bab ii tinjauan umum a. tinjauan tindak pidana 1 ...repository.radenfatah.ac.id/6947/2/skripsi bab...

27
BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah hukum pidana adalah suatu istilah yang dipakai di dalam ilmu hukum pidana dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan istilah “strafbaarfeit” didalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu sendiri. 1 Istilah “strafbaarfeit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut atas tiga kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat (boleh), dan feit yang berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. 2 Tindak pidana juga dapat diistilahkan dengan delik yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus bahasa Indonesia tercantum delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang tindak pidana menurut beberapa pendapat ahli delik memiliki pengertian yaitu : a. Menurut Simons, delik yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. b. Menurut Moeljatno, delik yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. c. Teguh Prasetyo, delik yaitu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dan pelakunya diancam dengan pidana. 3 Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut : 1. Suatu perbuatan yang melawan hukum. 2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara 1 M Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2016), 58 2 I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta,Fikahati Aneska, 2010), 32 3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi ke-1 cetakan ke-6, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2015), 217 17

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 17

    BAB II

    TINJAUAN UMUM

    A. Tinjauan Tindak Pidana

    1. Pengertian Tindak Pidana

    Istilah hukum pidana adalah suatu istilah yang dipakai di dalam ilmu hukum pidana

    dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan istilah “strafbaarfeit” didalam Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud

    dengan strafbaarfeit itu sendiri. 1

    Istilah “strafbaarfeit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut atas tiga

    kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat (boleh), dan feit yang

    berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi istilah strafbaarfeit adalah

    peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.2

    Tindak pidana juga dapat diistilahkan dengan delik yang berasal dari bahasa Latin

    yakni kata delictum. Dalam Kamus bahasa Indonesia tercantum delik adalah perbuatan yang

    dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang tindak

    pidana menurut beberapa pendapat ahli delik memiliki pengertian yaitu :

    a. Menurut Simons, delik yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat

    melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh

    orang yang mampu bertanggung jawab.

    b. Menurut Moeljatno, delik yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

    larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa

    yang melanggar larangan tersebut.

    c. Teguh Prasetyo, delik yaitu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan dengan

    kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dan pelakunya diancam

    dengan pidana.3

    Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan

    mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut :

    1. Suatu perbuatan yang melawan hukum.

    2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa

    kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara

    1M Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2016), 58

    2I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta,Fikahati Aneska, 2010), 32

    3Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi ke-1 cetakan ke-6, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2015), 217

    17

  • 18

    sengaja dan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena

    kelalaian.

    3. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam

    artian berfikiran waras.

    Tindak pidana merupakan suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan

    hukum yang berhubungan dengan kesalahan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana

    tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Sedangkan perbuatan pidana adalah

    suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Dimana larangan ditujukan kepada

    perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan

    kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena itu antara kejadian dan orang

    yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat

    dipisahkan.

    2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

    Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah :

    a. Perbuatan.

    b. Yang dilarang (oleh aturan hukum).

    c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

    Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata

    majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak

    dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana mengambarkan bahwa

    tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam

    pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. 4

    Adapun tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur

    subjekif dan unsur objektif sebagai berikut :

    a. Unsur Objektif

    Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan

    keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus

    dilakukan terdiri dari :

    1) Sifat melanggar hukum.

    2) Kualitas dari si pelaku.

    4Adami Chazawi, Pelajaran Pidana Bagian 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), 79

  • 19

    Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut

    pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu

    perseroan terbatas di dalam kejahatan pasal 398 KUHP.

    3). Kausalitas

    Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu

    kenyataan sebagai akibat.

    b. Unsur Subjektif

    Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang

    dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalam hatinya unsur ini terdiri dari :

    1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan.

    2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.

    3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian,

    penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

    4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam pasal 340 KUHP, yaitu

    pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

    5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.

    6) Orang yang mampu bertanggung jawab. 5

    Unsur-Unsur dalam tindak pidana ini sebenarnya adalah untuk melengkapi kembali

    atau menjelaskan mengenai jenis dan ruang lingkup perbuatan manusia yang dapat dikenai

    aturan hukum. Tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut

    timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakan oleh pihak ketiga, orang yang dapat

    dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dikelompokan kedalam beberapa macam yang

    terlihat pada pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berbunyi:

    Pasal 55:

    1) Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum.

    Ke-1:Mereka melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan

    itu

    Ke-2: Mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan

    atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan

    memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja

    membujuk perbuatan itu.

    5Ismi Gunaidi dan Joenadi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana

    Prenada Media Grup, 2014), 40

  • 20

    2) Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatan- perbuatan

    yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibat-akibatnyadpat

    diperhatikan.

    Pasal 56 :

    1) Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum:

    Ke-1 : Mereka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan itu

    dilakukan.

    Ke-2 : Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau

    keterangan untuk melakukan kejahatan.

    Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana, yaitu:

    a. Yang melakukan perbuatan (plegen,deder).

    b. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke deder).

    c. Yang turut serta melakukan perbuatan (medeplegen, mededader).

    d. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker).

    e. Yang membantu perbuatam (medeplichting zijn, medeeplichtige).

    Golongan a, yaitu si pelaku atau deder, tidak perlu lagi dibicarakan, karena sudah

    dibahas dalam bab-bab yang dahulu dari buku ini. Maka, tinggal akan berturut-turut dibahas

    golongan b,c,d, dan e.6

    Di dalam peristiwa pidana yang dapat diartikan sebuah peristiwa pidana harus

    memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

    1. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan seseorang atau

    sekelompok orang.

    2. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-Undang.

    Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus

    mempertanggungjawabkan perbuatannya.

    3. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, perbuatan itu

    memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan

    hukum.

    4. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang

    dilanggar itu mencantumkan sanksinya.7

    6Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:PT Redaksi Refika,2003),

    117-118 7Masriani, Yulius Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 63

  • 21

    Secara umum penulis dapat menyimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah

    adanya niat dari diri pelaku sendiri, lalu adanya perbuatan yang mana perilaku yang dapat

    melawan aturan hukum, pelaku yang mana subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan

    yang dilarang oleh hukum, dan adanya sanksi pidana yang mengatur tentang perbuatan atau

    kejahatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

    3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

    Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis –jenis tertentu atau

    mengklafikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan kehendak yang

    menklafikasikan atau mengkelompokan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan, demikian

    pula halnya dengan tindak pidana. Adapun jenis-jenis tindak pidana yaitu :8

    1. Pelanggaran dan Kejahatan

    Perbuatan-perbuatan yang didasari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana

    karena Undang-Undang menyebutkan sebagai delik.Kejahatan adalah perbuatan yang

    melanggar dan bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah dan tegasnya,

    perbuatann yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak

    memenuhi atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku

    dalam masyarakat.

    2. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)

    Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu,

    atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak

    dipersalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia (hal

    yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian), Pasal 160 (penghasutan),

    dan Pasal 209-210 (penyuapan). Sebaliknya jika delik materilal titik beratnya pada akibat

    yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara

    melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah pasal 338 (pembunuhan),

    yang terpenting adalah matinya seseorang, caranya boleh dengan mencekik, menusuk,

    menembak, dan sebagainya.

    3. Delik Dolus dan Delik Culpa

    Dolus dan Culpa merupakan bentuk kesalahan yang akan dibicarakan tersendiri di

    belakang. Yang mana delik Dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan itu mungkin

    dengan kata-kata yang tegas, dengan sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata-kata lain yang

    senada, seperti diketahuinya, dan sebagainya. Contohnya adalah Pasal-pasal

    8Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), 57-62

  • 22

    162,197,310,338, dan masih banyak lagi. Sedangkan Delik Culpa di dalam rumusannya

    memuat unsur kealpaan dengan kata karena kealpaanya, misalnya pada pasal 359,360,195.

    Didalam beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahnya.

    4. Delik Commissionis dan Delik Omissionis

    Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dapat dilarang atau tidak

    berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan, to omit = meniadakan). Delik

    Commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya berbuat mengambil,

    menganiaya, menembak, mengancam, dan sebagainya. Sendangkan Delik Omissionis dapat

    kita jumpai pada pasal 522 (tidak dating menghadap ke pengadilan sebagai saksi), pasal 164

    (tidak melaporkan adanya pemufakatan jahat).

    5. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)

    Delik aduan (klachdelict) adalah tindak pidana yang penuntutanya hanya dilakukan

    atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya

    penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik ini tidak banyak terdapat didalam KUHP.

    Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada.

    Untu perzinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau istri yang bersangkutan.

    Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang penuntutannya hanya

    berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relative disini karena adanya hubungan istimewa

    antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan

    (3)).

    4. Sanksi Pidana

    Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, Sanctie. Arti lain

    sanksi dalam konteks hukum, sanksi berati hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, dan

    dalam konteks sosiologi sanksi dapat berarti control social.9 Sanksi adalah suatu langkah

    hukuman yang dijatuhkan oleh negara atau kelompok. Sanksi adalah satu hal yang sangat

    sering kita dengar dan kita saksikan. