bab iii
DESCRIPTION
ADHFTRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi jantung
Jantung terletak dalam ruang mediastinum rongga dada, yaitu diantara paru.
Perikardium yang meliputi jantung terdiri dari dua lapisan: lapisan dalam
(perikardium viseralis) dan lapisan luar (perikardium parietalis). Kedua lapisan
perikardium ini dipisahkan oleh sedikit cairan pelumas, yang mengurangi gesekan
akibat gerakan pemompa jantung. Perikardium parietalis melekat ke depan pada
sternum, ke belakang pada kolumna vertebralis, dan kebawah pada diafragma,
perlekatan ini menyebabkan jantung terletak stabil di tempatnya10.
Secara anatomis jantung adalah satu organ, sisi kanan dan kiri jantung
berfungsi sebagai dua pompa yang terpisah, yaitu jantung kanan yang memompa
darah ke paru-paru, dan jantung kiri yang memompa darah ke organ-organ
perifer11.
Gambar: Anatomi Jantung11.
3.2 Fisiologi Jantung
Jantung terdiri atas tiga tipe otot jantung yang utama yakni: otot atrium, otot
ventrikel, dan serabut otot eksitatorik dan konduksi khusus. Tipe otot atrium dan
ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka, hanya saja
durasi kontraksi otot-otot tersebut lebih lama. Sebaliknya, serabut-serabut khusus
eksitatorik dan konduksi berkontraksi dengan lemah sekali sebab serabut-serabut
ini hanya mengandung sedikit serabut kontraktil; justru mereka memperlihatkan
pelepasan muatan listrik berirama yang otomatis dalam bentuk potensial aksi atau
konduksi potensial aksi atau konduksi potensial aksi yang melalui jantung, yang
bekerja sebagai suatu sistem eksitatorik yang mengatur denyut jantung yang
berirama12,13.
Fungsi utama jantung adalah memompa darah keseluruh tubuh dimana
saat memompa otot-otot jantung ikut bergerak. Vena cava superior dan inferior
serta vena intrinsik di jantung menyalurkan darah vena masuk ke atrium dextrum.
Darah kemudian masuk ke ventrikulus dexter, dari sini di pompa ke trancus
pulmonalis. Arteri pulmonalsi dexter dan sinister akan mengalirkan darah venosa
menuju pulmo dan vv. Pulmonalis mengembalikan darah ke atrium sinistra. Darah
kemudian masuk ke ventriculus sinister, dari sini di pompa ke aorta, akhirnya
sirkulasi darah sistemik akan terbentuk. Valvea pada jantung yang penting ada
empat: Valva atrioventricularis dexter dan sinister, Valva trunci pulmonalis
antara ventriculus dexter dengan trancus pulmonalis dan valve aortae antara
ventriculus sinister dengan aorta14.
3.3 Sistem Konduksi Jantung
Umumnya jantung berkontraksi secara ritmik sekitar 70 sampai 90 denyut
per menit pada orang dewasa dalam keadaan istirahat. Sistem konduksi jantung
terdiri atas otot jantung khusus yang terdapat pada nodus sinuatrialis, nodus
atrioventricularis, fasciculus atrioventricularis beserta dengan curus dextrum dan
crus sinistrumnya, dan plexus sub-endocardial serabut purkinje. (serabut khusus
otot jantung yang membentuk sistem konduksi jantung)15.
Gambar 3 : Sistem konduksi jantung15.
3.4 Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tiadanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi NAV yang normal, FA
biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali cepat.16
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:17
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan.
Kadang-kadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa
sadapan EKG, paling sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.
3.5 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:17
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang
pertama kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang
durasi atau berat ringannya gejala yang muncul
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48
jam, namun dapat berlanjut hingga 7 hari
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari
atau FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan
hingga ≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh
dokter (dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan
lagi. Apabila strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke
kategori FA persisten lama.
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain.
Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA
paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya.
Untuk itu, secara praktis, pasien dapat dimasukkan ke salah satu kategori di atas
berdasarkan manifestasi klinis yang paling dominan.
Selain dari 5 kategori yang disebutkan diatas, yang terutama ditentukan
oleh awitan dan durasi episodenya, terdapat beberapa kategori FA tambahan
menurut ciri-ciri dari pasien:18
1. FA sorangan (lone): FA tanpa disertai penyakit struktur kardiovaskular
lainnya, termasuk hipertensi, penyakit paru terkait atau abnormalitas
anatomi jantung seperti pembesaran atrium kiri, dan usia di bawah 60
tahun.
2. FA non-valvular: FA yang tidak terkait dengan penyakit rematik mitral,
katup jantung protese atau operasi perbaikan katup mitral.
3. FA sekunder: FA yang terjadi akibat kondisi primer yang menjadi pemicu
FA, seperti infark miokard akut, bedah jantung, perikarditis, miokarditis,
hipertiroidisme, emboli paru, pneumonia atau penyakit paru akut lainnya.
Sedangkan FA sekunder yang berkaitan dengan penyakit katup disebut FA
valvular.
Respon ventrikel terhadap FA, sangat tergantung pada sifat elektrofisiologi
dari NAV dan jaringan konduksi lainnya, derajat tonus vagal serta simpatis, ada
atau tiadanya jaras konduksi tambahan, dan reaksi obat.
Berdasarkan kecepatan laju respon ventrikel (interval RR) maka FA dapat
dibedakan menjadi:
1. FA dengan respon ventrikel cepat : Laju ventrikel >100x/ menit
2. FA dengan respon ventrikel normal : Laju ventrikel 60- 100x/menit
3. FA dengan respon ventrikel lambat : Laju ventrikel <60x/ menit
3.6 Penegakan diagnosis
Dalam penegakan diagnosis FA, terdapat beberapa pemeriksaan minimal
yang harus dilakukan dan pemeriksaan tambahan sebagai pelengkap. Pada
panduan ini, rekomendasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan tingkat
kelengkapan pusat kesehatan terkait.
Anamnesis
Spektrum presentasi klinis FA sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik
hingga syok kardiogenik atau kejadian serebrovaskular berat. Hampir >50%
episode FA tidak menyebabkan gejala (silent atrial fibrillation).19 Beberapa gejala
ringan yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain:
Palpitasi. Umumnya diekspresikan oleh pasien sebagai: pukulan
genderang, gemuruh guntur, atau kecipak ikan di dalam dada.20
Mudah lelah atau toleransi rendah terhadap aktivitas fisik
Presinkop atau sinkop
Kelemahan umum, pusing
Selain itu, FA juga dapat menyebabkan gangguan hemodinamik,
kardiomiopati yang diinduksi oleh takikardia, dan tromboembolisme sistemik.
Penilaian awal dari pasien dengan FA yang baru pertama kali terdiagnosis harus
berfokus pada stabilitas hemodinamik dari pasien.21
Selain mencari gejala-gejala tersebut diatas, anamnesis dari setiap pasien yang
dicurigai mengalami FA harus meliputi pertanyaanpertanyaan yang relevan,
seperti:22
Penilaian klasifikasi FA berdasarkan waktu presentasi, durasi, dan
frekuensi gejala.
Penilaian faktor-faktor presipitasi (misalnya aktivitas, tidur, alkohol).
Peran kafein sebagai faktor pemicu masih kontradiktif.23
Penilaian cara terminasi (misalnya manuver vagal).
Riwayat penggunaan obat antiaritmia dan kendali laju sebelumnya.
Penilaian adakah penyakit jantung struktural yang mendasarinya.
Riwayat prosedur ablasi FA secara pembedahan (operasi Maze) atau
perkutan (dengan kateter).
Evaluasi penyakit-penyakit komorbiditas yang memiliki potensi untuk
berkontribusi terhadap inisiasi FA (misalnya hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, hipertiroid, penyakit jantung valvular, dan
PPOK).
Tabel . Pertanyaan yang relevan untuk ditanyakan pada pasien yang dicurigai atau
diketahui FA.24
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis selalu dimulai dengan pemeriksaan jalan nafas
(Airway), pernafasan (Breathing) dan sirkulasi (Circulation) dan tanda-tanda vital,
untuk mengarahkan tindak lanjut terhadap FA. Pemeriksaan fisis juga dapat
memberikan informasi tentang dasar penyebab dan gejala sisa dari FA.22
Tanda Vital
Pengukuran laju nadi, tekanan darah, kecepatan nafas dan saturasi oksigen
sangat penting dalam evaluasi stabilitas hemodinamik dan kendali laju yang
adekuat pada FA. Pada pemeriksaan fisis, denyut nadi umumnya ireguler dan
cepat, sekitar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi 160-170x/menit. Pasien
dengan hipotermia atau dengan toksisitas obat jantung (digitalis) dapat mengalami
bradikadia.
Kepala dan Leher
Pemeriksaan kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus,
pembesaran tiroid, peningkatan tekanan vena jugular atau sianosis. Bruit pada
arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan kemungkinan adanya
komorbiditas penyakit jantung koroner.
Paru
Pemeriksaan paru dapat mengungkap tanda-tanda gagal jantung (misalnya
ronki, efusi pleura). Mengi atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan adanya
penyakit paru kronik yang mungkin mendasari terjadinya FA (misalnya PPOK,
asma)
Jantung
Pemeriksaan jantung sangat penting dalam pemeriksaan fisis pada pasien
FA. Palpasi dan auskultasi yang menyeluruh sangat penting untuk mengevaluasi
penyakit jantung katup atau kardiomiopati. Pergeseran dari punctum maximum
atau adanya bunyi jantung tambahan (S3) mengindikasikan pembesaran ventrikel
dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II (P2) yang mengeras dapat
menandakan adanya hipertensi pulmonal.
Pulsus defisit, dimana terdapat selisih jumlah nadi yang teraba dengan
auskultasi laju jantung dapat ditemukan pada pasien FA.
Abdomen
Adanya asites, hepatomegali atau kapsul hepar yang teraba mengencang
dapat mengindikasikan gagal jantung kanan atau penyakit hati intrinsik. Nyeri
kuadran kiri atas, mungkin disebabkan infark limpa akibat embolisasi perifer.
Ekstremitas bawah
Pada pemeriksaan ekstremitas bawah dapat ditemukan sianosis, jari tabuh
atau edema. Ekstremitas yang dingin dan tanpa nadi mungkin mengindikasikan
embolisasi perifer. Melemahnya nadi perifer dapat mengindikasikan penyakit
arterial perifer atau curah jantung yang menurun.
Neurologis
Tanda-tanda Transient Ischemic Attack (TIA) atau kejadian
serebrovaskular terkadang dapat ditemukan pada pasien FA. Peningkatan refleks
dapat ditemukan pada hipertiroidisme.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk mencari gangguan/ penyakit
yang tersembunyi, terutama apabila laju ventrikel sulit dikontrol. Satu studi
menunjukkan bahwa elevasi ringan troponin I saat masuk rumah sakit terkait
dengan mortalitas dan kejadian kardiak yang lebih tinggi, dan mungkin berguna
untuk stratifikasi risiko.26
Pemeriksaan laboratorium yang dapat diperiksa antara lain:27
Darah lengkap (anemia, infeksi)
Elektrolit, ureum, kreatinin serum (gangguan elektrolit atau gagal ginjal)
Enzim jantung seperti CKMB dan atau troponin (infark miokard sebagai
pencetus FA)
Peptida natriuretik (BNP, N-terminal pro-BNP dan ANP) memiliki
asosiasi dengan FA. Level plasma dari peptida natriuretik tersebut
meningkat pada pasien dengan FA paroksismal maupun persisten, dan
menurun kembali dengan cepat setelah restorasi irama sinus.28
D-dimer (bila pasien memiliki risiko emboli paru)
Fungsi tiroid (tirotoksikosis)
Kadar digoksin (evaluasi level subterapeutik dan/atau toksisitas)
Uji toksikologi atau level etanol
Elektrokardiogram (EKG) 22
Temuan EKG biasanya dapat mengkonfirmasi diagnosis FA dan biasanya
mencakup laju ventrikel bersifat ireguler dan tidak terdapat gelombang P yang
jelas, digantikan oleh gelombang F yang ireguler dan acak, diikuti oleh kompleks
QRS yang ireguler pula.
Manifestasi EKG lainnya yang dapat menyertai FA antara lain:
Laju jantung umumnya berkisar 110-140x/menit, tetapi jarang melebihi
160-170x/menit.
Dapat ditemukan denyut dengan konduksi aberan (QRS lebar)
setelah siklus interval R-R panjang-pendek (fenomena Ashman)
Preeksitasi
Hipertrofi ventrikel kiri
Blok berkas cabang
Tanda infark akut/lama
Elektrokardiogram juga diperlukan untuk memonitor interval QT dan QRS
dari pasien yang mendapatkan terapi antiaritmia untuk FA.
Foto toraks
Pemeriksaan foto toraks biasanya normal, tetapi kadangkadang dapat
ditemukan bukti gagal jantung atau tanda-tanda patologi parenkim atau vaskular
paru (misalnya emboli paru, pneumonia).
Uji latih atau uji berjalan enam-menit
Uji latih atau uji berjalan enam-menit dapat membantu menilai apakah strategi
kendali laju sudah adekuat atau belum (target nadi <110x/menit setelah berjalan
6-menit). Uji latih dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat
antiaritmia kelas 1C dan dapat digunakan juga untuk mereproduksi FA yang
dicetuskan oleh aktivitas fisik.22
Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendeteksi trombus di atrium kiri, dan ekokardiografi transesofageal adalah
modalitas terpilih untuk tujuan ini.
Ekokardiografi transtorakal (ETT) terutama bermanfaat untuk :
Evaluasi penyakit jantung katup
Evaluasi ukuran atrium, ventrikel dan dimensi dinding
Estimasi fungsi ventrikel dan evaluasi trombus ventrikel
Estimasi tekanan sistolik paru (hipertensi pulmonal)
Evaluasi penyakit perikardial
Ekokardiografi transesofageal (ETE) terutama bermanfaat untuk :
o Trombus atrium kiri (terutama di AAK)
o Memandu kardioversi (bila terlihat trombus, kardioversi harus
ditunda)
Computed tomography (CT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI)
Pada pasien dengan hasil D-dimer positif, CT angiografi mungkin
diperlukan untuk menyingkirkan emboli paru. Teknologi 3 dimensi seperti CT
scan atau MRI seringkali berguna untuk mengevaluasi anatomi atrium bila
direncanakan ablasi FA. Data pencitraan dapat diproses untuk menciptakan peta
anatomis dari atrium kiri dan VP.
Monitor Holter atau event recording
Monitor Holter dan event recording dapat berguna untuk menegakkan
diagnosis FA paroksismal, dimana pada saat presentasi, FA tidak terekam pada
EKG. Selain itu, alat ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi dosis obat
dalam kendali laju atau kendali irama.29
Studi Elektrofisiologi
Studi elektrofisiologi dapat membantu mengidentifikasi mekanisme
takikardia QRS lebar, aritmia predisposisi, atau penentuan situs ablasi kuratif.
3.7 Penatalaksanaan
Secara umum risiko stroke pada FA adalah 15% per tahun yaitu berkisar
1,5% pada kelompok usia 50 sampai 59 tahun dan meningkat hingga 23,5% pada
kelompok usia 80 sampai 89 tahun.31 Sedangkan rerata insiden stroke dan emboli
sistemik lain adalah 5% (berkisar 3-4%).32Oleh karena itu, penting sekali
mengidentifikasi pasien FA yang memiliki risiko tinggi stroke dan tromboemboli.
Akan tetapi pada praktik sehari-hari yang lebih penting justru identifikasi pasien
FA yang benar-benar risiko rendah mengalami stroke agar risiko yang tidak perlu
akibat pemberian antikoagulan dapat dihindari. Terapi antitrombotik tidak
direkomendasikan pada pasien FA yang berusia <65 tahun dan FA sorangan
karena keduanya termasuk benar-benar risiko rendah dengan tingkat kejadian
stroke yang sangat rendah.33
Terapi Antitrombotik
Terapi antitrombotik yang dipergunakan untuk prevensi stroke pada pasien
FA meliputi antikoagulan (antagonis vitamin K dan antikoagulan baru), dan
antiplatelet. Jenis antitrombotik lain yaitu trombolitik tidak digunakan untuk
prevensi stroke pasien FA.
