bab iii gkj margoyudan di surakarta 3.1 awal kisah dari

29
20 BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari Kampung Gilingan “Manggen ing kampung Gilingan, wonten dokter Landi ingkang pinter, grapyak, asih lan nresnani sesami.” 1 (Di kampung Gilingan ada seorang dokter Belanda yang amat pandai, peramah, pengasih, dan penyayang kepada sesama) Menurut Pdt. Dr. Wahyu Nugroho, S.Mi., MA, di kota Surakarta Dr. Schurer tinggal di kampung Gilingan. Sebagai catatan, kampung Gilinganyang sekarang secara administratif pemerintahan menjadi Kelurahan Gilingan masuk wilayah Kecamatan Banjarsari, merupakan kampung dengan aktifitas yang padat. Di sana, terdapat Terminal Induk Tirtonadi, Pasar Legi sebagai pusat distribusi hasil bumi, Stasiun Kereta Api Balapan, dan banyak sekolahan. Malahan, tidak jauh dari kampung Gilingan itulah sebenarnya agama Kristen mulai menyapa kota Surakarta. Sebab, dari situlah dalam perjalanan sejarah selanjutnya berdiri GKJ Margoyudan yang merupakan gereja tertua di Surakarta. Nama Gilingan berasal dari tempat penggilingan padi yang pada saat itu berada di wilayah tersebut, yang sekarang yaitu di sebelah barat ( RT 5 RW 9 ) dan timur ( RT 01 RW 13 ) utara palang perlintasan kereta api stasiun Balapan, sehingga akhirnya masyarakat lebih mengenal dengan sebutan “Gilingan”. 2 Kampung Gilingan tepatnya terletak disebelah utara Stasiun Balapan. Pada zaman penguasa Kadipaten Puro Mangkunegaran di bawah pemerintahan Mangkunegara I dan II masih berwujud sawah. Kemudian dibangun sebuah 1 Suwitadi Kusumo Dilogo, dkk, Satu Abad (100) GKJ Margoyudan Surakarta Meniti Zaman & Menatap Masa Depan, (Surakarta: Majelis GKJ Margoyudan Surakarta, 2016), 85-91. 2 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, tanggal 28 Maret 2018

Upload: others

Post on 01-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

20

BAB III

GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA

3.1 Awal Kisah dari Kampung Gilingan

“Manggen ing kampung Gilingan, wonten dokter Landi ingkang

pinter, grapyak, asih lan nresnani sesami.” 1

(Di kampung Gilingan ada seorang dokter Belanda yang amat pandai,

peramah, pengasih, dan penyayang kepada sesama)

Menurut Pdt. Dr. Wahyu Nugroho, S.Mi., MA, di kota Surakarta Dr.

Schurer tinggal di kampung Gilingan. Sebagai catatan, kampung Gilingan–yang

sekarang secara administratif pemerintahan menjadi Kelurahan Gilingan masuk

wilayah Kecamatan Banjarsari, merupakan kampung dengan aktifitas yang padat.

Di sana, terdapat Terminal Induk Tirtonadi, Pasar Legi sebagai pusat distribusi

hasil bumi, Stasiun Kereta Api Balapan, dan banyak sekolahan. Malahan, tidak

jauh dari kampung Gilingan itulah sebenarnya agama Kristen mulai menyapa kota

Surakarta. Sebab, dari situlah dalam perjalanan sejarah selanjutnya berdiri GKJ

Margoyudan yang merupakan gereja tertua di Surakarta. Nama Gilingan berasal

dari tempat penggilingan padi yang pada saat itu berada di wilayah tersebut, yang

sekarang yaitu di sebelah barat ( RT 5 – RW 9 ) dan timur ( RT 01 – RW 13 )

utara palang perlintasan kereta api stasiun Balapan, sehingga akhirnya masyarakat

lebih mengenal dengan sebutan “Gilingan”.2

Kampung Gilingan tepatnya terletak disebelah utara Stasiun Balapan. Pada

zaman penguasa Kadipaten Puro Mangkunegaran di bawah pemerintahan

Mangkunegara I dan II masih berwujud sawah. Kemudian dibangun sebuah

1 Suwitadi Kusumo Dilogo, dkk, Satu Abad (100) GKJ Margoyudan Surakarta Meniti

Zaman & Menatap Masa Depan, (Surakarta: Majelis GKJ Margoyudan Surakarta, 2016), 85-91. 2 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, tanggal 28 Maret 2018

Page 2: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

21

benteng di bawah pimpinan KPH. Nataningrat I ketika akan menangkap Putri

Serang. Setelah benteng itu tidak dipakai, selanjutnya digunakan sebagai pabrik

gula, dan akhirnya difungsikan sebagai tempat penggilingan padi.

Dalam kehidupan dan pelayanan Dr. Scheurer, di kampung Gilingan

itulah, beliau membuka praktik dokter dengan dibantu oleh istrinya, Pak Joram,

Sambijo Reksohusada – yang ketika itu masih berusia 17 tahun saat diajak pindah

dari Purworejo ke Surakarta, dan Pak Kalam Efrajim. Dalam melakukan

pelayanan kesehatan, rumah yang ditinggali Dr. Shceurer berfungsi juga sebagai

tempat praktek bahkan sebagai tempat rawat inap. Ruang tamunya dipergunakan

sebagai ruang tunggu pasien dan ruang makan difungsikan juga sebagai ruang

untuk memeriksa pasien sekaligus ruang operasi. Sedangkan meja makannya

dipakai sekaligus sebagai meja bedah. Pelayanan kesehatan bagi masyarakat

dikolabirasikan dengan pelayanan kerohanisia (PI), karenanya di sela-sela

mengobati pasien rawat inap, Dr. Scheurer membacakan Kitab Suci, disertai

keterangannya lalu ditutup dengan berdoa. Selain itu, setiap hari Minggu, Dr.

Scheurer mengadakan kumpulan layaknya sebuah Pokok-Pokok Ajaran (PPA)

karena dalam kumpulan itu Firman Tuhan juga didiskusikan. Guna kelancaran

pelayanan kesehatan dan penyebaran dan pelayanan Injil Tuhan, beliau

mempelajari budaya dan bahasa Jawa untuk bisa berkomunikasi dan membangun

hubungan yang baik dengan warga masyarakat yang dilayaninya.3

Dalam proses pelayanan kesehatan yang dikolaborasikan dengan kegiatan

PI ternyata diketahui oleh Residen Surakarta, W. De Vogel. Apalagi Susuhunan

3 Suwitadi Kusumo Dilogo, dkk, Satu Abad (100) GKJ Margoyudan Surakarta Meniti.,

85-91.

Page 3: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

22

PB X juga sempat mendengarnya. Sang Raja kemudian menulis surat untuk

Residen Surakarta yang intinya merasa keberatan adanya kegiatan PI di tengah-

tengah masyarakat Surakarta. Hasilnya, Residen menegur sekaligus melarang Dr.

Scheurer untuk melanjutkan kegiatan kumpulan hari Minggu, dan larangan untuk

membicarakan Tuhan Yesus Kristus dengan orang Surakarta yang telah beragama

Islam. Sekaligus juga diperintahkan untuk meninggalkan kota Surakarta. Perintah

tersebut dengan dalih bahwa izin masuk ke kota Surakarta bagi Dr. Scheurer

adalah hanya untuk membuka rumah sakit dan tidak untuk menyebarkan Injil.

