit, auf sicherheit ihres Daseins oder Bestandes, kurzer ausgedruckt im Deseins – oder lebensrecht der Staaten...”.

Page 7: Bab III Pengakuan Negara Baru

BAB III

PENGAKUAN NEGARA BARU

12. Teori-teori Pengakuan

Di kalangan para sarjana hukum internasional, terdapat 2 (dua) golongan besar yang mengemukakan pendapat yang berbeda.

Golongan pertama berpendapat, bahwa apabila semua unsur kenegaraan telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, maka dengan sendirinya telah merupakan sebuah negara dan harus diperlakukan secara demikian oleh negara-negara lainnya. Jadi secara ipso facto harus menganggap masyarakat politik yang bersangkutan sebagai suatu negara dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dengan sendirinya melekat padanya.

Pengakuan hanyalah bersifat pernyataan dari pihak-pihak lain, bahwa suatu negara baru telah mengambil tempat disamping negara-negara yang telah ada. Golongan pertama ini dikatakan menganut teori declaration.

Sebaliknya golongan kedua berpendapat, walaupun unsur-unsur negara telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, namun tidak secara langsung dapat diterima sebagai negara di tengah-tengah masyarakat internasional. Terlebih dahulu harus ada pernyataan dari negara-negara lainnya, bahwa masyarakat politik tersebut benar-benar telah memenuhi semua syarat sebagai negara.

Apabila telah ada pernyataan demikian dari negaranegara lainnya, masyarakat politik tersebut mulai diterima sebagai anggotabaru dengan kedudukannya sebagai sebuah negara, di tengah-tengah negara lainnya yang telah ada. Setelah itu barulah dapat menikmati hak-haknya sebagai negara baru. Golongan kedua ini dikatakan menganut teori Konstitutif

13. Penganut Teori Deklaratoir

a. pendapat Barley

Barley menunjukan bahwa kesulitan yang lebih besar mengenai teori konstutuif ini terletak pada adanya keharusan bai penganutnya untuk mengatakan, bahwa suatu Negara yang tidak diakui itu memiliki hak-hak dan kewajiban di bawah hukum internasional. Tanpa pengakuan pun Negara itu dapat berdiri, dan jika berdiri sebagai suatu kenyataan, maka apakah diakui secara resmi atau tidak

Page 8: Bab III Pengakuan Negara Baru

oleh Negara-negara lainya, Negara itu tetap mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai Negara.

b. pendapat Erich

pada hakekatnya yang diakui itu adalah sesuatu yang telah ada. Jika suatu pemerintah asing mengakui suatu Negara baru, maka pemerintah itu menyatakan denan sikapnnya bahwa ia berhadapan denan suatu kenyataan, yaitu suatu badan tersusun yang tidak dapat dibantah lagi dan diakui karena ada.

c. pendapat Fischer Williams

tidak konstitutif sifatnya tetapi deklartoir; menerimanya, tetapi tidak menciptakanya. Tidak mengandung suatu maksud yang bersifat menyetujiu atau menlak secara moral sesuatu benda atau orang yang diakuinya …… penolakan member pengakuan tidak dapat merubah adanya fakta-fakta.

e. pendapat Schwarzenberger

setiap Negara bebas untuk memberikan atau menolak memberikan pengakuan, dengan demikian, maka dapat vterjadi suatu kesauan berkepribadian internasional dalam hubunanya dengan suatu atau beberapa subjek hum internasional tetapu tidak dengan hal yang lain-lainya.

f. konvensi Montevideo

terdapat dalam pasal 3 Konvensi Montevideo 1993 : ”Keberadaan politik negara tidak tergantung dari pengakuan oleh negara lain. Bahkan sebelum pengakuan negara memiliki hak untuk membela integritas dan kemerdekaan, untuk menyediakan untuk konservasi dan kemakmuran, dan akibatnya untuk mengatur sendiri seperti melihat cocok, untuk mengatur atas kepentingannya, mengelola layanan, dan untuk menentukan yurisdiksi dan kompetensi dari pengadilannya. Pelaksanaan hak-hak ini tidak memiliki batasan selain pelaksanaan hak-hak negara-negara lain menurut hukum internasional.”

14 Penganut Teori konstitutif

Penganut teori ini adalah Wheaton, Hershey, Von Liszt, Moore, Schuman dan Lauterpacht dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa pendapat dari pelopor aliran/teori ini.

Isheaton berpendapat bahwa jika negara baru ingin berhubungan dengan negara-negara lainnya dalam masyarakat internasional yang anggota-anggotanya memiliki hak-hak dan kewajiban tertentu dan diakui oleh masing-masing, maka negara baru itu terlebih dahulu memerlukan pengakuan dari negara-negara lainnya sebelum dapat mengambil bagian sepenuhnya dalam kehidupan antar negara.

Page 9: Bab III Pengakuan Negara Baru

Moore berpendapat bahwa meskipun sebuah negara baru memiliki hak-hak dan atribut-atribut kedaulatan, terlepas dari soal pengakuan, tetapi hanya jika negara baru itu diakui barulah mendapat jaminan untuk menggunakan hak-haknya itu.

Lauterpacht berpendapat bahwa suatu negara untuk menjadi pribadi internasional hanya melalui pengakuan saja. Namun walaupun pemberian pengakuan itu sepenuhnya merupakan kebijakan dari negara yang memberikannya, tindakan itu bukanlah suatu tindakan yang semena-mena saja, tetapi pengakuan atau penolakan itu harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip hukum.

Jadi pengakuan itu memang konstitutif sifatnya, tetapi ada kewajiban bagian negara-negara yang telah ada, jika semua syarat kenegaraan pada negara baru itu telah dipenuhi, untuk memberikan pengakuan yang telah menjadi hak negara baru itu.

BAB IV

PENGAKUAN PEMERINTAH BARU

20. Doktrin Legitimasi

Teori Legitimasi (Oppenheim-Lauterpacht) Menurut teori ini pengakuan hanya suatu formalitas dalam hubungan internasional. Dengan demikian, tidak memiliki kekuatan konstitutif. Namun demikian. Di dalam praktik teori ini tidak bias diterapkan dengan mudah ketika pergantian yang terjadi secara inkostitusional. Ketika hal ini terjadi pemerintah yang baru sering mengalami kesulitan ketika negara-negara lain menolak untuk mengakui eksistensinya.

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, dalam hal terjadi penggantian seorang kepala Negara dari sebuah Negara, apakah ia seorang raja ataupun seorang presiden dari suaru republic, Negara-negara lain biasanya diberitahukan tentang penngantian itu dan umunya Negara-negara lain mengakui kepala Negara baru itu melalui suatu tindakan resmi, missal suatu ucapan selamat. Tetapi pemberitahuan dan pengakuan sperti itu sebenarya tidak perlu sama sekali berdasarkan hukum internasional, karena seorang individun menjadi kepala Negara bukan karena pengakuan Negara-negara lain , tetapi berdasarkan hukum nasional negaranya sendiri.

Dalam praktek, jika kepala Negara baru mendapat kedudukannya dengan jalan normal dan konstitusional, missal raja yang lam meninggal dunia atau

Page 10: Bab III Pengakuan Negara Baru

sesudahnya terjadi pemilihan presiden, maka pengakuan itu diberikan sebagai suatu hal yan g lumrah.

21. Pengakuan de Facto

Dalam sebuah memorandum yang dibuat oleh pembantu mentri luar negri amerika serikat AGEE, tanggal 28 maret 1913 mengenai pengakuan terhadap (nasional) misalnya , divantumkan tiga syarat , yaitu :

a. the control of the administrative machinery of the stateb. the general acquiescence of its peoplec. the ability and willingness.. to discharge international

Thomas Jefferson mencoba untuk memberikan penilaian objektif criteria yang lahir secara inkostitusional untuk layk diakui. Parameter tersebut adalah:

a.       Menguasai secara efektif organ-organ pemerintahan yang adab.      Menadapat dukungan dari rakyat

Ketika syarat di atas belum terpenuhi maka sebaiknya pemerintah baru tersebut diakui secara de facto untuk kemudian ditingkatkan menjadi pengakuan de jure ketika menurut keyakinan pihak yang akan mengakui syarat-syarat yang ditentukan terpenuhi.

BAB V

PENGAKUAN SEBAGAI PEMBERONTAK

Ada istilah yang sering di ucapkan di Dallam hukum internasional yaitu insurrection, rebellion, revolution. Untuk kata – kata insurrection dan rebellion dalam bahasa Indonesia di kenal dengan “pemberontakan” yang lebih umum lebih di kenal.

