bab iii hasil penelitian dan pembahasan a. sejarah dan … · 2017. 9. 18. · konflik antara etnis...

32
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. SEJARAH DAN LETAK GEOGRAFIS KOTA PALANGKARAYA KALIMANTANG TENGAH Terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah melalui proses yang cukup panjang sehingga mencapai puncaknya pada tanggal 23 Mei 1957 dan dikuatkan dengan Undang- Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, yaitu tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah. Sejak saat itu Provinsi Kalimantan Tengah resmi sebagai daerah otonom, sekaligus sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Tengah. Sejarah pembentukan Pemerintahan Kota Palangkaraya merupakan bagian integral dari pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, lembaran Negara Nomor 53. Selanjutnya, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya, antara lain mempersiapkan Kotapraja Palangkaraya. Kahayan Tengah ini dipimpin oleh Asisten Wedana, yang pada waktu itu dijabat oleh J. M. Nahan. Peningkatan secara bertahap Kecamatan Kahayan Tengah tersebut, lebih nyata lagi setelah dilantiknya bapak Tjilik Riwut sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Desember 1959 oleh Menteri Dalam Negeri, dan Kecamatan Kahayan Tengah di Pahandut dipindahkan ke Bukit Rawi. 1 Dan pada tanggal 11 Mei 1960, dibentuk pula Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Palangkaraya, yang dipimpin oleh J.M. Nahan. Selanjutnya sejak tanggal 1 Diktat “Sejarah Kalimantan Palangka dalam angka 2009” , Didi Djauhari 2001

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB III

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. SEJARAH DAN LETAK GEOGRAFIS KOTA PALANGKARAYA

    KALIMANTANG TENGAH

    Terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah melalui proses yang cukup panjang

    sehingga mencapai puncaknya pada tanggal 23 Mei 1957 dan dikuatkan dengan Undang-

    Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, yaitu tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat

    I Kalimantan Tengah. Sejak saat itu Provinsi Kalimantan Tengah resmi sebagai daerah

    otonom, sekaligus sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Tengah. Sejarah pembentukan

    Pemerintahan Kota Palangkaraya merupakan bagian integral dari pembentukan Provinsi

    Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, lembaran

    Negara Nomor 53.

    Selanjutnya, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara

    bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya, antara lain

    mempersiapkan Kotapraja Palangkaraya. Kahayan Tengah ini dipimpin oleh Asisten Wedana,

    yang pada waktu itu dijabat oleh J. M. Nahan. Peningkatan secara bertahap

    Kecamatan Kahayan Tengah tersebut, lebih nyata lagi setelah dilantiknya bapak Tjilik Riwut

    sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Desember

    1959 oleh Menteri Dalam Negeri, dan Kecamatan Kahayan Tengah di Pahandut dipindahkan

    ke Bukit Rawi.1 Dan pada tanggal 11 Mei 1960, dibentuk pula Kecamatan Palangka Khusus

    Persiapan Kotapraja Palangkaraya, yang dipimpin oleh J.M. Nahan. Selanjutnya sejak tanggal

    1 Diktat “Sejarah Kalimantan Palangka dalam angka 2009” , Didi Djauhari 2001

  • 20 Juni 1962 Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Palangkaraya dipimpin oleh

    W.Coenrad dengan sebutan Kepala Pemerintahan Kotapraja Administratif Palangkaraya.

    Kota Palangkaraya secara geografis terletak pada 113˚30`- 114˚07` Bujur Timur dan

    1˚35`- 2˚24` Lintang Selatan, dengan luas wilayah 2.678,51 Km2 (267.851 Ha) dengan

    topografi terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Secara

    administrasi Kota Palangkaraya berbatasan dengan:

    Sebelah Utara : Dengan Kabupaten Gunung Mas

    Sebelah Timur : Dengan Kabupaten Pulang Pisau

    Sebelah Selatan : Dengan Kabupaten Pulang Pisau

    Sebelah Barat : Dengan Kabupaten Katingan

    A.I. GAMBARAN WILAYAH DALAM BENTUK PETA

    1.1. Gambar Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah

  • 1.2. Gambar Wilayah Kalimantan Tengah secara Umum

    Wilayah Kota Palangka Raya terdiri dari 5 (lima) Kecamatan yaitu Kecamatan

    Pahandut, Kecamatan Sabangau, Kecamatan Jekan Raya, Kecamatan Bukit Batu dan

    Kecamatan Rakumpit dengan luas masing-masing 117,25 Km2, 583,50 Km2, 352,62 Km2,

    572,00 Km2 dan 1.053,14 Km2.

    Luas Wilayah Menurut Penggunaannya

    Kawasan Hutan : 2.485,75 Km2

    Tanah Pertanian : 12,65 Km2

    Perkampungan : 45,54 Km2

    Perkebunan 22,30 Km2

    Sungai dan Danau : 42,86 Km2

    Lain-lain : 69,41 Km2

    Secara Geologi keadaan formasi geologi yang ada di wilayah Kota Palangka Raya

    tersusun atas formasi Aluvium (Qa) (tersusun dari bahan-bahan liat kaolinit dan debu

    bersisipan pasir, gambut, kerakal dan bongkahan lepas, merupakan endapan sungai dan rawa)

  • dan formasi Batuan Api (Trv) (tersusun dari batuan breksi gunung api berwarna kelabu

    kehijauan dengan komponennya terdiri dari andesit, basalt dan rijang. Selain kedua formasi

    tersebut, wilayah Kota Palangka Raya juga termasuk ke dalam formasi Dahor (TQd) (tersusun

    atas sebagian besar pasir kuarsa dengan dasar lempung, pada beberapa tempat terdapat sisipan

    konglomerat yang komponennya berupa batuan malihan, granit dan lempung).2

    Sedangkan kondisi iklim curah hujan tahunan di wilayah Kota Palangkaraya selama 10

    tahun terakhir (1997-2006) berkisar dari 1.840—3.117 mm dengan rata-rata sebesar 2.490 mm.

    Kelembaban udara berkisar antara 75—89% dengan kelembaban rata-rata tahunan sebesar

    83,08%. Temperatur rata-rata adalah 26,880 C, minimum 22,930 C dan maksimum 32,520 C.

    B. KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI

    PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

    Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu

    beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan

    secara jelas dan terperinci sumber dari sebuah konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang

    seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak

    menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa

    menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik di latar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri

    yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah

    menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

    Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun

    yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat

    lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

    Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber

    konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya

    2 Ibid

  • rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut: (1)

    perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan, (2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh,

    ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan (3) persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan

    tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika

    persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan

    muncul (Johnson & Johnson, 1991).3

    Sebagaimana konflik etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah

    adalah salah satu contoh konflik komunal yang pernah terjadi di indonesia. Konflik kekerasan

    yang terjadi di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah ini bisa di katakan sebagai

    kerusuhan antar etnis yang tergolong pasif. Kelompok masyarakat yang mengatas namakan

    dirinya sebagai suku asli Kalimantan (etnik Dayak dan Melayu) berhadapan dengan kelompok

    masyarakat yang di anggap sebagai pendatang dari pulau Madura (etnik Madura). Saling bunuh

    tak terhindarkan tatkala antar etnik sudah tidak saling percaya dan menganggap eksitensi suku

    yang satu menjadi penghalang eksitensi suku yang lain.

    Kerusuhan yang pecah pada akhir februari 2001 di wilayah Kalimantan Tengah. Ribuan

    orang Dayak bersenjatakan busur, panah, tombak memburu warga dari etnik Madura. Tindak

    pembunuhan dan perusakan nyaris terjadi di semua desa. Kerusuhan semula terjadi sekitar

    sepekan di kota Sampit, namun merembet ke Kuala Kapuas, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya.

    Dampak dari kerusuhan di Sampit ratusan orang terbunuh dan puluhan ribu pendatang (etnis

    Madura) dipaksa keluar dari bumi Kalimantan untuk kembali kedaerah asalnya di pulau

    Madura.4

    Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi

    3 Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007.

    4 Heru Cahyono, “konflik di kalbar dan kalteng: Sebuah Perbandingan”, Masyarakat Indonesia, Jilid

    XXX No.2, 2004, page 47-48

  • pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan pembantaian dan pengungsian

    Madura dari Kalimantan Tengah. Hubungan antara etnis Dayak dan Madura dapat dilihat

    melalui sikap yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak dalam kesehariannya. Sikap dapat

    muncul atau merupakan manifestasi dari citra yang melekat pada diri objek. Interaksi antara

    Dayak dengan Madura sudah dimulai secara “bayangan” akibat pencitraan tentang orang

    Madura yan sudah hadir sebelum mereka berinteraksi secara langsung dengan orang Madura.

    Dan bagaimana perkembangan hubungan social antara suku Dayak dengan Madura dapat

    dilihat ketika kedua etnis ini sama-sama mengembangkan diri dalam hal perekonomian,

    bercocok tanam karet, kelapa, jenis tanaman, persawahan dan lainnya.

    Citra baik ini kemudian runtuh ketika ada perselisihan antara tiga orang Madura dengan

    orang Dayak yang akhirnya memunculkan citra baru bahwa etnis Madura adalah orang yang

    suka memaksakan kehendak di mata orang Dayak, karena perseteruan ini, konflik individual

    akhirnya harus dibela secara kelompok karena sikap solidaritas yang kuat di antara mereka.5

    Peristiwa tersebut membuat warga Dayak mulai was-was dan takut dan menimbulkan identitas

    diri sebagai kelompok yang terancam. Sikap yang muncul pertama adalah diam, yang justru

    menimbulkan jarak antara Dayak dengan Madura. Jika citra berada dalam tataran pemahaman

    maka sikap termanifestasikan alam tindaan. Sikap yang muncul dari citra yang sudah melekat

    pada diri orang Dayak terhadap orang Madura yang dianggap suka terhadap kekerasan

    memunculkan sikap menyingkir dan menyebarkan rasa takut dan pada gilirannya karena

    tumpukan kekesalan akhirnya menimbulkan kontak verbal dan fisik. Dan sikap menyingkir

    diambil oleh orang Dayak untuk menghindari babunuh atau berbunuhan di antara mereka.

    Siasat ini merupakan upaya pembebasan rasa takut, terteror dan terancam atas tindakan etnis

    Madura yang senang menggunakan carok (istilah bahasa Madura yang artinya ―culik‖) untuk

    5 Heru Cahyono, Mardyanto Wahyu Trytmoko, Asvi Warman Adam Konflik Kalbar Dan Kalteng jalan Panjang

    Meretas Perdamaian, Penerbit: Pustaka Pelajar, 2008

  • menyelesaikan setiap permasalahan. Sikap menyingkir ini akhirnya menimbulkan kekosongan

    interaksi antara orang Madura dengan orang Dayak dan di sisi lain semakin menguatkan ikatan

    solidaritas sesama Dayak yang menyingkir karena tindakan orang Madura.

    Mereka kemudian mereproduksi ungkapan yang bertujuan mengolok-ngolok orang

    Madura. Tanpa sadar ungkapan-ungkapan ini direproduksi dalam hubungan sehari-hari baik

    dikalangan orang tua, muda dan anak-anak yang sebenarnya adalah wujud ―institusionalisasi‖

    Madura sebagai sumber terror bagi orang Dayak. Sikap kedua yang diambil oleh orang Dayak

    atas citra orang Madura yang suka kekerasan adalah kontak verbal dan fisik. Tindakan ini

    merupakan tindakan balik secara langsung tehadap keadaan terganggunya etnis Dayak atas

    etnis Madura.6 Bericara mengenai hubungan orang Dayak dengan Madura dan Kalimantan

    merupakan pembicaraan yang sampai saat ini terus menarik untuk dibahas, karena hubungan

    keduanya sering diwarnai dengan konflik. Dalam realitas sejarah sejak tahun 1950-1999 di

    Kalimantan Barat telah terjadi 15 (lima belas) kali pertikaian yang melibatkan kedua etnis

    tersebut.

    Berikut ini penulis akan memaparkan dan menjelaskan kronologis isngkat terjadiinya

    konflik antara etnis Madura dan Dayak tahun 2001 di Palangkaraya-Kalimnatan Tengah :

    1950 Pertama kalinya perkelahian massal antara pendatang Madura dan etnis Dayak

    pecah. Pertikaian ini menelan korban dalam jumlah besar. Tidak jelas diketahui apa

    penyebabnya.

    1968 Sani, Camat Sungaipinyuh, Kabupaten Pontianak dibunuh oleh petani Madura.

    Petani itu kecewa karena Sang Camat menolak melayani urusan pembuatan surat jual

    beli tanahnya. Si petani yang tak bisa menerima alasan yang dikemukakan, langsung

    6 Ibid 57

  • menikam Sani hingga tewas.7

    1976 Kerusuhan besar antara Dayak-Madura pecah untuk kedua kalinya di

    Sungaipinyuh. Kerusuhan ini dipicu pembunuhan Cangkeh, petani Dayak, yang

    dilakukan beberapa orang Madura yang marah karena pendatang Madura dihardik

    Cangkeh hanya karena menyabit rumput di halaman rumahnya.

    1977 Bentrokan kedua etnis kembali terjadi. Kali ini di Singkawang, Kabupaten

    Sambas. Robert Lonjeng, seorang polisi dari suku Dayak dibantai seorang pemuda

    Madura. Si pemuda rupanya gelap mata setelah perang mulut dengan Robert, yang

    menegur si pemuda, marah karena adik perempuannya diajak pergi sampai larut malam.

    Robert tewas seketika oleh sabetan celurit Madura yang memacari adiknya.

    1999 Tak lama setelah pukul duabelas malam pada tanggal 18 Februari sekelompok

    orang Dayak menyerang sebuah rumah dan menewaskan lima orang penghuninya yang

    orang Madura. Orang Madura kemudian melancarkan serangan terhadap sebuah rumah

    Dayak yang berdekatan dimana dipercaya pembunuh Dayak tengah bersembunyi. Akan

    tetapi orang Dayak di rumah itu telah ditahan oleh polisi yang selanjutnya menjadikan

    mereka terdakwa atas pembunuhan terhadap orang Madura tersebut. Orang Madura

    kemudian membakar rumah orang Dayak lainnya, yang ikut tewas bersama anggota

    keluarganya dalam kebakaran tersebut.

    2000 Pada petang hari Jumat 15 Desember, perkelahian pecah disebuah bar karaoke di

    daerah lampu merah dekat Kereng Pangi. Dalam perkelahian tersebut, seorang Dayak

    tewas setelah ditikam oleh tiga orang Madura. Sekitar tengah malam, ratusan orang

    Dayak tiba untuk mencari ketiga orang Madura yang telah kabur. Orang Dayak yang

    kecewa lantas merusak atau membakar setidaknya empat bar karaoke milik orang

    Madura dan sembilan rumah. Meski 150 bantuan polisi dikirim ke tempat kejadian dari

    7 “Makna di balik teks Dayak sebagai etnis Headhunter” Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2

    Agustus 2011 - Januari 2012

  • Palangkaraya dan Sampit pada dini hari esoknya, mereka tidak mampu mencegah orang

    Dayak menyerang dan membakar rumah, mobil, dan sepeda motor milik pendatang

    Madura.

    2000, 17 Desember, orang Dayak terus mencari orang Madura dan empat buah bis milik

    seorang pengusaha Madura dibakar. Hingga tanggal 18 Desember, ratusan bantuan

    polisi telah didatangkan berikut sebuah satuan tentara berukuran kompi dan selanjutnya

    pada pekan itu pasar Kereng Pangi dibuka kembali. Menurut seorang pejabat setempat,

    tiga orang terbunuh, 28 rumah dibakar dan 10 lagi rusak, dan lebih selusin kendaraan

    mobil serta sepeda motor dirusak. Tetapi menurut beberapa sumber lusinan orang

    Madura terbunuh.

    Menyusul benturan-benturan tersebut, orang Madura melakukan penyerangan lebih

    dahulu dan menurut berbagai cerita membunuh antara 16 hingga 24 orang Dayak.

    Mengantisipasi serangan balik orang Dayak, orang Madura menjaga jalanan yang

    secara efektif dikuasai mereka. Akan tetapi cerita selanjutnya diperdebatkan. Menurut

    Buku Merah dan sumber Dayak lainnya, pada 19 Februari spanduk-spanduk dipajang

    yang bertuliskan slogan seperti ‗Kota Sampit adalah Sampang kedua‘ (Sampang adalah

    sebuah kota di Madura), ‗Selamat Datang di sebuah kota Madura‘, serta ‗Sampit adalah

    Serambi Mekah‘.8

    Pada saat yang bersamaan pemuda Madura berarak keliling kota diatas sepeda motor

    sambil berteriak ‗Dimana jagoan Dayak?‘, ‗Orang Dayak Pengecut‘, dan ‗Dimanakah

    Panglima Burung‘ (yang dimaksud adalah seorang panglima magis Dayak yang konon

    muncul pada saat krisis).9

    9 Kutipan Tulisan „Kronologis Konflik Kerusuhan Antar Etnis di Sampit‟, alinea 13-14, Buku Merah, Jilid 1.

    Kronologi peristiwa menurut sudut pandang orang Madura disampaikan dalam Dari Ratap Menuju Harap. Tragedi

    Pembantaian Etnis Madura di Sampit (18 Februari 2001), diterbitkan oleh Ikatan Keluarga Madura, Kotawaringin

    Timur, Surabaya, 8 Mei 2001.