Antagonis vitamin K (AVK)
Antagonis vitamin K (warfarin atau coumadin) adalah obat
antikoagulan yang paling banyak digunakan untuk pencegahan stroke pada
FA.
Antikoagulan Baru (AKB)
Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran
Indonesia, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja
dengan cara menghambat langsung trombin sedangkan rivaroxaban dan
apixaban keduanya bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.
3.8 Definisi
Banyak definisi yang telah digunakan selama lebih 50 tahun untuk
mendefinisikan gagal jantung. Gejala-gejala yang menjadi sorotan antara lain
kompleks gejala seperti haemodynamik, konsumsi oksigen atau kapasitas
melakukan kegiatan fisik. Gagal jantung merupakan gejala-gejala dimana pasien
memenuhi ciri berikut: gejala-gejala gagal jantung, nafas pendek yang khas
selama istirahat atau saat melakukan aktifitas, dan atau kelelahan; tanda-tanda
retensi cairan seperti kongestif pulmonal atau pembengkakan tungkai.34,35
Selain itu gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis
dimana pasien memiliki beberapa gambaran antara lain gejala khas gagal jantung
(sesak nafas saat aktifitas fisik atau saat istirahat, kelelahan, keletihan,
pembengkakan pada tungkai) dan tanda khas gagal jantung (takikardia, takipnea,
pulmonary rales, efusi pleura, peningkatan vena jagularis, edema perifer,
hepatomegali) dan temuan objektif pada abnormalitas struktur dan fungsi jantung
saat istirahat (kardiomegali, bunyi jantung ketiga, cardiac murmur, abnormalitas
pada elektrokardiogram, penigkatan konsentrasi natriuretic peptide).36
3.9 Etiologi
Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab
yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan
atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan
vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi
(AF). Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard,
menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit
katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%.36
Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung
secara struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal [dengan ketiadaan penyakit
jantung koroner, hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital
lainnya] yang berperan terjadinya abormalitas miokard. 36
Penyebab umum gagal jantung oleh karena penyakit otot jantung (penyakit
miokardial).36
Penyakit jantung coroner
Banyak manifestasi
Hipertensi Sering dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel kanan dan fraks injeksi
Kardiomiopati Faktor genetic dan non – genetic (termasuk yang didapat seperti myocarditis)Hypertrophic (HCM), dilated(DCM), restrictive (RCM), arrhythmogenic right ventricular(ARVC), yang tidak terklasifikasikan
Obat – obatan β - Blocker, calcium antagonists,antiarrhythmics, cytotoxic agent
Toksin Alkohol, cocaine, trace elements(mercury, cobalt, arsenik)
Endokrin Diabetes mellitus, hypo/hyperthyroidism, Cushing syndrome, adrenal insufficiency,excessive growth hormone, phaeochromocytoma
Nutrisional Defisiensi thiamine, selenium, carnitine. Obesitas, kaheksia
Infiltrative Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis, penyakit jaringan ikat
Lainnya Penyakit Chagas, infeksi HIV,peripartum cardiomyopathy,gagal ginjal tahap akhir
3.10 Patofisiologi
Ketidakmampuan dan kegagalan jantung memompa darah secara langsung
menciptakan suatu keadaan hipovolemik relatif yang lebih dikenal dengan arterial
underfilling. Selain itu respon terhadap faktor-faktor neurohormonal (seperti
sistem saraf simpatis, renin-angiotensin-aldosterone system, arginine vasopressin
dan endotelin-1) menjadi teraktivasi untuk mempertahankan euvolemia yang
menyebabkan retensi cairan, vasokonstriksi, atau keduanya. Pada pasien tanpa
gagal jantung, respon ini untuk mengakhiri volume cairan yang telah
dipertahakan.37
Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi aktivasi sitokin proinflamasi
dan mediator-mediator apoptosis miosit. Elevasi neurohormonal dan
imunomodulator yang diamati pada pasien dengan ADHF yang dikaitkan dengan
perburukan gejala gagal jantung dan perburukan prognosis pasien .37
Gambar: Dampak dari mediator secara patofisiologi pada hemodinamik pada pasien dengan gagal jantung. PCWP =pulmonary capillary wedge pressure; SNS = sympathetic nervous system; SVR
= systemic vascular resistance.37
Aktifitas Neurohormonal pada ADHF
Pada pasien dengan gagal jantung, aktivasi sistem saraf simpatik mencegah
terjadinya arterial underfilling yang meningkatkan cardiac output sampai
toleransi berkembang dengan dua mekanisme. Pertama, myocardial 1 –
receptor terpisah dari second messenger protein, yang mengurangi jumlahcyclic
adenosine 5¸-monophosphate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah interaksi
reseptor ligan tertentu. Kedua, mekanismedephosphorylation menginternalisasi 1-
reseptor dalam vesikula sitoplasma di miosit tersebut. Bahkan dengan latar
belakang tingkat toleransi., peningkatan marker akut pada katekolamin diamati di
antara pasien dengan ADHF masih mengangkat cAMP miokard, meningkatkan
konsentrasi kalsium intraseluler dan tingkat metabolisme anaerobik. Hal ini dapat
meningkatkan risiko tachyarrhythmias ventrikel dan kematian sel terprogram.
Selain itu, overdrive simbol-menyedihkan menyebabkan ditingkatkan 1-reseptor
rangsangan tidak mengakibatkan toleransi dan meningkatkan derajat
vasokonstriksi sistemik, meningkatkan stres dinding miokard. Selanjutnya,
peningkatan vasokonstriksi sistemik mengurangi tingkat filtrasi glomerulus,
sehingga memberikan kontribusi bagi aktivasi sistem renin angiotensin
aldosterone.37
3.11 Gejala Klinis
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan
yang sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini
juga dapat disebabkan pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung,
komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk
penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli
pulmonal, mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal
jantung.35
Tabel 2. Manifestasi Klinis yang umum pada gagal jantung36
Gambaran Klinis yang Dominan
Gejala Tanda
Edema perifer/ kongesti Sesak napas, kelelahan, Anoreksia
Edema Perifer, peningkatan vena jugularis, edema pulmonal, hepatomegaly, asites, overload cairan (kongesti), kaheksia
Edema pulmonal Sesak napas yang berat saat istirahat
Crackles atau ralespada paru-paru bagian atas, efusi, Takikardia, takipnea
Syok kardiogenik (low output syndrome)
Konfusi, kelemahan, dingin pada perifer
Perfusi perifer yang buruk, Systolic Blood Pressure (SBP) < 90mmHg, anuria atau oliguria
Tekanan darah tinggi (gagal jantung hipertensif)
Sesak napas Biasanya terjadi peningkatan tekanan darah, hipertrofi ventrikel kiri
Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel kanan, peningkatan JVP, edema perifer, hepatomegaly, kongesti usus.
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute
Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute
decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut.34
Tabel 3. Gejala dan Tanda Acute Decompensated Heart Failure34
Volume Overload
Dispneu saat melakukan kegiatan Orthopnea Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) Ronchi Cepat kenyang Mual dan muntah Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali Distensi vena jugular Reflex hepatojugular Asites Edema perifer
Hipoperfusi Kelelahan Perubahan status mental Penyempitan tekanan nadi Hipotensi Ekstremitas dingin Perburukan fungsi ginjal
3.12 Diagnosis
Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat
dengan manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya (tabel
4). Pasien yang datang dengan keluhan volume overload relatif mudah untuk
didiadnosis. Mereka umunya memiliki tanda dan gejala kongesti paru ( dispneu
saat melakukan kegiatan, Orthopnea, Paroxysmal nocturnal
dyspnea (PND), dan Ronchi). Sedangkan manifestasi cepat kenyang, mual dan
muntah merupakan akibat dari edema traktus gastrointestinal (GI). Kongesti pada
hepar dan spleen atau keduanya menyebabkan Hepatosplenomegali,
hepatomegali, atau splenomegaly. Pasien juga menunjukan adanya peningkatan
tekanan vena jugular dengan atau tanpa peningkatan reflex hepatojugular. Asites
dan edema perifer juga muncul akibat akumulasi cairan pada kavitas peritoneum
dan perifer.34.39
Gagal jantung dengan hipoperfusi sulit untuk didiagonosis karena kebanyakan
gejala dan tanda tidak spesifik (tabel 4). Hipotensi dan perburukan fungsi ginjal
merupakan tolok ukur objektif terhadap hipoperfusi.34
Kesulitan mendiagnosis gagal jantung berdasarkan gejala dan tanda memicu
berkembangnya usaha untuk mengidentifikasikan biomarker terhadap penyakit
ini. Pemeriksaan dengan katerisasi jantung kanan dengan menggunakan Swan
Ganz Catheter yang merupakan gold standart untuk pengukuran tekanan
intrakardiak dan cardiac output, sayangnya katerisasi jantung merupkan prosedur
invasif yang mungkin menimbulkan komlokasi nantinya. Namun pemeriksaan
biomarker terhadap gagal jantung seperti B – Type Natriuretic Peptide (BNP),
yaitu suatu neurohormonal yang dilepaskan dari ventrikel jantung (miokardium)
sebagai respon terhadap overload cairan dan peningkatan ketegangan dinding
(misalnya perenggangan), merupakan penunjang dignostik untuk ADHF dan
merupakan prediksi terhadap keparahan dan mortalitas yang dikaitkan dengan
gagal jantung. Jantung selain berfungsi sebagai pompa juga berfungsi sebagai
organ endokrin yang berfunsi bersama dengan sistem fisiologi lainnya untuk
mengatur volume cairan. Miokardium dalam hal ini menghasilkan natriuretic
peptide, salah satunya B – Type Natriuretic Peptide , suatu hormone diuretik,
natriuretic dan bekerja menrelaksasi otot polos vascular.34.35.39.40
Pengukuran level B – Type Natriuretic Peptide (BNP) memiliki kaitan
terhadap kondisi klinis tertentu antara lain yaitu :
Tabel 4. Kegunaan klinis terhadap level BNP serum39
Serum BNP < 100 Normal atau gagal jantung terkompensasi baik
Serum BNP 100 – 200 Gagal jantung terkompensasi baik Normal (Usia lanjut, Wanita, Pengunaan Beta Blocker) Cor pulmonal (gagal jantung kanan) Hipertensi, disfungsi diastolic Penyakit jantung iskemik
Serum BNP 200 – 400 Gagal jantung dekompensasi ringan sedang Gagal jantung kronik terkompensasi
Serum BNP > 400 Gagal jantung kongetif yang berat (hipervolemia)
3.13 Penatalaksanaan Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah
secara signifikan selama 30 tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart
failure yang digunakan untuk mengevaluasi diagnostik dan prognostik pasien
dengan ADHF antara lain yaitu :
Gambar : Algoritma untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure di instalasi gawatdarurat.40
Gambar: Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart
failure.ADHF, acute decompensated heart failure; AJR, abdominal jugular
reflex; BiPAP,bi-level positive airway pressure; BNP, B-type natriuretic peptide;
CI, cardiac index; CPAP, continuous positive airway pressure; DOE, dyspnea
on exertion; HJR, hepatojugular reflex; JVD, jugular venous
distention; PCWP, pulmonary capillary wedge pressure; PND, paroxysmal nocturnal
dyspnea; SBP, systolic blood pressure; SCr, serum creatinine; SOB, shortness of breath;
SVR, systemic vascular resistance.40
BP Blood pressure; D5W Dextrose 5% in water; ECG Electrocardiogram; IV Intravenous; SBP
Systolic blood pressure
Gambar 4. Pilihan pengobatan pasien dengan acute decompensated heart failure7