bab iii
DESCRIPTION
ghTRANSCRIPT
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sindrom piriformis adalah gangguan neuromuskular yang terjadi karena saraf
sciatic (nervus ischiadicus) terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis sehingga
menimbulkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa pada area bokong sampai perjalanan
saraf sciatic. Pada sindrom piriformis terjadi semacam penjepitan nervus ischiadicus
oleh otot piriformis, sehingga menyebabkan nervus ischiadicus teriritasi. Hal tersebut
terjadi apabila otot piriformis memendek, sehingga n.ischiadicus terjebak. Akibatnya
aliran / suplai darah ke ischiadicus pun terhambat, sedangkan iritasi terjadi akibat
tekanan oleh otot piriformis tersebut (Cluett, 2004).
Berdasarkan etiologi, sindrom piriformis dapat dibagi atas penyebab primer
dan sekuder. Penyebab primer terjadi akibat kompresi saraf langsung akibat trauma
atau faktor intrinsik otot piriformis, termasuk variasi anomali anatomi otot, hipertrofi
otot, inflamasi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat trauma
semacam perlengketan. Sedangkan penyebab sekunder, termasuk gejala yang terkait
lesi massa dalam pelvis, infeksi anomali pembuluh darah atau simpai fibrosis yang
melintasi saraf, bursitis tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca, dan titik-titik picu
myofacial.
28
29
Pada sindroma piriformis, umumnya pasien datang dengan keluhan nyeri pada
gluteus karena adanya spasme, ketegangan, dan pemendekan otot pada otot piriformis
yang bisa menjalar hingga kaki, yang berasal dari penekanan atau iritasi pada saraf
ischiadicus (saraf skiatik). Keluhan yang khas adalah kram atau nyeri di pantat atau di
area hamstring, nyeri ischialgia di kaki tanpa nyeri punggung dan gangguan sensorik
maupun motorik sesuai distribusi nervus skiatik.
Penegakkan diagnosis untuk sindrom piriformis dapat dilevaluasi dari gejala
klinis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Setelah diagnosis sindrom
piriformis ditegakkan, maka hal yang selanjutnya dilakukan adalah memperbaki
keluhan pasien, yaitu dengan cara memberikan penatalaksanaan secara farmakologi
dan non farmakologi. Secara farmakologi yaitu pemberian obat NSAID dan
asetaminofen, muscle relaxant, dan injeksi lokal steroid yang dapat digunakan
sebagai antiinflamasi. Sedangkan untuk pengobatan secara non farmakologi, yaitu
dapat dilakukan terapi fisik/fisioterapi berupa latihan gerak dan teknik stretching.
Sebagian besar pasien dengan sindrom piriformis memiliki kemajuan yang bagus.
Kekambuhan jarang terjadi stelah 6 minggu terapi.