bab ii tinjauan umum mengenai hukum perlindungan

27
21 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN, PENGELOLA, WISATAWAN, DAN OBYEK WISATA 2.1 Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Pengertian Perlindungan Konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan definisi yang cukup luas mengenai Perlindungan konsumen. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak- haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. 1 Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang diperkuat melalui undang-undang khusus member harapan agar pelaku usaha tidak lagi berlaku sewenang-wenang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan 1 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, ed. I, cet. I, Kencana, Jakarta, h.4.

Upload: vuongdang

Post on 12-Jan-2017

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

21

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

KONSUMEN, PENGELOLA, WISATAWAN, DAN OBYEK WISATA

2.1 Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

2.1.1 Pengertian Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan definisi yang cukup

luas mengenai Perlindungan konsumen. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan perlindungan

konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

member perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala

upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya

atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-

haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan

konsumen tersebut.1

Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen yang diperkuat

melalui undang-undang khusus member harapan agar pelaku usaha tidak lagi

berlaku sewenang-wenang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta

perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan

1 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya, ed. I, cet. I, Kencana, Jakarta, h.4.

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

22

mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah

dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.2

Menurut A. Zen Umar Purba terdapat kerangka umum ten tang sendi-sendi

pokok pengaturan perlindungan konsumen, yaitu :3

a. kesederajatan antara konsumen dan pelaku usaha;

b. konsumen mempunyai hak;

c. pelaku usaha mempunyai kewajiban;

d. pengaturan tentang perlindungan konsumen berkontribusi pada

pembangunan nasional;

e. perlindungan konsumen dalam iklan bisnis dehat;

f. keterbukaan dalam promosi barang dan jasa;

g. pemerintah perlu berperan aktif;

h. masyarakat juga perlu berperan serta;

i. perlindungan konsumen memerlukan terobosan hukum dalam berbagai

bidang;

j. konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap.

Pemerintah berkewajiban, berlandaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen, melakukan upaya pendidikan serta

pembinaan kepada konsumen, terutama mengingat masih rendahnya tingkat

kesadaran sebagian besar masyarakat akan hak-haknya sebagai konsumen.

Melalui instrumen yang sama diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha

2 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, cet. I, Visimedia, Jakarta, h.4.

3 Ibid, h.5.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

23

dalam menjalankan prinsip-prinsip ekonomi tetap menjunjung hal-hal yang patut

menjadi hak konsumen.4

Piranti Hukum Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk melindungi

konsumen dan tidak untuk mematikan usaha para pelaku bisnis. Perlindungan

konsumen justru membangun iklim usaha yang sehat, yang mendorong lahirnya

perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan

barang dan/atau jasa yang berkualitas dan berdaya saing. Lebih dari itu, Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam

pelaksanaannya memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan

menengah, yang masih menjadi rona perekonomian nasional.5

2.1.2 Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan kosnumen memberikan penjelasan yang lebih

terhadap konsumen mengenai hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen

dalam melakukan hubungan hukum dengan pelaku usaha. Hubungan hukum yang

tercipta antara konsumen dan pelaku uasaha merupakan hubungan hukum yang

memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Pasal 64 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa segala

ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen

yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap

berlaku

4 Badan Perlindungan Konsumen Nasional, 2005, Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. II,

Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Jakarta, h.4.

5 Ibid.

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

24

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen

yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga

mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.6

Hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan

produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan

bermasyarakat.7 Sedangkan dalam hukum perlindungan konsumen sendiri adalah

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi

konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

(barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam

kehidupan bermasyarakat.8

Setelah mengetahui definisi hukum konsumen dan hukum perlindungan

kosnumen, maka dapat diketahui definisi hukum konsumen lebih luas

dibandingkan dengan hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan

konsumen merupakan salah satu bagian dari hukum konsumen yang melindungi

hak-hak konsumen.9

Dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum

konsumen maka dalam menerapkannya dalam kehdupan sehari-hari harus sejalan

dengan hukum perlindungan kosnumen yang telah ada. Oleh karena itu di dalam

6 Az. Nasution, 1995, Konsumen dan Konsumen: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada

Perlindungan Konsumen Indonesia, cet. I, Pustaka Sinar, Jakarta, h.65.

7 Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, cet. II, Diadit Media,

Jakarta, (selanjutnya disingkat Az. Nasution II), h. 22.

8 Ibid.

9 Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarna

Indonesia/ Grasindo, Jakarta, h.11.