SCHUMAN berdefinisi, Revolusi bertujuan untuk merembak secara radikal suatu susunan politis atau social di seluruh wilayah Negara, rebeli adalah suatu perjuangan suatu wilayah Negara untuk menggulingkan kekuasaan di willayah lainya dan pemberontakan adalah kegiatan kegiatan yang luas tujuan nya lebih sempit dari kedua istilah di atas.

Mungkin dapat digunakan definisi yang digunakan oleh SCHUMAN yaitu hara-huru yang di lakukan di suatu wilayah pada taraf pertama dapat di katakana pemberontakan kemudian meningkan menjadi rebelli kemudian memuncak menjadi revolusi semua tingkatan tersebut dapat digolongkan sebagai pemberontak.

Page 11: Bab III Pengakuan Negara Baru

Kedudukan hukum pemperontak

Suatu asas hukum internasional yang telah diterima semua negra menegaskan kejadian kejadian di suatu Negara`merupakn urusan intern suatu negraa tersebut dan pihak pihak asing tidak berhak turut campur tapi biasanya suatu pemberontakan merupakan suatu peristiwa berdarah yang mempeergunakan senjata dan dapat terjadi pertempuran antara`pasukan oemerintah dan pasukan pasukan pemberontak. Disamping itu juga mungkin terjadi penangkapan penangkapan terhadap pengikut kaum kaum pemberontak dan oknum oknum lainya, sehingga akan terdapat segolongan orang yang merupakan tawanan pemerintah resmi.

Seperti yang dikemukakan oleh DE VISSCHER meskipun pemberian pengakuan sebagai pemberontak, mereka tidak mendapat mendapat status hukum yang tegas dan perlakuan hukum yang mereka dapatkan berubah ybah dalam suau keadaan yang terpenting dengan pengakuan dengan harapan bahwa`pemerintah pusat dapat memperlakukan meraka dengan keperimanusiaan.

Menurut Textbook Soviet, pengakuan terhadap kaum pemberontak itu menjamin ketentuan ketentuan hukum, minimal dalam hubungan antar Negara yang memberika pengakuan terhadap kaum tersebut.

Darii uraian tersebut jelas bahwa penerapan konsep pemberontak itu bukan suatu hal yang mudah maka dari itu sulit untuk menentukan suatu pemberontakan, dibandingkan dengan pengakuan beligrasi pengakuan atas pembrontak itu lebih efektif , lebih terbatas, dan kriteria untuk menerapkan sulit di pegang secara pasti, sehingga biasanya pengakuan yang disesuaikan dengan keadaan keadaan dan mencontoh pada`perkembangan perkembangan peristiwa yang ada dan nyata pada waktu tertentu.

BAB VI

PENGAKUAN BELIGERENSI

Syarat Pengakuan Beligeransi

Dari uaraian di atas bahwa pengakuan suatu pemberontak itu hanyalah suatu fase saja dalam suatu perkembangan huru hara yang sedang terjadi pada suatu negra. Pengakuan tersebut pada tahap tahap pemulaan dari pemberontak itu, ketika kaum pemberontak masih belum kuat kedudukanya, belum terorganisasi secara rapih dan masih terpencar`sana sini.

Dalam keaad seperti ini kaum pemberontak biasanya kaum pemberontak biasanya telah mempunyai pe,erintahan sendiri dengan alat alatnya sendiri baik

Page 12: Bab III Pengakuan Negara Baru

kedalam maupun keluar. Dalam keaddan ada pemeintah yang bertanding itu, maka negra ketiga dapat membrikan pengakuan beligerensiyang sifat nya lebih tegas dan jelas dari pada hanya pengakuan hanya sebagai pemberontak.

Akan tetapi sebelum Negara ketiga memberikan belegerensi terhadap pihak pihak yang bertembur menurut BRIERLY harus terpenuhinya dua syarat yaitu:

Pertama : pertempuran pertempuran harus telas mencapai tingkatan sedemikian rupa seolah olah sedang terjadi peprpengan yang sebenarnya kaum pemberontak tersebut telah diorganisasikan di bawah suatu pemerintahan yang menguasai daerah tertentu dan manjaga peraturan peraturan hukum. Tidaperlu adanya kepastian apakah pemerintah tersebut bersifat permanen atau tidak karena hal tersebut akan di tetntukan pada tindakn perang selanjutnya.

