bab ii tinjauan umum hukum tanah nasional a. hukum tanah …

61
50 BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM TANAH NASIONAL A. Hukum Tanah Nasional Semenjak berlakunya UUPA, telah terjadi perubahan mendasar dalam pengaturan mengenai pertanahan di Indonesia. Hukum tanah warisan penjajah Belanda yang diberlakuan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tersusun atas dasar tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan sehingga bertentangan dengan kepentingan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Hukum pertanahan tersebut juga mempunyai sifat dualisme karena di samping berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat juga berlaku peraturan-peraturan dari dan berdasarkan hukum barat mengenai masalah pertanahan. Keadaan demikian menimbulkan permasalahan antar golongan dan tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa. UUPA sebagai produk hukum bangsa Indonesia merdeka bertekad mewujudkan penjelmaan Pancasila dan tujuan negara yang tercantum dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. UUPA juga merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) yang mewajibkan negara memimpin penguasaan dan penggunaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk mencapai kesejahteraan rakyat. UUPA yang mempunyai sifat unifikasi hukum, sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. UUPA sebagai hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara serta mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan hukum agama.

Upload: others

Post on 06-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

50

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM TANAH NASIONAL

A. Hukum Tanah Nasional

Semenjak berlakunya UUPA, telah terjadi perubahan mendasar dalam

pengaturan mengenai pertanahan di Indonesia. Hukum tanah warisan penjajah

Belanda yang diberlakuan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

tersusun atas dasar tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan sehingga

bertentangan dengan kepentingan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

Hukum pertanahan tersebut juga mempunyai sifat dualisme karena di samping

berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat juga berlaku peraturan-peraturan

dari dan berdasarkan hukum barat mengenai masalah pertanahan. Keadaan

demikian menimbulkan permasalahan antar golongan dan tidak sesuai dengan

cita-cita persatuan bangsa.

UUPA sebagai produk hukum bangsa Indonesia merdeka bertekad

mewujudkan penjelmaan Pancasila dan tujuan negara yang tercantum dalam

Alinea IV Pembukaan UUD 1945. UUPA juga merupakan pelaksanaan dari Pasal

33 ayat (3) yang mewajibkan negara memimpin penguasaan dan penggunaan atas

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk mencapai

kesejahteraan rakyat. UUPA yang mempunyai sifat unifikasi hukum, sederhana

dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. UUPA sebagai

hukum agraria nasional didasarkan pada hukum adat yang tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional dan negara serta mengindahkan unsur-unsur yang

berdasarkan hukum agama.

51

Hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat tercermin dalam Pasal 5

UUPA yang menyatakan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme

Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang

ini dan dengan peraturan perundangan lainnya segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.1

Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang tunggal

tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai

hubungan hukum antara masyarakat hukum adat tertentu dengan tanah ulayatnya.2

Sehubungan dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan

bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah

sebagai peninggalan atau pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai

pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya

bukan hanya untuk kepentingan suatu generasi, tetapi juga untuk generasi

berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut.3

Hukum adat sebagai dasar utama pembangunan hukum agraria nasional

dapat disimpulkan dari konsideran berpendapat huruf a, yaitu “bahwa

berhubungan dengan apa yang disebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas

perlu adanya hukum agraria nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang

1 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria. 2 Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta : 1973), hlm 44.

3 Arie Sukanti Hutagalung, Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah

Nasional, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Depok: 2003), hlm 15.

52

tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat

Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum

agama”. Beberapa pernyataan mengenai hukum adat juga dijumpai dalam UUPA

yaitu :

1. Penjelasan Umum angka III (1);

2. Pasal 5;

3. Penjelasan Pasal 5;

4. Penjelasan Pasal 16;

5. Pasal 56; dan

6. secara tidak langsung dalam Pasal 58.

Hukum adat yang oleh UUPA dijadikan dasar hukum tanah nasional

adalah hukum aslinya golongan pribumi. Sebagaimana dinyatakan oleh Boedi

Harsono, bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum adat yaitu hukum

aslinya golongan rakyat pribumi, merupakan hukum yang hidup dalam bentuk

tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat

kemasyarakatan dan kekeluargaan berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh

suasana keagamaan. Konsepsi hukum adat mengenai pertanahan ini oleh Boedi

Harsono dirumuskan dengan kata komunalistik religius. Konsepsi hukum adat

yang bersifat komunalistik religius ini memungkinkan penguasaan bagian-bagian

tanah bersama sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa oleh para warga negara

53

secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus

mengandung unsur kebersamaan.4

Sifat komunalistik dalam konsepsi hukum tanah nasional ditunjukkan oleh

Pasal 1 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah

kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa

Indonesia. Sedangkan sifat religius terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang

menyebutkan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan

alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai

karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa

Indonesia dan merupakan kekayaan naional.5

Konsepsi hukum tanah barat/Eropa yang didasarkan pada semangat

individualisme dan liberalisme,6 tidak sesuai dengan sikap hidup bangsa Indonesia

yang komunal dan religius. Begitu pula dengan konsepsi hukum tanah feodal yang

meletakkan penguasaan tanah yang tertinggi pada raja. Semua tanah di seluruh

wilayah kekuasaan raja adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan.

Konsepsi hukum tanah yang berdasarkan hukum adat merupakan konsepsi yang

sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa Indonesia. Norma-norma hukum adat

dalam penggunaannya menurut Pasal 5 UUPA akan mengalami pemurnian atau

saneering dari unsur-unsurnya yang tidak asli. Hukum adat tersebut dibersihkan

4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan, Isi dan

Pelaksanaannya, Edisi Revisi Cetakan Keduabelas, (Jakarta : Djambatan, 2008), hlm 206. 5 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria. 6 Konsep individualisme liberal tersebut tidak membawa kemakmuran yang merata pada

rakyat. Kemakmuran hanya dinkmati sebagian kecil rakyat yaitu pemilik tanah dan alat-alat

produksi. Maka timbullah pemikiran baru yaitu negara turut campur tangan dalam kehidupan

ekonomi dan sosial yang dikenal dengan konsep welfare state. Lihat dalam Soehino, Ilmu Negara,

Cetakan Ketiga, (Yogyakarta : Liberty), hlm 146-223.

54

cela-celanya serta ditambal kekurangannya agar dapat berlaku umum diseluruh

wilayah Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum adat yang diangkat menjadi

hukum agraria nasional disaring melalui syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat

tertentu tersebut sebagaimana termuat dalam Pasal 5 UUPA adalah hukum adat

yang :

1. tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara;

2. tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia; dan

3. tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UUPA itu sendiri.

Pembentukan hukum tanah nasional dengan dasar hukum adat yang

digunakan adalah konsepsi dan asas-asasnya. Asas-asas hukum adat yang

digunakan dalam hukum tanah nasional antara lain :

1. asas religiusitas (Pasal 1 UUPA);

2. asas kebangsaan (Pasal 1, 2 dan 9 UUPA);

3. asas demokrasi (Pasal 9 UUPA);

4. asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (Pasal 6, 7, 10, 11 dan

13 UUPA);

5. asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (Pasal 14 dan 15

UUPA); dan

6. asas pemisahan horisontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di

atasnya.

UUPA juga mengambil lembaga-lembaga hukum adat sebagai dasar

pembentukan hukum agraria nasional. Lembaga hukum adat yang dimaksudkan di

sini adalah susunan macam-macam hak atas tanah. Macam-macam hak atas tanah

55

dalam hukum adat seperti hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa, hak

membuka tanah, dan hak menikmati hasil hutan ini kemudian diangkat dan

dijadikan dasar dalam penyusunan hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam

Pasal 16 UUPA. Namun demikian macam-macam hak atas tanah dalam hukum

adat tersebut masih perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan

masyarakat Indonesia menuju masyarakat modern. Penyempurnaan tersebut

dengan adanya tambahan hak baru yaitu hak guna usaha dan hak guna bangunan.

Penyempurnaan terhadap hukum tanah nasional dilakukan dengan tetap

mempertahankan nilai-nilai yang lahir dan digali dari akar budaya bangsa

Indonesia tanpa menutup diri terhadap perubahan yang terjadi dewasa ini. UUPA

juga mengharuskan adanya pendaftaran tanah terhadap macam-macam hak atas

tanah tersebut.7

Menurut sistem hukum adat, tanah merupakan hak milik bersama

masyarakat hukum adat yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ulayat mengandung

dua unsur, yaitu unsur kepunyaan, artinya semua anggota masyarakat mempunyai

hak untuk menggunakan dan unsur kewenangan, yaitu unsur untuk mengatur,

merencanakan dan memimpin penggunaannya. Kewenangan pelaksanaan hak

ulayat dapat dilimpahkan kepada kepala adat. Atas dasar kewenangan tersebut,

kepala adat berhak memberikan hak-hak atas tanah kepada perseorangan seperti

hak milik/hak yasan, hak pakai, hak sewa dan sebagainya. Sistem ini diangkat

sebagai sistem hukum agraria nasional dan dimuat dalam Pasal 2, Pasal 4 dan

Pasal 16 UUPA.

7 Muchsin, et.al, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah ,Cetakan Kedua

(Bandung : Refika Aditama, 2010), hlm. 69.

56

UUPA memberikan wewenang berlakunya ketentuan-ketentuan hukum

adat selama peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA belum terbentuk. Hal itu

menunjukkan agar tidak terjadi kekosongan hukum sehingga diperlukan norma-

norma hukum adat sebagai pelengkap hukum agraria nasional. Penunjukkan

hukum adat sebagai hukum pelengkap dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 5

UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan

ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme

Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang

ini dan dengan peraturan perundangan lainnya segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Adanya

persyaratan yang menyertai hukum adat tersebut menunjukkan bahwa hukum adat

berkedudukan sebagai hukum pelengkap.8

Hukum tanah nasional yang diatur dalam UUPA merupakan dasar

mengadakan kesatuan dan kesederhanaan di bidang hukum pertanahan. UUPA

yang disusun sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, mencabut

beberapa peraturan hukum agraria warisan penjajah Belanda. UUPA juga

mengatur berbagai hak-hak yang dapat dipunyai oleh orang-orang, badan maupun

persekutuan yang ada di Indonesia. Negara yang merupakan organisasi kekuasaan

seluruh rakyat mempunyai hubungan dengan tanah berupa hak menguasai negara.

Keberadaan hak ulayat tetap diakui sepanjang masih ada dan sesuai dengan

kepentingan nasional dan negara. UUPA memberikan kewenangan kepada orang

8 Ibid., hlm 70.

57

atau badan hukum untuk menguasai tanah dengan diberikan hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan atau hak pakai.9

B. Hak Penguasaan Tanah

Negara Indonesia mempunyai wilayah yang begitu luas dengan kehidupan

bercorak agraris, peranan bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan

Yang Maha Esa sangat penting untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Tanah sebagai bagian dari karunia Tuhan Yang Maha Esa, penguasaannya harus

diatur sedemikian rupa sehingga tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu

yang dapat menghambat tercapainya tujuan negara dan merugikan rakyat

Indonesia. UUPA sebagai dasar pengaturan hukum pertanahan telah mengatur

mengenai hak-hak terkait dengan tanah yang diuraikan di bawah ini.

1. Hak Bangsa Indonesia.

Wilayah Negara Indonesia terdiri dari berbagai daerah dan pulau-pulau

sudah ada sejak dahulu dan ada yang dikuasai oleh rakyat setempat maupun

masyarakat hukum adat. Seluruh wilayah Indonesia yang kemerdekaannya

diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan menjadi hak dari bangsa

Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.

Demikian pula tanah-tanah yang ada di daerah-daerah dan pulau-pulau, tidaklah

semata-mata menjadi hak rakyat asal dari daerah atau pulau yang bersangkutan.

Hubungan bangsa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang

diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai

seluruh wilayah Negara.

9 Lihat Penjelasan Umum III Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria.

58

Hak Bangsa Indonesia mengenai tanah diatur dalam Pasal 1 ayat (1)

sampai ayat (3) UUPA merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi

dalam hukum tanah nasional. Hak ini merupakan sumber bagi hak-hak

penguasaan atas tanah lainnya. Hak Bangsa Indonesia mengandung 2 (dua) unsur

yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan. Unsur kepunyaan berarti

subyek atas Hak Bangsa Indonesia ada pada seluruh rakyat Indonesia dan meliputi

seluruh rakyat Indonesia. Unsur tugas kewenangan berarti tugas kewenangan

untuk mengatur penguasaan dan memimpin pengurusan tanah dilaksanakan oleh

Negara.10

Hak Bangsa Indonesia merupakan sebuah hubungan hukum yang bersifat

abadi. Pernyataan ini berarti selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa

Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada

pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada suatu kekuasaan yang

dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut sebagaimana tertuang

dalam Penjelasan Umum II UUPA.

Hak bangsa merupakan sebutan yang diberikan oleh para ilmuwan hukum

tanah pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret dengan bumi, air, dan

ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan

karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hak bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan

atas tanah yang tertinggi dan menjadi sumber bagi hak-hak atas penguasaan tanah

yang lain yaitu hak menguasai negara dan hak-hak perorangan atas tanah.

10

Arie Sukanti Hutagalung, Konsepsi Yang Mendasari..........., op. Cit., hlm 17.

59

2. Hak Menguasai Negara.

Hak menguasai dari negara atas tanah secara konstitusional mendasarkan

pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Makna yang terkandung dalam pasal tersebut

yaitu : Pertama, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya. Kedua, bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak menguasai negara

merupakan suatu konsep yang mendasarkan pada pemahaman bahwa negara

adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat Indonesia.11

Penyebutan hak menguasai dari negara diberikan oleh UUPA kepada

lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara negara dan tanah Indonesia

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPA. Hubungan hukum tersebut

merupakan hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata. Berbeda dengan

konsep hubungan hukum yang bersifat kepemilikan antara negara dan tanah

berdasarkan domein-verklaring sebagaimana yang pernah berlaku sebelum

UUPA.

Asas domein-verklaring bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat

Indonesia dan asas dari negara yang merdeka dan modern. Adanya hak menguasai

dari negara sebagai upaya untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33

ayat (3) UUD 1945, sesuai Penjelasan II UUPA bahwa tidak perlu dan tidak pada

tempatnya bangsa Indonesia atau negara bertindak sebagai pemilik tanah. Negara

lebih tepat sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak

selaku badan penguasa.

11

Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Cetakan Pertama

(Yogyakarta : Total Media, 2009), hlm 103.

60

Adanya hak menguasai dari negara atas tanah memberikan kewenangan

kepada pemerintah untuk mengatur (dalam arti membuat aturan tentang

pertanahan), menyelenggarakan aturan yang dimaksud dalam penggunaannya,

peruntukkannya serta pemeliharaannya. Makna pengaturan, penyelenggaraan,

pemeliharaan, penggunaan, peruntukan tanah tidak diartikan untuk tujuan lain

kecuali untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.12

Pelaksanaan hak menguasai dari negara atas tanah tidak dapat dipindahkan

kepada pihak lain. Akan tetapi pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada

pemerintah daerah sepanjang hal itu diperlukan dan tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional sebagai tugas pembantuan bukan otonomi. Wewenang yang

pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dalam

“medebewind” tersebut pada hakekatnya terbatas pada apa yang disebutkan dalam

Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA, yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan

peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.

Pelimpahan kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertanahan kepada

pemerintah daerah kabupaten juga diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004.

Ketentuan Pasal 14 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa salah satu

urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten

yaitu pelayanan pertanahan. Adanya pelimpahan kewenangan bidang pertanahan

tidak serta merta segala urusan yang berkaitan dengan pertanahan beralih kepada

pemerintah daerah. Sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 UUPA

berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional,

12

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 270-278.

61

ternyata bahwa pembentukan hukum tanah nasional maupun pelaksanaannya

menurut sifat dan pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat. Oleh

karena itu, pelayanan pertanahan sebagai salah satu bidang pemerintahan yang

wajib dilaksanakan oleh kabupaten sebatas bersifat lokalitas dan tidak bersifat

nasional.13

Pelaksanaan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah dalam kerangka

otonomi daerah adalah pelaksanaan hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA bahwa hak menguasai dari negara, pelaksanaannya

dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat

hukum adat sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan peraturan

pemerintah. Sedangkan pelaksanaan kewenangan bidang pertanahan oleh

pemerintah daerah tidak terlepas dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf a UUPA,

yaitu wewenang mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan

persediaan tanah di daerah.

Jadi, sesuai konsep hak menguasai dari negara, maka negara merupakan

personifikasi dari seluruh rakyat mempunyai kewenangan pada tingkatan tertinggi

untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan

pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa serta menentukan dan mengatur

hubungan hukum dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan bumi, air dan

ruang angkasa. Hak menguasai negara itu meliputi bumi, air dan ruang angkasa

13 Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,

(Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm 40.

62

yang terdiri dari tanah negara dan juga tanah hak yang dikuasai oleh perseorangan

maupun badan hukum.14

Salah satu objek hak menguasai negara adalah tanah-tanah ulayat milik

suatu masyarakat hukum adat. Hak ulayat hampir mirip dengan hak menguasai

dari negara yang ada pada masyarakat hukum adat. Hak ulayat ini merupakan hak

tertinggi dalam masyarakat hukum adat. Di bawah hak ulayat ada hak kepala/tetua

adat yang merupakan turunan dari hak ulayat dan semata-mata beraspek hukum

publik. Selanjutnya, barulah hak-hak individual yang secara langsung maupun

tidak langsung juga bersumber dari hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan.

Namun demikian meskipun termasuk hukum perdata, pengaturan penguasaan dan

penggunaannya ditentukan oleh kepala adat dan termasuk bidang hukum publik.15

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Boedi Harsono mengartikan hak ulayat merupakan serangkaian wewenang

dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah

yang terletak dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang

mempunyai hak ulayat, bukan orang perorangan. Hak ulayat ini disertai

wewenang dan kewajiban yang bersifat perdata, yaitu berhubungan dengan hak

bersama kepunyaan atas tanah tersebut dan bersifat publik, yaitu berupa tugas

kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, penguasaan,

14

Maria SW Sumarjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,

Cetakan Keenam (Jakarta : Kompas, 2009), hlm 61. 15

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 183.

