bab iii kerangka permikiran dan kebaruan · kebijakan. dalam konteks orde baru, birokrasi menjadi...

16
BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN Tema yang hendak dijelaskan disini adalah kerangka pemikiran yang menjadi penuntun studi, serta yang menjadi kebaruan dari penelitian ini. Kerangka pemikiran, dibangun dari tinjauan pustaka yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, yang juga menjadi dasar formulasi hipotesis penelitian. Sedangkan kebaruan penelitian ini dilakukan dengan meninjau rentang penelitian yang telah dilakukan (State of the Art) terkait birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta membandingkannya dengan hasil studi ini. 3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dirangkum bahwa birokrasi pemerintahan masih pekat dipengaruhi unsur budaya yang bersumber dari otoritas tradisional. Masuknya pengaruh otoritas tradisional tersebut menyebabkan birokrasi pemerintahan bercirikan birokrasi patrimonial yang awalnya berpusat pada struktur keluarga, khususnya pada otoritas ayah dalam keluarga, dengan demikian bersifat patriarki (Weber, 1978). Sistem relasi kekuasaan, di dalam birokrasi, berdasarkan pola relasi patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi bawahan dan anggota masyarakat yang dipimpinnya. Birokrat bawahan serta anggota masyarakat menempati peran sebagai client, di mana kesejahteraan di tangan sang pemimpin atau patron. Birokrasi pemerintahan Indonesia memiliki birokrasi patrimonial (Crouch 1985). Birokrasi ini masih kuat mengakar hingga era pemerintahan otonomi daerah yang kemudian menyebar ke pemerintahan daeah (Webber 2006; van Klinken 2009). Namun, pada pemerintahan daerah di Kab.Agam, berlaku hal berbeda. Dalam Nagai-Nagari di Minangkabau, Otoritas Tradisional Minangkabau (OTM), masih berlangsung hingga kini (Hadler 2010; Manan 1995; Kato, 1982 dan von Benda Beckman 1979/2000). Nagari-Nagari yang ekonominya berbasiskan pertanian sub-sistensi (Dobbins, 2008), memiliki aktivitas ekonomi utama usahatani padi sawah (Kahn, 1979). Birokrasi mendapat

Upload: lykien

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

49

BAB III

KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN

Tema yang hendak dijelaskan disini adalah kerangka pemikiran yang

menjadi penuntun studi, serta yang menjadi kebaruan dari penelitian ini. Kerangka

pemikiran, dibangun dari tinjauan pustaka yang telah dijelaskan dalam bab

sebelumnya, yang juga menjadi dasar formulasi hipotesis penelitian. Sedangkan

kebaruan penelitian ini dilakukan dengan meninjau rentang penelitian yang telah

dilakukan (State of the Art) terkait birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta

membandingkannya dengan hasil studi ini.

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dirangkum bahwa

birokrasi pemerintahan masih pekat dipengaruhi unsur budaya yang bersumber

dari otoritas tradisional. Masuknya pengaruh otoritas tradisional tersebut

menyebabkan birokrasi pemerintahan bercirikan birokrasi patrimonial yang

awalnya berpusat pada struktur keluarga, khususnya pada otoritas ayah dalam

keluarga, dengan demikian bersifat patriarki (Weber, 1978). Sistem relasi

kekuasaan, di dalam birokrasi, berdasarkan pola relasi patron-client, di mana

seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin

kenyamanan hidup bagi bawahan dan anggota masyarakat yang dipimpinnya.

Birokrat bawahan serta anggota masyarakat menempati peran sebagai client, di

mana kesejahteraan di tangan sang pemimpin atau patron.

Birokrasi pemerintahan Indonesia memiliki birokrasi patrimonial (Crouch

1985). Birokrasi ini masih kuat mengakar hingga era pemerintahan otonomi

daerah yang kemudian menyebar ke pemerintahan daeah (Webber 2006; van

Klinken 2009). Namun, pada pemerintahan daerah di Kab.Agam, berlaku hal

berbeda. Dalam Nagai-Nagari di Minangkabau, Otoritas Tradisional

Minangkabau (OTM), masih berlangsung hingga kini (Hadler 2010; Manan 1995;

Kato, 1982 dan von Benda Beckman 1979/2000). Nagari-Nagari yang

ekonominya berbasiskan pertanian sub-sistensi (Dobbins, 2008), memiliki

aktivitas ekonomi utama usahatani padi sawah (Kahn, 1979). Birokrasi mendapat

Page 2: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

50

pengaruh dari OTM melalui unsur-unsurnya yang menjadi birokrat (DPRD)

birokrasi pemerintahan (BP).

Seperti diketahui, Otonomi daerah memberi kesempatan mobilitas sosial

bagi OTM dan unsurnya (Benda-Beckman 2007). Mamak, kemanakan, anak,

bundo kandung serta ulama dan cendikia, mendapat kesempatan untuk diusung

dan dipilih secara kolektif menjadi anggota DPRD. Selanjutnya, mereka yang

dipilih secara bersama, memperjuangkan alokasi dana APBD untuk

kampung/Nagari. Unsur-Unsur OTM yang diusung dan dipilih secara bersama

untuk menjadi anggota DPRD, mencerminkan awal dari masuknya kepentingan

partikular dalam Birokrasi Pemerintahan (BP).

Selama Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, Birokrasi

Pemerintahan terdistorsi (out of function) (Weber dalam Beetham, 1996) oleh

beragam kepentingan birokrat. Utamanya terlihat pada ranah perencanaan dan

penganggaran (Luhiwono 2010) yang ditandai dengan sarat akan kepentingan,

oligarkis, dan inefisiensi anggaran (Faulina, 2010; Sudjito, 2008; Marbyanto,

2008). Ranah penganggaran khususnya ditandai dengan beragam kepentingan

inter dan antar elit (Eksekutif dan Legislatif) (Syukry dan Halim, 2006).

Akibatnya, perencanaan dan penganggaran menjadi arena persaingan yang

menimbulkan relasi-relasi transaksional.

Realitas Birokrasi Terdistorsi ini, menyebabkan Otoritas Tradisional dapat

menikmati “kue” APBD. Kerangka konseptual ini dapat dilihat pada Gambar 3.1

berikut.

Page 3: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

51

Walinagari

KAN

BAMUS/BPRN

Ninik Mamak

Kaum/Kampung

Bundo Kanduang

Ulama

PEMUDA

BUPATI

OTORITAS TRADISIONAL

KERANGKAN PEMIKIRAN

Interaksi

SKPD-DPRD

Renja DPRD

Interaksi

SKPD-DPRD

KUA-PPAS

Interaksi SKPD-DPRD

-BUPATI

RKA SKPD

APBD

DPRD

NAGARI

RAPBD

KontestasiArea penyusunan pembahasan

program RAPBD

BIROKRASI PEMERINTAHAN

Aliran alokasi anggaran APBD pada Kampunganggota DPRD

Kontestasi

MUSRENBANG

Nagari

Kecamatan

Kab.

Proses melalui PEMILU

Prosesmelalui PEMILU

POKOK-POKOK PIKIRAN DPRD Menyebabkan perubahan APBD

RKPD

Kontestasi

Proses Pemilu

Legislatif

Kepala Daerah

1

2

3

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

3.2. Hipotesis

Pada tahapan pengambilan, interpretasi dan analisis data penelitian ini

dibimbing oleh hipotesis sebagai berikut :

Jika Birokrasi Pemerintahan pola Weberian diterapkan dalam konteks

otoritas tradisional yang masih kuat, maka akan terjadi kontestasi antara

elite yang menyebabkan Birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak

berfungsi sebagaimana mestinya.

3.3. State of The Art: Evolusi Birokrasi Pemerintahan di Indonesia

Studi Birokrasi telah dibangun dan dikembangkan oleh Max Weber

(1978). Menurut Weber, birokrasi modern (legal-rasional) yang berkembang di

Barat, terkendala tumbuh kembang di Asia karena kultural (adat tradisi, agama

dan pemikiran) tidak dapat menjadi media pendukung. Oleh karenanya, Weber

menyebut Birokrasi di Asia masih pekat dilingkupi oleh birokrasi patrimonial

(Turner 1984). Tesis Weber tersebut kemudian mendapat pembenaran dari hasil

studi Crouch (1985) yang berjudul “Economic Change, Social Structure and the

Political system in Southeast Asia, Philippine Development Compared with the

Other ASEAN Countries” yang menyimpulkan bahwa Negara Philippina dan

Page 4: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

52

Negara di Asia Tenggara lainnya (Indonesia, Singapore, Malaysia) masih

dikungkung oleh patrimonialisme. Namun, berbeda dengan Weber, Crouch

(1985) melihat konsekuensi patrimonialisme dalam politik sebagai hal penting

dalam pencapaian pembangunan ekonomi.

Di Indonesia, kajian otoritas tradisional dengan legal-rasional (modern)

dalam birokrasi didominasi oleh pendekatan kultural, di samping beberapa

diantaranya struktural dan ketergantungan. Menurut urutan tahun, dapat diringkas

sebagai berikut;

Studi Feith pada tahun (1962) melihat kontestasi sesama elite berkuasa

(governing elite) dalam birokrasi pemerintahan yang menyebabkan kemunduran

demokrasi pemerintahan parlementer pada masa awal kemerdekaan. Kontestasi

sesama elite berkuasa tersebut berpangkal pada dua gaya kepemimpinan yang

sangat berbeda, yang pertama disebut solidarity makers 1dan kelompok elite yang

kedua disebut administrator atau problem solver.2 Kedua kelompok ini memiliki

visi, gaya, kecakapan dan basis kepemimpinan yang berbeda di dalam usaha

membawa Indonesia merdeka sebagai sebuah Negara yang modern (Modern

State). Benda (1964) mengkritik tesis Feith, bahwa kegagalan demokrasi

parlementer (memperluas analisis Feith) berpangkal dari politik dan birokrasi

patrimonial (politik aliran) yang bersumber dari suku, agama dan ideologi yang

dianut masing-masing kelompok elite penguasa.

Terkait dengan diskursus Feith dan Benda, Castles dan Feith (1970)

kemudian memetakan lima kelompok aliran yang kemudian akan mempengaruhi

evolusi birokrasi Indonesia, yakni, Islam, Tradisional Jawa, Sosialis Demokratik,

Nasionalis Radikal dan Komunis. Dampaknya terhadap birokrasi pemerintahan

adalah, pertama, munculnya konflik yang bersifat sentrifugal (konflik meluas

melewati batas wilayah), sehingga sulit diatasi dan berakibat pada tidak stabilnya

birokrasi pemerintahan (politik). Kedua, koalisi antar partai politik yang ada

menjadi lemah.

1 Elite yang memiliki basis massa hingga akar rumput, yang menjadikan politik sebagai panglima.

Pada perfektif politik aliran, kelompok elite ini berasal dari suku Jawa. 2 Elite yang tidak memiliki basis massa, namun merupakan kalangan terdidik tamatan perguruan

tinggi yang lebih memprioritaskan permasalahan ketata negaraan dan pemecahaan masalah untuk

memajukan Indonesia. Pada perspektif politik aliran, umumnya kelompok elite ini berasal dari

suku Minangkabau.

Page 5: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

53

Studi lain mengenai birokrasi, dilakukan oleh Mortimer (1973), diberi

judul “Indonesia: Growth or Development’ menyimpulkan bahwa praktek

modernisasi di Indonesia memunculkan kelompok birokrat kapitalisme sehingga

nuansa birokrasi yang hadir pada saat (1970-an) itu adalah birokrasi kapitalisme.

Birokrasi yang dimana para birokratnya memiliki kepentingan partikular,

sehingga menjadi “junior partner” bagi modal asing ketika modernisasi

dilaksanakan di Indonesia.

Kajian lain mengenai birokrasi (patrimonial) dimana unsur-unsur

tradisional menjadi kepentingan partikular birokratnya juga ditemukan pada

kajian Jackson (1978) yang menyimpulkan bahwa susunan politik (patrimonial)

mempengaruhi wajah birokrasi di Indonesia. Wujud birokrasi Indoneisa adalah

politik birokrasi (bureaucratic Polity) dimana keputusan politik yang diambil

tidak ada hubungan (terlepas) dari kekuatan sosial-politik dan hanya berlangsung

dikalangan elite tertinggi di pemerintahan pusat (lingkungan Istana Negara).

Tubuh politik berpijak pada azas kewenangan legal-rasional, yang didukung oleh

Militer, elite birokrasi dan teknokrat. Kekuasaan Negara berada ditangan

sekelompok Militer yang menganut pendekatan Teknokratik, birokratik dalam

pengambilan keputusan

Studi yang dilakukan King (1982) menyimpulkan bahwa, khususnya pada

tahun 1980-an, Birokrasi Indonesia memilik karakteristik rejim birokrasi otoriter

(bureaucratic-authoritarian regime), dimana kekuasaan berada dalam oligarkhi,

sekumpulan orang, lembaga (institusi Militer). Hal ini menyebabkan birokrasi

Weberian yang memiliki ciri legal-rasional dan impersonal tidak dapat

berlangsung.

Studi yang dilakukan Castles (1983), memiliki kesimpulan yang sama

penelitian terdahulu, namun dengan nuansa yang berbeda. Menurutnya, birokrasi

Indonesia bercirikan Patrimonial yang memiliki karakteristik hubungan keluarga

dalam seluruh hierarki pemerintahan. Birokrasi seperti tersebut, telah berlangsung

dari masa kerajaan Mataram, Kolonial Belanda, Demokrasi Parlementer,

Terpimpin dan Pancasila. Bahkan, menurutnya, pelaksanaan birokrasi

Pemerintahan Orde Baru kembali ke arah pra-kolonial yakni monarkhi Jawa.

Page 6: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

54

Studi lain yang berkenaan dengan birokrasi patrimonial, juga dilakukan

oleh Emmerson (1983) yang menyimpulkan bahwa Birokrasi Indonesia bersifat

Plural (Bureacratic Pluralism). Perspektif ini menekankan bahwa politik di tingkat

nasional lebih bersifat pluralistik. Ia berkesimpulan bahwa perdebatan serius

tentang isu kebijakan memang terjadi pada banyak kelompok yang plural dalam

birokrasi. Kompetisi politik tidak hanya sekedar mengenai distribusi keuntungan

personal di antara kelompok-kelompok klien, tetapi juga dalam substansi

kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya

banyak kelompok yang bersaing satu sama lain. Ia juga tidak melihat pada

akhirnya pengaruh dalam pembuatan kebijakan tetap saja dimonopoli oleh negara.

Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986) dan

Muhaimin (1990) yang menyimpulkan birokrasi pemerintahan yang bersifat

patrimonial melahirkan pengusaha-pengusaha (kapitalis) yang berselingkuh

dengan birokrasi pemerintahan. Para pengusaha yang muncul bertali temali

dengan elite birokrasi, baik memiliki hubungan saudara, kolega, pertemanan atau

hubungan simbiosis mutualisme dan transaksional. Kapitalis yang lahir kemudian

tergantung perkembangan usahanya dengan proyek-proyek pembangunan, serta

kemudahan akibat kebijakan yang dihasilkan oleh Birokrasi Pemerintahan.

Semenjak dilaksanakannya otonomi daerah, kajian mengenai birokrasi

pemerintahan diwarnai oleh birokrasi patrimonial yang dipengaruhi oleh partai-

partai dengan berbagai aliran. Studi Thoha (2004) menyimpulkan bahwa Birokrasi

Pemerintahan Indonesia telah sejak lama “dibajak” oleh partai politik.

Pembajakan dilakukan dengan menguasai suara kemudian melakukan tekanan

untuk dapat menduduki posisi atau jabatan strategis pada Birokrasi Pemerintahan

yang kemudian berakibat pada menyimpangnya fungsi-fungsi birokrasi Weberian.

Studi ini kemudian dipertegas oleh Ambardi (2009) yang menyimpulkan bahwa

partai-partai membentuk kartel, kemudian mengeksploitasi birokrasi

pemerintahan untuk pemburuan rente anggaran Negara, untuk dialirkan pada diri,

kelompok dan partai. Oleh karena itu, masih cukup relevan menyimpulkan bahwa

birokrasi pemerintahan Indonesia masih dipengaruhi nilai-nilai budaya

patrimonial (Webber, 2006). Untuk lebih jelasnya mengenai tinjauan sejarah

Page 7: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

55

mengenai kajian Birokrasi Pemerintahan Indonesia, dapat dilihat pada matriks di

bawah ini.

Secara keseluruhan, kajian yang lebih memusatkan bagaimana nilai-nilai

budaya matrilileneal yang bukan bercirikan patrimonial (Patrilineal) dalam

birokrasi pemerintahan belum pernah dilakukan.

Tabel 3.1. Matriks State of the Art Studi Birokrasi Patrimonial di Indonesia

Thn

Peneliti

Judul Penelitian Pendekatan Penelitian

Mikro Makro Struktural Kultural Ketergantung

an

1960 Herbert Feith The Decline of

Constitutional

Democracy In

Indonesia

Kontestasi Sesama elite

berkuasa, dengan latar

belakang budaya dan orientasi

politik berebeda

menyebabkan demokrasi di

Indonesia menurun.

Berpengaruh kepada birokrasi

Pemerintah semasa awal

kemerdekaan

1970 Lance Castles

& Herbert

Feith

Indonesia Politikal

Thingking 1945-1966

Terdapat pemilahan sosial,

yang kemudian

mempengaruhi sistem

kepartaian pada masa awal

kemerdekaan, yang dapat

dikelompokkan menjadi lima

aliran, yakni, Islam.

Tradisional Jawa, Sosialis

Demokratik, Nasional

Radikal dan Komunis.

1971 Harsya

W.Bachtiar

Bureaucracy and

Nation Formation in

Indonesia

Negara menjadi

Negara PNS

yang

menyebabkan

birokrasi

menjadi tambun

1973 Mortimer Indonesia : Growth or

Development

Tumbuhnya

kelas

birokrasi

capitalism

dengan ciri

berperan

sebagai

“junior

partner” bagi

modal asing

1978 Karl

D.Jackson

Political Power and

Communications in

Indonesia

Susunan politik di Indonesia

adalah “bureaucratic Polity”

dimana keputusan politik

yang diambil tidak ada

hubungan (terlepas) dari

kekuatan sosial-Politik dan

hanya berlangsung

Page 8: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

56

dikalangan elite tertingi di

pemerintahan pusat

(lingkungan Istana Negara).

Tubuh politik berpijak pada

azas kewenangan legal-

rasional, yang didukung oleh

Militer, elite birokrasi dan

teknokrat.

Masyarakat

1982 Dwight

Y.King

Indonesia’s, New

Order as a

Bureaucratic Polity, a

Neopatrimonial

Regime or

Bureaucratic-

Authoritarian Regime

Susunan Politik di Indonesia

adalah bureaucratic-

authoritarian regime, dimana

kekuasaan berada dalam

oligarkhi, sekumpulan orang,

lembaga (institusi Militer).

Kekuasaan Negara berada

ditangan sekelompok Militer

yang menganut pendekatan

Teknokratik, birokratik dalam

pengambilan keputusan

1983 Castle Birokrasi,

Kepemimpinan dan

Revolusi Sosial

Birokrasi Indonesia

bercirikan Patrimonial yang

memiliki karakteristik

hubungan keluarga

dalamseluruh hierarki

pemerintahan. Birokrasi

Indonesia memiliki

kontinuitas dari masa

kerajaan Mataram, Kolonial

Belanda, Demokrasi

Parlementer, Terpimpin dan

Pancasila. Birokrasi Orba

kembali ke arah pra-kolonial,

monarkhi Jawa

1983 D.K.

Emmerson

Understanding the

New Order:

Bureaucratic Pluralism

in Indonesia

Pluralisme Birokrasi;

Perspektif ini menekankan

bahwa politik di tingkat

nasional lebih bersifat

pluralistik. Ia berkesimpulan

bahwa perdebatan serius

tentang isu kebijakan

memang terjadi pada banyak

kelompok dalam birokrasi

dan juga negara memang

bersifat plural dan kompetisi

politik tidak hanya sekedar

sebagai distribusi keuntungan

personal di antara kelompok-

kelompok klien, namun juga

dalam substansi kebijakan itu

sendiri. Dalam konteks Orde

Baru, ia berpendapat birokrasi

menjadi lemah dimana

didalamnya banyak kelompok

yang bersaing satu sama lain.

Ia juga tidak melihat negara

sebagai jawaban atas tekanan

Page 9: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

57

atau permintaan masyarakat

yang pada akhirnya pengaruh

dalam pembuatan kebijakan

tetap saja hanya dimonopoli

oleh negara.

1983 Sutherland Terbentuknya Elite

Birokrasi Di Indonesia

Terbentuknya

elite birokrasi

di Indonesia

merupakan

kelanjutan

dari Elite

Birokrasi

Kolonial

Belanda

1985 Harold

Crouch

Economic Change,

Social Structure and

the Political system in

Southeast Asia

Politik di

Negara-

negara Asia

Tenggara

syarat

dengan

kepentingan

partikular

(Philipine:

Catolic;

Indonesia :

Kerajaan

Jawa;

Confusianim

: Singapore)

yang

memiliki

konsekuensi

politik yang

penting

untuk

mencapai

kesuksesan

pembanguna

n ekonomi

1986 Richard

Robinsons

Indonesia: The Rise of

Capital

Birokrasi

Patrimonial

Orba

melahirkan

Birokrasi

berpolitik dan

kapitalisme

kekeluargaan

dimana

Militer,

Tionghoa,

Pengusaha

Pribumi dan

Birokrasi

berselingkuh

1990 Muhaimin Bisnis dan Politik :

Kebijakan Ekonomi

Indonesia 1950-1980

Birokrasi

Patrimonial

menghasilka

Page 10: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

58

n pengusaha

yang

tergantung

dengan

Birokrasi

Pemerintah

1992 Evers and

Scheil

Kelompok-Kelompok

Strategis: Studi

Perbandingan tentang

Negara, Birokrasi, dan

Pembentukan Kelas di

Dunia Ketiga

proses

birokrasi di

Indonesia

berkembang

model

birokrasi ala

Parkinson

dan ala

Orwel.

Birokrasi ala

Parkinson

adalah pola

dimana

terjadi proses

pertumbuhan

jumlah

personil dan

pemekaran

struktural

dalam

birokrasi

secara tidak

terkendali.

Sedang

birokrasi ala

Orwel adalah

pola

birokratisasi

sebagai

proses

perluasan

kekuasaan

Pemerintah

dengan

maksud

mengontrol

kegiatan

ekonomi,

politik dan

sosial dengan

peraturan,

regulasi dan

bila perlu

melalui

paksaan

1994 Kuntowijoyo Demo

krasi

dan

Buda

ya

Birok

rasi

Budaya

Patrimonial

dalam

birokrasi

Pemerintaha

n Indonesia

berakar pada

Page 11: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

59

tradisi

birokrasi

Kerajaan

Jawa,

terutama

kerajaan

Agraris.

1995 Manan Birok

rasi

dan

Otorit

as

Tradi

sional

:

Nagar

i dan

Desa

di

Mina

ngkab

au

Otoritas

tradisional

Minangkaba

u dan

birokrasi

Modern

dapat hidup

saling

melengkapi,

bahwa,

Nagari

merupaka

satu wilayah

yang utuh

dibanding

Desa

2004 Thoha Birokrasi dan Politik Birokrasi

Pemerintah

telah sejak

awal

kemerdekaan

“dibajak”

oleh Partai

Politik

Sehingga

Birokrasi

Weberian

tidak

berfungsi

2006 Webber A

Cons

olidat

ed

Patri

monia

l

Demo

cracy

?

Demo

cratiz

ation

in

Post-

Suhar

to

Indon

esia,”

budaya

politik di

Indonesia

lebih

mengarah

pada nilai-

nilai

patrimonial

dan,

karenanya,

jenis sistem

politik dan

demokrasi

yang

berkembang

adalah

sistem

politik dan

demokrasi

patrimonial.

Sistem

Page 12: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

60

politik jenis

ini

mengandaika

n kondisi di

mana para

pemegang

kebijakan

mengeksploit

asi posisi

mereka

hanya untuk

tujuan-tujuan

dan

kepentingan

pribadi,

bukan

kepentingan

universal.

2009 Ambardi Mengungkap Politik

Kartel

Birokrasi Pemerintah Era

Reformasi telah dibajak oleh

Partai Politik. Partai-Partai

membentuk kartel dan

kemudian saling bekerjasama

melakukan perburuan rente di

Lembaga Legislatif (DPRD)

dan Eksekutif melalui

jabatan-jabatan elite puncak

pada birokrasi pemerintahan

Dalam konteks Mikro (masyarakat Minangkabau), studi interaksi di antara

Otoritas Tradisional Minangkabau dengan birokrasi pemerintahan, baik dengan

tema utama maupun sub tema penelitian, telah sering dilakukan. Studi Manan

(1995) misalnya, menjelaskan secara historis interaksi keduanya sangat dinamis.

Studi yang bersifat Weberian tersebut, menyanggah pendapat Weber bahwa

birokrasi legal rasional akan menggantikan posisi otoritas tradisional. Hal ini

terbukti, sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini, otoritas tradisional yang

terbungkus dalam kesatuan Nagari, masih kuat keberadaannya.

Dalam “hiruk pikuk” kajian mengenai masyarakat Minangkabau, interaksi

antara otoritas tradisional dengan birokrasi modern mengerucut kepada dua

pendapat, yang pertama, otoritas tradisional meluruh digantikan oleh birokrasi

modern. Pendapat kedua, otoritas tradisional mampu bertahan dan secara dinamis

mampu berinteraksi dengan birokrasi pemerintahan hingga kontemporer. Tesis

pertama diwakili oleh Schrieke (1955), de Jong (1960), Gough (1961) Maretin

Page 13: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

61

(1963)3 dan Geertz (1967) yang menyebutkan kontak budaya masyarakat Nagari-

Nagari (otoritas tradisional) Minangkabau dengan kolonial Belanda dan kapitalis

modern yang menyertainya berakibat pada perubahan pada masyarakat

Minangkabau,4 seperti, pengejar laba, revolusi agrarian, melemahnya ikatan

kekerabatan luas, konflik di antara kaum muda dan tua, kewibawaan tradisional

melemah, standar sosial tradisional goyah, bahkan menurut Geertz, “inti

kebudayaan” telah berubah. Pecahnya keluarga luas, melemahnya penghulu,

melemahnya berbagai adat perkawinan, semua berujung pada melemahnya

Otoritas Tradisional Minangkabau.

Kelompok kedua, menyanggah kesimpulan kelompok pertama. Ketika

kolonial Belanda menjajah Minangkabau, mereka sengaja memelihara

(memperkuat) otoritas tradisional berikut budaya Minangkabau dengan sistem

pemerintah indirect rule (Kahn, 1976; von Benda-Beckman, 1979; Kato, 1984,

Manan, 1995; Biezeveld, 2002; Hadler, 2010). Kato (1984) misalnya, berpendapat

bahwa perubahan telah terjadi di Minangkabau, namun, kerabat matrilineal

sebagai kelompok korporasi masih bertahan. Pola pewarisan kepada anak telah

menggejala, namun warisan itu lebih diutamakan kepada anak perempuan dimana

pada generasi kedua kembali menjadi warisan kepada garis ibu (pusaka tinggi).

Von Benda Beckman (1979) juga menyimpulkan birokrasi modern seperti

ekonomi modern dapat mengganggu sistem matrilineal, oleh karenanya juga

otoritas tradisional. Namun, hal ini belum terjadi. Biezeveld (2002)

menambahkan, “daya rusak” dari pengaruh-pengaruh perubahan sosial terhadap

Nagari-Nagari di Minangkabau akibat “berjumpa” dengan kapitalisme (birokrasi

modern), perlu dipilah-pilah. Pengaruh-pengaruh itu berbeda-beda melihat usia

Nagari, basis ekonominya (perdagangan atau pertanian), serta terletak dekat atau

jauh dari Kota (perkotaan-pedesaan). Untuk Nagari-Nagari Tua dan basisnya

3 Menurut von Benda-Beckman (1979/2000; 484), analisis Maretin (1961) dangkal dan tidak

didukung fakta yang ade kuat, pendapatnya telah pula pernah dibahas oleh Joustra (1923) dan

Van Volenhoven (1909). Dalam bahasa von Benda-Beckman “para penulis yang muncul

kemudian meninjau perubahan dari garis ibu ke bapak tidak memperlihatkan analisis yang lengkap

dari penulis itu, label yang mereka kenakan pada perubahan-perubahan yang terjadi di

Minangkabau sangatlah menyesatkan, dangkal dan tidak didukung data etnografis. 4 Konsep besarnya percakapan kedua kelompok ini adalah individualisasi. Otoritas tradisional itu

disanggah oleh sistem masyarakat komunalisme. Lihat kajian kontempor mengenai dalam disertasi

Renske Biezeveld (2002)

Page 14: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

62

perdagangan justru otoritas tradisional mencakup kebudayaan Minangkabau

masih bertahan, dan terus berkembang.

Hadler (2010), berdasarkan kajian terhadap sejarah keluarga, rumah dan

perkawinan di Minangkabau5 memproyeksikan bahwa adat Minangkabau ini akan

masih terus bertahan, karena kecintaan dan kebanggaan masyarakatnya terhadap

budaya Minangkabau. Bahkan, Imam Bonjol di hari-hari akhir hayatnya

merindukan alam dan adat Minangkabau. Dengan kenyataan tersebut, tidak

berlebihan jika Abdullah (2010) menyimpulkan bahwa perkiraan akademis

Schrieke bahwa proses individualisasi orang Minangkabau akibat kemajuan

ekonomi, sosial dan sebagainya akhirnya akan melemahkan ikatan matrilineal,

dan otoritas tradisional yang menyangganya, masih bisa dianggap ramalan

akademis saja.

Satu-satunya kajian yang tema utamanya bersangkutan dengan interaksi

otoritas tradisional dan birokrasi modern, yang mendekati kajian ini, telah

dilakukan oleh Manan (1995). Kajian yang bersifat Weberian ini, dilatar

belakangi implementasi UU No.5/1975 tentang Pemerintahan Desa di Sumatera

Barat oleh pemerintah pusat (birokrasi modern) terhadap Nagari (otoritas

tradisional) yang ingin diseragamkan menjadi desa. Hanya karena alasan finansial

(mengharapkan bantuan Bangdes, Inpres), implementasi undang-undang ini,

kemudian memecah Nagari-Nagari menjadi desa. Nagari yang semula berjumlah

542 Nagari di seluruh Sumatera Barat, kemudian mekar menjadi 3.332 Desa.

Manan (1995) kemudian melakukan penelitian selama dua tahun, dengan

pertanyaan penelitian yaitu (1) Pendekatan atau strategi apa yang dipakai oleh

Pemerintah Sumatera Barat dalam menerapkan peratuan baru itu? (2) Bagaimana

reaksi elite tradisional dalam memelihara kebudayaan dan kepentingan lokal? (3)

Apa dampak dari birokrasi modern terhadap otoritas tradisional? Beberapa

jawaban dari penelitian tersebut adalah, pertama, ada beberapa strategi yang

dipakai untuk mengimplementasikan “si No.5”6 tersebut, seperti melakukan pilot

5 Pertanyaan Hadler bermula dari fakta 33% pendiri Negara Indonesia adalah Orang

Minangkabau.. Apa rahasia dibalik penyebabkan orang Minangkabau ini dapat menghasilkan

kualitas manusia “unggul”? 6Gelar yang diberikan kolega, yang kemudian menjadi artikel di majalah Tempo, dengan judul

Menggugat si Nomor 5. Tempo. No.36 Tahun XX, 3 November. Hal.24. Maksudnya, adalah UU

No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa

Page 15: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

63

project di beberapa tempat di Sumatera Barat selama 3 tahun, untuk melihat

reaksi masyarakat Minangkabau. Kemudian memasyarakatkannya kepada

masyarakat, elite tradisional, Camat, Bupati, melahirkan banyak Perda untuk

mendukung pemekaran wilayah tersebut. Selanjutnya memberlakukan Perda

No.13/1983 yang secara yuridis formal menjamin keutuhan teritorial Nagari dan

mengukuhkan KAN (Kerapatan Adat Nagari) sebagai lembaga yang akan

memelihara adat Minangkabau. Terhadap jawaban pertanyaan kedua dan ketiga,

Manan mengemukakan, bahwa meskipun secara teritorial Nagari dimekarkan,

namun otoritas tradisional seperti kepemimpinan yang dibangun dari bawah serta

memiliki legitimasi seperti tigo tungku sajarangan tetap berperan menjaga

kesatuan adat Minangkabau dalam kerangka Nagari (otoritas tradisional).

Di samping itu, kekenyalan otoritas tradisional ini juga disebabkan adat

yang selalu mampu beradaptasi dengan perubahan, hal yang menarik dari temuan

ini adalah ternyata tidak seluruh desa mampu mandiri seperti desa-desa di Jawa.

Hal ini disebabkan karena keuangan desa yang terbatas, satuan wilayah yang tidak

mendukung, jumlah penduduk yang kurang serta ketiadaan legitimasi dari

penduduk setempat yang biasa berfikir dalam kerangka Nagari. Desa kemudian

tidak mampu membangun partisipasi masyarakatnya agar mampu menjadi desa

“self financing”. Sehingga, kepala desa tidak memiliki marwah, desa kemudian

hanya berfungsi sebagai tempat mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Pajak Bumi

Bangunan. Kepala desa dan perangkat desa, tidak mendapatkan gaji, akibatnya

kemudian melakukan penyimpangan terhadap dana bangdes dan dana-dana yang

dikucurkan dari pemerintah pusat dan propinsi.

Secara garis besar beberapa kajian baik yang dilakukan oleh ahli

antropologi, sosiologi, maupun administrasi negara tersebut merupakan

“lumbung” hasil panen penelitian mengenai interaksi otoritas tradisional dengan

birokrasi modern. Ringkasan hasil-hasil kajian mengenai Minangkabau tersebut

menyisakan satu ruang bagi penelitian sosiologi yakni suatu cluster kajian yang

berusaha mengungkap secara khusus tema peran (interaksi) otoritas tradisional di

dalam birokrasi pemerintahan. Secara khusus interaksi antar peranan yang

berbentuk hubungan kontestasi (bersaing, saling dukung, dan konflik) antar

pelbagai pihak baik dalam arena sistem tradisional maupun modern yang

Page 16: BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN · kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya ... Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson (1986)

64

menyangkut pengambilan keputusan di bidang keuangan publik. Dalam konteks

tersebut penelitian ini menempatkan aspek-aspeki perencanaan dan penganggaran

APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebagai celah masuk

sekaligus kasus untuk menemukan bentuk-bentuk interaksi antar peranan yang

dimaksud.