bab iii

64
BAB 3 G E O L O G I Bab ini menjelaskan hasil penelitian yang disusun berdasarkan data primer dan sekunder serta bahasan tentang daerah penelitian yang meliputi; geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi. Penggabungan dari pembahasan keempat aspek tersebut diharapkan dapat mengungkapkan kondisi geologi daerah penelitian dan juga potensi bahan galian. 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfografi Analisis Morfografi merupakan salah satu aspek dalam penentuan satuan geomorfologi. Aspek ini meliputi bentuk lahan, bentuk lembah dan pola pengaliran. 45

Upload: nurzamzami-ismail

Post on 17-Feb-2016

13 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

bab8

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III

BAB 3

G E O L O G I

Bab ini menjelaskan hasil penelitian yang disusun berdasarkan data primer

dan sekunder serta bahasan tentang daerah penelitian yang meliputi; geomorfologi,

stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi. Penggabungan dari pembahasan

keempat aspek tersebut diharapkan dapat mengungkapkan kondisi geologi daerah

penelitian dan juga potensi bahan galian.

3.1 Geomorfologi

3.1.1 Morfografi

Analisis Morfografi merupakan salah satu aspek dalam penentuan satuan

geomorfologi. Aspek ini meliputi bentuk lahan, bentuk lembah dan pola pengaliran.

3.1.2 Bentuk Lahan

Berdasarkan Klasifikasi Bentuk Lahan dan Perbedaan Ketinggian

(Van Zuidam, 1985) maka bentuk lahan daerah penelitian dibagi ke dalam tiga

bagian seperti pada tabel 3.1.

45

Page 2: BAB III

46

Tabel 3.1 Bentuk Lahan Daerah Penelitian

Simbol Warna Ketinggian (mdpl) Bentuk Lahan

100 - 200 Perbukitan Rendah

200 - 500 Perbukitan

500 - 1.500 Perbukitan Tinggi

3.1.3 Bentuk Lembah

Berdasarkan analisis topografi dan kenampakan di lapangan, bentuk lembah

di daerah penelitian termasuk ke dalam jenis lembah U dan V. Lembah V berada di

sekitar puncak perbukitan atau pegunungan yang proses erosi didominasi dengan

gaya vertikal, seperti di Gunung Bende dan Gunung Kasur, sedangkan lembah U

mulai terlihat di sungai-sungai utama yang proses erosi didominasi dengan gaya

horizontal, seperti Sungai Cipereundeuy di Baratlaut, Cibarengkok di Timurlaut, dan

Cijahung di Timurlaut daerah penelitian.

Page 3: BAB III

47

3.1.4 Pola Pengaliran

Pada daerah penelitian sungai utama umumnya mengalir sejajar dengan arah

jurus perlapisan batuan, sedangkan anak sungai mengalir memotong arah jurus

perlapisan batuan. Sungai utama yang merupakan induk sungai yaitu Sungai Citarum

yang mengalir dari Barat Daya ke Barat dan Sungai Cileat yang mengalir dari

Tenggara ke Barat Laut daerah penelitian. Anak sungai bermuara di kedua sungai

besar tersebut.

Gambar 3.1 Morfografi Daerah Penelitian dalam Dua dan Tiga Dimensi, Tanpa

Skala

Page 4: BAB III

48

Gambar 3.2 Pola Pengaliran daerah penelitian: (A) Dendritik; (B) Sub Paralel

Analisis pola pengaliran berdasarkan peta topografi terhadap torehan alur-

alur sungai intermiten dan sungai besar di daerah penelitian yang kemudian

dibandingkan dengan pola pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi (Howard,

1967), dalam (Van Zuidam, 1985), menunjukan bahwa pola pengaliran yang

berkembang adalah Dendritik dan Dendrito Paralel.

1. Pola Pengaliran Dendritik

Pola pengaliran ini berkembang di bagian Timur Laut daerah penelitian yang

umumnya memiliki bentuk lahan yang relatif landai dan kurang dikontrol oleh

struktur geologi. Di bagian Timur Laut, anak sungai mengalir ke dua sungai yaitu

Page 5: BAB III

49

Sungai Cijahung dan Sungai Cibarengkok, pada bentuk lahan dengan dominasi

Tuf sebagai batuan penyusun.

2. Pola Pengaliran Sub-Pararel

Pola pengaliran ini merupakan pola pengaliran yang berkembang di morfologi

lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuk lahan memanjang.yang

mendominasi hampir seluruh daerah penelitian. Umumnya terbentuk pada relief

yang sedang dan tersusun atas perlapisan batuan sedimen. Pada bagian Tenggara

peta, anak sungai mengalir mengarah langsung ke induk sungai (Sungai Cileat),

menempati bentuk lahan yang utamanya tersusun atas batupasir. Pada bagian

Barat Daya peta, sungai utama mengalir memotong arah pola jurus perlapisan

batuan, menempati bentuk lahan yang utamanya dikontrol oleh proses pelapukan

dan erosi pada litologi yang didominasi batupasir.

3.1.5 Morfometri

Berdasarkan Klasifikasi Kemiringan Lereng (Van Zuidam, 1985),

maka morfometri daerah penelitian terbagi menjadi 4 bagian, yaitu.

Page 6: BAB III

50

Tabel 3.2 Pembagian Morfometri Daerah Penelitian

Simbol Warna Kemiringan Lereng

Datar - Hampir Datar

Landai

Agak Curam

Curam

Gambar 3.3 Peta Tematik Morfometri Daerah Penelitian Tanpa Skala

Page 7: BAB III

51

3.1.6 Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian

Berdasarkan kondisi topografi dan analisis morfografi, morfometri, serta

morfogenetik, derah penelitian dapat dibagi menjadi tiga satuan geomorfologi (Van

Zuidam, 1985), yaitu:

1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Landai

2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Agak Curam

3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Curam

3.1.6.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Landai

Satuan geomorfologi ini menempati bagian utara daerah penelitian,

mencakup sekitar 27% daerah penelitian. Satuan ini dicirikan oleh perbukitan yang

landai dengan elevasi 225 - 275 (Mdpl), pola aliran dendritik, kemiringan lereng 6,9°

- 14,5°, dan proses eksogen berupa pelapukan dan erosi yang banyak mempengaruhi

bentang alamnya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah tuf.

Foto 3.1 Kenampakan Satuan Geomorfologi Perbukitan Landai

Page 8: BAB III

52

3.1.6.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Agak Curam

Satuan geomorfologi ini menempati bagian timurlaut dan selatan daerah

penelitian, mencakup sekitar 35% daerah penelitian. Satuan ini dicirikan oleh

perbukitan agak curam dengan elevasi 365 - 525 (Mdpl), kemiringan lereng 14,6° -

29,4°, dan proses endogen berupa kegiatan tektonik yang berperan dalam aspek

morfogenetiknya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah batupasir dan

batulempung.

Foto 3.2 Kenampakan Satuan Geomorfologi Perbukitan Agak Curam

3.1.6.3 Satuan Geomorfologi Perbukitan Curam

Satuan geomorfologi ini membentang dari baratdaya sampai timur daerah

penelitian, mencakup sekitar 38% daerah penelitian. Satuan ini dicirikan oleh

perbukitan curam dengan elevasi 525 - 950 (Mdpl), kemiringan lereng 29,5° - 54,5°,

dan proses endogen berupa kegiatan tektonik yang berperan dalam aspek

morfogenetiknya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah batupasir dan

batugamping.

Page 9: BAB III

53

Foto 3.3 Kenampakan Satuan Geomorfologi Pebukitan Curam

3.2 Geologi Daerah Penelitian

3.2.1 Stratigrafi

Berdasarkan pengamatan dari beberapa jenis batuan yang dapat dipetakan

serta memiliki karakteristik deskriptif yang mencolok dan konsisten sehingga dapat

dibedakan dengan karakter litologi lainnya maka satuan batuan pada derah penelitian

dapat dikelompokan menjadi 4 satuan batuan, berdasarkan tata nama yang mengambil

ciri deskriptif tiap litologi penyusun batuan. Urut-urutan keempat satuan batuan

tersebut dari yang paling tua sampai yang paling muda adalah sebagai berikut:

1. Satuan Batupasir Karbonatan (Tobpk)

2. Satuan Batugamping (Tobg)

3. Satuan Batupasir (Tmbp)

4. Satuan Tuf (Qt)

Penyebaran ke-empat satuan batuan tersebut di atas dapat dilihat pada Peta

Geologi (Lembar 4).

Page 10: BAB III

54

3.2.1.1 Satuan Batupasir Karbonatan (Tobpk)

3.2.1.1.1 Karakteristik Litologi

Satuan batupasir ini digunakan sebagai nama satuan yang disusun oleh

batupasir, batulempung, dan breksi polimik yang didominasi oleh batupasir. Satuan

ini dicirikan dengan batupasir berwarna lapuk abu-abu kecoklatan, warna segar abu-

abu terang, berbutir sedang-halus, bentuk butir membundar tanggung-membundar,

kemas terbuka, permeabilitas baik, terpilah sedang, karbonatan, kekerasan kompak,

berstruktur sedimen parallel laminasi, load cast, mengandung mineral kuarsa.

Batulempung berwarna lapuk abu-abu kehitaman, warna segar abu-abu keputih-

putihan, permeabilitas sedang, karbonatan, kontak tegas dengan batupasir (Foto 3.4).

Foto 3.4 Foto Singkapan Batupasir Perselingan Batulempung di Sungai Cijahung

3.2.1.1.2 Penyebaran dan Ketebalan

Page 11: BAB III

55

Penyebaran satuan batupasir ini terdapat pada sebelah barat hingga timur

daerah penelitian, yaitu Desa Ciptaharja dan Desa Rajamanda Kulon. Singkapan

satuan ini umumnya ditemukan di sepanjang dinding dan dasar aliran Sungai

Cijanung, Cileat Kidul, Citarum, Cisameng.. Satuan batupasir ini menempati luas

area 20% dari seluruh daerah penelitian, dengan pola sebaran jurus perlapisan (strike)

relatif barat-timur dan nilai kemiringan perlapisan (dip) berkisar antara 300 – 850.

Penyebaran satuan ini umumnya menempati satuan geomorfologi perbukitan agak

curam. Berdasarkan hasil rekonstruksi penampang geologi, ketebalan satuan ini

mencapai 200-300 m.

3.2.1.1.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan

Pada satuan ini tidak dilakukan analisis fosil di laboratorium, maka

penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada karakteristik litologi, posisi

stratigrafi terhadap satuan batuan lain, dan berdasarkan kesebandingan dengan

peneliti terdahulu. Berdasarkan posisi litostratigrafinya, menunjukkan bahwa Satuan

Batupasir Karbonatan ini secara stratigrafi memiliki kisaran umur yang sama dengan

Batugamping, yaitu berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal. Umur relatif juga

diperoleh berdasarkan kesebandingan dengan peneliti terdahulu Martodjodjo (2003)

menyebutkan bahwa batugamping berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal.