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

25

.

Pasal ini menjelaskan hubungan hukum yang harmonis antara hukum

konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Peraturan perundang-

undangan yang mengatur perlindungan konsumen tetap berlaku selama tidak

bertentangan dan belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

2.1.3 Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen diselenggarakan sebagai usaha

bersama berdasarkan lima (5) asas yang relevan dalam pembangunan nasional,

yaitu :

1. Asas manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua

pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang

kedudukannya lebih tinggi disbanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus

memperoleh pihak-pihaknya.

2. Asas keadilan

Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4-7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai hak dan

kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

26

dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara

seimbang.

3. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta

pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih

dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan

memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta

Negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen bila diperhatikan substansinya dapat dikelompokkan

menjadi tiga (3) asas yaitu asas kemanfaatan yang didalamya meliputi asas

keamanan dan keselamatan konsumen, asas keadilan yang meliputi asas

keseimbangan, asas kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan

disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

27

maksimalisasi dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas maksimalisasi dan

kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.10

Tujuan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah melindungi

kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi peringatan bagi pelaku usaha

untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya dalam Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan

bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

10 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, h.26.

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

28

4. Menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsure

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dan

berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan kosumen.

Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen ini merupakan isi dari pembangunan

nasional karena tujuan perlindungan konsumen yang ada merupakan sasaran akhir

yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan dibidang perlindungan

konsumen. Adapun untuk menjaga pelaksanaan perlindungan konsumen agar

tidak menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya

harus didasarkan pada asa atau kaidah hukum perlindungan konsumen. Dalam

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

terdapat asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen, agar tidak menyimpang

dari tujuan perlindungan konsumen, yang menyebutkan bahwa, perlindungan

konsumen berasaskan manfaat, keadilan, kesimbangan, keamanan dan

keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.11

11 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit, h.26.

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

29

2.2 Pengelola

2.2.1 Pengertian Pengelola

Pengelola adalah seseorang atau badan yang melakukan proses

pengkoordinasian dan pengintregitasan terhadap semua sumber daya, baik

manusia maupun teknikan untuk mencapai berbagai tujuan khusus yang

ditetapkan dalam suatu organisasi.

Apabila dikaitkan dengan usaha dalam bidang pariwisata, pengelola dapat

dikatakan sebagai pengusaha pariwisata. Menurut pasal 1 angka 8 Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pengusaha pariwisata

adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.

Dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, pengelola merupakan

pelaku usaha. Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah:

“Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan ddan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan usaha dalam bidang

ekonomi”.

2.2.2 Hak dan Kewajiban Pengelola

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

30

Pengelola/pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi

yang tertuang dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, hak pengelola adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukumsengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Hak-hak pengelola diatas juga disertai dengan berbagai kewajiban yang

diemban oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Sebagai berikut :

a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b) Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan,

perbaikan, dan pemeliharaan;

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

31

c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

g) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Sedangkan pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan pada pasal 22 menyebutkan bahwa ada 4 hak dari

pengelola/pengusaha pariwisata yaitu :

a) Mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang

kepariwisataan;

b) Membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;

c) Mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha;

d) Mendapatkan fasilitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

32

Kewajiban dari pengelola/pengusaha pariwisata itu sendiri ada di pasal 26

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yaitu :

a. Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

a) Memberikan informasi yang akurat dan bertanggungjawab;

b) Memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;

c) Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan

keselamatan wisatawan;

d) Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan

yang berisiko tinggi;

e) Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi

setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;

f) Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam

negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;

g) Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

h) Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program

pemberdayaan masyarakat;

i) Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan

dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;

j) Memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;

k) Memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;

l) Menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha

kepariwisataan secara bertanggungjawab; dan

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

33

m) Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.2.3 Prinsip Tanggung Jawab Pengelola

Prinsip mengenai tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen, karena dalam kasus pelanggaran hak

konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis pihak yang

bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada

piak yang terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum

dibedakan menjadi :12

a) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on

fault)

Prinsip ini menyatakan bahwa seorang baru dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsure kesalahan yang

dilakukannya. Prinsip ini berlaku dalam hukum pidana dan perdata

(khususnya Pasal 1365-1367 KUHPerata). Dalam Pasal 1365

KUHPerdata, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan

hukum jika terpenuhinya empat unsur pokok yaitu adanya perbuatan,

unsure kesalahan, kerugian yang diderita, dan adanya hubungan kausalitas

antara perbuatan dengan kerugian yang diderita.

Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi korban

yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban.

12 Roma Rita Oktaviyanti, 2012, Analisis Yuridis Perlindungan Konsumen Terhadap

Penawaran Voucher Wisata Ditinjau dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Mengenai

Perlindungan Konsumen, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, h.30.

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

34

Mengenai beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163

HIR atau pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata, yang mengatur

bahwa barang siapa yang mengakui mempunyai suatu hak maka harus

membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

b) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap

bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tak bersalah.

Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat. Dasar teori pembalikan

beban pembuktian adalah seseorang yang dianggap bersalah sampai yang

bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentunya

bertentangan dengan asas hukum praduga tak bersalah (presumption of

innocence) yang lazim dikenal dengan hukum. Ketika asas ini diterapkan

dalam kasus konsumen maka akan tampak bahwa teori ini sangatlah

relevan dimana yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan ada di

pihak pelaku usaha yang digugat.

c) Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (presumption of

nonliability)

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu

bertanggungjawab. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi

konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah

hukum pengangkutan, dimana kehilangan atau kerusakan pada bagasi

kabin yang biasa diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung

jawab dari penumpang (konsumen).

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

35

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Prinsip tanggung jawab mutlak ini sering diidentikkan dengan

prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Namun demikian ada

juga ahli yang mengatakan bahwa prinsip tanggung jawab mutlak ini tidak

selamanya sama dengan prinsip tanggung jawab absolut. Dalam tanggung

jawab mutlak, kesalahan tidak ditetapkan sebagai faktor yang menentukan,

terdapat pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab seperti force majeur. Di pihak lain,

tanggung jawab absolut merupakan prinsip tanggung jawab tanpa

kesalahan dan tidak ada pengecualian. Prinsip tanggung jawab mutlak ini,

digunakan dalam hukum perlindungan konsumen untuk menjerat pelaku

usaha, khususnya produsen yang memasarkan produknya yang merugikan

konsumen.

Asas tanggung jawab ini dkenal dengan nama product liability.

Gugatan product liability ini dapat dilakukan berdasarkan tiga hal yaitu:

melanggar jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha, bahwa barang

yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat

dapat terjadi dalam konstruksi barang, desain, dan atau pelabelan. Ada

unsur kelalaian apabila si pelaku usaha yang digugat itu gagal

menunjukkan ia cukup berhati-hati dalam mebuat, menyimpan,

mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan barang.

Menerapkan tanggung jawab mutlak, yaitu prinsip tanggung jawab yang

menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

36

Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan

untuk dibebankan dari tanggung jawab mutlak ini dipergunakan untuk

“menjerat” pelaku usaha yang memasarkan produk yang merugikan

konsumen.

Variasi berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak

pada risk liability, dimana dalam risk liability ini, kewajiban mengganti

rugi dibebankan pada pihak yang menimbulkan resiko adanya kerugian.

Namun pihak penggugat (konsumen) tetap diberi beban pembuktian walau

tidak sebesar si tergugat. Penggugat hanya perlu membuktikan adanya

hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha dengan kerugian yang

diderita, dan selebihnya digunakan prinsip strict liability.

d) Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh

pelaku usaha untuk dicantumkan dalam perjanjian standar yang dibuatnya.

Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan secara sepihak oleh

pelaku usaha. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen seharusnya

pelaku usaha tidak boleh sepihak menentukan klausul yang merugikan

konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika pun

ada pembatasan maka harus berdasarkan pada peraturan perundang-

undangan yang jelas.

2.2.4 Tanggung Jawab Pengelola

Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pengelola/pelaku usaha diatur

secara tersendiri atau terpisah dari pengaturan tentang kewajiban pelaku usaha

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

37

maupun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Tanggung jawab pelaku

usaha tersebut diatur dalam Bab VI Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Inti dari

pengaturan tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab pelaku usaha

secara umum (Pasal 19) dan secara khusus dalam hal untuk menyediakan cadang

atau fasilitas purna jual dan jaminan atau garansi (Pasal 25 dan Pasal 26),

tanggung jawab pelaku usaha di bidang periklanan dan importasi produk (Pasal 20

dan Pasal 21), beban pembuktian terhadap ada tidaknya kesalahan pelaku usaha

(Pasal 22 dan Pasal 28), serta pembebasan pelaku usaha dalam

pertanggungjawaban (Pasal 27).13

Beban pembuktian yang ditanggung pelaku usaha untuk membuktikan ada

tidaknya kesalahan konsumen merupakan system pembuktian terbalik karena

justru pihak yang digugat yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan.

Berdasarkan hukum tentang pembuktian pada umumnya, setiap orang yang

mendalilkan bahwa otrang tersebut mempunyai sesuatu hak atau untuk

meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain dengan

menunjukkan suatu peristiwa, mewajibkan membuktikan adanya hak tersebut.

Walaupun beban pembuktian dalam perkara ini dibebankan ke;pada pelaku usaha,

tidak menutup kemungkinan bagi pihak Kejaksaan untuk dapat melakukan

pembuktian.14

Pembebasan pelaku usaha dari tanggung jawab terhadap kerugian pihak

konsumen diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

13 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.59.

14 Irna Nurhayati, 2011, Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen dalam

Perspektif UU No. 8 Tahun 1999, Jurnal, h.30.

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

38

Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 27 tersebut, pelaku usaha dapat

dibebaskan dari kewajiban bertanggungjawab apabila memenuhi persyaratan

dibawah ini :15

a) Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan.

b) Cacat barang timbul dikemudian hari.

c) Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.

d) Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.

e) Lewatnya jangka waktu penuntutan yaitu 4 (empat) tahun sejak barang

dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.

2.3 Wisatawan

2.3.1 Pengertian wisatawan

Seseorang atau sekelompok orang yang melakukan suatu perjalanan wisata

disebut (tourist), jika lama tinggalnya sekurang-kurangnya 24 jam di daerah atau

negara yang dikunjungi.16

Wisatawan adalah seseorang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa,

agama, yang memasuki wilayah suatu negara yang mengadakan perjanjian lain

daripada negara di mana orang itu biasanya tinggal dan berada disitu kurang dari

24 jam dan tidak lebih dari 6 bulan, di dalam jangka waktu 12 bulan berturut-

turut, untuk tujuan non-imigran yang legal, seperti perjalanan wisata, rekreasi,

15 Ibid, h.32.

16 Gamal Suwantoro, 2004, Dasar-Dasar Pariwisata, ed. II, Andi Offseet, Yogyakarta, h.4.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

39

olahraga, kesehatan, alasan keluarga, studi, ibadah keagamaan atau urusan

usaha.17

Dalam penulisan ini definisi wisatawan adalah setiap orang yang bepergian

dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati

perjalanan serta kunjungannya.

Dari beberapa batasan yang telah disebut di atas, maka secara umum

didapat ciri-ciri tentang seseorang yang disebut sebagai wisatawan, yaitu:

perjalanan yang dilakukan lebih dari 24 jam, perjalanan tersebut hanya untuk

sementara waktu, dan orang yang melakukan perjalanan itu tidak mencari nafkah

di tempat atau negara yang dikunjunginya.18

2.3.2 Jenis-jenis wisatawan

Berdasarkan sifat perjalanan, lokasi dimana perjalanan dilakukan, wisatwan

dapat diklasifikasikan sebagai berikut :19

a) Foreign Tourism atau wisatawan asing adalah orang yang melakukan

perjalanan wisata yang dating memasuki suatu Negara lain yang bukan

merupakan negara dimana dia biasanya tinggal, istilah wisatawan asing

saat ini popular dengan sebutan Wisatawan Mancanegara.

b) Domestic ForeignTourist adalah orang asing yang berdiam atau bertempat

tinggal pada suatu Negara yang melakukan perjalanan wisata di wilayah

17 Dolina Gitapati, 2012, Analisis Kunjungan Wisatawan Obyek Wisata Nglimut Kecamatan

Limbangan Kabupaten Kendal, Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang,

h.22. 18 Ibid.

19 Dolina Gitapati, op.cit, h.28

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

40

c) Negara dimana dia tinggal. Orang tersebut bukan warga negara dimana dia

berada tetapi Warga Negara Asing (WNA) yang karena tugas dan

kedudukannya menetap dan tinggal pada suatu negara.

d) Domestic Tourist adalah Wisatawan Dalam Negeri (WDN) yaitu seorang

warga negara yang melakukan perjalanan negaranya, wisatawan semacam

ini lebih dikenal dengan Wisatawan Nusantara.

e) Indigenous Foreign Tourist adalah warga suatu negara tertentu yang

karena tugas atau jabatannya ada di luar negeri dan pulang ke negara

asalnya untuk melakukan perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri.

f) Transit Tourist adalah wisatawan yang sedang melakukan perjalanan

wisata ke suatu negara tertentu yang menumpang kapal udara atau kapal

laut ataupun kereta api yang terpaksa singgah pada suatu

pelabuhan/airport/stasiun bukan atas kemauannya sendiri. Biasanya ini

terjadi apabila ada pergantian transportasi yang digunakan untuk

meneruskan perjalanan ke negara tujuan atau menambah penumpang atau

mengisi bahan bakar dan kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan

semula. Waktu yang cukup lama untuk pergantian tersebut itulah yang

digunakam oleh penumpang tour di tempat yang disinggahinya.

g) Business Tourist adalah orang yang mengadakan perjalanan untuk tujuan

lain bukan wisata, tetapi perjalanan wisata itu dilakukan setelah tujuan

utamanya selesai. Jadi perjalanan wisata merupakan perjalanan sekunder

setelah tujuan primernya.

2.3.3 Motif Perjalanan Wisatawan

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

41

Para wisatawan pun mempunyai motif untuk mengadakan perjalan wisata.

Motif-motif bagi wisata dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:20

a) Motif fisik. Motif ini berhubungan dengan kebutuhan badaniah/fisik

seperti olahraga, istirahat, kesehatan dan sebagainya.

b) Motif budaya. Motif ini adalah sifat dari wisatawan, bahwa mereka ingin

mempelajari atau memahami tata cara dan kebudayaan bangsa atau daerah

lain seperti kebiasaan, kehidupan sehari-hari, music, tarian, dan

sebagainya.

c) Motif interpersonal. Motif ini terlahir dari keinginan wisatawan untuk

bertemu keluarga, teman, tetangga, atau orang-orang tertentu seperti artis

atau tokoh politik.

d) Motif status atau prestise. Motif ini didasari atas anggapan bahwa orang

yang pernah mengunjungi tempat/daerah lain melebihi sesamanya yang

tidak pernah bepergian akan menaikkan gengsi bahkan statusnya.

2.3.4 Hak Dan Kewajiban Wisatawan

Wisatawan adalah subyek yang berperan sangat penting dalam dunia

pariwisata. Wisatawanlah yang menentukan maju mundurnya atau sukses

tidaknya dunia pariwisata. Oleh karena itu, perlindungan atas hak dan kewajiban

wisatawan perlu mendapat perhatian serius. Dalam Undang-Undang Nomor 10

20 Ibid, h.23.

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

42

Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, hak-hak wisatawan diatur secara rinci dalam

Pasal 20. Setiap wisatawan berhak memperoleh :

a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;

b) pelayanan kepariwisataan sesuai standar;

c) perlindungan hukum dan keamanan;

d) pelayanan kesehatan;

e) perlindungan hak pribadi; dan

f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.

Selain itu, dalam Pasal 21 juga disebutkan bahwa setiap wisatawan yang

memiliki keterbatasan fisik, anak-anak, dan lanjut usia berhak mendapatkan

fasilitas khusus sesuai kebutuhannya.

Sementara itu, dalam Pasal 25, yang menjadi kewajiban setiap wisatawan,

yaitu :

a) menjaga dan menghormati norma agama, adat-istiadat, budaya, dan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;

b) memelihara dan melestarikan dunia;

c) turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan

d) turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan

dan kegiatan yang melanggar hukum.

Selain dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan kewajiban wisatawan sebagai konsumen juga diatur dalam pasal 5

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

43

a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Selain Undang-undang Kepariwisataan, Undang-undang Perlindungan

Konsumen juga mengatur mengenai hak dan kewajiban wisatawan sebagai

konsumen. Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen, menyebutkan hak konsumen adalah :

a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

44

g) hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya;

i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

Dan pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, menyebutkan kewajiban konsumen adalah :

a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

2.4 Daya Tarik Wisata

2.4.1 Pengertian Obyek Wisata Dan Atraksi Wisata

Dalam pengembangan produk industri pariwisata, obyek dan atraksi wisata

mempunyai peranan sekaligus menentukan dalam penarikan kunjungan

wisatawan. Kedua unsur ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan,

karena dimana ada obyek wisata maka disana pula terdapat atraksi wisata. Sesuatu

yang dapat disebut dengan obyek wisata yaitu apabila untuk untuk melihat obyek

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

45

tersebut tidak ada persiapan yang dilakukan terlebih dahulu. Dengan kata lain

obyek dapat dilihat secara langsung tanpa bantuan orang lain seperti

pemandangan alam, gunung, sungai, danau, candi, monument, mesjid, gereja, dan

pura. semuanya itu dapat dilihat tanpa bantuan orang lain, walaupun terkadang

harus membayar untuk sekedar tanda masuk atau dikenal sebagai karcis.

