bab iii pendekatan lapangan (empirik) 3.1. gambaran...
TRANSCRIPT
52
BAB III
PENDEKATAN LAPANGAN (Empirik)
3.1. Gambaran Umum Kelurahan Rijali
3.1.1. Kondisi Geografis
Kelurahan Rijali dikelilingi oleh Laut Ambon dua sungai besar, yaitu Wai
Tomu dan Wai Batu Merah. Batasan Kelurahan adalah bagian Utara Teluk
Ambon dan Desa Batu Merah, bagian Timur Kelurahan Uritetu, bagian Barat
Kelurahan Amantelu dan Kelurahan Karang Panjang, bagian Selatan Kelurahan
Karang Panjang dan Kelurahan Uritetu. RW I dan RW III berdekatan dengan
Kelurahan Uritetu, RW IV dengan Kelurahan Uritetu dan Kelurahan Karang
Panjang, RW V dengan Kelurahan Amantelu, RW II dengan Desa Batu Merah.
Sampai 1956 Kelurahan Rijali masih masuk dalam wyk (lingkungan) D
yang lasung dipimpin oleh walikota. Pada waktu itu di Kota Ambon terdapat 6
wyk yang diberi kode A sampai F. Sistim wyk ini hanya terdapat di dua kecamatan
yaitu, Kecamatan Sirimau (Hunipopu, Ahusen, Uritetu, dan Amantelu) yang
dikenal sebagai Kota Ambon lama. Tahun 1981 ke enam wyk dirobah menjadi 16
Kelurahan, dan Kelurahan ijali termasuk dalam lingkungan Amantelu. Khusus
untuk Kelurahan Rijali, dulu dikuasai oleh beberapa orang yang dianggap sebagai
tuan tanah, yaitu dari marga Sohelait, Botenbosch, Maruanaya, Oppier,
Fransiscus, Huliselan, Tanamal, dan Bakarbessy. Keluarga Tanamal terkenal
53
sebagai pemilik ‘rumah gergaji’, yaitu pengusaha kayu yang membuang sisa
serbuk kayunya kelaut dan dianggap sebagai orang pertama yang menjadikan
Pantai Mardika seperti sekarang ini. Keluarga Sohelait adalah orang pertama yang
menjadi agen minyak tanah di Ambon. Selain itu pada waktu wilayah mardika
masih berupa pantai dijumpai ‘rumah gantung’. Rumah ini milik Orang Buton
pertama yang tinggal di wilayah Rijali, terbuat dari kayu yang tiangnya tepancang
di laut.
Rijali diawali dari sejarah tanah negeri Petuanan Soya. Kemudian, nenek
moyang penduduk negeri itu memberi nama ‘Rijali’ untuk daerah sekitar Pantai
Mardika yang sekarang dijadikan nama salah satu kelurahan dari Kecamatan
Sirimau. Pada saat masih bernama wyk pada tahun 1960-an, batas Rijali sampai
Hotel ‘Ambon Manise’ sekarang (yang dulu masih berupa laut). Tahun 1970
dilakukan pengeringan air laut yang diawali oleh perusahan kayu yang ada di tepi
pantai, yaitu dengan membuang ampas kayu atau serut gergaji ke laut. Kegiatan
ini dilanjutkan pemerintah dengan satu rencana untuk menjadikan wilayah
tersebut sebagai daerah pertokan dan terminal bis. Akhir tahun 1970-an kegiatan
pemerintah ini terselesaikan, dan kemudian mulai dibangun took-toko dan Bank
Danamon sebagai bank pertama di wilayah Rijali. Pada waktu kelurahan Rijali
berdiri, kantor kelurahannya ada di kompleks pertokoan. Makin padatnya wilayah
Mardika sebagai pusat perbelanjaan, toko, perkantoran, dan terminal kendaraan
umum, maka atas prakasa PT. Perkasa, kantor Kelurahan Rijali dipindahkan ke
tempat sekarang yang berbatasan dengan Kelurahan Batu merah.
54
Dibangunnya pantai Mardika mengakibatkan kawasan ini berkembang
dengan pesat, dan mulai tumbuh beberapa fasilitas umum baik yang bersifat
hiburan maupun ekonomi di Kelurahan Rijali. Pada saat itu, ada beberapa fasilitas
hiburan dan penginapan yang tumbuh, antara lain; Disco (1), Tempat Karoke (5),
Billyard (7), Restoran besar (1), Hotel (5), dan Penginapan (1). Di tempat hiburan
inilah anak-anak Ambon banyak berkumpul yang kebanyakan terpusat di wilayah
Mardika atau Jalan Cendrawasih. Selain itu, mulai tumbuh bangunan perusahan
besar seperti ‘Jayanti Group’ dan Bank. Sedangkan perusahan sedang yang
muncul pada saat itu adalah, perusahan kontrkator, perjalaan, ekspedisi, dialer
minyak, dan lain-lain.