Berdasarkan karakteristik litologi dengan ukuran butir membundar

tanggung-membundar, dapat diinterpretasikan bahwa transportasi butir sudah cukup

jauh dari sumbernya yang kemungkinan berasal dari lingkungan darat sifat

Page 12: BAB III

56

karbonatan juga menunjukkan bahwa besar kemungkinan satuan batupasir ini

terendapkan pada daerah yang memungkinan unsur-unsur karbonat (seperti

Foraminifera) masih dapat hidup, yaitu lingkungan laut dangkal. Berdasarkan

karakteristik batuan yang ditemui di lapangan dan didukung oleh kesebandingan dari

peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah

laut dangkal.

Gambar 3.4 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batupasir

BerdasarkanPermodelan Klasifikasi Lingkungan Laut

(Tipsword et al., (1996) dalam Pringgoprawiro (1994))

3.2.1.1.4 Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan rekonstruksi data lapangan, satuan batupasir ini berbatasan

dengan satuan batugamping, satuan batupasir nonkarbonatan, dan satuan tuf.

Hubungan stratigrafi antara satuan batupasir karbonatan dan satuan batugamping

Page 13: BAB III

57

adalah menjemari, hubungan stratigrafi antara satuan batupasir karbonatan dengan

satuan batupasir adalah selaras, dan hubungan dengan satuan tuf adalah tidak selaras.

3.2.1.1.5 Kesebandingan Regional

Berdasarkan kesamaan ciri fisik, satuan batupasir ini dapat disebandingkan

dengan Formasi Rajamandala (Sudjatmiko,1972) yang dimuat pada tabel 3.4.

Tabel 3.3 Kesebandingan Satuan Batupasir dengan Formasi Rajamandala

(Sudjatmiko, 1972)

ParameterSatuan batupasir

Formasi Rajamandala

Anggota Batupasir,

batulempung, batulanau

(Sudjatmiko, 1972)

Karakter

Litologi

Berwarna lapuk abu-abu

kecoklatan, warna segar abu-

abu terang, berbutir sedang-

halus, bentuk butir

membundar tanggung-

membundar, kemas terbuka,

permeabilitas baik, terpilah

sedang, karbonatan, kekerasan

Batupasir kuarsaan dan

konglomerat kerakal kuarsa,

lempung abu-abu tua sampai

hitam, lempung napalan, lembar

mika, jalur batubara dan ambar.

Page 14: BAB III

58

kompak, berstruktur sedimen

parallel laminasi, load cast,

mengandung mineral kuarsa.

Posisi

Stratigrafi

Menjemari dengan satuan

batugamping, tidak selaras

dengan satuan batupasir

Menjemari dengan anggota

batugamping Formasi

Rajamandala. Tidak selaras

dengan Formasi Citarum

anggota batupasir dan

batulanau.

Umur Oligosen Akhir-Miosen Awal Oligosen Akhir-Miosen Awal

Lingkungan

Pengendapan

Laut Dangkal Laut Dangkal

3.2.1.2 Satuan Batugamping (Tobg)

3.2.1.2.1 Karakteristik Litologi

Satuan batugamping ini disusun oleh batugamping berwarna lapuk abu-abu

gelap, warna segar abu-abu putih, kekerasan keras, feature terumbu, banyak

ditemukan foraminifera besar dan kecil. (Foto 3.4)

Page 15: BAB III

59

Foto 3.5 Singkapan Batugamping di Sungai Cisameng

3.2.1.2.2 Penyebaran dan Ketebalan

Penyebaran satuan batugamping ini terdapat pada sebelah timur laut dan

barat daerah penelitian, yaitu Desa Ciptaharja (Gunung Guha) dan Desa Rajamandala

Kulon (Gunung Sanghiang Tikoro). Singkapan satuan ini umumnya ditemukan di

sepanjang dinding dan dasar daerah aliran Sungai Cisaat, Cijanung, dan Cisameng.

Satuan batugamping ini menempati luas area 15 % dari seluruh daerah

penelitian, dengan pola sebaran relatif barat-timur. Penyebaran satuan ini umunya

menempati satuan geomorfologi perbukitan curam. Peneliti mengalami kesulitan

untuk menentukan ketebalan relatif satuan ini karena batugamping berjenis terumbu.

Page 16: BAB III

60

3.2.1.2.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan

Pada satuan ini tidak dilakukan analisis fosil di laboratorium maka

penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada karakteristik litologi, posisi

stratigrafi terhadap satuan batuan lain, dan berdasarkan kesebandingan dengan

peneliti terdahulu.

Berdasarkan karakteristik litologinya, batugamping ini bersifat masif dan

peneliti menginterpretasikan bahwa satuan ini merupakan batugamping terumbu.

Berdasarkan posisi litostratigrafinya, menunjukkan bahwa Satuan Batugamping ini

secara stratigrafi memiliki kisaran umur yang sama dengan Batupasir Karbonatan

yaitu berumur Oligosen-Miosen Awal. Umur relatif juga diperoleh berdasarkan

kesebandingan dengan peneliti terdahulu Sudjatmiko (1972) yang menyebutkan

bahwa batugamping berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal.

Sedimentasi karbonat dihasilkan dari proses organik biokimia pada

llingkungan laut bersih, hangat dan kedalaman dangkal. Sedimentasi karbonat

berlangsung pada lingkungan laut dangkal karena pada laut dangkal masih terkena

penetrasi cahaya yang bagus untuk pertumbuhan karbonat. Karbonat tumbuh pada

zona shallow neritik , diatas 10 - 20 m dari permukaan laut. Batas terendah penetrasi

cahaya berkisar antara 100 – 150 m yang merupakan batas zona euphotic, zona

dimana fotosintetik organisme terjadi. Oleh karena itu, berdasarkan karakteristik

batuan yang ditemui di lapangan, teori yang didapat, dan didukung oleh

kesebandingan dari peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa lingkungan

pengendapannya adalah laut dangkal.

Page 17: BAB III

61

Gambar 3.5 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batugamping Berdasarkan

Permodelan Klasifikasi Lingkungan Laut (Tipsword et al., (1996),

dalam Pringgoprawiro (1994))

3.2.1.2.4 Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan rekonstruksi pola jurus dan penampang geologi, peneliti

mendapatkan adanya hubungan lateral antara satuan batugamping dan satuan

batupasir karbonatan maka peneliti menyimpulkan bahwa hubungannya adalah

menjemari.

3.2.1.2.5 Kesebandingan Regional

Berdasarkan ciri-ciri litologi dan umurnya, maka satuan ini dapat

disebandingkan dengan Formasi Rajamandala (Sudjatmiko, 1972) (Tabel 3.3).

Page 18: BAB III

62

Tabel 3.4 Kesebandingan Regional Satuan Batugamping (Tobg) dengan Formasi

Rajamandala Menurut Sudjatmiko (1972)

ParameterSatuan Batugamping

(Peneliti)

Formasi Rajamandala

Anggota Batugamping

(Sudjatmiko, 1972)

Karakter

Litologi

Berwarna segar abu-abu putih,

warna lapuk abu-abu gelap,

kekompakan keras, feature

terumbu, banyak ditemukan

foraminifera besar dan kecil,

feature terumbu

Batugamping pejal dan

batugamping berlapis,

kebanyakan berwarna muda

dengan foraminifera besar

berlimpah dengan ketebalan

antara 0-650 m.

Posisi

Stratigrafi Menjemari dengan satuan

batupasir karbonatan dan tida

selaras dengan satuan batupasir

nonkarbonatan

Menjemari dengan anggota

batulempung, napal, batupasir

kuarsa Formasi Rajamandala.

Tidak Selaras dengan Formasi

Citarum anggota batupasir dan

batulanau.

Umur Oligosen Akhir – Miosen Awal Oligosen Akhir – Miosen Awal

Lingkungan

Pengendapa

n

Laut Dangkal Laut Dangkal

Page 19: BAB III

63

3.2.1.3 Satuan Batupasir Nonkarbonatan

3.2.1.3.1 Karakteristik Litologi

Berdasarkan pengamatan secara megaskopis, satuan ini tersusun atas

batupasir nonkarbonatan perselingan batulanau, dan breksi polimik (Foto3.6).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara megaskopis di lapangan, batupasir

nonkarbonatan pada satuan ini memiliki karakteristik warna lapuk hitam, warna segar

coklat, berbutir halus, bentuk butir membundar tanggung-membundar, kemas

terbuka, permeabilitas baik, terpilah baik, tidak karbonatan, kekerasan kompak,

struktur sedimen parallel laminasi, graded bedding, convolute. Batulanau pada

satuan ini memiliki karakteristik warna lapuk coklat kehitaman, warna segar coklat

kemerahan, besar butir lanau, kemas terbuka, permabilitas baik, tidak

karbonatan,kekerasan dapat diremas. Breksi polimik pada satuan ini memiliki

karakteristik warna lapuk coklat kehitaman, warna segar coklat kehitaman, tidak

karbonatan. Matriks batupasir, warna segar abu–abu tua, pasir menengah–pasir halus,

menyudut tanggung-membundar tanggung, kemas tertutup, pemilahan buruk, keras,

tidak karbonatan, dengan komponen batuan beku, abu–abu, faneritik, subhedral.

Batupasir, warna lapuk abu–abu kecoklatan, warna segar abu–abu muda, pasir halus–

menengah, membundar tanggung-menyudut tanggung, kemas tertutup, pemilahan

sedang, non-karbonatan, ukuran komponen 5cm-20cm.

Page 20: BAB III

64

A.

Convolute pada batupasir PD-44 B. Bouma Sequence pada batupasir PD-44

Foto 3.7 Struktur Sedimen yang Terdapat Pada Satuan Batupasir

3.2.1.3.2 Penyebaran dan Ketebalan

Penyebaran satuan batupasir ini terdapat pada sebelah tengah hingga selatan

daerah penelitian, yaitu Desa Jati. Singkapan satuan ini umumnya ditemukan di

sepanjang dinding dan dasar aliran Sungai Cigetan, Cilangkap, dan Cipanas. Satuan

Foto 3.6 Singkapan Batupasir di Desa Jati

Page 21: BAB III

65

batupasir menempati kurang dari 48% dari daerah penelitian. Satuan ini memiliki

arah umum jurus perlapisan (strike) relatif barat-timur, serta kemiringan lapisan (dip)

berkisar antara 450 – 700. Satuan ini memiliki ketebalan relatif 200-300 m.

3.2.1.3.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan

Pada satuan ini tidak dilakukan analisis fosil di laboratorium maka

penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada karakteristik litologi, posisi

stratigrafi terhadap satuan batuan lain, dan berdasarkan kesebandingan dengan

peneliti terdahulu.

Setelah melakukan rekonstruksi penampang dan pola jurus, diketahui bahwa

lapisan satuan batupasir nonkarbonatan berada diatas satuan batugamping dan

batupasir sehingga disimpulkan lapisan satuan batupasir nonkarbonatan ini umurnya

lebih muda daripada satuan batugamping dan batupasir. Berdasarkan posisi

litostratigrafinya, menunjukkan bahwa Satuan Batupasir ini secara stratigrafi

memiliki kisaran umur yang sama dengan Batupasir Citarum yaitu berumur Miosen

Awal-tengah. Umur relatif juga diperoleh berdasarkan kesebandingan dengan peneliti

terdahulu Sudjatmiko (1972) menyebutkan bahwa batupasir kuarsa berumur Miosen

Awal-Miosen Tengah.

Berdasarkan deskripsi megaskopis yang didapat, bentuk butir pada satuan

batupasir adalah membundar tanggung-membundar. Penulis menyimpulkan bahwa

transportasi butiran sudah cukup jauh dari sumbernya (lingkungan darat) dan

kemungkinan lingkungan pengendapan berada di laut. Berdasarkan sifat karbonatan,

Page 22: BAB III

66

peneliti menyimpulkan bahwa lingkungan pengendapan satuan batupasir

nonkarbonatan berada di daerah laut dalam karena pada daerah laut dalam sangat

kecil kemungkinkan untuk unsur-unsur karbonat berkembang (foraminifera).

Berdasarkan jenis struktur sedimen yang didapat di lapangan, indikator yang

menyatakan bahwa lingkungan pengendapan wilayah tersebut adalah laut dalam dari

adanya struktur sedimen sole marks (flute cast) dan gradded bedding (Ta), yang

menurut Bouma Sequence (1962 ) berada paling bawah dalam suatu mekanisme laut

dalam yang dipengaruhi oleh turbidite current (arus turbidit), disusul dengan parallel

laminasi (Tb) yang didapatkan pada internal bedding yang menurut Bouma

Sequence(1962) berada pada lapisan kedua. Kemudian dilanjutkan dengan adanya

struktur sedimen convolute bedding (Tc) yang menurut Bouma Sequence (1962)

berada pada lapisan ketiga. Ketiga struktur sedimen diatas (Ta,Tb,Tc) menjadikan

wilayah ini produk submarine fan yang dipengaruhi oleh mekanisme arus turbidit.

Berdasarkan karakteristik batuan yang ditemui di lapangan dan didukung

oleh kesebandingan dari peneliti sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa lingkungan

pengendapannya adalah laut dalam.

Page 23: BAB III

67

Gambar 3.6 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batupasir Berdasarkan

Permodelan Klasifikasi Lingkungan Laut

(Tipsword et al., (1996) dalam Pringgoprawiro (1994))

3.2.1.3.4 Hubungan Stratigrafi

Berdasarkan rekonstruksi data lapangan, peneliti menyimpulkan bahwa

hubungan stratigrafi satuan batupasir dengan satuan batupasir karbonatan terdapat

hubungan keselarasan (Sudjatmiko, 1972)

3.2.1.3.5 Kesebandingan Regional

Berdasarkan ciri-ciri dari batuan tersebut maka satuan batupasir ini dapat

disebandingkan dengan formasi Citarum, (Sudjatmiko,1972)

Page 24: BAB III

68

Tabel 3.5 Kesebandingan Satuan BatupasirNonkarbonatan dengan Formasi Citarum

(Sudjatmiko, 1972)

Kesebandingan Satuan BatupasirFormasi Citarum

(Sudjatmiko,1972)

Litologi Batupasir ini memiliki karateristik

warna segar abu-abu dan memiliki

warna lapuk abu-abu kehitaman,

besar butir dari pasir sangat halus-

halus, terpilah baik, menyudut

tanggung, kemas tertutup, keras,

tidak karbonatan, struktur sedimen

parallel laminasi, graded bedding,

convolute.

Batupasir berlapis

sempurna berselingan

dengan batulanau,

batulempung, greywacke

dan breksi. Menunjukkan

sifat khas turbidit . struktur

sedimen seperti perlapisan

bersusun “concolate

lamination”, “current

ripple lamination”, tapak-

tapak cacing dan lain-lain.

Terlihat berlimpah-limpah.

Hubungan

Stratigrafi

Tidak selaras dengan satuan

batupasir dibawahnya.

Tidak selaras dengan

Formasi Rajamandala.

Umur Miosen Awal-Tengah Miosen Awal-Tengah

Page 25: BAB III

69

Lingkungan

Pengendapan

Laut Dalam Laut Dalam

3.2.1.4 Satuan Tuf

3.2.1.4.1 Karakteristik Litologi

Berdasarkan pengamatan secara megaskopis yang dilakukan di lapangan

maka satuan ini memiliki karakteristik warna segar merah kecoklatan, warna lapuk

abu-abu kemerahan , ukuran butir halus-sedang, kekerasan dapat diremas, struktur

masiv,kemas tertutup, serta terdapat fragmen gelas.

Page 26: BAB III

70

Foto 3.8 Singkapan Tuf di Sungai Cibarengkok

3.2.1.4.2 Penyebaran dan Ketebalan

Penyebaran satuan Tuf ini terdapat di sebelah utara daerah penelitian, yaitu

Desa Ciptaharja. Satuan Tuf ini menempati kurang lebih 17% dari seluruh daerah

penelitian. Penyebaran satuan ini umumnya menempati satuan geomorfologi

perbukitan landai. Pada satuan ini, peneliti mengalami kesulitan untuk membuat

perkiraan ketebalan karena satuan Tuf bersifat endapan jatuhan (gravitasi) yang

bersifat menutup satuan batupasir karbonatan dibawahnya sehingga tidak memiliki

nilai strike/dip.

3.2.1.4.3 Umur Relatif dan Lingkungan Pengendapan

Pada satuan ini tidak ditemukan keberadaan fosil, baik formainifera

plangtonik maupun bentonik, maka penentuan umur satuan ini lebih didasarkan pada

posisi stratigrafinya terhadap satuan batuan lain dan berdasarkan kesebandingan

dengan peneliti terdahulu. Berdasarkan posisi litostratigrafinya, menunjukkan bahwa

Satuan tuf ini secara stratigrafi memiliki umur yang sama dengan formasi gunungapi

kuarter yaitu berumur kuarter. Umur relatif juga diperoleh berdasarkan

kesebandingan dengan peneliti terdahulu Sudjatmiko (1972) menyebutkan bahwa tuf

memiliki umur Kuarter. Dari karakteristik satuan ini, tidak ditemukan sifat

karbonatan dan fosil cangkang di dalam tuf sehingga ditafsirkan bahwa lingkungan

pengendapan terjadi pada lingkungan darat.