Beliau sangat memahami “pengusiran” tersebut dan melaksanakan perintah itu

dengan meninggalkan kota Surakarta tahun 1896. Menjalani hukuman–perintah

meninggalkan Surakarta itu, akhir tahun 1896 beliau berpindah ke Purworejo,

daerah yang lagi dilanda bencana penyakit. J.P. Zuidema, direktur Sekolah Guru

Kristen (Keuchenius – School) memintah beliau untuk mengobati penyakit yang

para murid.4

Dalam catatan sejarah selanjutnya, berdasarkan tulisan ilmiah Haryo

Prabancono berjudul Pelayanan Kesehatan dan Misi Keagamaan Rumah Sakit

Zending Jebres Surakarta 1912-1942 ( Universitas Sebelas Maret Surakarta ), Dr.

Scheurer dan Dr. Van Andel, pernah melakukan kegiatan pekabaran Injil dan

layanan medis di Surakarta. Mereka mempunyai andil besar dalam pendirian

Rumah Sakit Zending di Surakarta.

Pada awal abad ke-20 setelah adanya politik etis, ada desakan kuat dari

masyarakat Surakarta yang menginginkan agar dibangun sebuah sekolah Kristen

4 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,

tanggal 26-28 Maret 2017.

Page 4: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

23

dan rumah sakit. Oleh karena itu, beberapa pendeta utusan Zending kemudian

meminta izin agar larangan pekabaran Injil dicabut, sehingga mereka bisa

mendirikan sekolah Kristen. Dengan semakin banyaknya masyarakat Surakarta

yang memeluk agama Kristen, akhirnya larangan pekabaran Injil di Surakarta

dicabut oleh Gubernur Jenderal Idenberg. Rumah Sakit Zending Jebres akhirnya

berhasil didirikan di distrik Jebres yang waktu itu berada di wilayah

Mangkunegaran.5

3. 2 Sejarah dan Proses Pertumbuhan Jemaat

Walaupun kepergian Dr. Scheurer ke Purworejo, membuat sebagian warga

kota Surakarta, khususnya di kampung Gilingan dan sekitarnya, merasa

kehilangan, namun benih PI di Gilingan ternyata mulai trubus atau tumbuh.

Kumpulan setiap hari Minggu yang sempat dilarang oleh Residen Surakarta pada

waktu itu, terus saja berlangsung di rumah Bapak Djajakadarma, di kampung

Ngemplak–yang jaraknya memang tidak jauh dari kampung Gilingan. Kebaktian

Minggu ketika ditinggalkan dr. Scheurer rata-rata berjumlah 20 orang. Pada tahun

1895 jumlah orang Kristen di Solo adalah 26 orang dan yang sudah bisa

mengikuti perjamuan Kudus adalah 19 orang.6

Karena semakin bertambahnya orang yang mengikuti acara kumpulan atau

kebaktian tiap hari Minggu tersebut, akibatnya rumah Bapak Djajakadarma tidak

muat lagi untuk menampungnya. Keadaan itu didengar oleh Tuan Stegerhoek

berkebangsaan Belanda yang memiliki usaha pertukangan di rumahnya di

kampung Margoyudan dan memerintahkan pegawainya (Iskak Karsa) untuk

5 Hasil wawancara dengan Pdt. Nike Lukitasari tanggal 20 Januari 2018.

6 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho tanggal 12 April 2018

Page 5: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

24

menemui Bapak Djajakadarma agar kegiatan kebaktian tiap hari Minggu

dipindahkan tempatnya ke rumah Tuan Stegerhoek. Sejak saat itulah, kegiatan

kebaktian atau kumpulan tiap hari Minggu berlokasi di rumah atau bengkel

pertukangan Tuan Stegerhoek. Stegerhoek memiliki kesadaran iman Kristen yang

tinggi, para karyawan di bengkelnya diperintahkan untuk menghadiri kumpulan

tiap Minggu. Beliau adalah putra menantu Pdt. Vermer di Purbalingga.7

Walaupun demikian, kegiatan kebaktian itu masih dilakukan secara

sembunyi-sembunyi sebab belum ada perintah resmi yang membolehkan adanya

aktivitas PI atau kebaktian di kota Surakarta. Sekitar antara tahun 1896 hingga

1900 para pemeluk agama Kristen memang harus bersembunyi dalam melakukan

aktivitas peribadatan. Rumah bengkel pertukangan Tuan Stegerhoek itulah yang

nantinya dalam perjalanan waktu menjadi lokasi GKJ Margoyudan.8

Sosok Bapak Iskak Karsa inilah yang dalam perjalanan PI di kota

Surakarta memegang peranan penting. Beliau sebenarnya merupakan kepanjangan

tangan dari Tuan Stegerhoek dalam menyebarkan Injil Tuhan di tanah Surakarta.

Dalam rentang waktu tiga tahun setelah ditinggal Dr. Scheurer kemudian

dilanjutkan oleh Bapak Djajakadarma meskipun hanya sebentar, kendali

kebaktian atau kumpulan hari minggu dipegang oleh Bapak Iskak Karsa.

Semangat Bapak Iskak Karsa untuk menyebarkan agama Kristen di kota Surakarta

memang hebat. Pelayanan kerohanian yang dilakukan Bapak Iskak Karsa tersebut

juga dibantu para kolportir dari Yogyakarta meskipun kedatangan mereka hanya

berkala, tiga atau empat bulan sekali. Para kolportir (colporteur) yang membantu

7 Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,

tanggal 26-28 Maret 2018. 8 Hasil wawancara dengan Yones Wahono dan Setya Mahanini tanggal 18 April 2018.

Page 6: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

25

melayani khotbah antara lain: Bapak Muso Joyosentono dan Bapak Dariyun,

dalam sela-sela aktivitasnya sebagai penjual buku keliling.9

Memang pada saat itu, usaha kegiatan PI tidak hanya dilakukan secara

verbal atau dengan cara kumpulan tetapi ada pula dalam bentuk tulisan atau buku-

buku Kristen dan pencetakan Kitab Suci. Biasanya buku-buku tersebut dijual

namun ada juga yang dibagikan secara gratis. Bapak Moesa Djajasentana dan

Bapak Darijoen adalah utusan dari Britischen Buitenlandsch Bijbelgenootschap –

yang salah satu kegiatannya mengembangkan Injil lewat buku-buku.

Selanjutnya, Bapak Iskak Karsa pun membuat jadwal kebaktian tidak

hanya pada hari Minggu di rumah Tuan Stegerhoek di Margoyudan saja,

melainkan mengadakan kegiatan yang senada di tempat-tempat lain di rumah para

jemaat. Salah satunya, kebaktian diadakan di rumah Tuan Kreeft di kampung

Slompretan. Slompretan merupakan kampung di dekat alun-alun Utara Keraton

Surakarta, tepatnya berada di sisi baratnya – yang sekarang menjadi Pasar Klewer.

Sudah pasti, karena kegiatan keagaman umat Kristen di wilayah Surakarta

masih dilarang oleh penguasa, baik dari Raja Keraton Kasunanan Surakarta

maupun pemerintahan kolonial Belanda, maka apa yang dilakukan oleh Bapak

Iskak Karsa praktis harus dengan cara sembunyi-sembunyi. Dalam proses

pelayanan itu, ada orang yang kemudian melaporkan kepada polisi Belanda.

Akibatnya, suatu malam ketika Bapak Iskak Karsa sedang memimpin kebaktian,

mendadak didatangi seorang schout Belanda dan beberapa agen polisi. Kontan,

9 Hasil wawancara dengan Suwitadi Kusumo Dilogo tanggal 10 April 2018. Muso dan

Dariyun adalah penjual buku keliling dari satu tempat ke tempat lain, yang sejak tahun 1897-1990

sering berkunjung ke Surakarta tidak hanya untuk menjual buku namun untuk membantu

pelayanan Injil.

Page 7: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

26

mereka semua terkejut dan segera meninggalkan tempat kebaktian. Sedangkan

yang tinggal hanya Bapak Iskak Karsa dan Bapak Djajakardama. Akhirnya Iskak

Karsa dijadikan “tahanan kota” oleh polisi Belanda, dan siap menunggu panggilan

untuk menghadap, namun panggilan menghadap ke kantor polisi itu tidak pernah

diterimanya10

Dalam proses selanjutnya, pada tahun 1899, Iskak Karsa pindah ke

Purworejo. Meskipun Iskak Karsa meninggalkan kota Surakarta dan beberepa

orang jemaat, rupanya justru kepergian beliau membangkitkan kembali semangat

iman orang-orang yang telah merasakan lezatnya beribadah dengan agama

Kristen. Mereka mengadakan kumpulan lagi masih dengan cara sembunyi-

sembunyi dipimpin oleh Bapak Nitiwilastra. Cuma, kepemimpinan Bapak

Nitiwilastra tidak berlangsung lama karena beliau sakit lalu menyatakan tidak

mampu lagi memimpin kumpulan atau kebaktian. Tugas itu kemudian dilanjutkan

oleh Bapak Jokanan yang datang dari Purbalingga. Tetapi beliau hanya sebentar

memimpin kumpulan. Pekerjaan itu pun ditangani kembali oleh Bapak

Djajakadarma yang sebenarnya beliau belum menerima sakramen baptis. Keadaan

itu terjadi karena yang punya wewenang melakukan sakramen baptis adalah

seorang pendeta. Padahal, ketika itu di kota Surakarta belum ada pendeta yang

secara resmi melakukan pelayanan.

Sejarah perkembangan selanjutnya adalah ketika Pdt. Dr. H.A. van Andel

tiba di Surakarta pada 1 Januari 1913, jumlah orang Kristen di kota itu sebanyak

74 orang warga dewasa (artinya mereka telah diperkenankan turut dalam

10

Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho tanggal 12 April 2018

Page 8: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

27

perjamuan kudus). Setelah dua tahun berjalan (1915), angka itu bertambah

menjadi 148 orang. Bahkan, masih di tahun yang sama sudah ada 11 orang yang

baptis dengan rincian 7 orang pribumi dan 4 Tionghoa. Dari anak-anak pun juga

sudah ada yang baptis, yakni: 7 orang anak orang Jawa dan 1 anak Tionghoa. Jadi

mereka yang sudah dibaptis pada tahun 1915 sebanyak 19 orang. Ditambah

dengan adanya 4 orang Kristen dari luar daerah yang pindah ke kota Surakarta,

maka sampai penghujung tahun 1915, jumlah orang Kristen yang aktif beribadah

di kumpulan atau kebaktian mencapai 171 orang, baik dari orang Jawa maupun

Tionghoa.11

Perkembangan itu menemukan momentumnya tanggal 13 April 1916,

diadakan pemilihan anggota majelis yang pertama, terdiri dari 4 orang tua-tua,

yaitu: Bapak Doetakarjana, Bapak Mangenhardja, bapak Bapak Prawirataruna,

dan Bapak Sie Siauw Tjong, serta 2 orang diaken, yakni: Bapak Herman

djajahoesada dan Bapak Iradikrama. Setelah diwartakan kepada jemaat, maka

pada hari Minggu, tanggal 30 April 1916 diresmikan terbentuknya Majelis serta

berdirinya Gereja Kristen Jawa Margoyudan.

.Di sisi lain, dari hari ke hari jumlah jemaat yang hadir dalam kebaktian di

GKJ Margoyudan semakin bertambah jumlahnya. Tren positif tersebut biasanya

mendorong Gereja-gereja Gereformeerd Belanda mengutus visitator kepada

jemaat-jemaat yang menjadi Pos PI atau kepada jemaat yang telah didewasakan.

Visitator yang datang ke Surakarta adalah Pdt. Dr. Brakker dan Pdt. B.J. Esser.

11

Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,

tanggal 26-28 Maret 2017; tambahan wawancara dengan: Suwitadi Kusumo Dilogo, , Nike

Likitasari Ariwidodo (tanggal 14 April 2018), Ayupnata tanggal 15 April 2018, Winantyo dan P.

Sularno tanggal 20 April 2018

Page 9: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

28

Kedua beliau itu kemudian membuat hasil visitasi sebagai berikut:

(1) Anggota Jemaat

Jemaat berjumlah 200 orang, di antaranya 148 orang adalah anggota

jemaat sidi. Jumlah ini tidak termasuk orang-orang Eropa yang ikut

beribadah di jemaat ini.

(2) Pelayanan Baptisan

Pada umumnya persyaratan untuk menerima baptis tergantung pada karunia

orang-orang yang mengajukan baptisan tersebut. Yang dimaksud dengan

karunia disini adalah kemampuan dalam memahami iman Kristen, yakni:

ada yang berdasarkan kepada pengetahuan Ringkasan Pengajaran Agama

Kristen, tetapi ada juga yang hanya cukup dengan doa, pengakuan iman,

dan Hukum Kasih.

(3) Katekisasi

Katekisasi umumnya dilalukan untuk mempersiapkan mereka yang akan

menerima baptis ataupun sidi, tetapi juga dilakukan katekisasi untuk

memperdalam penghayatan iman Kristen. Sedangkan bahan yang dipakai

dalam pengajaran Katekisasi ini adalah:

- Untuk anak-anak : Buku Cariyos 104, Ringkasan Pengajaran

Agama Kristenn dan Borsitus.

- Untuk dewasa : Selain tiga bahan di atas (untuk anak-anak),

juga digunakan 3 Kitab Perjanjian Lama, yakni: Kejadian,

Keluaran, dan Imamat.

(4) Upaya Pekabaran Injil

Page 10: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

29

a. Peran Warga Jemaat

Pekabaran Injil tidak eksklutif wewenang guru Injil dan Pendeta Zending.

Warga jemaat pun terlibat aktif di dalamnya. Hal ini terlihat dengan

dibentuknya kelompok-kelompok yang menyebar ke beberapa tempat

secara rutin di samping berpartisipasi dalam penyebaran surat terbuka

tentang Injil dalam perayaan Sekaten, jemaat Tionghoa pun secara mandiri

mengumpulkan uang untuk sedapat mungkin mengundang penginjil dari

negeri Tiongkok.

b. Melalui Colportage (penjualan buku)

Colporteur tidak hanya menjual buku tetapi juga koran, selebaran dan

kalender Kristen. Buku yang terjual setiap tahunnya kurang lebih 22.000

eksemplar. Pada tahun 1915, ketika berlangsung pernikahan Susuhunan,

disebarkan 10.000 selebaran. Jumlah majalah berbahasa Jawa ada 6.000

dan berbahasa Melayu sekitar 500. Dalam tahun 1916 disebarkan 5.000

kalender Jawa. Sangat penting untuk dicatat adalah sampai tahun 1916,

sepertiga dari jumlah jemaat adalah hasil PI melalui colportage dan

penyebaran bacaan Kristen.

c. Ibadah di Rumah Sakit

Selain melayani kesehatan, di rumah sakit setiap dua kali dalam seminggu

diadakan ibadah yang dihadiri tidak hanya oleh paramedis, tetapi juga

pasien baik yang beragama Kristen maupun yang beragama lain. Ada

upaya untuk mengadakan kunjungan pasien non-Kristen yang telah sehat,

Page 11: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

30

tetapi hal ini masih belum dapat dilakukan karena kendala sulitnya

menemukan tempat tinggal yang bersangkutan.

Dari hasil visitasi tersebut dapat dipahami bahwa perkembangan agama

Kristen di kota Surakarta sejak tahun 1916 hingga sekarang sungguh

menggembirakan. Empat tahun kemudian, setelah pembentukan Majelis Jemaat,

maka tahun 1920 dimulailah pembangunan gedung gereja dengan pembiayaan

pembangunan sebagian besar dipinjamkan oleh Zending. Pembangunan selesai di

tahun 1921 dan sekaligus diresmikan, maka sejak tahun itu kampung Margoyudan

memiliki gedung gereja yang dapat menampung lebih dari 300 orang jemaat.

Gedung gereja yang dibangun di lokasi bengkel milik Tuan Stegerhoek-

yang sekarang berada di Jalan Wolter Monginsidi No. 44. Digunakan untuk

ibadah minggu dan di luar hari Minggu dipinjam-sewakan untuk dipakai oleh

beberapa sekolah sebagai tempat belajar-mengajar, yaitu Sekolah Schakel dan

Sekolah Belanda Rendah. Sekolah-sekolah tersebut membayar sewa kepada

gereja, kemudian uang itu dipakai untuk melunasi pinjaman. Keberadaan GKJ

Margoyudan akhirnya mengilhami perkembangan komunitas Kristen Jawa di

Kota Surakarta maupun daerah di luar kota. Wilayah yang terilhami antara lain:

Sragen, Wonogiri, Delanggu, Kartasura, dan Karanganyar.12

12

Kompilasi hasil wawancara dengan Pujo Sambodo (Kec. Kartosura, Sukoharjo) tanggal

14 Mai 2018; Agus Setiono (Kec. Jaten, Karanganyar) tanggal 15 Mei 2018; Kristiantoro (Kec.

Grogol, Sukoharjo) tanggal 14 Mei 2018; dan bapak Widi (Kec. Mojolaban, Sukoharjo) tanggal 16

Mei 2018.

Page 12: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

31

3.3 Identitas Margoyudan sebagai Kampung & Keunikannya

3.3.1. Keunikan Letak Geografis

Kampung Margoyudan dimana gereja itu berdiri berada di wilayah

kekuasaan Puro Mangkunegaran. Letaknya memang dapat dikatakan sangat

strategis. Sebelah selatan ada taman Banjarsari (sekarang Monumen Banjarsari).

Pada waktu itu, taman tersebut merupakan alun-alun yang tengahnya dilalui oleh

jalan besar menuju ke Stasiun Balapan, sehingga alun-alun tadi sering disebut

alun-alun Balapan. Alun-alun ini merupakan tempat para prajurit Legiun

Mangkunegaran mengadakan latihan baris dan menggunakan senjata atau latihan

keprajuritan (militer), dan juga untuk pacuan kuda. Sebelah barat alun-alun itu

merupakan tempat tinggal prajurit dragonder beserta kestal kapal-kapal (kampung

Kestalan). Kestal atau gedhogan tersebut merupakan pindahan dari Pamedan

depan Puro Mangkunegaran pada tahun 1784. Sedangkan di sebelah timur alun-

alun merupakan tempat tinggal para prajurit meriam atau setabel yang kemudian

menjadi nama kampung Setabelan.

Seiring perkembangan zaman, kawasan alun-alun berubah menjadi

perkampungan golongan elite lantaran di sekitar alun-alun dibangun loji-loji atau

rumah gedong yang lumayan mewah. Kawasan ini lalu terkenal dengan sebutan

Villapark atau taman yang dikelilingi oleh villa-villa keturunan Indis (campuran

Eropa dan pribumi). Sesuai dengan perkembangan era kepemimpinan penguasa

lokal kala itu, kawasan ini juga pernah mengalami perubahan nama. Semula

dikenal dengan alun-alun Balapan lalu Villapark, terus dikenal sebagai Monumen

Banjarsari (Monjari) dan sekarang dikembalikan lagi pamor utamanya sebagai

Page 13: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

32

Villapark. Memang Mangkunegaran juga punya andil dalam penamaan kampung-

kampung di Solo. Kampung Margoyudan, tempat latihan perang legiun

Mangkunegaran. Karena berada dekat dengan latihan perang maka di daerah

sekitarnya dijadikan gudang peralatan perang seperti meriam (Stabel) kemudian

dinamakan Kampung Setabelan. Gereja Margoyudan berada di dekat alun-alun

Balapan yang digunakan untuk latihan militer. Boleh jadi karena jalan di depan

gereja itu sering dilalui para prajurit Legiun Mangkunegaran, maka kemudian

diberi nama “Margoyudan” yang bila diurai terdiri dari dua kata, yaitu: “margo”

berarti jalan, dan “yudan” dari kata “yuda” (mendapatakhiran konsonan “n”)

bermakna perang. Jadi arti leksinonnya kata “Margoyudan” adalah jalan perang

atau jalan yang dilewati para tentara atau prajurit. 13

Mengenai kondisi kampung Margoyudan pada waktu itu, para pinisepuh

menuturkan, bahwa di kawasan yang bernama Margoyudan itu dulunya di

sepanjang jalan dipenuhi dengan lampu-lampu yang berjajar (bahasa Jawa: ting).

Di jalan tersebut jika malam hari terlihat sangat terang benderang. Hal itu

dikarenakan di daerah tersebut berbatasan dengan wilayah “negara lain”, yakni

Kasunanan Surakarta karena di sebelah selatan kampung Margoyudan itu ada

tempat tinggal patih keraton Kasunanan. Itulah yang dimaksud berdekatan dengan

garis perbatasan. Selain itu, karena jalan di Margoyudan mengarah pada gudang

persenjataan dan tempat tinggal prajurit Mangkunegaran, maka jalan-jalan

tersebut diberi penerangan yang cukup sehingga apabila ada musuh akan segera

dapat dideteksi. Lalu, di daerah Margoyudan juga ada bangunan-bangunan untuk

13

Hasil wawancara dengan kepala bidang Pariwisata Kota Solo tanggal 17 Mei 2018

Page 14: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

33

gudang penyimpananbahan bakar, maka harus selalu dalam keadaan terang

meskipun pada malam hari.14

Hanya saja, setelah di kawasan kampung Margoyudan tersebut ada

kegiatan-kegiatan agama Kristen seperti berdirinya gereja, Sekolah Kristen

Margoyudan, maka di kemudian hari kawasan itu berkembang menjadi semacam

daerah pendidikan dengan berdiri gedung-gedung sekolah khususnya di bawah

agama Kristen.

3.3.2. Kehadiran Gedung Gereja Sebagai Cagar Budaya

Bentuk fisik bangunan GKJ Margoyudan Surakarta telah ditetapkan

sebagai salah satu dari sebanyak 172 bangunan dan kawasan yang berstatus

sebagai cagar budaya oleh Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Surakarta sesuai

Undang-undang Nomor 11/2010 tentang Benda Cagar Budaya. Dengan demikian

gedung GKJ Margoyudan memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan

kepribadian bangsa. Penetapan GKJ Margoyudan sebagai cagar budaya diatur

dalam Surat Keputusan (SK) Wali Kota Solo No. 646/1-2/1/1997. Kemudian

dalam perjalanannya SK Wali Kota Solo direvisi pada tahun 2013 menjadi SK

Wali Kota Solo No. 646/1-2/1/2013, guna menyesuaikan dengan UU No.11/2010

tentang Cagar Budaya.

Mengenai arsitektur bangunan GKJ Margoyudan sendiri, meski

Stegerhoek orang Belanda asli, namun bangunan pertukangan yang dibuat adalah

14

Hasil wawancara dengan kepala bidang Pariwisata Kota Solo tanggal 17 Mei 2018

Page 15: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

34

bangunan murni dengan gaya Jawa. Bila kita memasuki gedung, akan terlihat

jelas bentuknya berupa Joglo yang memanjang dengan enam pasang tiang

terpancang di kanan kiri. Komponen bangunan di dalamnya pun masih kental

dengan nuansa etnik Jawa. Tiangnya terbuat dari kayu jati yang kokoh menyangga

bangunan sejak pertama kali berdiri hingga sekarang ini. Sengaja tiangnya tidak

disemen agar tetap membentuk pilar. Kursi-kursi rotan yang berbaris rapi sebagi

tempat duduk jemaat ketika kebaktian juga peninggalan jaman kolonial. Terdapat

2 jenis kursi yaitu kursi panjang yang bisa dipakai duduk sekitar 3-4 orang dan

kursi rotan yang hanya bisa diduduki 1 orang. Mimbar yang digunakan Pendeta

untuk berkhotbah juga terbuat dari kayu jati dan masih utuh sejak pertama dibuat

hingga sekarang. Kapasitas kursi bisa memuat sekitar 700 orang jemaat dan tetap

kokoh meski usia hampir seabad.

Di kanan dan kiri bangunan terlihat jendela khas gaya Jawa, di mana

jendelanya tidak terlalu panjang. Dulu jendela dan pintunya model sirap tapi

sekitar 12 tahun lalu diganti dengan yang baru karena faktor usia. Di atas jendela

terdapat ornamen kaca yang kental dengan budaya Jawa. Tampak dari bentuk

gunungan yang merupakan simbol penting dalam tradisi Jawa. “Semua kayu cuma

diplitur, tidak saya ijinkan dicat agar kelihatan keindahan tekstur kayunya.”

Nuansa Jawa semakin kental terasa bila kita mendongak, melihat tulisan yang

menempel di dinding di atas altar. Tertulis salah satu ayat dari Alkitab yang

dialihbahasakan menjadi Jawa. Bahkan pada awalnya tulisan ini malah dalam

bentuk aksara Jawa.15

15

Hasil wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono tanggal 20 Mei 2018

Page 16: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

35

“He, para wong kang kesayahan lan kamomotan, padha

mrenea, Aku bakal gawe ayemmu.” (Mateus 11 : 28)

Proses kebaktian menggunakan pengantar dengan Bahasa Jawa Krama

Inggil. “Keunikan gereja sering memakai unsur budaya Jawa dalam ibadahnya.

Injil tidak mencabut akar budaya jemaat karena dengan landasan budaya Jawa

justru bisa mengena untuk menerima Injil. Dibagian belakang, terlihat balkon

kecil di atas pintu masuk gereja, balkon tersebut sudah lama ada untuk kebaktian

meski sekarang beralih fungsi menjadi ruangan multimedia dan sound system.

Lantai yang dulu berupa tegel lama berukuran 30 cm x 30 cm sudah diganti

dengan ubin keramik berukuran 50 cm x 50 cm. Satu hal lagi yang paling unik

dari gereja yang luasnya sekitar 500 m ini, terdapat bintang segi enam di atas

pintu depan gereja. Bintang Daud tersebut sempat mendapat protes dari warga

yang beragama Islam karena mengira itu lambang Israel. Sempat dilepas sesaat

kemudian Bintang Daud tersebut dipasang kembali. Bintang itu merupakan

simbol yang tidak bisa dilepas karena sudah ada sejak pertama kali GKJ berdiri.

“Pihak pemerintah langsung mengklaim gereja kami sebagai Bangunan Cagar

Budaya pada tahun 2013. Tanpa pembicaraan lebih dulu dengan pihak gereja.

Tidak ada pemberitahuan setelah berstatus BCB akan diberi bantuan atau

mendapat pengarahan apa dari pemerintah16

”.

3.4. Identitas Gereja

3.4.1. Data Keanggotaan Jemaat

Jemaat GKJ Margoyudan yang sudah didewasakan mulai tanggal 30 April

1916, sebelumnya diberinama dalam bahasa Belanda, De Gereformeerde Kerk

16

Hasil wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono tanggal 20 Mei 2018

Page 17: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

36

van Surakarta atau Gereja Gereformeed di Surakarta. Nama tersebut karena

berpengaruh pada identitas gereja untuk menyesuaikan dengan gereja asalnya.

Untuk mengasuh dan memerintah warga jemaat, majelis tentu memerlukan

pegangan sebagai panduan. Dalam kehidupan gereja, sudah tentu pegangan

utamanya adalah Alkitab yang dilengkapi dengan Ajaran dan Tata Gereja. Ketiga

hal itu menjadi identitas dalam melakukan karya pelayanannya.17

Perkembangan jumlah anggota jemaat dari tahun 1916 sampai dengan data

terakhir yang diperoleh peneliti tahun 2017 boleh dikatakan luar biasa. Tahun

1916 jumlah anggota jemaat yang tercatat adalah 200 orang, 148 orang adalah

anggota jemaat sidi, dan pada tahun 2017 berkembang menjadi 3.762 orang.

Uniknya anggota jemaat GKJ Margoyudan tidak hanya berdomisili di kampong

Magoyudan, Surakarta, namun tersebar juga di kabupaten lainnya, seperti:

Sukoharjo dan Karangantar. Sekalipun berdomisili di Kabupaten lain, namun pada

setiap hari Minggu pasti akan mengikuti kebanktian di GKJ Margoyudan.18

Perkembangan jumlah anggota jemaat padata tahun 2017, dapat dilihat pada table

di bawah ini:

17

Hasil wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono tanggal 20 Mei 2018. 18

Kegigihan untuk tetap beribadah sekalipun berdomisili di luar wilayah Surakarta dan

Solidaritas warga jemaat GKJ Margoyodan ini bisa menjadi topik lain yang menarik untuk diteliti.