3.1.2. Pola Pemukiman Penduduk
Kelurahan Rijali berada di wilayah Mardika, oleh sebab itu warga yang
tinggal di Kelurahan Rikali juga dipanggil dengan sebutan orang Mardika. Asal
mula panggilan orang Mardika ini sudah ada sejak zaman penjajahan bangsa
Portugis.
F. Valentijn dan beberapa penulis lainnya menerangkan, bahwa mereka ini
semula adalah budak-budak orang Portugis yang tugasnya antara lain adalah
sebagai awak kapal orang Portugis serta melakukan segala macam pekerjaan yang
diperintahkan oleh tuannya sesuai dengan status mereka sebagai budak. Kemudian
55
setelah mereka diKristenkan oleh tuannya, mereka dimerdekakan oleh status
budak mereka. Karena itu mereka mendapat nama “orang Mardika” (mardijkers).1
Pemukiman Rijali dihuni oleh penduduk asli maupun pendatang.
Pendatang banyak yang mengontrak rumah atau kamar secara beramai-ramai
dengan teman satu daerah asal. Mereka ada yang berdiam mengelompok pada
suatu tempat atau terpencar. Berkembangnya pertokoan Mardika membuat
tingginya arus migrasi di Kelurahan Rijali, terutama pendatang dari Kawasan
Timur yang dikenal sebagai sebutan BBM (Buton, Bugis, Makasar), dan Jawa.
Dari ketiga kelompok BBM, orang Bugis lah yang pertama kali datang di
Kelurahan Rijali. Usaha yang dilakukan adalah ternak sapi, sampai ketingkat
pemotongan yang terletak dipinggir pantai Mardika. Sapi-sapi tersebut diperoleh
dari Pulau Seram, Pulau Buru, dan Kupang. Adanya pengeringan air laut
membuat tempat ini bergeser ke tengah, pada waktu itu ada di belakang Gereja di
Mardika. Setelah itu berangsur-angsur makin banyak pendatang yang datang dari
Bugis. Mereka ini terutama mempunyai usaha dagang dengan partai besar atau di
sector informal, buruh kasar, atau tukang becak untuk laki-laki. Menurut Bappeda,
untuk penarik becak yang ada di Kota Ambon pada saat itu, sebanyak 70% adalah
Orang Bugis, selebihnya adalah Orang Buton, dan daerah selatan Kepulauan
Maluku. Di Kelurahan rijali Orang bugis paling banyak tinggal di pasar Mardika,
tepatnya di RT 001 dan RT 005/RW 01.
1 Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon Lease/Oleh Ziwar Effendi; Kata Pengantar Oleh
Teuku Mohammad Radhie, (Jakarta, Pradnya Paramita 1987) 14
56
Bila dilihat jauh kebelakang, orang Butonlah yang pertama kali datang ke
Kota Ambon. Mereka datang sebelum pemberontakan Republik Maluku Selatan
(RMS), yaitu sejak masih dalam penjajahan Belanda. Orang Buton yang pertama
kali datang bekerja sebagai petani di tanah milik tuan tanah Ambon yang tidak
dikelola, atau berdagang. Orang Buton yang berdagang di Ambon, membawa
barang-barang dagangannya yang berasal dari Jawa dan juga Cengkih yang
berasal dari pulau-pulau di sekitar Ambon. Berkat keuletan dalam mengolah
tanah, lambat-laun mereka dapat memiliki tanah sendiri, hal ini yang mendorong
kedatangan sanak-saudara dan keluarganya dari Buton ke Ambon. Orang Buton
kelompok pertama ini hanya tinggal di daerah Karang Panjang (Pertuanan Soya),
dan mereka sudah dianggap sebagai orang Ambon yang sering disebut sebagai
‘Buton Ambon’. Karena itu bila terjadi masalah tanah antara orang Soya dan Batu
Merah, maka orang Buton ini dapat dianggap sebagai saksi.
Orang Buton yang ada di kelurahan Rijali sekarang ini lebih banyak
mereka yang datang kemudian. Pada umumnya mereka tidak terdaftar sebagai
penduduk Kelurahan Rijali atau Kotamadya Ambon. Kelompok ini mulai
berdatangan setelah pasar Mardika mulai beroperasi sampai sekarang ini. Mereka
tinggal di sekitar pasar, atau di pasar-pasar atau kios tempat mereka berjualan.
Kelompok ini lebih bertujuan untuk berdagang di sector informal seperti menjual
pakaian skala besar yang lebih dikenal dengan sebutan ‘cakbong’ (cakar-
bongkar), pedagang pikulan, menjual ikan dan sayur, bahkan ada yang menjadi
peminta-minta atau pelaku kriminal seperti mencuri atau membunuh. Pada waktu
itu mereka datang ke Ambon dengan menggunakan kapal yang diorganisir oleh
57
seorang yang disebut ‘bos’, sehingga terlepas dari kontrol pejabat daerah
setempat. Apalagi diantara pendatang ilegal ini masih anak-anak dan dibawah
umur. Anak-anak ini tidak bersekolah dan hanya berkeliaran di sekitar wilayah
Pasar Mardika seperti anak-anak liar. Yang membedakan orang ‘Buton Ambon’
dan orang Buton yang baru datang belakangan ini adalah, dari tingkat pendidikan,
cara berpakaian, dan tingkah-laku.
Pendatang asal Sulawesi lainnya, adalah dari Toraja yang mulai datang
sekitar tahun 1970-an. Orang Toraja ini mempunyai usaha rotan yang diambil dari
Pulau Seram. Rotan-rotan itu dijadikan alat rumah-tangga, seperti kursi, meja, dan
rak buku yang dijual di pasar Mardika atau di pasar batu Merah.
Kemudian orang Jawa yang mulai ramai datang ke Ambon di sekitar tahun
1980-an. Pada awalnya, mereka ini hanya membuka usaha menjual mie-bakso dan
sate. Sekarang tidak hanya sektor informal, seperti berdagang mie-bakso, sate,
warung makanan, atau membuat tahu, tempe, dan toge, serta berjualan sayur-
mayur, tetapi mereka juga mulai membuka usaha menjual sepeda dan motor.
Orang Jawa tidak tinggal atau menempati satu wilayah saja, akan tetapi mereka
hidup terpencar di beberapa wilayah di Kotamadya Ambon. Sedangkan di
kelurahan Rijali, orang jawa yang berusaha di sektor informal seperti contoh
diatas akan menyewa rumah atau kamar secara berkelompok. Di Kelurahan Rijali
banyak dijumpai di RW 01, RW 02, RW 03, dan RW 05. dengan lancarnya
transportasi feri (kapal laut penumpang) antara Pulau Seram dan Pulau Ambon
turut memperlancar transmigrasi orang Jawa yang ada di Pulau Seram untuk
datang berdagang dan membuka usaha di Ambon.
58
Orang Minagkabau sudah lama berada di Ambon, tetapi kapan pertama
kali mereka datang secara pasti tidak diketahui. Mereka datang tidak secara
berkelompok. Mereka akan pindah ke Ambon, jika ada pelung untuk membuka
usaha mereka, kemudian baru mereka mengajak sanak-saudara dan keluarga
mereka. Di Kelurahan Rijali, orang Minangkabau membuka usaha rumah makan
dan usaha dalam sektor informal lainnya. Selain orang dari Minangkabau,
pendatang dari daerah Sumatra lainnya adalah dari Palembang, Jambi, dan
Medan. Pendatang asal Pulau Sumatera banyak berdiam di RW IV dan V.
Selain pendatang yang berasal dari luar profinsi Maluku, ada pula mereka
yang datang dari daerah Propinsi Maluku lain, misalnya dari Kepulawan Kei,
Banda, dan Halmahera. Pada umumnya mereka bekerja sebagai kuli kasar, dan
tukang becak. Pendatang lain yang ada di Kelurahan Rijali, adalah orang Cina
yang banyak tinggal di sekitar pertokoan Mardika atau jalan-jalan utama seperti
jalan Cendrawasih dan Telukabesi. Orang Cina ini mulai banyak tinggal di
Kelurahan Rijali setelah Mardika mulai ramai, karena membuka peluang bagi
mereka untuk membuka toko dan sekaligus sebagai tempat tinggal. Banyak toko-
toko atau pedagang kaki lima (PKL) yang bermunculan di wilayah mardika dan
membuat kepadatan di wilayah ini semakin tinggi. Banyak bermunculan
pemukiman kumuh yang mengakibatkan semakin sempit ruas jalan raya dan
semakin padat wilayah pemukiman, akibatnya pemukiman di wilayah ini semakin
tidak tertata dengan baik.
Banyaknya pendatang menimbulkan beberapa masalah yang sulit untuk di
hindari, terutama berkaitan dengan masalah kesempatan kerja. Makin
59
berkembangnya pantai Mardika membuat daerah itu semakin rawan. Perkelahian
banyak terjadi, terutama diantara pedagang, seperti orang Bugis dengan Bugis,
orang Buton dengan Buton, orang Bugis dengan Buton. Persaingan ini sering
menjurus ke pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian antara suku dan
sesama suku. Pokok persoalan lebih karena persaingan dalam usaha, akibat
minum minuman keras, dan judi. Sedangkan pada orang Ambon sendiri sering
terjadi perselisihan sampai berujung perkelahian dengan orang Bugis-Makasar,
sehingga muncul kata-kata yang dikenal dengan sebutan ‘bakalai Ambon-Bugis’.