  • Pembantaian di Sampit merupakan isyarat bagi orang Dayak di daerah sekitar untuk

    menyerang orang Madura. Pada hari Minggu tanggal 25, sepekan setelah letusan di

    Sampit, orang Dayak dipedalaman membawa konflik ke ibukota propinsi,

    Palangkaraya. Orang Dayak mulai membakar rumah-rumah Madura akan tetapi tidak

    banyak terjadi pembunuhan karena sebagian besar orang Madura telah melarikan diri.

    2001 Konflik antara Dayak dan Madura meletus di Sampit, Kalimantan Tengah. Komisi

    Nasional Hak Asasi Manusia mencatat bahwa korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa.

    Menurut data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak.

    Muncul banyak versi yang memicu kasus perseteruan antar-etnis kesepuluh ini. Dari

    kisah terbunuhnya ibu hamil sampai balas dendam warga Madura atas kerusuhan di

    Kereng pangi, Kabupaten KotawaringinTimur.

    Banyak pendapat yang bergulir mengapa konflik di antara etnis Madura dan Dayak ini

    sering terjadi di Kalimantan, terutaman di Kalimantan Tengah, diantaranya karena adanya

    perbedaan budaya, persaingan yang tidak seimbang, premannisme, dan kriminalitas (tindak

    kekerasan), sentralisasi kebijakan pemerintah, struktur dan persaingan social ekonomi yang

    tidak wajar dan tidak seimbang, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan tokoh-tokoh

    masyarakat dan juga penegak hukum.

    Namun ada juga yang berpendapat bahwa konflik di Kalimantan ini terjadi karena sikap

    frustasi penduduk setempat (Dayak) yang termanifestasikan dalam sikap agresif terhadap

    pendatang asal Madura, kebijakan pemerintah tentang komersialisasi hutan di Kalimantan ,

    tidak dihormatinya dan tidak berwibawanya Polri di mata masyarakat, pemerintah yang sangat

    sentralistik, keadaan darurat yang menimpa masyarakat dan pemerintah Indonesia, etnisitas

    maupun pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan peningkatan jumlah

  • peningkatkan jumlah lapangan pekerjaan khususnya pertanian.10

    Dalam konteks ini etnis Dayak

    diasumsikan tidak mendapat keadilan dari system yang ada sehingga melampiaskan terhadap

    etnis Madura. Proses sosio-kultural yang terdapat di dalam struktur social etnis Madura dan

    Dayak terutama tentang stereotip antar-keduanya juga sedikit banyak mempengaruhi cara

    pandang masing-masing etnis yang akhirnya berpengaruh terhadap sikap satu sama lain.

    Kekerasan di Kalimantan Tengah terjadi setelah beberapa dasawarsa dimana orang

    Dayak, yang merupakan lebih dari setengah jumlah penduduk propinsi tersebut mengalami

    dislokasi. Susunan demografi propinsi telah mengalami perubahan, terutama dalam dua

    dasawarsa terakhir, disebabkan program transmigrasi yang dilakukan pemerintahan. Orang

    Dayak tidak sepenuhnya menjelaskan kekerasan yang terjadi di bulan Februari dan Maret.

    Kalaupun pembantaian merupakan reaksi terhadap perubahan demografis yang pesat maupun

    perusakan hutan, maka kemarahan orang Dayak tentunya dituju kepada semua masyarakat

    pendatang. Akan tetapi kekerasan yang terjadi dipusatkan seluruhnya terhadap orang Madura

    dan akhirnya dijadikan suatu kampanye untuk mengusir mereka dari propinsi tersebut. Jumlah

    masyarakat Madura tidak hanya lebih sedikit dibanding masyarakat Dayak, tetapi juga

    dibanding masyarakat pendatang lainnya seperti orang Jawa dan orang Banjar. Sebagaimana

    biasa terjadi dalam konflik etnis, tidak jelas bagaimana kekerasan bermula. Menurut versi

    orang Dayak, kemarahan mereka terhadap orang Madura sudah memuncak bertahun-tahun

    sampai serangan orang Madura terhadap orang Dayak di Sampit di Februari 18-19 memicu

    pembantaian spontan terhadap ratusan orang Madura. Dilain pihak, menurut orang Madura

    beberapa kelompok Dayak memprovokasi benturan- benturan kecil sebagai alasan untuk

    menjalankan pembantaian yang menysusul kemudian. Akan tetapi hingga saat ini tidak ada

    penjelasan yang memuaskan mengenai apa yang menjadi motivasi kelompok Dayak tersebut.11

    10

    Amri Marzali “Perbedaan Etnis dalam Konflik” (Jakarta: INIS- Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic

    Studies- Universitas Leider 2003) page 16-25 11

    Kekerasan Etnis di Indonesia : Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG (International Crisis Group) Asia N°19,

  • B.1. PENYEBAB KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001

    DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

    Penduduk Kalimantan Tengah sejumlah 1,8 juta orang kebanyakan terdiri dari orang

    pribumi Dayak yang diperkirakan meliputi setengah hingga duapertiga jumlah penduduk.

    Orang Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan (Borneo) dan tetap merupakan bagian

    terbesar dari jumlah penduduk tidak saja di Kalimantan Tengah akan tetapi juga di Kalimantan

    Barat dan Kalimantan Timur – meski di Kalimantan Selatan mereka telah menjadi minoritas

    kecil. Orang Dayak juga merupakan bagian yang cukup besar dari jumlah penduduk di

    Malaysia Timur. Akan tetapi orang Dayak tidak terdiri dari hanya satu masyarakat etnis,

    melainkan terdiri dari lebih 200 suku terpisah yang masing-masing memiliki bahasa, adat

    istiadat serta budaya sendiri. Meski kebanyakan tinggal didesa terpencil di hutan tropis yang

    tersisa dan bercocok tanam secara berpindah ladang, banyak pemuda Dayak yang kini

    mengenyam pendidikan modern dan beralih ke bidang pekerjaan diperkotaan. Tidak seperti di

    Kalimantan Barat dimana orang Dayak beda dengan bangsa ―Melayu‖ lainnya karena tidak

    beragama Islam, sedikitnya separuh bahkan mungkin 70 persen dari orang Dayak di

    Kalimantan Tengah adalah Muslim. Kelompok suku yang dominan di Kalimantan Tengah

    adalah suku Ngaju yang bahasanya telah menjadi bahasa penghubung yang umum digunakan di

    propinsi tersebut.12

    Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi menjadi dua yaitu, pertama,

    kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara

    kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan

    pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer,

    wartawan, alim ulama, sopir, dan cendikiawan. Kemajemukan horizontal-kultural

    27 June 2001 (Diktat)

    12 ibid

  • menimbulkan konflik masing- masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri

    dan masing- masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya

    tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang

    menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara dan

    gerakan separatisme. Jika situasi ini terjadi, maka masyarakat tersebut akan mengalami

    disintegrasi.

    Kedua, kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi

    kekayaan dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial karena ada

    sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan kekuasaan dan

    kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan,

    pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Polarisasi seperti ini

    merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial. Singkat kata, distribusi sumber-sumber

    nilai di dalam masyarakat yang pincang akan menjadi penyebab utama timbulnya konflik.13

    Sebagaimana lazim terjadi pada hampir semua kasus kekerasan etnis, pelaku maupun

    korban masing-masing memberi penjelasan yang saling bertentangan secara radikal mengenai

    sebab-musabab kejadian. Namun demikian ada satu hal yang jelas. Permusuhan antara

    masyarakat Dayak dan masyarakat Madura tertanam dalam, dan hubungan antara kedua

    masyarakat tersebut menjadi sangat tegang setelah peristiwa pembunuhan di Kereng Pangi.

    Secara umum orang Dayak mengatakan bahwa pembantaian merupakan reaksi spontan orang

    Dayak terhadap kejadian-kejadian pada 18-20 Februari ketika Sampit ‗dikuasai‘ orang Madura.

