bab iii

Upload: afif-auliya

Post on 09-Mar-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

file

TRANSCRIPT

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

3. 1 DefinisiKejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptic yang berulang (lebih dari satu episode). 4Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE), epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya.5Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.53. 2 Epidemiologi Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang diseluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang dengan insiden mencapai 100/100.000 kasus sementara di negara maju sekitar 50/100.000 kasus.6,7Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantarannya tidak mendapatkan pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan usia lanjut terjadi pada usia diatas 65 tahun (81/100.000 kasus).9

3. 3 EtiologiDitinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:10,11a. Epilepsi idiopatikPenyebabnya tidak diketahui, kira-kira 50% penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada usia lebih dari 3 tahun. dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat diagnostic canggih, kelompok ini semakin jarang ditemukan.b. Epilepsi simptomatikDisebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, gangguan metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), kelainan neurodegeneratif.c. Epilepsi kriptogenikDianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk sindrom West, sindrim Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik

3. 4 KalsifikasiKlasifikasi kejang epilepsi menurut International League Againts Epilepsy (ILAE) 1981 berdasarkan bangkitan kejang 12I. Partial seizuresa. Simple partial seizures (with motor, sensory, autonomic, or psychic signs)b. Complex partial seizuresc. Partial seizures with secondary generalizationII. Primarily generalized seizuresa. Absence (petit mal)b. Tonic-clonic (grand mal)c. Tonicd. Atonice. Myoclonic III. Unclassified seizuresa. Neonatal seizuresb. Infantile spasms

Klasifikasi kejang epilepsi menurut International League Againts Epilepsy (ILAE) 1989 berdasarkan sindrom epilepsiI. Bangkitan dengan letak focusa. idiopatik (primer) Epilepsi Rolandik Benigna Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital Epilepsi membaca primerb. Simptomatik (sekunder) Lobus temporalis Lobus frontalis Lobus parietalis Lobus oskipitalis Kronik progresif parsialis kontinuac. KriptogenikII. Umuma. Idiopatik Kejang neonatus familia benigna Kejang neonatus benigna Kejang epilepsi mioklonik pada bayi Epilepsi lena pada anak Epilepsi lena pada remaja Epilepsi mioklonik pada remaja Epilepsi dengan bangkitan tonik klonik pada saat terjaga Epilepsi tonik klonik dengan bangkitan acakb. Simptomatik Etiologi non spesifik (ensefalopati mioklonik neonatal, sindrim Ohtahara) Etiologi spesifik (malformasi serebral, gangguan metabolism)c. Kriptogenik Sindrom Wesr Epilepsi mioklonik astatic Sindrim Lennox-Gastaut Epilepsi lena mioklonikIII. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umuma. Bangkitan umum dan fokal bangkitan neonatal epilepsi mioklonik berat pada bayi Sindrom Taissinare Sindrom Landau-Kleffnerb. Tanpa gambaran tegas fokal atau umumc. Epilepsi berkaitan dengan situasi Kejang demam Berkaitan dengan alkohol Berkaitan dengan obat-obatand. Eklamsie. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik

3. 5 PatofisiologiPatofisioligi Epilepsi UmumDasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yaitu neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Jenis-jenis neurotransmitter eksitasi adalah glutamate, aspartate, norepinephrine dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi adalah GABA dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsangan. Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan mepelas muatan listrik.Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau menggaggu fungsi membrane neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruang ekstraseluler ke intraseluler. Influx Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik oleh neuron secara sinkron dalam jumlah besar merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah beberapa saat serangan berhenti akibat pegaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem inhibisi pra dan paska sinaptik yng menjamin agar neuron-neuron tidak terus menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti adalah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat penting untuk fungsi otak.13

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000Patofisiologi Epilepsi ParsialPatofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal,

Gambar Hippokampus

Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas.

Gambar Sel granula dentatus

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.