Berbeda halnya dengan atraksi wisata yaitu segala sesuatu yang harus

dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat dilihat dan dinikmati, misalnya tarian,

kesenian, rakyat, dan upacara adat. Tanpa persiapan yang matang maka atraksi

tidak dapat menarik dan tidak berjalan dengan lancer sehingga tidak menjadi daya

tarik bagi wisatawan. Jadi, obyek dan atraksi wisata merupakan segala sesuatu

yang terdapat di daerah tujuan wisata yang menjadi daya tarik agar orang-orang

mau berkunjung ke tempat tersebut.

2.4.2 Jenis Dan Macam Daya Tarik Wisata

Hal-hal yang dapat menarik untuk berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan

wisata :21

a) benda-benda yang tersedia dan terdapat di alam semesta seperti iklim

(matahari, kesejukan, kering, panas, dan hujan), bentuk tanah dan

pemandangan (lembah, pegunungan, air terjun, dan gunung berapi), hutan

belukar, flora dan fauna, pusat-pusat kesehata (sumber air panas, sumber

air mineral, dan belerang);

21 Dolina Gitapati, op.cit, h.37.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

46

b) hasil ciptaan manusia, baik yang ersifat sejarah, kebudayaan, maupun

keagamaan, seperti monument bersejarah, museum, kesenian rakyat, acara

tradisional, festival kesenian, dan tempat ibadah;

c) tata cara hidup masyarakat adalah salah satu sumber terpenting untuk

ditawarkan kepada para wisatawan misalnya adat istiadat Ngaben di Bali,

Sekaten di Yogyakarta, Penggilingan Padi di Karanganyar, dan Upacara

Waisak di Borobudur.

Obyek dan daya tarik wisata menurut Direktorat Jenderal Pemerintah di bagi

menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :

1. Obyek wisata alam

Obyek wisata alam adalah sumber daya alam yang berpotensi serta

memiliki daya tarik bagi pengunjung baik dalam keadaan alamai maupun

setelah ada usaha budi daya. Potensi obyek wisata alam dapat dibagi

menjadi 4 (emat) kawasan, yaitu :

a) flora dan fauna;

b) keunikan dan kekhasan ekosistem, misalnya ekosistem pantai dan

ekosistem hutan bakau;

c) gejala alam, misalnya kawah, sumber air panas, air terjun, dan

danau;

d) budidaya sumber daya alam, misalnya swah, perkebunan,

peternakan, dan usaha perikanan.

2. Obyek wisata

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN

47

Obyek wisata sosial budya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan

sebagai obyek dan daya tarik wisata meliputi museum, peninggalan

sejarah, upacara adat, seni pertunjukkan, dan kerajinan.

3. Obyek wisata minat khusus

Obyek wisata minat khusus merupakan jenis wisata yang baru

dikembangkan di Indonesia. Wisata ini lebih diutamakan pada wisatawan

yang mempunyai motivasi khusus. Dengan demikian, biasanya para

wisatawan harus memiliki keahlian. contohnya, berburu, mendaki gunung,

arung jeram, tujuan pengobatan, agrowisata, dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan obyek dan atraksi wisata maka pengembangan

suatu daerah untuk menjadi daerah tujuan wisata yang dapat menarik untuk

dikunjungi oleh wisatawan harus diperlukan bahwa daerah tersebut mempunyai

something to see, something to do, dan something to buy. Something to see artinya

di daerah tersebut harus ada obyek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan

yang dimiliki oleh daerah lain, sehingga daerah tersebut mempunyai karakteristik

tersendiri. Something to do berarti di tempat tersebut selain banyak yang dapat

dilihat dan disaksikan, ada pula fasilitas rekreasi yang harus tersedia yang dapat

membuat para wisatawan betah untuk tinggal lebih lama di daerah tersebut.

Something to buy artinya tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja

terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat. Selain itu tersedia sarana

pendukung seperti bank, kantor pos, dan telekomunikasi.