bab ii tinjauan umum tentang wanprestasi dalam …
TRANSCRIPT
28
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN
KREDIT
2.1 Pengertian Wanprestasi dan Perjanjian Kredit
2.1.1 Pengertian Wanprestasi
Dalam setiap perjanjian yang dibuat para pihak, maka masing-masing pihak
diwajibkan untuk memenuhi apa yang menjadi isi dari perjanjian atau para pihak
wajib untuk memenuhi prestasinya. Perjanjian melahirkan hak dan kewajiban
bagi masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan membuat
perjanjian, maka pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan
diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu guna
kepentingan masing-masing pihak. Apabila dari perjanjian yang telah disepakati
bersama tersebut ada sesuatu hal yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka
hal ini menimbulkan wanprestasi.
Menurut A. Ridwan Halim. wanprestasi adalah “kelalaian suatu pihak dalam
memenuhi kewajibannya terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya
berdasarkan perikatan yang telah dibuat”.1
1 A. Ridwan Halim, 1982. Hukum Dalam Tanya jawab. Gahlia Indonesia. Jakarta, h. I 58.
28
29
Menurut J. Satrio. “Pada wanprestasi kreditur tidak memperoleh apa yang
diperjanjikan oleh pihak lawan dan debitur tidak melaksanakan kewajiban
prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya”.2
Menurut Abdulkadir Muhammad, wanprestasi berasal dari istilah aslinya
“dalam bahasa Belanda “wamprestatic” yang artinya tidak memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan dalam perikatan baik perikatan yang timbul karena
perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Tidak
dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yakni :
a. Kelalaian atau kesalahan debitur baik karena kesengajaan maupun karena
kelalaian.
b. Karena keadaan memaksa (force majure) jadi keadaan di luar
kemampuan debitur. Dalam hal ini debitur tidak bersalah.3
Sesuatu yang menjadi objek dari perikatan yang menjadi kewajiban bagi
yang berhutang dan sebaliknya menjadi hak bagi yang berpiutang, hal ini
dikatakan sebagai prestasi. Yang dimaksud sesuatu adalah benda yang berwujud
maupun benda yang tidak berwujud atau benda bergerak maupun benda tidak
bergerak. Pada Pasal 1234 B W, prestasi dapat berupa :
a. Memberikan sesuatu, contoh : penyerahan benda secara nyata dan secara
yuridis dalam perjanjian jual beli.
b. Berbuat sesuatu, contoh : membuat lukisan atau patung.
2 J. Satrio, 1995. Hukum Perikatan (Perikatan yang lahir dari Perjanjian) (Buku 11). PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 314.
3 Abdulkadir Muhammad 1. op.cit. h. 20.
30
c. Tidak berbuat sesuatu, artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang
diperjanjikan, misalnya tidak membuat tembok yang lebih tinggi
sehingga menghalangi pemandangan tetangga.
Apabila salah satu pihak dalam suatu perjanjian tidak memenuhi kewajiban
yang telah ditetapkan (prestasi), maka pihak tersebut dianggap melakukan
wanprestasi.
Dengan demikian wanprestasi terjadi apabila tidak dilakukannya kewajiban
yang seharusnya dilakukan sesuai perikatan yang telah disepakati, termasuk juga
lalai dalam memenuhinya. Hal-hal yang termasuk kategori lalai adalah :
jika tidak terpenuhi kewajiban sama sekali.
jika memenuhi sebagian kewajiban.
jika memenuhi kewajiban akan tetapi terlambat memenuhinya.
Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak mempunyai akibat hukum
bagi pihak lainnya, oleh karena itu sangat penting untuk memperhatikan sejak
kapan seseorang itu dikatakan melakukan wanprestasi. Sehingga perlu
diperhatikan isi dari perjanjian yang telah disepakati dan ditandatangani bersama,
apakah dalam perjanjian tersebut ditentukan tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak.
Apabila dalam perjanjian telah ditentukan batas waktu pemenuhan prestasi,
maka pemenuhan prestasi harus dilakukan sebelum batas waktu tersebut lewat.
Tetapi apabila dalam perjanjian tidak dicantumkan tenggang waktu pemenuhan
prestasinya, maka perlu dilakukan peringatan pada pihak yang bersangkutan agar
memenuhi.