63

penggunaan dan pemeliharaannya. Penyebutan hak ulayat dalam perpustakaan

hukum adat dikenal dengan nama “beschikkingsreght”.16

Hak ulayat masyarakat hukum adat mencakup tanah-tanah di wilayah

masyarakat hukum adat (desa, marga, hutan, dusun) yang meliputi tanah-tanah

yang sudah dihaki maupun tanah-tanah ulayat, yaitu tanah-tanah yang belum

dikuasai dan dipergunakan oleh warga setempat. Hak ulayat di dalamnya tidak

ada “res nullius” yang pada umumnya batas wilayah hak ulayat masyarakat

hukum adat teritorial tidak dapat ditemukan secara pasti.17

Iman Sudiyat yang memberikan istilah hak purba atas beschikkingsreght

dengan pengertian hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu

suku/clans/gens/stam, sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh

sebuah desa (masyarakat hukum adat) saja untuk menguasai seluruh tanah

seisinya dalam lingkungan wilayahnya.18

Secara teknis yuridis hak ulayat merupakan hak yang melekat sebagai

kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang/kekuasaan

untuk mengatur dan mengurus tanah dan seisinya dengan daya laku baik ke dalam

maupun keluar masyarakat hukum adat itu. Sifat yang khas tersebut seperti tidak

dapat dipindahtangankan atau bersifat kembang kempis, menjadikan hak ulayat

sebagai suatu hak yang istimewa.19

Kewajiban utama penguasa adat yang bersumber pada hak ulayat adalah

memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat

16

Ibid., hlm 185. 17

Ibid., hlm 186. 18

Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas, Cetakan Kelima (Yogyakarta : Liberty,

1981), hlm 2. 19

Maria SW Sumarjono, Kebijakan Pertanahan..........., op.cit., hlm 55.

64

hukumnya, menjaga jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan

pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikan. Pada asasnya

penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian tanah

wilayahnya kepada siapapun. Ia berwenang pula menunjuk tanah-tanah tertentu

untuk dipakai guna keperluan umum misalnya untuk kuburan, tempat

penggembalaan, masjid, dan lain-lain.

Hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat

masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang-orang bukan warga masyarakat

hukum adat yang bersangkutan yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu

atau membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat

hukum adat tanpa izin penguasa adatnya. Orang bukan warga masyarakat hukum

adat tersebut wajib memberikan kepadanya barang sesuatu yang disebut pengisi

adat. Setelah mendapat izin dari penguasa adat, ia dapat membuka tanah untuk

berladang atau berkebun yang tidak memerlukan waktu lama untuk dipungut

hasilnya. Orang bukan warga masyarakat hukum adat juga diperbolehkan

mengambil hasil hutan, berburu dan lain sebagainya. Hasil perolehan dari

pengusahaan tanah atau pengambilan hasil hutan, sebagian harus diserahkan

kepada penguasa adat.20

Ida Nurlinda menyimpulkan, bahwa hak ulayat merupakan hak yang

spesifik dan khas yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan/dipisahkan dari

masyarakat hukum adat. Spesifik dan khas karena meskipun hak ulayat tersebut

merupakan hak suatu komunitas masyarakat hukum adat, tetapi tetap membuka

20

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 190.

65

peluang akan adanya pihak lain di luar komunitas tersebut untuk memanfaatkan

hak ulayat dengan berbagai persyaratan. Artinya meskipun hak ulayat itu

eksklusif, tetapi tidak mengedepankan eksklusivitasnya.21

UUPA tetap mengakui keberadaan hak ulayat sebagaimana tersebut dalam

Pasal 3 UUPA. Pengakuan ini merupakan hal yang wajar karena hak ulayat dan

masyarakat hukum adat telah ada semenjak sebelum Indonesia merdeka.

Berdasarkan Pasal 3 ini, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya,

akan tetapi pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:

a. eksistensinya masih ada;

b. tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; dan

c. tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang

lebih tinggi.

UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat tersebut.

Menurut Maria SW Sumarjono, untuk menentukan masih ada atau tidaknya hak

ulayat harus dilihat pada hal berikut :22

a. adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu subyek hak

ulayat;

b. adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum yang

merupakan obyek hak ulayat; dan

c. adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-

tindakan tertentu.

Dipenuhinya ketiga persyaratan tersebut secara kumulatif kiranya cukup

obyektif untuk menentukan ada atau tidaknya hak ulayat. Meskipun ada

masyarakat hukum adat dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila

21

Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria (Perspektif Hukum), Cetakan

Pertama (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009), hlm 70. 22

Maria SW Sumarjono, Kebijakan Pertanahan..........., op.cit., hlm 57.

66

masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan mengatur dan

menyelenggarakan penggunaan tanah; mengatur dan menentukan hubungan

hukum antara orang dengan tanah; mengatur dan menetapkan hubungan hukum

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan

tanah, maka hak ulayat dapat dikatakan tidak ada lagi.23

Pengakuan adanya hak ulayat nampak pada saat pihak luar masyarakat

hukum adat (negara/perusahaan) akan memanfaatkan tanah, maka pihak yang

memerlukan tanah harus mendapatkan izin dari masyarakat hukum adat tersebut.

Jika tanah tersebut dipergunakan untuk jangka waktu yang relatif lama, misalnya

untuk perkebunan atau pertambangan apabila pemanfaatan telah selesai, maka

tanah tersebut harus kembali kepada masyarakat hukum adat.

UUPA mendudukkan hak ulayat pada tempat yang sewajarnya dalam alam

bernegara dewasa ini. Sebagaimana dalam Penjelasan Umum (angka II/3)

menegaskan bahwa kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada

kepentingan nasional dan negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hak ulayat

pelaksanaannya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

yang lebih luas itu. Tidak dibenarkan jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu

masyarakat hukum adat masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak

ulayatnya secara mutlak. Seakan-akan masyarakat hukum adat itu terlepas dari

masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan

negara kesatuan. Seakan-akan anggota-anggota masyarakat hukum itu sendirilah

23

Ibid., hlm 57

67

yang berhak atas tanah wilayahnya. Sikap yang demikian oleh UUPA dianggap

bertentangan dengan asas-asas yang tercantum dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA.

Hak ulayat memang masih terdapat di masyarakat-masyarakat hukum adat,

tetapi eksistensinya di berbagai daerah ada yang kuat dan ada yang lemah.

Melemahnya hak ulayat dikarenakan semakin menguatnya hak-hak individu para

warga masyarakat hukum adatnya. Semakin melemahnya hak ulayat juga

dikarenakan adanya kebijakan atau tindakan penguasa dalam pelaksanaan

pembangunan yang memerlukan tanah ulayat. Kebutuhan akan tanah ulayat juga

dilakukan oleh pihak swasta untuk keperluan usahanya. Kecenderungan

melemahnya hak ulayat dipercepat dengan makin bertambah kuatnya hak-hak

individu melalui pengaturannya dalam bentuk hukum tertulis dan pendaftaran

tanah yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian haknya. Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mengatur pendaftaran tanah juga tidak

memasukkan hak ulayat sebagai objek pendaftaran tanah.

Keberadaan hak ulayat dapat diketahui dari beberapa peraturan yang

mengatur hak ulayat antara lain :

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan;

b. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Propinsi Papua;

d. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1967 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan

Tugas Keagrariaan Dengan Bidang Tugas Kehutanan, Pertambangan,

Transmigrasi dan Pekerjaan Umum; dan

68

e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut dimaksudkan untuk

melindungi hak ulayat/hak masyarakat hukum adat termasuk tanah ulayat/tanah

adat. Akan tetapi terdapat ketidakjelasan dalam pengaturan mengenai hak

ulayat/tanah adat yang menimbulkan berbagai penafsiran sehingga dalam

implementasinya kelemahan/ketidakjelasan tersebut digunakan oleh pihak-pihak

tertentu untuk mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum

adat.24

4. Hak-hak Perorangan Atas Tanah.

Warga Negara Indonesia dalam lingkup Hak Bangsa sebagai pihak yang

mempunyai hak bersama atas tanah, masing-masing dimungkinkan untuk

menguasai dan menggunakan sebagian dari tanah bersama secara individual

dengan hak-hak yang bersifat pribadi. Menguasai dan menggunakan tanah secara

individual berarti tanah yang bersangkutan dapat dikuasai secara perorangan.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 UUPA yang menyatakan bahwa : “Atas

dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan

adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”. Ketentuan Pasal 4 tersebut

menunjukkan bahwa dalam konsepsi hukum tanah nasional, tanah-tanah dapat

24

Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran..........., op. Cit., hlm 132.

69

dikuasai dan dipergunakan secara individual dan tidak ada keharusan untuk

menguasai dan menggunakannya secara kolektif.25

Hak-hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang

kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama

atau badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan,

dan/atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.

a. Hak-hak Atas Tanah.

Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang untuk memakai

tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum. Tujuan memakai tanah

antara lain untuk memenuhi dua jenis kebutuhan yaitu untuk diusahakan dan

tempat membangun sesuatu di atas tanah itu. Hak-hak atas tanah yang bersumber

pada hak bangsa yaitu apa yang disebut dengan hak-hak primer yang meliputi hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh

negara sebagai petugas bangsa. Hak-hak yang bersumber tidak langsung dari hak

bangsa, adalah apa yang disebut hak-hak sekunder yaitu hak-hak yang diberikan

oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, bagi hasil, gadai dan lain-lainnya.26

Hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA disebutkan dalam Pasal 16

yang meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak

sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak yang tidak

termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-

undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 53.

25

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 233. 26

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 234.

70

Hak-hak yang bersifat sementara adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil,

hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-

sifatnya yang bertentangan dengan UUPA dan hak-hak tersebut diusahakan

hapusnya dalam waktu yang singkat. Pemberian sifat sementara ini karena hak-

hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUPA, tetapi

belum dapat dihapuskan dan diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu juga disebutkan mengenai hak-hak atas air dan ruang angkasa

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 yaitu :

1) hak guna air (Pasal 47 ayat (1));

2) hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (Pasal 47 ayat (2));

3) hak guna ruang angkasa (Pasal 48).

Macam-macam hak atas tanah yang dimuat dalam Pasal 16 jo. Pasal 53

UUPA dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu :

1) hak atas tanah yang bersifat tetap.

Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum

dicabut dengan undang-undang yang baru. Hak-hak atas tanah ini antara lain :

hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk

bangunan dan hak memungut hasil hutan.

2) Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Hak atas tanah yang akan lahir kemudian ditetapkan dengan undang-undang.

3) Hak atas tanah yang bersifat sementara.

UUPA juga mengakui dan melindungi kepemilikan tanah badan-badan

keagamaan dan sosial dipergunakan untuk kegiatan dalam bidang keagamaan dan

71

sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci sesuai dengan

dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung

oleh negara dengan hak pakai. Tanah-tanah yang digunakan untuk kegiatan

keagamaan atau sosial dapat diwakafkan menjadi tanah wakaf.

b. Hak Atas Tanah Wakaf.

Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang

dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu adat kebiasaan

setempat. Pelaksanaan wakaf sebelum adanya UUPA, masyarakat Islam Indonesia

masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan

melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling

percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf

sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus

melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata.27

Perwakafan tanah hak milik merupakan perbuatan hukum suci, mulia dan

terpuji yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum dengan memisahkan

sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan

melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial.28

Setiap

masyarakat menyediakan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh manusia secara

keseluruhan atau kebanyakan anggota masyarakat. Tempat peribadatan

merupakan salah satu contoh wakaf yang telah dikenal, demikian juga jalan-jalan

dan tempat-tempat yang sering digunakan masyarakat seperti tanah dan bangunan

namun kepemilikannya bukan atas nama pribadi. Oleh karena itu tidak ada

27 Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan

Haji Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: 2004), hlm 97. 28

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 345.

72

seorangpun yang mempunyai hak penuh untuk mengatur tempat tersebut, kecuali

ia telah diberikan tugas untuk pengelolaannya seperti takmir masjid, pengurus

organisasi keagamaan atau tokoh lainnya.

UUPA sejak awal sudah mengantisipasi adanya lembaga wakaf yang

sudah dikenal masyarakat Islam di Indonesia dengan memberikan pengaturan

didalamnya. Pasal 49 ayat (3) UUPA menyatakan bahwa “Perwakafan tanah milik

dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal ini memberikan tempat

yang khusus bagi hak-hak yang bersangkutan dengan kegiatan keagamaan.

Penjelasan pasal tersebut menyatakan “.....bahwa soal-soal yang bersangkutan

dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum agraria yang baru

akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya...”. Peraturan Pemerintah

yang mengatur mengenai perwakafan tanah hak milik yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Pengertian hak atas tanah wakaf menurut Peraturan Pemerintah tersebut

adalah hak penguasaan atas satu bidang tanah tertentu (semula hak milik dengan

terlebih dahulu diubah statusnya menjadi tanah wakaf) yang oleh pemiliknya telah

dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakannya selama-lamanya untuk

kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya seperti pesantren atau

sekolah berdasarkan agama sesuai dengan ajaran hukum Islam.29

Berdasarkan maknanya yang umum dan praktiknya, wakaf adalah

memberikan harta atau pokok benda yang produktif terlepas dari campur tangan

pribadi, menyalurkan hasil dan manfaatnya secara khusus sesuai dengan tujuan

29

Indonesia, Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan

Tanah Milik.

73

wakaf, baik untuk kepentingan perorangan, masyarakat, agama atau umum.30

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pengertian dari

wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka

waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau

kesejahteraan umum menurut syariah.

Fungsi wakaf adalah untuk mengekalkan manfaat tanah yang diwakafkan

sesuai dengan tujuan wakaf yang bersangkutan. Fungsi wakaf juga ditegaskan

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yaitu untuk mewujudkan potensi

dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk

memajukan kesejahteraan umum. Tanah yang diwakafkan terbatas pada tanah

yang berstatus tanah hak milik, sebagai hak atas tanah yang tidak terbatas jangka

waktunya. Apabila tanah yang diwakafkan bukan tanah hak milik, tanah tersebut

harus ditingkatkan menjadi tanah hak milik. Tanah hak milik yang diwakafkan

harus bebas dari segala beban ikatan, jaminan, sita dan sengketa.31

Tanah hak milik yang dijadikan suatu wakaf, status hak milik tersebut

menjadi hapus. Tanah tersebut tidak menjadi tanah negara melainkan memperoleh

status sebagai tanah wakaf yang diatur oleh Hukum Islam. Untuk pelaksanaan

lebih lanjut dari proses perwakafan, maka Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

tentang Wakaf dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Maksud UU Nomor 41 Tahun 2001 adalah untuk menciptakan tertib hukum dan

30 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Cetakan Ketiga, (Jakarta Timur :

Khalifa, 2007), hlm 3. 31 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 348-351.

74

tertib administrasi wakaf guna melindungi harta benda wakaf sehingga perbuatan

hukum wakaf wajib dicatat, dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan

serta diumumkan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tidak memisahkan

antara wakif-ahli yang pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas

untuk kaum kerabat (ahli waris) dengan wakaf khairi yang dimaksudkan untuk

kepentingan masyarakat umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

c. Hak Jaminan Atas Tanah.

Selain mengatur penggunaan, pemanfaatan dan persediaan tanah, UUPA

dalam rangka mengantisipasi perkembangan dunia usaha yang berkaitan dengan

tanah juga mengatur mengenai hak tanggungan. Hak atas tanah yang dapat

dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha dan hak guna

bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 25, 33 dan 39 UUPA. Menurut Pasal 51

UUPA bahwa Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna

Usaha, dan Hak Guna Bangunan diatur dengan undang–undang. Berdasarkan

pengertian pasal-pasal tersebut, hanya tanah-tanah yang sudah mempunyai hak

bisa dijadikan jaminan dengan dibebani hak tanggungan.

Pada tanggal 9 April 1996 diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah dalam rangka menuntaskan unifikasi Hukum Agraria Nasional

dalam bidang hak tanggungan. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari

UUPA yang mengatur mengenai hak tanggungan yang sejak diundangkannya

belum pernah ada pengaturannya. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

diharapkan dapat mengatasi permasalahan dalam pengaturan hak tanggungan

75

yang dibebankan pada hak atas tanah sesuai dengan perkembangan perekonomian

dewasa ini. Berlakunya undang-undang ini juga menambah objek hak tanggungan

yaitu hak pakai atas tanah negara. Objek hak tanggungan yang lain berupa hak

milik atas rumah susun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun.

Menurut Boedi Harsono, yang dimaksudkan hak pakai yang dapat

dibebani dengan hak tanggungan adalah hak pakai yang diberikan oleh negara

kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu

yang terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha. Tidak termasuk sebagai objek

hak tanggungan, hak pakai yang diberikan kepada instansi-instansi Pemerintah,

Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara

Asing, yang peruntukannya tertentu dan biarpun didaftar, menurut sifatnya tidak

dapat dipindahtangankan.

Seperti halnya hak milik yang sudah diwakafkan dan tanah-tanah yang

dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, menurut

Boedi Harsono, biarpun sudah didaftar tanah-tanah milik yang sudah diwakafkan

tidak dapat dibebani hak tanggungan, karena menurut sifat dan tujuannya tidak

lagi dapat dipindahtangankan. Demikian juga terhadap tanah-tanah yang

dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, biarpun

dikuasai dengan hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan. Tanah-tanah

tersebut baru boleh dibebani hak tanggungan, apabila tidak lagi dipergunakan

untuk keperluan tersebut dan karenanya dapat dipindahtangankan.32

32

Ibid, hlm. 423-424.

76

Hak jaminan atas tanah dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

merupakan hak tanggungan yang menggantikan hypotheek dan credietverband

sebagai lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yang lama. Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa hak tanggungan merupakan satu-

satunya hak jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak atas tanah tertentu

untuk menjamin pelunasan utang tertentu kepada kreditor tertentu yang

kedudukannya diutamakan dalam memperoleh pelunasan atas piutangnya dari

para kreditor lainnya.33

Tujuan pemberian hak tanggungan semata-mata sebagai jaminan

pelunasan utang. Jika pemberi jaminan hak tanggungan tidak memenuhi

kewajibannya, kreditor pemegang hak tanggungan dapat melelang tanah tertentu

yang dibebani hak tanggungan dan hasilnya digunakan untuk melunasi

utangnya.34

Pemegang hak tanggungan memiliki keistimewaan yang dijamin

undang-undang, yaitu mempunyai hak mendahului dari kreditor-kreditor lainnya

(droit de preference) dan kreditor pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual

lelang benda tersebut walaupun telah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit

de suite).

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dan

selanjutnya dibuat Buku Tanah Hak Tanggungan. Dengan dibuatnya buku tanah

tersebut hak tanggungan yang bersangkutan lahir dan kreditur menjadi kreditur

pemegang hak tanggungan dengan kedudukan mendahului dari kreditur-kreditur

33 Pasal 1, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. 34

Pasal 6, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

77

lain. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996, tanggal buku

tanah hak tanggungan sebagai lahirnya hak tanggungan adalah tanggal hari

ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi

pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang

bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Tanggal penerimaan secara

lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan jika obyek

hak tanggungan berupa hak milik bekas hak milik adat yang belum didaftar,

tanggal dibuatnya buku tanah dan diterbitkannya sertifikat hak milik yang

bersangkutan atas nama pemberi hak tanggungan. Setelah dibuat buku tanahnya

ada hak tanggungan oleh Kepala Kantor Pertanahan dicatat pada buku tanah dan

menyalinnya pada sertifikat hak atas tanah.35

d. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Semakin berkembangnya pembangunan dan terjadinya pertumbuhan

penduduk yang tinggi berdampak pada semakin berkurangnya ketersediaan lahan

untuk permukiman. Terbatasnya lahan permukiman akan merubah konsep

pembangunan perumahan dalam bentuk gedung bertingkat. Sehingga saat ini

berkembang pembangunan perumahan dengan bentuk rumah susun maupun

apartemen yang mewah.

Hak milik atas satuan rumah susun tidak diatur dalam UUPA, melainkan

diatur dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan mengenai hak milik atas

satuan rumah susun terdapat dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun. Terdapat berbagai istilah berkenaan dengan rumah susun

35

Lihat Pasal 13, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

78

seperti apartemen, flat kondominium, strata title dan joint property, namun pada

dasarnya merupakan tempat hunian bertingkat. Istilah-istilah tersebut merupakan

istilah yang digunakan para pengembang untuk memasarkan produknya karena

istilah rumah susun sering dimaknai sebagai hunian bertingkat yang

diperuntukkan bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,

pengertian rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam

suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara

fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan

yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk

tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah

bersama.36

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 menciptakan dasar hukum hak

milik atas satuan rumah susun yang meliputi :

1) hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan

secara terpisah;

2) hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun;

3) hak bersama atas benda-benda; dan

4) hak bersama atas tanah.

Semua hak tersebut di atas merupakan satu kesatuan hak yang secara

fungsional tidak terpisahkan. Bagian bersama merupakan bagian rumah susun

yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan

36

Pasal 1, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

79

fungsi dengan satuan-satuan rumah susun. Termasuk bagian bersama antara lain

fondasi, kolom, balok, dinding, lantai, atap, talang air, tangga, lift, saluran-

saluran, pipa-pipa, jaringan listrik, gas, telekomunikasi, dan ruang untuk umum.

Benda bersama merupakan benda yang bukan merupakan bagian rumah susun,

tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.

Benda bersama antara lain tanaman, bangunan pertamanan, bangunan sarana

sosial, tempat ibadah, tempat parkir, tempat bermain yang sifatnya terpisah dari

struktur bangunan rumah susun. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang

digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri

rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.37

Menurut ketentuan Pasal 7 UU Nomor 16 Tahun 1985, rumah susun hanya

dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah

negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila rumah susun tersebut didirikan di atas tanah hak pakai, hak pakai atas

tanah negara untuk pembangunan rumah susun akan diberikan untuk jangka

waktu yang cukup lama sesuai keperluannya. Jangka waktu tersebut atas

permintaan para pemilik satuan-satuan rumah susun yang bersangkutan dan dapat

diperpanjang. Pembangunan rumah susun di atas tanah yang dikuasai dengan hak

pengelolaan wajib diselesaikan status hak guna bangunan diatas hak pengelolaan

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum menjual satuan rumah

susun. Ketentuan ini dimaksudkan agar tanah bersama yang merupakan bagian

dari hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan memperoleh status hak

37

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang

Pertanahan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008), hlm 47.

80

guna bangunan. Pemberian status hak guna bangunan harus selesai sebelum

satuan rumah susun dijual sehingga akan melindungi para konsumennya.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 diganti dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Menurut UU Nomor 20 Tahun

2011, pengertian rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun

dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan

secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan

satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah,

terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda

bersama, dan tanah bersama.38

Berdasarkan pengertian tersebut, maka rumah

susun dibagi menjadi:

1) satuan yang dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah (Satuan Rumah

Susun/Sarusun);

2) bagian bersama;

3) benda bersama; dan

4) tanah bersama.

Sarusun merupakan hak perseorangan, sedangkan bagian bersama, benda

bersama dan tanah bersama merupakan hak bersama yang dikelola secara

bersama-sama.39

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mengenal beberapa jenis

rumah susun, yaitu:

1) Rumah Susun Umum, adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk

memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rumah

38

Pasal 1, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. 39

Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010),

hlm 160.

81

Susun Umum inilah yang kemudian berkembang menjadi Rusunami dan

Rusunawa. Rusunami adalah akronim dari Rumah Susun Umum Milik,

sedangkan Rusunawa adalah akronim dari Rumah Susun Umum Sewa;

2) Rumah Susun Khusus, merupakan rumah susun yang diselenggarakan untuk

memenuhi kebutuhan khusus;

3) Rumah Susun Negara, yaitu rumah susun yang dimiliki oleh negara yang

menjadi tempat tinggal, sarana pembinaan dan penunjang pelaksanaan tugas

pejabat dan pegawai negeri; dan

4) Rumah Susun Komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk

mendapatkan keuntungan. Rumah Susun Komersial oleh pengembang sering

disebut apartemen, flat atau kondominium.

Rumah susun umum, rumah susun khusus dan rumah susun negara

merupakan tanggung jawab pemerintah yang kemudian dapat dilaksanakan oleh

setiap orang dengan mendapatkan kemudahan atau bantuan pemerintah,

sedangkan rumah susun komersial dapat dilaksanakan oleh setiap orang dan

bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Pembangunan rumah susun menurut

ketentuan Pasal 17 UU Nomor 20 Tahun 2011 dapat dilakukan di atas tanah:

1) hak milik;

2) hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara; dan

3) hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.

Rumah susun umum dan rumah susun khusus juga dapat dibangun dengan

memanfaatkan tanah milik negara/daerah atau tanah wakaf. Pemanfaatan tanah

milik negara/daerah dapat dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama

82

pemanfaatan, demikian halnya dengan tanah wakaf dapat didayagunakan melalui

sewa atau kerja sama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf.

Terhadap bukti kepemilikan hak atas satuan rumah susun di atas tanah hak

milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna

bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan, maka Kantor Pertanahan

setempat akan menerbitkan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM

Sarusun) yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan:

1) salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama;

2) gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangkutan yang

menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan

3) pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama,

dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.

Pada satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah milik negara/daerah

atau tanah wakaf dapat diterbitkan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung

Satuan Rumah Susun (SKBG Sarusun). SKBG Sarusun merupakan satu kesatuan

yang tidak terpisahkan dengan:

1) salinan buku bangunan gedung;

2) salinan surat perjanjian sewa atas tanah;

3) gambar denah lantai pada tingkat rumah susun yang bersangkutan yang

menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan

4) pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda

bersama yang bersangkutan.

83

Adanya undang-undang yang mengatur rumah susun sebagaimana tersebut

di atas, untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan gedung bertingkat

yang bagian-bagiannya digunakan sebagai tempat tinggal bagi masyarakat.

Keberadaan undang-undang mengenai rumah susun akan mendukung tujuan

dibangunnya rumah susun untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak

dengan semakin banyaknya penduduk dan keterbatasan lahan. Kepastian hukum

dalam penguasaan dan keamanan pemanfaatannya sangat diperlukan guna

menjaga ketertiban dan melindungi kepentingan para penghuni rumah susun.

Pemerintah mempunyai kewajiban dan kewenangan melakukan pengaturan dan

pembinaan rumah susun. Kewajiban dan kewenangan pengaturan dan

pembinanaan dapat diberikan kepada pemerintah daerah untuk mencapai hasil

yang diharapkan.

e. Hak Pengelolaan.

Selain kepada pemerintah daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat,

pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan negara (Pasal 2 ayat (2) UUPA)

dapat juga dilakukan kepada badan-badan Otorita, perusahaan-perusahaan negara

dan perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah

tertentu dengan apa yang dikenal dengan sebutan hak pengelolaan.40

Hak pengelolaan secara tersurat tidak disebut dalam UUPA, tetapi istilah

pengelolaan muncul dalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA.

Penjelasan ini menyebutkan bahwa kekuasaan negara atas tanah yang tidak

dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas

40

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 275.

84

dan penuh. Berpedoman pada tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur, negara dapat

memberikan tanah kepada seseorang atau badan-badan hukum dengan sesuatu hak

menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik dan hak guna usaha,

hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan

kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra)

untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4)

UUPA).

Menurut A.P. Parlindungan, istilah hak pengelolaan berasal dari istilah

Belanda yaitu beheersrecht yang diterjemahkan menjadi hak penguasaan.41

Istilak

hak penguasaan terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953

tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Hak penguasaan kemudian dikonversi

menjadi Hak Pengelolaan dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Agraria

Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah

Negara dan Ketentuan-Ketentuan Kebijaksanaan Selanjutnya. Konversi hak

penguasaan atas tanah negara yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria

Nomor 9 Tahun 1965 meliputi :

1) hak penguasaan atas tanah negara yang diberikan kepada departemen-

departemen, direktorat-direktorat dan daerah-daerah swatantra yang hanya

dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri dikonversi menjadi hak

pakai; dan

41

Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2010),

hlm 113.

85

2) apabila tanah negara yang diberikan kepada departemen-departemen,

direktorat-direktorat dan daerah-daerah swatantra tersebut dipergunakan untuk

kepentingan instansi itu sendiri juga dimaksudkan untuk dapat diberikan

kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan dikonversi menjadi hak

pengelolaan.

Pengertian hak pengelolaan tidak ditemukan dalam Peraturan Menteri

Agraria Nomor 9 Tahun 1965, tetapi pertama kali ditemukan dalam PP Nomor 40

Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas

Tanah. Ketentuan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa

hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Pengertian hak

pengelolaan ditegaskan lagi dalam UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Pengertian hak pengelolaan disebutkan

dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf f adalah hak menguasai dari negara yang

kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya,

antara lain berupa perencanaan, peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan

tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah

tersebut kepada pihak ketiga dan/atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan tanah tidak

dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang hak pengelolaan

mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki bagi keperluan

usahanya, tetapi itu bukan tujuan pemberian hak tersebut kepadanya. Tujuan

utamanya adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan

86

oleh pihak-pihak lain yang memerlukan. Sehubungan dengan penyediaan dan

pemberian tanah itu, pemegang haknya diberi kewenangan untuk melakukan

kegiatan yang merupakan sebagian dari kewenangan negara. Hak pengelolaan

pada hakekatnya bukan hak atas tanah melainkan merupakan “gempilan” hak

menguasai oleh negara. Bagian-bagian tanah hak pengelolaan dapat diberikan

kepada pihak lain dengan hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai.

Pemberiannya dilakukan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional yang

berwenang atas usul pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan. Sebagaimana

halnya dengan tanah negara, selama dibebani hak-hak atas tanah tersebut hak

pengelolaan yang bersangkutan tetap berlangsung. Setelah jangka waktu hak guna

bangunan atau hak pakai yang dibebankan itu berakhir, tanah yang bersangkutan

kembali dalam penguasaan sepenuhnya dari pemegang hak pengelolaan. Hak

pengelolaan didaftar dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Namun

sebagai “gempilan” hak menguasai dari negara, tidak dapat dipindahtangankan,

maka tidak memenuhi syarat untuk dapat dijadikan jaminan utang.42

Hak pengelolaan juga diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 1965 tentang

Rumah Susun, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999

tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak

Pengelolaan. Ketentuan Pasal 7 UU Nomor 16 Tahun 1985 menyebutkan bahwa

rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan,

hak pakai di atas tanah negara atau hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan

42

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia............, op. Cit., hlm 277-278.

87

peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan pembanguan rumah susun di

atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan wajib menyelesaikan hak guna

bangunan di atas hak pengelolaan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan sebelum dilakukan penjualan rumah susun.43

Sehubungan dengan pendaftaran tanah, hak pengelolaan juga menjadi

salah satu objek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah. Untuk keperluan pendaftaran tanah, hak pengelolaan

dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang

berwenang. Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan

rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat

data yuridis dan data fisik bidang tanah dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat

pula pada surat ukur tersebut (Pasal 23 dan 29 PP Nomor 24 Tahun 1997).

Pengaturan hak pengelolaan lebih lanjut ditemukan dalam Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara

Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Menurut Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN ini, hak

pengelolaan dapat diberikan kepada:

1) Instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah;

2) Badan Usaha Milik Negara;

3) Badan Usaha Milik Daerah;

4) PT Persero;

5) Badan Otorita; dan

43

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

88

6) Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.

Hak pengelolaan dapat terjadi karena konversi dan pemberian hak atas

tanah. Hak pengelolaan yang terjadi karena konversi berasal dari konversi hak

penguasaan atau hak beheer sebagaimana dimaksud pada Permen Agraria Nomor

9 Tahun 1965. Sedangkan hak pengelolaan yang terjadi karena pemberian hak

atas tanah berasal dari tanah negara yang diberikan melalui permohonan.

Pemegang hak pengelolaan mempunyai wewenang (Pasal 6 Permen Agraria

Nomor 9 Tahun 1965) yaitu :

1) merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

2) menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;

3) menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan

hak pakai yang berjangka waktu 6 tahun; dan

4) menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.

Hukum tanah nasional sebagaimana diatur dalam UUPA telah

memunculkan hak penguasaan dan hak atas tanah yang masing-masing berisi

kewenangan, hak, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya terhadap

tanah yang dihakinya. UUPA telah menetapkan semacam jenjang/hirarki hak-hak

penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional yaitu :

1) hak bangsa;

2) hak menguasai dari negara;

3) hak ulayat masyarakat hukum adat; dan

4) hak-hak perorangan.

89

Berbagai macam hak penguasaan tanah yang diatur dalam UUPA untuk

memastikan bahwa negara berkewajiban untuk mengatur pemilikan tanah dan

memimpin penggunaannya, sehingga tanah di seluruh wilayah Indonesia

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya untuk

mendukung tercapainya maksud tersebut, negara perlu menentukan kebijakan

pertanahan nasional yang merujuk pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UUPA,

sehingga pengaturan dan penggunaan tanah dalam berbagai sektor bertujuan untuk

mewujudkan kemakmuran rakyat Indonesia.

C. Konsep Pertanahan Nasional

UUPA sebagai pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam pengaturan

di bidang pertanahan mendasarkan pada konsep bahwa semua tanah adalah tanah

bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang penguasaannya

ditugaskan kepada negara untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hak menguasai dari negara sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 UUPA

memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi

penguasaan tanah yang dianggap sebagai tugas pemerintah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUPA, wewenang negara sebagai

organisasi kekuasaan bangsa Indonesia melakukan pengaturan dan penetapan

meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan

hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, pelaksanaan ketentuan hukumnya

pada asasnya dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri. Apabila ada pelimpahan

kewenangan, maka pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi

90

kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah ataupun kepada

pemerintah daerah dalam rangka medebewind, bukan otonomi.44

Konsepsi hukum tanah nasional dapat dilihat dari ketentuan Pasal 5 UUPA

bahwa yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan

ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan

kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam

undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu

dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Konsepsi

hukum tanah nasional dalam UUPA pada dasarnya merupakan pengejawantahan

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketentuan dalam Pasal 33 juga menunjukkan bahwa

penyelenggaraan pengaturan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya merupakan kewenangan negara dan tidak ada ketentuan dalam Pasal 33

yang menyatakan bahwa kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang

dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Namun demikian, dalam Pasal 18 UUD 1945 konsep penyelenggaraan

pemerintahan menunjukkan arah pada memberdayakan partisipasi lokal yang

menegaskan adanya pergeseran kekuasaan pemerintahan ke daerah yang disebut

dengan otonomi daerah melalui proses desentralisasi. Pemerintahan daerah

menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh

undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

44

Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran....op. cit., hlm 40.