Misalnya kejadian yang terjadi tahun 1960-an yang diawali oleh para pemuda, dan
merembet ke orang tua dan anak-anak.
3.1.3. Penduduk Rijali
Analisa penduduk Kelurahan Rijali akan selalu mengacu kepada
pembagian Rukun warga yang terdiri dari 5 RW. Setiap kelompok RW
memperlihatkan kekhususan sendiri yang diharapkan dapat menggambarkan
situasi Kelurahan Rijali secara utuh. Untuk itu penulis akan melihat penduduk
Rijali menurut jenis kelamin, umur, agama, pendidikan, dan pekerjaan, termasuik
juga rumah tangga miskin.
Jumlah penduduk Kelurahan Rijali terhitung pada tahun 2010 adalah 6.759
jiwa yang berasal dari 1.327 rumah tangga2. Angka kependudukan ini tidak jauh
berbeda dengan jumlah penduduk Kelurahan Rijali sebelum terjadi konflik, yaitu
2 Sumber data BKKBN Ambon tingkat Kecamatan tahun 2010
60
lebih dari 5.000 - 6.000 jiwa yang berasal lebih dari 1.500 - 2.000 rumah tangga.
Dapat dilihat bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap jumlah
penduduk Kelurahan Rijali pasca terjadinya konflik walaupun terjadi penurunan
jumlah rumah tangga yang berada di Kelurahan tersebut. Artinya pengaruh
konflik tidak berdampak pada penuh pada kepundudukan di Kelurahan Rijali, dan
ternyata masih tetap menjadi diminati sebahagian besar masyarakat untuk
menetap di sana. Berikut ini merupakan table Rekapitulasi hasil pendataan
keluarga tingkat kecamatan, menurut cakupan wilayah dan cakupan rumah tangga
/ keluarga di Kecamatan Rijali.
Table 1
DESA/
KELURAHAN
CAKUPAN WILAYAH CAKUPAN RUMAH TANGGA DAN
KELUARGA
JUMLAH
DUSUN/RW
JUMLAH
RUKUN TETANGGA
JUMLAH
RUMAH TANGGA
JUMLAH
KEPALA
KELUARGA
Y
A
N
G
A
D
A
YANG
DIDATA
YANG
ADA
YANG
DIDATA
YANG
ADA
YANG
DIDATA
YANG
ADA
YANG
DIDATA
RIJALI 5 5 17 17 1327 1327 1543 1543
Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Kecamatan Tahun
2010
Sesuai dengan kategori umur, di Kelurahan Rijali jumlah usia balita cukup
tinggi, yaitu berjumlah 633 jiwa. Dapat dikatakan bahwa tingkat populasi atau
pertumbuhan penduduk di Kelurahan Rijali cukup tinggi, yang sangat
berpengaruh langsung pada kepadatan penduduk di Kelurahan Rijali. Jumlah
penduduk usia produktif (usia sekolah dan usia kerja) juga cukup tinggi, walaupun
61
demikian tidak sertamerta dengan mudah penduduk dalam usia tersebut dengan
mudah memperoleh kesempatan bersekolah ke tingkatan yang lebih lanjut
ataupun kesempaan untuk mendapatkan pekerjaan. Berikut ini merupakan table
Rekapitulasi hasil pendataan keluarga tingkat kecamatan, menurut kelompok
umur dan menurut status pendidikan di Kelurahan Rijali.
Table 2
JUMLAH JIWA MENURUT KELOMPOK UMUR
BAYI
(0 - < 1
TAHU
N)
BALIT
A
(1 - < 5
TAHU
N)
5 – 6
TAHU
N
7 – 15 TAHUN
16 –
21
TAHU
N
22 –
59
TAHU
N
60
TAHU
N KE
ATAS
SEKOLAH TIDAK SEKOLAH
LAK
I-
LAK
I
PEREMPU
AN
LAK
I-
LAK
I
PEREMPU
AN
158 475 266 442 371 0 0 764 3911 372
Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Kecamatan Tahun
2010
Table 3
JUMLAH KEPALA KELUARGA MENURUT
STATUS PENDIDIKAN
TIDAK TAMAT
SD
TAMAT
SD – SLTP
TAMAT
SLTA
TAMAT
AK/PT
102 297 786 358
Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Kecamatan Tahun
2010
Bila dilihat dari sektor perekonomian, Kelurahan Rijali sangat dipengaruhi
oleh situasi perdagangan dan usaha hiburan yang semakin semarak. Pasar
Mardika merupakan pasar terbesar yang berada di kota Ambon, dan tepat
berlokasi di wilayah Kelurahan Rijali yang member pengaruh terbesar terhadap
perekonomian wilayah tersebut. Keadaan ini memberi peluang bagi penduduk
62
Kelurahan Rijali untuk berusaha atau memperoleh pekerjaan. Banyak pendatang
yang datang ke wilayah ini berkelompok maupun perorangan, kemudian menyewa
rumah atau membeli rumah dan kemudian membuka usaha di rumahnnya sendiri
Dengan demikian tidak berarti penduduk wilayah tersebut hanya menggantungkan
hidupnya dengan berwiraswasta, akan tetapi banyak dari penduduk Kelurahan
Rijali yang menjadi pegawai negeri dan pegawai swasta. Hal ini dipengaruhi pula
oleh adanya beberapa perusahaan-perusahaan negeri dan swasta yang berada di
sekitar wilayah ini.