31
2.1.2 Jenis-Jenis Wanprestasi
Menurut Mariam Darus Badrulzaman. ada tiga bentuk atau tiga jenis
wanprestasi, yakni :
a. Debitur sama sekali tidak berprestasi
Dalam keadaan ini debitur sama sekali tidak berprestasi, sehingga tidak
diperlukan lagi pernyataan lalai, karena debitur memang betul-betul
sudah tidak ada kemampuan sama sekali untuk melaksanakan prestasinya.
b. Debitur salah berprestasi
Dalam hal debitur berprestasi salah, apakah debitur dinyatakan lalai lebih
dahulu oleh kreditur agar nantinya dapat menuntut pembatalan perikatan
dengan tambahan ganti rugi, biaya atau bunga.
c. Debitur terlambat berprestasi
Dalam hal ini berarti tidak berprestasinya debitur tepat pada waktu yang
telah disepakati dengan kreditur akan tetapi debitur berprestasi melebihi
dari waktu yang telah disepakati bersama.4
Menurut Wiryono Prodjodikoro wanprestasi berarti “ketiadaan suatu prestasi.
yang dapat berwujud tiga macam, yakni :
a. Pihak berwajib sama sekali tidak melaksanakan janji.
b. Pihak berwajib terlambat melaksanakan janji.
c. Pihak berwajib melaksanakannya, tetapi tidak secara yang semestinya dan
atau tidak sebaik-baiknya.5
Untuk menentukan apakah seorang debitur itu bersalah melakukan prestasi,
maka ada tiga bentuk wanprestasi, yaitu :
a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Dalam hal ini debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal itu bisa
disebabkan karena memang debitur secara objektif tidak mungkin
berprestasi atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.
4 Mariam Darus Badrulzaman, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Alumni Bandung.
Jakarta, h. 19.
5 Wiryono Prodjodikoro, 1997, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung. Bandung.
h.45.
32
b. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi;
Pihak debitur memang benar sudah melakukan prestasi dan objek
prestasinya benar, namun tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
sebelumnya, seperti kelalaian dalam memenuhi prestasi tepat pada
waktunya.
c. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya.
Disini debitur memang dalam pikirannya telah memberikan prestasinya
tetapi dalam kenyataanya yang diterima kreditur lain daripada yang telah
diperjanjikan.6
Dari bentuk-bentuk wanprestasi ini, kadang-kadang menimbulkan keraguan untuk
menentukan bentuk yang mana debitur yang melakukan wanprestasi. Apabila
debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya, maka termasuk pada bentuk
pertama, sedangkan apabila debitur masih memenuhi prestasinya, maka dianggap
sebagai terlambat dalam memenuhi prestasi. Apabila debitur memenuhi prestasi
tidak sebagaimana mestinya atau keliru dalam memenuhi prestasinya, maka ada
dua kemungkinan yaitu apabila masih dapat diharapkan untuk diperbaiki, maka
dianggap terlambat memenuhi prestasi, dan apabila tidak dapat diharapkan lagi
maka dianggap debitur tidak dapat memenuhi prestasi sama sekali.
2.1.3 Pengertian Kredit
Istilah kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang kesemuanya berarti
kepercayaan (dalam bahasa Inggris “faith” dan “trust”. Dapat dikatakan dalam
6 Ibid, hal. 21.
33
hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit, lazimnya Bank) dalam
hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai
kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah
disetujui bersama, dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit yang
bersangkutan. Dalam masyarakat umum istilah kredit sudah tidak asing lagi dan
bahkan dapat dikatakan populer, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah
dicampurbaurkan begitu saja denean istilah hutang.7
Secara umum kredit dapat diartikan sebagai penyedia uang atau tagihan-
tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam
berkewajiban melunasi ulangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah
bunga yang telah ditetapkan sesuai dengan yang diperjanjikan.
Dr. Mariam Darus Badrulzaman mengartikan kredit sama dengan hutang,
karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas hutang
tersebut dengan kata “kredit” berasal dari bahasa Romawi yaitu Credere yang
artinya “percaya”. Bila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian
“bahwa bank selaku kreditur percaya meminjamkan sejumlah uang kepada
nasabah atau debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk
membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan”.8
7 Rachmadi Usman. 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Gramedia
Pustaka Utama. h. 236
8 Mariam Darus Badrulzaman, 1978. Perjanjian Kredit Bank. Alumni. Bandung, h. 19
34
Drs. OP. Simorangkir meyatakan bahwa kredit adalah “pemberian prestasi
(misalnya uang, barang) dengan belas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi
pada waktu yang akan datang”.9
Menurut Mgs. Edv Putra Tje’Aman kredit merupakan :
“Perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan
nasabah sebagai debitur. Dalam perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit
percaya terhadap nasabahnya dalam jangka waktu yang disepakati akan
dikembalikan atau dibayarkan lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan
penerimaan kembali prestasi ini merupakan hal yang abstrak, yang sukar
diraba, karena masa antara pemberi dan penerima prestasi tersebut dapat
berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun”.10
Sedangkan dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penyedia uang atau
tagihan. Seperti pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 pada pasal 1 angka 11, yang menyebutkan bahwa kredit
adalah “Penyedia uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”.
Berdasarkan definisi di atas terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam
pemberian suatu fasilitas kredit, yakni :
9 H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan Dilndonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, h.l.
10
Mgs. Edy Putra Tje’Aman, 1989, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Libery.
Yogyakarta, h. 10.
35
a. Kepercayaan, yang merupakan keyakinan pemberi kredit bahwa kredit
yang diberikan (berupa uang. barang atau jasa) akan benar-benar diterima
kembali dimasa tertentu dimasa datang.
b. Kesepakatan, yakni dituangkan dalam suatu perjanjian, dimana masing-
masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya.
c. Jangka Waktu, yakni mencakup masa pengembalian kredit yang telah
disepakati.
d. Resiko, yakni tanggungan bank. baik resiko yang disengaja oleh nasabah
yang lalai, maupun resiko yang tidak disengaja seperti terjadinya bencana
alam atau bangkrutnya usaha debitur.
e. Balas jasa, yakni keuntungan atas pemberian kredit atau jasa yang dikenal
dengan bunga kredit.11
2.2.4 Jenis-Jenis Kredit
Adapun jenis-jenis kredit dapat dibedakan menurut berbagai kriteria yaitu
dari :
1. Penggolongan Kredit Berdasarkan Tujuan Penggunaannya
a. Kredit Produktif adalah kredit yang diberikan kepada usaha-usaha
yang menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usaha-
usahanya.
Untuk kredit jenis ini terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu :
11
Kasmir, 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi keenam, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 94.
36
Kredit modal kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai
Kebutuhan usaha-usaha, termasuk guna menutupi biaya produksi
dalam rangka peningkatan produksi atau penjualan.
b. Jasa-jasa Dunia Usaha12
2. Penggolongan Kredit menurut Sifat
Pengertian sifat disini berhubungan dengan perkembangan baki debet
sejak kredit ditarik/dipergunakan sampai dengan kredit dilunasi. Dengan
demikian, maksud dan tujuan penentuan sifat kredit adalah untuk
memudahkan pengawasan pelaksanaan penarikan dan pelunasan kredit.
Pemahaman sifat kredit akan bermanfaat bagi petugas kredit karena dapat
menetapkan suatu kebijakan perkreditan bagi bank dan membantu dalam
mendiagnosis kebutuhan dana bagi nasabah sehingga akan dapat
menetapkan jenis yang tepat.13
3. Penggolongan Kredit Berdasarkan Bentuk yang disalurkan
a. Cash Loan adalah pinjaman uang tunai yang diberikan bank kepada
nasabahnya sehingga dengan pemberian fasilitas ini, bank telah
menyediakan dana yang dapat digunakan oleh nasabah berdasarkan
ketentuan yang ada dalam perjanjian kreditnya.
b. Non Cash Loan adalah fasilitas yang diberikan bank kepada
nasabahnya, tetapi atas fasilitas tersebut bank belum mengeluarkan
uang tunai. Dalam hal ini bank baru menyatakan kesanggupan untuk
12
Ibid. h. 16 13
Ihid. h.23
37
menjamin pembayaran kewajiban nasabah kepada pihak lain/pihak
ketiga, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam surat
jaminan yang dikeluarkan oleh bank.14
4. Penggolongan Kredit Menurut Cara Penarikannya
a. Kredit Sekali Jadi, yaitu merupakan kredit yang pencairan dananya
dilakukan sekaligus, misalnya secara tunai ataupun secara berpindah-
pindah.
b. Kredit Rekening Koran, dalam hal ini baik penyediaan dana maupun
penarikannya dilakukan sekaligus, tetapi secara tidak teratur kapan
saja dan berulang-ulang. Penarikan dana oleh nasabah dilakukan
selama plafond kredit masih tersedia, dilakukan dengan melalui
pemindahbukuan, penarikan cek. bilyet giro atau perintah
pemindahbukan lainnnya.
c. Kredit Berulang-ulang, kredit ini biasanya diberikan terhadap debitur
yang tidak memerlukan kredit sekaligus, tetapi secara berulang-ulang
sesuai kebutuhan, asalkan masih dalam batas maksimum dan masih
dalam jangka waktu yang diperjanjikan. Kredit ini berbeda dengan
kredit rekening Koran, karena lebih dibatasi terutama dalam hal
penarikan penyetorannya.
14
Ibid. h. 31
38
d. Kredit Bertahap, merupakan kredit yang pencairan dananya dilakukan
secara bertahap dalam beberapa termin, misalnya tranche I, II, III dan
IV.
Kredit investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan
barang modal maupun jasa yang dimaksudkan untuk
menghasilkan suatu barang ataupun jasa bagi usaha yang
bersangkutan.
e. Kredit Konsumtif adalah kredit yang diberikan kepada orang
perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif masyarakat
umumnya (sumber pengembaliannya dari fixed inconie debitur).15
5. Penggolongan Berdasarkan Jangka Waktu
a. Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak
melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun.
b. Kredit jangka menegah, yaitu kredit yang diberikan, dalam jangka
waktu antara I (satu) tahun tetapi tidak lebih dari 3 (tiga) tahun.
c. Kredit jangka panjang, yaitu kerdit yang diberikan lebih dari 3 (tiga)
tahun.16
6. Penggolongan Kredit dilihat Menurut Lembaga yang Menerima Kredit
a. Kredit untuk badan usaha pemerintah/daerah, yaitu kredit yang
diberikan kepada perusahaan/badan usaha yang dimiliki pemerintah.
15
H.R.Daeng Naja, op.cit, h. 125
16
Ibid, h. 125-126
39
b. Kredit untuk badan usaha swasta, yaitu kredit yang diberikan kepada
perusahaan/badan usaha yang dimiliki swasta.
c. Kredit perorangan, yaitu kredit yang diberikan bukan kepada
perusahaan tetapi kepada perorangan.
d. Kredit untuk bank koresponden, lembaga pembiayaan dan perusahaan
asuransi, yaitu kredit yang diberikan kepada bank koresponden,
lembaga pembiayaan dan perusahaan asuransi.17
2.2 Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak,
mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu
timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling
membutuhkan. Perjanjian juga disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak
tersebut setuju untuk melakukan sesuatu. Isitilah perjanjian terdapat dalam
KUHPerdata buku ke III mengenai perikatan pada umumnya. Pasal 1313
KUHPerdata menyebutkan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Jadi suatu
perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak sebagai subjek hukum, dimana
17
H.Veithzal rivai dan andria Permata Veithzal. 2005, Credit Management Handbook
(Teori, Konsep, Prosedur dun Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir dan Nasabah). PT.
Raja Gratindo Persada. Jakarta, h. 12
40
masing-masing pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hal tertentu
yang berupa menyerahkan sesuatu, maupun tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian juga didefinisiakan sebagai suatu hubungan antar dasar hukum
kekayaan antara dua pihak atau lebih dimana pihak satu berkewajiban memberi
suatu prestasi atas nama pihak yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu.18
Sedangkan menurut R. Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.19
Pengertian kredit sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Romawi yaitu
Credere yang berarti percaya atau credo atau creditum yang berarti saya percaya.