Kedua : perkembangan dari peperangan itu harus sedemikian rupa sifatnya sehingga negra Negara lain tidak mungkin terus berdiri di luar garis saja perkembangan ini dapat terjadi walaupun pertempueran pertempuran itu hanya sebatas daratan saja.

Pasukan pasukan pemberontak tersebur haruslah memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Harus diorganisasikan secara teratur di bawah pimpinan yang bertanggung jawab

b. Harus memakai tanda tanda yang jelas dan dapat dilihatc. Harus membawa senjata secara terang terangan d. Harus mengindahkan cara cara perperangan yang lazim

PENWICK menerangkan akibat hukum lainya dari pemebrian pengakuan belegerensi kepada kaum pemberontak itu adalah kapal kapal pemberontak dilanjutka ke pelabuhan pelabuhan yang memberikan pengakuan. Atas hak beleregnsi tersebut para pemberontak juga mendapatkan kan untuk menggeledah kapal kapal yang berlabuh do lautan.Golongan yang mendapatkan kekuasaan belegerensi mendapatkan kewajiban kewajiban mdan hak hak seperti hak dan kewajiban bagi suatu negra yang sedang berperang. Dan pada`akhirnya ooengakuan atas hak belegerensi itu hanya berlaku sepanjang perperangan itu sedang berlangsung saja.

Hubungan Dengan Kaum Beligeren

Walaupun hak bligeren itu di berikan kepada kaum pemberontak dari negra pihak ketiga harus tetap berhati hati terhadap pemimpin pasukan pemberontak tersebut. Selama berlangsungnya perang saudara atau revolusi itu, diplomat diplomat asing setempat mungkin sekali harus sering mengadakan

Page 13: Bab III Pengakuan Negara Baru

intervensi demi kepentingan Negara dan pemebrontak tetapi hendaknya para diplomatic melakukan hal itu secra pribadi.

Jadi konflik kaum beligeren parabola tidak dapat dihindari untuk suatu kepentingan hanya wajar dilakukan secara informal tanpa suatu sifat diplomatic, hal ini menjag hubungan baik dengan suatu Negara.

Tanggung Jawab bagi Perbuatan Kaum Beligeren

Pemerintah yang sah dari suatu negra yang sedang terjadi perang saudara itu biasanya tidak senag dengan pemberian pengakuan beligerensi keppad apara pemberontak, tetapi OPPENHEIM LAURENTPACHT menegaskan bahwa pengakuan dari negar ketiga dari pemerinyah yang sah secara asas umum tidak mengikat dan dapat saja terus memperlakukan kaum pemberontak sebagai penghianat penghianat.

DE VISCHER mengatakan bahwa dalam suatu pendirina keadaan dalamsuatu gerakan revolusioner telah dapat di tupas oleh pemerintah yang sah negra tersebut tidak bertanggung jawab atas perbuatan perbuatan yang merusak yang telah dilakukan oleh kaum pemberontak.

Doktrin Hkum Internasional Klasik mendukun pendirian ini berdasarkan dua alasn yaitu:

Pertama : kaum pemberontak itu dapat di anggak suatu organ atau agen pemerintah yang sah dengan demikian dengan sendirinya Negara tersebut tidak bertanggung jawab atas perbuatan mreka.

Kedua : pemerintah hanya dapat meminta opertanggung jawaban nya terjadap bagi orang yang benar benarmereka kuasai secar efektif sedangkan kegiatan revolusioner tersebut menujukan abahwa sedang terjadi ker]tidak efektifan dari suatu negar tersebut.

Di samping itu demi keoentingan keadilan inetrnasional mungkin suatu oemerintah revolusioner sebaikanya tidak di beri hak untuk mewakili negra begitu ia berkuasa dan terlepas dari sifat respresentatifnya menjanjikan kemampuan yang baik bagi Negara nya dan menjanjaikan kewajiban kontrakkuler yang tidak harus di pertanggung jwaab kan oleh negar itu sendiri.

Page 14: Bab III Pengakuan Negara Baru

BAB VIIPENGAKUAN SEBAGAI BANGSA

34. RIWAYAT KONSEP PENGAKUAN SEBAGAI BANGSA

Pengakuan sebagai bangsa (recognition of nations) mungkin adalah pengakuan yang paling muda riwayatnya. Dan merupakan suatu konsep pengakuan yang banyak dikembangkan oleh para sarjana Soviet. Di bawah konsep ini, golongan – golongan rakyat yang baru memperjuangkan kemerdekaannya dan berusaha mendirikan Negara nasionalnya sendiri yang merdeka dapat diakui sebagai subyek Hukum Internasional. Oleh karena konsep pengakuan sebagai bangsa ini sangat disetujui oleh para sarjana Soviet, akhirnya konsep itu dianggap seolah – olah konsep asli Soviet yang berdasarkan pada ajaran – ajaran Marxisme-Leninisme.

35. PERISTIWA POLANDIA

Di dalam sejarah dikenal adanya Negara Polandia, akan tetapi Negara itu sejak tahun 1795 telah terhapus karena wilayahnya diduduki dan dibagi – bagi oleh beberapa Negara, yaitu Prusia, Austria, dan Rusia. Meskipun demikian, rakyat Polandia selalu menganggap dirinya sebagai suatu bangsa bersatu yang bercita-cita untuk suatu waktu memiliki kembali Negara nasionalnya sendiri.

36. PERISTIWA CEKOSLAVIA

Dimulai dari pada permulaan Perang Dunia ke-1. Di Negara Sekutu, demikian pula Negara yang netral, telah didirikan pusat – pusat propaganda yang dikoordinasikan menjadi suatu National Council of Czech Countries dengan Masaryk sebagai ketuanya dan Benesj sebagai sekretaris jenderalnya.

37. PENTING ARTINYA BAGI RAKYAT ASIA AFRIKA

Dan terlebih lagi, setelah Perang Dunia ke-II dengan timbulnya berbagai revolusi kemerdekaan di Asia dan Afrika, maka konsep pengakuan sebagai bangsa dengan sendirinya sangat penting artinya untuk mendorong perjuangan kemerdekaan itu.

BAB VIIIPENGAKUAN HAK – HAK TERITORIAL DAN SITUASI

INTERNASIONAL BARU

38. DOKTRIN STIMSON

Stimson adalah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (1929-1933), yang telah memperkenalkan doktrin ini dalam Hukum Internasional. Perlu juga melihat

Page 15: Bab III Pengakuan Negara Baru

terlebih dahulu Pakta Paris tahun 1928 yang lebih dikenal dengan nama Kellog-Briand Pact of the Renunciation of War. Pakta Paris bertujuan untuk menolak peperangan sebagai alat politik nasional dalam hubungan antarnegara, dan menganjurkan untuk memecahkan segala pertentangan internasional melalui cara-cara damai.

39. IMPOTENSI DOKTRIN STIMSON

Dalam praktek ternyata Doktrin Stimson tidak mencapai maksudnya, yaitu mencegah penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian internasional, bukan saja karena tidak ada sanksi apa – apa bagi pelanggarannya tetapi karena penganut – penganut doktrin itu sendiri kemudian tidak konsekuen dalam penerapannya. Dan sementara itu untuk membenarkan tindakan – tindakannya di Manchurla, Jepang menegaskan kegiatan – kegiatan tentaranya di daerah ini bukan bersifat peperangan tetapi merupakan tindakan paksaan yang damai sifatnya, bukan kampanye untuk menaklukan daerah tetapi operasi – operasi polisional terhadap “bandit-bandit” yang tidak dapat ditumpas oleh pemerintah Cina sendiri

BAB IX

CARA-CARA PEMBERIAN PENGAKUAN

40. Pengakuan yang Tegas dan Tidak Langsung

Pemberian pengakuan dapat dibagi dalam dua macam, yaitu:

1. Pengakuan yang tegas.Dilakukan apabila dikirimkan sebuah nota resmi atau dikeluarkan suatu pernyataan resmi yang mengumumkan niat pemberian pengeakuan tersebut oleh negara bersangkutan.

2. Pengakuan yang disimpulkan dari suatu tindakan tertentu.Dilakukan apabila ada perbuatan-perbuatan, yang meskipun tidak secara tegas menyinggung soal pengakuan itu tetapi tidak menimbulkan kesangsian lagi tentang adanya niat untuk memberikan pengakuan.

Tindakan yang dapat memberikan kesan adanya niat untuk memberi pengakuan, anatara lain:

a. Apabila ditandatangani suatu perjanjian bilateral, misalnya perjanjian perdagangan dan perkapalan, yang secara luas mengatur hubungan antara kedua negara

b. Apabila dimulai hubungan diplomatik secara resmi

Page 16: Bab III Pengakuan Negara Baru

c. Apabila dilakukan pemberian exequatur konsuler, yaitu ijin untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan konsul

d. Dalam hal pemberian pengakuan beligerensi suatu proklamasi mengenai sikap netral dapat dianggap sebagai pemberian pengakuan beligerensi itu.

Pengakuan itu erat hubungannya dengan niat negara bersangkutan untuk memberikannya, maka walaupun terjadi suatu kejadian yang mungkin menimbulkan kesan bahwa terjadi pengakuan tidak langsung, apabila niat tersebut tidak ada pengakuan yang senyatanya maka tidak dapat disimpulkan dari adanya perbuatan negara yang bersangkutan tersebut.

41. Praktek Amerika Serikat

Adapun cara pemberian pengakuan yang lazim ditempuh oleh pemerintah Amerika Serikat itu (sebagaimana diuraikan dalam sebuah memorandum tanggal 28 Maret 1913 yang dibuat oleh ALVEY A. ADEE, Pembantu Menteri Luar Negri di Amerika Serikat) meliputi:

1. Cara yang paling umum digunakan adalah dengan pemberitahuan wakil Amerika pada ibukota negara asing yang bersangkutan, bahwa ia telah diberi intruksi untuk memulai hubungan dengan pemerintah baru.

2. Cara yang lazim digunakan dinegara-negara lain adalah pernyataan telah diterimanya sebuah suarat yang dialamatkan kepada Presiden, dari pemimpin pemerintah baru itu yang menyatakan bahwa ia mulai memegang tampak kekuasaan.

3. Cara yang umum ditempuh dalam hubungan antarnegara adalah penerimaan seorang duta oleh Presiden, dalam suatu audiensi untuk maksud menyampaikan surat-surat kepercayaannya.

4. Presiden menerima wakil diplomatic lama dari negara asing yang bersangkutan, dan secara lisan memberitahukan mengenai perubahan pemerintahnya.

5. Penyampaian secara resmi oleh duta Amerika pada ibukota negara asing yang bersangkutan, suatu amanat pegakuan dari Presiden.

6. Cara yang digunakan dalam peristiwa Portugal dan Spanyol adalah untuk menambah pengakuan sebuah pemerintah sementara atau pemerintah peralihan dengan suatu pernyataan resmi berisi pengakuan yang dibuat oleh duta Amerika, pada waktu diterimanya bentuk dari pemerintah oleh dewwan perwakilan nasional dari negara asing yang bersangkutan.

7. Pernyataan melalui pers dan radio mengenai pengakuan terhadap suatu negara atau pemerintah baru.

Page 17: Bab III Pengakuan Negara Baru

BAB X

PENDAPAT PENULIS SENDIRI

42. Menerima Teori Deklaratoir tentang Pengakuan Negara Baru

Dari uraian-uraian mengenai berbagai bentuk pengakuan itu, jelaslah bahwa yang terpenting adalah mengenal pengakuan negara baru dan pemerintah baru. Dengan tegas penulis menyatakan menerima teori deklaratoir mengenai lembaga internasional itu.

Jelaslah bahwa pengakuan tidak menciptakan suatu negara baru. Apabila suatu masyarakat politik telah lengkap unsur-unsur kenegaraannya (ada daerah, rakyat dan pemerintah), maka tanpa pengakuan pun negara baru itu telah ada sebagai suatu kenyataan dan merupakan suatu going concern yang dapat mengambil berbagai tindakan.

Pengakuan dari suatu negara lain fungsinya hanyalah mencatat kelahiran negara baru itu dan walaupun ada negara yang tidak bersedia member pengakuan maka penolakan itu tidak berarti negara tersebut akan lenyap begitu saja.