91

Salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh

kabupaten/kota dalam rangka otonomi daerah menurut Pasal 11 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah bidang

pertanahan. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 199945

tersebut

tidak harus dicerna bahwa wewenang di bidang pertanahan tersebut secara utuh

berada di kabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kota kota

menegenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas dan tidak bersifat nasional.46

Perlu diketahui bahwa pemberian otonomi tetap berada dalam bingkai

negara kesatuan, kebebasan untuk mengatur dan mengurus bidang pertanahan

dilakukan dalam rangka kebijakan dasar dan pokok-pokok ketentuan hukum

pertanahan yang berlaku secara nasional. Otonomi jelas tidak diartikan sebagai

penyerahan pengaturan dan pengurusan segala segi masalah pertanahan

sepenuhnya kepada kabupaten/kota. Kewenangan pengaturan hal-hal yang bersifat

pokok dan umum serta pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan otonomi

dilakukan oleh pemerintah pusat. Kabupaten/kota tetap mematuhi kebijakan

dalam bidang bidang pertanahan yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Sehingga

diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan

yang ada di pemerintah pusat dan kewenangan yang didelegasikan kepada

pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah pusat terkait pertanahan meliputi

hukum, kebijakan, pedoman mengenai pemberian hak-hak atas tanah,

pendaftaran, dan landreform dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah,

45

Ketentuan ini berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah diganti menjadi kewenangan dalam bidang pelayanan pertanahan. 46

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah ....op. cit.,

hlm 58.

92

peraturan presiden maupun keputusan presiden. Sedangkan kewenangan

pemerintah daerah cukup pada pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kebijakan

yang dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maupun peraturan kepala

daerah.47

Kewenangan pemerintah pusat maupun daerah di bidang pertanahan tidak

terlepas dari kebijakan pertanahan yang termuat dalam UUPA maupun peraturan

perundang-undangan lain sebagai pelaksanaan UUPA tersebut. Adapun kebijakan

pertanahan akan diuraikan secara singkat di bawah ini.

1. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Berlakunya UUPA dapat dimaknai sebagai bagian keberhasilan bangsa

Indonesia untuk secara perlahan melepaskan diri dari keterikatan peraturan hukum

agraria yang bersendikan pemerintah jajahan yang bertentangan dengan

kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Sebelum berlakunya UUPA, telah

terjadi dualisme peraturan yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat

dan peraturan yang didasarkan pada hukum barat sebagai akibat dari politik

hukum pemerintah jajahan. Hal ini tidak mencerminkan adanya kepastian hukum

dan dapat menimbulkan terjadinya konflik antar golongan yang mengancam

persatuan bangsa.

Kebijakan pembangunan nasional di bidang pertanahan berlandaskan

UUPA yang merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

47

ibid, hlm. 59.

93

Tujuan diundangkannya UUPA seperti dimuat dalam Penjelasan Umumnya

sebagai berikut:

a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan

bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang

adil dan makmur;

Prinsip-prinsip yang perlu dipertegas dalam kenasionalan dari hukum agraria

nasional yang telah dirumuskan UUPA adalah:

1) bahwa wilayah negara Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan satu kesatuan

tanah air dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia

(Pasal 1 UUPA).

2) bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dan

merupakan kekayaan nasional. Untuk itu kekayaan tersebut harus

dipelihara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

(Pasal 1, 2, 14 dan 15 UUPA).

3) hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bersifat abadi, sehingga tidak

dapat diputuskan oleh siapapun (Pasal 1 UUPA).

4) Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat Indonesia

diberi wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan

94

alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat (Pasal 2 UUPA).

5) hak ulayat sebagai hak dari masyarakat hukum adat diakui keberadaannya.

Pengakuan tersebut disertai syarat bahwa hak ulayat itu masih ada, tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi (Pasal 3 UUPA).

6) Subjek hak yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi,

air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah

warga negara Indonesia. Badan hukum pada prinsipnya tidak dapat

mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 9, 21 dan 49 UUPA).

7) tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh

pemiliknya sendiri. Agar semboyan ini dapat diwujudkan, perlu diadakan

ketentuan-ketentuan lainnya. Seperti ketentuan mengenai batas minimum

luas tanah yang harus dimiliki oleh seorang petani agar mendapatkan

penghasilan yang cukup untuk hidup layak bersama keluarganya. Perlu

juga diatur mengenai ketentuan batas maksimum tanah yang boleh

dikuasai dengan hak milik, agar dicegah bertumpuknya tanah ditangan

golongan orang tertentu. (Pasal 7 dan 15 UUPA).

8) untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan negara dalam

bidang agraria, perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan,

penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai

kepentingan hidup rakyat dan negara. Rencana umum yang meliputi

95

seluruh wilayah Indonesia kemudian diperinci menjadi rencana-rencana

khusus dari tiap-tiap daerah. Adanya perencanaan penggunaan tanah yang

dilakukan secara terpimpin dan teratur dapat membawa manfaat yang

sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat (Pasal 14 UUPA).

b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan;

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam rangka meletakkan dasar-dasar

untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan

antara lain:

1) UUPA bermaksud menghilangkan dualisme peraturan dan secara sadar

hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat

sebagai bangsa yang satu dan kepentingan perekonomian;

2) UUPA tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam

keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat.

Perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan

dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, juga rakyat

yang ekonominya kuat dan yang ekonominya lemah, sehingga ditentukan

adanya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi

lemah;

3) dihapuskannya perbedaan antara hukum adat dan hukum barat dalam

bidang hukum agraria, maksud untuk mencapai kesederhanaan hukum

pada hakikatnya akan terselenggarakan juga.

96

c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Sehubungan dengan usaha untuk meletakkan dasar-dasar untuk memberikan

kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya,

tercermin dari pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah. Pasal 23,

32 dan 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan,

dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya. Pasal 19

UUPA ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu intruksi agar di seluruh

wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat rechts kadaster

yang bertujuan menjamin kepastian hukum.48

2. Kebijakan Pertanahan Dengan Adanya Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Perubahan paradigma pemerintahan daerah dengan berlakunya UU Nomor

22 Tahun 1999 ternyata diikuti juga perubahan dalam bidang pertanahan sesuai

dengan Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam. Melalui pendelegasian kewenangan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, banyak harapan yang dapat

dilakukan pemerintah daerah dalam mengelola tanah yang lebih efektif dan efisien

serta merencanakan penggunaan dan pemanfaatan untuk mencapai kemakmuran

rakyat.

Pembaruan agraria melalui TAP MPR Nomor IX/MPR/2001

memerintahkan agar perlunya revitalisasi kebijakan yang telah dikeluarkan

48

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

97

pemerintah dan pemerintah daerah agar kembali pada semangat dan subtansi

UUPA bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sejalan dengan

semangat desentralisasi, pembaruan agraria yang digagas oleh TAP MPR tersebut

juga menjadi momentum untuk mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban

negara (pusat dan daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa yang setingkat),

masyarakat dan individu. Otonomi adalah peluang daerah untuk menata kembali

struktur penguasaan dan kepemilikan tanah yang dilakukan dengan menempatkan

orang-orang yang konseptual dan profesional, bertanggung jawab menjalankan

program pembangunan daerah yang terkait secara lansung maupun tidak langsung

dengan persoalan tanah dan sekaligus memberikan penyadaran kepada

stakeholders, bahwa bumi, air serta ruang angkasa sebesar-besarnya harus

dipergunakan untuk kemamuran rakyat.49

Keberadaan TAP MPR dengan melihat ketentuan Pasal 7 Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

TAP MPR tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan. Hal ini berarti bahwa berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004, TAP

MPR bukan merupakan sumber hukum formil, tetapi merupakan ketetapan

konstitusional dalam rangka menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan

nasional. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1, TAP MPR Nomor

IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai

49

Elita Rahmi, “Tarik Menarik antara Desentralisasi dan Sentralisasi Kewenangan

Pemerintah Daerah dalam Urusan Pertanahan”, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober

2009: hlm. 137-154.

98

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Kedudukan TAP MPR

Nomor IX/MPR/2001 hanya merupakan tuntunan bagi penetapan arah dan

kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Pasal 2 TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 menyebutkan bahwa pembaruan

agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan

penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber

daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan

hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan

pasal tersebut merupakan suatu hal yang harus segera diwujudkan mengingat

selama ini penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya

agraria belum sepenuhnya menjamin tercapainya kepastian dan perlindungan

hukum serta mewujudkan keadilan dan memberikan kemakmuran bagi seluruh

rakyat Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di daratan, laut,

dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan

demi terwujudnya pemerataan pemanfaatan sumber daya agraria dan menjamin

keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Guna mewujudkan hal tersebut di atas negara mengatur pengelolaan

sumber daya agraria dan sumber daya alam serta harus dilaksanakan sesuai

prinsip-prinsip antara lain:50

a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

50

Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.

99

c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

dalam unifikasi hukum;

d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya

manusia Indonesia;

e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi

partisipasi rakyat;

f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,

pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam;

g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik

untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap

memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;

h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan

kondisi sosial budaya setempat;

i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam

pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman

budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam;

k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat,

daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan

individu;

l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat

nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat,

100

berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya agraria dan sumber daya

alam.

Pertanahan sebagai suatu bidang yang menyangkut hajat hidup orang

banyak memerlukan arah kebijakan dalam penanganannya oleh negara. Arah

kebijakan pembaruan agraria meliputi antara lain:51

a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor

demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada

prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini;

b. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan;

c. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara

komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform;

d. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria

yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa

mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan

atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini;

e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban

pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang

berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi; dan

51

Lihat Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

101

f. mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria

dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Selain arah kebijakan pembaruan agraria, arah kebijakan dalam

pengelolaan sumber daya alam meliputi:52

a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka

sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip

sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini;

b. mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui

identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai

potensi dalam pembangunan nasional;

c. memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi

sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab

sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi

tradisional;

d. memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam

dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber

daya alam tersebut;

e. menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul

selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang

guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas

prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini; dan

52 Lihat Pasal 5 ayat (2) Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria

dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

102

f. menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada

optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah

maupun nasional.

Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 secara tegas menugaskan Dewan

Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut

pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta

mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan

pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan ini. Selain itu, Pasal 8

ketetapan ini secara jelas menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk

segera melaksanakan Ketetapan MPR tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada sidang

tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

3. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003

tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional dalam rangka

melaksanakan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan untuk mewujudkan konsepsi,

kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu menerbitkan

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang

Pertanahan. Keputusan Presiden tersebut mengatur hal-hal yang segera dilakukan

Badan Pertanahan Nasional maupun pemberian sebagian kewenangan pemerintah

di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

103

Badan Pertanahan Nasional dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPR RI

Nomor IX/MPR/2001 melakukan langkah-langkah percepatan:

a. penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan

Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan

perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.

b. pembangunan sistim informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi:

1) penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah/pemerintah

daerah di seluruh Indonesia;

2) penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran

tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang

dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment;

3) pemetaan kadastral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan

teknologi citra satelit dan teknologi informasi untuk menunjang kebijakan

pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah;

4) pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan

pemanfaatan tanah melalui sistim informasi geografi, dengan

mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi, dalam rangka

memelihara ketahanan pangan nasional.

Bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan

oleh pemerintah kabupaten/kota terdapat dalam Pasal 2 Keputusan Presiden

Nomor 34 Tahun 2003 sebagai berikut:

104

a. pemberian ijin lokasi;

b. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

c. penyelesaian sengketa tanah garapan;

d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;

e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee;

f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;

g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;

h. pemberian izin membuka tanah;

i. perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Untuk kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi,

dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang bersangkutan.

Badan Pertanahan Nasional dalam rangka pelaksanaan kewenangan dalam

Pasal 2, menyusun norma-norma dan/atau standardisasi mekanisme

ketatalaksanaan, kualitas produk, dan kualifikasi sumber daya manusia yang

diperlukan. Penyusunan norma-norma dan/atau standardisasi mekanisme

ketatalaksanaan, kualitas produk, dan kualifikasi sumber daya manusia

diselesaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah ditetapkannya Keputusan

Presiden ini.

Pemerintah membentuk Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan

dan Manajemen Pertanahan yang menyusun kerangka kebijakan pertanahan

105

nasional. Kebijakan pertanahan nasional tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip

sebagai berikut:53

a. tanah adalah aset bangsa Indonesia yang merupakan modal dasar pembangunan

menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu pemanfaatannya harus

didasarkan pada prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat Indonesia. Harus dihindari adanya upaya menjadikan tanah sebagai

barang dagangan, obyek spekulasi dan hal lain yang bertentangan dengan

prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;

b. kebijakan pertanahan didasarkan kepada upaya konsisten untuk menjalankan

amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu “…..bumi, air, ruang angkasa, dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara untuk digunakan

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”. Oleh karena itu merupakan tugas

negara untuk melindungi hak-hak rakyat atas tanah dan memberikan akses

yang adil atas sumber daya agraria termasuk tanah;

c. kebijakan pertanahan diletakkan sebagai dasar bagi pelaksanaan program

pembangunan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi yang difokuskan

kepada ekonomi kerakyatan, pembangunan stabilitas ekonomi nasional dan

pelestarian lingkungan;

d. kebijakan pertanahan merupakan dasar dan pedoman bagi seluruh kegiatan

pembangunan sektoral yang memiliki kaitan, baik secara langsung maupun

tidak dengan pertanahan;

53

Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan, Kerangka

Kebijakan Pertanahan Nasional, (Jakarta: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas dan

Direktorat Pengukuran dan Pemetaan BPN, 2004), hlm. v.

106

e. kebijakan pertanahan dibangun atas dasar partisipasi seluruh kelompok

masyarakat sebagai upaya mewujudkan prinsip good governance dalam

pengelolaan pertanahan; dan

f. kebijakan pertanahan diarahkan kepada upaya menjalankan TAP MPR Nomor

IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,

khususnya Pasal 6 ayat (1).

Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 memerintahkan kepada BPN

untuk melakukan langkah-langkah percepatan dalam rangka mewujudkan

konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu dan

juga menentukan kewenangan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh

pemerintah kabupaten/kota. Hal ini berarti dengan adanya Keputusan Presiden

tersebut pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional masih mendominasi

kewenangan dalam bidang pertanahan dan pemerintah daerah hanya diberikan

beberapa kewenangan bidang pertanahan. Keputusan Presiden ini hanya

membatasi kewenangan bidang pertanahan pada era desentralisasi. Kedudukan

Badan Pertanahan Nasional semakin kuat dengan terbitnya Peraturan Presiden

Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

4. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

tentang Badan Pertanahan Nasional.

Pelaksanaan ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003

tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan belum dapat diselesaikan oleh

Badan Pertanahan Nasional hingga berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Pasca berlakunya undang-undang tersebut pemerintah

107

masih tetap mempertahankan Badan Pertanahan Nasional, baik di provinsi

maupun kabupaten/kota sebagai instansi vertikal dan mempertahankan

kewenangan bidang pertanahan sebagai kewenangan pemerintah. Pemerintah

bahkan lebih menegaskan kewenangannya di bidang pertanahan dan meneguhkan

eksistensi Badan Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan Peraturan Presiden

Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal

11 April 2006. Salah satu pertimbangan terbitnya Peraturan Presiden ini adalah

tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, karenanya perlu

diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa pengaturan dan

pengelolaan tanah secara nasional merupakan ekspresi sentralisasi saat semangat

desentralisasi sedang digulirkan. Fenomena desentralisasi bidang pertanahan

melalui model otonomi kepada daerah otonom seakan tidak menjadi kenyataan,

karena pemerintah tetap mempertahankan keberadaan Badan Pertanahan Nasional

sebagai badan yang secara nasional bertugas menjaga keberlanjutan sistem

kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang pertanahan.54

Di lain pihak,

pemberian kewenangan bidang pertanahan kepada pemerintah daerah berdasarkan

medebewind atau tugas pembantuan memperoleh pengaturannya dimana

kedudukan BPN yang melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan

secara nasional, regional dan sektoral.55

54

Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. 55

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah ....op. cit.,

hlm. 88.

108

Ketentuan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 menyebutkan

bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut di atas, BPN menyelenggarakan fungsi

yaitu:

a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;

c. koordinasi kebijakan, perencanaan, dan program di bidang pertanahan;

d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;

e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran, dan pemetaan di bidang

pertanahan;

f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;

g. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agrarian, dan penataan wilayah-

wilayah khusus;

i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah

bekerja sama dengan Departemen Keuangan;

j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;

k. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;

l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan, dan program di

bidang pertanahan;

m. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang

pertanahan;

o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;

109

p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang

pertanahan;

r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;

s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang

pertanahan;

t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan

hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Peraturan Presiden ini mengatur struktur organisasi Badan Pertanahan

Nasional yang terdiri dari Kepala BPN, Sekretariat Utama, Deputi dan Staf

Khusus. Selain itu juga diatur adanya Komite Pertanahan. Komite Pertanahan

bertujuan untuk menggali pemikiran dan pandangan dari pihak-pihak yang

berkepentingan dengan bidang pertanahan dan dalam rangka perumusan kebijakan

nasional di bidang pertanahan. Tugas Komite Pertanahan adalah memberikan

masukan, saran dan pertimbangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional

dalam perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. Komite Pertanahan

berjumlah paling banyak tujuh belas orang yang berasal dari para pakar di bidang

pertanahan dan tokoh masyarakat.56

56

Pasal 38, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional.

110

Terkait dengan kebijakan pertanahan nasional, hal-hal yang menyangkut

hukum, kebijakan, dan pedoman dalam bentuk undang-undang, peraturan

pemerintah maupun keputusan presiden menjadi tanggung jawab pemerintah

pusat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000

tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah

Otonom, yaitu mengenai:57

a. penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah;

b. penetapan persyaratan landreform;

c. penetapan standar administrasi pertanahan;

d. penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan; dan

e. penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional dan pelaksanaan pengukuran

Kerangka Dasar Kadastral Nasional Orde I dan II.

PP Nomor 25 Tahun 2000 kemudian diganti dengan PP Nomor 38 Tahun

2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. PP Nomor 38 Tahun

2007 mengatur urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah dan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan

kabupaten/kota. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dalam rangka

pelimpahan kewenangan bidang pertanahan kepada pemerintah daerah, termasuk

pembinaan, pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi

pedoman, bimbingan dan supervisi yang dapat dilakukan melalui instansi vertikal

yang menangani bidang pertanahan.

57

Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran..........., op. Cit., hlm 74-76