bab ii - usm...9 bab ii tinjauan pustaka a. kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum indonesia 1....
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kedudukan Hukum Adat di Dalam Sistem Hukum Indonesia
1. Definisi Hukum Adat
Istilah hukum adat terdiri dari dua suku kata yaitu: hukum dan adat.
Istilah “hukum” mengandung pengertian kalau dilanggar akan
menimbulkan akibat-akibat hukum atau sanksi. Hukum pada umumnya
diartikan sebagai: aturan tingkah laku dan perbuatan manusia yang bersifat
memaksa dan memberikan sanksi yang tegas dan nyata kepada barang
siapa yang melanggarnya. Istilah “adat” berarti kebiasaan atau adat
istiadat, yang biasanya merupakan sikap hidup atau tingkah laku manusia
yang dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari.
9
Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer
(teori keputusan), mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup
seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-
keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan
pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta
dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh
keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah
persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan
musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa
hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.10
Hukum adat adalah hukumnya masyarakat yang masih sederhana,
dengan lingkup personal dan teritorial terbatas. Hukum agraria nasional
dimaksudkan sebagai hukumnya masyarakat modern, dengan lingkup
9 Ibid, halaman.2.
10Ivanto Simamora, ” Tugas Makalah Paper Hukum Adat”, (online),
(https://www.academia.edu/5023840/TUGAS_MAKALAH_PAPER_HUKUM_ADAT/, diakses
15 April 2017)
10
personal yang meliputi seluruh wilayah negara republik Indonesia
sehingga penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian
kepentingan masyarakat dalam konteks negara modern dan dunia
internasional.11
Prof. Dr. C. Van Vollenhoven merupakan orang pertama yang telah
menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga hukum adat
menjadi sejajar dengan hukum dan ilmu hukum yang lain. Van
Vollenhoven menyatakan pengertian hukum adat dijelaskan sebagai
aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-
orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan
hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat).12
Dari pengertian tersebut bahwa untuk mengerti tentang hukum adat,
Van Vollenhoven menjelaskan:
“Bahwa dalam hal ini orang seharusnya tidak menggunakan teori
tetapi harus dilihat pada kenyataan. Jika hakim menemukan aturan-
aturan adat. Perilaku atau perbuatan yang oleh masyarakat dianggap
patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang
mengatakan bahwa aturan-aturan itu harus dipertahankan oleh para
Kepala adat dan para petugas hukum yang lain, maka aturan adat itu
bersifat hukum”.13
Tidak dapat disangkal lagi, tidak satu negara pun didunia ini yang
tidak mempunyai tata hukumnya sendiri. Betapapun sederhananya sebagai
negara berdaulat mempunyai tata hukum sendiri yang bersumber dari
pemikiran bangsa itu sendiri. Di Indonesia, jauh sebelum
kemerdekaannya, bahkan jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa ke bumi
11
Akoe Afnie, ”Hukum Agraria”, (online), (http://mystory-afnie.blogspot.co.id/2012/,
diakses 23 Mei 2017), 2012. 12
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: Mandar
Maju,2003), halaman 12-13. 13
Ibid., halaman 13.
11
nusantara, masyarakat hukum adat sudah mempunyai sistem hukum
sendiri, sebagai pedoman dalam pergaulan hidup masyarakat, yang
dinamakan “hukum adat”.14
Van Vollenhoven berpendapat, Hukum adat harus dipertahankan jika
kenyataannya masih hidup.
“ jikalau dari atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum
adat padahal hukum itu sudah mati, maka peraturan-peraturan itu sia-
sia belaka. Sebaliknya andaikan dari atas diputuskan bahwa hukum
adat itu harus diganti, padahal didusun-dusun, didesa-desa, dan
dipasar-pasar, hukum adat itu masih kokoh dan kuat, maka hukum
akan sia-sia belaka. (van Vollenhoven, Adatrechit H:878)”.15
2. Hukum Adat di dalam UUPA
Berdasarkan Bunyi Pasal 5 UUPA menjelaskan:
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta peraturan – peraturan yang
tercantum dalam undang – undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur –
unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pernyataan yang dimuat dalam Pasal 5 UUPA tersebut telah
memberikan tempat dan pengakuan terhadap eksistensi hukum adat.
Penyebutan hukum adat sebagai dasar hukum pembentukan hukum agraria
nasional mengandung arti sebagai pengakuan terhadap hukum adat sebagai
hukum asli bangsa Indonesia yang sebagian besar menguasai masyarakat
hukumnya.16
Asas yang penting yang didalilkan oleh UUPA adalah tercantum
dalam Pasal 5 UUPA, meskipun tidak ada penjelasan yang cukup untuk
14
Samosir, op.cit., halaman 1. 15
Hadikusuma, op.cit., halaman 13-14. 16
Samosir, op.cit, halaman 186.
12
memberikan arti hukum adat. Hanya dalam Pasal 5 tersebut dapat dibaca
bahwa sifat agraria baru ini tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
nasional Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, sosialisme
Indonesia, ketentuan-ketentuan dalam UUPA, peraturan-peraturan lainnya
dibidang agraria, dan unsur-unsur yang berdasar pada hukum agama.17
B. Tinjauan Umum Jual Beli Tanah
1. Jual Beli Tanah Secara Adat
Menurut hukum adat, maka jual beli tanah adalah suatu perbuatan
pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti,
bahwa pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala adat,
yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya
perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui
oleh umum. Apabila hal itu tidak dilakukan, maka perbuatan itu tidak
menjadi bagian ketertiban hukum, tidak berlaku terhadap pihak ketiga, dan
keluar si pembeli tidak diakui sebagai pemegang hak atas tanah.
Dengan tunai dimaksudkan, bahwa perbuatan pemindahan hak dan
pembayarn harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu maka
tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar secara kontan, atau baru
dibayar sebagian (tunai yang dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak
membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar
terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang.18
17
Ibid., halaman 20. 18
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013),
halaman 189.
13
Di dalam kegiatan administrasi, sikap tindak hukum seperti jual lepas,
gadai tanah, merupakan sikap tindak yang selalu harus dilakukan
dihadapan penguasa masyarakat hukum, dan di dalam kebanyakan
masyarakat hukum dibuat surat akta dimana ditanda tangani oleh orang
yang menyerahkan tanah itu, serta juga di tanda tangani oleh penguasa
masyarakat hukum dimana tanah tadi terletak.19
Menurut hukum adat jual beli hak atas tanah bukan merupakan
perjanjian dimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata,
melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang
bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada
saat itu pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan
dilakukannya jual beli tersebut maka hak milik atas tanah itu beralih
kepada pembeli. Menurut hukum pembeli telah menjadi pemilik baru.
Harga tanah yang di bayar bisa dianggap telah di bayar penuh.20
Umumnya dari jual beli hak atas tanah dibutuhkan suatu AKTA,
berupa pernyataan dari pihak yang menjual bahwa ia telah menjual
tanahnya kepada pembeli (istilah menurut hukum adat: di jual lepas).
Menurut hukum adat untuk sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya
apa yang disebut “panjer”. “Panjer” dapat berupa uang atau benda
yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik tanahnya.
Perjanjian akan jual beli itu tidak termasuk Hukum Agraria atau
Hukum Tanah, melainkan termasuk hukum perjanjian atau hukum
perutangan. Jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada hukum
adat maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian itu adalah hukum
adat.21
2. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Agraria
19
Ibid., halaman 159. 20
Dwicatra, “Jual Beli Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat “ (online),
(http://dwicatra.blogspot.co.id/2012/09/jual-beli-hak-atas-tanah-menurut-hukum.html/, diakses 21
April 2017), 2012. 21
Ibid.
14
Jual beli menurut hukum agraria hanya berlaku untuk benda tidak
bergerak, yaitu tanah. Jual beli tanah menurut hukum agraria harus
dilakukan dengan pembuatan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).22
Sesuai dengan sifat jual beli tanah menurut hukum adat, jual beli
tanah tersebut juga sudah selesai dengan dilakukannya di hadapan PPAT
(terang, dengan akte jual beli tanah yang dibuat oleh PPAT sebagai
buktinya, dan dengan ditandatanganinya akte jual beli, maka hak
berpindah dan harga dibayar tunai).23
Penafsiran sifat tunai dalam hukum
Agraria bukanlah merujuk langsung pada kondisi pembayaran lunas atau
tidak lunas. Namun, konsekuensi dari sifat tunai itu sendiri, maka harga
jual beli tanah justru haruslah dianggap lunas (meskipun hanya membayar
sebagian), dan hal ini akan tegas dinyatakan dalam akta jual belinya.
Berkaitan dengan transaksi jual beli tanah tersebut, terdapat istilah
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (untuk selanjutnya dipakai istilah PPJB)
dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum pembuatan Akta
Jual Beli (untuk selanjutnya dipakai istilah AJB) resmi di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai
pengikatan awal sebelum para pihak membuat AJB di hadapan PPAT.
Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau
22
Anastasia Sihombing, “Jual Beli Menurut Hukum “, (online),
(http://anastasiasihombing.blogspot.co.id/2015/03/jual-beli-menurut-hukum.html/, diakses 23 Mei
2017) , 2015.
23
Tundjung Herning Sitabuana, Hukum Agraria Indonesia (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2005), halaman 37.
15
keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh para pihak
sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak
dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas
tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli. Umumnya PPJB dibuat di
bawah tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum
lunas. Di dalam PPJB memuat perjanjian-perjanjian, seperti besarnya
harga, kapan waktu pelunasan dan dibuatnya AJB.24
Artinya, PPAT tidak mungkin dapat membuatkan akta jual beli
dengan kondisi bahwa harga belum dibayar lunas yang tegas dinyatakan
dalam akta tersebut. Bila mengenai pembayarannya disebutkan belum
lunas dalam akta jual belinya, maka hal tersebut tidak memenuhi
unsur tunai tadi. Karena sifatnya tunai, artinya pembayaran justru harus
lunas atau dianggap lunas. Hal lainnya, walaupun namanya perjanjian jual
beli, akan tetapi AJB tanah yang dibuat PPAT bukanlah suatu perjanjian
konsensual ataupun perjanjian obligatoir, melainkan suatu perbuatan
hukum sebagai syarat penyerahan (levering) tanah, yang menurut
ketentuannya harus ditindaklanjuti dengan pendaftaran peralihan hak
miliknya (hak kepemilikan).25
3. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Perdata
24
Cermati, “Pahami Arti PPJB, PJB, dan AJB Agar Anda Terhindar dari Penipuan”,
(online),
(https://www.cermati.com/artikel/pahami-arti-ppjb-pjb-dan-ajb-agar-anda-terhindar-dari-
penipuan/, diakses 20 Agustus 2018). 25
No Man's Land, “Sifat Tunai dalam Jual Beli Tanah: Lunas yang Salah-Kaprah (online),
(https://bh4kt1.wordpress.com/2017/03/05/konsep-tunai-dalam-jual-beli-tanah-lunas-yang-salah-
kaprah/, diakses 20 Agustus 2018).
16
Jual-beli (menurut B.W.) adalah suatu perjanjian bertimbal balik
dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak
milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji
untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan
dari perolehan hak milik tersebut.26
Saat terjadinya jual beli adalah ketika terpenuhinya unsur-unsur
pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai
dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian B.W.,
perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya
kesepakatan mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju
tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.27
C. Jenis-jenis transaksi tanah menurut hukum adat
1. Perbuatan hukum sepihak
Sebagai contoh perbuatan hukum sepihak adalah pendirian suatu desa
dan pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan.28
Suryono dalam
bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia (1981:84) memaparkan
bagaimana proses lahirnya suatu hak membuka tanah yang kemudian
berujung pada lahirnya hak sepihak. Jika suatu kelompok orang mendiami
suatu tempat dan membuat rumah -rumah diatas tanah itu, membuka tanah
pertanian, mengubur orang- orang mati ditempat itu dan lain sebagainya,
kemudian lambat laun tempat itu menjadi suatu desa (“dorspsstichting”),
terjadi suatu hubungan hukum dan hubungan “religio magis” antara desa
26
Subekti, Aneka Perjanjian (Bandung: Citra Adityaa Bakti, 1995), halaman 1. 27
Ibid., halaman 2. 28
Wulansari, op.cit., halaman 89.
17
dengan tanah itu.dengan cara demikian, “ditanam” dan “tumbuh” suatu
hak atas tanah, suatu hak ulayat persekutuan itu. Perbuatan hukum ini
adalah perbuatan hukum sepihak. Akan tetapi, seseorang dengan izin
kepala persekutuan membuka tanah, maka terjadi antara orang tersebut
dengan tanahnya suatu hubungan hukum dan hubungan “religio magis”,
sehingga terdapat suatu hak membuka tanah. Perbuatan hukum ini juga
disebut sebagai perbuatan hukum sepihak.29
2. Perbuatan hukum dua pihak
Transaksi tanah yang bersifat dua pihak contohnya adalah
pengoperan atau penyerahan sebidang tanah yang disertai oleh
pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga kepada pihak
penerima tanah dan pembayaran tanah. Perbuatan hukum ini dalam hukum
tanah disebut “transaksi jual” dalam bahasa jawa disebut “adol” atau
“sade”.30
Terjadinya pengalihan atau penyerahan, dengan (dari pihak lain)
pembayaran kontan melalui sebuah transaksi inilah yang merupakan
perbuatan hukum dua pihak. Dalam hukum tanah dikenal sebagai: jual
transaksi (“adol, sade”). Isi transaksi ini dapat berupa jual gadai, jual
lepas, dan jual tahunan.
a. Jual gadai (“groundverpading”)
Pengertian jual gadai berdasarkan hukum adat adalah penyerahan
tanah dengan pembayaran kontan. Akan tetapi yang menyerahkan
mempunyai hak mengambil kembali tanah itu dengan membayar uang
29
Pide, op.cit., ,halaman 145-146.
30
Wulansari, op.cit., halaman 89.
18
yang sama jumlahnya: manggadai (Minangkabau), “menjual gadai”,
“adol sende” (Jawa), “ngajual akad” atau “gade” (Sunda).31
Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA disebutkan bahwa hak
gadai bersifat sementara. Macam-macam haknya disebutkan dalam
pasal 53 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha
Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah
Pertanian. Dalam transaksi jual gadai terdapat imbangan yang sangat
merugikan penjual gadai serta menguntungkan pihak pelepas uang.
Dengan demikian jelas sekali bahwa transaksi ini mudah menimbulkan
praktik-praktik pemerasan, yang bertentangan dengan asas-asas
Pancasila. Maka dalam UUPA gadai ditetapkan bersifat sementara
yang harus diusahakan agar suatu saat dihapuskan.32
Selanjutnya untuk
mengatur lebih lanjut mengenai masalah gadai ini, pemerintah
menetapkan pengaturannya didalam Pasal 7 PERPU No. 56 Tahun
1960, diantaranya:
(1) Barangsiapa menguasai tanah-pertanian dengan hak gadai
yang pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini sudah
berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu
kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang
ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut
pembayaran uang tebusan.
(2) Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan
ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak
untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang
ada selesai dipanen, dengan membayar uang-tebusan yang
besarnya dihitung menurut rumus:
(7 + ½) - waktu berlangsung hak gadai X uang gadai,
7
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah
berlangsung 7 tahun maka pemegang-gadai wajib
mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran
31
Pide, op.cit., halaman 146. 32
Wulansari, op.cit., halaman 92.
19
uangtebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada
selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini berlaku juga terhadap hak-
gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.
b. Jual lepas
Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanda yang bersifat
terang dan tunai dimana semua ikatan antara penjual dengan tanahnya
menjadi lepas sama sekali. Dalam jual lepas, biasanya pembeli
memberikan tanda jadi ("panjer”). “Panjer” yang ada adalah untuk
mengikat calon penjual tanah, namun konsekuensinya apabila jual beli
tidak jadi dilakukan oleh calon pembeli, panjer yang dibayarkan tidak
dapat dikembalikan lagi.
c. Jual tahunan (“groundverhuurmet vooruitbetaalden huurrschat”)
Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, dengan perjanjian
bahwa apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain sesudah
jangka waktu tertentu, tanah itu kembali lagi kepada yang
menyerahkannya, kepada pemilik tanah. Dengan demikian menjual
tahunan sama halnya dengan sewa tanah yang uang sewanya telah
dibayarkan lebih dahulu.33
D. Unsur-Unsur Jual Beli Tanah Secara Adat
Menurut Maria S.W. Sumardjono untuk sahnya suatu jual beli atas
sebidang tanah dan atau bangunan harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
33
Pide, op.cit., halaman146-147.
20
a. Riil (Konkret) : dalam hal perbuatan jual beli maka hak atas tanah yang
menjadi objek perjanjian harus nyata-nyata sudah ada sehingga pada saat
itu juga sudah dapat diserahkan kepemilikannya kepada pembeli;
b. Tunai : dalam hal terjadi perbuatan jual beli maka penyerahan barang yang
dijual dan penyerahan uang pembelian harus dilakukan pada saat yang
sama, sehingga prestasi dan kontra prestasi antara penjual dan pembeli
dilakukan secara bersamaan; dengan demikian Akta Jual beli yang dibuat
oleh Notaris pembayaran harganya dilakukan secara penuh atau lunas.
c. Terang : pelaksanaan jual beli itu harus dilaksakan dihadapan pejabat yang
berwenang (PPAT)34
E. Hak Atas Tanah Adat
Istilah hak ulayat terdiri dari dua kata, yakni kata “hak” dan “ulayat”.
Secara etimologi kata ulayat identik dengan arti wilayah, kawasan , marga,
dan nagari. Kata “hak” mempunyai arti (yang) benar, milik (kepunyaan),
kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu, kekuasaan yang benar atau
untuk menuntut sesuatu, derajat derajat atau martabat.35
Menurut Moh.
Koesnoe perkataan ulayat pada dasarnya berarti suatu lingkungan tanah yang
berada dalam kekuasaan yang sah suatu persekutuan. Setiap lingkungan ulayat
selalu meliputi 3 (tiga) bagian pokok, yaitu:
a. lingkungan sebagai pusat persekutuan;
34 Masri Gunardi , “Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat”, (online),
(http://masrigunardi.blogspot.co.id/2012/09/jual-beli-tanah-menurut-hukum-adat.html/diakses 21
April 2017), 2012. 35
Kamus Besar Bahasa indonesia
21
b. lingkungan usaha para warga, berupa sawah, kebun, ladang, hutan;
c. lingkungan tanah persediaan, berupa hutan belukar diluar lingkungan
usaha tersebut.
Dengan demikian secara harfiah hak ulayat diartikan sebagai kewenangan
masyarakat hukum adat atas tanah dalam lingkungan/wilayah/daerah tertentu
untuk menguasai dalam arti mengambil dan memanfaatkan tanah untuk
kepentingan masyarakat hukum dan anggota-anggotanya.36
Istilah mengenai hak ulayat dapat ditemukan didalam Pasal 3 UUPA,
namun tidak dijelaskan pengertiannya secara jelas. Meskipun demikian Pasal
ini menjadi payung bagi masyarakat hukum adat dengan diakuinya hak ulayat
oleh Hukum Tanah Nasional. Sehingga Pasal 3 UUPA memberikan kepastian
bahwa hak ulayat atau hak yang serupa itu menurut kenyataannya masih
diakui eksistensi sehingga lebih lanjut hak ulayat itu harus diperhatikan dan
dihormati. Demikian juga dalan penjelasan umum II angka 3 UUPA
menegaskan tentang pengakuan hak ulayat dari kesatuan masyarakat hukum
dan akan didudukkan hak ulayat tersebut pada tempat yang sewajarnya.37
a. Subjek Hak Ulayat
Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat baik yang tunggal atau
persekutuan daerah. Menurut R. Vanv Dijk, hukum tanah di Indonesia dalam
segala hal pernyataannya kuat terikat pada bangun corak dari persekutuan
teritorial, ialah dasar bagi kesatuan anggota-anggota persekutuan.38
Hak ulayat
yang dikenal dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan
36
Samosir, op.cit., halaman 103. 37
Ibid., halaman 104-105 38
Ibid., halaman 117.
22
nama yang berbeda-beda merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah
dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah termasuk dalam lingkungan
wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah
kepunyaan bersama para warganya. 39
b. Obyek Hak Ulayat
Obyek hak ulayat meliputi tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum
adat, baik yang sudah dihaki maupun yang belum sehingga dalam lingkungan
wilayah hak ulayat tidak ada tanah yang “res nullius”, sehingga tidak ada
satupun perbuatan hukum, baik yang bersifat perdata maupun publik, dapat
terjadi tanpa adanya campur tangan masyarakat hukum adat, yang diwakili
oleh suatu sistem kepemimpinan dengan kewenangan-kewenangannya.40
c. Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak Perorangan
Menurut Ter Haar hubungan antara kepentinag perseorangan dan
kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan memiliki kekuatan yang
sama. Artinya hak perseorangan mempertahankan diri terhadap hak
persekutuan adalah sama kuatnya dengan hak persekutuan mempertahankan
diri terhadap hak perseorangan.
Tentang perubahan hak ulayat menjadi hak perorangan baru dapat terjadi
apabila ditempuh cara-cara sebagai berikut:41
39
Ibid., halaman 118. 40
Sudut hukum, “Sifat dan Ciri Hak Ulayat”, (online),
(http://www.suduthukum.com/2017/03/sifat-dan-ciri-hak-ulayat.html/, diakses 3 Juni 2017).
41
Samosir, opc.it., halaman 169.
23
1. apabila seorang pemimpin lingkungan ulayat menyatakan dirinya sebagai
pendukung hak ulayat dan akibatnya pimpinan lingkungan ulayat yang
biasanya raja, menyatakan dirinya karena kekuasaannya sebagai pemilik
tanah dibawah kekuasaannya
2. apabila anggota ulayat mencari orang-orang luar untuk mengusahakan
tanah-tanah hutan yang kosong dengan mengadakan pembayaran terlebih
dahulu
3. apabila anggota ulayat ditarik biaya jika mereka ingin mengusahakn tanah
tersebut.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hak persekutuan dibatasi oleh
hak perorangan. Apabila hak persekutuan luntur, dapat melahirkan hak
perseorangan dan dapat juga karena pengusahaan tanah oleh anggota
masyarakat hukum secara terus menerus, atau karena penarikan biaya dari
anggota persekutuan yang mengusahakan tanah.
Didalam jual beli tanah, maka hak perorangan yang melekat adalah hak
milik. Hak milik atas tanah yang dalam bahasa Belanda disebut
“Inlandbezitsrecht”, disebut juga dengan istilah “hak milik terikat”, yaitu hak
yang dibatasi oleh hak komunal. Namun demikian hak milik tetap dibatasi
oleh hak-hak sebagai berikut:
a. hak ulayat masyarakat hukum
b. kepentingan-kepentingan lain yang memiliki tanah
c. peraturan-peraturan/hukum adat sepert kewajiban memberi izin ternak
orang lain selama tidak dipagari atau tidak dipergunakan.42
42
Ibid., halaman 170
24