Disamping itu juga praktek menunjukkan, bahwa tidak pernah ada suatu negara baru yang sama sekali tidak mendapat pengakuan dari suatu negara pun didunia ini. Dalam praktek internasional, negara yang menolak memberi pengakuan itu sendiri terkadang terpaksa mengadakan hubungan dengan negara tertentu yang tidak mengakuinya. Contoh paling frappant misalnya hubungan antara Jerman Barat dan Jerman Timur.

Menurut doktrin umum, suatu pengakuan yang diberikan beberapa waktu berselang setelah negara baru itu lahir, dianggap berlaku surut (retroaktif) sampai saat terbentuknya negara-negara itu, lebih memperkuat kedudukan teori deklaratoir daripada teori konstitutif.

Teori deklaratoir pada hakekatnya juga lebih adil, karena mencakup pengakuan hak tiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, menyusun bentuk negaranya sendiri dan untuk memilih pemimpin-pemimpin pemerintahnya sendiri tanpa dicampuri oleh pihak luar.

RI sendiri selalu menganggap dirinya sudah menjadi negara merdeka dan berdaulat (terlepas dari pengakuan negara-negara lain) semenjak tanggal 17 Agustus 1945, bearti penganutan teori deklaratoir mengenai pengakuan itu.

Oleh karena itu, kesimpulannya dapat dikatakan bahwa dipandang dari berbagai sisi lebih banyak faktor-faktor yang memperkuat alasan untuk secara prinsip menerima teori deklaratoir mengenai lembaga pengakuan internasional itu daripada teori konstitutif.

Page 18: Bab III Pengakuan Negara Baru

4.3 Menerima Teori de Facto-ism yang Murni tentang Pengakuan Pemerintah Baru

Teori deklaratoir atau teori konstitutif mengenai pengakuan itu sebenarnya hanya berlaku bagi pengakuan suatu negara baru, sedangkan dalam hal timbulnya suatu pemerintah baru pada suatu negara yang telah lama ada berlaku teori legitimasi atau teori de facto-ism.

Dalam hal ini, kita mengenal teori de facto-ism yang murni seperti yang diajarkan oleh JEFFERSON, yang mengatakan bahwa suatu pemerintah revolusioner dapat diakui apabila ia memenuhi syarat-syarat obyektif telah berkuasa secara de facto dan apabila pemerintah revolusioner itu didukung oleh sebagian besar lapisan masyarakat.

Teori de facto-ism yang murni ini kemudian ditambah dengan beberapa syarat berdasarkan alasan-alasan politis dari negara yang diminta pengakuan itu yaitu secara subyektif dinilai apakah pemerintah baru itu mampu dan bersedia untuk memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya dan secara obyektif telah berkuasa de facto itu dituntut beberapa konsesi politik atau ekonomi sebelum pengakuan itu diberikan.

Penulis tidak meneyetujui syarat subyektif seperti diatas, karena apabila sebuah negara menganggap dirinya tidak berhak menilai apakah suatu pemerintah baru dari suatu negara lain mampu dan bersedia untuk menunaikan kewajiban internasionalnya, maka hal ini merupakan suatu penghinaan atas bonafiditas pemerintah baru itu.

Oleh karena itu, menurut penulis apabila dalam suatu negara ternyata suatu pemerintah baru yang terbentuk secara revolusioner telah memenuhi syarat-syarat obyektif (1) berkuasa secara de facto dan (2) didukung oleh segolongan besar lapisan masyarakat, maka pemerintah itu dengan sendirinya harus diberi pengakuan tanpa menambah lagi syarat-syarat subyektif bagi pemerintah pengakuan itu.

Dengan singkat, bagi penulis teori de facto-ism yang murni dalam pemberian pengakuan terhadap suatu pemerintah baru yang revolusioner adalah teori yang paling tepat, karena setiap bangsa berhak sepenuhnya untuk menentukan penguasa-penguasanya sendiri tanpa campur tangan atau penilaian kemampuannya dari negara-negara lain. Maka sebagai kesimpulan dari pendapat penulis sendiri mengenai lembaga pengakuan internasional ini, dapat dikemukakan:

a. Penulis menganut teori deklaratoir mengenai pengakuan negara barub. Penulis menganut teori de facto-ism yang murni mengenai pengakuan

pemerintah baru yang terbentuk secara revolusioner.