Page 18: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

37

Tabel 1

Jumlah Anggota Jemaat GKJ Margoyudan Tahun 2017

Jenis Dan

Golongan

Awal Tambah Kurang Akhir

Dewasa

Laki-laki 1.290 31 21 1.300

Perempuan 1.626 36 25 1.637

Anak-Anak

Laki-laki 461 9 15 455

Perempuan 385 8 23 370

Jumlah 3.762 84 84 3.762

Sumber: Kantor GKJ Margoyudan 2017

Dalam rangka kemudahan dan keterjangkauan pelayanan dan

penatalayanan gereja kepada warga jemaatnya, maka jumlah pejabat (pelayan)

gereja pada tahun 2017 adalah sebanyak 66 orang, yang melakukan pelayanan

kepada 3.762 warga jemaat. Data pejabat gerejawi di GKJ Margoyudan tahun

2017 adalah:

Tabel 2.

Jumlah Palayan Gerejawi di GKJ Margoyudan Tahun 2017

Jabatan Gerejawi Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Pendeta 2 Orang 1 Orang 3 Orang

2. Penatua 13 Orang 4 Orang 17 Orang

3. Diaken 36 Orang 10 Orang 46 Orang

Jumlah 51 Orang 15 Orang 66 Orang

Sumber: Kantor GKJ Margoyudan 2017

Sebagai gereja yang baru didewasakan, apa identitas GKJ Margoyudan

pada masa Pekabaran Injil yang dilakukan oleh para misionaris dari Barat? Sesuai

dengan laporan Deputat-Deputat Umum untuk PI yang dimuat dalam Akta Sinode

Page 19: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

38

1905 di Utrecht. identitas yang digumuli dalam pendewasaan gereja-gereja di

Jawa, dirumuskan dua kemungkinan identitas, yakni:19

(1) Identitas yang berkiblat pada “ajaran Bapa-Bapa Gereja”

dengan intisari iman para Rasul (atau Pengakuan Iman Rasuli);

(2) Identitas yang berkiblat pada ekspresi iman Gereja-gereja

Gereformeerd di Nederland, yakni “Ketiga Pasal Keesaan”.

Untuk memilih yang pertama, yakni intisari iman para Rasul, dianggap

sebagai sebuah kemunduran dalam hal pengakuan percaya sebab Roh Kudus

bekerja melampaui segala zaman dan tidak hanya terbatas pada zaman para Rasul

saja, sehingga yang diajarkan oleh Roh Kudus kepada Gereja Gereformeerd di

Nederland lebih banyak daripada yang diterima oleh para Rasul.

Berangkat dari pehamaman tersebut maka GKJ Margoyudan sebagai salah

satu gereja Jawa yang didewasakan oleh NGK, menerima “Ketiga Pasal Keesaan”

sebagai pengakuan iman Gereformeerddi Nederland. Sementara untuk Tata

Gereja, juga seperti yang terjadi pada pengakuan iman, yakni memakai Tata

Gereja Dordrecht seperti yang dipakai oleh gereja asalnya di Belanda. Tetapi

yang menjadi catatan penting adalah baik “Ketiga Pasal Keesaan” yang menjadi

pengakuan iman serta Tata Gereja Dordrecht diharapkan dipakai oleh gereja-

gereja di Jawa untuk sementara saja. Artinya, ada harapan bahwa nantinya mereka

19

Suwitadi Kusumo Dilogo, dkk, Satu Abad (100) GKJ Margoyudan Surakarta Meniti.,

133-135. Diperkuat dengan hasil wawancara dengan nara sumber penyusun buku ini serta

beberapa pendeta dan vikaris yang melayani di jemaat ini 26-27 Maret 2017.

Page 20: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

39

memiliki pengakuan iman dan tata gereja yang berangkat dari pergumulan dan

kemandirian mereka sendiri.

Ketiga Pasal Keesaan itu terdiri dari: Katekismus Heidelberg, 37 Pasal

Iman dan 5 Pasal Melawan Kaum Remonstran, yang dipandang penting untuk

diperkenalkan terlebih dahulu adalah Katekismus Heidelberg. Sebab, di dalamnya

mengandung intisari ajaran Gereja Gereformeerd. Bahkan Katekismus ini

kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh Pdt. Dr. D. Brakker.20

Penentuan identitas itu menjadi penting karena berpengaruh juga pada

nama yang diberikan kepada jemaat yang sekarang disebut sebagai GKJ

Margoyudan ini, De Gereformeerd Kerk van Surakarta atau Gereja Gereformeerd

di Surakarta.

3.4.2. Sistem Pembagian Wilayah Pelayanan dan Komisi

Sekitar awal tahun1960, status daerah pelayanan di GKJ Margoyudan

dibagi menjadi sebagai berikut: 21

(1) Gereja Induk dipimpin oleh Majelis Induk

(2) Gereja Wilayah dipimpin oleh Majelis Wilayah

(3) Pepanthan yang dipimpin oleh Pengurus Pepanthan

(4) Kelompok Kebaktian dipimpin Panitia Kebaktian

(5) Kelompok Pendadaran dipimpin oleh Pengurus Kelompok

20

Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, tanggal 27 Mei 2018. 21

Hasil wawancara dengan Pdt. Wahyu Nugroho, Tanto Kristiono, Yohanes Wahono,

tanggal 26-28 Maret 2017; tambahan wawancara dengan: Suwitadi Kusumo Dilogo, , Nike

Likitasari Ariwidodo (tanggal 14 April 2018), Ayupnata tanggal 15 April 2018, Winantyo dan P.

Sularno tanggal 20 April 2018.

Page 21: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

40

Penjelasan mengenai status pelayanan tersebut berdasarkan buku

mengenai sejarah GKJ Margoyudan yang berjudul Berakar, Bertumbuh, dan

Berbuah Demi Kemuliaan Allah (Pdt. Dr. Wahyu Nugroho, S.Mi., MA.,) sebagai

berikut:

1. Kelompok Pendadaran

Kelompok Pendadaran adalah persekutuan warga gereja yang

tempat tinggalnya berdekatan. Jumlah warga dalam setiap

kelompok kurang lebih 20 sampai 50 orang. Jika dalam

perkembangannya jumlah warga kelompok lebih dari 50 orang,

maka kelompok tersebut perlu untuk dipecah menjadi dua

kelompok.

Jumlah kelompok di GKJ Margoyudan wilayah kota sendiri sebanyak 63

kelompok. Setiap kelompok diasuh oleh Pengurus Kelompok bersama dengan

Majelis Pamong. Untuk Pengurus Kelompok berjumlah lima orang yang dipilih

oleh warga dalam kelompok tersebut dengan struktur sebagai berikut:

Ketua Kelompok : Biasanya wakil kepala keluarga

Penulis : Surakartah satu pemuda/pemudi

Bendahara : Surakartah satu ibu

Pembantu Umum : 2 orang

Pengurus Kelompok ini berfungsi sebagai pembantu Majelis dan memiliki

tugas rutin:

1. Membantu menarik persembahan bulanan dan beras yang kemudian

disetorkan ke Kantor Gereja;

Page 22: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

41

2. Menyediakan tempat pendadaran menjelang Perjamuan Kudus;

3. Membimbing kegiatan warga kelompok antara lain:

menyelenggarakan Sekolah Minggu, menyediakan tempat katekisasi,

menyelenggarakan peringatan hari raya Kristen (Paskah, Natal,

Pentakosta) menyelenggarakan PA dan Koor;

4. Mengamati peri kehidupan warga kelompok;

5. Membuat daftar warga kelompok termasuk mutasi dan jumlah warga

yang kena siasat gereja;

6. Memberikan saran kepada warga kelompok yang akan

melangsungkan perkawinan, pertunangan, dan menghibur yang

sedang dalam kedukaan;

7. Menemani majelis Pamong pada waktu mengadakan perkunjungan

persekutuan di luar tugas perkunjungan kemajelisan.

Sedangkan untuk tugas Majelis Pamong adalah memahami kondisi

warga kelompok yang dipamonginya baik dalam hal kehidupan

pekerjaan, pekerjaan, kegerejaan, jumlah yang kena siasat maupun

siapa saja yang perlu dikunjungi. Kerjasama antara Majelis Pamong

dan Pengurus Kelompok menjadi sangat penting.

2. Kelompok Kebaktian

Kelompok Kebaktian adalah kebaktian yang diselenggarakan oleh

beberapa kelompok dengan tujuan menarik tetangga dekat (simpatisan) untuk

turut serta menerima Firman Tuhan. Pada umumnya, kebaktian ini belum perlu

menggunakan liturgi umum dan khotbah yang dilayankan berbentuk khotbah PI.

Page 23: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

42

Kebaktian ini diselenggarakan sore hari dan uang persembahan yang

terkumpul diperuntukan mendukung kelangsungan kebaktian tersebut. Yang

bertanggung jawab menata kebaktian ini adalah panitia yang anggotanya diambil

dari perwakilan kelompok-kelompok yang mengadakan kebaktian tersebut. Percu

dicatat, tempat-tempat yang dipakai untuk kebaktian tidak digunakan untuk

pelayanan sakramen maupun pelayanan pernikahan.

3. Pepanthan

Suatu kelompok kebaktian dapat disebut pepanthan jika memenuhi syarat

seperti dalam Tata Gereja GKJ yang berlaku.

4. Wilayah

Sejak tahun 1966, GKJ Margoyudan mengalami perkembangan baik

dalam jumlah kelompok maupun pepanthan. Oleh karena itu, pada saat itu bentuk

pelayanan dibagi menjadi empat wilayah pelayanan meliputi:

1. Wilayah Utara, meliputi pepanthan Selokaton, Ngamban,

Gemolong, dan Kelompok Kebaktian di Genjikan dan Watuireng;

2. Wilayah Nusukan, meliputi Nusukan dan Ngipang;

3. Wilayah Induk, meliputin kelompok-kelompok dalam kota dan

pepanthan Palur;

4. Wilayah Timur, meliputi Gandekan dan Surakarta Timur.

Tugas pelayanan di wilayah ditata sebagai berikut:

1. Pengasuh Wilayah

Page 24: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

43

Tiap wilayah diasuh oleh Majelis Wilayah yang terdiri dari anggota

Majelis Induk yang bertempat tinggal di wilayah tersebut ditambah

anggota majelis hasil pilihan wilayah.

2. Pemilihan Majelis Wilayah

Sebelum terbentuk Majelis Wilayah, anggota Majelis Induk di

wilayah ditugaskan sebagai Panitia Persiapan Wilayah untuk

menyelenggarakan pengaderan calon-calon Majelis Wilayah. Calon-

calon Majelis Wilayah terdiri dari ketua-ketua kelompok dan warga

yang aktif berjumlah 25 orang. Mereka setiap seminggu sekali selama

enam bulan menerima pembekalan yang dilakukan oleh pendeta atau

Majelis Induk. Bahan pembekalan di susun sendiri dengan judul

Cepengan Warga Pradata yang ternyata juga diminati oleh gereja

lain di lingkungan GKJ.

Setelah pembekalan selesai, calon-calon majelis wilayah itu dipilih

oleh Panitia Persiapan Wilayah dan hasilnya diajukan sebagai calon

majelis. Pemilihan dilakukan oleh warga jemaat yang berada di

wilayah tersebut dan bapak pendeta. Selanjutnya anggota majelis

yang baru bersama dengan anggota Majelis Induk di wilayah tersebut

disebut sebagai Majelis Wilayah.

Dengan terbentuknya Majelis Wilayah, maka Panitia Persiapan

Wilayah dibubarkan. Majelis Wilayah bertanggungjawab penuh

terhadap pelayanan di wilayah. Dan setiap persidangan majelis Induk,

ketua dan sekretaris wilayah memberikan laporan seputar pelayanan

Page 25: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

44

Yang terjadi di wilayahnya.

3. Struktur Pelayanan Wilayah

Majelis Wilayah melengkapi diri dengan struktur pelayanan yang

tidak jauh berbeda dengan struktur di gereja induk.

Komisi-komisi

1. Komisi Keesaan

Tugas utama komisi ini adalah memelihara/membina persekutuan

dalamjemaat gereja. Komisi ini dilengkapi beberapa seksi, yaitu: Seksi

Pendidikan Keluarga, Seksi Katekisasi, dan Seksi Pembinaan

Kelompok.

2. Komisi Kesaksian

Tugasnya memberitakan Injil keluar atau PI. Komisi ini dilengkapi

beberapa seksi: Seksi Pendidikan Agama, Seksi Komunikasi Massa

(Sikomas), dan Seksi Perpustakaan.

3. Komisi Wanita

Tugasnya menggerakkan wanita Kristen agar terlibat dalam membina

persekutuan dan menjadi saksi Injil Kristus. Seksi-seksinya adalah:

Seksi Kesaksian Wanita, Seksi Keesaan, Seksi Pengkaderan, dan Seksi

Kemasyarakatan.

4. Komisi Harta Jemaat

Tugasnya mengurus kebutuhan fisik jemaat baik berupa keuangan

maupun pemeliharaan aset gereja. Seksi-seksinya: Seksi Rumah

Tangga, Seksi Wisma Remaja, dan Seksi Perbendaharaan.

Page 26: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

45

5. Komisi Pemuda

Tugasnya membina persekutuan dan menyiapakan diri sebagai kader-

kader gereja serta bersaksi di lingkungan pemuda. Seksi-seksinya:

Seksi Pembinaan/Pengkaderan, Seksi Kerohanian, Seksi

Olahraga/Rekreasi, Seksi Paduan Suara/Kesenian, Seksi

Usaha/Latihan Kerja, dan Seksi Pembantu Umum.

6. Komisi Anak

Komisi ini secara khusus bertugas membina anak-anak Kristen serta

menanamkan dasar-dasar kehidupan Kristen. Seksi-seksinya: Seksi

Pendidikan/Pengkaderan, Seksi Perlengkapan, Seksi Kegiatan, dan

Seksi Usaha. Komisi ini juga dibantu dengan pengurus wilayah

sehingga pada waktu ini Sekolah Minggu dikelompokkan menjadi

tujuh wilayah.

5. Penataan Keuangan GKJ Margoyudan

Tidak seperti Panitia Keuangan dalam strukur pelayanan sebelumnya,

keuangan gereja sepenuhnya berada di bawah tanggungjawab majelis. Dalam

realisasinya majelis menyerahkan wewenang kepada Komisi Harta Jemaat (KHJ)

tetapi garis pengelolaan keuangan yang harus dilaksanakan oleh KHJ ditentukan

oleh majelis dan dipertanggujawabkan kepada majelis. Majelis juga mengangkat

pengawas keuangan (sekarang disebut BPK) yang bertugas memeriksa

pembukuan, pemasukan dan pengeluaran beserta bukti-buktinya.

Page 27: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

46

3.4.3. Identitas dan Lokalitas Berjemaat GKJ Margoyudan serta

Kesatuannya

GKJ adalah Gereja Kristen Jawa sehingga merupakan gereja suku yang

tetap menggunakan bahasa Jawa dalam pekabaran injil. Di sisi yang lain dinamika

perkembangannya cukup pesat karena sejalan dengan pekabaran injil awal GKJ

ini masih juga berfokus melembagakan jemaat baru dan tetap bergerak juga pada

bidang pendidikan. Walaupun warga jemaat saat ini terdiri dari berbagai etnis

namun tetap dalam pengaruh dominan budaya Jawa sebagai titik sentral

pekabaran dan identitas berjemaat. Identitas – Nilai-nilai budaya Jawa yang masih

terpelihara adalah kesopanan, unggah-ungguh, bahasa jawa mewarnai, bahasa

jawa menjadi bahasa relasi tua, muda, laki-laki, perempuan yang diugemi.22

Ekspresi Symbolik budaya Jawa diperagakan dalam kehidupan bergereja.

Bintang Daud –Lambang persekutuan jemaat. Bahasa Jawa dipakai sebagai

bahasa pengantar dalam Liturgi. Karena GKJ berada di tanah Jawa, Gereja

kesukuan, dengan dominasi orang Jawa, nguri-uri kebuyaan Jawa sebagai akar,

Kejawaan menjadi Identitas. Filosofi Jawa – Hamemayu Hayuning Bhawana.

Disisi yang lain, Nilai-nilai Budaya Jawa, mayoritas Jawa, ada suku lain, Bahasa

Jawa menjadi pengantar pelayanan dan mereka tetap mengikutinya dalam

perbedaan latar belakang khususnya ketika bersekutu bersama-sama di jemaat.

ekspresi symbolik, ini dipertahankan karena dalam ekspresi berbahasa jawa ada

sistem nilai yakni Kesatuan Kerendahan hati. Contohnya (orang kalau marah

memakai bahasa Jawa akan halus) marahnya tidak begitu kelihatan. Berbicara

lebih dalam tentang Identitas maka ada beberapa pertimbangan dalam konteks

22

Hasil wawancara dengan Vikaris Nugroho, 25 Maret 2017.

Page 28: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

47

gereja di Jemaat ini yakni Identitas sama dengan Gereja Kristen Jawa secara

Sinodal dalam hal peribadahan atau Ritual yang dilaksanakan, sedangkan situasi

atau keadaan GKJ Margoyudan Adem Ayem menjunjung filosofi itu untuk

merangkul berbagai latar belakang jemaat yang berbeda.23

Tradisi-tradisi jawa yang kental misalnya Sengkalan sama dengan

menunjukkan angka dan dibaca dari belakang. Selain itu, Orang Jawa pandai

ngothak-athik dan penuh Filosofis dalam karya. Hal ini nampak dalam ukiran-

ukiran yang dibuat dan juga nyanyian dan sebagainya misalnya Ornamen Jawa

diatas mimbar, Matius 11 : 28 ayat itu memberi pengaruh yang positif,

mendamaikan sebagai dasar untuk menjaga kesatuan dan kerukunan dalam

keberagaman tersebut yang mana mudah terjadi konflik. Dari sisi pemerintah juga

budaya jawa semakin diperkuat dalam persekutuan gereja ini karena adanya

anjuran Pemkot bahwa semua instansi harus memakai aksara Jawa sebagai

Identitas masyarakat Surakarta, sebab hal ini berfungsi untuk nguri-nguri

kabudayan Jawa, memelihara dan memberi Identitas Solo yang kejawen.

Sedangkan untuk pakaian adat hanya ada pada hari-hari (event) tertentu.24

Jati diri dalam identitas Gereja dan karakteristik khusus jemaat GKJ

Margoyudan terlihat masih sangat kuat karena walaupun dalam perkembangannya

ada juga jemaat yang sudah dilembagakan mandiri dan terpisah dari gereja ini

namun akar-akar Kejawaan masih cukup kuat melekat pada diri mereka. Salah

satu buktinya adalah Rasa Manunggal sama dengan kebersamaan antar jemaat.

23

Hasil wawancara dengan Suwitadi Kusumo Dilogo, Nike Likitasari Ariwidodo (tanggal

14 April 2018); Pujo Sambodo (Kec. Kartosura, Sukoharjo) tanggal 14 Mai 2018; Agus Setiono

(Kec. Jaten, Karanganyar) tanggal 15 Mei 2018; Kristiantoro (Kec. Grogol, Sukoharjo) tanggal 14

Mei 2018; dan bapak Widi (Kec. Mojolaban, Sukoharjo) tanggal 16 Mei 2018; 24

Hasil Wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono, 28 Maret 2018

Page 29: BAB III GKJ MARGOYUDAN DI SURAKARTA 3.1 Awal Kisah dari

48

Bahkan dalam peringatan 100 tahun menjadi berarti bagi dunia ini. “He wong...”

nats yang sangat di hafal oleh jemaat. Sedangkan sisi peninggalan sejarah yang

lebih dekat kepada karakteristik budaya Zending masih terlihat dalam kostum atau

Pakaian Pelayanan yang selalu digunakan budaya Eropa itu hasil pengaruh

Zending, kejawen masih hal-hal khusus dan tertentu, tetapi Batik menjadi Simbol

yang penting dalam Kegiatan Jemaat – PA, Bidston. Selain itu akar dari

penyatuan dan solidaritas yang dimiliki walaupun sudah terpisah menurut

informan terletak pada bangunan gereja ini yang telah menjadi cagar budaya dan

memiliki nilai historis yang tinggi sehingga kesatuan itu ada dan tetap bertahan

walaupun dalam pekabaran injil dan alasan-alasan penatalayanan terjadi

pelembagaan dan alasan lainnya sehingga sebagian jemaat mungkin berpindah

namun merasa tetap masih menyatu dengan GKJ Margoyudan Surakarta. Gereja

Kristen Jawa dalam pengembangan pekabaran Injil juga berkaitan erat dengan

Gereja Kristen Indonesia. Alasannya karena ditemukan dalam sejarahnya bahwa

Pendeta utusan dari Belanda, 1916 bukan patokan berdirinya gereja, namun

sebelumnya sudah ada perintisan. GKJ Sangkrah Solo didewasakan oleh GKJ

Margoyudan. Surakarta terbukanya Pekabaran Injil. Satu hal yang menarik bahwa

GKJ melahirkan GKI, mengapa demikian, karena banyak kumpulan orang

Tionghua. Sehingga pekabaran Injil dan pelembagaan yang dilakukan mencoba

untuk menjawab adanya tantangan kebutuhan semacam itu sehingga pekabaran

injil menjadi kontekstual dalam identitas itu dan juga dalam konteks bernegara.25

25

Hasil Wawancara dengan Pdt. Tanto Kristiono, 28 Maret 2017; Pdt Nike Lukitasari 29

Maret 2017