Page 27: BAB III

71

Gambar 3.7

Interpretasi Lingkungan Pengendapan Satuan Batupasir Berdasarkan Permodelan

(Tipsword et al., (1996) dalam Pringgoprawiro (1994)

3.2.1.4.4 Hubungan Stratigrafi

Satuan tuf ini merupakan hasil endapan dari aktifitas vulkanik dari gunung

Gede. Berdasarkan rekonstruksi data lapangan, satuan tuf ini berbatasan dengan

Page 28: BAB III

72

satuan batupasir karbonatan. Hubungan stratigrafi antara satuan tuf dan satuan

batupasir karbonatan adalah tidak selaras.

3.2.1.4.5 Kesebandingan Regional

Berdasarkan ciri-ciri dari batuan tersebut maka satuan tuf ini dapat

disebandingkan dengan hasil gunungapikuarter, (Sudjatmiko, 1972)

Tabel 3.6 Kesebandingan Satuan Tuf dengan Hasil Endapan Gunung Api Kuarter

(Sudjatmiko, 1972)

Kesebandingan Satuan tufGn. Api Kuarter

(Sdujatmiko, 1972)

Litologi Kenampakan megaskopis

ini memiliki ciri-ciri fisik

warna segar merah

kecoklatan, warna lapuk

abu-abu kemerahan ,

ukuran butir halus-sedang,

kekerasan dapat diremas,

struktur masiv,kemas

tertutup, serta terdapat

fragmen gelas.

Breksi dan deposit lahar

dari G. Gede dengan

ketebalan (0-100m).

Batupasir tufan,

batulempung, breksi dan

konglomerat. Pembentuk

pedataran di daerah

Cianjur.

Page 29: BAB III

73

Umur Kuarter Kuarter

Lingkungan Pengendapan Darat Darat

3.2.2 Struktur Geologi

Analisa keterdapatan struktur geologi pada daerah penelitian dilakukan

berdasarkan data pengamatan di lapangan, melalui pengukuran kekar, arah pola jurus

perlapisan batuan, dan pengukuran pada cermin sesar. Selain itu, interpretasi struktur

geologi juga didukung oleh pola-pola kelurusan yang terlihat pada citra DEM (Digital

Elevation Model), dengan acuan perbedaan ketinggian kontur dan kelurusan

punggungan. Struktur yang berkembang di daerah ini meliputi lipatan, kekar dan

sesar di mana pembentukannya banyak dipengaruhi oleh tektonik kompresi yang

relatif berarah Utara-Selatan. Gaya dominan yang membentuk struktur ini dihasilkan

oleh subduksi antara lempeng Indo-Australia yang menunjam ke bawah lempeng

Eurasia (Hamilton, 1979).

Page 30: BAB III

74

Gambar 3.8 Kenampakan Citra DEM SRTM

(Digital Elevation Modelling Shuttle Radar Topography Mision)

Data yang digunakan dalam interpretasi struktur geologi terbagi menjadi

dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari

pengamatan langsung di lapangan dan analisis hasil data tersebut meliputi data kekar,

data cermin sesar, anomali strike/dip, offset litologi, dan zona hancuran,

data sekunder merupakan data yang didapat dari pengamatan secara tidak langsung

atau berdasarkan hasil peneliti sebelumnya, meliputi analisis punggungan (Gambar

3.8, pembelokan aliran sungai dan analisis topografi).

Pengolahan kedua data tersebut menghasilkan dua lipatan utama, tiga sesar

oblique dan satu sesar naik di daerah penelitian.

3.2.2.1 Kekar

Struktur kekar yang ditemukan pada daerah penelitian umumnya berkembang

pada batupasir. Terdapat 2 jenis kekar yang berkembang, yaitu:

3.2.2.1.1 Kekar Tarik

Kenampakannya kekar ini di lapangan berupa rekahan-rekahan dengan pola

yang cenderung tidak teratur. Pada beberapa bagian, bidang-bidang rekahan dari

kekar ini terisi oleh mineral kalsit.

Page 31: BAB III

75

Foto 3.9 Kekar Tarik Pada Batupasir

3.2.2.1.2 Kekar Gerus

Kenampakannya di lapangan berupa rekahan-rekahan dengan pola yang

cenderung teratur. Kekar ini diinterpretasikan terbentuk berasosiasi dengan struktur-

struktur geologi yang berukuran lebih besar antara lain struktur sesar yang

berkembang di lapangan, sehingga kehadiran kekar ini dapat menjadi indikasi

kehadiran struktur sesar tersebut.

Page 32: BAB III

76

Foto 3.10 Kekar Gerus Pada Batupasir

3.2.2.2 Lipatan

Berdasarkan hasil rekonstruksi peta pola jurus maka di daerah penelitian

terdapat dua struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin yang terletak berdekatan

,yaitu di daerah Bukit Pasir Ipis. Untuk mengamati adanya struktur perlipatan di

lapangan yaitu dengan melihat perubahan berangsur pada kemiringan (dip) lapisan

batuan, perulangan urutan variasi litologi, pembalikan dengan menentukan top dan

bottom nya yang tidak sesuai dengan arah kemiringan lapisan.