Tercatat ada 1.408 kepala keluarga yang memiliki pekerjaan dan 135
kepala keluarga yang tidak memiliki pekerjaan, artinya tingkatan penduduk yang
bekerja masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bekerja, tidak
berarti tinggkat pengangguran di wilayah ini bias teratasi, sebaliknya tingkat
pengangguran di wilayah ini juga cukup tinggi dan tentunya sangat
mempengaruhi perekonomian wilayah ini. Penulis mencoba memaparkan
pendataan keluarga sejahtera dan keluarga miskin untuk untuk melihat
perbandingan antara keduanya dalam melihat keadaan perekonomian penduduk
Kelurahan Rijalai umumnya.
Table 4
Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Kecamatan Tahun
2010
HASIL PENTAHAPAN KELUARGA SEJAHTERA
KELUARGA
PRA
SEJAHTERA
KELUARGA
SEJAHTERA
I
KELUARGA
SEJAHTERA
2
KELUARGA
SEJATERA
3
KELUAGA
SEJAHTERA
3 PLUS
98 349 275 394 427
63
Tingkat kesejahterahan penduduk di wilayah Kelurahan Rijali cukup
tinggi dengan 394 kepala keluarga yang masuk ke dalam kategori keluarga
sejahtera 3 dan 427 kepala keluarga yang berada pada tingkat keluarga sejahtera 3
plus. Wilayah Kelurahan Rijali masih memiliki beberapa keluarga miskin yang
masih berada di bawah taraf kesejahteraan. Jumlah keluarga yang berada pada
status rumah tangga miskin adalah 72 kepala keluarga, yang di paparkan di dalam
tabel sebagai berikut;
Table 5
STATUS KEMISKINAN
Hampir Miskin Miskin Miskin Sekali
18 24 30
Sumber: Data Rekapitulasi Hasil Keluarga Miskin Berdasarkan
Keputusan Walikota NO. 100 Tahun 2010
Jumlah keluarga miskin yang dipaparkan di atas merupakan keluarga yang
berhasil di data, tidak menutup kemungkinan masih ada keluarga miskin lainnya
yang belum terdata oleh pemerintah. Hal ini melihat kenyataan yang ada bahwa,
di kawasan wilayah ini banyak sekali di jumpai pengangguran, pemulung,
peminta-minta, pengamen, dan gelandangan. Penyebabnya sudah barang tentu
merupakan pengaruh dari banyaknya pendatang yang datang dari luar provinsi
maupun dari luar Pulau Ambon yang dari hari-kehari semakin banyak bermukim
dan menumpuk di wilayah Rijali. Para pendatang ini kebanyakan datang ke
Ambon dengan tujuan membuka usaha dan berdagang, akan tetapi tidak sedikit
64
juga yang datang tanpa modal usaha dan hanya mengandalkan keberuntungan.
Akibanya banyak dari pendatang ini yang tidak memiliki pekerjaan atau
menganggur. Tingkat kejahatan pun semakin tinggi, dengan banyak bermunculan
pencopet maupun preman pasar, banyak juga di jumpai yang masih berada di
bawah umur.
3.1.4. Interaksi Penduduk.
3.1.4.1 Interaksi Sebelum Konflik.
Di Indonesia, kita mengenal budaya ‘gotong-royong’ yang merupakan
budaya turun-temurun dari generasi ke generasi di wilayah Indonesia. Begitu pula
di wilayah Maluku, gotong-royong lebih dikenal dengan sebutan budaya
‘Masohi’, yaitu adalah budaya tolong-menolong antar sesama masyarakat yang
tinggal dan hidup bersama-sama di suatu wilayah atau tempat. Budaya ‘Masohi’
ini merupakan proses ‘balas budi’, yaitu ketika dua orang, di mana salah satunya
membutuhkan bantuan, misalnya dalam pembangunan rumah, maka pihak lainnya
secara spontan akan membantu pihak yang memerlukan bantuan. Sebaliknya
ketika pihak penolong membutuhkan bantuan maka pihak yang tadinya pernah
ditolong akan memberikan bantuannya. Bantuan yang diberikan merupakan
bantuan sukarela tanpa bayaran, yang spontan dilakukan dan sering kali tanpa
menunggu permintaan dari pihak yang membutuhkan bantuan.