3. 6 Gejala141. Kejang Parsial Sederhanaa. Tidak terjadi perubahan kesadaranb. Bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral/fokal) kemudian menyebar (Jacksonian march)c. Kepala mungkin berpaling kearah yang terkena kejang (serangan adversi)

2. Kejang Parsial Kompleksa. Bangkitan fokal disertai kehilangan/terganggunya kesadaranb. Sering diikuti dengan automatisme yang stereotipik seperti mengunyak, menelan, tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas

3. Kejang Parsial yang menjadi umuma. Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam waktu singkat menjadi bangkitan umumb. Bangkitan parsial dapat berupa aurac. Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik

4. Kejang Lena (petit mal)a. Gangguan kesadaran mendadak berlangsung beberapa detikb. Setelah bangkitan kegiatan motoric terhenti dan pasien diam tanpa reaksic. Mungkin terdapat automatismed. Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan binggung

5. Kejang Umum Tonik-Klonik (grand mal)a. Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonikb. Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30detik, diikuti gerakan kejang pada kedua lengan dan tungkai (fase klonik) selama 30-60 detik, mulut berbusac. Selesai bangkitan pasien menjad lemas (fase flaksid) dan tampak binggungd. Pasien sering tidur setelah bangkitan

6. Kejang Atonika. Hilangnya postur tonus otot secara tiba-tiba yang berlangsung sekitar 1-2 detikb. Kesadaran tidak terganggu, dan tidak binggung setelahnya

7. Kejang Mioklonika. Kontraksi otot yang tiba-tiba dan sesaatb. Dapat terjadi pada satu bagian tubuh atau seluruh tubuh

8. Kejang epileptic yang tidak tergolonga. Tidak semua jenis kejang dapat di klasifikasikan sebagai parsial atau umum terutama kejang yang terjadi pada neonatus maupun bayib. Hal ini dikarenakan perbedaan fungsi neuron pada sistem saraf pusat yang imatur dan matur.

3. 7 DIAGNOSISDiagnosis epilepsi berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.151. Anamnesis dan Pemeriksaan FisikTujuan utamanya adalah memastikan apakah kejadian tersebut merupakan kejang. Pada kejang harus dilakukan anamnesis yang mendalam karena biasanya hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dalam batas normal. Pertanyaan harus fokus pada gejala sebelum, saat dan setelah kejang. Perlu juga ditanyakan faktor resiko dan keadaan predisposisi seperti riwayat kejang demam, aura sebelum kejang, riwayat kejang pada keluarga. Faktor epileptogenic seperti riwayat trauma kepala, tumor, infeksi sistem saraf juga perlu ditanyakan. Selain itu juga perlu ditanyakan peyakit sistemik, ketidakseimbangan metabolic, infeksi akut, alkohol atau obat-obatan.Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan untuk mencari adakah infeksi atau peyakit sistemik. Bila ditemukan organomegali mengindikasikan adanya penyakit metabolic dan adanya ketidaksimetrisan ekstremitas memberikan tanda adanya brain injury. Semua pasien harus dilakukan pemeriksaan neurologik secara lengkap dengan melihat adanya tanda kelaian cerebral hemisfer. Lakukan pemeriksaan status mental diperkirakan lesinya berada pada lobus frontal, parietal atau temporal. Memeriksa lapang pandang membantu mengetahui apakah lesi aa di jalur optic dan lobus oksipital. Sementara pemeriksaan fungsi motor untuk melihat adakah lesi di motor korteks.

2. Pemeriksaan penunjanga. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan darah rutin dilakukan untuk mecari pencetus terjadinya kejang. Kelainan metabolic yang biasanya menyebabkan kejang adalah kelaian pada elektrolit, glukosa, kalsium atau magnesium, dan penyakit ginjal atau hati.perlu juga diperiksa urinalusus pada pasien yang memiliki resiko. Bila dicurigai adanya meningitis atau encephalitis dan wajib pada pasien dengan HIV, perlu dilakukan pungsi lumbal.

b. Electroencephalogram (EEG)Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi, akan tetapi bukan pemeriksaan gold standard. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kalainan fikal pada hasil EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetic atau metabolic. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila: asimetris irama dan voltase gelombang pada daerahyang sama di kedua hemisfer otak irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya (missal gelombang delta). Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, spike dan gelombang lambat yang timbul secara proksimal.

c. Brain ImagingHampir semua pasien baru dengan kejang baru dilakukan pemeriksaan brain imaging untuk mendeteksi penyebab kejang. Pemeriksaan MRI hasilnya lebih baik dalam mendeteksi lesi serebral yang berhubungan dengan epilepsi dibandingkan dengan pemeriksaan CT-Scan. Pada beberapa kasus, MRI akan medeteksi lesi seperti tumor, malformasi vaskuler, dan patologi lain yang membutuhkan terapi segera. Penggunaan metode MRI terbaru, seperti fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR), meningkatkan sensitivitas untuk mendeteksi kelainan kortikal seperti atrofi hipokamus. Bila penemuan tidak menjurus ke terapi segera, setidaknya dapat menjelaskan darimana kejang berasa dan terapi apa yang akan digunakan, atau diperlukan tindakan pembedahan.

3. 8 PENGOBATAN1. Mekanisme Kerja Obat AntiepilepsiPada prinsipnya obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses dan penyebaran kejang. Namun, pada umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses penyebaran kejang daripada mencegah proses inisiasi. Maka dari itu, secara umum ada dua mekanisme karja, yaitu: peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan eksitasi yang kemudian memodifikasi kondisi ion (Na+, Ca2+, K+, dan Cl-) atau aktifitas neurotransmitter, meliputi13:a. Inhibisi kanal Na+ apada membrane sel aksonb. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron thalamus, yang berperan sebagai pace-maker untuk membangkitkan cetusan listrik umum di korteksc. Peningkatan inhibisi GABAd. Penurunan eksitasi glutamate

2. Kadar Antiepilepsi Dalam PlasmaPenetapan kadar antiepilepsi yang merupakan kegiatan Therapeutic Drug Monitoring berperan penting dalam individualisasi dosis antiepilepsi, karena berbagai faktor menyebabkan obat yang diminum menghasilkan kadar yang berbeda antara individu. Pengukuran kadar ini membantu untuk mengetahui kepatuhan pasien, tercapainya kadar terapi dengan dosis yang diberikan, dapatkah peningkatan dosis dilakukan pada bangkitan yang belum terkendali tanpa menimbulkan efek toksik, besarnya dosis untuk penyesuaian bila terjadi interaksi obat.

3. Farmakokinetik Obat AntiepilepsiPada umunya, sebagian besar obat antiepilepsi dimetabolisme di hati, kecuali viganatrin dan gabapentin yang dieliminasi oleh ekskresi ginjal. Fenitoin mengalami metabolisme hepar yang tersaturasi.

4. Prinsip Pemilihan Obat Pada Terapi EpilepsiTujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari bangkitan epilepsi tanpa mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat melakukan aktivitas tanpa gangguan. Mendiagnosis secara pasti, menetukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi Pengobatan awal harus dimulai dengan obat tunggal dosis kecil dan dinaikan secara bertahap sampai efek terapi tercapai atau timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi Penggantian obat epilepsi dilakukan secara bertahap setiap bulan apabila obat antiepilepsi pertama gagal dalam jangka waktu 3-6 bulan Bila digunakan lebih dari satu obat antiepilepsi, maka penghentian dimulai dari satu obat antiepilepsi yang bukan utama Obat antiepilepsi diberikan sampai 1-2 tahun bebas kejang

Algoritme manajemen status epileptikus

TABEL. PEMILIHAN OBAT ANTIEPILEPTIK

Primary generalized tonic-clonicPartialAbsenceAtypical Absen

First Line

Valproic acidLamotrigineTropiramateCarbamazepinePhenytoinLamotrigineOxcarbazepineValproic acidValproic acidEthosuximideValproic acidLamotrigineTopiramate

Alternatives

ZonisamidePhenytoinCarbamazepineOxcarbazepinePhenobarbitalPrimidoneFelbamateLevetiracetamTopiramateTiagabineZonisamideGabapentinePhenobarbitalPrimidoneFelbamateLamotrigineClonazepam

ClonazepamFelbamate

3. 9 Diagnosis Banding1. SinkopeSinkope adalah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran darah ke otak dan anoksia. Sebabnya ialah tensi darah yang menurun mendadak, biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada 75% kasus-kasus terjadi akibat gangguan emosi. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, tunnel vision. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah. Pasien akan membaik setelah dibaringkan.

2. HipoglikemiaHipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering. Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan

3. HisteriKejang fungsional atau psikologis sering terjadi pada wanita terutama pada usia 7-15 tahun. biasanya terjadi dihadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol atau peribahan pasca serangan seperti pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak menyerupai kejang tonik-klonik, tetapi bisa menyerupai sindoma hiperventilasi. Timbulnya serangan sering berhubungan dengan stress.

3. 10 PROGNOSISPenderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. Tiga puluh persen penderita tidak akan mengalami remisi walaupun sudah minum obat teratur.Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi paad hampir lebih dari 50% pemderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih sering terjadi.Umur onset yang relative lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian obat tergantung pada faktor yang sama dengan remisi kejang.

724