3.2.2.2.1 Sinklin Pasir Ipis

Daerah penelitian mempunyai salah satu struktur lipatan, yaitu Sinklin Pasir

Ipis yang terdapat pada bagian barat laut daerah penelitian dengan data dari

singkapan batupasir di Desa Rajamandala. Rekonstruksi lipatan pada daerah ini

umumnya berdasarkan perbedaan arah perlapisan batuan yang berhadapan, yaitu pada

Stasiun Pd 48, Pd 65 dan sekitarnya, serta analisis punggungan pada Citra DEM

SRTM (Gambar 3.9). Lipatan sinklin ini termasuk dalam jenis moderately plunging

moderately inclined fold berdasarkan klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964.

Berdasarkan hasil proyeksi stereografi (Gambar 3.10), didapatkan unsur-

unsur lipatan sebagai berikut :

1. Limb rata-rata bagian utara N 1100 E/700

2. Limb rata-rata bagian selatan N 2400 E/500

Page 33: BAB III

77

3. Trend / Plunge 2740 / 340

Gambar 3.10 Proyeksi Stereografi Sinklin Pasir Ipis

3.2.2.2.2 Antiklin Pasir Ipis

Pada daerah penelitian bagian barat daya terdapat juga antiklin yang terletak

berdekatan dengan sinklin di daerah Bukit Pasir Ipis. Rekonstruksi lipatan pada

daerah ini umumnya berdasarkan hasil penarikan arah jurus dan kemiringan

perlapisan batuan yang menunjukkan arah kemiringan batuan (dip) yang menjauhi

titik pusat atau saling berlawanan yaitu pada Stasiun Pd 48 dan Pd 65 dan sekitarnya.

Lipatan antiklin ini termasuk dalam jenis gently plunging moderately inclined fold

berdasarkan klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964.

Berdasarkan hasil proyeksi stereografi (Gambar 3.11), didapatkan unsur-

unsur lipatan sebagai berikut :

1. Limb rata-rata bagian utara N 1500 E/300

2. Limb rata-rata bagian selatan N 900 E/550

Page 34: BAB III

78

3. Trend / Plunge 2420 / 290

Gambar 3.11 Proyeksi Stereografi Antiklin Pasir Ipis

3.2.2.3 Sesar

Berdasarkan analisis topografi, Citra DEM SRTM (Gambar 3.8), pola aliran

sungai dan data-data lapangan yang mengindikasikan sesar maka terdapat empat buah

sesar pada daerah penelitian, yaitu Sesar Naik Cileat, Sesar Sinistral Normal

Cisameng, Sesar Naik Sinistral Cileat, dan Sinistral Normal Cileat Kidul. Letak

keempat sesar ini berdekatan dan hampir sejajar pada garis horizontal yang terletak

pada daerah sungai Cileat (zona hancuran) pada bagian utara peta yaitu pada daerah

Desa Ciptaharja.

3.2.2.3.1 Sesar Sinistral Normal Cisameng

Rekonstruksi sesar sinistral normal ini berdasarkan pola lineament yang

relatif berarah barat laut – tenggara. Jika dilihat dari peta kelurusan sungai, terdapat

Page 35: BAB III

79

pembelokan arah sungai yang sangat jelas yang mengindikasikan adanya zona lemah

yang diakibatkan oleh Sesar Sinistral Normal Cisameng sehingga tegasan dominan

kemungkinan berarah Utara-Selatan. Sesar ini terdapat pada lapisan batupasir

perselingan lempung pada stasiun Pd 27. Sesar utama ini termasuk ke dalam Normal

Left Slip Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar dengan bidang sesar

N 500 E/800, dengan pitch 420 SW.

Foto 3.11 Bidang Sesar di Anak Sungai Cileat pada Stasiun Pd 27

Page 36: BAB III

80

Gambar 3.13 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Sinistral Normal

Gambar 3.14 Diagram

Rosette Pada Sesar Sinistral Normal

Berdasarkan data stereografi diatas, tekanan paling besar memiliki arah

relatif Utara-Selatan sehingga menghasilkan arah pecahan timur laut – barat daya

menghasilkan sesar sinistral dan dibantu oleh sigma 2 sebagai tekanan kedua yg

paling besar sehingga mengerakkan foot wall relatif keatas terhadap hanging wall

dan menghasilkan sesar sinistral normal.

3.2.2.3.2 Sesar Naik Sinistral Cileat

Page 37: BAB III

81

Sesar naik sinistral Cileat berada di utara daerah penelitian. Sesar ini berarah

relatif Barat - Timur yang memanjang dari Sungai Cileat sampai Desa Saguling.

Keberadaan sesar ini di dekat stasiun Pd 22 dan sejajar dengan sesar sinistral normal

Cisameng yang tegak lurus terhadap kelurusan Sungai Cileat. Indikasi atau bukti

lapangan keterdapatan sesar ini adalah adanya bidang sesar dan pitch pada batupasir

sisipan breksi polimik pada pinggir sungai Cileat dengan arah penyebaran batuan

berkisar antara N 1100 E / 120. Sesar utama ini termasuk ke dalam Left Reverse Slip

Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar N 550 E/800, dengan pitch

600SW.

Foto 3.12 Bidang Sesar di Anak Sungai Cileat Pada Stasiun Pd 22

Page 38: BAB III

82

Gambar 3.15 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Naik Sinistral

Gambar 3.16 Diagram

Rosette Pada Sesar Naik Sinistral

Berdasarkan hasil stereograf di atas dapat dilihat arah tegasan yang paling

besar berarah relatif Tenggara – Barat Laut dan Utara-Selatan sehingga menghasilkan

sesar naik sinistral.

3.2.2.3.3 Sesar Sinistral Normal Cileat Kidul

Sesar Normal Sinistral Cileat kidul berada di utara daerah penelitian. Sesar

ini berarah relatif Barat Daya – Timur Laut yang memanjang dari Sungai Cileat

sampai Desa Saguling. Sesar normal sinistral ini berada di dekat stasiun Pd 18.

Page 39: BAB III

83

Indikasi atau bukti lapangan keterdapatannya adalah adanya bidang sesar dan pitch

pada batupasir sisipan batulempung pada pinggir sungai Cileat dengan arah

penyebaran batuan berkisar antara N 45 E/30⁰ ⁰. Sesar utama ini termasuk ke dalam

Normal Left Slip Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar N 450 E/500,

dengan pitch 390SW.

Foto 3.13 Bidang Sesar di Anak Sungai Cileat Pada Stasiun Pd 18

Page 40: BAB III

84

Gambar 3.17 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Sinistral Normal

Gambar 3.18 Diagram Rosette Pada Sesar Sinistral Normal

Page 41: BAB III

85

Berdasarkan hasil stereograf di atas dapat dilihat arah tegasan yang paling

besar berarah relatif Utara – Selatan dan sehingga menghasilkan sesar sinistral

normal.

3.2.2.3.4 Sesar Naik Cileat

Berdasarkan rekonstruksi topografi dan data slicken side dilapangan terdapat

satu sesar naik yang berada di utara daerah penelitian. Sesar ini berarah relatif Barat-

Timur. sesar ini memotong lapisan batupasir Desa Rajamandala dan Tuf pada daerah

Desa Ciptaharja. Bukti lapangan keterdapatan sesar ini terdapat pada stasiun Pd 22

yang menunjukan bidang perlapisan yang tidak sesuai atau offset yang menunjukkan

pergerakan relatif hangingwall naik terhadap footwall. Sesar utama ini termasuk ke

dalam Thrust Fault (Rickard, 1972) karena mempunyai bidang sesar N 750 E/400,

dengan pitch 820E.

Foto 3.14 Slicken Side dengan Pitch 820

Page 42: BAB III

86

Gambar 3.19 Stereonet Data Kekar Pada Sesar Naik Cileat

Gambar 3.20 Diagram Rosette Pada Sesar Naik Cileat

Page 43: BAB III

87

3.2.3 Sejarah Geologi

Geologi sejarah daerah penelitian dimulai dari Oligosen hingga Pliosen-

Plistosen. Pada kala Oligosen Akhir, diawali dengan pembentukan terumbu pada laut

dangkal dimana kondisi air laut relatif stabil dengan penetrasi cahaya matahari yang

baik dan keadaan air laut yang masih jernih. Pada kala ini terendapkan satuan

batupasir karbonatan yang menjemari dengan satuan batugamping. Selanjutnya pada

kala Miosen Awal terjadi kenaikan kolom air akibat, terjadi peningkatan aktifitas

tektonik di Jawa Barat. Aktifitas tektonik ini menyebabkan penekukan pada cekungan

pengendapan, daerah penelitian yang sebelumnya berada pada lingkungan laut

dangkal berubah menjadi lingkungan laut dalam. Hal ini terlihat dari kemunculan

endapan laut dalam yang mengendapkan material pasir, lempung, serta lanau sebagai

satuan batupasir nonkarbonatan waktu Miosen awal – Miosen tengah. Paket endapan

Bouma Sequence yang terlihat di lapangan, yaitu Ta (Graded Bedding), Tb (Paralel

laminasi), dan Tc (Convolute) merupakan indikasi satuan ini terendapkan pada

lingkungan laut dalam dengan arus turbid. Selanjutnya pada kala Pliosen-Plistosen

berlangsung proses tektonik yang bersifat kompresional berarah relatif utara-selatan,

yang mengakibatkan terjadi perlipatan dan pensesaran. Pada daerah penelitian, lipatan

yang terbentuk pada kala ini adalah sinklin pasir ipis dan antiklin pasir ipis. Proses

tektonik ini menghasilkan sesar naik cileat yang mengangkat satuan batugamping dan

satuan batupasir karbonatan. Diduga karena proses tektonik yang terus berlangsung

menyebabkan terbentuknya sesar mendatar yang memotong sesar naik sebelumnya.

Pada daerah penelitian, sesar mendatar yang terbentuk adalah sesar sinistral normal

Page 44: BAB III

88

cisameng, sesar naik sinistral cileat, dan sesar sinistral normal cileat kidul. Umur

sesar mendatar lebih muda dari sesar naik. Aktifitas tektonik ini juga menyebabkan

proses pengangkatan ke lingkungan darat. Pada kala plistosen, terjadi proses

pelapukan dan erosi pada batuan-batuan yang berumur tersier sehingga membentuk

roman permukaan yg hampir sama dengan sekarang. Proses pengangkatan mengubah

lingkungan busur gunungapi yang sebelumnya berada di lingkungan laut menjadi

lingkungan darat. Hal ini terlihat dari kemunculan batuan-batuan vulkanik berupa

satuan tuf yang terbentuk pada lingkungan darat.

3.2.4 Sumber Daya dan Kebahayaan Geologi

Pada daerah penelitian terdapat potensi bahan galian yang dapat ditemui

sebagai salah satu potensi alam, dan juga sebagai penguat ekonomi untuk masyarakat

setempat. Bahan galian yang dimaksud mengambil potensi dari satuan batugamping,

yang digunakan sebagai bahan untuk industri keramik, sebagai material untuk

pondasi bangunan dan digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai material pengeras

jalan.

Page 45: BAB III

89

Foto 3.15 Batugamping Sebagai Potensi Bahan Galian

Selain batugamping pada lokasi penelitian, penduduk sekitar juga

menggunakan Tuf sebagai bahan galian yang digunakan untuk membuat bahan

bangunan.

Foto 3.16 Tuf Sebagai Potensi Bahan Galian