bab iii metode penelitian 3.1 kerangka pemikiran · bencana alam perubah an penggunaan ... gamb ar...
TRANSCRIPT
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan wilayah, terdapat 3
(tiga) pilar utama, yaitu faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor daya dukung
lingkungan fisik. Interaksi antara ketiga aspek ini selanjutnya akan mengakibatkan
perubahan penggunaan lahan. Kecenderungan perubahan penggunaan lahan
mempunyai pola yang dinamis dan kecepatan perubahan yang berbeda-beda di
setiap tempat dan lokasi, bergantung pada faktor-faktor yang dominan menjadi
penyebab terjadinya perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah. Beberapa
faktor penyebab perubahan penggunaan lahan diantaranya adalah faktor biofisik
wilayah, faktor sosial ekonomi dan faktor kelembagaan. Perubahan penggunaan
lahan akan dipengaruhi dan berpengaruh terhadap perubahan daya dukung
lingkungan.
Daya dukung lingkungan hidup seharusnya menjadi salah satu
pertimbangan terpenting dalam penataan ruang, baik dalam penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) maupun dalam evaluasi pemanfaatan ruang.
Pengintegrasian pertimbangan daya dukung lingkungan hidup diperlukan dalam
penataan ruang agar alokasi pemanfaatan ruang sesuai dengan kondisi dan
kapasitas sumber daya wilayah. dengan demikian, lahan yang misalnya cocok
untuk pertanian tetap dipertahankan untuk berlangsungnya kegiatan pertanian,
sehingga ketahanan pangan dapat dijaga dan kerusakan tanah akibat pembukaan
lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat dicegah.
Berbagai bentuk kerusakan dan bencana lingkungan seringkali merupakan
permasalahan lingkungan yang timbul akibat ketidaksesuaian antara pemanfaatan
dengan daya dukung lingkungan hidup. Hal ini umumnya timbul akibat
pertumbuhan penduduk atau perkembangan aktifitas manusia yang melampaui
kemampuan lingkungan yang mendukungnya. Banjir di Kota Bima yang terjadi
setiap tahun sejak tahun 2003 merupakan salah satu indikator yang mengarah
kepada ketidaksesuaian antara pemanfaatan lahan dengan daya dukung
lingkungan hidup.
18
Dalam penelitian ini, ruang lingkup pembahasan mengenai daya dukung
lingkungan dibatasi pada aspek kelas kemampuan lahan dan daya dukung lahan
berbasis produktivitas, yaitu kemampuan lahan dalam hal penyediaan kebutuhan
pangan masyarakat. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan
lahan, perubahan penggunaan lahan, dan daya dukung lahan di Kota Bima.
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Kota Bima, yang merupakan kota hasil pemekaran
wilayah Kabupaten Bima di Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdiri atas 5
kecamatan dan 38 kelurahan. Kota Bima memiliki luas wilayah 22.225 hektar
(BPS 2006) atau 21.862 hektar (hasil perhitungan dari peta administrasi
Bakosurtanal 2009). Luas yang dipakai dalam pengolahan data dalam penelitian
ini adalah angka hasil analisis spasial tersebut. Secara geografis Kota Bima
Pembangunan dan
pengembangan wilayah
Pertambahan jumlah penduduk
Perkembangan aktifitas
ekonomi dan pembangunan
infrastruktur
Peningkatan kebutuhan
terhadap lahan
Alih fungsi lahan menjadi
lahan budidaya
Penggunaan lahan
sesuai daya
dukung?
Penurunan kualitas
lingkungan, bisa terjadi
bencana alam
Perubahan
penggunaan
lahan
Arahan penetapan penggunaan
lahan sesuai kemampuan lahan
Penggunaan lahan aktual
Ya
Tidak
Perubahan
daya
dukung
lingkungan
19
terletak pada 1180 41’ - 118
0 48’ Bujur Timur dan 8
0 30’ - 8
0 30’ Lintang Selatan.
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, penduduk Kota Bima berjumlah
142.443 jiwa, terdiri atas 69.841 jiwa laki–laki atau 49,03% dan 72.602 jiwa
perempuan atau 50,97% dari jumlah penduduk (BPS 2011). Peta administrasi
Kota Bima disajikan dalam Gambar 2. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama
delapan bulan, yang dimulai bulan Juli tahun 2010 hingga bulan Februari tahun
2011.
Gambar 2 Peta administrasi Kota Bima
3.3 Bahan dan Alat
Bahan penelitian terdiri atas citra Geoeye-1 Kota Bima tahun 2010, citra
ASTER GDEM, peta tanah, peta lereng, dan peta landform. Alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
software Google Earth, Global Mapper 11, ArcGIS 9.3, Statistica 8.0, Microsoft
Word, dan Microsoft Excell. Peralatan penunjang lainnya adalah alat tulis dan
kamera.
20
3.4 Pengumpulan Data
Data yang digunakan terdiri dari data primer berupa hasil pengecekan
lapang untuk memverifikasi hasil interpretasi penutupan lahan dari citra Geoeye-1
dan data harga beberapa komoditas pada tingkat produsen; serta data sekunder
berupa peta-peta tematik, data kependudukan, dan data produksi.
Sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini didapatkan
dengan cara menginventarisasi dan penelusuran data baik pada buku, peta,
internet, perundang-undangan, penelitian terdahulu, maupun dari beberapa
instansi terkait, baik instansi pemerintah di daerah maupun pusat, atau
instansi/lembaga independen lainnya. Gambaran mengenai kondisi fisik wilayah,
khususnya mengenai penggunaan lahan aktual, diperoleh dari hasil survei/cek di
lapangan. Pada data yang terkait dengan aspek spasial, standarisasi mutlak
diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sesuai standar agar
dapat digunakan dalam proses pengolahan lebih lanjut. Matriks tujuan, metode
analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari setiap tahapan
penelitian disajikan dalam Tabel 1.
3.5 Analisis Data
Analisis data meliputi: (1) analisis perubahan penggunaan lahan, (2)
analisis kemampuan lahan, (3) evaluasi kesesuaian penggunaan lahan berbasis
kemampuan lahan, (4) analisis status daya dukung lahan berbasis produktivitas,
dan (5) penyusunan arahan penggunaan lahan berbasis kemampuan lahan. Bagan
alir pengolahan data disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Bagan alir pengolahan data
Peta Kemampuan
Lahan Tingkat Sub
kelas
Overlay Data Produksi
semua komoditas
hasil pertanian
(Tahun 2005 dan
2010)
Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan
Tahun 2005 dan 2010
dengan Kemampuan Lahan
Jumlah Penduduk,
kebutuhan lahan per
orang (Tahun 2005
dan 2010)
Ketersediaan Lahan
(Tahun 2005 dan 2010)
Kebutuhan Lahan (Tahun
2005 dan 2010)
Status Daya Dukung Lahan berbasis
produktivitas (Tahun 2005 dan 2010)
Arahan penggunaan lahan yang sesuai
kemampuan lahan
Analisis kuantitatif, spasial dan deskriptif
Peta tanah, peta kelas
lereng, peta bentuk lahan,
citra ASTER GDEM
Identifikasi Kelas
Kemampuan Lahan
Citra Geoeye
Tahun 2010
Interpretasi citra
Peta Penggunaan
Lahan Tahun 2005
Peta Perubahan Penggunaan
Lahan
Kota Bima Dalam
Angka (Tahun
2005 dan 2010)
Peta Penggunaan
Lahan Tahun 2010
Overlay
Tahap 1
Tahap 5
Tahap 3
Tahap 2
Tahap 4
Pengecekan Lapang
22
Tabel 1 Matriks tujuan, metode analisis, data dan sumber data, serta hasil yang diharapkan dari penelitian
No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil
1 Menganalisis penutupan/
penggunaan lahan tahun 2010
Interpretasi citra
menggunakan 9 kunci
interpretasi
Data yang dibutuhkan:
Citra Satelit Geoeye-1 imagery date
30 April 2010
Sumber data:
• Open source – Google Earth
Peta penggunaan lahan
tahun 2010
2 Menganalisis perubahan
penggunaan lahan periode
tahun 2005 – 2010
Analisis SIG:
Overlay peta penggunaan
lahan tahun 2005 dan 2010
Analisis LQ
Analisis deskriptif
Data yang dibutuhkan:
• Peta penggunaan lahan tahun
2005 dan 2010
• Peta administrasi
Sumber data :
BAPPEDA Kota Bima
Hasil tahapan analisis
sebelumnya
Mengetahui dinamika
dan pusat-pusat aktifitas
perubahan penggunaan
lahan selama periode
tahun 2005 – 2010
3 Menganalisis kemampuan
lahan Kota Bima tingkat sub
kelas
Analisis SIG:
Operasi overlay berbagai
peta tematik
Analisis kualitatif mengacu
pada kriteria klasifikasi
kemampuan kelas pada tingkat
sub-kelas (Hardjowigeno dan
Widiatmaka 2007)
Data yang dibutuhkan:
Peta tanah, peta kelas lereng, peta
bentuk lahan, citra ASTER GDEM
Sumber data :
Puslittanak
Diunduh dari http://www.gdem.aster.ersdac.or.jp/
Mengetahui kemampuan
lahan Kota Bima tingkat
sub kelas
23
Lanjutan Tabel 1
No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil
4 Mengevaluasi kesesuaian
penggunaan lahan dengan
kemampuan lahan
Analisis SIG:
Operasi overlay antara peta
penggunaan lahan dengan
peta kemampuan lahan
Data yang dibutuhkan:
Peta penggunaan lahan tahun
2005 dan 2010
Peta kemampuan lahan
Sumber data:
BAPPEDA Kota Bima
Hasil tahapan analisis
sebelumnya
Peta kesesuaian
penggunaan lahan tahun
2005 dan 2010 dengan
kemampuan lahan
5 Menentukan status daya
dukung lahan pada tahun 2005
dan 2010
Perbandingan antara total
ketersediaan lahan dan total
kebutuhan lahan
(Supply Side vs Demand Side)
Metode penghitungan merujuk
pada Permen LH 17/2009
tentang Pedoman Penentuan
Daya Dukung Lingkungan
Hidup Dalam Penataan Ruang
Wilayah
Data yang dibutuhkan:
• Jumlah penduduk
• Produksi padi/beras
• Produksi non padi
• Harga satuan beras
• Harga satuan tiap jenis komoditas
selain beras pada tingkat produsen
Sumber data:
BPS dan BAPPEDA Kota Bima
Status daya dukung
lahan berbasis
produktivitas
24
Lanjutan Tabel 1
No Tujuan Metode Analisis Data dan Sumber Data Hasil
6 Membuat peta arahan
penggunaan lahan berbasis
kemampuan lahan
Penentuan arahan penggunaan
lahan sesuai kemampuan lahan
dilakukan berdasarkan prinsip
bahwa semakin tinggi kelas
kemampuan lahannya, maka
semakin sedikit pilihan
penggunaannya (Arsyad 2010)
Hasil tahapan analisis sebelumnya Peta arahan penggunaan
lahan sesuai kemampuan
lahan
3.5.1 Perubahan Penggunaan Lahan
Peta penggunaan lahan tahun 2005 skala 1 : 25.000 diperoleh dari
BAPPEDA Kota Bima. Sementara peta penggunaan lahan tahun 2010 diperoleh
dari interpretasi citra Geoeye-1 Kota Bima dengan resolusi 0,41 meter atau 16 inci
dan imagery date 30 April 2010 yang terdapat pada Google Earth. Menurut Este
dan Simonett (1975), interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara
atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti
pentingnya obyek tersebut. Dalam interpretasi citra, penafsir mengkaji citra dan
berupaya mengenali obyek melalui tahapan kegiatan deteksi, identifikasi, dan
analisis. Setelah mengalami tahapan tersebut, citra dapat diterjemahkan dan
digunakan ke dalam berbagai kepentingan, misalnya dalam bidang geografi,
geologi, lingkungan hidup, dan sebagainya. Deteksi adalah usaha penyadapan data
secara global, baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Deteksi merupakan
penentuan ada tidaknya suatu obyek, misalnya obyek berupa hutan. Identifikasi
adalah kegiatan untuk mengenali obyek yang tergambar pada citra yang dapat
dikenali berdasarkan ciri yang terekam oleh sensor dengan alat stereoskop.
Dalam kegiatan interpretasi citra, ada tujuh karakteristik dasar yang
menjadi pertimbangan (Lillesand dan Kiefer 1990), yaitu:
1. Bentuk, adalah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek
demikian khas sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya
berdasarkan kriteria ini.
2. Ukuran, adalah ciri obyek berupa jarak, luas, tinggi, dan volume. Ukuran
obyek pada citra adalah berupa skala. Contohnya: lapangan olah raga sepak
bola dicirikan oleh bentuk segi empat dan ukuran yang tetap, yaitu sekitar 80-
100 m.
3. Pola, adalah hubungan susunan spasial obyek. Pola dapat digunakan untuk
membedakan obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Misalnya
pola aliran sungai yang berkelok-kelok berbeda dengan pola jalan raya yang
umumnya lurus. Kebun karet, kebun kelapa, dan kebun kopi mudah dibedakan
dengan hutan atau vegetasi lainnya karena polanya yang teratur.
4. Bayangan, bersifat menyembunyikan detail atau obyek yang berada di daerah
gelap. Bayangan juga dapat merupakan kunci pengenalan yang penting dari
26
beberapa obyek yang justru dengan adanya bayangan menjadi lebih jelas.
Misalnya lereng terjal tampak lebih jelas dengan adanya bayangan. Foto-foto
yang sangat condong biasanya memperlihatkan bayangan obyek yang
tergambar dengan jelas.
5. Rona, adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.
6. Tekstur, adalah frekuensi perubahan rona pada citra. Biasa dinyatakan dengan
“kasar”, “sedang” dan “halus”. Misalnya, hutan bertekstur kasar dan semak
bertekstur sedang. Tekstur merupakan hasil gabungan dari bentuk, ukuran,
pola, bayangan, dan rona.
7. Situs, adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Misalnya
permukiman pada umumnya memanjang pada pinggir pantai, tanggul alam,
atau sepanjang tepi jalan; atau persawahan banyak terdapat di daerah dataran
rendah.
Dari tujuh karakteristik dasar tersebut di atas, Sutanto (1992)
menambahkan satu karakteristik lagi, yaitu asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan
antara obyek yang satu dengan obyek lainnya. Misalnya, stasiun kereta api
berasosiasi dengan jalan kereta api yang jumlahnya lebih dari satu (bercabang).
Munibah (2008) menambahkan faktor lain yang dapat dijadikan sebagai kunci
interpretasi citra adalah kedekatan antara interpreter dengan obyek yang
diinterpretasi.
Menurut Sutanto (1992), pada dasarnya interpretasi citra terdiri dari dua
kegiatan utama, yaitu perekaman data dari citra dan penggunaan data tersebut
untuk tujuan tertentu. Perekaman data dari citra berupa pengenalan obyek dan
unsur yang tergambar pada citra serta penyajiannya ke dalam bentuk tabel, grafik
atau peta tematik. Urutan kegiatan dimulai dari (a) menguraikan atau memisahkan
obyek yang rona atau warnanya berbeda; (b) ditarik garis batas/deliniasi bagi
obyek yang rona dan warnanya sama; (c) setiap obyek dikenali berdasarkan
karakteristik spasial dan unsur temporalnya; (d) obyek yang sudah dikenali
diklasifikasi sesuai dengan tujuan interpretasinya; (e) digambarkan ke dalam peta
kerja atau peta sementara; (f) dilakukan pengecekan medan (lapangan) untuk
verifikasi; dan (g) interpretasi akhir, yaitu pengkajian atas pola atau susunan
keruangan (obyek) untuk dapat dipergunakan sesuai tujuannya.
27
Deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan melalui proses tumpang
susun (overlay) antara peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010 menggunakan
ArcGIS 9.3. Identifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan dilakukan
dengan menggunakan analisis Location Quotient (LQ).
Analisis LQ (Location Quotient) merupakan teknik analisis yang
digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktifitas di suatu wilayah dalam
cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Sebagai contoh adalah pemusatan
aktifitas di level provinsi dalam lingkup wilayah nasional, atau pemusatan
aktifitas di level kabupaten/kota dalam lingkup wilayah provinsi, demikian
seterusnya. Analisis LQ pada awalnya merupakan salah satu teknik yang
dikembangkan untuk melakukan analisis ekonomi basis. Dalam
perkembangannya, analisis LQ dapat digunakan untuk menganalisis untuk
pemusatan aktifitas apapun, dalam hal penelitian ini adalah pemusatan aktifitas
perubahan penggunaan lahan. Teknik LQ dilakukan secara berjenjang, dimulai
dari unit administrasi terkecil (kecamatan) untuk setiap wilayah kabupaten,
kemudian dilakukan pada unit kabupaten (Rustiadi et al. 2009).
Persamaan analisis LQ dalam penelitian ini adalah:
XXXXLQ
J
IIJ
IJ...
.
/
/
…………………………………(1)
Dimana:
XIJ : luas perubahan penggunaan lahan di kecamatan ke-i
XI. : total luas perubahan penggunaan lahan di Kota Bima
X.J : luas kecamatan ke-i
X.. : total luas wilayah Kota Bima
Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut:
- Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu
aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah
atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i, sehingga dapat diketahui
bahwa suatu wilayah administrasi terkecil yang dianalisis merupakan wilayah
yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan.
- Jika nilai LQij = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai konsentrasi
aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.
28
- Jika nilai LQij < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai aktifitas lebih
kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh
wilayah.
3.5.2 Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat
tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain.
Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan
lahan kedalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan (Hardjowigeno dan
Widiatmaka 2007). Dalam penelitian ini kriteria yang digunakan untuk
mengidentifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas adalah kelerengan,
jenis tanah, bahan induk, tekstur, kedalaman solum, drainase, dan kepekaan erosi.
Bahan induk dianggap sebagai faktor pembentuk tanah yang amat penting
oleh para perintis pedologi (Dokuchaev 1883 dalam Hardjowigeno 2003).
Pengaruh dan hubungan sifat-sifat bahan induk dengan sifat-sifat tanah terlihat
lebih jelas pada tanah-tanah di daerah kering atau tanah-tanah muda, hal ini
relevan dengan kondisi fisik lahan Kota Bima dimana jenis tanahnya hanyalah dua
ordo yaitu Entisol yang merupakan tanah muda dan Inseptisol yang sedikit lebih
matang. Data tersebut diperoleh dari peta tanah skala 1:50.000 yang bersumber
dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak). Atribut peta mencakup
jenis tanah, landform, relief, kelas lereng, dan ketinggian (altitude). Peta ini
kemudian dipertajam dengan menggunakan data pendukung citra ASTER GDEM
resolusi 30 m. Penajaman yang dilakukan adalah dengan mendeliniasi manual
peta tanah yang ada khususnya atribut landform dan relief. Tahapan penajaman
adalah: (1) konversi citra ASTER GDEM menjadi hillshade menggunakan
fasilitas ArcToolbox pada ArcGIS; (2) meng-overlay peta tanah dengan DEM
hillshade; dan (3) mendeliniasi manual peta tanah berdasarkan kenampakan
landform yang serupa. Sukarman (2005) menyatakan bahwa data DEM dapat
digunakan untuk membantu deliniasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di
daerah bergunung berbahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah
demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform (bentuk lahan) dan relief dengan
baik.
29
Klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dilakukan dengan
memperhatikan kriteria seperti pada Tabel 2 (Hardjowigeno dan Widiatmaka
2007).
Tabel 2 Kriteria klasifikasi kemampuan lahan pada tingkat sub kelas
No. Faktor Kelas Kemampuan
I II III IV V VI VII VIII
1. Tekstur tanah (t)
a. lapisan atas (40
cm)
b. lapisan bawah
t2/t3
t2/t4
t1/t4
t1/t4
t1/t4
t1/t4
t2/t3
t2/t4
t2/t3
t2/t4
t2/t3
t2/t4
t2/t3
t2/t4
t2/t3
t2/t4
2. Lereng permukaan
(%)
l0 l1 l2 l3 (*) l4 l5 l6
3. Drainase d0/d1 d2 d3 d4 (**) (*) (*) (*)
4. Kedalaman efektif k0 k0 k1 k2 (*) k3 (*) (*)
5. Keadaan erosi e0 e1 e1 e2 (*) e3 e4 (*)
6. Kerikil/batuan b0 b0 b0 b1 b2 (*) (*) b3
7. Banjir o0 o1 o2 o3 o4 (*) (*) (*) (*) = dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah
(**) = permukaan tanah selalu tergenang air.
Penggolongan besarnya intensitas faktor penghambat dalam kriteria
klasifikasi kemampuan kelas pada tingkat sub kelas dapat diuraikan sebagai
berikut (Arsyad 1979 dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007).
a. Tekstur tanah (t)
Duabelas tekstur tanah dikelompokkan ke dalam lima kelompok sebagai
berikut:
- t1 (halus: liat berdebu, liat)
- t2 (agak halus: liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung
liat berpasir)
- t3 (sedang: debu, lempung berdebu, lempung)
- t4 (agak kasar: lempung berpasir)
- t5 (kasar: pasir berlempung, pasir)
b. Lereng permukaan (l)
Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut:
- l0 (0-3%: datar)
- l1 (3-8%: landai/berombak)
- l2 (8-15%: agak miring/bergelombang)
- l3 (15-30%: miring/berbukit)
- l4 (30-45%: agak curam)
30
- l5 (45-65%: curam)
- l6 (>65%: sangat curam)
c. Drainase tanah (d)
Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut:
- d0 (baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari
atas sampai lapisan bawah berwarna terang yang uniform dan tidak terdapat
bercak-bercak.
- d1 (agak baik): tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat
bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu pada lapisan atas dan
bagian atas lapisan bawah.
- d2 (agak buruk): lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak
terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat, atau kelabu. Bercak-bercak
terdapat pada seluruh lapisan bawah.
- d3 (buruk): bagian atau lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau
bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan.
- d4 (sangat buruk): seluruh lapisan permukaan tanah berwarna kelabu dan
tanah bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak kelabu, coklat, dan
kekuningan.
d. Kedalaman efektif (k)
Kedalaman efektif dikelompokkan sebagai berikut:
- k0 (dalam: >90 cm)
- k1 (sedang: 90-50 cm)
- k2 (dangkal: 50-25 cm)
- k3 (sangat dangkal: <25 cm)
e. Keadaan erosi (e)
Kerusakan oleh erosi dikelompokkan sebagai berikut:
- e0 (tidak ada erosi)
- e1 (ringan: <25% lapisan atas hilang)
- e2 (sedang: 25-75% lapisan atas hilang)
- e3 (berat: >75% lapisan atas hilang, <25% lapisan bawah hilang)
- e4 (sangat berat: >75% lapisan atas hilang, >25% lapisan bawah hilang)
31
3.5.3 Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan Kemampuan Lahan
Untuk memperoleh peta kesesuaian antara penggunaan lahan dengan
kemampuan lahan, peta kemampuan lahan tingkat sub kelas di-overlay dengan
peta penggunaan lahan tahun 2005 dan 2010.
3.5.4 Daya Dukung Lahan Berbasis Produktivitas
Ketersediaan lahan ditentukan berdasarkan data total produksi aktual
setempat dari setiap komoditas di suatu wilayah, dengan menjumlahkan produk
dari semua komoditas yang ada di wilayah tersebut. Untuk penjumlahan ini
digunakan harga sebagai faktor konversi karena setiap komoditas memiliki satuan
yang beragam. Sementara itu, kebutuhan lahan dihitung berdasarkan kebutuhan
hidup layak.
Gambar 4 Metode penghitungan daya dukung lahan berbasis neraca lahan
menurut Permen LH 17/2009
Penghitungan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Penghitungan Ketersediaan (Supply) Lahan
Rumus:
………………………(2)
Dimana:
SL = Ketersediaan lahan (ha)
Pi = Produksi aktual tiap jenis komoditi (satuan ton). Komoditas
yang diperhitungkan meliputi pertanian, perkebunan,
kehutanan, peternakan dan perikanan.
Total Produksi
aktual seluruh
komoditas
setempat
Ketersediaan
Lahan
Populasi
Penduduk
Kebutuhan
lahan per
orang yang
diasumsikan
dengan luas
lahan untuk
menghasilkan
1 ton setara
beras/tahun
Kebutuhan
Lahan
Daya Dukung Lahan
Berbasis Produktivitas
32
Hi = Harga satuan tiap jenis komoditas (Rp/kg) di tingkat
produsen.
Hb = Harga satuan beras (Rp/kg) di tingkat produsen.
Ptvb = Produktivitas beras (ton/ha).
Dalam penghitungan ini, faktor konversi yang digunakan
untuk menyetarakan produk nonberas dengan beras adalah
harga.
b. Penghitungan Kebutuhan (Demand) Lahan
Rumus:
………………………………….(3)
Dimana:
DL = Total kebutuhan lahan setara beras (ha)
N = Jumlah penduduk (orang)
KHLL = Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak per
penduduk:
a. Luas lahan yang dibutuhkan untuk kebutuhan hidup layak
per penduduk merupakan kebutuhan hidup layak per
penduduk dibagi produktivitas beras lokal.
b. Kebutuhan hidup layak per penduduk diasumsikan sebesar
1 ton setara beras/kapita/tahun.
c. Daerah yang tidak memiliki data produktivitas beras lokal,
dapat menggunaan data rata-rata produktivitas beras
nasional sebesar 2400 kg/ha/tahun atau 2,4 ton/ha/tahun.
c. Status daya dukung lahan diperoleh dari pembandingan antara ketersediaan
lahan (SL) dan kebutuhan lahan (DL) . Bila SL>DL, daya dukung lahan
dinyatakan surplus. Bila SL<DL, daya dukung lahan dinyatakan defisit.
Sumber: Permen LH 17/2009
Terkait standar kebutuhan hidup layak dalam penghitungan kebutuhan lahan, di
dalam Permen LH 17/2009 tidak didefinisikan kebutuhan layak yang dimaksud.
33
Tabel 3 Contoh perhitungan nilai produksi total
No. Komoditas Produksi
(Pi)
Harga Satuan
(Hi)
Nilai Produksi
(Pi ×Hi)
1. Padi dan palawija, antara
lain:
padi, jagung, dan seterusnya.
……… ………… ……………..
2. Buah-buahan, antara lain:
mangga, jeruk, dan
seterusnya.
……… ………… ……………..
3. Sayur mayur, antara lain:
bawang merah, bawang
putih, dan seterusnya.
……… ………… ……………..
4. Tanaman obat-obatan, antara
lain: jahe, lengkuas, dan
seterusnya.
……… ………… ……………..
5. Produksi daging, antara lain:
sapi, kambing, dan
seterusnya.
……… ………… ……………..
6. Produksi telur, antara lain:
ayam kampung dan ras.
……… ………… ……………..
7. Perikanan. ……… ………… ……………..
8. Perkebunan, antara lain:
kelapa, kopi, dan seterusnya.
……… ………… ……………..
9. Kehutanan :
kayu dan non kayu
……… ………… ……………..
TOTAL
3.5.5 Arahan Penggunaan Lahan Sesuai Kemampuan Lahan
Arahan penggunaan lahan ini hanya didasarkan pada kelas kemampuan
lahan. Kemampuan lahan merupakan cara sistematis untuk menilai potensi lahan
agar dapat berproduksi secara lestari (Worosuprodjo 2005). Analisis kemampuan
lahan dapat digunakan untuk menunjang kebijakan dan perencanaan penggunaan
lahan yang optimal yang tujuannya harus berkesinambungan dan berkelanjutan.
Lahan diklasifikasikan menggunakan faktor penghambat, sehingga dengan
mengetahui faktor penghambatnya maka potensi yang menghambat pemanfaatan
dapat diminimumkan. Hal ini dimaksudkan agar peruntukan lahan tidak melebihi
kapasitas dan daya dukung lahan sehingga kelestarian lahan pun terjaga. Penilaian
ini dapat juga digunakan untuk memperbaiki pengelolaan yang sudah ada
sehingga dapat diperoleh bentuk konservasi yang tepat (Notohadiprawiro 1991).
34
Penentuan arahan penggunaan lahan sesuai kemampuan lahan dilakukan
berdasarkan prinsip bahwa semakin tinggi kelas kemampuan lahannya, maka
semakin sedikit pilihan penggunaannya. Kemampuan lahan pada kelas I sampai
IV dengan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan dan sesuai untuk
berbagai penggunaan, seperti untuk penanaman tanaman pertanian umumnya
(tanaman semusim dan tahunan), rumput untuk makanan ternak, padang rumput,
dan hutan. Tanah pada kelas V, VI, dan VII sesuai untuk padang rumput, tanaman
pohon-pohon atau vegetasi alami. Dalam beberapa hal, tanah kelas V dan VI
dapat menghasilkan dan menguntungkan untuk beberapa jenis tanaman tertentu,
seperti buah-buahan, tanaman hias atau bunga-bungan, dan bahkan jenis sayuran
bernilai tinggi dengan pengelolaan dan tindakan konservasi tanah dan air yang
baik. Tanah dalam kelas VIII sebaiknya dibiarkan dalam keadaan alami (Arsyad
2010).
Kelas kemampuan
lahan
Intensitas dan pilihan penggunaan meningkat
Cag
ar a
lam
/ H
uta
n l
indu
ng
Hu
tan
Pro
du
ksi
Ter
bat
as
Pen
gg
emb
alaa
n T
erb
atas
Pen
gg
emb
alaa
n S
edan
g
Pen
gg
emb
alaa
n I
nte
nsi
f
Gar
apan
Ter
bat
as
Gar
apan
Sed
ang
Gar
apan
In
ten
sif
Gar
apan
San
gat
In
ten
sif
Ham
bat
an/a
nca
man
men
ingk
at,
Kes
esu
aian
dan
pil
ihan
pen
gg
un
aan
ber
ku
rang
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
Gambar 5 Skema hubungan antara kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan
macam penggunaan lahan
Sumber: Arsyad 2010
3.6 Batasan Penelitian
Beberapa batasan dalam penelitian ini adalah:
1. Analisis daya dukung lingkungan hanya dilakukan terhadap aspek lahan,
mencakup analisis kemampuan lahan dan neraca lahan berbasis produk
35
biohayati, yaitu perbandingan ketersediaan lahan untuk menghasilkan produk
hayati (bioproduct) dengan kebutuhan lahan berdasarkan jumlah penduduk.
2. Hutan tidak dihitung sebagai lahan produktif, karena dalam hal Kota Bima
tidak terdapat data produksi hasil hutan.
3. Arahan penggunaan lahan hanya didasarkan pada kelas kemampuan lahan.
Hal ini sesuai dengan konsep bahwa dalam perencanaan penataan ruang
secara garis besar alokasi ruang dibagi dalam dua jenis, yaitu kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Untuk deliniasi kawasan lindung, kriteria
evaluasi lahan yang paling sesuai untuk digunakan adalah kemampuan lahan.