Jadi seseorang yang telah menyatakan kepercayaan dari kreditur.20
Kredit juga
berarti meminjamkan uang atau pemindahan pembayaran; apabila orang
menyatakan membeli secara kredit maka hal ini berarti si pembeli tidak harus
membayarnya pada saat itu juga.21
Kredit menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan yaitu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 11 menyatakan : “Kedit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
18
H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, 2001. Pengertian-Pengertian Elementer Hukum
Perjanjian Perdata, Cet. II. CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 35.
19
R. Subekti, 1985, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 1.
20
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 4.
21
Budi Untung.H. 2000, Kredit Perbankan Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 1.
41
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga.”
Perjanjian Kredit merupakan perikatan antara dua pihak atau lebih yang
menggunakan uang sebagai obyek dari perjanjian, jadi dalam perjanjian kredit ini
titik beratnya adalah pemenuhan prestasi antara pihak yang menggunakan uang
sebagai obyek atau sesuatu yang dipersamakan dengan uang. Kemudian adanya
kesepakatan antara antara bank dengan nasabah penerima kredit, bahwa mereka
sepakat sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya.
Perjanjian kredit adalah hubungan hukum kontraktual antara bank dan pihak
lain berdasarkan atas sepakat, dimana bank meyerahkan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu dan mewajibkan pihak lain mengembalikannya dengan
jangka waktu tertentu disertai pemberian bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun
oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat
hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor. Perjanjian yang seperti ini
bisa berpotensi menimbulkan permasalahan, karena dalam membuat perjanjian
tersebut debitur tidak dilibatkan.
Menurut Marhainis Abdul Hay, bahwa ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata
tentang perjanjian kredit bank identik dengan perjanjian pinjam meminjam,
dengan menentukan bahwa perjanjian pinjam meminjam adalah : “persetujuan
dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa
42
pihak yang belakangan ini mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula.”22
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil.
Sebagaimana perjanjian perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminan adalah
assessornya. Ada atau berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian
pokok. Arti riil ialah bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang
oleh bank kepada nasabah kreditur.23
Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak,
termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula
dengan masalah sangsi apabila si debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang
telah dibuat bersama.24
2.2 Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa perjanjian adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih. Hal ini merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan
hukum antara orang-orang yang membuatnya sehingga dari perjanjian tersebut
nantinya akan menimbulkan suatu perikatan.
22
Marhainis Abdul Hay, 1979, Hukum Perjanjian di Indonesia, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, hal. 147.
23
Hermansyah, 2009, Edisi Revisi Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal. 71.
24
Kasmir, 2003, Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Keenam, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 93.
43
Suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
itu sendiri atau dengan kata lain tidak mengikat pihak lainnya. Perjanjian hanya
meletakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang
membuatnya. Para pihak dalam kredit pada dasarnya hanya dua, yaitu pihak
kreditur, yaitu bank dan pihak debiturnya adalah nasabah. Menurut Undang-
Undang /nomor 10 Tahun 1992 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Sedangkan “nasabah adalah pihak
yang menggunakan jasa bank” dan “nasabah debitur adalah nasabah yang
memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan.” Namun masalahnya akan menjadi lain apabila barang jaminan
diberikan oleh pihak ketiga yang turut serta menandatangani perjanjian kredit
(hutang-piutang) atau Personal Guarantee diberikan oleh pihak ketiga. Jadi disini
pihak ketiga bertindak sebagai penjamin. Hal itu akan berdampak luas apabila
debitur wanprestasi.25
Kreditur adalah pihak yang memberikan pinjaman kepada debitur.
Sedangkan debitur adalah pihak yang meminjam atau menerima pinjaman dari
kreditur. Sebagai pihak yang aktif, kreditur dapat melakukan tindakan-tindakan
tertentu kepada debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya yaitu
25
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2000, hal 3.
44
tidak mengembalikam pinjaman uang yang telah dipinjam tepat pada waktunya.
Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa memberi peringatan-peringatan atau
menuntut di muka pengadilan daln lain sebagainya.26
2.3.Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Di dalam perjanjian kredit, bank sebagai pihak pemberi kredit memiliki
kewajiban pokok yaitu menyediakan kredit sesuai dengan tujuan kredit dan
jangka waktu perjanjian. Kewajiban ini tidak bersifat mutlak, bank berhak
menyimpanginya dalam hal debitur tidak memenuhi syarat-syarat dan ketentuan
dalam perjanjian itu. Bank sebagai kreditur berhak secar sepihak dan sewaktu-
waktu tanpa terlebih dahulu memberitahukan atau menegur debitur untuk tidak
mengijinkan atau menolak penarikan atau penggunaan kredit lebih lanjut oleh
debitur dan mengakhiri jangka waktu kredit tersebut. Posisi bank sebagai pemberi
kredit lebih kuat dibandingkan dengan nasabah sebagai penerima kredit.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur hak pihak bank lebih menonjol dari pada
yang mengatur mengenai kewajibannya. Satu-satunya mengenai kewajiban pihak
bank sebagai kreditur adalah menyediakan kredit selama jangka waktu yang
ditentukan, dimana masih digantungkan pada berbagai syarat yaitu jika penerima
kredit memenuhi kewajiban-kewajibannya. Hak dari pemberi kredit sebagai
kreditur adalah mendapatkan pembayran kembali dari kredit yang telah diberikan
beserta dengan bungannya. Sedangkan hak debitur selaku penrima kredit adalah
mendapatkan kredit dejumlah yang diajukan dan disetujui oleh pihak kreditur.
26
Purwahid Patrik, Op.cit., hal.2.
45
Dalam pasal 1759-1762 KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban-
kewajiban orang yang meminjamkan dalam perjanjian pinjam meminjam yang
berlaku pula dalam perjanjian kredit. Pemberi pinjaman (kreditur) tidak dapat
meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum lewat waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan dalam pasal 1763-1764 KUHPerdata
mengatur tentang kewajiban-kewajiban si peminjam. Kewajiban pokok peminjam
(debitur) adalah mengembalikan pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama
dan pada waktu yang ditentukan. Kewajiban melunasi hutang setelah jangka
waktu tertentu dengan bunga yang telah ditetapkan adalak kewajiban pokok
debitur dan ditentukan lagi secara terperinci dalam model-model perjanjian kredit
yaitu kewajiban administrasi dan kewajiban untuk tunduk kepada segala petunjuk
dan aturan yang ditentukan oleh pihak kreditur.
Debitur memiliki kewajiban untuk membayar utang, biaya dan bunga. Utang
disini adalah utang pokok yaitu bunga utang yang disetujui pihak-pihak sebagai
jumlah pinjaman yang diberikan kreditur kepada debitur. Biaya adalah sejumlah
biaya yang diperlukan guna persiapan perjanjian kredit, antara lain biaya
persiapan dan bunga. Sedangkan yang dimaksud dengan bunga sesuai pasal 1264
KUHPerdata adalah keuntungan yang sedianya harus dinikmati. Tetapi dalam
perjanjian kredit, pembebanan bunga pada debitur berarti bunga adalah kerugian
yang harus dibayar untuk pemakaian pinjaman atau kredit tersebut.
2.4 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum
46
yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yang terdiri dari empat syarat yaitu:
a. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri.
Sepakat yaitu kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang
mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara
pihak-pihak. Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan
awal terjadinya perjanjian.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara
kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan
hukum maka subyek hukum dalam hal pasif sedanga pada kecakapan
berbuat subjek hukumnya aktif, dan yang termasuk cakap di sini adalah
orang dewasa, sehat akal pikirnya, tidak dilarang oleh Undang-undang.
c. Suatu hal tertentu.
Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian. Objek
perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sampai dengan
pasal 1334 KUHPerdata, yaitu yang pertama objek yang aka nada
(kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.
Yang kedua adalah objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang
yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek
perjanjian).
d. Suatu sebab yang halal.
47
Suatu sebab yang halal yang memiliki maksud antara lain, sebab adalah
isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan
perjanjian dan halal adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. 27
Perjanjian kredit bank antara pihak bank dengan pihak debitur harus
memenuhi syarat-syarat perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Untuk memenuhi syarat sahnya perjanjian harus memenuhi 4
(empat) syarat, yaitu : sepakat mereka mengikatkan dirinya, kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.28
2.5 Bentuk Perjanjian Kredit
Mengenai bentuk perjanjian kredit di dalam Undang-Undang tidak diatur
secara jelas termasuk pula dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana yang telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998
tentang perbankan tidak mengatur juga masalah perjanjian kredit, akan tetapi
berdasarkan Intruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/IN/10/1996 tanggal 3
Oktober 1966, Jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I nomor
2/539/UPK/pemberian kredit antara perbankan dengan nasabahnya harus
berdasarkan pada suatu akad perjanjian kredit.29
Perjanjian Kredit ini mempunyai
27
Purwahid Patrik, 1986, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian. Badan
Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 3.