    Antara 16 dan 24 orang Dayak terbunuh oleh orang Madura ketika mereka membalas serangan

    Dayak terhadap orang Madura. Bila memang terjadi, maka tidak kalah provokatif adalah

    13

    Krinus kum, “Konflik Etnik: Telaah Kritis dan Konstruktif atas Konflik Etnis di Tanah Papua”,Litera Buku, Yogyakarta, page 20-21

  • terpampangnya spanduk, serta teriakan slogan-slogan yang sangat menyinggung perasaan

    orang Dayak.

    Khawatir terhadap keselamatan nyawa mereka, ribuan orang Dayak melarikan diri dari

    kota tersebut serta menyebarkan berita didaerah pedalaman dimana, konon para tetua Dayak

    berkonsultasi dengan arwah nenek moyang mereka dan mendapatkan persetujuan untuk

    ‗berperang‘ melawan orang Madura. Seusai ritual agama dimana arwah para panglima perang

    masa lampau diterima oleh mereka, bersenjatakan mandau (sejenis pedang) dan tombak, orang

    Dayak ‗tradisional‘ yang amarahnya telah memuncak berangkat untuk merebut Sampit dari

    tangan orang Madura. Konon orang Dayak yang turun ke Sampit kerap terlihat berada dalam

    keadaan kesurupan. Tidak dibedakan antara pria, wanita, maupun anak-anak dalam

    menjalankan tugas khusus mereka untuk membersihkan kota itu dari orang Madura. Di kota-

    kota lebih kecil serta desa-desa didaerah itu, orang Madura semakin tidak berdaya terhadap

    gelombang serangan Dayak.

    Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi

    pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan pembantaian dan pengungsian

    Madura dari Kalimantan Tengah. Korban dan kerugian yang tercatat adalah 469 tewas

    (utamanya Madura), 1.192 rumah dirusak/terbakar, 6 mobil dirusak, 43 sepeda motor dirusak,

    dan 114 becak dihancurkan. Konflik ini juga mengakibatkan gelombang pengungsi ke Madura

    dan Jawa Timur sekitar 70.000-80.000. Walaupun peristiwa konflik utamanya berlangsung

    sekitar 2 minggu, akibat konflik demikian besar dan hingga sekarang sebagian besar pengungsi

    di Madura masih belum mendapatkan tempat tinggal tetap. Sebelum konflik Febuari 2001

    sebenarnya telah terjadi konflik Dayak-Madura dalam skala yang kecil. Catatan yang ada

    menunjukan terdapat sekitar 12 peristiwa konflik sejak sekitar 1982, yang melibatkan

    pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan. Namun sebagian besar peristiwa konflik

    sebelumnya ini tidak terselesaikan secara tuntassehingga peristiwa-peristiwa ini dapat

    dikatakan turut mendorong peristiwa konflik 2001.

  • Konflik 2001 bermula dari pembunuhan seorang putra tokoh ingformal Dayak,

    Sendung, di Kereng Pangi pada 16 Desember, 2000. Karena pembunuhan ini warga Dayak

    menyerang warga Madura sambil mencari pembunuh Sendung yang belum tertangkap. Sejak

    peristiwa ini terjadi eskalasi ketegangan antara Madura dan Dayak, terutama sejak meledaknya

    bom di rumah salah seorang warga Madura di Sampit. Warga Dayak beranggapan warga

    Madura menyimpan bom untuk bersiap perang. Kemudian peristiwa konflik besar merebak

    pada 17 Febuari 2001, ketika sejumlah orang (dicurigai orang Dayak) menyerang rumah

    seorang warga Madura 6 warga Madura terbunuh karena mencurigai pembunuh Sendung

    bersembunyi di rumah tersebut. Karena sebab ini warga Madura kemudian mencari kelompok

    penyerang di Baamang, Sampit, dan kemudian membakar sebuah rumah dan selanjutnya

    berkeliling kota mencari warga Dayak yang terlibat. Hingga waktu tersebut warga Madura

    mampu ―menguasai‖ Sampit.14

    Setelah peristiwa ini kemudian konflik tidak terelakan lagi, terutama setelah para

    ―warior‖ Dayak dari pedesaan (pedalaman) masuk ke kota Sampit pada 19 Februari. Pada 20

    Febuari 2001, Sampit sepenuhnya berada dalam kontrol Dayak dan pembantaian terhadap

    Madura mulai berlangsung. Menghindari pengejaran Dayak, warga Madura kemudian

    mengungsi ke rumah Bupati, dan kemudian dipindahkan ke kantor Bupati. Dengan inisiatif

    pejabat setempat guna menghindari pembantaian lebih banyak lagi, pemindahan pengungsi dari

    Sampit ke Surabaya dan Madura kemudian berlangsung hingga mencapai angka sekitar 70.000

    – 80.000 orang.

    Banyak analisis mengetengahkan bahwa terdapat sejumlah sebab yang mendorong

    terjadinya konflik, antara lain proses marginalisasi ekonomi dan politik penduduk asli (Dayak)

    oleh pemerintahan Orde Baru yang mengentalkan sentimen lokal. Program transmigrasi,

    eksploitasi sumber alam (utamanya hutan), hilangnya peran lembaga adat seperti Demang

    14

    Hasil wawancara Mardyanto (suku Dayak asli) 8 Januari 2015-Palangkaraya,Kalteng

  • karena UU No. 5/1974, desentralisasi (UU 22/1999) sehingga menghasilkan lokal-sentrisme,

    serta konflik elit lokal untuk memperebutkan posisi politik dan birokrasi, tidak dapat disangkal

    kesemuanya mendorong situasi ―kerentanan‖ dan tensi bagi konflik. Faktor-faktor ini dapat

    dikelompokan sebagai ―necessary condition‖ yang turut mendorong situasi terciptanya konflik.

    Namun ada juga beberapa pihak yang menolak jika sebab lansung konflik adalah marginalisasi

    ekonomi penduduk asli, terutama jika dikaitkan dengan ketimpangan dengan Madura. Sebab

    langsung yang lebih mereka rasakan adalah benturan budaya antara Madura dan Dayak yang

    sangat berbeda, manajemen konflik dari aparat yang lemah terutama prevensinya, migrasi

    Madura yang sangat besar terutama pada tahun-tahun terakhir, serta peristiwa-peristiwa konflik

    sebelumnya yang tidak terselesaikan (law enforcement lemah). Dari hasil ini, dapat dikatakan

    bahwa peritiwa konflik etnik di Kalteng merupakan akibat dari sejumlah faktor sebab, baik

    yang tidak langsung maupun langsung.

    Indikator ekonomi regional di kalteng, seperti HDI dan HPI menunjukan bahwa kondisi

    perbaikan ekonomi terjadi secara kontinum antara sebelum hingga setelah konflik. Hasil studi

    lapangan melalui survei pendapat subyektif responsen menunjukan bahwa dilihat dari

    pendapatan, kondisi ekonomi dan peluang kerja, keadaan setelah konflik lebih baik dari

    sebelum konflik.

    Keadaan ekonomi terganggu terutama pada sekitar 6 bulan pertama setelah konflik,

    yakni suplai barang berkurang serta banyak sector ekonomi yang ditinggalkan oleh warga

    Madura, namun hal ini segera dapat diatasi oleh penduduk setempat. Temuan ini menunjukan

    dampak ekonomi terhadap wilayah Kalteng terlihat hanya temporer. Namun penyebab tidak

    hanya bermula dari masalah ekonomi saja, beberapa narasumber juga mengatakan bahwa ada

    perselisihan yang terjadi mengenai hak tanah dan masalah sumber daya alam (SDA).

    Pada tahun 1970 an seiring dengan pembukaan hutan dan pembuatan jaringan jalan,

    yang disertai dengan ketimpangan distribusi pendapatan dan kerusakan dan perusakan

  • lingkungan secara masif. Penyeragaman kampung menjadi desa bercorak Jawa juga berperan

    dalam pengikisan alas bangunan sosial dan ekonomi setempat. Posisi Kepala Adat

    (timanggong), misalnya, lebih banyak ditentukan, atau diangkat oleh Pemerintah, sehingga ia

    kerap serba salah dalam menengahi silang sengketa tanah adat atau tanah kebun setempat,

    termasuk pranata-pranata asli dalam penyelesaian sengketa. Sementara itu, di pedalaman,

    kebun-hutan, hutan karet, dan tanah-tanah keramat kelompok Dayak Kanayatn banyak yang

    telah beralih fungsi menjadi kawasan pengusahaan hutan (HPH), HTI-Transmigrasi, dan

    belakangan ini, menjadi kebun kelapa sawit berskala besar. Kemudian dari sector transportasi,

    jasa tenaga kerja, dan pembuatan jalan yang dapat menggantikan keterpurukan pendapatan

    rumah tangga pun telah dikuasai oleh migran Madura pasca 1990-an. Sayangnya, penguasaan

    sektor-sektor itu banyak yang disertai dengan praktik main kayu, premanisme, dan patronase.

    Maraknya premanisme dalam pendominasian sektor ekonomi dan perusakan lingkungan itu

    bertemali pula dengan corak penguasaan dan pengurasan sumber daya alam (SDA) secara rakus

    yang dibangun oleh rezim Orba. Repotnya, dalam sejumlah kasus, para individu pendukung

    praktik premanisme itu berasal dari kelompok Madura yang masuk pada tahun 1990 an.

    Perseteruan antara kedua etnis ini semakin memanas , didukung lagi masyarakat yang

    semakin teradu oleh karena situasi pada saat ini yang memaksa mereka untuk slaing membela

    kelompok etnis mereka masing-masing. Selain alasan yang telah dipaparkan diatas dengan

    penyebab mengapa konflik ini terjadi, ada hal yang membuat etnis Dayak semakin memuncak

    rasa emosionalnya kepada etnis Madura bahwa kota Kalimantan, khususnya Kalimantan

    Tengah akan dijadikan kota ―Sampang‖ kedua. Dan ini membuat masyarakat Dayak begitu

    geram dan meresponi isu tersebut dengan menyapu bersih etnis Madura dari tanah

    Kalimantan.15

    15

    Hasil wawancara Yudea (suku Dayak asli) 8 Januari 2015 Palangkaraya, Kalteng

  • B.2. OKNUM MASYARAKAT YANG TERLIBAT KONFLIK ANTARA ETNIS

    MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI PALANGKARAYA KALIMANTAN

    TENGAH

    Peristiwa konflik masal dengan kekerasan yang terjadi di Kalbar dan Kalteng serta

    melibatkan etnik Madura, Dayak dan Melayu merupakan peristiwa konflik yang telah terjadi

    berulang kali sejak pertengahan tahun 1990an hingga awal 2000. Konflik yang dialami oleh

    para pengungsi pada dasarnya telah memiliki rantai sejarah yang relatif panjang. Pelluso &

    Harwell (2001) serta Davidson & Kammen (2002) memberikan sejumlah catatan penting

    tentang latar belakang dari konflik tersebut. Mereka melihat bahwa konflik yang terjadi antara

    etnik Madura dengan etnik Dayak (Kalteng) maupun etnik Melayu (Kalbar) pada dasarnya

    merupakan konsekuensi dari sejarah panjang dari konflik kekerasan lokal di Kalimantan dan

    politik kebudayaan yang melahirkan identitas kekerasan, selain juga adanya perasaan

    tersingkirnya etnik Dayak dari keuntungan-keuntungan ekonomi 
 politik yang dihasilkan

    melalui pembangunan terhadap sumber-sumber 
 daya lokal. Ini disebabkan oleh kondisi

    komunitas lokal yang juga miskin sementara mereka melihat bahwa pengungsi pada dasarnya

    berasal dari kelas sosial yang relatif lebih baik dibanding dengan mereka. Dalam hubungan

    sosial, awalnya terjadi kesenjangan antara komunitas lokal Madura dan pengungsi yang

    disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya yang terbentuk melalui lokasi tempat tinggal

    yang berbeda. Kehadiran pengungsi dalam keluarga-keluarga penampung menimbulkan beban

    sosial sehingga kerap melahirkan konflik.

    Berbicara tentang siapakah oknum yang terlibat dalam konflik antara etnis Madura dan

    Dayak ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat Dayak yang ada di Palangkaraya dan juga para

    pendatang yakni orang Madura adalah oknum utama yang terlibat dalam pertikaian ini.

    Pecahnya konflik etnis yang ganas di Kalimantan Tengah pada bulan Februari tahun 2001 hanya

    dapat dipahami dengan latarbelakang perasaan dislokasi, dirampas dan disisihkan yang sangat

  • mendalam yang dialami masyarakat Dayak di propinsi itu.

    Para sosiolog daerah Palangkaraya juga berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik

    yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang akarnya adalah perebutan atas

    sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power) yang jumlah

    ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.

    Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai

    bentuk ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk

    mendapatkannya bagi yang problem aset sosialnya relatif sedikit.16 Sementara pihak tertentu

    berjuang untuk mendapatkan pembagian aset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan

    atau menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya

    disebut sebagai status need.

    B.3. DAMPAK KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI

    PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

    Indikator ekonomi regional di kalteng, seperti HDI dan HPI menunjukan bahwa kondisi

    perbaikan ekonomi terjadi secara kontinum antara sebelum hingga setelah konflik. Dampak

    konflik etnik di Kalimantan Tengah sangat dirasakan justru bukan di wilayah Kalimantan

    Tengah saja dampak yang lebih signifikan justru akan terlihat di Madura (lihat laporan

    Madura). Dengan jumlah pengungsi sekitar 70.000 – 80.000 (jumlah pasti tidak tercatat), maka

    Kabupaten Bangkalan dan Sampang tempat asal migran Madura di Kalimantan Tengah sangat

    terbebani. Sebagian besar pengungsi sudah tidak memiliki rumah lagi di Madura, atau tidak

    memiliki kerabat dekat di Madura, dan mereka merupakan kelompok yang paling terpukul oleh

    konflik ini. Oleh sebab itu kelompok ini berupaya sebisanya untuk dapat kembali ke

    16

    Ibid

  • Kalimantan Tengah. Lebih parah lagi, di Madura pun para pengungsi menjadi lahan eksploitasi

    oknum dan mereka yang terlibat menangani pengungsi.

    Dampak lain yang penting adalah pada relasi sosial di Kalimantan Tengah, yakni

    segregasi sosial antara warga Madura dan non-Madura, yang setelah konflik terlihat semakin

    lebar. Warga non-Madura (Dayak dan lainnya) cenderung menyalahkan perilaku Madura atas

    sebab terjadinya konflik. Oleh sebab itu, kembalinya Madura ke Kalteng dikuatirkan akan

    memicu konflik berikutnya, karena perilaku ini sangat melekat dengan kultur Madura. Selain

    itu, terhadap dinamika politik lokal kiranya terjadi secara tidak langsung. Setelah konflik

    pemekaran beberapa kabupaten dilakukan dan ini agaknya dapat mengadopsi kompetisi dan

    kepentingan politik elit lokal sekaligus menurunkan tensi konflik. Kehadiran warga Madura

    mungkin saja tidak terkait langsung dengan kompetisi politik lokal, namun dapat menjadi

    obyek dan korban dari kompetisi tersebut.

    Konflik yang terjadi tahun 1990 an ini sampai berkelanjutan pada tahun 2001 memang

    mendatangkan dampak yang sangat serius. Orang Dayak pun menyadari bahwa konflik dan

    perlawanan yang mereka lakukan terhadap orang-orang Madura juga berdampak parah pada

    etnisnya sendiri yakni orang dayak khususnya yang berada di Palangkaraya Kalimantan

    Tengah. Rusaknya beberapa asset-aset yang dimiliki orang dayak juga dirasakan pada saat itu,

    alat-alat transprotasi yang dipenuhi ribuan kepala, bahkan tak jarang tempat tinggal pun masih

    berbau anyir oleh karen akonflik yang melanda kedua etnis ini. Pemerintah juga mersakan

    dampak yang sama, ketika lapisan-lapisan legislatif yang ada juga ada yang anggota

    keluarganya menjadi korban bahkan menjadi oknum dari konflik besar tersebut. Lumpuhnya

    pemerintahan dan fasilitas masyarakat pada saat itu menjadi bagian dari dampak konflik antara

    etnis Madura dan Dayak.

  • C. DAMPAK PASCA KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK DI

    PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

    Setiap masyarakat social dalam hubungannya bersosialisasi antar individu yang lain ,

    agama yang lain dan etnis yang lain memang diakui memiliki problemnya masing-masing.

    Dalam arti ketika masyarkat itu sendiri tinggal dalam suatu dan satu lingkungan yang sama

    namun berbeda etnis, disinilah letak terjadinya problem yang disebabkan oleh perbedaan adat

    atau kebiasaan dari tiap budaya (etnis). Tidak semua suku atau budaya mampu langsung

    dengan cepat beradaptasi dengna budaya yang lain dalam tempat yang sama, pasti terjadi

    pergeseran, dan bilamana pergeseran tersebut ters-menerus dijumpai dalam keseharian, maka

    akan terjadi konflik yang sangat hebat diantara keduanya. Saling adu dan saling bunuh-

    membunuh menjadi salah satu bagian yang tidak terhelakan lagi di antara kedua etnis ini. Tidak

    sedikit korban yang berjatuhan karena konflik ini, banyak bangunan dan tempat ibadah yang

    tidak luput dari amukan kedua etnis ini.

    Tidak hanya masyarakat saja yang merasakan bagaimana efek dari konflik hebat ini,

    segala aspek , lingkungan, bahkan pemerintah setempat pun merasakan efek dari konflik kedua

    etnis ini. Pada dasarnya sebuah konflik yang terjadi dalam suatu lingkungan pasti akan

    berdampak juga pada individunya, entah pada pelaku konflik atau bukan. Dalam konflik di

    Kalimantan Tengah ini anatara etnis Madura dan dayak yang berseteru, dampak melanda ke

    berbagai aspek dan bidang. Dampak yang pertama dialami oleh masyarakat yang terlibat dan

    menjadi korban konflik adalah dampak pada psikis mereka. Ada perasaan dimana mereka sulit

    menerima satu sama lain, perasaan trauma akan kejadian-kejadian yang telah terjadi, mereka

    tidak hanya merasakan kekerasan secara fisik saja akan tetapi mereka mengalami kekerasan

  • secara batiniah.

    Hubungan persaudaraan antara satu dengan lain rusak oleh karena konflik ini, suku

    Dayak asli yang berada di Palangkaraya pun mengakui bahwa banyak orang-orang mereka

    yang mengalami keadaan psikis yang kurang baik karena konflik sengit ini. Mengapa sampai

    berdampak kepada psikis? Konflik antar dua etnis ini juga menghilangkan sanak keluarga yang

    mereka miliki, banyak korban yang merasa terpukul bukan karena mereka kehilangan tempat

    tinggal saja karena mereka kehilangan anak, suami, istri dan anggota keluarga lainnya yang

    turut menjadi korban dalam konflik di Palangkaraya.17

    setelah konflik ini surut sekitar tahun

    2002, masyarakat Dayak masih belum semua melakukan aktivitasnya dalam bertani atau

    bekerja dagang, dan orang Madura masih ada yang tetap tinggal dan berdagang di Palangkaraya

    pada saat itu dan ada juga yang memilih untuk kembali ke kampung asalnya. Setelah konflik

    besar-besaran ini terjadi pada tahun 2001, kondisi lingkungan dalam masyarakat Dayak tidak

    langsung pulih seketika , karena konflik pada tahun 1990 an sampai 2001 ini cukup

    meruntuhkan hal-hal dan fasilitas yang penting baik masyarakat sendiri maupun pemerintahan.

    Sehingga tidak jarang kalau pasca konflik ini orang Dayak masih merasa membutuhkan

    pemulihan yang cukup panajang walaupun perdamaian pun telah di lakukan dari kedua pihak

    yang berkonflik.

    C.1. DAMPAK PASCA KONFLIK BAGI AGAMA DAN BUDAYA

    Orang Dayak telah lama memendam kekesalan terhadap sikap golongan etnis lain yang

    cenderung meremehkan orang Dayak sebagai bangsa yang ‗tidak berbudaya‘ dan ‗tidak beradab‘.

    Orang Dayak secara khusus dibuat marah oleh anggapan umum bahwa kebiasaan orang Dayak

    bercocok tanam dengan berpindah lahan selama beberapa abad lalu telah menimbulkan

    17

    Hasil wawancara Zainal Pele (suku Dayak asli) 12 Januari 2015

  • kerusakan pada lingkungan hidup, sementara hasil karya perusahaan penebangan kayu dipandang

    sebagai kontribusi bagi pembangunan nasional.

    Orang Dayak merasa terhina pula oleh perlakuan terhadap agama Dayak dimasa Orde

    Baru. Meski pada saat ini kebanyakan orang Dayak beragama Islam atau Kristen, agama

    tradisional dari suku Ngaju yang merupakan golongan dominan Kaharingan masih dihormati,

    bahkan orang Dayak sendiri mengatakan bahwa orang Dayak yang Muslim dan Kristen tetap

    dipengaruhi kebudayaan yang berhubungan dengan Kaharingan.18

    Pada saat berlangsungnya

    konflik ada beberapa kelompok yang sempat berasumsi bahwa konflik etnis Madura dan Dayak

    ini dipicu oleh karena alasan agama, karena orang Madura banyak memeluk agama Islam

    sedangkan orang Dayak memeluk agama Kristen-Kaharingan. Dampak pada agama antar kedua

    etnis ini pasca konflik dapat dikatakan tidak cukup rukun, karen sempat tersebar isu pemicu

    konflik besar ini adalah agama. Kesimpang siuran isu tersebutlah yang berdampak pada

    kesenjangan hubungan dalam agama.

    C.2. DAMPAK PASCA KONFLIK BAGI SOSIAL POLITIK DAN EKONOMI

    Kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Nusantara telah

    menjalin hubungan dagang dengan berbagai bangsa di dunia sejak zaman dahulu kala. Dengan

    hubungan dagang yang telah berlangsung selama ratusan tahun itu, interseksi di Indonesia juga

    telah berlangsung selama ratusan tahun pula. Interseksi tersebut berjalan sedemikian rupa dan

    meliputi unsur-unsur bidang agama, kebudayaan, dan juga ekonomi.

    Pengalaman masyarakat Dayak selama duapuluh atau tigapuluh tahun terakhir telah

    menyediakan banyak alasan bagi keluhan mereka. Orang Dayak memang layak beranggapan

    bahwa kepentingan mereka telah diabaikan oleh pemerintah pusat yang memperlakukan

    sumber daya Kalimantan Tengah lebih sebagai sumber kekayaan bagi golongan elit di Jakarta

    18

    Ibid

  • ketimbang peluang untuk memperbaiki kehidupan masyarakat mayoritas di propinsi itu.

    Sesungguhnya tidak sulit memahami keberangan orang Dayak yang ditujukan kepada

    pemerintah nasional berikut wakil mereka di propinsi, kepentingan usaha besar yang telah

    menguasai industri penebangan kayu dan perkebunan. Memang banyak orang Madura yang

    berpindah ke kegiatan di kota dan cukup berhasil, akan tetapi orang Madura masih jauh dari

    penguasaan ekonomi Kalimantan Tengah. Orang Madura menonjol dalam sektor perdagangan

    eceran, pasar lokal, dan angkutan namun bidang-bidang tersebut tidak merupakan kegiatan

    puncak perdagangan propinsi. Orang Madura memang sangat menonjol dalam kegiatan

    perdagangan di Sampit yang merupakan tempat dimulainya pembantaian, tetapi orang Dayak

    sendiri menyangkal bahwa motivasi mereka berdasarkan pertimbangan ekonomi, dan dalam

    konflik tersebut memang terjadi kesenjangan social ekonomi.19

    Pasca konflik etnis Madura dan

    Dayak keadaan social ekonomi dapat dikatakan dalam proses yang rusak secara system, karena

    kehadiran pendatang seperti Jawa dan Madura cukup membantu keadaan perekonomian di

    Kalimantan Tengah pada saat itu, akan tetapi setelah konflik berakhir ekonomi surut karena

    orang Madura mengalami rasa jera mendalam oleh karena masalah tanah yang mereka sewa

    sebagai lahan bekerja mereka. Memang harus diakui akan keahlian orang Madura dalam

    berdagang, sehing sejak kedatangan Madura ke daerah Kalimantan khususnya Palangkaraya,

    kota ini maju pesat dalam hal ekonomi. Namun, sejak konflik kondisi ekonomi terganggu, dan

    pemerintah lambat dalam rekontruksi social ekonomi pasca konflik ini.20

    Dampak yang begitu kentara dari pasca konflik ini memang terlihat dari segi social

    ekonomi. Akan tetap orang Dayak pun berjuang untuk dapat memulihkan kestabilan ekonomi

    agar supaya kota tidak lumpuh secara financial. Pasca konflik berakhir masih ditemukan orang

    Madura yang tetap melanjutkan aktivitas kerjanya sebagai seorang pedagang yang meminjam

    19

    Kekerasan Etnis di Indonesia : Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG (International Crisis Group) Asia N°19, 27 June 2001 (Diktat)

    20 Hasil wawancara Antonius Aluy (Ketua kelompok) 12 Januari 2015

  • atau mungkin bahkan membeli lahan atau tanah milik orang Dayak.

    C.3. HUBUNGAN PASCA KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK

    TAHUN 2001 DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

    Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak

    merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat

    tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.

    Salah satu pemicu utama dalam sebuah konflik adalah salah paham. Salah paham merupakan

    salah satu hal yang menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan baik

    tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain. Dalam setiap individu yang hidup dalam

    kondisi bersosialisasi tentu ada banyak perbedaan yang didapati,. Karena pada hakikinya Setiap

    manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan

    yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal

    atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam

    menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

    Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang

    berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok

    memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang

    sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan

    dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan

    budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh

    ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka

    untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan

    kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi

    pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini

    jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya

  • sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan

    kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, social, dan budaya.21

    Sistem Sosial diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur- unsur sosial yang

    berkaitan dan berhubungan satu sama lain serta saling pengaruh-mempengaruhi. Hubungan

    saling mempengaruhi dalam ilmu sosiologi diperankan atau dijalankan oleh masyarakat. Peran

    tersebut dalam penelitian dijalankan oleh etnik Dayak dan Madura. Secara sederhana konsepsi

    konflik terjadi karena masalah kepaduan (integrasi), stabilitas dan keteraturan sosial. 22

    Dari penjelasan diatas akan menghubungan kita dengan konflik yang terjadi di

    Kalimantan Tengah antara etnis Madura dan Dayak pada tahun 2001 silam. Dan saat ini penulis

    akan memaparkan tentang bagaimana hubungan pasca konflik antara etnis Madura dan Dayak

    di Palangkaraya-Kalimantan Tengah. Hasil dari wawancara dan penelitian lapangan, saat ini

    etnis Madura yang masih tinggal di kota Palangkaraya memang tidak sebanyak pada tahun

    1990 an, semenjak konflik berakhir sebagian orang Madura ada yang memilih untuk pulang ke

    kampung halaman ada juga yang memilih untuk menetap di Palangkaraya dengan alasan masih

    ingin mengadu nasib dan mengembangkan hidup di tempat rantau.

    Kondisi kota secara umum dapat dikatakan sudah mulai kondusif pada sekitar tahun

    2002, dan sampai saat ini setelah konflik benar-benar usai kedua etnis ini Madura dan dayak

    dapat hidup berdampingan, walaupun jumlah populasi orang Madura tidak sebanyak pada

    waktu tahun 1990 an. Orang Madura berpopulasi banyak dapat ditemukan di Kalimantan Barat

    ,Pontianak. Disana orang Madura tergolong banyak yang menetap. Tidak menutup

    kemungkinan bahwa konflik yang terjadi besar-besaran ini mampu memberikan perubahan

    yang positif dari kedua etnis ini. Khususnya dalam hal ini bagi orang Dayak sendiri, konflik

    yang telah menjatuhkan ratusan korban jiwa itu justru memberi dampak yang baik yakni rasa

    21

    Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

    22 Soleman B Taneko. Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta : Fajar Agung, 1986)

  • solidaritas yang tinggi justru dapat tercipta dengan adanya konflik tersebut.

    Hubungan pasca konflik antara etnis Madura dan Dayak saat ini dapat dikatakan sangat

    baik, melihat dari kondisi kota Palangkaraya saat ini yang nyaman dan tergolong majemuk

    dalam artian tidak hanya orang asli Dayak saja yang tinggal disana namun, orang Jawa juga ada

    yang berdomisili di Palangkaraya. Bagi orang Madura, seusai konflik berakhir mereka ada yang

    memilih untuk menetap di Kalimantan ada juga yang pulang ke daerah asal mereka. Namun,

    orang Madura di Palangkaraya saat ini tergolong tidak ada yang menetap, hanya ada di

    Pontianak, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Salah satu pengakuan orang Madura yang

    merasakan konflik pada tahun 2001 silam itu, bahwa ia dan keluarga memilih untuk pindah dan

    menetap di Kalimantan Timur dan mencari pekerjaan di kota tersebut. Bukan karena alasan

    trauma konflik yang menjadi penyebab kepindahan orang Madura, akan tetapi mereka ingin

    mencari pengalaman berdagang dan pekerjaan di kota lain.23

    Konflik antara Madura dan Dayak ini memang banyak meninggalkan hal yang mungkin

    buruk dan menyakitkan bagi kedua belah pihak, akan tetapi hubungan kedua suku tersebut saat

    ini dapat dikatakan baik. Khususnya bagi masyarakat Dayak sendiri, konflik yang telah terjadi

    merupakan pengalaman dan bahkan sejarah yang begitu berharga, yang memberi banyak pesan

    bagi orang Dayak sendiri, bahwa dalam hidup bersosialisasi dibutuhkan rasa solidaritas yang

    baik kepada sesama masyarakat, yang hidup berdampingan dengan kita. Saat ini orang Madura

    yang masih ada di Pulau Kalimantan berusaha untuk bisa menciptakan kenyamanan dalam

    bermasyarakat, walaupun di Palangkaraya sendiri orang Madura saat ini tergolong tidak

    sebanyak tahun-tahun kemarin.

    D. ADANYA KESEPAKATAN DAN NORMA BARU PASCA KONFLIK ANTARA

    ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI PALANGKARAYA

    23

    Hasil wawancara Paerah (suku Madura asli) 16 Januari 2015

  • KALIMANTAN TENGAH

    Usaha demi usaha dilakukan agar supaya etnis Madura dan Dayak dapat kembali hidup

    dengan tentram, dalam satu lingkungan social. Suatu perbedaan social memang akan menjadi

    bagian dari suatu masyarakat yang plural karena kita tidak mungkin acuh tak acuh dengan

    lingkungan sesama kita. Perbedaan akan ditemui akan tetapi bagaimana supaya balance maka

    harus ada rasa solidaritas agar supaya meminimalisir gesekan antar budaya, agama, suku yang

    ada. Konflik akbar yang terjadi sekitar tahun 1990 an ini sangat menorahkan kepiluan yang

    dalam tidak hanya bagi orang Dayak sendiri dikota mereka , akan tetapi orang Madura pun

    merasakan hal yang sama, kedua nya sama-sama kehilangan secara holistic.

    Pemerintah kota Palangkaraya pun mengingingkan terjadi suatu perdamaian untuk

    mengakhiri konflik tersebut, didukung dengan orang Dayak yang ingin agar kota mereka tidak

    lagi dihiasi darah dimana-mana, mereka ingin tentram dan keadaan secara keseluruhan dapat

    berlangsung baik seperti sedia kala. Keinginan perdamaian ini juga ternyata disambut baik oleh

    tokoh-tokoh adat pada saat itu dengan tujuan agar kota Palangkaraya khususnya ,tidak lagi

    dianggap sebagai kota konflik. Tingginya keinginan untuk berdamai membuat pemerintah kota

    Kalimantan Tengah Palangkaraya semakin terdorong utuk menstabilkan kotanya yang sempat

    porak poranda.

    Namun menurut sumber yang berhasil diwawancarai Kenyataan yang ada kini di

    Kalimantan Tengah adalah tidak lagi ada konflik antara orang Dayak dan orang Madura , kecuali

    di Pangkalanbun, tidak lagi tersisa banyak orang Madura di propinsi ini. Tentunya mungkin saja

    minoritas etnis lainnya dapat menjadi korban pengganti berikutnya apabila keluhan yang

    terpendam lama oleh orang Dayak tidak ditanggapi. Namun kejadian belum lama ini di

    Kalimantan Tengah maupun Barat menunjukkan bahwa titik gesek yang utama adalah hubungan

  • Dayak-Madura. Tidak ada indikasi yang kuat mengenai kemungkinan pembersihan terhadap

    masyarakat minoritas lainnya.24

    Dalam menangani kasus konflik ini tentu timbul norma yang baru dan kesepakatan dalam

    masyarakat. Norma lama yang sudah ada dalam masyarakat kemudian diperbaharui dan

    dilengkapi kembali dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Oleh sebab itu, respons warga

    Dayak selanjutnya adalah menetapkan beberapa Perda kependudukan berkaitan dengan

    pengembalian pengungsi Madura dan revitalisasi adat Dayak (Demang), baik Perda tingkat

    propinsi maupun kabupaten. Beberapa pokok penting dalam Perda ini adalah, hanya warga

    Madura yang ―baik‖, telah tinggal cukup lama di Kalimantan Tengah serta memiliki pekerjaan

    dan tempat tinggal yang diperbolehkan kembali ke Kalimantan Tengah. Fungsi revitalisasi adat

    adalah agar permasalahan (konflik) pada tingkat komunitas (kecamatan) dapat diselesaikan

    secara cepat melalui adat lokal, seperti upacara dan denda adat terhadap yang bersalah, selain

    penyelesaian secara hukum formal.25

    Tidak hanya kesepakatan itu saja yang digelar bagi kedua

    etnis, akan tetapi perda mengenai pemakaian tanah juga dibicarakan, agar supaya ada kejelasan

    bagi siapa yang memakai tanah tersebut dan siapa juga yang meminjam.

    D.1 UPAYA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT PASCA KONFLIK

    Orang Dayak secara luas percaya bahwa pemerintah dan polisi tidak bertindak tegas

    terhadap anggota golongan etnis lain yang melakukan kejahatan terhadap orang Dayak. Bahkan

    tampaknya yang memungkinkan terjadinya serangkaian kejadian yang berakhir dengan

    pembantaian pada bulan Februari dan Maret 2001 adalah kegagalan pemerintah dan polisi untuk

    menangkap orang Madura pelaku pembunuhan terhadap seorang Dayak di Kereng Pangi pada

    bulan Desember 2001. Dan penryataan inilah yang sempat tersirat dalam pikiran masyarakat

    Dayak pada umumnya setelah konflik berakhir.26

    24

    Hasil wawancara Juan Fabyan (suku Dayak asli) 12 Januari 2015 25

    Diktat ―Etnik Konflik dan Perdamaian di Kalimantan Tengah” ditulis 2002

    26 Kekerasan Etnis di Indonesia : Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG (International Crisis Group) Asia N°19,

  • Namun setelah konflik ini berakhir pada awal tahun 2001, pemerintah pun menepis akan

    praduga tak bersalah itu, bahwa sesungguhnya tidak ada diskriminasi SARA dalam konflik

    tersebut. Pemerintah berupaya agar kedua etnis yang berkonflik dapat saling meredam emosi

    dengan baik dan lebih kepada saling menghargai dalam bermasyarakat. Pemerintah juga berusaha

    untuk melakukan pembinaan kepada kedua belah etnis tersebut dan mengarahkan kepada etnis

    yang bertikai agar supaya dapat berperilaku baik dalam kehidupan bernegara yang berwawasan

    kebangsaan. Pemerintah kota Palangkarya juga pasca konflik ini menghimbau untuk para tokoh-

    tokoh agama, dan budayawan agar mampu memabntu membimbing agar masyarakat Dayak tetap

    bisa menjaga daerah dan mempertahankan budaya yang ada tanpa harus terpemgaruh oleh isu-isu

    SARA atau provokasi lainnya yang dapat mengumpan terjadinya gesekan dalam lingkungan

    sosial.

    D.2 UPAYA PERDAMAIAN YANG DISEPAKATI PASCA KONFLIK ANTARA

    ETNIS MADURA DAN DAYAK

    Pendekatan yang standar digunakan oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik etnis

    adalah mensponsori kesepakatan perdamaian antara pemuka masyarakat yang mewakili pihak-

    pihak yang berperang. Pendekatan ini telah banyak dikecam karena hanya melibatkan para elit

    yang belum tentu dapat mempengaruhi pelaku konflik di lapangan. Beberapa pihak menyatakan

    bahwa pertemuan-pertemuan seperti itu tidak saja tak berguna bahkan menjadi kontraproduktif

    karena menimbulkan harapan yang tidak realistis yang kemudian disusul oleh kekecewaan. Di

    Kalimantan Tengah maupun Barat kesepakatan perdamaian setelah terjadi benturan setempat tidak

    berhasil mencegah pembantaian dan pembersihan etnis yang terjadi kemudian.

    Dalam hal pertemuan perdamaian yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret,

    masih terjadi saling tuduh menuduh dan tidak banyak kemajuan yang dicapai. Dilain pihak

    27 June 2001 (Diktat)

  • kesepakatan antar pemimpin paling tidak menciptakan suasana yang kondusif untuk memelihara

    perdamaian meski secara tersendiri tidak mampu menyelesaikan permasalahan mendasar yang

    menghalang terjadinya rekonsiliasi. Yang penting adalah bahwa kesepakatan perdamaian seperti

    itu seharusnya tidak berdiri sendiri melainkan harus diikuti oleh tindakan-tindakan yang kongkrit

    agar mendorong adanya saling percaya meski rekonsiliasi penuh belum bisa tercapai. Dalam

    menempuh langkah hukum menyusul kejadian kekerasan etnis belum lama berselang, pemerintah

    perlu mengimbangi penerapan hukum secara ketat dengan pendekatan yang lebih fleksibel yang

    bertujuan memelihara ketertiban sosial untuk saat ini dan mencapai rekonsiliasi dijangka panjang.

    Ketaatan penuh terhadap hukum formil dengan mudah dapat menyakiti perasaan orang Dayak

    sebagai korban ketidak adilan dalam artian yang lebih luas. Banyak orang Dayak yang tetap

    percaya bahwa orang Madura bertanggung jawab atas kerusuhan dan perlu ―diberi pelajaran‖.

    Kesalahan terbesar pada sebuah pembantaian tidak dapat diletakkan pada yang menjadi

    korban. Namun demikian, masyarakat minoritas di Kalimantan yang ada sejarah konflik dengan

    mayoritas etnis atau agama, sebaiknya menyesuaikan perilaku dan sikapnya terhadap mayoritas

    tersebut. Namun setelah konflik kedua etnis ini yakni Madura dan Dayak mengupayakan agar

    mampu menciptakan suasana yang nyaman. Sejak konflik pertama sampai dengan yang terakhir

    upaya memecahkan konflik selalu dilakukan dengan cara membuat perjanjian damai antar etnis

    yang bertikai. Begitu konflik pertama terjadi, penyelesaiannya segera dilakukan dengan cara

    membuat perjanjian damai. Begitu juga dengan konflik-konflik yang terjadi lagi pada waktu itu,

    mereka dianjurkan lagi untuk bisa berdamai dengan membuat perjanjian damai.

    Dapat dikatakan juga bahwa upaya perdamaian yang telah dilakukan oleh kedua etnis ini

    pasca konflik, dapat memulihkan lagi pembangunan dan pengembangan kota demi kebutuhan

    masyarakat. Dari hasil wawancara juga telah diungkapkan bahwa dalam usaha perdamaian

    tersebut warga Madura diminta untuk ―meminta maaf‖ atas sebab konflik dan mereka

    menerimanya.

  • Upaya perdamaian ini dilakukan bukan dengan alasan salah satu pihak yang berkonflik

    ini merasa kalah, akan tetapi besarnya dampak konflik yang dialami kedua suku ini

    membuktikan bahwa konflik yang berkepanjangan akan membuahkan hasil yang buruk bagi

    kelangsungan hidup di masing-masing kelompok suku mereka. Selain suku Madura yang

    diharuskan untuk meminta maaf, ada peran penting dari pihak agama atau tokoh-tokoh agama

    yang mendukung perdamaian ini. Agama dalam hal ini sangat berperan penting dalam

    melakukan kesepakatan ini, walaupun konflik ini bukan dilatar belakangi agama, akan tetapi

    ada banyak fasilitas rumah ibadat yang tidak luput dari dampak konflik sehinnga agama disini

    juga harus mampu memerangi konflik dan menjadi penengah dalam perseteruan ini. Dalam hal

    ini peran agama sangat berperan , tidak hanya menengahi konflik yang terjadi akan tetapi juga

    mengumpulkan atau mempertemukan kedua suku ini agar bisa duduk bersama-sama untuk

    menyelesaikan masalah ini. Agama disini sangat berperan aktif juga masuk ke pemerintah

    agarmendorong pemerintah untuk sama-sama menemukan titik tengah bagi masyarakat Dayak

    dan Madura yang tengah berkonflik.

    Beberapa tokoh agama baik yang Muslim maupun Kristiani dan dari agama suku

    Kaharingan, mereka semua bersama-sama untuk menggalang perdamaian diantara suku

    Madura dan Dayak ini agar supaya perseteruan diantara mereka tidak berkepanjangan. Ada

    alasan yang penting mengapa agama dan para tokoh agama disini sangat berperan, itu

    dikarenakan bahwa sebuah konflik itu tidak hanya berdampak pada hubungan atau relasi saja,

    akan tetapi dampak pada agama adalah dampak yang nomor satu yang akan dialami keduanya.

    Kadangkala juga agama dapat dijadikan kambing hitam sebagai sumber mereka berkonflik,

    oleh karena itu disini para tokoh dari agama mana pun berkumpul dan berunding agar supaya

    kedua etnis ini mampu meredam konflik dengan jalan berdamai. Pentingnya peran agama disini

    menjadikan bahwa konflik ini dapat mendorong persatuan antar agama.