bab iii case jiwa
TRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3. GANGGUAN BERHUBUNGAN DENGAN ZAT
Pengaruh penggunaan zat yang ilegal dan luas yang mempengaruhi otak
telah menyebabkan kerusakan dalam sistem kemasyarakat di semua belahan
dunia. Lebih dari 15 persen populasi di Amerika Serikat yang berusia lebih dari
18 tahun mempunyai masalah penggunaan zat yang serius, dengan kira-kira
duapertiga merupakan penyalahgunaan alkohol dan sepertiganya lagi
penyalahgunaan zat selain alkohol.
Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak implikasi, dimana
beberapa zat dapat mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dalam diri
(mood) maupun gangguan yang dapat diobservasi dari luar (perilaku). Dari
berbagai penelitian menyimpulkan terdapat hubungan antara penggunaan zat
dengan gangguan psikiatrik.
3.1 TERMINOLOGI
Berdasarkan DSM IV menyebutkan secara sederhana sebagai zat dan
gangguan yang berhubungan dengannya sebagai gangguan berhubungan dengan
zat. Penggunaan terminologi tersebut dikarenakan bila tetap digunakan zat
psikoaktif maka akan beresiko membatasi perhatian terhadap kepada zat yang
memiliki aktivitas otak. Konsep zat psikoaktif tidak memasukan zat kimia dengan
sifat mempengaruhi otak (contohnya pelarut organik) yang mungkin digunakan
dengan sengaja atau tidak disengaja. Dalam DSM-IV-TR ketergantungan dan
penyalahgunaan merupakan manifestasi fisik dan psikologis dari penyakit akibat
penggunaan obatobatan yang menyebabkan ketergantungan atau disalahgunakan.
Kedua hal tersebut merupakan masalah perilaku. Dengan kata lain, masalahnya
bukan terletak pada obat-obatan tersebut, tapi pada cara orang yang memakai
obatobatan
tersebut. Bahan-bahan yang digunakan dapat disalahgunakan atau
menyebabkan ketergantungan, jika bahan tersebut menjadi masalah dalam
hidupnya.
14
Jadi sekarang DSM IV menggunakan kata gangguan berhubungan dengan
zat sebagai kelainan akibat penggunaan zat yang menggangu otak(gangguan
psikiatrik).
3.2 KETERGANTUNGAN ZAT
Konsep ketergantungan zat mempunyai banyak arti yang dikenali secara resmi
dan banyak arti yang digunakan selama beberapa tahun ini. Pada dasarnya, dua
konsep mengenai definisi dari ketergantungan zat adalah ketergantungan perilaku
dan ketergantungan fisik.
Ketergantungan perilaku, menekankan mengenai aktivitas mencari-cari zat dan
adanya bukti penggunaan patologis. Sedangkan ketergantungan fisik lebih
menekankan mengenai efek fisik (fisiologis) dari episode multipel penggunaan
zat.
Adapun kriteria diagnostik untuk ketergantungan zat yaitu
Suatu pola pemakaian zat maladaptif yang menyebabkan gangguan atau
penderitaan bermakna secara klinis seperti yang dimanifestasikan oleh tiga (atau
lebih) hal berikut, terjadi pada tiap sat dalam periode 12 bulan yang sama
1. Toleransi seperti yang didefinisikan oleh berikut :
a. Kebutuhan untuk meningkatkan jumlah zat secara jelas untuk
mencapai intoksikasi atau efek yang diinginkan
b. Penurunan efek yang bermakana pada pemakian berlanjut dalam
jumlah zat yang sama
2. Putus, seperti yang dimanifestasikan oleh berikut :
a. Sindrom putus yang karakteristik bagi zat dan adri kumpulan kriteria
untuk putus dari zat tersebut
b. Zat yang sama (atau yang berhubungan erat)digunakan untuk
menghilangkan atau menghindari gejala putus obat
3. Zat seringkali digunakan dalam jumlah yang lebih besar atau selama
periode yang lebih lama dari yang diinginkan
4. Terdapat keinginan terus menerus atau usaha yang gagal untuk
menghentikan atau mengendalikan penggunaan zat
5. Dihabiskan banyak waktu dalam aktivitas untuk mendapatkan zat
15
(misalnya mengunjungi banyak dokter atau pergi jarak jauh),
menggunakan zat atau pulih dari efeknya
6. Aktivitas sosial, pekerjaan atau rekreasional yang penting dihentikan atau
dikurangi karena penggunaan obat
7. Pemakaian zat dilanjutkan walaupun mengetahui memiliki masalah fisik
atau psikologis yang menetap atau rekuren yang kemungkinan telah
disebabkan atau dieksaserbasi oleh zat
Klasifikasi gangguan penggunaan zat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) Penyalahgunaan zat, merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat
patologik, paling sedikit satu bulan lamanya, sehngga menimbulkan gangguan
fungsi sosial atau okupasional. Pola penggunaan zat yang bersifat patologik dapat
berupa intoksikasi sepanjang hari, terus menggunakan zat tersebut walaupun
penderita mengetahui dirinya sedang menderita sakit fisik berat akibat zat
tersebut, atau adanya kenyataan bahwa ia tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa
menggunakan zat tersebut. Gangguan yang dapat terjadi adalah gangguaan fungsi
sosial yang berupa ketidakmampuan memenuhi kewajiban terhadap keluarga atau
kawan-kawannya karena perilakunya yang tidak wajar, impulsif, atau karena
ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar. Dapat pula berupa pelanggaran lalu
lintas dan kecelakaan lalu lintas akibat intoksokasi, serta perbuatan kriminal
lainnya karena motivasi memperoleh uang
(2) Ketergantungan zat, merupakan suatu bentuk gangguan penggunaan zat yang
pada umunya lebih berat. Terdapat ketergantungan fisik yang ditandai dengan
adanya toleransi atau sindroma putus zat. Zat-zat yang sering dipakai, yang dapat
menyebabkan gangguan penggunaan zat dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Opioida : misalnya morfin, heroin,oetidin,kodein, dan candu.
2. Ganja atau kanabis atau marihuana, hashish
3. Kokain dan daun koka
4. Alkohol ( etil alkohol ) yang terdapat dalam minuman keras
5. Amfetamin
6. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin, psilosin, dan psilosibin
7. Sedativa dan hipnotika
16
8. Solven dan inhalansia
9. Nikotin yang terdapat dalam tembakau
10. Kafein yang terdapat dalam kopi, teh, dan minuman kola
Semua zat yang disebutkan di atas mempunyai pengaruh pada susunan saraf pusat
sehingga disebut zat psikotropika psikoaktif. Tidak semua zat psikotropik dapat
menimbulkan gangguan penggunaan zat. Zat psikotropik yang disebutkan diatas
dapat menimbulkan adiksi. Oleh karena itu disebut zat adiktif. Obat antipsikosis
dan antidepresi, hampir tidak pernah menimbulkan gangguan penggunaan zat.
Opioida, ganja, hashish, kokain, dan koka menurut Undang-undang nomor 9
tahun 1976 disebut narkotika, walaupun secara farmakologik yang termasuk
narkotika hanya opioida.
3.3 PENYALAHGUNAAN ZAT
Menurut DSM–IV, meyebutkan bahwa ketergantungan zat ditandai oleh
adanya sekurangnya satu gejala spesifik yang menyatakan bahwa penggunaan zat
telah mempengaruhi seseorang. Seseorang tidak dapat memenuhi diagnostik
penyelahgunaan zat untuk suatu zat tertentu jika ia tidak pernah memenuhi kriteria
untuk ketergantungan pada zat yang sama.
Adapun, kirteria untuk penyalahgunaan zat sebagai berikut.
A. Pola penggunaan zat maladaptif yang menyebabkan gangguan atau
penderitaan yang bermakana secara klinis, seperti yang ditunjukan oleh
satu (atau lebih) hal berikut, terjadi dalam periode 12 bulan :
1. Penggunaan zat rekurent yang menyebabkan kegagalan untuk
memenuhi kewajiban utama dalam pekerjaan, sekolah atau
rumah(misalnya membolos berulang kali atau kinerja pekerjaan yang
buruk karena penggunaan zat)
2. Pengggunaan zat rekurent dalam situasi yang berbahaya secara fisik
(misalnya, mengemudikan kendaraan atau menjalankan mesin saat
terganggu oleh penggunaan zat)
3. Masalah hukum yang berhubungan dengan zat yang berulang kali
(misalnya penahanan karena gangguan tingkah laku yang berhubungan
dengan zat)
17
4. Pemakaian zat yang diteruskan walaupun memiliki masalah sosial atau
interpersonal yang menetap atau rekuren karena efek zat (misalnya
perkelahian fisik)
B. Gejala diatas tidak pernah memenuhi kriteria ketergantungan zat untuk
kelas zat ini
Santrock (1999) menyebutkan jenis ketergantungan menjadi 2 jenis, meliputi 3:
a. Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan
stimulasi kognitif dan afektif yang mendorong konatif (perilaku). Stimulasi
kognitif tampak pada individu yang selalu membanyangkan, memikirkan dan
merencanakan untuk dapat menikmati zat tertentu. Stimulasi afektif adalah
rangsangan emosi yang mengarahkan individu untuk merasakan kepuasan yang
pernah dialami sebelumnya. Kondisi konatif merupakan hasil kombinasi dari
stimulasi kognitif dan afektif. Dengan demikian ketergantungan psikologis
ditandai dengan ketergantungan pada aspek-aspek kognitif dan afektif.
b. Katergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai dengan
kecenderungan putus zat. Kondisi ini seringkali tidak mampu dihambat atau
dihalangi pecandu mau tidak mau harus memenuhinya. Dengan demikian orang
yang mengalami ketergantungan secara fisiologis akan sulit dihentikan atau
dilarang untuk mengkonsumsinya.
Penyalahgunaan zat terbagi menjadi coba-coba, rekreasional, situasional dan
ketergantungan.
Kriteria DSM-IV TR dan PPDSGJ III yang terpenuhi untuk menegakkan
diagnosis ketergantungan adalah:
1. Adanya toleransi (dari 2-3 butir menjadi 20 butir per pemakaian)
2. Adanya gejala withdrawal/putus zat (mual, muntah, keringat dingin, sakit
seluruh badan, kejang) yang menghilang setelah penggunaan zat dilanjutkan.
3. Adanya keinginan kuat menggunakan zat
Seseorang dapat dikategorikan mengalami substance dependence /
ketergantungan obat-obatan jika memenuhi 3 kriteria dari 7 kriteria berikut ini 2:
18
Suatu pola pengguanaan zat yang maladaptif mengarah pada gangguan atau
penderitaan yang bermakna klinis, bermanifestasi sebagai 3 (tiga) atau lebih
halhal berikut yang terjadi pada tiap saat dalam periode 12 bulan:
1. Toleransi yang didefinisikan sebagai berikut:
a. peningkatan nyata jumlah kebutuhan zat untuk mendapatkan efek yang didamba
atau mencapai intoksikasi.
b. Penurunan efek yang nyata dengan penggunaan kontinyu jumlah yang sama
dari zat.
2. Withdrawal, bermanifestasi sebagai salah satu dari:
a. sindroma withdarwal khas untuk zat penyebab ( kriteria A dan B dari gejala
withdrawal zat).
b. Zat yang sama atau sejenis digunakan untuk menghilangkan atau menghindari
gejala-gejala withdrawal.
3. Zat yang dimaksud sering digunakan dalam jumlah yang besar atau melewati
batas pemakaiannya.
4. Adanya hasrat menetap atau ketidakberhasilan mengurangi atau mengendalikan
pemakaian zat.
5. Adanya aktifitas yang menyita waktu untuk mendapatkan zat (mis. Mendatangi
berbagai dokter atau sampai melakukan perjalan jauh), untuk menggunakan zat
(merokok tiada sela) atau untuk pulih dari efek-efeknya.
6. Kegiatan-kegiatan sosial yang penting, pekerjaan atau rekreasi dilalaikan atau
dikurangi karena penggunaan zat.
7. Penggunaan zat tetap berlanjut meskipun mengetahui bahwa problem-problem
fisik dan fisiologis menetap atau berulang disebabkan oleh penggunaan zat
tersebut.
Ada beberapa gejala sasaran untuk beberapa ganggguan jiwa, yaitu:
1. Gangguan Depresi
Adapun gejala sasaran diantaranya yaitu: Simtom neurovegetatif, simtom
psikomotor dll.
2. Gangguan Mania
Adapun gejala sasaran diantaranya yaitu: Kegiatn psikomotor yang tinggi, kurang
tidur dll.
19
3. Gangguan Psikosis
Adapun gejala sasaran diantaranya yaitu berhubungan dengan gejala atau simtom
arousal, afek, aktifitas psikomotor dll.
4. Gangguan Cemas
Gejala dan sindrom sasarannya adalah pengalaman subjektif yang ditandai oleh
keresahan atau kekhawatiran
3.4 EPIDEMIOLOGI
Suatu survei besar yang belum lama ini dilakukan, suatu diagnosis
penyalahgunaan atau ketergantungan zat diantara populasi orang di Amerika
serikat yang berusia lebih dari 18 tahun adalah sebesar 16,7 persen. Prevalensi
penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol adalah 13,8 persen dan untuk yang
non alkohol adalah 6,2 persen.
Alkohol dan nikotin(rokok) adalah zat yang paling sering digunakan,
tetapi mariyuana, hashish dan kokain juga sering digunakan. Beberpa bukti telah
menunjukan bahwa penyalahgunaan zat meningkat diantara anak-anak dan remaja
yang berusia dibawah 18 tahun.
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat lebih sering ditemukan pada laki-
laki dibandingkan perempuan dengan perbedaan lebih jelas pada zat nonalkohol
dibandingkan alkohol. Penyalhgunaan zat juga lebih sering ditemukan pada
kelompok pengangguran dan kelompok minoritas dibandingkan kelompok pekerja
dan kelompok mayotitas.
Penggunaan zat lebih sering ditemukan pada profesional medis
dibandingkan profesional non medis untuk tingkat pendidikan yang sama.
Kemungkinan dikarenakan relatif mudahnya mendapatkan suatu zat pada
profesional medis dibandingkan yang bukan.
Hubungan Demografik
Kelompok usia yang paling tinggi penggunaan zat adalah yang berusia
antara 18 sampai 25 tahun. Dengan jumlah sekitar 1,3 juta pada kelompok usia 12
sampai 17 tahun, 4,4 juta pada dewasa muda yakni berusia 18 sampai 25 tahun.
20
Laki-laki secara signifikan lebih tinggi dibandingkan wanita untuk
penyalahgunaan zat dengan jumlah sekitar 7,4 juta laki-laki dan 5,4 juta pada
wanita.
Ras dan etnik, kelompok kulit hitam secara bermakna lebih tinggi
dibandingkan kelompok kulit putih dan hispanik. Kepadatan populasi, penduduk
didaerah metropolitan yang paling besar mungkin menggunakan zat dibandingkan
penduduk yang bukan tinggal didaerah metropolitan.
Daerah, prevalensi penggunaan zat secara bermakna lebih tinggi di daerah
barat dibandingkan dengan daerah timur laut, selatan dan utara tengah.
3.5 ETIOLOGI
Pada suatu tingkat, penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat disebabkan
oleh pemakaian zat yang oleh seseorang dalam pola yang berlebihan. Seperti pada
semua gangguan psikiatri, teori penyebab awal perkembangan, teori
psikodinamik, perilaku, genetika serta neurokimiawi diduga berperan terhadap
penyalhgunaan dan ketergantungan terhadap zat.
a. Teori Psikososial dan Psikodinamika
Teori klasik menyatakan bahwa penyalahgunaan zat adalah ekuivalen
dari masturbasi yang merupakan suatu pertahanan terhadap impuls
homoseksual atau suatu menifestasi dari regressi oral.
Rumusan psikodinamik sekarang menyebutkan bahwa, terdapat
hubungan anatara penggunaan zat dan depresi atau melibatkan penggunaan
zat sebagai suatu pencerminan fungsi ego yang terganggu.
Pada pasien penyalahgunaan zat non alkoholik yang polisubstansia
lebih mungkin memiliki masa anak-anak yang tidak stabil, lebih mungkin
mengobati diri sendiri dengan zat dan lebih mungkin mendapatkan manfaat
dari psikoterapi dibandingkan kelompok penyalahgunaan zat alkoholik.
Koadiksi
Konsep koadiksi atau kodependensi menyatakan bahwa terjadi koadiksi
jia lebih dari satu orang (biasanya suatu pasangan) mempunyai hubungan
yang terutama bertahan untuk bertanggung jawab untuk mempertahankan
perilaku adiktif pada sekurang-kurangnya satu orang.
21
Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat telah dipusatkan pada
perilaku mencari zat (substance seeking behavior), dibandingkan dengna pada
gejala ketergantungan fisik.
b. Teori Genetika
Bukti-bukti kuat dari penelitian pada anak kembar, anak angkat, dan
saudara kandung telah menimbulkan indikasi yang jelas bahwa
penyalahgunaan alkohol mempunyai suatu komponen genetik dalam
penyebabnya. Sedangkan penyalhgunaan zat non alkohol masih belum jelas
memiliki pola genetik dalm perkembangannya,.
c. Teori Neurokimiawi
Berdasarkan penelitian sebagian besar zat yang disalahgunakan (kecuali
alkohol), menemukan bahwa neurotransmiter atau resptor tertentu dimana zat
menimbulkan efeknya. Sebagai contoh seseorang yang memiliki aktivitas
opiat endogen yang terlalu kecil atau yang memiliki aktivitas antagonis opiat
endogen yang terlalu banyak mungkin berada pada resiko untuk
berkembangnya ketergantungan opioid.
Bahkan pada seseorang dengan fungsi reseptor dan konsentrasi
neurotransmiter endogen yang normal seluruhnya, penggunaan zat jangka
panjang akhirnya dapat memodulasi sistem reseptor tersebut didalam otak,
sehingga otak memerlukan adanya zat eksogen untuk mempertahankan
homeostasis.
Neurotransmiter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan
penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat adalah sistem opiat, katekolamin
(khususnya dopamin) dan gama-aminobutyric acid (GABA). Sertaneuron
yang terkena khususnya di area tegmental ventrral yang berjalan ke daerah
kortikal dan limbik (khusunya nukleus akumbens).
3.6 GEJALA KLINIS PENYALAHGUNAAN NAPZA
1) Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara umum
dapat digolongkan sebagai berikut :
22
a) Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel),
apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga
b) Bila kelebihan disis (overdosis) : nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat,
kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
c) Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,menguap terus
menerus,diare,rasa sakit diseluruh tubuh,takut air sehingga malas mandi,kejang,
kesadaran menurun.
d) Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap
kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos, terhadap bekas suntikan
pada lengan atau bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik)
2. Perubahan Sikap dan Perilaku
a) Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos,pemalas,kurang bertanggung jawab.
b) Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk dikelas
atau tampat kerja.
c) Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi tahu
lebih dulu
d) Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar bertemu
dengan anggota keluarga lain dirumah
e) Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh
keluarga,kemudian menghilang
f) Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau milik
keluarga, mencuri, mengomengompas terlibat tindak kekerasan atau berurusan
dengan polisi.
g) Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap
bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia
3.7 DETEKSI DINI PENYALAHGUNAAN NAPZA
Deteksi dini penyalahgunaan NAPZA bukanlah hal yang mudah,tapi sangat
penting artinya untuk mencegah berlanjutnya masalah tersebut. Beberapa keadaan
yang patut dikenali atau diwaspadai adalah :
23
1. KELOMPOK RISIKO TINGGI
Kelompok Risiko Tinggi adalah orang yang belum menjadi pemakai atau terlibat
dalam penggunaan NAPZA tetapi mempunyai risiko untuk terlibat hal tersebut,
mereka disebut juga Potential User (calon pemakai, golongan rentan). Sekalipun
tidak mudah untuk mengenalinya, namun seseorang dengan ciri tertentu
(kelompok risiko tinggi) mempunyai potensi lebih besar untuk menjadi
penyalahguna NAPZA dibandingkan dengan yang tidak mempunyai ciri
kelompok risiko tinggi. Mereka mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1) ANAK :
Ciri-ciri pada anak yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA
antara lain :
Anak yang sulit memusatkan perhatian pada suatu kegiatan (tidak tekun)
a) Anak yang sering sakit
b) Anak yang mudah kecewa
c) Anak yang mudah murung
d) Anak yang sudah merokok sejak Sekolah Dasar
e) Anak yang agresif dan destruktif
f) Anak yang sering berbohong,mencari atau melawan tatatertib
g) Anak denga IQ taraf perbatasan (IQ 70-90)
2. REMAJA :
Ciri-ciri remaja yang mempunyai risiko tinggi menyalahgunakan NAPZA :
a) Remaja yang mempunyai rasa rendah diri, kurang percaya diri dan mempunyai
citra diri negatif
b) Remaja yang mempunyai sifat sangat tidak sabar
c) Remaja yang diliputi rasa sedih (depresi) atau cemas (ansietas)
d)Remaja yang cenderung melakukan sesuatu yang mengandung risiko
tinggi/bahaya
e) Remaja yang cenderung memberontak
f) Remaja yang tidak mau mengikutu peraturan/tata nilai yang berlaku
g) Remaja yang kurang taat beragama
h) Remaja yang berkawan dengan penyalahguna NAPZA
i) Remaja dengan motivasi belajar rendah
24
j) Remaja yang tidak suka kegiatan ekstrakurikuler
k)Remaja dengan hambatan atau penyimpangan dalam perkembangan
psikoseksual (pepalu,sulit bergaul, sering masturbasi,suka menyendiri, kurang
bergaul dengan lawan jenis).
l) Remaja yang mudah menjadi bosan,jenuh,murung.
m) Remaja yang cenderung merusak diri sendiri
3. KELUARGA
Ciri-ciri keluarga yang mempunyai risiko tinggi,antara lain
a) Orang tua kurang komunikatif dengan anak
b) Orang tua yang terlalu mengatur anak
c) Orang tua yang terlalu menuntut anaknya secara berlebihan agar berprestasi
diluar kemampuannya
d) Orang tua yang kurang memberi perhatian pada anak karena terlalu sibuk
e) Orang tua yang kurang harmonis,sering bertengkar,orang tua berselingkuh atau
ayah menikah lagi
f) Orang tua yang tidak memiliki standar norma baik-buruk atau benar salahyang
jelas
g) Orang tua yang todak dapat menjadikan dirinya teladan
h) Orang tua menjadi penyalahgunaan NAPZA
3.7 JENIS NAPZA YANG SERING DIGUNAKAN
Beberapa contoh NAPZA yang sering digunakan yaitu:
1. NARKOTIKA
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. (menurut Undang-Undang RI
Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika).
NARKOTIKA dibedakan kedalam golongan-golongan :
a) Narkotika Golongan I :
25
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak
ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, (Contoh : heroin/putauw, kokain, ganja).
b) Narkotika Golongan II :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh :
morfin,petidin)
c) Narkotika Golongan III :
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh : kodein).
Narkotika yang sering disalahgunakan adalah Narkotika Golongan I : (1) Opiat :
morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain (2) Ganja atau kanabis,
marihuana, hashis (3) Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.
2. PSIKOTROPIKA
Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropik. Yang
dimaksud dengan PSIKOTROPIKA adalah zat atau obat, baik alamiah maupun
sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku. Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai
berikut.
a) PSIKOTROPIKA GOLONGAN I :
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD)
b) PSIKOTROPIKA GOLONGAN II :
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi,
dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan
sindroma ketergantungan. (Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin)
c) PSIKOTROPIKA GOLONGAN III :
26
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).
d) PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV :
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam,
Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo,
Rohip, Dum, MG).
Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain : (1) Psikostimulansia :
amfetamin, ekstasi, shabu (2) Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur):
MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain (3) Halusinogenika : Iysergic acid
dyethylamide (LSD), mushroom.
3. ZAT ADIKTIF LAIN
Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang
disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :
a) Minuman berakohol,
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf
pusat,
dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan
tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika,
memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia.
3.8 PENGOBATAN
Pendekatan pengobatan untuk penyalahgunaan zat bervariasi menurut zat,
pola penyalahgunaan dan tersedianya sistem pendukung dan ciri individual
pasien. Pada umumnya penyalahgunaan zat melibatkan dua tujuan utama
pengobatan. Tujuen pertama adalah abstinensi dari zat, sedangkan yang kedua
adalah kesehatan fisik.
Jika pasien akan menghentikan pola penyalahgunaan zat secara berhasil,
dukungan psikososial yang adekuat harus diberikan untutk membantu perubahan
yang sulit dalam perilaku tersebut.
27
Pendekatan pengobatan awal pada penyalahgunaan zat mungkin dilakukan
dalam lingkungan rawat inap maupun rawat jalan. Walaupun lingkungan rawat
jalan lebih bersifat alami namun godaan penyalahgunaan zat terlalu tinggi yang
menghalangi jalannya pengobatan.
Pengobatan rawat inap diindikasikan pada adanya gejala medis atau
psikiatri yang parah, suatu riwayat gagalnya pengobatan rawat jalan, tidak adanya
dukungan psikososial, atau riwayat peyalahgunaan zat yang parah atau telah
berlangsung lama.
Setelah periode awal detoksifikasi, pasien memerlukan periode rehabilitasi.
Keseluruhan pengobatan, terapi individual, keluarga dan kelompok dapat efektif
jika dilakukan sebagaimana dengan mestinya.
Berdasarkan Kepmenkes RI No 420 tentang Pedoman Layanan Terapi dan
Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah
Sakit, tindakan penanganan pada pasien dengan penyalahgunaan zat meliputi
Gawat darurat NAPZA – Detoksifikasi – Rehabilitasi – Rawat jalan/Rumatan.
Apabila kondisi pasien memungkinkan, pasien penyalahgunaan NAPZA dapat
langsung menjalani rawat jalan/rumatan. Pada fase gawat darurat NAPZA, hal
yang umumnya dilakukan adalah penanganan intoksikasi opioid, benzodiazepin
dan amfetamin. Terkadang pasien datang dengan gejala intoksikasi alkohol dan
halusinogen. Pada fase ini diberikan terapi suportif pada pasien hingga keadaanya
stabil. Untuk intoksikasi NAPZA lain seperti dekstrometorfan, fase gawat darurat
NAPZA bertujuan untuk menangani kondisi akut termasuk gaduh gelisah.
Pasien yang telah menunjukkan perbaikan setelah ditangani di unit gawat darurat
dapat dilanjutkan dengan parawatan rawat inap atau detoksifikasi untuk kasus
putus NAPZA atau berobat jalan untuk kondisi yang sudah memungkinkan untuk
pulang.
Pada fase rawat jalan, terapi yang digunakan umumnya berfungsi untuk
penanganan simptomatis. Pada fase detoksifikasi, terapi simptomatis dilakukan di
rumah sakit rawat inap. Detoksifikasi bertujuan untuk menghilangkan gejala putus
zat. Lama fase ini berkisar 1-3 minggu tergantung jenis zat dan gejala pasien.
Khusus untuk detoksifikasi heroin (opioida) selain simtomatis juga ada yang
mempunyai pengalaman tapering off dengan metadon dan buprenorfin.
28
Pada fase rehabilitasi dilakukan penyesuaian perilaku pasien agar tidak kembali
menggunakan NAPZA. Fase rehabilitasi diawali dengan program jangka pendek
(1-3bulan) dengan fokus penanganan masalah medis, psikologis dan perubahan
perilaku. Apabila program ini sukses, fase rehabilitasi dilanjutkan dengan
program jangka panjang (6 bulan-lebih) yang dilanjutkan dengan
aftercare dengan terapi berbasis komunitas
29