28
R. subekti, 1990, HukumPerjanjian, Cet. XII, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1.
29
Sutan Rerny Sjadeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Penerbit Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, hal. 2
48
arti yang sangat penting bagi para pihak, sebab perjanjian kredit merupakan
landasan hukum dalam pemberian kredit bagi para pihak dan juga perjanjian
kredit merupakan suatu alat bukti tertulis yang diperlukan oleh para pihak apabila
terjadi sengketa. Perjanjian kredit yang dibuat selama ini berpedoman pada
hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.
Perjanjian kredit perlu memperoleh perhatian yang sangat khusus baik oleh
bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian
kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemerian, pegelolaan, dan
penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu menurut Ch. Gatot
Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok.
b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak di antara kreditur dan debitur.
c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.30
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan
debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang
mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian
kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai
alat bukti. Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu:
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan.
30
Hermansah, Op.cit, hal. 72.
49
Dinamakan akta dibawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan
dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk
disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja bank, biasanya
bank sudah mempesiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar
(standard form) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan
terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk perjanjian kredit yang dibuat
sendiri oleh bank termasuk jenis akta dibawah tangan.
Dalam rangka penandatanganan perjanjian kredit yang isinya sudah
disiapkan oleh bank kemudian disodorkan kepada setiap calon-calon
untuk diketahui dan difahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan-
ketentuan dalam formulir perjanjian kredit tidak pernah
memperbincangkan atau dirundingkan atau dinegosiasikan dengan
debitur. Calon debitur mau atau tidak mau dengan terpaksa atau suka rela
harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir
perjanjian kredit.
Perjanjian kredit yang sudah disiapkan oleh bank dalam bentuk standard
(standard form), contohnya perjanjian kredit ritail BRI, perjanjian kredit
pemilikan rumah Bank Tabungan Negara (KPR-BTN) dan lain
sebagainya.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris yang dinamakan
akta otentik atau akta notariil.
Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah notaris namun
dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian disiapkan oleh bank
50
kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil.
Memang dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang
diinginkan para pihak dalam bentuk akta notariil atau akta otentik.
Perumusan kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik
biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka
waktu menengah atau panjang seperti kredit investasi, kredit modal kerja,
kredit sindikasi.
2.6 Asas-Asas Perjanjian Kredit
Dalam hukum perjanjian, dikenal adanya beberapa asas penting yang
merupakan dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Sama halnya juga dalam
perjanjian kredit, dimana asas-asas ini merupakan pedoman dan dasar kehendak
masing-masing pihak dalam mencapai tujuannya. Menurut Maris Feriyadi, ada 5
asas dalam membuat perjanjian, yaitu:
1. Asas Kebeasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, ataupun menentukan
bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Pasal 1338 KUHPerdata
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan ini
dapat saja tidak diikuti jika para pihak menghendaki cara-cara tersendiri,
51
tetapi apabila tidak ditentukan lain maka ketentuan Undang-Undang yang
tetap berlaku.
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian
yang mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya
kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Asas ini
berasar pada pasal 1320 KUHPerdata yang disebutkan secara tegas dan
pada pasal 1338 KUHPerdata ditemukan istilah “semua” yang
menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya, yang dirasa baik untuk menciptakan perjanjian.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib
mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana
mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt
servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa
persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2)
KUHPerdata yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
52
4. Asas Itikad Baik
Di dalam hukum perjanjian itikad baik itu mempunyai dua pengertian
yaitu:
a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap
batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik
dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian
harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
5. Asas Kepribadian
Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu perjanjian.
Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam pasal 1340 ayat (1)
yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak
yang membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian
yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Ketentuan mengenai hal ini ada pengecualiannya,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu, dapat pula
perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian
dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.31
31
H.S. Salim, 2006, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan
Ketiga. Sinar Grafika. Jakarta, hal. 78.
