bab iii industri perkebunan tebu di madiun sebelum … · pertanian kolonial yang berorientasi...

38
42 BAB III INDUSTRI PERKEBUNAN TEBU DI MADIUN SEBELUM KRISIS EKONOMI TAHUN 1929 Perkembangan industri perkebunan tebu di Madiun merupakan satu bagian dari tumbuh dan berkembangnya industri yang telah berkembang sebelumnya sejak masa Sistem Tanam Paksa yang menetapkan sistem pajak tanah dan kerja bakti (kerja suka rela) yang banyak membawa keuntungan bagi pemerintah Belanda serta produksi tanaman ekspor yang melimpah sehingga membuat pihak swasta tertarik untuk ikut andil dalam dunia perindustrian. Kesempatan ini terbuka lebar ketika pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Agraria dan disusul dengan berlakunya Undang-Undang Gula pada tahun 1870. Diberlakukannya Undang-Undang Gula tak lain adalah usaha untuk menghapus Sistem Tanam Paksa secara perlahan dalam industri pergulaan dan kebebasan perdagangan gula di pulau Jawa. Undang-Undang Agraria memberikan jaminan terhadap penguasaan lahan bagi usaha perkebunan maupun industri swasta. Isi dari Undang-Undang Agraria ini adalah sebagai berikut, (a) untuk lahan yang belum dimanfaatkan, perusahaan swasta diberi hak sewa selama 75 tahun yang dapat di perpanjang dan dipindah tangankan (hak erfpacht) (b) untuk lahan yang dimiliki rakyat, perusahaan swasta dapat melakukan sewa kontrak jangka pendek berlaku paling lama 35 tahun untuk lahan sawah dan 12,5 tahun untuk lahan kering. Sewa kontrak jangka panjang

Upload: others

Post on 21-Oct-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

42

BAB III

INDUSTRI PERKEBUNAN TEBU DI MADIUN SEBELUM

KRISIS EKONOMI TAHUN 1929

Perkembangan industri perkebunan tebu di Madiun merupakan satu bagian

dari tumbuh dan berkembangnya industri yang telah berkembang sebelumnya

sejak masa Sistem Tanam Paksa yang menetapkan sistem pajak tanah dan kerja

bakti (kerja suka rela) yang banyak membawa keuntungan bagi pemerintah

Belanda serta produksi tanaman ekspor yang melimpah sehingga membuat pihak

swasta tertarik untuk ikut andil dalam dunia perindustrian. Kesempatan ini

terbuka lebar ketika pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Agraria

dan disusul dengan berlakunya Undang-Undang Gula pada tahun 1870.

Diberlakukannya Undang-Undang Gula tak lain adalah usaha untuk menghapus

Sistem Tanam Paksa secara perlahan dalam industri pergulaan dan kebebasan

perdagangan gula di pulau Jawa.

Undang-Undang Agraria memberikan jaminan terhadap penguasaan lahan

bagi usaha perkebunan maupun industri swasta. Isi dari Undang-Undang Agraria

ini adalah sebagai berikut, (a) untuk lahan yang belum dimanfaatkan, perusahaan

swasta diberi hak sewa selama 75 tahun yang dapat di perpanjang dan dipindah

tangankan (hak erfpacht) (b) untuk lahan yang dimiliki rakyat, perusahaan swasta

dapat melakukan sewa kontrak jangka pendek berlaku paling lama 35 tahun untuk

lahan sawah dan 12,5 tahun untuk lahan kering. Sewa kontrak jangka panjang

43

berlaku paling lama 21,5 tahun.1 Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang

Agraria 1870, kebijakan pemerintah Belanda cenderung untuk membatasi

aktivitas pengusaha swasta di daerah yang langsung dikuasai Belanda, Jawa,

untuk mempertahankan monopoli atas tanaman perdagangan yang sangat

menguntungkan, terutama gula dan kopi.2 Namun tidak serta-merta

perkembangannya selalu lancar, pada perempatan akhir abad ke-19 depresi agraris

menimbulkan pukulan hebat terhadap ekspor. Harga gula di Jawa dalam tahun

1877-1884 jatuh dari ƒ. 19 - ƒ. 9 tiap kilo.3

Sejak tahun 1918 seiring dengan diterapkannya Undang-Undang Sewa

yang baru, pemerintah memberi kelongaran kepada setiap industri gula untuk

menjalankan hak-haknya. Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai tumbuh

berkembangnya industri perkebunan tebu di Madiun hingga tahun 1929, dengan

berbagai permasalahannya terkait lahan, irigasi, tenaga kerja maupun modernisasi

yang mendukung terus berkembangnya industri perkebunan tebu di Madiun.

1 RetnoPuji Lestari., “Nasionalisasi Industri Gula Di Madiun: Pabrik Gula

Pagottan, Kanigoro dan Redjo Agung Baru Tahun 1950-1960”, Skripsi,

(Yogyakarta:UNY, 2011), hlm. 29.

2 Soegijanto Padmo., Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia,

(Yogyakarta: Aditya Media, 2004), hlm. 83.

3 Burger, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia Jilid II, ( Jakarta:

Pradnja Paramita, 1970), hlm. 132.

44

Amu tidak am

A. Pabrik-Pabrik Gula di Madiun

Kondisi geografis, demografis dan pertanian di Madiun yang unggul

sangat berpotensi untuk penanaman berbagai komoditas ekspor seperti gula, nila,

teh, tembakau dan masih banyak lagi dan untuk hasil penanaman yang terpenting

adalah kopi, gula, dan nila. Adapun luasan tanaman tebu di Madiun pada tahun

1833 adalah 3.512 bau, tahun 1860 menurun menjadi 800 bau dan mengalami

kenaikan kembali pada tahun 1910 mencapai 6.400 bau.4

Karesidenan Madiun telah banyak mengalami perkembangan dalam

bidang industri, perusahaan-perusahaan industri gula diantaranya adalah pabrik

gula Rejosari, Poerwodadi, Soedhono, Kepatihan, Kanigoro, dan Pagottan. Pabrik

gula Rejosari merupakan salah satu pabrik yang ada di Karesidenan Madiun

berada di Distrik Gorang-Gareng dan Bendo di Distrik Magetan. Berdiri pada

tahun 1890 dan dimiliki oleh N.I.L.M (Nationale Industrie en Landbouw

Maatschappy). Pada umumnya tanaman tebu membutuhkan aliran air yang cukup

untuk penyiraman. Saat saluran irigasi belum begitu baik muncul permasalah di

desa terpencil yang jauh dari areal perkebunan tebu. Sebagian besar mengalami

kerugian karena palawija yang ditanam kurang mendapatkan air dan bahkan

sering diabaikan meskipun pembagian air sudah ditetapkan siang dan malam

secara bergantian oleh oetjeng. Namun dalam prakteknya tidak sesuai dengan

4 Burger., Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia Jilid I,(Jakarta: Pradnja

Paramita, 1962), hlm. 209.

45

aturan yang telah ditetapkan dan minimnya air mempengaruhi pertumbuhan

palawija.

Pabrik gula Soedhono berdiri sejak tahun 1888 yang lokasinya berada di

Kabupaten Magetan dan Ngawi, meskipun musim kemarau disini tebu dapat

tumbuh karena semua air diarahkan ke kebun tebu. Pabrik gula Soedhono

didirikan oleh perusahaan Verenigde Vorsendsche Cultural Maatschappy

(VVCM), selain di pabrik gula Rejosari dan Soedhono ada juga pabrik gula

Poerwodadi yang terletak di Kabupaten Magetan tepatnya di Desa Palem dan

didirikan pada tahun 1832 yang bernama Nederlands Hendel Maatschapij

(NHM). Pabrik ini bisa dikatakan sebagai pabrik gula tertua di Karesidenan

Madiun. Tidak berbeda jauh dengan kondisi pabrik gula lainnya karena irigasi

yang kurang baik maka banyak terjadi kasus kurangnya pengairan pada masa

musim kemarau. Kasus-kasus semacam ini kemudian mendapat perhatian khusus

dari Administrator dan pemerintah.

Pabrik gula Kepatihan berdiri sejak 1894 di mana luas arealnya sekitar 90

bau dan berada di Distrik Bagi, namun untuk pertumbuhannya di distrik ini cukup

sulit karena tidak adanya air yang cukup, hanya cocok untuk ditanami kacang

hijau dan mentimun. Selain Kepatihan yang muncul pada tahun-tahun tersebut

juga ada pabrik gula Kanigoro. Pabrik gula Kanigoro berlokasi di Desa Sidorejo,

Wungu dan didirikan pada tahun 1894 oleh Cultuur Handel & Industri Bank NV.

Selain orang Eropa yang terlibat langsung dalam industri pabrik gula juga terdapat

orang Cina.

46

Pabrik gula Redjo Agung adalah perusahaan swasta Tionghoa yang

dulunya mengalami kerusakan dan kerugian, kemudian didirikan kembali pada

tahun 1894 oleh perusahaan gula Tionghoa terbesar di Jawa pada masa itu, yang

berpusat di Semarang Oei Tiong Ham Concern. Pabrik ini adalah pabrik gula

terbesar dan paling modern yang dimiliki pada masa itu.5

Gambar. 3

Pabrik gula Redjo Agoeng tahun 1910

KITLV media

Pabrik gula Pagottan adalah salah satu pabrik gula tertua di Madiun.

Pabrik gula Pagottan berdiri sejak tahun 1884 yang berlokasi di Oeteran

Karesidenan Madiun dan berdekatan dengan perusahaan nila di Geger.6 Pabrik

5 Retno Puji Lestari.,op.cit., hlm 28.

6 Nota Over Den Inveloet Van De Particuliere Suikerriet-Cultuur Op De

Teelt Van Inlandsche Voe Dings Gewassen Batavia Landsdrukkerij 1900, Badan

Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur, Landbouw Nomor 43.,op.cit., hlm. 67.

47

gula Pagottan didirikan oleh perusahaan swasta bernama NV Coody Costern Van

Voorvout.7 Pabrik gula Pagottan juga meluaskan areal tanamnya hingga ke daerah

Ponorogo.

Gambar. 4

Peta lokasi pabrik gula Pagottan, berada di distrik geger

KITLV media

Pada umumnya areal tanam yang dimanfaatkan untuk melaksanakan

penanaman tebu dan disewakan adalah tanah sawah yang memiliki cukup air yang

sebelumnya digunakan untuk penanaman palawija ataupun padi. Pabrik gula tidak

7 Pabrik Gula Pagottan, http://ptpn11.co.id, diakses Tanggal 20 Mei 2016,

Surakarta

48

memiliki alasan khusus untuk tetap bertahan apabila lahan yang disewa tidak

mendapatkan air yang cukup. Daerah Ponorogo memiliki saluran irigasi termasuk

mudah sehingga semakin lama luasan areal tanam yang di sewa oleh pabrik gula

pun semakin meluas. Kondisi semacam ini tentu dapat merugikan ladang

penduduk terkait masalah pengairan untuk tanaman padi maupun hasil pertanian

lain. Pabrik gula Pagottan tidak berbeda jauh dengan lahan tebu di pabrik gula

lainnya yang juga membutuhkan air yang cukup banyak pada musim kemarau,

namun disini tidak terjadi perusakkan antara penduduk dan perusahaan karena

telah diatur pengairannya secara bergantian.

Sebelum adanya pengairan yang teratur, meskipun lokasi-lokasi industri

perkebunan tebu berada di daerah yang subur dan dikelilingi oleh sungai-sungai

besar masih saja terdapat permasalahan terkait irigasi yang masih banyak perlu

diperbaiki, meskipun pada umumnya di semua desa memiliki cukup air tetapi

pada masa angin musim timur menjelang kemarau menyebabkan kekeringan

karena air yang kecil sehingga hanya dapat digunakan untuk menanam palawija

saja. Untuk mengatur jalannya irigasi tidak terjadi permasalahan besar terkait

datangnya musim kemarau ada usaha-usaha yang dilakukan salah satunya adalah

menunjuk seseorang untuk menanganinya. Sebuah kontrak untuk melakukan

pembagian air antara produsen dan penduduk yang ditetapkan sesuai dengan

luasan lahan, dan dibayar untuk mengatur irigasi tersebut sebagai oetjeng.8

Seiring berjalannya waktu pertumbuhan berbagai industri gula di Jawa

mengalami peningkatan yang drastis, apalagi didukung dengan adanya sistem

8 Landbouw, nomor 43., op.cit., hlm. 66.

49

politik baru (Politik Etis) yang sangat besar pengaruhnya terhadap perindustrian di

Jawa. Irigasi menjadi salah satu hal yang paling penting dalam perkembangan

industri perkebunan tebu. Perkembangan perusahaan perkebunan-perkebunan

swasta berkembang pesat dan mencapai puncaknya pada dasawarsa 1920-an. Hal

itu didorong oleh situasi yang diciptakan oleh pemerintah kolonial, salah satunya

adalah dibentuknya Cultuur Banken yang memberikan kredit lunak kepada

perusahaan perkebunan dan kebijakan dalam bidang perundang-undangan seperti

di daerah Swapraja dan memberikan jaminan persewaan tanah jangka panjang.9

Situasi semacam ini menyebabkan semakin banyaknya perusahaan menanam

modalnya di berbagai industri di Hindia Belanda, terutama kurun waktu 1890

sampai 1910, yang membawa dampak semakin kerasnya persaingan diantara

mereka.

Proses modernisasi seiring berkembangnya perusahaan perkebunan

mencapai puncaknya pada pertengahan abad dua puluh di mana perkembangannya

menuju korporatisasi, meskipun sebenarnya proses modernisasi dalam industri

gula telah terjadi sejak awal dasawarsa 1880-an. Dengan adanya modernisasi

tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan yang pada mulanya mengkhususkan

diri pada usaha perkebunan, telah berubah menjadi perusahaan raksasa yang juga

bergerak dalam bidang pertambangan, pengangkutan, dan perbankan.

Salah satu fungsi utama lembaga keuangan adalah penyangga modal pada

saat perusahaan mengalami kesulitan keuangan, beberapa bank perkebunan yang

ditunjuk antara lain adalah NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij) dan

9 Soegijanto Padmo.,op.cit, hlm. 86.

50

Koloniale Bank. Dengan modal yang cukup maka perusahaan menjadi lebih sehat

dan mampu menjalankan berbagai teknologi modern. Berikut adalah salah satu

contoh teknologi yang digunakan oleh pabrik gula Pagottan dalam rangka untuk

menunjang sistem produksinya.

Gambar. 5

Mesin ruang Pagottan, Madiun tahun 1917

Sumber: KITLV Media

Untuk meningkatkan hasil produktivitas gulanya pabrik gula mulai banyak

menggunakan teknologi modern, Pabrik-pabrik gula di Madiun mendapat

perhatian khusus dari Pusat Penelitian Perusahaan Gula pada masa itu, atau yang

lebih dikenal sebagai POJ (Proefstation Oost Java). POJ berperan dalam

mendukung industri gula di wilayah Hindia Belanda agar mampu memberikan

pelayanan kepada pemerintah Kolonial Belanda, penyandang dana dan para

pengguna teknologi (swasta).

51

B. Perluasan Areal Tanam Industri Perkebunan Tebu di Madiun

Salah satu dampak yang ditimbulkan dengan berkembang pesatnya

ekonomi modern dalam bidang industri perkebunan ataupun industri manufaktur

memunculkan berbagai permasalah terkait tanah, tenaga kerja ataupun transportasi

dan masih banyak lagi lainnya. Tanah menjadi sangat penting dalam industri

perkebunan karena semakin luas lahan areal tanam maka hasil produksinya pun

juga akan semakin banyak dan terus mengalami perkembangan. Boeke (1984:79)

memberi definisi perkebunan sebagai “suatu kompleks perusahaan, unit-unit

teknis, yang seringkali dilengkapi dengan petugas administratif dan ekspor’’.10

Namun definisi tersebut kurang memberikan gambaran menyeluruh yang

sebenarnya, karena dalam dalam suatu perusahaan perkebunan sangat erat

kaitannya dengan tenaga kerja dan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Bagi masyarakat agraris tanah merupakan simbol status dan prestis bagi

siapapun pemiliknya. Barang siapa yang memiliki tanah luas maka ia mempunyai

kedudukan yang tinggi dan kekayaannya jelas, begitupun sebaliknya dengan

seseorang dengan kepemilikan tanah yang kecil maka prestis sosialnya pun

rendah. Dalam perjalannya tanah-tanah di Jawa banyak terjadi pergantian

kekuasaan, hingga pada abad ke-20 tanah-tanah Jawa jatuh ke tangan banyak

perusahaan swasta terutama untuk tanah sawah. Tanah sawah lebih banyak

diminati karena dimanfaatkan sebagai lahan tanam yang paling menguntungkan.

Sewa terhadap tanah sawah lebih banyak diminati karena pada masa

pertengahan abad ke-20 tanaman ekspor gula menjadi primadona bagi perusahaan

perkebunan. Tebu hanya dapat tumbuh di lahan sawah yang basah dengan saluran

10

Soegijanto.Padmo.,op.cit., hlm. 4.

52

irigasi yang baik dan terawat agar saat musim muson timur (kemarau) tetap dapat

memproduksi gula dalam jumlah yang banyak sehingga tidak menimbulkan

kerugian. Tanah yang telah disewakan pada perkebunan swasta dikelola oleh

perkebunan sendiri dan diatur dengan manajemen modern yang dilengkapi dengan

sarana logistik tradisional.

Proses ini berjalan terus tanpa bisa mundur. Seiring dengan perkembangan

pemerintah kolonial. sehubungan dengan sistem ini, Geertz, tampaknya

karena sadar akan argumen Boeke tentang ekonomi ganda, menyatakan

bahwa ketidakterpaduan antara sektor ekspor dan sektor domestik

merupakan ciri pokok perekonomian ini dan bahwa pemaksaan sistem

pertanian kolonial yang berorientasi ekspor pada pola ekologi yang ada

merupakan ciri yang tetap dan sangat khas dari kolonialisme Balanda antara

tahun 1916 dan 1942.11

Kondisi seperti itu sesungguhnya menghalangi lepas landas dan majunya sektor

domestik atau lapisan bawah, yang meliputi sebagian besar para petani Jawa.

Perolehan hasil besar di Jawa tersebut karena sawah menempati bagian yang luas

dibandingkan tanah pertanian lain di luar Pulau Jawa, kepadatan penduduk yang

tinggi dan perolehan hasil padi juga lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Tebu

merupakan salah satu tanaman tahunan yang membutuhkan irigasi yang cukup

dan lahan sawah yang luas, sehingga memungkinkan terjadinya pergantian sistem

tanam dari tebu ke padi ataupun sebaliknya, antara tebu dan padi terdapat

persamaan pokok dalam hal persyaratan ekologis.

11

Akira Nagazumi., Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang Perubahan

Sosial Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia,

Jakarta( Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 17.

53

1. Cara Industri Perkebunan Tebu di Madiun Memperluas Areal Tanam

Luasan lahan industri perkebunan tebu yang meningkat menyebabkan

orang-orang Eropa banyak melakukan pengelolaan pabrik di Madiun dan

melakukan sewa tanah kepada penduduk setempat. Biasanya tanah yang disewa

adalah tanah sawah yang berlokasi di sekitar pabrik gula, karena ini berkaitan

dengan sarana pengangkutan hasil panen. Dengan adanya penanaman tebu yang

berdampingan dengan tumbuhnya padi tidak mengurangi jumlah produksi

panennya.

Tumbuhnya industri pergulaan yang meningkat, menyebabkan orang-

orang Eropa banyak melakukan pengelolaan pabrik di Madiun dan melakukan

sewa tanah. Berkaitan dengan pengelolaan lahan penanaman tebu, pihak pabrik

gula bekerja sama dengan para Bupati untuk dapat menyewa lahan rakyat

pribumi. Di wilayah Madiun persewaan lahan dibantu oleh pemerintah di daerah

(Bupati).12

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi desa ikut campur

tangan dalam hal ini. Pemerintah kolonial membuat birokrasi desa dengan tujuan

untuk kepentingan perkebunan yang menempati lahan desa.

Pemerintah kolonial membentuk unit administrasi terendah di tingkat desa

yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Jelas bahwa Kepala Desa dijadikan

political broker pada tingkat unit administrasi terbawah yang melayani semua

12 Retno Puji Lestari.,op.cit., hlm. 29.

54

perintah dari pemerintah kolonial dan perkebunan.13

Selain itu juga ada usaha-

usaha untuk mengambil alih kepemilikan tanah miliki perorangan terutama untuk

kaum priyayi dengan menggantinya menggunakan gaji. Keputusan tersebut

merupakan keputusan yang fatal mengingat besarnya fungsi tanah, selain itu

kedudukan mereka pun menjadi lemah terhadap Belanda. Pilihan tersebut akan

sangat merugikan jika pemerintah Belanda memindah tugaskan para Priyayi ke

suatu tempat dan telah kehilangan tanahnya juga. Bagi Priyayi maupun kepala

desa yang tetap tinggal di Madiun memperoleh keuntungan juga dari berbagai

kenaikan berbagai produksi perkebunan ekspor yang selalu mengalami

peningkatan di setiap tahunnya Keputusan tersebut merupakan keputusan yang fatal mengingat besarnya fungsi tanah, selain itu kedudukan mereka pun menjadi lemah terhadap Belanda. Pilihan tersebut akan sangat merugikan jika pemerimemindah.

Setelah memperoleh tanah tentu untuk memperlancar proses produksi

adalah dengan memperoleh tenaga kerja yang banyak dan murah. Khususnya di

Madiun tenaga kerja dapat diperoleh dengan pajak tanah, itu berarti di

Karesidenan Madiun bahwa untuk memperoleh jumlah buruh yang diperlukan,

petani dalam jumlah yang sama harus dijadikan sebagai petani penguasa tanah,

sehingga mereka jugalah yang nantinya akan mengolah tanah tersebut. Sehingga

kondisi ini memaksakan pemerintah Belanda untuk mengubah kepemilikan tanah

dari yang semula milik perorangan menjadi milik desa (komunal).

Jauh sebelum abad dua puluh, Van Den Bosch sebagai penggagas sistem

Cultuurstelsel memutuskan adanya sistem pajak tanah yang harus dibebankan

kepada desa bukan pada petani serta memanfaatkan hubungan dengan para

13 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia.,

Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,2012), hlm.

113.

55

Priyayi, sebagai imbalannya Van Den Bosch menjanjikan bantuan uang setiap

bulan, tanah milik dan kedudukan yang dapat diwariskan. Meski keputusan

tersebut telah di ambil oleh Van Den Bosch, sebagai Residen Madiun L De Launy

memiliki pemikiran lain terkait penggantian tanah milik dengan gaji bulanan

ganda hingga mencapai jumlah ƒ 500 dengan syarat pernyerahan tanah lungguh

terlebih dahulu. Jika mereka mempertahankan tanah mereka maka gaji yang

diperoleh hanya separuh. Tanpa kecuali semua Priyayi di Madiun memilih gaji

ganda dan menyerahkan tanah mereka kepada negara.14

Sebagai contoh, sebuah proklamasi Bupati Pulung dari tahun 1832 seperti

yang dibacakan oleh kepala distrik berbunyi sebagai berikut, “ para kepalang dan

bekel (kepala) saya menerima perintah dari negara (Belanda menerjemahkan

dengan Regent=Bupati) bahwa atas perintah kantor (Residen) semua sawah tegal

(sawah kering) di desa kalian yang hingga kini dikuasai oleh perorangan harus

dibagi rata. Maka dari itu sawah pusaka atau asli sekarang harus dibagi kembali

sehingga wajib kerja bakti menjadi sama bagi semua’’.15

Akibat dari adanya

sistem tersebut maka orang-orang desa secara perorangan hanya memperoleh

tanah kurang lebih 0,5 ha. Di Madiun lah pertama kali istilah negara adalah

pemilik semua tanah di praktekkan.

14

Onghokham., “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX; Pajak

dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah’’, dalam Sediono M.P

Tjondronegoro, Gunawan Wiradi. Dua abad Penguasaan Tanah Pertanian di

Jawa dari Masa ke Masa, ( Jakarta: Gramedia. 1984), hlm. 18.

15 Ibid.,Sediono, hlm. 20.

56

Selain adanya tekanan yang mengharuskan sikep untuk melepaskan

tanahnya, tekanan lain juga terjadi pada petani numpang yang tidak memiliki

tanah dan hanya dituntut untuk melakukan kerja yang berat. Petani numpang di

Madiun bahkan berusaha untuk melarikan diri dan beralih menggunakan tanah

cacah mati yang masih melimpah di Madiun. Sebagai tanggapan atas usaha

tersebut sikep berusaha untuk tetap menggunakan petani numpang meskipun tidak

dapat bertahan lama, tetapi masih ada kemungkinan untuk tetap menjaga

kedudukan mereka.

Kedudukan sikep yang senantiasa dipertahankan adalah salah satu cara

untuk mendapat dukungan guna menjadi bagian orang berpengaruh di desa,

seperti menjadi kepala desa. Dengan menjadi kepala desa maupun bidang lainnya

di desa harapan memperoleh tanah bengkok dan gaji masih dimungkinkan

adannya. Untuk jabatan sebagai kepala desa tanah bengkok yang di sediakan

adalah lima hektar, sedangkan untuk pegawai desa lain kurang lebih dua hektar.

Hilangnya petani sikep sebagai petani pemilik tanah dan munculnya istilah

kuli sebagai petani tanpa keahlian serta adanya kewajiban untuk bekerja bakti

menandai adanya perubahan yang mendasar dari masuknya pemerintah kolonial

di Madiun. Di lingkungan desa kedudukan kuli terbagai dalam berbagai kelas

tergantung dari seberapa besar tanggung jawab mereka terhadap proyek-proyek

negara. Adapun yang paling umum adalah kuli kenceng dan kuli setengah

kenceng.

Memasuki abad dua puluh peluang adanya sistem tanam dengan

melakukan sewa tanah sawah secara kontrak dengan pemilik tanah secara

57

langsung sebenarnya tidak benar adanya, kenyataannya perkebunan tebu tidak

membuat kontrak dengan masing-masing petani. Perjanjian itu terjadi dengan

sekelompok orang yang tinggal di sebuah desa yang menggabungkan tanah

mereka, atau berhasil menggabungkan dan yang bertanggung jawab secara

bersama. Kepala Desa biasanya menjadi saksi.16

Untuk mendapatkan tanah yang

luas dan bersambungan biasanya pengusaha melakukan berbagai cara salah

satunya adalah pemberian premi dan hadiah sehingga penyewaan sawah milik

komunal dapat tercapai.

2. Perluasan Areal Tanam Perkebunan Tebu Pagottan di Ponorogo

Munculnya ketentuan mengenai adanya hak industri gula untuk melakukan

sewa terhadap tanah penduduk menyebabkan semakin meningkatnya jumlah

luasan areal tanam perkebunan tebu di berbagai daerah. Naiknya jumlah sewa

tanah yang dilakukan oleh pabrik gula akan sangat berpengaruh terhadap

meningkatnya jumlah hasil produksi gula yang diperoleh. Maka semakin banyak

pula industri gula melakukan perluasan areal tanamanya bahkan hingga

mengambil daerah lain yang cukup jauh keberadaan pabrik gulanya. Berikut

adalah gambaran hasil produksi pabrik gula di Madiun pada tahun 1916 yang

kemudian dengan meningkatnya jumlah luasan dapat menghasilkan produksi yang

besar.

16

Akira Nagazumi.,op.cit.,hlm. 44.

58

Tabel. 7

Produksi gula dari pabrik gula Madiun tahun 1916

No Nama pabrik Jumlah produksi dalam

(kwintal)

1 PG Redjo Agung 1570

2 PG Kanigoro 1250

3 PG Pagottan 922

Sumber : Retno.Puji Lestari., hlm. 32.

Jika dicermati dari uraian diatas pabrik gula Pagottan memiliki hasil produksi

yang paling rendah jika dibanding dengan pabrik gula Redjo Agung maupun

pabrik gula Kanigoro sedangkan untuk pabrik gula Redjo Agung memiliki jumlah

hasil produksi yang terbesar. Menyatakan bahwa, sewa tanah berlaku mulai

Januari 1921 di Distrik Ponorogo, Djebeng, Ardjowinangun, Poeloeng, Patjitan,

Poenoeng, dan Lorok di Karesidenan Madiun.17

Kemudian pada tahun 1923

pabrik gula Pagottan memperluas areal tanamnya hingga ke Ponorogo meskipun

tidak semua wilayah dapat disewa sebagai lahan areal perkebunan tebu. Adapun

harga sewa untuk pabrik gula di Madiun sejak tahun 1903 ditentukan sebagai

17 “The Grondhuur Ordonantie” Bataviaasch Nieuwsblad, 4 Januari 1921.

59

berikut, di afdeling Redjo Agoeng ƒ. 48,61 per bau sedangkan untuk pabrik gula

Pagottan ƒ. 25.30 per bau.18

Rendahnya hasil produktivitas di Pabrik gula Pagottan jika dibandingkan

dengan Perusahaan gula di Karesidenan Madiun lainnya kemudian memunculkan

adanya perluasan di Distrik Ponorogo. Pada dasarnya pabrik gula Pagottan hanya

diberi ijin untuk memperluas areal nya pada Distrik Oeteran dan Ponorogo saja

namun tidak lebih dari 1970 bau. Daerah yang di sewa oleh PG.Pagottan pada

sekitar daerah perbatasan Madiun tepatnya wilayah Mlilir dan Ponorogo yakni di

daerah Babadan dan Jenangan. Berikut adalah luasan lahan sewa bagi gula

Pagottan di Ponorogo.

Tabel. 8

Luasan Areal Tanam Pabrik Gula Pagottan di Ponorogo

Tahun Luasan (dalam bau)

1923 570

1924 575

1929 957

Sumber: Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Dan Tanah Kerajaan)

18 Mr. J.W. Ramaer, Nota Over Drondverhuur Op Java, ( Den Haag:

Vertegenwoordiger Voor Nederland Van Het Algemeen Syndicaat Van

Suikerfabrikanten Op Java,1908), hlm. 11.

60

Pada tahun 1923 Cultuurmaatschappij Pagottan diberi ijin menyewa tanah

penduduk untuk menanam tebu bagi pabrik gulanya di Pagottan.19

Luasan yang

diijinkan adalah 570 bau dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun

berikutnya. Satu-satunya industri asing yang ada di Ponorogo adalah perkebunan

tebu yang disewa oleh PG. Pagottan. Industri lokal yang berkembang di Ponorogo

hanyalah industri perbatikan yang juga sangat berkembang dengan baik. Pada

tahun 1924 kenaikan jumlah sewa tanah meningkat menjadi 575 bau di distrik

Ponorogo dan meningkat lagi menjadi 600 bau, hingga pada tahun 1929

perluasannya sudah begitu besar mencapai 975 bau areal taman tebu. Pada tahun

1927 hasil tanam bagi industri gula Pagottan mengalami peningkatan, yakni

hasilnya mencapai 1287 kwintal.20

Sewa-menyewa tanah di Ponorogo banyak terjadi bahkan tidak hanya dari

perkebunan besar yang membutuhkannya tetapi juga dari masyarakat sendiri,

namun begitu sewa oleh perkebunan tetaplah lebih besar. Sewa-menyewa tanah

antara penuduk banyak terjadi, harga sewanya antara ƒ. 20 dan ƒ. 25 setiap bau

selama satu musim penghujan dan musim kemarau.21

Semakin meluasnya areal

tanam bagi pabrik gula sangat erat kaitannya denga arus uang yang masuk dalam

kehidupan masyarakat, meskipun sebenarnya perkebunan tebu rakyat telah

tumbuh namun hasil yang diperoleh kurang memberi keuntungan mengingat

19 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan),

(Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1978), hlm 205.

20 Algemeen Handelsblad Van Woensdag, 27 Juli 1927

21 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah

Kerajaan),op.cit., hlm. 211.

61

banyaknya pajak ataupun tanggungan lain yang harus dibiayai dengan sejumlah

uang. Para petani melakukan gadai atau menyewakannya apapun yang mereka

miliki untuk memperoleh uang.

C. Pabrik Gula Redjo Agung, Industri Perkebunan Tebu Tionghoa

Terbesar di Jawa

Meningkatnya jumlah penduduk Tionghoa di Jawa pada abad ke-20

memiliki motif yang tidak berbeda jauh dengan para imigran dari Arab atau

daerah lainnya yang sama-sama memiliki kekuatan bersaing dalam bidang

perekonomian. Adanya keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah kolonial

dalam masalah perekonomian kapitalis mendorong orang-orang Cina untuk

mampu mensejajarkan kedudukan mereka dengan melibatkan diri dalam berbagai

macam kegiatan ekonomi dari yang berskala kecil hingga besar.

Khususnya di Madiun perusahaan gula milik Cina hanyalah pabrik gula

Redjo Agung yang merupakan usaha gula swasta miliki saudagar kaya dari

Semarang Oei Tiong Ham. Kepemilikan pabrik gula Redjo Agung ini diambil alih

pada akhir abad sembilan belas saat terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan

turunnya harga gula. Turunnya harga gula yang tajam menyebabkan pabrik gula

Redjo Agung menjadi kehilangan kendalinya untuk tetap melanjutkan proses

produk seperti sedia kala.

Selain pabrik gula Redjo Agung yang merupakan pabrik gula paling

modern pada masa itu, pada mulanya di tahun 1894 Oei Tiong Ham berhasil

membeli pabrik gula Pakis, selanjutnya berturut-turut bertambah sampai memiliki

lima pabrik gula, yaitu pabrik gula Rejo Agung, Krebet, Ponen, dan

Tanggulangin. Setelah membeli pabrik gula, ia kemudian mengganti mesin-mesin

62

tradisionalnya dengan mesin modern yang didatangkan dari Jerman.22

Adapun

para pekerja yang direkrut oleh Oei Tiong Ham adalah orang-orang Tionghoa dan

Eropa saja.

Pabrik gula Redjo Agung tercatat secara legal berdasarkan surat keputusan

tanggal 30 September 1904 No. 7.23

Pabrik gula milik Oei Tiong Ham adalah

salah satu pabrik gula yang unik, perusahaan swasta seperti Oei Tiong Ham

Concern boleh menanam modal dan mengelola produksi pertanian maupun

perkebunan pada lahan yang disewa Pabrik gula Redjo Agung merupakan pabrik

gula pertama di Hindia Belanda yang dijalankan dengan tenaga listrik. Pabrik gula

Redjo Agung juga terkenal sebagai pabrik gula karbonasi yang terbesar di dunia

tahun 1930an. Perusahaan Oei Tiong Ham berpusat di Semarang dan berada

dalam pengelolaan N.V. Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong

Ham Suikerfabrieken.

D. Irigasi di Madiun Dalam Perkembangan Industri Perkebunan Tebu

Wilayah Karesidenan Madiun memiliki saluran irigasi yang sangat bagus

diuntungkan dengan adanya pegunungan Wilis yang membentang di sebelah

timur. Pemerintah Kolonial Belanda memanfaatkan geografi ini untuk

meningkatkan fungsi irigasi untuk perkebunan maupun pertanian. Memanfaatkan

hulu dari sungai-sungai besar di wilayah Madiun membuat irigasi sangat bagus

terutama di daerah-daerah yang dilewati sungai Brantas dan Bengawan. Di

22

Aris Dwi Rahdiyanto., “Perkembangan Usaha Gula Oei Tiong Ham

Concern Di Jawa 1900-1942”, Skripsi, (Yogyakarta:UNY, 2011), hlm 60.

23 Ibid., hlm 61.

63

wilayah lereng pegunungan pemerintah membuat pintu-pintu air agar pengaturan

irigasi lebih mudah digunakan serta membuat bendungan-bendungan kecil agar

tidak kekeringan di musim kemarau. Bendungan terbesar di wilayah Madiun

bernama waduk Widas, waduk ini mengatur perairan utama di wilayah

Karesidenan Madiun.

Daerah-daerah yang menjadi lahan pertanian tebu di Ponorogo mendapat

suplai air dari daerah pengairan sungai Madiun dan anak-anak sungainya. Aliran

sungai Madiun di Distrik Ponorogo dinamakan Sungai Sekayu, sedangkan untuk

anak-anak sungainya adalah Kali Asin, Kali Cemer, Kali Gendol, Kali Keyang,

Kali Gunting, Kali Slahung, Kali Sungkur, Kali Gelak dan Kali Pucung.

Kali Asin memiliki luas daerah pengairan hulu 1.659 bau, di hilir

mencapai 7.338 bau. Kali Cemer memiliki bendungan yang berkapasitas

mencapai 2.324 bau dan memiliki bendungan-bendungan yang semi permanen di

beberapa wilayah. Kali Gendol merupakan pembuangan air daerah pengairan Kali

Cemer dan Kali Keyang. Kali Keyang memiliki luas pengairan hulu 2.420 bau,

sedangkan di hilir 4.441 bau. Daerah hilir disadap oleh bendungan Ngindeng I

dan bendungan Kori yang memiliki kapasitas 3.536 bau. Kali Gunting memiliki

debit air yang kecil sehingga saat musim kemarau tiba, pengairan ini tidak dapat

diandalkan.

Kali Slahung menjadi daerah sadapan untuk dua bendungan yakni

bendungan Watugunting dan Meneng. Kali Slahung memiliki palung yang

dangkal sehingga dapat terjadi banjir saat musim penghujan tiba. Kali Sungkur

juga sama halnya dengan kali Slahung yang menjadi sadapan dua bendungan

64

yakni Sumorobangun dan Sungkur. Daerah hulu sungai ini terletak di daerah

Mangkunegaran. Kali Galek memiliki daerah hulu sungai yang terletak di daerah

Mangkunegaran. Kali Pucang hanya terdapat bendungan rakyat yang sederhana.

Sungai Sekayu yang merupakan anak sungai Madiun dimanfaatkan untuk

pengairan dengan membuat bendungan-bendungan. Bendungan tersebut

merupakan bendungan rakyat yang kemudian mendapat perhatian khusus dan

digantikan dengan bendungan yang lebih baik. Pergantian dan perbaikan ini

diserahkan kepada seorang Opseter kepala dari Dinas Pengairan Provinsi seksi

Madiun yang ditempatkan di Ponorogo. Setelah banyaknya perbaikan saluran

irigasi termasuk pengairan di Distrik Somoroto dan Jebeng pengairan menjadi

baik.

Munculnya berbagai inovasi baru dan modernisasi mendorong adanya

upaya besar untuk melakukan berbagai hal terkait dengan irigasi salah satunya.

Irigasi juga merupakan salah satu gagasan dari adanya sistem Politik Etis yang

memiliki tujuan lebih untuk kepentingan kemajuan perkebunan di Hindia

Belanda. Saat musim kemarau tiba di Ponorogo perkebunan maupun lahan

pertanian lain tidak begitu khawatir akan kekeringan lahan karena di Ponorogo

terdapat Kali Asin yang merupakan sungai pembuangan dari danau Ngebel. Pintu

air yang lama lebarnya enam meter dan mampu mengalirkan air seluruhnya

kurang lebih 9,5 juta M³, sedangkan untuk pintu air yang baru dengan lebar 15,5

meter mampu mengalirkan air seluruhnya 20 juta M³.

65

Gambar. 6

Saluran irigasi yang ada di Telaga Ngebel tahun 1930

Sumber : KITLV media

Saat musim kekeringan tiba dan banyak terjadi kegagalan panen di

Madiun, pabrik gula Pagottan dapat mengurangi potensi kebangrutan bahkan

sejak tahun 1926 hingga pada tahun-tahun berikutnya, produksi gula Pagottan

selalu dapat mengirim hasil produksinya ke Amerika. Hal tersebut dapat diatasi

dengan menanam jumlah bibit dalam jumlah banyak serta biaya yang besar

mencapai ƒ. 516,62. Selain itu adanya usaha untuk membangun dan menggunakan

saluran irigasi danau Ngebel yang dibiayai sejumlah ƒ. 167.000 memberikan hasil

yang menguntungkan dan produksi gula pun menjadi lebih besar bahkan dapat

mengembalikan modal yang jauh lebih besar, selain itu hasil yang memuaskan

66

dari bibit POJ 2878 juga menjadi pilihan pabrik gula Pagottan untuk

meningkatkan hasil produksinya.24

E. Tenaga Kerja Industri Perkebunan Tebu di Madiun

Sejak awal berkembangnya industri perkebunan di Hindia Belanda

hubungan antara tenaga kerja dengan penguasa perkebunan telah terjalin dengan

baik. Penyediaan buruh untuk perkebunan pada umumnya melalui perantara

Kepala Desa begitu juga sewa-menyewa tanah. Selain itu Kepala Desa

memberikan laporan ke perkebunan mengenai kelakuan si buruh dan bertanggung

jawab atas tindakan-tindakan selama menjalankan kontrak. Petani Jawa mensuplai

tanah dan tenaga kerja sedangkan pengusaha Belanda menyediakan ketrampilan

organisasi, teknologi, dan modal yang diperlukan guna memproduksi komoditas

dalam jumlah yang selalu bertambah serta menjualnya ke pasar Internasional.25

Sebuah industri perkebunan tebu tentu membutuhkan banyak sekali tenaga

kerja, salah satu yang terpenting adalah pimpinan dari industri itu sendiri. Pabrik

gula Pagottan memiliki seorang Administrateur (adm) yang bernama A. Nering

Bogel pada tahun 1923. Seorang Administrateur diangkat oleh seorang direksi

yaitu dari pimpinan-pimpinan yang diangkat oleh Menteri Keuangan. Raad Van

Commissarissen di pabrik gula Pagottan setiap tahun mengalami perubahan pada

24 Algemeen Handelsblad van Woensdag, 27 Juli 1927

25 Soegijanto Padmo., op.,cit, hlm. 82.

67

tahun 1923 di jabat oleh H.E Levert, tahun berikutnya oleh B. M.A. Carp dan

pada tahun 1925 L. Kuiper yang menjabat.26

Untuk industri perkebunan tebu di Jawa pemerintah kolonial Belanda

melakukan kontrak langsung dengan petani, di mana dalam kontrak tersebut telah

menentukan luasan areal tanam yang diijinkan untuk penanaman tebu,

pemeliharaan tanaman tebu, dan pengangkutan dari kebun menuju pabrik.

Perusahaan tersebut memerlukan tenaga kerja untuk membangun berbagai

fasilitas yang diperlukan seperti kantor, pabrik, perumahan bagi staf, dan gudang

yang disebut dengan emplasemen, maupun sarana dan prasarana untuk

pengangkutan dari kebun menuju pabrik maupun menuju pasar.

Setiap keberadaan pabrik gula tentu peran buruh yang menjadi sangat

penting, pada umumnya mereka yang bekerja di perkebunan tebu adalah

masyarakat pribumi dengan bekal pendidikan yang minim. Dalam proses kerjanya

terdapat dua ukuran kerja utama di Jawa pada awal abad dua puluh. Pertama

berpusat pada persiapan lahan, penanaman tebu, dan pemeliharaan pasca tanaman

tumbuh. Kedua didukung oleh apa yang sering disebut kerja pasca panen

(campaign), pada saat tanaman dipanen, dibawa ke pabrik dan diproses menjadi

gula.27

Untuk mempermudah pembagian kelompok kerja maka dibuatlah ploeg

atau yang lebih dikenal sebagai kelompok kecil atau tim. Setelah dibentuk dan

dibagi dalam tim kecil, mandor memiliki peran penting dalam pengawasan kerja

26

Pagottan Oogtresultalen Oogstjaar 1930 , Badan Perpustakaan dan

Kearsipan Jawa Timur, Arsip P3GI Pasuruan Nomor. 379.

27 Retno.Puji Lestari.,op.,cit, hlm. 32 .

68

di lapangan. Pengawasan pada umumnya dilakukan saat melakukan penebangan

tebu. Selama musim giling tebu pabrik gula itu membentuk polisi penjaga kebun

tebu. Pabrik gula Pagottan itu mempunyai arti banyak bagi penduduk yang hidup

memburuh dan penduduk yang tidak mempunyai tanah.28

Setelah melakukan proses penanam biasanya tenaga kerja perkebunan

akan melakukan penyisipan tempat yang longgar dengan beberapa kali

pemupukan tambahan serta melakukan penyiangan rumput, memberi penyiraman

serta menimbun pangkal tanaman dengan tanah. Panen tebu biasanya

dilaksanakan antara bulan Juli hingga November pada tahun berikutnya. Setelah

melakukan pemanenan tebu para pekerja diarahkan untuk mengangkut tebu

menuju pabrik untuk segera dipres. Untuk menuju sampai ke jalur lori biasanya

banyak sekali buruh yang dipekerjakan untuk mengangkut dengan gerobak sapi,

sesampainya di pabrik baru teknologi modern digunakan untuk mengolah.

Buruh-buruh perkebunan paling banyak dipakai saat penanaman tebu,

pada umumnya mereka bekerja secara harian dengan jam kerja dari pukul tujuh

hingga pukul lima sore atau mereka akan bekerja enam jam sebelum tengah hari

dan enam jam sesudah tengah hari. Konon pada permulaan abad ke dua puluh

makin banyak pemakaian buruh wanita dan anak-anak, terutama untuk melakukan

kegiatan pemupukan.29

28 Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah

Kerajaan),op.cit., hlm.205.

29 Akira Nagazumi.,op.cit.,hlm. 55.

69

Berikut adalah gambaran data mengenai jumlah tenaga kerja daerah

pedesaan karesidenan Madiun, yang terdiri dari pekerja terdidik dan petani baik

laki-laki maupun perempuan.

Tabel. 9

Jumlah petani di karesidenan Madiun tahun 1920-1930

Kabupaten Pekerja Terdidik Pekerja laki-laki Pekerja

perempuan

Ngawi 6140 63908 8820

Magetan 5300 50563 20568

Madioen 4950 55320 11680

Ponorogo 6650 76970 16334

Patjitan 8060 52669 9725

Sumber : Volkstelling 1930, hlm. 90.

Dari tabel (8) di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah pekerja terdidik di

Karesidenan Madiun terbanyak adalah di Kabupaten Patjitan dengan jumlah

8.060. Untuk pekerja laki-laki dan perempuan di setiap kabupaten sama-sama

memiliki selisih yang sangat besar, pekerja laki-laki masih mendominasi jumlah

terbanyak, namun begitu di Kabupaten Magetan jumlah pekerja perempuan

hampir setengah dari pekerja laki-laki. Secara keseluruhan jumlah tenaga kerja di

Madiun mencapai 397.657 jiwa.

Keberadaan ekonomi perkebunan pada masa ekonomi subsistensi di Jawa

secara signifikan telah menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat pedesaan

70

pada umunya, jika biasanya petani hanya mengolah hasil tanaman pangan maka

saat arus uang telah masuk dalam ekonomi desa maka banyak petani pemilik

tanah yang bekerja di perusahaan perkebuanan. Berikut adalah upah rata-rata bagi

buruh di Hindia Belanda pada 1900-1931.

Tabel. 10

Upah rata-rata harian bagi buruh di Hindia Belanda pada 1900-1931.

Tahun Laki-laki Perempuan Anak-anak

1900 45 sen 25 sen 20 sen

1921 57 sen 47 sen 38 sen

1931 45 sen 36 sen 29 sen

Sumber : Mubyarto. Tanah Dan Tenaga Kerja Perkebunan; Kajian Sosial

Ekonomi, (Yogyakarta: Aditya Media,2001), hlm. 14.

Dengan melihat upah harian yang diterima oleh para tenaga kerja

perkebunan di atas dapat dikonversikan hasilnya dengan harga bahan pangan

pokok pada masa itu. Pada tanggal 28 Januari 1913 beras dijual dengan harga 42

stuiver (kelip= 5 sen) tiap gantang (sama dengan 31 gulden per 100 Kg).30

Di

Pulau Jawa pada bulan Juni 1921 satu pikul padi bulu terjual dengan harga

30

Sajogyo, William L Collier., Budidaya Padi Di Jawa, (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia.1986), hlm.200.

71

ƒ.5,90.31

Dilaporkan pahwa pada tahun 1930 harga beras pasar rata-rata di Jawa

untuk beras kelas satu ialah ƒ. 11,50 per pikul.32

Jika pada tahun 1913 setiap 100 Kg beras dihargai dengan 31 gulden

maka, setiap kilonya adalah 3,1 sen. Jika diambil contoh upah pekerja laki-laki

setiap harinya dapat membeli 14 Kg beras. Sedangkan pada tahun 1921 dengan

harga 9,5 sen padi per Kg (diperoleh dari 590 sen dibagi 61,76 ( 1 pikul padi)),

maka dari gaji pekerja pria dapat membeli beras sekitar 6 Kg beras. Tahun 1930

harga beras ƒ. 11,50 per pikul sama dengan 18,6 sen per Kg, sehingga dari upah

45 sen maka beras yang diperoleh adalah 2,41 Kg beras. Ini menunjukkan bahwa

upah yang diterima oleh pekerja perkebunan dan kebutuhan akan bahan pokok

tidak seimbang. Sejak tahun 1921 hingga 1931 gaji yang diterima oleh buruh

perkebunan terus mengalami peningkatan.

Pekerja musiman biasanya wanita ikut mengambil bagian yakni bekerja

sebagai kuli parit pada saat mulai musim tanam. Sedangkan untuk pekerja laki-

laki banyak dibutuhkan saat musim giling tebu, tebang tebu dan pengangkutan

menuju lori-lori. Biasanya mereka tinggal di sekitar pabrik gula, di barak-barak

yang sudah dipersiapkan oleh pihak pabrik gula, tidak hanya sampai disitu bahkan

sebelum sampai pada jalur rel lori peran tenaga hewan pun dimanfaatkan untuk

pengangkutan dengan cara menarik lori menuju relnya berikut adalah jumlah

tenaga kerja pabrik gula di Madiun.

31

Ibid., hlm. 258.

32 Ibid., hlm. 285.

72

Tabel. 11

Jumlah tenaga kerja perkebunan tebu Madiun 1920 - 1930

Kabupaten Laki-laki Perempuan Tenaga terdidik

Ngawi 3498 2406 490

Magetan 10672 6625 1240

Madioen 10177 5293 1040

Ponorogo 850 1120 130

Sumber: Volkstelling 1930, hlm. 90.

Tenaga kerja perkebunan tebu di Madiun terutama di Kabupaten Ponorogo

memiliki jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak dari pada jumlah tenaga

kerja laki-laki. Pada umumnya di beberapa daerah lainnya jumlah tenaga kerja

laki-laki lebih mendominasi. Magetan menjadi wilayah yang memiliki banyak

tenaga terdidik untuk tenaga kerja perkebunan tebu, setelah itu disusul oleh

Kabupaten Madiun, Ngawi dan Ponorogo.

F. Sarana Transportasi

Industrialisasi pertanian menuntut pembangunan infrastruktur yang

memadai, antara lain jalan raya, jalan kereta, irigasi, pelabuhan, telekomunikasi,

dan lain sebagainya.33

Untuk melancarkan berbagai program tersebut maka pihak

swasta maupun pemerintah bersedia mengadakan investasi dan pembangunan

infrastruktur. Sejak 1870 pembangunan membawa modernisasi terhadap Hindia

Belanda. Pengangkutan atau transportasi memiliki arti yaitu sarana yang

33

Sartono.Kartodirdja., op.cit., hlm 81.

73

digunakan untuk melakukan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke

tempat yang lain. Tujuan dari adanya peningkatan mutu pengangkutan dan

transportasi tak lain adalah memperlancar aktivitas perekonomian dan kegiatan

lainya. Sebelum adanya modernisasi pengangkutan ke berbagai daerah dilakukan

dengan menggunakan perahu dan melintasi aliran-aliran sungai. Hal itu sangat

tidak menguntungkan bagi masyarakat atau perusahaan perkebunan yang akan

mengirim hasil tanamnya ke berbagai daerah jika keberadaan mereka jauh dari

daerah aliran sungai dan terletak di daerah pedalaman. Transportasi sungai

menghubungkan desa dengan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa seperti

Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sungai Bengawan Solo dan Brantas merupakan

urat nadi transportasi sungai.

Sebelum adanya jalan kereta api keberadaan transportasi darat sangat

dominan karena berbagai hasil produksi pertanian diangkut dengan menggunakan

gerobak, cikar, gelinding, dan kendaraan sejenisnya yang ditarik kuda, sapi atau

kerbau. Dan biasanya membutuhkan waktu yang berhari-hari sehingga dalam

perjalannya terdapat tempat berhenti dan menginap sehingga kurang efektif dari

segi waktu, dan dari segi produksi pun akan berkurang kualitasnya jika untuk

pengangkutan saja membutuhkan proses yang lama. Sekalipun jumlah hewan

ternak di Distrik Ponorogo cukup banyak terutama hewan lembu, tetapi

peternakan dalam arti sebenarnya tidak ada. Hewan ternak itu dipergunakan baik

untuk pertanian maupun untuk transport. Bahkan pentingnya hewan ternak saat itu

memunculkan banyaknya tindak kriminalitas, makin hari jumlah ternak semakin

74

berkurang hingga memunculkan kebijakan akan adanya sertifikat kepemilikan

terhadap hewan peliharaan.

Setelah dibukanya jalan kereta api dan trem hampir seluruh pedalaman

Jawa dapat dijangkau pada awal abad ke dua puluh. Produksi dari pedalaman

dengan cepat diangkut ke pelabuahan. Seperti disinggung di atas bahwa jaringan

transportasi sebagai infrastuktur memang dikembangkan secara pesat. Hal ini

tampil pada angka-angka sebagai berikut 1867-25 Km; 1879-372 Km; 1888-1286

Km; 1899-3008 Km; 1913-4500 Km; 1920-5016 Km.34

Berkembangnya kegiatan

ekonomi di Jawa dan luar Jawa akibat majunya industri perkebunan merupakan

salah satu faktor pendorong bagi berkembangnya industri maritim di Asia

Tenggara.

Pembangunan fasilitas transportasi di suatu daerah sangat tergantung pada

lokasi dan kondisi topografi suatu wilayah, perkembangan pesat ini merupakan

jawaban teratasinya kendala angkutan sungai yang karena kondisi topografi di

pedalaman tidak memungkinkan untuk dilewati angkutan. Upaya untuk

membangun sarana transportasi di Hindia-Belanda merupakan proses yang

panjang yakni di mulai sejak berkembangnya sistem Tanam Paksa.

Perusahaan angkutan kereta api yang beroperasi di Hindia-Belanda berada

di bawah pengawasan pengawasan jawatan angkutan dan pengairan, di

bawah pengawasan bagian jalan. Perusahaan yang dimiliki pemerintah

kolonial adalah Staatspoorwegen (S.S) yang dibentuk pada 1875 di bawah

seorang Inspektur Jendral. Sejak 1 Maret 1888, perusahaan ini dialihkan

kepada Departemen Pekerjaan Umum. Pada 1 Juli 1909, perusahaan Spoor-

en Tremwegen menjadi dinas Staatspoor-en Tramswegen (S.S) yang sekali

lagi dibawah pimpinan Inspektur Kepala Spoor-en Tramswegdienst,

dibawah departemen usaha milik negara. Kantor S.S secara keseluruhan

34 Ibid., hlm. 96.

75

berada di Bandung yang terdiri dari bagian sekretariat, bagian gudang,

bagian umum, bagian angkutan, dan perdagangan dan bagian teknis.35

Semakin meluasnya perkebunan-perkebunan di Pulau Jawa maka

meningkat pula berbagai sarana dan prasarana yang ada untuk memperlancar hasil

produksi, maka bukan lagi hal yang baru jika pabrik gula membangun jaringan rel

guna mengangkut tebu dari perkebunan untuk dibawa ke pabrik saat musim giling

tiba. Angkutan trem di Jawa tidak hanya berkembang di kota besar saja tetapi

merambah ke berbagai kota kecil di pedalaman. Berikut adalah rute yang dilalui

oleh kereta dari Madiun mengarah ke Ponorogo.

Gambar. 7

Peta Jalur transportasi kereta dari Madiun- Ponorogo tahun 1905 (ditunjukkan

dengan garis hitam)

Sumber: KITLV media

35 Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, op.cit.,

hlm. 170.

76

Salah satu jaringan trem yang menyisir pelosok Jawa adalah jaringan

pertama angkutan trem milik negara yang menghubungkan Madiun dengan

Ponorogo ke Balong dengan sambungan Ponorogo – Sumoroto. Staatspoorwegen

Oosterlijnen dengan lebar kereta 1.067 mm membangun jalur Madiun ---

Ponorogo --- Balong atau Sumoroto dibuka tanggal 1 Desember 1907 dengan

jarak 56 Km. Pada tahun 1922 dengan jarak 10 Km menghubungkan antara

Badegan --- Sumoroto, sedangkan untuk Balong --- Slahung dengan jarak 9 Km di

tanggal 1 Agustus.36

Adanya kemudahan transportasi tersebut sehingga

mempermudah pengangkutan hasil tanam menuju pabrik, termasuk juga hasil

tanam dari Ponorogo menuju ke Madiun. Ijin pemasangan rel lori tidak tetap

untuk pengangkutan tebu masih terus berlaku.37

Kemajuan perkereta apian di Jawa tidak terlepas dari berbagai sumber

perekonomian yang berkembang di sana, tebu-tebu yang telah dipanen kemudian

digiling dan dijadikan gula kemudian diangkut menuju ke pelabuhan untuk

diekspor dengan menggunakan kereta api begitu pun dengan pabrik gula Pagottan.

Untuk jalur kereta api dari Madiun menuju Surabaya rutenya adalah sebagai

berikut Madiun menuju Kertosono, kemudian dari Kertosono menuju Tarik,

setelah dari Tarik menuju Wonokromo dan terakhir sampai di Goebeng

36 Prita Ayu Kusumawardhani.,”Transportasi Kereta Api Dalam

Perkembangan Mobilitas Sosial Masyarakat Surabaya Tahun 1910-1930”, Skripsi,

(Surakata, UNS,2013) hlm. 56-57.

37

Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah

Kerajaan),op.cit., hlm.210.

77

Surabaya.38

Jarak yang ditempuh dari Madiun menuju ke Surabaya kurang lebih

152,828 km.

Seiring munculnya jalur-jalur kereta tersebut sangat memudahkan

menghubungkan perkebunan-perkebunan di Jawa Timur menuju Kota Surabaya.

Jika hasil produksi yang telah siap tidak segera dikirim maka akan menimbulkan

kerugian bagi perusahaan, karena akan cepat membusuk. Pada awalnya jalur

tanaman ekspor untuk Madiun adalah melewati Surakarta, namun hal itu tidak

mendapat persetujuan. Menurut Dibbetz pembangunan jalur tersebut memiliki

banyak kelemahan sehingga tidak perlu dilakukan. Salah satu alasan yang

diajukan oleh Dibbetz adalah jarak yang ditempuh daerah perkebunan Madiun

lebih dekat menuju Surabaya dibandingkan harus beralih dari Surakarta ke

Semarang.39

Menurutnya perbaikan untuk irigasi jauh lebih penting dari pada

proyek jalur kereta api Madiun-Surakarta.

Perkebunan tebu memegang peranan pentingnya dalam perekomonian di

Madiun, sejak masuknya industrialisasi di Madiun pada abad ke sembilan belas

yang masih menggunakan peran para Bupati dalam memperoleh tanah hingga

tenaga kerja hingga adanya kebijakan dari pemerintah untuk menggunakan hak-

hak industri sendiri dalam menjalankan administrasinya. Pemerintah

menempatkan tanah perkebunan sebagai tanah komunal (tanah milik bersama)

yang disewa oleh pemerintah dan dikelola oleh masyarakat sendiri sebagai ganti

38

Kaart Der Suikerfabrieken Spoor-En Tramwegen Van Java En

Madoera, Badan Perpustakaan Dan Kearsipan Jawa Timur, Arsip Kartografi

39 Prita Ayu Kusumawardhani.,op.cit., hlm. 65.

78

pajak. Memasuki abad ke dua puluh pasca Perang Dunia ke dua ekonomi

Indonesia berjalan dengan perkembangan perekonomian dunia. Terkait dengan

industri perkebunan di Indonesia khususnya Madiun, pasca tahun 1918 setelah

munculnya Undang- Undang Sewa Tanah memberikan peluang yang luas bagi

setiap industri gula untuk mengatur secara langsung segala kebutuhannya sendiri,

termasuk tenaga kerja, tanah, transportasi dan upah. Keberadaan Bupati ataupun

Priyayi tidak lagi dipandang penting dalam merekrut tenaga kerja maupun

melakukan sewa tanah, apalagi jumlah penduduk di Madiun yang padat

kebutuhan akan lahan pekerjaan sangat dibutuhkan oleh sebagian besar

masyarakat. Peredaran uang juga telah dikenal pada masa ini, banyak tenaga kerja

perkebunan menerima upah berupa uang, tidak ada lagi kerja suka rela seperti

yang terjadi pada masa awal sistem perkebunan diterapkan di Madiun.

Modernisasi berbagai faktor produksi juga telah banyak terjadi, terutama untuk

mesin-mesin pabrik, dan sistem pengangkutan