Demikian pula yang terjadi di wilayah kelurahan Rijali, di mana kegiatan
‘Masohi’ sering dilakukan oleh masyarakat setempat. Walaupun berasal dari
berbagai latar-belakang yang berbeda-beda, masyarakat di wilayah Rijali dapat
65
hidup dengan rukun dan saling membantu dan bekerja sama untuk membangun
masyarakat dan wilayahnya. Perbedaan suku maupun agama yang ada di antara
masyarakat Rijali tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk saling bertoleransi
dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Sejak dahulu hubungan yang
terbina antara masyarakat di wilayah Kelurahan Rijali sangat, baik masyarakat asli
Maluku maupun pendatang yang telah lama menetap di Maluku. Ada kerja sama
dan rasa saling membutuhkan antara sesama masyarakat yang berada di wilayah
Kelurahan Rijali, yang pada akhirnya menciptakan suatu suasana kekeluargaan
antara sesama masyarakatnya.
Silahturahmi yang terjadi antara masyarakat yang menempati wilayah
Kelurahan Rijali juga terbina dengan baik. Hal ini terlihat dalam hari-hari besar
keagamaan, yaitu ketika umat Kristiani merayakan Natal, maka umat Muslim
yang berada di situ akan datang berkunjung untuk mengucapkan selamat. Begitu
pun sebaliknya, ketika hari Lebaran, umat Kristiani akan datang berkunjung ke
rumah-rumah umat Muslim untuk bersilahturahmi. Demikian juga ketika ada
keluarga yang berkabung, maka keluarga yang lain akan datang untuk
mengucapkan belasungkawa, tanpa memandang latar-belakang kepercayaan dan
budaya.3
Budaya Pela dan Gandong merupakan ikatan adat yang sangat kuat,
sehingga mampu untuk menciptakan sebuah hubungan kekeluargaan antara
masyarakat di Maluku. Begitu pun pada masyarakat yang berada di wilayah
Kelurahan Rijali, di mana budaya Pela dan Gandong dipegang erat oleh mereka.
3 Hasil wawancara Tanggal 18 Juni 2011 dengan saudara F.M.
66
Walaupun banyak sekali pendatang yang berasal dari luar daerah dan dari luar
pulau Ambon yang menempati dan menetap di wilayah Rijali, namun tidak
menghilangkan budaya Pela dan Gandong pada masyarakat asli atau masyarakat
mula-mula yang menempati wilayah tersebut. Sayangnya budaya Pela dan
Gandong hanya terbatas atau berlaku pada masyarakat asli Maluku. Kekuatan
budaya Pela dan Gandong terbukti pada saat konflik terjadi. Terlihat, di mana
antara dua kelompok atau negeri (desa) yang mempunyai keterikatan Pela atau
Gandong tidak akan terlibat konflik, karena mereka takut melanggar janji bersama
yang pernah diikrarkan, sebab mereka takut menerima sanksi atau hukuman dari
adat yang biasanya berupa bencana maupun kematian.
Kedatangan para transmigran dari Jawa dan para perantauan dari luar
daerah sebelum konflik sosial tahun 1999 terjadi, menyebabkan pemukiman di
wilayah Kelurahan Rijali menjadi sangat padat. Mulai banyak muncul pemukiman
kumuh di wilayah Rijali, khususnya di wilayah tepi sungai yang berada di wilayah
Kelurahan Rijali, dan mengalir menuju laut. Alasan mengapa mereka memilih
wilayah Rijali, karena seperti yang penulis paparkan sebelumnya bahawa
Kelurahan Rijali yang berada di wilayah pasar Mardika merupakan tempat yang
strategis untuk membuka usaha dan mencari nafkah bagi para perantauan. Di
wilayah pasar Mardika memang sering terjadi konflik antara kelompok pemuda
maupun masyarakat pendatang dan masyarakat asli Ambon. Namun biasanya
masyarakat asli Ambon yang terlibat konflik dengan pendatang bukan berasal dari
penghuni Kelurahan Rijali, melainkan berasal dari wilayah lain di kota Ambon.
67
Walaupun berada di wilayah pasar Mardika, Masyarakat yang bermukim di Rijali
sering terhindar dari konflik dengan masyarakat pendatang.4
3.1.4.2. Interaksi Ketika Konflik Berlangsung
Ketika konflik sosial tahun 1999 terjadi di Ambon, wilayah Kelurahan
Rijali merupakan salah satu wilayah yang terparah terkena dampak langsung dari
konflik. Konflik itu sendiri pertama kali pecah di wilayah Batu Merah yang
berbatasan langsung dengan Kelurahan Rijali, dan mulai dari sanalah konflik
kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lain di kota Ambon. Kelurahan Rijali
menjadi salah satu arena pertempuran antara kedua kelompok yang bertikai,
karena wilayah Kelurahan Rijali merupakan wilayah perbatasan. Seluruh
masyarakat penghuni Kelurahan Rijali pada waktu itu meninggalkan kelurahan
Rijali untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Pada waktu konflik terjadi,
wilayah Rijali bagaikan kota mati, karena tidak berpenghuni. Wilayah ini sering
berubah menjadi daerah pertempuran karena berada tepat di tengah-tengah kedua
wilayah kelompok yang bertikai, dan sekaligus menjadi pembatas antara kedua
wilayah kelompok tersebut.
Ketika konflik berlangsung, nyaris tidak ada interaksi yang terjadi di
antara masyarakat yang pernah menetap bersama-sama di wilayah Kelurahan
Rijali. Hubungan antara sesama masyarakat Rijali yang berbeda keyakinan benar-
benar terputus. Terkadang masyarakat Rijali kembali ke Rijali, jika menurut
4 Hasil wawancara Tanggal 18 Juni 2011 dengan saudara F.M.
68
mereka keadaan sudah cukup aman, itupun hanya mereka yang bertempat tinggal
agak jauh dari wilayah rawan konflik di kawasan Rijali. Namun mereka juga
harus kembali mengungsi karena keadaan yang aman itu tidak berlangsung lama.5
Setelah beberapa tahun konflik berjalan, muncul interaksi antaara kedua
kelompok yang berselisih, secara tersembunyi atau secara diam-diam di dilakukan
di wilayah Kelurahan Rijali (perbatasan). Akan tetapi mereka juga bukan
merupakan warga yang tinggal di wilayah Rijali, melainkan adalah orang-orang
yang tinggal di luar wilayah Rijali. Mereka biasanya adalah, para pedagang yang
bertukar barang dagangan untuk di jual ke wilayah masing-masing.
3.1.4.3. Interaksi Pasca Konflik
Setelah konflik dinyatakan benar-benar berakhir, sebagian besar
masyarakat yang menetap di wilayah Kelurahan Rijali, dan kembali menempati
pemukiman mereka di Rijali. Beberapa dari masyarakat penghuni Rijali ada yang
tidak kembali ke Rijali, karena trauma atau takut konflik kembali terjadi.
Sebagian besar dari mereka kehilangan tempat tinggal, karena terbakar habis
akibat dari konflik. Itu sebabnya dapat kita jumpai ada beberapa lahan kosong
bekas bangunan yang habis terbakar dan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.
Ada juga yang rumahnya luput dari pengaruh konflik, yaitu bagi mereka yang
tinggal tidak terlalu dekat dengan wilayah garis perbatasan yang ada di Kelurahan
5 Hasil wawancara Tanggal 20 Juni 2011 dengan saudara V.P.
69
Rijali.6 Sebahagian besar masyarakat yang tinggal di wilayah Kelurahan Rijali
kembali dan membangun rumah-rumah mereka yang hancur akibat dari konflik.
Setelah rumah-rumah mereka selesai dibangun, ada yang memilih untuk
menempati rumah mereka kembali, namun ada juga yang memilih untuk
mengontrakan atau menjadikan rumah mereka sebagai tempat kos bagi para
pendatang. Hanya sebagian kecil masyarakat Rijali yang kembali dari
pengungsian, yang memberanikan diri untuk kembali menetap di wilayah
tersebut.
Interaksi yang terjadi antara sesama penghuni kelurahan Rijali setelah
kembali dari pengungsian, tetap terjalin dengan baik. Walaupun berbeda latar-
belakang keyakinan namun tidak mempengaruhi interaksi dari para penghuni
Kelurahan Rijali. Terlihat ada interaksi yang baik antara sesama para penghuni
Kelurahan Rijali. Sikap saling menghorati dan saling menghargai masih kental
terlihat antara sesama masyarakatnya. Hal ini terlihat ketika penulis melakukan
penelitian, di mana untuk menjangkau kelompok Muslim yang menetap di
wilayah Kelurahan Rijali penulis di bantu oleh informan kunci, yang beragama
Kristen. Informan kunci bertempat tinggal besebelahan atau bertetangga dengan
keluarga-keluarga yang bermayoritas beragama Muslim dan dia sangat mengenal
baik, juga sangat akrab dengan tetangga-tetangganya yang berbeda keyakinan itu.
Berkat bantuan informan kunci ini penulis mendapat kemudahan untuk
menjangkau para informan yang beragama Muslim. Informan kunci dan beberapa
6 Wilayah garis perbatasan adalah, wilayah yang secara alamiah muncul dari hasil konflik
yang membatasi kedua kelompok yang bertikai. Kedua belah pihak kelompok tidak akan berali
melewati wilayah perbatasan ini. Di Kelurahan Rijali wilayah ini berada di antara pemukiman
warga.
70
keluarga Kristen lainnya memang tinggal di wilayah Kelurahan Rijali yang tepat
merupakan wilayah perbatasan dan rawan konflik di Kelurahan tersebut. Di
wilayah ini penduduk Muslim dan Kristen hidup berbaur, walaupun mayorits
umat Muslim, namun mereka tetap saling menghargai dan menghormati.
Bagi masyarakat yang menghuni Rijali sebelum konflik terjadi, mereka
tetap merupakan satu keluarga dan bagi mereka, tidak ada masalah antara sesama
mereka akibat pengaruh konflik sosial yang terjadi. Hubungan interaksi yang
terjalin antara mereka tetap baik, sama halnya dengan hubungan mereka ketika
konflik belum terjadi. Tidak ada dendam di antara mereka, walaupun di antara
mereka ada yang kehilangan harta benda maupun kehilangan anggota keluarga.7
Bagi mereka yang adalah penduduk asli Kelurahan Rijali yang sudah menetap
sebelum konflik terjadi, beranggapan bahwa kerugian yang mereka alami
bukanlah berasal dari sesama mereka yang menetap di Kelurahan Rijali, akan
tetapi merupakan dampak konflik dari luar wilayah Rijali dan berimbas bagi
mereka yang menetap di Rijali.
Dari hasil penelitian dan observasi, penulis menemukan bahwa satu-
satunya permasalahan yang ada di dalam masyarakat Kelurahan Rijali adalah,
iteraksi dengan kaum pendatang. Setelah konflik berakhir, gelombang pendatang
yang menetap di wilayah Kelurahan Rijali kembali meningkat dan sebahagian
besar dari mereka juga tidak terdata pada data kependudukan kantor kelurahan.
Seluruh informan yang penulis jumpai dan wawancarai, mengeluhkan kehadiran
jumlah pendatang yang sangat besar dan menetap di wilayah Kelurahan Rijali.
7 Hasil wawancara Tanggal 18 Juni 2011 dengan Ibu L. M
71
Pemukiman di Kelurahan Rijali semakin padat, dan tata desa semakin tidak
beraturan. Interaksi yang terjalin juga kurang baik, antara penduduk asli Rijali
dengan para pendatang pasca konflik. Penduduk lama mulai tersisihkan dan nilai
hormat-menghormati, saling menghargai, juga kerukunan antar masyarakat
penghuni Kelurahan Rijali semakin menurun. Bagi masyarakat penghuni
Kelurahan Rijali sebelum konflik, interaksi yang mereka jalin hanya sebatas
dalam ruang lingkup sesama mereka penduduk lama Rijali. Interaksi antara
sesama pendatang hanya sebatas pada kegiatan jual-beli di pasar dan antara
beberapa tetangga pendatang terdekat di rumahnya. Selebihnya tidak ada interaksi
yang terjalin di antara mereka yang adalah penduduk lama dan para pendatang
yang baru menepati Kelurahan Rijali setelah konflik berakhir. Bahkan para
penghuni lama Kelurahan Rijali tidak mengenal sebahagian besar orang-orang
atau masyarakat yang berlalu-lalang di depan rumah atau di wilayah mereka.
Bagi masyarakat lama penghuni Kelurahan Rijali, para pendatanglah yang
menyebabkan konflik terjadi. Begitu pula pasca konflik, menurut mereka yang
menimbulkan kekacauan atau kericuhan di wilayah Rijali adalah kaum
pendatang.8 Oleh sebab itu, sebelumnya penulis mengatakan bahwa penduduk
lama mulai tersisihkan, artinya jumlah pendatang yang menetap semakin
bertambah berakibat pada penekanan keaslian nilai-nilai yang ada pada penduduk
lama Kelurahan Rijali, mengakibatkan hancurnya interaksi di wilayah tersebut.
Hasil observasi penulis selama beberapa hari menunjukan bahwa sangat minim
interaksi yang terjadi antara sesama penghuni wilayah Kelurahan Rijali. Setiap
8 Hasil wawancara dengan saudara Ibu L, Ibu A.S, Ibu M.N, Ibu P, dan Saudara F.M.
72
keluarga lebih sering menghabiskan aktifitasnya di kantor maupun di dalam
rumah masing-masing, sedangkan interaksi antar sesama tentangga hampir tidak
ada.
Penulis mengambil kesimpulan bahwa pengaruh buruk dari dampak
konflik terhadap interaksi masyarakat yang menetap di Kelurahan Rijali sangatlah
besar yang mengakibatkan buruknya interaksi antara sesama penghuni dan
hilangnya nilai-nilai tradisional yang pernah ada di wilayah tersebut. Kurang
adanya campur tangan pihak perangkat desa dalam menangani masalah keamanan
dan ketertiban wilayah Kelurahan Rijali, mengakibatkan semakin memperburuk
keadaan dan ketentraman wilayah Rijali. Tidak lagi terlihat kerja sama atau
tolong-menolong antara sesama warga desa maupun silahturahmi ketika hari-hari
besar keagamaan antara sesama warga yang berbeda keyakinan.