53
Dari sejumlah asas tersebut, terdapat 3 (tiga) asas yang merupakan tonggak
hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yang meliputi asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikat.
1. Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian
terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya.
2. Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang
menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas
kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan
bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan
melalui karakter hukum kepribadian bangsa, bukan karakter hukum
liberal. Tekanan dari salah satu pihak melalui posisi inequality of
bargaining power dapat mengakibatkan prestasi perjanjian tidak
seimbang, dan hal ini melanggar asas iustum pretium. Perjanjian yang
demikian menjadi cacat dan akibatnya dapat dibatalkan (vernietigbaar,
voidable).
3. Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian
ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat
dipersamakan dengan itu. Tanda tangan yang diberikan menjadi
pengakuan kehendak yang sah terhadap isi perjanjian. Akibatnya
perjanjian tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus
dilaksanakan dengan itikad baik.
54
2.7 Akibat Hukum Wanprestasi
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi,
dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :
a. Menuntut pemenuhan perikatan;
b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat
timbal-balik, menurut pembatalan perikatan;
c. Menuntut ganti rugi;
d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi;
e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dapat juga disebabkan karena
keadaan memaksa (force majoure). Keadaan memaksa (force majoure) yaitu
salah satu alasan pembenar untuk membebaskan seseorang dari kewajiban untuk
mengganti kerugian (Pasal 1244 dan Pasal 1445 KUHPerdata). Menurut Undang-
Undang ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi;
b. Ada sebab yang terletak di luar kesehatan debitur;
c. Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan
kewajiban itu tidak dipenuhi karena terdapat unsur kesalahan padanya, maka
sebagimana yang diketahui bahwa akibat-akibat hukum yang dituntut oleh
kreditur dapat menimpa pihak debitur. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
1236 dan pasal 1243 KUHPerdata, dalam hal debitur lalai untuk memenuhi
55
kewajiban perikatannya, maka kreditur berhak untuk menuntut penggantian
kerugian yang berupa ongkos-ongkos, kerugian dan bunga. Selanjutnya dalam
pasal 1237 KUHPerdata dinyatakan bahwa sejak debitur lalai, maka resiko atas
objek perikatan menjadi tanggungan debitur. Bahwa jika perjanjian trsebut berupa
peijanjian timbal balik, maka berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata, kreditur
berhak untuk menuntut pembatalan perjanjian, dengan atau tidak disertai tuntutan
ganti rugi.
Demikian halnya pada perjanjian kredit bank, ingkar janji atau wanprestasi
dalam hal ini membawa akibat hukum bagi pihak yang melakukan wanprestasi.
karena sejak saatnya terjadi wanprestasi debitur berkewajiban mengganti
kerugian yang timbul sebagai akibat dari ingkar janji atau wanprestasi tersebut.
Dalam hal debitur melakukan ingkar janji atau wanprestasi maka pihak kreditur
dapat menuntut pemenuhan perikatan, pemenuhan perikatan dengan ganti rugi,
ganti rugi, pembatalan persetujuan timbal balik, dan pembatalan dengan ganti
rugi.32
Kalau tidak ada kesalahan debitur, maka terjadi overmacht (force majeure,
keadaan memaksa).33
Luasnya kesalahan meliputi kesengajaan, yaitu perbuatan
itu memang diketahui dan dikehendaki dan kelalaian yaitu tidak mengetahui
tetapi hanya mengetahui adanya kemungkinan bahwa akibatnya akan terjadi
32
R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 26.
33
Sigit Irianto, 2000, Asas-asas Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian).
FH Untag, Semarang, hal. 20.
56
kesengajaan. Tidak dipenuhinya kesalahan debitur itu dapat terjadi karena dua
hal, yaitu:
a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun karena
kelalaian;
b. Karena keadaan memaksa (force majeure), di luar kemampuan debitur.
Dalam perjanjian kredit, sebelum kredit diberikan kepada pihak debitur harus
terlebih dahulu ada kesepakatan atau persetujuan antara pihak bank yang
bertindak sebagai kreditur dengan pihak debitur. Kesepakatan atau persetujuan
yang dimaksud di sini adalah hubungan hukum antara kedua belah pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian kredit yang dibuat para pihak, dimana pihak
bank berhak atas prestasi dan pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi.