bab iii keragaman laskar perjuanganrepository.unj.ac.id/1535/3/bab iii.pdf37 tindakan seperti aksi...
TRANSCRIPT
35
BAB III
KERAGAMAN LASKAR PERJUANGAN
Sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 timbulah keinginan
dan gelombang kegembiraan baru di kalangan rakyat, terutama pemuda dan setiap
warga negara, yang menganggap bahwa sudah menjadi tugasnyalah untuk
melindungi Republik Indonesia dan kemerdekaan yang baru saja direbut. Banyak
organisasi-organisasi yang berbentuk laskar perjuangan bermunculan pasca
proklamasi kemerdekaan Indonesia, baik yang beruang lingkup lokal, nasional,
maupun berbasis suatu aliran agama tertentu.
Peranan pemuda dan mahasiswa di dalam perjuangan mempertahankan
Republik Indonesia sangat besar kontribusinya. Hal ini dapat terlihat di dalam
anilisis Benedict Anderson yang mengatakan bahwa peranan inti pada awal
pecahnya revolusi itu diambil, bukan oleh para cendikiawan yang terasingkan,
bukan juga terutama oleh kelas-kelas tertindas, melainkan oleh kaum muda, atau
sebagaimana orang-orang Indonesia menyebut mereka, Pemuda.1
Berbeda dengan awal berdirinya organisasi tentara yang menunggu
keputusan pemerintah, kemunculan para laskar berlangsung spontan dan bersifat
otonom. Kemunculannya seringkali berlangsung karena inisiatif dari sebuah partai
politik atau organisasi kemasyarakatan sosial yang ada pada saat itu. Kemunculan
kesatuan-kesatuan laskar tidak serta merta lahir setelah proklamasi diumumkan.
1 Benedict Anderson, Revolusi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946.
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988). Hlm. 15.
36
Terdapat juga kesatuan laskar yang ada sebelum diproklamasikannya
kemerdekaan.2
Keberadaan kesatuan laskar di masa kemerdekaan ditunjukan untuk
mewadahi dan menghubungkan semangat kalangan muda yang tidak bisa
ditampung ke dalam organ kemiliteran yang bersifat formal, disiplin, dan
hierarkis. Mengenai kelaskaran ini, menurut Robert Cribb ada batasan-batasan
tertentu, meskipun laskar dalam bahasa Inggris adalah sebagai soldier, militia,
atau army, namun pengertian ini dalam konteks Indonesia diartikan sebagai
kesatuan bersenjata di luar tentara reguler dan sebagian besar berkonotasi pada
suatu orientasi dan berafiliasi kepada partai politik dan organisasi tertentu.3
Para pemuda yang tergabung dalam laskar menjadi bagian yang tidak
terpisahkan selama masa pergolakan revolusi di mana kehadiran mereka berasal
dari latar belakang yang majemuk seperti pelajar sekolah, mahasiswa, petani desa,
pedagang pasar, tukang becak, buruh pasar, bahkan para penganggur yang ingin
mendarmabaktikan jiwa raganya bagi kemerdekaan bangsa. Selain itu yang
berlatar belakang dari kelompok islam baik dari kalangan kyai maupun santri
yang jumlahnya tidak kalah banyak dengan jumlah keanggotaan laskar.4
Dalam beberapa kasus dan gerakan patriotik yang dilakukan para laskar
terkadang diwarnai oleh tindakan ketidakdisiplinan bahkan mengarah kepada
kepentingan pribadi karena masih lemahnya kedudukan hukum dari pemerintah
yang masih baru. Tidak jarang pula beberapa laskar terlibat dalam serangkaian
2 Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia
(1945-1949), (Tangerang: Pustaka Compass, 2014), hlm. 182. 3 Robert Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1990),
hlm. 61. 4 Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 183
37
tindakan seperti aksi pembunuhan dan tindakan razia terhadap siapa saja yang
diangap sebagai mata-mata musuh.5
Peran laskar pada masa ini banyak terlihat dalam berbagai pergolakan di
berbagai daerah dan memiliki patriotisme yang tinggi, barisan laskar ini justru
lebih menunjukkan sikap radikalnya dalam membela dan mempertahankan
kemerdekaan serta lebih berani untuk berhadapan dengan kekuatan yang datang
dari luar. Di beberapa daerah, para laskar pemuda terlibat serangkaian insiden
dengan pasukan Jepang dalam peristiwa perebutan senjata dan mengambil alih
gedung-gedung penting yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang.
Sikap radikal mereka semakin tinggi ketika muncul ancaman baru yang
dinilai lebih kuat dan membahayakan yakni dengan mendaratnya pasukan Inggris
yang memboncengi NICA. Di beberapa daerah di Jawa, Sumatera, dan pulau-
pulau lainnya terjadi insiden bentrokan bersenjata antara barisan laskar dengan
pasukan Inggris. Dengan sikap yang tegas dan berani, para laskar lebih militan
dan lebih banyak mendapatkan dukungan dari rakyat jika dibandingkan dengan
tentara. Suasana persatuan barisan laskar dengan dukungan dari rakyat itu
menunjukkan bahwa para laskar itulah yang sesungguhnya merupakan lambang
dari rakyat bersenjata.6
Adapun organisasi-organisasi pemuda atau laskar yang terbentuk pada
masa awal kemerdekaan Indonesia diantaranya: Angkatan Pemuda Indonesia
(API), Angkatan Muda Listrik dan Gas (AMLG), Angkatan Muda Kereta Api
(AMKA), Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), Angkatan Muda Pos, 5 Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1997), hlm.
131. 6 George McTurnan Kahin, op. cit., hlm. 294.
38
Telepon dan Telegraf (AMPTT). Dari kalangan pelajar dan mahasiswa di
beberapa daerah juga membentuk organisasi sendiri seperti: Tentara Republik
Indonesia Pelajar (TRIP) di Jawa Timur, pasukan Indonesia Merdeka Atau Mati
(IMAM) di Banyumas, Crops Mahasiswa. Ada juga barisan laskar yang bercorak
ideologi keagamaan dan berafiliasi dengan organisasi Islam ataupun partai Islam
seperti laskar Hizbullah yang berafiliasi ke Masjumi dan laskar Fisabilillah
berafiliasi ke Nahdlathul Ulama (NU). Sementara badan kelaskaran yang
berafiliasi kepada kaum Nasionalis berdiri Nasional Pelopor Indonesia (Napindo)
dan Barisan Pelopor yang kemudian berubah menjadi Barisan Banteng yang
berafiliasi kepada Partai Nasional Indonesia (PNI) dan dari Partai Sosialis berdiri
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
A. Laskar Perjuangan Berideologi Islam
Keberadaan masyarakat Muslim sebagai suatu mayoritas di Indonesia dan
khususnya pulau Jawa mempunyai peran pada masa revolusi kemerdekaan. Ketika
sebagian pemuda mengangkat senjata dengan membentuk organisasi atau barisan-
barisan perjuangan berdasar kedaerahan atau aliran politik tertentu, pemuda-
pemuda muslim di Jawa membentuk barisan yang berdasar keagamaan seperti
laskar Hizbullah, laskar Fisabilillah maupun pemuda dari Sekolah Tinggi Islam di
Jakarta yang membentuk Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).
39
Laskar Hizbullah terbentuk pada masa pendudukan Jepang tepatnya 8
Desember 1944.7 Pembentukan laskar ini bermula dari sebuah usulan yang
disampaikan oleh sepuluh orang ulama kepada pemerintah Jepang bahwa perlu
untuk membentuk suatu barisan sukarela dari kelompok Islam. Seperti yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada tahun 1944 situasi Jepang di front
pertempuran semakin terdesak oleh gempuran-gempuran sekutu sehingga
memaksa Jepang berada dalam posisi bertahan. Untuk mempertahankan Indonesia
dari kemungkinan serbuan musuh maka Jepang melibatan kekuatan lokal, salah
satunya adalah kelompok Islam.
Kesatuan sukarela khusus Islam yang dibentuk ini dinamakan Hizbullah
atau “Tentara Allah”8 dengan format sebagai korps cadangan untuk kesatuan
PETA. Para anggota laskar Hizbullah ini juga diberi latihan-latihan dasar serta
kemampuan militer seperti halnya PETA dan Heiho. Pendidikan dan pelatihan
anggota Hizbullah dilaksanakan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat. Latihan ini
berlangsung selama enam bulan yang dimulai pada pertengahan tahun 1944 di
bawah komando pengawasan dari Kapten Yanagawa, seorang yang juga
memimpin latihan bagi para aggota PETA.9
Hizbullah beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura
yang berusia 15-17 tahun yang sehat secara fisik, belum menikah serta
7 Pembentukan pasukan sukarela khusus Islam ini bertepatan dengan perayaan ketiga dari
serangan besar-besaran Jepang terhadap Pearl Harbor pada tangaal yang sama tiga tahun sebelumnya. Lihat. Harry. J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm. 215-216. 8 Dalam istilah Jepang Hizbullah ini bernama kaikyo Seinen Teishintai, Nugroho Notosusanto, op.
cit., hlm. 46. 9 Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 139.
40
mendapatkan izin dari orang tua/wali. Hizbullah memiliki tugas yang bersifat
kemiliteran dan keagamaan. Untuk kemiliteran, Hizbullah berkedudukan sebagai
cadangan dari PETA dalam persiapan untuk menghadapi serangan dari sekutu dan
mempertahankan tanah air, sedangkan dalam bidang keagamaan Hizbullah
mempunyai tugas untuk mengkampanyekan dan mempertahankan Islam serta
memastikan masyarakat Islam menjalankan kewajiban agamanya.
Pendidikan dan pelatihan calon perwira bagi para anggota Hizbullah di
Cibarusa, Bogor, diberlakukan program yang sama seperti halnya PETA yang
dibagi pada tingkatan Bundan, Shodan, Cudan, dan Daidan. Setelah selesai
menjalani pendidikan dan pelatihan, setiap anggota dikembalikan ke daerahnya
masing-masing untuk menyelenggarakan latihan kemiliteran bagi para calon
anggota Hizbullah di Daidan masing-masing. Sehingga terbentuklah cabang-
cabang Hizbullah di sejumlah daerah di Jawa dan Madura.
Pada tiga bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan terjadi
serangkaian perubahan dan peristiwa yang terjadi di berbagai daerah serta
timbulnya inisiatif-inisiatif untuk melakukan bela negara dan mempertahankan
kemerdekaan. Perebutan gedung-gedung penting, pelucutan senjata dari tangan
Jepang, serta aksi-aksi para pemuda di jalan-jalan kota yang tidak jarang
menimbulkan konfrontasi dengan pihak Jepang merupakan gambaran suasana
yang terjadi di hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini juga turut dikuti oleh
41
laskar-laskar Hizbullah, yang setelah kemerdekaan bergerak di bawah bendera
Masyumi.10
Pada saat itu pucuk pimpinan Hizbullah yang dipegang oleh KH. Zainul
Arifin segera menetapkan pembentukan tujuh divisi Hizbullah di Jawa. Dalam
satu karesidenan terdapat satu divisi Hizbullah dengan selanjutnya pada masing-
masing divisi membawahi satuan resimen, batalyon, dan kompi. Di wilayah Jawa
Barat terdapat dua divisi Hizbullah yang masing-masing dipimpin oleh Zainul
Bachri dan Syamsul Bachri. Di Jawa Tengah terdapat beberapa divisi Hizbullah
yaitu di daerah Kedu dan Karesidenan Pekalongan. Selain itu terdapat pula divisi
Hizbullah di Karesidenan Pati, Surakarta dan Yogyakarta.
Pengakuan pemerintah terhadap Hizbullah sebagai salah satu badan
pertahanan di luar tentara reguler ini juga disertai dengan pengakuan terhadap
satuan-satuan Hizbullah di setiap tingkatan. Pada saat pemerintah membentuk
TKR pada 5 Oktober 1945, Hizbullah menempatkan diri sebagai bagian dari TKR
baik dari tingkat pusat maupun lokal. Walaupun jumlah anggota laskar Hizbullah
terbilang banyak, tetapi dalam hal kelengkapan persenjataan sangat tidak
memadai dan sangat terbatas.
Ikut sertanya laskar Hizbullah pada masa revolusi kemerdekaan tidak lepas
dari peranan para ulama dan kyai yang ikut memberikan semangat moril bagi
perjuangan membela negara. Kedatangan sekutu yang memboncengi NICA
10
Setelah proklamasi kemerdekaan, Hizbullah berafiliasi dengan partai politik Islam, Masyumi. Lihat Robert Cribb, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, (Jakarta: Masup Jakarta, 2010), hlm. 102-103 dan Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 185.
42
menimbulkan rasa kecurigaan dihati masyarakat dan para laskar perjuangan.
Suasana tegang seperti ini akhirnya menimbulkan bentrokan-bentrokan yang
terjadi di beberapa wilayah di Indonesia khususnya di pulau Jawa. Salah satu
pertempuran yang terjadi dengan sengit dan skala besar adalah di Surabaya. pada
pertempuran Surabaya inilah para ulama dan kyai mengeluarkan suatu resolusi
Jihad bagi para umat muslim yang berjuang untuk mempertahankan tanah airnya.
Resolusi jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh para ulama
dan kyai di Surabaya ini berbunyi: 1) hukumnya memerangi orang kafir yang
merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap
orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang kafir; 2) hukumnya orang yang
meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotan-komplotannya
adalah mati syahid; 3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang
ini wajib dibunuh.11
Himbauan para ulama dan kyai bahwa perjuangan membela kemerdekaan
Republik adalah sebagai bentuk dari jihad atau perang suci begitu efektif untuk
membakar semangat mereka. Dan memang ternyata motif agama (Islam) akan
menjadi media yang efektif dan ampuh untuk membangkitkan semangat rakyat.
Resolusi ini juga ditujukan untuk pemerintah pusat Indonesia yang diharapkan
menjadi bahan untuk mempengaruhi pemerintah agar segera menentukan sikap
melawan terhadap kekuatan-kekuatan asing yang terindikasi hendak
menggagalkan kemerdekaan.
11
Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 205-210.
43
Sejak kemerdekaan Indonesia, laskar Hizbullah cenderung mengikuti
pemerintah ketika ada perubahan serta kebijakan yang berkaitan dengan masalah
kemiliteran. Ketika pada pertangahan tahun 1947 pemerintah menghimbau untuk
bergabungnya laskar-laskar non reguler ke suatu wadah yang bernama TNI, laskar
Hizbullah menanggapinya dengan mengikuti himbauan pemerintah tersebut. Hal
ini kemungkinan besar dikarenakan faktor keterbatasan kelengkapan persenjataan
yang dimiliki laskar Hizbullah yang sedikit banyak menghambat pergerakan
mereka untuk ikut serta dalam suasana revolusi kemerdekaan. Selain itu juga
karena partai induk mereka, Masyumi, sejalan dengan apa yang dilakukan
pemerintah.
Berafiliasinya laskar Hizbullah dengan partai Masyumi membuat laskar ini
juga turut mengikuti serta terlibat arus perpolitikan negara. Seperti halnya Pesindo
yang mempunyai kedekatan hubungan dengan Amir Sjarifuddin yang pada saat
itu menjabat sebagai Menteri pertahanan dan kemudian menjadi Perdana Menteri.
KH. Zainul Arifin yang memegang pucuk pimpinan Hizbullah juga duduk sebagai
anggota dari Komisi Pertahanan KNIP.12
Selain laskar Hizbullah, di kalangan umat Islam khusunya santri dan kyai
juga membentuk sebuah barisan militer sukarela. Badan ini memang belum ada
pada masa pendudukan Jepang, melainkan keberadaannya dimulai pada saat
berlangsung kongres Masjumi pada bulan November 1945 di mana salah satu dari
keputusan kongres adalah membentuk Barisan Sabilillah yang mengandung
pengertian sebagai “Jalan Allah”.
12
Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 292.
44
Sebulan setelah kongres, para pemimpin Masjumi dan juga para Kyai dari
Nahdlatul Ulama, sebagai salah satu kelompok besar di dalam Masjumi,
mengeluarkan suatu program perjuangan. Program perjuangan ini memberikan
prioritas puncak kepada pengerahan dan persenjataan masyarakat santri supaya
diberikan latihan militer, sementara tentara rakyat dikembangkan dan diperluas.
Lebih khusus lagi, progam perjuangan ini menyerukan agar dipercepat
mengorganisasikan, melatih, dan mempersenjatai Hizbullah dan Sabilillah di
mana-mana, dan mengadakan pengerahan umum di kalangan Islam dari semua
tenaga, harta-benda, dan gagasan-gagasan untuk memperjuangkan kepenitngan-
kepentingan tentara-tentara Hizbullah dan Sabilillah.13
Jika Hizbullah ditujukan sebagai kesatuan yang bersifat militer murni,
maka Sabilillah bisa dipahami sebagai kesatuan milisi warga negara dalam perang
gerilya melawan sekutu dan Belanda.14
Barisan Sabilillah menempatkan pusat
komandonya di Malang yang dipimpin oleh KH. Masjuk. Struktur mempunyai
cabang-cabang di berbagai daerah seperti di Kedu yang dipimpin oleh KH. Subkhi
dan KH. Mansyur, Kudus pimpinan Muslam, Blora pimpinan Kyai Abdul Karim
dan Jepara yang dipimpin Umar Muslim. Cabang-cabang dari Laskar ini bahkan
terdapat juga di luar Jawa.
Laskar Sabilillah seringkali disebut sebagai “Laskar Kyai” sedangkan
Hizbullah sebagi “Laskar Santri” atau saat itu ada yang memberi batasan, Barisan
Fisabilillah sebagai “laskar Pedesaan” dan Hizbullah sebagai “Laskar
13
Benedict Anderson, op. cit., hlm. 251-252. 14
Zainul Milal Bizawie, op. cit., hlm. 192.
45
Perkotaan”.15
Seperti halnya Ben Anderson yang mengatakan bahwa Sabilillah
lebih merupakan nama umum bagi sejumlah besar gerombolan bersenjata yang
dipimpin oleh para kyai desa, yang bermunculan pada saat pengambilalihan
kekuasaan dari Jepang.16
Panji laskar Sabilillah berupa bendera merah putih dengan bertuliskan
kalimat Tauhid, La ilahaa illa ‘llah, dengan warna huruf putih di jalur merah, dan
kalimat Muhammad Rasulullah dengan huruf warna merah di jalur putih. Adapun
semboyan Fisabilillah adalah “Waman Yujâhid fî sabîlilâh”, yang berarti “mereka
yang berjuang di jalan Allah”.
Rasa nasionalisme dan ptarotisme juga timbul di kalangan para mahasiswa
di Jakarta, khususnya mahasiswa dari Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta
dengan membentuk Gerakan Pemuda Islam Indonesia. Lahirnya GPII tidak
terlepas dari peranan Pelajar STI yang ada di Jakarta. Pada masa itu di Jakarta
telah terbentuk organiasi-organisasi pemuda yang bertujuan memberi dukungan
kepada Republik Indonesia dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang
baru saja diraih. Namun bagi beberapa pemuda dan mahasiswa Islam, organisasi
yang ada pada saat itu ternyata tidak mewakili pemuda Islam. sedangkan, di
Indonesia umat Islam merupakan mayoritas dan justru karenanya sudah
sewajarnya apabila pemuda Islam mempunyai wadah sendiri untuk ikut dalam
mempertahankan kemerdekaan.
15
Ibid 16
Benedict Anderson, loc. cit.
46
Manifestasi perjuangan STI bisa dilihat dalam ide penyelenggaraan rapat
raksasa di Lapangan Ikada yang didesakkan oleh para kaum muda khususnya para
mahasiswa di asrama Prapatan 10 dan perkumpulan pemuda di Jalan Menteng 31
serta Balai Muslimin (Asrama STI).17
Rapat raksasa yang diprakarsai dan
digerakkan oleh para pemuda dan mahasiswa pada tanggal 19 September 1945
adalah manifestasi tekad dan usaha bangsa Indonesia untuk mempertahankan
kemerdekaan dan menyatakan bahwa kemerdekaan itu bukanlah hadiah dari
Jepang.18
Setelah rapat raksasa di Lapangan Ikada, semakin banyak pemuda muslim
yang datang ke Balai Muslimin dan menyatakan untuk bergabung di dalam
perjuangan mahasiswa STI. Melihat besarnya simpati dan semangat kaum muda
terhadap perjuangan para pemuda Islam, maka para mahasiswa STI merasa perlu
membentuk wadah perjuangan bagi para pemuda Islam. Untuk merealisasikannya,
maka dalam salah satu rapat anggota STI yang dipimpin oleh Suroto Kunto,
disepakati perubahan nama, pembuatan Anggaran Dasar, dan memilih pengurus
baru−termasuk orang-orang luar STI yang bersimpati kepada perjuangan pemuda
Islam.19
Maka pada tanggal 2 Oktober 1945 diresmikanlah berdirinya GPII yang
diketuai oleh Harsono Tjokcroaminoto. Organisasi ini mempunyai dua tujuan:
pertama adalah mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dan yang
kedua adalah menyiarkan agama Islam. Dalam perkembangan lebih lanjut,
17
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi DR. Harjono, S.H., (Jakarta: Media Da’wah, 1993). Hlm. 64. 18
Ibid 19
Ibid., hlm. 70.
47
perjuangan GPII melalui Balai Muslimin direalisasikan dengan bersedianya
Markas Balai Muslimin dijadikan tempat untuk sidang II KNIP.20
Pada masa itu
situasi di Jakarta mulai memanas, sering kali terjadi insiden antara para pejuang
kemerdekaan dengan tentara Jepang maupun dengan pasukan NICA. Seperti yang
diungkapkan oleh Sobagijo I. N. yang pada waktu itu berada di Balai Muslimin
“pada suatu ketika seorang PETA sedang menawar barang di kaki lima dengan
tanpa sebab ditembak. Prajurit PETA itu terjatuh dan diusung masuk ke Balai
Muslimin yang waktu itu dipergunakan juga sebagai tempat penginapan bagi
anggota KNIP dari seberang, dan dalam tempo sekejap terjadi tembak-menembak.
Begitulah yang terjadi setiap hari di awal revolusi di Balai Muslimin”.21
Sidang II KNIP yang berlangsung di Balai Muslimin pada tanggal 15, 16
dan 17 Oktober 1945, sidang yang dihadiri kira-kira 120 orang anggota dari
berbagai daerah di Jawa, yang disaksikan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta
dan Menteri-menteri itu betul-betul mencerminkan suasana revolusi.22
Pada
hakekatnya rapat KNIP tanggal 16 Oktober 1945 di Balai Muslimin itu adalah
mengambil segala kekuasaan yang masih bertumpuk dalam tangan Presiden
kedalam tangan KNIP yang telah diangkat oleh Presiden, walaupun resminya
maklumat yang penting itu dikeluarkan dan ditandatangani oleh Wakil Presiden.23
Berikut isi maklumat tersebut:
Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan
20
Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, Di Sekitar Lahirnya Republik, (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997), hlm. 131. 21
Ibid., hlm. 135-136. 22
A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid II, (Bandung: DISJARAH-AD, 1977). Hlm. 106 23
Ibid., hlm. 107.
48
legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara serta
menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung
dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih
diantara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.24
Dengan demikian hasil rapat KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945
berubahlah bentuk komite Nasional Pusat yang mulanya hanya merupakan badan
pelaksanaan pemindahan kekuasaan ketangan Republik; sekarang kekuasaan
badan itu bertambah dengan turut bertanggung jawab menetapkan haluan politik
negara. Dalam rapat ini juga diputuskan pergantian ketua KNIP dari yang
sebelumnya dipegang oleh Kasman Singodimedjo beralih ke tangan Sutan
Sjahrir.25
Pembentukan Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) yang terdiri dari wakil-
wakil dari berbagai aliran dan golongan sehingga lebih mencerminkan sifat
demokrasi. Tokoh-tokoh seperti Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad
Natsir, dan Mr. Amir Sjarifuddin, diangkat menjadi anggota BP-KNIP. Keputusan
lainnya ialah membatalkan instruksi pemerintah mengenai pembentukan partai
tunggal karena diangap dapat membahayakan sendi-sendi demokrasi26
Materi yang dibicarakan dalam rapat II KNIP ini sebenarnya sudah
disinggung sedikit banyak sebelumnya oleh Soekarni, sebagai wakil ketua, ketika
rapat I KNIP─ketika masih dipimpin oleh Kasman Singodimedjo─dalam
kesempatan pidatonya mengatakan bahwa pemimpin negara tidak revolusioner
dan orang-orang yang duduk dalam kabinet (presidensial) tidak didukung lagi
24
Ibid. 25
Ibid., hlm. 109. 26
Anwar Harjono dan Lukman Hakiem, op. cit., hlm. 55-56.
49
oleh perasaan umum sehingga harus diletakkan dalam tangan yang benar-benar
bersih dari noda Jepang dan yang revolusioner.27
Pada perkembangan lebih lanjut GPII membentuk Pemuda Pelopor.
Tujuan dibentuknya pemuda pelopor tersebut adalah untuk menggerakkan
revolusi di daerah-daerah bersama-sama dengan rakyat di dalam menghadapi
pihak Belanda maupun Sekutu sehingga di daerah masing-masing diharapkan
dapat terbentuk Pertahanan Rakyat. Penyebaran berita tentang pembentukan
Pemuda Pelopor dilakukan GPII ke pusat-pusat perkumpulan para pemuda di
sekitar Jakarta. Proses perekrutan Pemuda Pelopor dilakukan di markas GPII yaitu
Balai Muslimin.
Tidak sedikit yang bergabung ke dalam Pemuda Pelopor baik dari
perorangan maupun wakil dari organisasi-organisasi pemuda seperti perkumpulan
pemuda Prapatan 10, Persatuan Arab Indonesia (PAI), Ikatan Pemuda Pelajar
Indonesia (IPPI). Para Pemuda Pelopor ini nantinya akan dikirim ke beberapa
wilayah yang ada di Jawa dan Sumatera seperti Palembang, Jambi, Medan.
B. Laskar Perjuangan Berideologi Sosialis
Kemunculan kelompok pemuda khususnya di kota-kota besar yang ada di
Indonesia menjadi ciri khas masa transisi kekuasaan dari masa pemerintahan
militer Jepang ke masa kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus
27
Y. B. Mangunwijaya, Sutan Sjahrir: Antara Pemikir dan Politikus. Di dalam Prisma, Manusia Dalam Kemelut Sejarah. (Jakarta: LP3ES, 1977), hlm. 66.
50
mendapat respon dari kaum muda di berbagai daerah dengan cara membentuk
organisasi-organisasi atau laskar-laskar perjuangan. Respon dari para pemuda ini
merupakan bukti nyata dari besarnya semangat juang mereka setelah sekian lama
merasakan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing.
Mula-mula organisasi pemuda yang didirikan biasanya atas dasar
persamaan status pekerjaan atau status kedaerahan, seperti Angkatan Muda
Minyak (AMM) yang didirkan pada 21 Agustus 1945 di Surabaya. AMM
didirikan oleh Soemarsono dan Ruslan Widjajasastra yang mengonsolidasi para
pemuda dari perusahaan minyak di Surabaya. Lalu pada 30 September 1945
berdiri Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Medan. Setelah itu berdirilah
Angkatan Muda Pos, Telegraf, Telekomunikasi (AMPTT) dan Angkatan Muda
Kereta API (AMKA).
Berdirinya AMM di Surabaya diikuti oleh kelompok-kelompok pemuda
lain yang mendirikan Gabungan Pemoeda Kantor, Angkatan Muda Listrik.
Berbagai kelompok pemuda yang ada di Surabaya ini pada tanggal 23 September
1945 menggabungkan diri menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang
diketuai oleh Soemarsono dengan Kusnadi dan Krissnubanu sebagai wakilnya.
Selain PRI, ada juga Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang
didirikan oleh Bung Tomo pada 13 Oktober 1945. Kelompok ini menjalankan
kegiatannya melalui aksi-aksi advokasi, penyebaran propaganda melalui grafiti
dan mural di seluruh penjuru kota Surabaya, hingga penyerangan terhadap aset-
aset milik Jepang. Pola-pola aksi para pemuda Surabaya tersebut menjadi
pedoman standar bagi kaum muda di seluruh Indonesia untuk bertindak
51
menyikapi proklamasi kemerdekaan, dimana aksi-aksi serupa juga terlihat di
berbagai wilayah Indonesia.28
Setelah menjadi organisasi pemuda dengan basis massa yang besar di
Surabaya, PRI kemudian menyebar juga ke kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Pada 26 Oktober 1945, para pemuda Bandung mendirikan PRI Bandung yang
merupakan gabungan beberapa organisasi pemuda yang ada di Bandung. Di
Sumatera, berdiri PRI Aceh dan PRI Medan yang didirikan tidak lama setelah
berdirinya PRI Surabaya. Selain PRI, muncul juga kelompok pemuda lain di kota-
kota besar Indonesia khususnya di pulau Jawa. Di Semarang, berdiri Angkatan
Muda Republik Indonesia (AMRI). Organisasi ini berbasis di Jawa Tengah,
dengan Semarang sebagai pusatnya.
Hal yang sama terjadi pula di kota Yogyakarta, di kota ini berdiri Pemuda
Pelopor Nasional yang kemudian berganti nama menjadi Gerakan Pemuda
Republik Indonesia (GERPRI). Sementara itu, di Jakarta berdiri Angkatan
Pemuda Indonesia (API) pada 1 September 1945. Kelompok ini didominasi oleh
para pemuda dari Asrama Menteng 31, seperti Chaerul Saleh, Wikana, Darwis,
A.M. Hanafi, dan D.N Aidit. API sendiri terbentuk dengan tujuan untuk
mengkoordinir kelompok-kelompok pemuda di Jakarta.29
Selain API, ada pula
Barisan Rakyat (BARA) yang dipimpin oleh Maruto Nitimihardjo, Sjamsudin
Tjan, Sidik Kertapati, dan M.H. Lukman. Kelompok ini terbentuk tidak lama
28
N. J. Soelias, Pesindo: Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1949. (Jakarta: Marjin Kiri, 2016), hlm. 29-30. 29
Ibid.
52
setelah API dan memiliki tugas untuk memobilisasi penduduk dalam rangka
merebut kekuasaan dari pasukan Jepang di Jakarta.30
Pada perkembangan selanjutnya, berbagai organisasi dan laskar pemuda
ini seringkali terlibat aksi-aksi yang menyulut konfrontasi dengan pasukan
Jepang. Konfrontasi yang terjadi biasanya akibat aksi para pemuda dalam rangka
perebutan kekuasaan objek-objek vital dari pihak Jepang. Sasaran utama para
pemuda ini seperti stasiun-stasiun kereta api, sistem trem listrik, stasiun pemancar
radio serta gudang-gudang senjata milik Jepang.31
Situasi seperti ini semakin
diperparah dengan datangnya tentara Inggris pada tanggal 29 September yang
dipimpin oleh Letnan Jederal Sir Philip Christinson, panglima Allied Forces
Netherlands East Indies (AFNEI) dengan membawa pasukan-pasukan Belanda di
dalam Netherlands Indie Civil Administration (NICA). Hal ini menimbulkan
perlawanan yang lebih sengit dari pemuda Indonesia yang beranggapan bahwa
Belanda datang untuk menduduki kembali wilayah Indonesia.
Berdirinya Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) tidak terlepas dari
peranan para pemuda yang tergabung di dalam badan-badan atau laskar-laskar
perjuangan yang ada di kota-kota besar khususnya di pulau Jawa. Setelah terjadi
beberapa pertempuran antara para pemuda Indonesia dengan pasukan sekutu, para
pemuda menyadari bahwa perlawanan mereka yang terbagi atas beberapa
organisasi ini akan menjadi suatu kekuatan yang punya potensi besar apabila
teroganisir dengan baik dan mempunyai kesatuan komando. Gagasan ini akhirnya
30
Robert Cribb, Gejolak Revolusi..., op. cit., hlm. 52. 31
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: UGM Press, 1991), hlm. 321.
53
dapat diwujudkan dengan mengadakan Kongres Pemuda Indonesia pertama yang
dilaksanakan pada tanggal 9-10 November di Balai Mataram, Yogyakarta.
Dilaksanakannya Kongres Pemuda Nasional diprakarsai oleh GERPRI
yang juga menjadi tuan rumah kongres, walaupun ada indikasi bahwa inisiatif
pelaksanaan kongres ini berasal dari Amir Sjarifuddin yang pada saat itu menjabat
sebagai Menteri Penerangan.32
Kongres ini memiliki tujuan untuk
menggabungkan para pemuda Indonesia dengan basis prinsip-prinsip sosialis
untuk berdirinya sebuah Republik Indonesia yang berdasarkan kedaulatan
rakyat.33
Kongres ini dihadiri oleh perwakilan dari 30 organisasi pemuda dari
seluruh Indonesia.34
Selain itu hadir juga wartawan dalam dan luar negeri,
termasuk 6 wartawan Associated Press dari Amerika Serikat, Australia, dan India.
Kongres pemuda pertama ini menghasilkan keputusan untuk pendirian
Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI). BKPRI bersifat lebih
federatif dan hanya berperan sebagai wadah bagi organisasi-organisasi pemuda
yang telah ada sebelumnya. BKPRI diketuai pertama kali oleh Chaerul Saleh.
Selain BKPRI, dari Kongres Pemuda ini juga terbentuk sebuah organisasi yaitu
32
N. J. Soelias, op. cit., hlm. 37. 33
Benedict Anderson, op. cit., hlm. 283. 34
Organisasi pemuda yang hadir: Ikatan Pelajar Indonesia, Masyarakat Pelajar Perguruan Tinggi, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, Angkatan Pemuda Indonesia Maluku, Pemuda Kristen Protestan Indonesia, Pemuda Katolik Indonesia, Gabungan Gerakan Pegawai Angkatan Muda, Pemuda Andalas, Angkatan Muda Indonesia Kalimantan, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Barisan Banteng Indonesia, Angkatan Muda Guru, Pemuda Puteri Indonesia, Pemuda Republik Indonesia Aceh, Pemuda Republik Indonesia Andalas, Angkatan Muda Indonesia Surabaya, Serikat Pelajaran Indonesia, Gerakan Pemuda Minyak, Gabungan Angkatan Muda Indonesia, Gabungan Pemuda Islam Andalas, Pemuda Republik Indonesia Andalas Barat, Angkatan Muda Kantor Pusat Pemerintah Republik Indonesia, Angkatan Pemuda Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia, Gerakan Pemuda Republik Indonesia, Gerakan Pemuda Jawatan Kereta Api, Angkatan Muda Jawatan Gas dan Listrik, Angkatan Muda Jawatan Pos Telegraf dan Telepon, Pemuda Republik Indonesia.
54
Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) sebagai gabungan dari tujuh organisasi
pemuda; Angkatan Pemuda Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia,
Gerakan Pemuda Republik Indonesia, Pemuda Republik Indonesia, Angkatan
Muda Kereta Api, Angkatan Muda Gas dan Listrik, Angkatan Muda Pos Telegraf
dan Telepon.35
Pesindo berdiri secara resmi pada 10 November 1945 di Yogyakarta.
Tujuan politik didirikannya Pesindo adalah untuk memperkuat Republik
Indonesia berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat penuh atau sosialistis.36
Hal
menarik dari Pesindo adalah adanya kedekatan organisasi ini dengan tokoh politik
Amir Sjarifuddin. Walaupun dikatakan oleh para pemimpin Pesindo bahwa
Pesindo merupakan sebuah organisasi yang berdaulat penuh, serta tidak memiliki
ambisi ataupun organisasi induk politik, tetapi jika dilihat dari sejarah
pendiriannya, terbentuknya Pesindo tidak bisa lepas dari peran seorang Amir
Sjarifuddin.
Amir Sjarifuddin yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Penerangan
sekaligus pemimpin Partai Sosialis bersama dengan Sutan Sjahrir mempunyai
gagasan bahwa pendirian Pesindo di dalam Kongres Pemuda Indonesia pada
awalnya direncanakan sebagai sebuah organisasi pemuda nasional yang dapat
merangkul seluruh organisasi pemuda lain untuk menciptakan sebuah front
nasional. Namun pada akhirnya usulan ini gagal karena sebagian besar organisasi
35
N. J. Soelias, op. cit., hlm. 40. 36
Ibid., hlm. 47.
55
pemuda yang hadir lebih memilih membentuk sebuah badan yang bersifat
federatif dalam wujud BKPRI.
Akhir tahun 1945 sampai awal tahun 1946, struktur organisasi Pesindo
terdiri dari badan-badan yang berada di bawah Dewan Pucuk Pimpinan Atau DPP
Pesindo yang berkedudukan di Madiun. Ketua Pesindo yang pertama adalah
Krissubanu dan wakil ketua adalah Wikana. Pada 9 Januari 1946 diadakan
pertemuan antara tokoh-tokoh Pesindo dengan pemerintah Republik. Pertemuan
ini dihadiri oleh Presiden Soekarno, Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri
Penerangan Amir Sjarifuddin beserta menteri-menteri lain. Pada pertemuan ini,
delegasi Pesindo membicarakan masalah pembentukan Kementerian Pemuda serta
perlu adanya penempatan komisaris-komisaris politik di TKR. Pihak pemerintah
menjawab usulan itu dengan mengatakan bahwa usulan ini akan dilaksanakan
sebisa mungkin dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dua hari kemudan yaitu pada 11 Januari 1946, Pesindo mengadakan
kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada kongres ini diputuskan bahwa
Pucuk Pimpinan Pesindo pindah dari Madiun ke Surakarta. Selain itu, diputuskan
juga bahwa Pesindo akan memiliki sebuah Dewan Penasihat atau Badan Konsul
yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin.37
Kemudian pada Kongres Pesindo yang
kedua di Malang pada 7-9 November 1946, Pucuk Pimpinan Pesindo digantikan
dengan sebuah Badan yang disebut dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Tugas
37
Ibid., hlm. 59.
56
dan kewajiban dari DPP ini adalah mengupas dengan segera masalah-masalah
politik dan menentukan haluan politik dari Pesindo seluruhnya.38
Dalam melaksanakan program kerjanya, Pesindo memiliki badan-badan
operasionalnya yang ada di DPP serta cabang-cabang seluruh Indonesia. Ada
delapan badan operasional di dalam DPP Pesindo; Badan Konsul Pesindo, Badan
Konsul Organisasi, Badan Penyelidikan, Badan Perhubungan, Badan
Perbendaharaan, Badan Penerangan, Badan Pembelaan, Badan Sosial, dan Badan
Keputrian. Tetapi, Badan Konsul Pesindo dan Badan Organisasi tidak terdapat
pada cabang, hanya ada pada tingkat pusat serta pada akhirnya yang paling besar
perannya adalah empat badan operasional yang disebutkan terakhir.
Mengenai masalah keanggotaan, syarat umum untuk menjadi anggota
Pesindo adalah pemuda warga negara Republik Indonesia yang berumur di atas 15
tahun serta memiliki kesamaan nasib, paham, dan perjuangan.39
Untuk
memperkuat diri secara politik, selain menjaga kedekatan dengan Amir
Sjarifuddin, Pesindo juga merangkul organisasi-organisasi serta tokoh-tokoh
pemuda berpengaruh seperti Soemarsono dan Krissnubanu dari PRI Surabaya,
Chaerul Saleh, Adam malik dan Soebandrio yang berasal dari Asrama Menteng
31 dan tergabung dalam API Jakarta, serta Wikana yang aktif dalam kelompok
Asrama Indonesia Merdeka.
Sebagai organisasi kepemudaan yang turut berperan selama masa revolusi
kemerdekaan, yang umumnya dilakukan organisasi atau laskar perjuangan pada
38
Ibid. 39
Ibid., hlm. 61.
57
masa itu, Pesindo juga melibatkan diri dalam kancah perpolitikan nasional berkat
hubungannya dengan Amir Sjarifuddin. Melalui Badan Penerangannya yang ada
di Yogyakarta, Pesindo mengikuti dan memperhatikan perkembangan politik yang
terjadi. Badan ini bertugas untuk menerbitkan selebaran dan pamflet yang berisi
advokasi serta propaganda yang berkaitan dengan perjuangan pemuda. Masalah
kepemudaan dan anti-kolonialisme menjadi tema yang paling banyak disuarakan
dalam pamflet-pamflet Pesindo.
Selain menerbitkan pamflet dan selebaran, Pesindo juga memiliki media
cetak resmi yaitu Penghela Rakyat yang merupakan sebuah terbitan harian yang
berbentuk surat kabar dan Revolusioner sebuah terbitan mingguan yang berbentuk
majalah. Disamping media cetak, Pesindo juga mempunyai fasilitas stasiun radio
di berbagai wilayah. Konten siaran Pesindo terdiri dari berita-berita nasional
maupun lokal, berita organisasi seperti keputusan kongres dan sebagainya hingga
pidato dan orasi propaganda serta lagu-lagu nasional yang mengandung semangat
revolusioner.40
Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, Pesindo
memiliki sebuah Badan Pembelaan yang bertugas menjalankan perlawanan secara
militer terhadap musuh yang dapat mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Badan pembelaan Pesindo ini kerap disebut sebagai laskar Pesindo. Pada
dasarnya, istilah laskar dapat diterjemahkan bebas menjadi soldier, militia, atau
army dalam bahasa Inggris. Namun, dalam konteks Revolusi Indonesia, istilah
40
Ibid., hlm. 64-68.
58
laskar berarti satuan bersenjata di luar tentara reguler yang pada umumnya
memiliki orientasi politik tertentu.41
Badan pembelaan Pesindo yang diketuai oleh Soedigdo dan Hamimzar
memilik sejumlah pasukan bersenjata, yang pada saat itu bisa dibilang sebagai
satuan kelaskaran terbanyak khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hubungan antara laskar dan TNI yang berada di seluruh wilayah Republik
Indonesia pada waktu itu berbeda-beda di setiap wilayah. Jawa Barat dan Jakarta
misalnya, tentara menggabungkan kelompok-kelompok pemuda bersenjata ke
dalam satuan-satuan militer. Berbeda halnya dengan yang ada di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, di sini justru laskar Pesindo yang memiliki pengaruh besar dalam
Dewan Perdjuangan Djawa Tmur.42
Pada bidang sosial, Pesindo mempunyai Badan Sosial Pesindo yang
tugasnya membantu masyarakat di bidang sosial seperti pendidikan dan budaya.
Pergerakan Pesindo di dunia pendidikan tercatat dengan pendirian beberapa
sekolah baik yang bersifat formal maupun informal. Seperti pendirian sekolah
menengah di Magelang pada 15 November 1945 yang diberi nama Sekolah
Menengah Proletar yang diinisiasi oleh Pesindo cabang Magelang.43
Dalam hal
kebudayaan, digelar acara Malam Gembira Pesindo di Yogyakarta pada 21
November 1945 yang diisi dengan pagelaran musik serta berbagai pertunjukan
41
Robert Cribb, Gejolak Revolusi..., op. cit., hlm. 61. 42
Benedict Anderson, op. cit., hlm. 297. 43
N. J. Soelias, op. cit., hlm 72.
59
kesenian. Pesindo juga diketahui mempunyai sebuah kelompok ludruk yang
dikenal sebagai “Ludruk Pesindo”.44
Pesindo sebagai sebuah organisasi yang berhaluan kiri, dalam usahanya
untuk mendidik para kadernya, Pesindo juga mendirikan ”Marx House” di
Madiun. Sekolah pendidikan politik ini dimaksudkan sebagai sebuah pusat kajian
Marxisme bagi kader-kader organisasi kiri seperti PKI, Partai Sosialis, dan
Pesindo. Marx House dibuka secara resmi pada 22 Mei 1946. Tenaga pengajar di
Marx House terdiri dari tokoh-tokoh Marxis yang sebagian besar adalah bekas
pelajar dan mahasiswa anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang baru kembali
dari Belanda, seperti R.M Gondho Pratomo, Jusuf Muda Dalam, Maruto
Darusman, Dr. Dick Muwaladi, dan Otto Abdulrachman.45
Pendidikan politik
yang dilaksanakan di Marx House menjadi salah satu elemen penting bagi
pembentukan kader-kader Pesindo. Melalui program-programnya, Marx House
membantu Pesindo dan organisasi-organisasi kiri lainnya merekrut kader-kader
yang menguasai ideologi dan pemikiran Marxis.
Selain Pesindo, di Jakarta juga terbentuk sebuah laskar pemuda yang
cukup besar. Sebelum mengetahui lebih jauh, perlulah kiranya mengetahui pusat-
pusat perkumpulan pemuda yang ada di Jakarta sebelum proklamasi
kemerdekaan. Tepatnya semenjak masa pendudukan Jepang, terdapat beberapa
pusat-pusat pendidikan dan kaderisasi politik para pemuda. Ada tiga pusat
kaderisasi politik pemuda yang paling berpengaruh. Pertama adalah Asrama
44
Ibid. 45
Ibid., hlm. 75-76.
60
Angkatan Baru Indonesia atau lebih dikenal sebagai Asrama Menteng 31. Tokoh-
tokoh dari Menteng 31 diantaranya adalah Chaerul Saleh, Sukarni, A.M. Hanafi,
Ismail Widjaja, D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan Sjamsuddin Tjan.46
Kedua adalah
Asrama Prapatan 10 atau Asrama Fakultas Kedokteran yang terletak di Jalan
Prapatan No. 10. Tokoh-tokoh dari Prapatan 10 diantaranya adalah Sjarif Thayeb,
Djohan Nur, Darwis, Tadjuludin, Abu bakar Lubis, Bagdja Nitidiwiria, Eri
Sudewo, Ilen Surianegara, Sanjoto Sastromihardjo, Soedjatmoko, Soejono
Martosewojo, dan Soebadio Sastroatomo.47
Ketiga adalah Asrama Indonesia
Merdeka yang berada di Jalan Kebon Sirih No. 80. Tokoh-tokoh di asrama
diantaranya adalah Ahmad Subarjo, Wikana, dan M. Jusuf.48
Pasca proklamasi kemerdekaan, terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para pemuda yang ada di Jakarta terkait apa yang harus dilakukan saat itu.
Kelompok pemuda radikal dibawah pimpinan Chaerul Saleh dan Sukarni merasa
perlunya untuk segera dilakukan penyerangan dalam rangka mengambil alih
kekuasaan dari pihak Jepang, mengingat kondisi Jepang pada waktu itu sudah
dikalahkan pasukan sekutu. Akan tetapi kelompok pemuda lain dibawah pimpinan
Eri Sudewo, seorang bekas mahasiswa kedokteran, memilih bersikap hati-hati
demi melindungi hidup golongan elite pemuda dari perjuangan yang berlarut-
larut.49
Sejak saat itu perjuangan pemuda yang berada di wilayah Jakarta terpecah
menjadi dua, yakni kelompok yang berada di Jalan Prapatan 10 dibawah Eri
46
Benedict Anderson, op. cit., hlm. 62-65. 47
Ibid. hlm. 61-62. 48
Ibid. hlm. 65-69. 49
Robert Cribb, Para Jago..., op. cit., hlm. 77.
61
Sudewo bersama mahasiswa kedokteran yang umumnya berisi kaum-kaum
terpelajar, serta kelompok di Jalan Menteng 31 yang menjadi pusat kekuatan para
pemuda yang menginginkan perjuangan senjata. Bagi para pemuda Prapatan 10
yang berpendapat aktivitas yang dilakukan kelompok Chaerul Saleh dianggap
tidak tepat sasaran dan berbahaya, kehadiran BKR yang dibentuk pemerintah
merupakan sebuah alternatif yang menarik sehingga kelompok ini kemudian
memasuki unit-unit BKR yang ada di Jakarta.
Kemudian di sisi lain, kelompok Menteng 31 pada tanggal 1 September
1945 mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API). Setelah terbentuk, Angkatan
Pemuda Indonesia diketuai oleh Wikana, Chaerul Saleh sebagai wakil ketua dan
sekretaris, serta Darwis─pemuda Prapatan 10 tetapi tidak sepakat dengan
keputusan Eri Sudewo─sebagai bendahara, anggota-anggota lainnya dari
kepemimpinan API termasuk Aidit, Pardjono, Hanafi, Kusnandar, Djohar Nur,
dan Chalid Rasjidi.50
Pembentukan API bertujuan untuk mengorganisasi dan mengkoordinasi
kelompok-kelompok pemuda di jakarta. API berhasil menarik banyak pengikut,
khususnya kelompok-kelompok pemuda yang kurang berpendidikan. Tidak lama
setelah pembentukannya, API mengeluarkan sebuah manifesto yang menyeru
kepada rakyat Indonesia untuk menguasai senjata, kantor-kantor dan bisnis
Jepang. Anggota API masuk ke tengah kota untuk menggalakkan aksi ini dan
50
Benedict Anderson, op. cit., hlm. 141.
62
mempelopori pengambilalihan jaringan kereta api dan trem, telepon serta
sejumlah institusi publik maupun swasta.51
Aksi-aksi seperti ini tidak hanya dilakukan oleh API saja, tetapi banyak
lagi kelompok-kelompok pemuda yang ada di jakarta yang melakukan hal serupa
seperti Oesaha Pemoeda Indonesia (OPI), Barisan Rakyat (BARA). Situasi seperti
ini semakain memanas ketika sekutu dan Belanda tiba di Jakarta pada akhir
September 1945. Walaupun pihak sekutu mengatakan bahwa ikut sertanya
Belanda datang ke Indonesia untuk menerima penyerahan Jepang dan
membebaskan tawanan perang, tetapi dari pihak Indonesia khususnya para
pemuda tetap menaruh kecurigaan terhadap para serdadu Belanda. Kecurigaan
para pemuda semakin terbukti ketika melihat para prajurit Belanda, yang pada
masa pendudukan Jepang dipenjarakan, kemudian dibebaskan dan mulai
mempersenjatai diri.
Berbagai bentrokan dan konfrontasi pun pecah dan terjadi di berbagai
wilayah di Jakarta. Pihak sekutu khususnya Belanda merespon ini dengan cara
melakukan tekanan militer. Tekanan di Jakarta, sebagian berasal dari pasukan
Inggris yang mulai menyerang bagian timur dan barat Jakarta agar badan-badan
perjuangan pemuda tidak nekat memasuki kota.52
Kondisi seperti ini membuat
API terdesak dan menghadapkan mereka pada dua pilihan, yaitu mundur atau
musnah. Pada akhirnya pilihan pertamalah yang diambil API dengan sangat
terpaksa sembari memikirkan cara untuk merubah strategi perlawanan.
51
Robert Cribb, Para Jago..., op. cit., hlm. 81. 52
Ibid., hlm. 96.
63
Langkah pertama dalam reorientasi strategi API adalah pembentukan
organisasi komando perjuangan yang bernama Lasjkar Rakjat Djakarta Raja
(LRDR) di Salemba, Jakarta Pusat, pada 22 November 1945 yang diketuai oleh
Bahar Rezak, seorang bekas mahasiswa kedokteran, yang lebih dikenal sebagai
Sutan Akbar.53
LRDR ini adalah hasil dari konsolidasi semua laskar dan badan
perjuangan yang masih bertahan pada waktu itu.54
Pembentukan LRDR
merupakan perubahan arah perjuangan API, dimana awalnya API lebih
merupakan suatu organisasi kepemudaaan yang lebih condong pada bidang
politik. Akan tetapi setelah terbentuknya LRDR, garis perjuangan pemuda
menjadi lebih keras, yakni dengan angkat senjata dan bertempur langsung
melawan pendudukan pasukan sekutu dibawah Inggris dan Belanda.
Pertempuran yang terjadi antara pemuda dibawah LRDR melawan
pasukan sekutu semakin lama semakin sengit. Bertekad untuk tidak melepaskan
begitu saja wilayah Jakarta dari serangan tentara sekutu, Pasukan LRDR bertahan
menghadapi gempuran sekutu dibawah Inggris selama lima minggu, dan akhirnya
pada akhir Desember 1945, tentara Inggris memutuskan untuk memberlakukan
kontrol militer penuh atas wilayah Jakarta. Tentara Inggris melancarkan Operasi
Sergap pada tanggal 27 Desember 1945, mereka memasang barikade di sekeliling
kota, menempati bangunan-bangunan publik yang krusial, merampas semua mobil
yang dimiliki penduduk sipil, menahan anggota kepolisian Indonesia dan orang-
orang Indonesia lainnya yang dianggap “ekstremis”.55
Dengan dilancarkannya
Operasi Sergap, tentara Inggris melakukan serangkaian penyisiran terhadap 53
Ibid 54
A. H. Nasution, Sekitar Perang... ,op. cit., hlm. 240. 55
Robert Cribb, Para Jago..., op. cit., hlm. 97.
64
kampung-kampung diwilayah Jakarta yang dimaksudkan untuk melemahkan dan
mengurangi serta menghancurkan kekuatan berbagai badan perjuangan yang
masih bertahan khusunya LRDR.
Akibat dari Operasi Sergap ini pasukan LRDR tidak dapat bertahan dari
serangan tentara Inggris dan akhirnya mundur dikarenakan keadaan yang semakin
terdesak. Segenap pemuda yang tergabung dalam LRDR yang sempat bertahan
selama lima minggu di wilayah Jakarta akhirnya pergi meninggalkan wilayah
yang dipertahankannya pada tanggal 31 Januari 1946, mereka bergerak menuju
wilayah pedalaman yakni Karawang.56
sementara itu, para pemimpin-pemimpin
muda seperti Chaerul Saleh dan Sukarni telah lebih dulu pergi ke Jawa Tengah
untuk bergabung dengan tokoh senior mereka, Muhammad Yamin dalam
menentang strategi diplomatis pemerintah.
Keadaan wilayah Karawang yang sebagian besar terdiri atas dataran
rendah memiliki keuntungan tersendiri bagi para pejuang laskar, selain karena
sudah mengenal karakteristik daerah itu, mereka juga memanfaatkan wilayah
yang terbentang dari sebelah timur sungai Cakung dengan membuat banyak
daerah pertahanan dan blokade yang menyulitkan pihak sekutu. Karawang sendiri
pada waktu revolusi kemerdekaan merupakan bagian dari Karesidenan Jakarta
dengan wilayah lainnya yaitu: Subang, Purwakarta, Cikarang, dan Tambun.
Kota Karawang menjadi pusat revolusi daerah sekitarnya dengan adanya
markas LRDR. Sesuatu yang menarik serta membedakan LRDR dengan laskar-
56
Ibid.
65
laskar lainnya adalah dalam hal arah politik yang dianutnya. Walaupun LRDR
dipimpin oleh Sutan Akbar dan R.F. Ma’riful sebagai wakil, kebijakan organisasi
ditentukan oleh dewan politik yang terdiri dari Chaerul Saleh, Armunanto, Johan
Nur, Kusnandar, Achmad Astrawinata, Mohammad Darwis, Sjamsuddin Tjan,
dan Sidik Kertapati.57
Mereka adalah politikus-politikus muda yang kompeten dan
berpengalaman. Dewan ini berpegang pada kebijakan untuk melawan Belanda
tanpa henti dan tanpa kompromi.
Lasjkar Rakjat Djakarta Raja juga terdiri dari tujuh pasukan inti dengan
jumlah kekuatan yang beragam serta tersebar di wilayah Karawang. Selain yang
ada di wilayah Karawang, LRDR juga menempatkan satu unit pasukan yang
bersiaga di wilayah Jakarta di bawah pimpinan Akhmad Indin Natapraja. Selain
itu, mengenai kekuatan tempur dari LRDR sendiri sebenarnya tidak mencukupi
untuk menyerang wilayah Jakarta secara besar-besaran, untuk itu mereka mencari
sokongan atau bantuan dari badan perjuangan dan kelompok bersenjata lainnnya
yang ada disekitar kawasan Jakarta seperti Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi
(KRIS) yang membangun markas di Rengasdengklok, Barisan Srikandi yang
merupakan unit tempur perempuan dan bermarkas di Pucung dekat Cikampek,
serta para jago atau pentolan gerombolan-gerombolan lokal yang dianggap cukup
patriotis.
Ciri khas dari para badan perjuangan atau laskar bersenjata ini adalah
kurangnya kerjasama satu sama lain. Walaupun telah dijelaskan sebelumnya
bahwa para laskar terkadang saling membantu karena atas dasar perjuangan yang
57
Ibid., hm. 100.
66
sama, tetapi unit-unit laskar ini cenderung saling mencurigai satu sama lain. Hal
ini disebabkan pemuda-pemuda laskar ini tumbuh di lingkungan yang diatur oleh
pemimpin-pemimpin lokal berskala sempit yang tidak bertanggungjawab pada
siapa pun. Selain itu, faktor ekonomi dan keterbatasan amunisi serta persenjataan
juga memperngaruhi sikap kecurigaan para laskar ini. Mereka saling bersaing
mendapatkan tempat tinggal serta akses sumber daya dan komunikasi sehingga
pada akhirnya para laskar ini cenderung untuk bergerak sendiri-sendiri dengan
kebijaksanaannya masing-masing.
Sikap konfrontatif yang diperlihatkan LRDR ternyata tidak hanya terhadap
sekutu dan Belanda, tetapi juga pada pihak pemerintah Indonesia. Ini terjadi
ketika pemerintah Indonesia yang pada saat itu dibawah kepemimpinan Sutan
Sjahrir sebagai Perdana Menteri mengambil jalan diplomasi dengan pihak
Belanda. Tujuan utama Sjahrir pada saat itu adalah untuk mendapatkan
pengakuan kedaulatan baik dari pihak Belanda pada khususnya maupun dari dunia
Internasional pada umumnya. Pemerintah saat itu melihat bahwa tidak mungkin
bagi negara yang baru merdeka untuk melakukan konfrontasi bersenjata dengan
negara yang dinilai sudah modern dari segi organisasi kemiliteran maupun
persenjataan.
Langkah awal pemerintah adalah menetapkan Jakarta sebagai tempat
dilakukannya diplomasi karena selain statusnya sebagai Ibu kota negara, Jakarta
juga merupakan jalur kontak terhadap dunia luar. Maka dari itu pada pertengahan
bulan November 1945, Sjahrir memerintahkan seluruh kekuatan militer Indonesia,
baik yang reguler (TKR) maupun nonreguler (laskar), untuk keluar dari kota demi
67
mengurangi kemungkinan perselisihan. Tujuan Sjahrir adalah untuk mengakhiri
pertempuran jalanan yang menempatkan Republik sebagai musuh sekutu,
membangun atmosfer damai yang diperlukan untuk memulai negosiasi sekaligus
menunjukkan otoritas politik yang dimilikinya.58
Unit-unit militer di Jakarta menerima instruksi melepaskan tanggung
jawab terhadap kota itu dengan perasaan cemas. Namun respon sebaliknya
ditunjukkan oleh sebagian besar laskar yang ada di Jakarta pada saat itu. mereka
menolak untuk pergi karena dari awal mereka tidak setuju dengan sikap yang
diambil pemerintah dan tetap melanjutkan sikap konfrontatifnya. Sehingga pada
akhirnya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, para laskar di Jakarta dipukul
mundur oleh Inggris dengan melancarkan Operasi Sergap.
Dari sinilah mulai ada kerenggangan hubungan antara LRDR dengan
pemerintah yang nantinya akan semakin memuncak pada beberapa tahun
berikutnya. Sikap LRDR ini merupakan representasi dari laskar-laskar yang
cenderung berjalan sendiri-sendiri dengan kebijaksanannya masing-masing
sehingga lambat laun akan menjadi persoalan yang serius bagi revolusi Indonesia.
C. Laskar Perjuangan Berideologi Nasionalis
Selain laskar yang berbasis kepada ajaran Islam dan laskar yang berdasar
pada ajaran sosialisme, terdapat pula laskar yang punya kedekatan dengan Partai
Nasioanlis Indonesia (PNI). Laskar tersebut adalah laskar Banteng atau nama
resminya Barisan Banteng. Barisan Banteng ini merupakan transformasi dari
58
Ibid., hlm. 129.
68
Barisan Pelopor yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang. Barisan Pelopor
merupakan organ kepemudaan dari Jawa Hokokai. Pemimpin umum Barisan
Pelopor adalah Soekarno, sedangkan Pelaksana Pimpinan Pimpinan Harian adalah
Sudiro dengan dibantu oleh para anggota pengurus seperti Chaerul Saleh, Agus
Karma, Asmara Hadi, Mashud, Sukarjo Wirjopranoto, dan Otto Iskandardinata.
Pada tiap-tiap karesidenan ada Barisan Pelopor yang dipimpin oleh
seorang Komandan. Muwardi adalah ketua Barisan Pelopor Daerah Jakarta dan
sekitarnya, sedangkan wakilnya adalah Wilopo. Sebagai pimpinan Barisan
Pelopor daerah Jakarta, Muwardi membentuk Barisan Pelopor pada tingkat
kecamatan. Setelah proklamasi kemerdekaan dan Soekarno dipilih menjadi
Presiden, atas usul Sudiro, Soekarno mengangkat Muwardi menjadi Ketua Umum
Barisan Pelopor.
Barisan Pelopor kemudian merubah namanya menjadi Barisan Banteng
pada 14 dan 15 Desember di suatu konferensi yang dilangsungkan di Surakarta.59
Barisan banteng ini dipimpin oleh Muwardi dan Sudiro yang mendirikan markas
besarnya di Surakarta. Tetapi, berbeda dengan Barisan Pelopor yang telah
mempunyai banyak cabang di sebagian besar pulau Jawa pada masa pendudukan
Jepang, Barisan Banteng tidak mempunyai banyak cabang dan anggota. Hal ini
karena selama tiga bulan setelah kemerdekaan, banyak dari bekas anggota Barisan
Pelopor menghilang atau masuk ke dalam laskar lain atau bahkan masuk ke dalam
tentara.
59
Benedict anderson, op. cit., hlm. 291.
69
Sejak berdirinya, kekuatan Barisan Banteng terpusat di Surakarta dan
sebagian besar merupakan pengikut-pengikut pribadi serta teman-teman dekat
Muwardi dan Sudiro. Pada perkembangannya kemudia, awal Januari 1946,
Muwardi segera meluaskan sayap Barisan Banteng dengan menyusun cabang-
cabang di tiap-tiap Karisidenan, ranting-ranting di Kabupaten, dan anak ranting di
Kawedanaan. Bersama dengan Sudiro, Mulyadi Joyomartono. Banyak berkeliling
mengadakan inspeksi ke daerah Jawa Barat, Bandung, Purwakarta, Leles, hingga
ke Jawa Timur, Bojonegoro, dan Malang. Khusus di Solo dibentuk Divisi Laskar
Banteng di bawah pimpinan Anwar Santoso yang membawahi 5 resimen,
berkedudukan di Kartasura, Solo, Wonogiri dan Sragen. Di dalam Pimpinan
Barisan Banteng diadakan pembagian pekerjaan. Sudiro dan Imam Sutadjo
memimpin bagian politik yang berhasil menerbitkan harian Pasific dan majalah
Banteng.
Perlu juga diketahui, selain Barisan Banteng yang ada di Surakarta, PNI
juga membangun kesatuan laskar di Sumatera Timur yang bernama Nasional
Pelopor Indonesia (Napindo). Setelah kemerdekaan, para pemuda di Sumatera
Timur membentuk Organisaasi yang bernama Barisan Pemuda Indonesia (BPI).
Pemebentukan BPI di Sumatera Timur melahirkan barisan laskar rakyat. Selamat
Ginting bersama dengan Tama Ginting menjadi pelopor Barisan Pemuda
Indonesia di Sumatera Timur dan meleburkan semua BPI menjadi Napindo.
Anggota dari BPI ini di desa masing-masing tercatat sebagai anggota PNI. Pucuk
pimpinan dari Napindo di Sumatera Timur ini sebagian besar dipegang oleh para
70
nasionalis dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga para pemuda
nasionalis yang bergerak di bawah tanah pada masa pendudukan Jepang.
D. Tentara Pelajar
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menimbulkan gelombang
kegembiraan baru dikalangan rakyat, terutama pemuda dan setiap warga negara,
yang menganggap bahwa sudah menjadi tugasnyalah untuk melindungi Republik
Indonesia dan kemerdekaan yang baru saja direbut. Diantara para pemuda yang
menjadi penggerak masa awal revolusi adalah adanya kesatuan-kesatuan pelajar
yang muncul. Di pulau Jawa misalnya, terdapat beberapa kesatuan-kesatuan
perjuangan pelajar yang nantinya disebut sebagai Tentara Pelajar (TP) seperti;
Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di Jawa Timur, Tentara Pelajar Solo,
Yogya, dan Jawa Barat, Tentara Pelajar Indonesia Merdeka atau Mati (IMAM) di
banyumas, Tentara Genie Pelajar (TGP) di Magelang dan Solo.
Kesatuan-kesatuan Pelajar ini didirikan oleh para pelajar yang berusia
antara 15 sampai 21 tahun. Mereka rata-rata masih duduk di bangku sekolah
tingkat pertama dan atas. Meluasnya berita tentang proklamasi kemerdekaan
menjadi faktor utama bergeraknya para pelajar ini. Seperti yang terjadi di kota-
besar pada masa awal revolusi, sasaran utama para pelajar ini adalah merebut
persenjataan dari tangan Jepang. Dari aksi perebutan senjata ini, terbentuklah
kesatuan-kesatuan pelajar dari tingkat lokal maupun nasional. Organisasi para
pemuda pelajar dengan skala besar pertama kali dibentuk di Solo pada awal
Oktober 1945.
71
Dengan banyaknya kesatuan-kesatuan pelajar, para pelajar ini kemudian
sepakat untuk mengadakan Kongres Pelajar Indonesia yang diadakan pada tanggal
25-28 September 1945 di Yogyakarta. Kongres pelajar pertama ini dibuka dengan
rapat raksasa di tanah lapang Krisdosono, yang dihadiri oleh Sultan
Hamengkubuwono IX, Paku Alam VIII, pemimpin-pemimpin Komite Nasional
Daerah dan 8.000 pemuda-pemuda pelajar Sekolah Menengah Yogya serta para
utusan dari kota-kota seluruh Jawa dan Madura.60
Pada tanggal 28 September 1945 kongres pelajar ditutup, dilanjutkan
dengan rapat raksasa di Stadion Krisdosono, di mana dibicarakan mosi dan
keputusan kongres. Mosi yang dibacakan berbunyi sebagai berikut:
Mengingat:
1. Kedudukan Negara Indonesia pada masa sekarang.
2. Bahwa kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan oleh segala
lapisan masyarakat Indonesia.
3. Bahwa pelajar-pelajar Sekolah Lanjutan merupakan satu lapisan besar
dalam masyarakat Indonesia.
Menimbang:
Bahwa pelajar-pelajar Sekolah Lanjutan sebagai pemuda Indonesia
berkewajiban berjuang bersama-sama dengan segala lapisan masyarakat
untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia.
60
Koesnadi Hardjasoemantri, “Peran Pemuda Pelajar Indonesia dalam Perjuangan Bangsa: Sebuah Refleksi dan Harapan”, Jurnal Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Vol. 13, No. 13 (Januari, 2007), hlm. 3.
72
Memutuskan:
1. Kami adalah pelajar Negara Republik Indonesia.
2. Menolak menjadi pelajar pemerintah lain daripada pemerintah
Republik Indonesia.
3. Menyediakan tenaga, jiwa dan raga untuk kepentingan kemerdekaan
bangsa dan Negara Indonesia.61
Keputusan kongres ini kemudian dikenal sebagai “Ikrar Pelajar Republik
Indonesia”. Kongres ini juga telah membentuk Ikatan Pelajar Indonesia (IPI)
sebagai wadah perjuangan pelajar Indonesia.
Ikatan Pelajar Indonesia adalah organisasi pemuda pelajar pertama dengan
skala besar yang terbentuk pada saat itu dengan pusatnya di Yogyakarta. IPI
diketuai oleh Tata Mahmud.62
IPI secara cepat segera membentuk cabangnya di
kota-kota lain pada bulan-bulan berikutnya. Dengan semakin meningkatnya
gejolak perjuangan membela negara, IPI Solo membentuk bagian pertahanan yang
diketuai oleh Mahatma.63
IPI bagian pertahanan inilah yang mengkoordinir dan
mengadakan latihan-latihan bagi para pemuda pelajar yang ingin ikut berjuang di
garis depan. Terbentuknya IPI menjadi pemicu para pelajar di berbagai daerah
untuk membentuk kesatuannya masing-masing.
61
Ibid. 62
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Peranan Pelajar dalam perang kemerdekaan, (Jakarta, 1985),
hlm. 86. 63
Ibid.
73
Dengan kedatangan pasukan sekutu dan meletusnya beberapa pertempuran
di kota-kota besar di pulau Jawa membuat para kesatuan-kesatuan pelajar ini
memutuskan untuk terjun langsung ke garis depan pertempuran. Cara yang
dilakukan para kesatuan pelajar ini berbeda-beda di setiap daerah, ada yang
bergerak sendiri-sendiri ada juga yang bergerak mengikuti kesatuan TKR tempat
mereka menikuti front pertempuran. Di beberapa kota di Jawa Tengah seperti
Solo dan Semarang terdapat beberapa kelompok pelajar, kelompok-kelompok
pelajar ini membentuk laskar-laskar pelajar seperti Laskar Garuda, Laskar Satria,
Laskar Pandawa, Laskar Jelata, Laskar Alap-alap, Laskar Kere.64
Laskar-laskar pelajar tersebut belum terbiasa dengan peraturan dan
kesadaran disiplin. Bergeraknya kelompok-kelompok pelajar ini cenderung atas
dasar keinginan dan kesenangan saja. Penunjukan dan pergantian pimpinan laskar
juga secara otomatis di lapangan, artinya siapa saja yang mampu dan mau jadi
pimpinan, serta disetujui oleh beberapa orang, jadilah ia pimpinan laskar. Ketika
meletus pertempuran Lima Hari di Semarang pada 14 Oktober 1945, para laskar-
laskar pelajar ini ikut berjuang di garis depan. Tetapi karena kurangnya koordinasi
membuat para laskar ini terdesak dan akhirnya mundur ke daerah aman.
Awal tahun 1946 diadakan rapat di antara laskar-laskar pelajar Solo dan
berhasil membentuk organisasi yang bernama Markas Pertahanan Pelajar (MPP).
Kekuatan pasukan disusun menurut susunan regu, seksi, dan kompi-kompi.
Perbandingan antara senjata dengan orang ada yang 1 banding 3 atau 1 banding 4
64
Ibid.
74
dan digunakan secara bergantian. Satu tahun kemudian atas prakarsa MPP pusat
di Yogyakarta, maka dibentuklah batalyon-batalyon pelajar Jawa Tengah:
1. Batalyon 100 yang berada di Solo
2. Batalyon 200 yang berada di Semarang
3. Batalyon 300 yang berada di Yogyakarta
4. Batalyon 400 yang berada di Cirebon
Sebagaimana halnya pertumbuhan nama dan organisasi tentara yang
berkembang dari BKR-TKR-TRI dan terakhir menjadi TNI, maka demikian juga
pertumbuhan Tentara Pelajar. Dari embrio kelompok-kelompok pelajar
perjuangan, kemudian menjadi laskar-laskar pelajar dan akhirnya menjadi
batalyon-batalyon tentara pelajar.65
Pergerakan kelompok-kelompok pelajar di Surabaya agak sedikit berbeda
dengan yang ada di Solo. Aksi-aksi para kelompok pelajar di surabaya dalam
rangka perebutan senjata dan pengambilalihan gedung penting cenderung
mengikuti organisasi-organisasi pemuda yang sudah ada seperti Angkatan Muda
Indonesia (AMI), Angkatan Muda Minyak (AMM), Angkatan Muda Kantor. Para
pelajar ini pun sering mengikuti rapat-rapat yang diadakan oleh organisasi
pemuda yang ada di Surabaya. Dari sinilah para pelajar mulai mengadakan rapat-
rapatnya sendiri dan mengkonsolidasikannya dengan pelajar di sekolah-sekolah
lain yang ada di Surabaya.
65
Ibid. hlm. 96.
75
Hasil dari rapat-rapat yang dilakukan para pelajar ini tercapai kesepakatan
untuk membentuk pasukan pelajar bersenjata sebagai bentuk pengabdian para
pelajar kepada Nusa dan Bangsa.66
Selanjutnya para pelajar Surabaya
memutuskan untuk membentuk Barisan Penggempur yang bernaung di bawah
BKR dengan nama BKR Pelajar. Terbentuknya BKR Pelajar ini disetujui oleh
BKR kota Surabaya yang diketuai oleh Sungkono. Segera setelah
pembentukannya, BKR Pelajar ini dikelompokkan menjadi empat staf yang akan
bertugas di empat wilayah berbeda.
Sejak BKR Pelajar diresmikan sebagai bagian dari BKR kota Surabaya
semua perbekalan dan kebutuhan pasukan dijamin oleh BKR, kecuali senjata dan
pakaian seragam, karena pasukan-pasukan BKR ketika itu masih belum cukup
mempunyai senjata dan pakaian seragam.67
Ketika terjadi perubahan BKR
menjadi TKR kemudian TRI, hal ini pun diikuti dengan perubahan nama BKR
Pelajar menjadi TKR Pelajar kemudian TRI Pelajar atau lebih dikenal sebagai
TRIP.
Pada perkembangan selanjutnya TRIP menginginkan persatuan yang luas
di mana meliputi seluruh pelajar sekolah lanjutan di Jawa Timur dengan
mengadakan kongres Pelajar di Malang pada 14 sampai 16 Juli 1946. Dari
kongres ini diputuskan untuk mendirikan kesatuan TRIP di seluruh Jawa Timur
dengan nama TRIP Jawa Timur. Sejak saat itu Markas Pusat TRIP Jawa Timur
berkedudukan di Kota Malang yang diketuai oleh Komandan Isman dan
66
Asmadi, Pelajar Pejuang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 80. 67
Ibid., hlm 84.
76
Komandan Mulyosudjono sebagai wakil.68
TRIP Jawa Timur memiliki pasukan
sebesar 5 batalyon di 6 karesidenan di Jawa Timur:
1. Batalyon 1000 untuk karesidenan Surabaya, berkedudukan di Mojokerto.
2. Batalyon 2000 untuk karesidenan Madiun dan Bojonegoro, berkedudukan
di Madiun.
3. Batalyon 3000 untuk karesidenan Kediri, berkedudukan di Kediri.
4. Batalyon 4000 untuk karesidenan Besuki, berkedudukan di Jember.
5. Batalyon 5000 untuk karesidenan Malang, berkedudukan di Malang.
68
Ibid., hlm. 290.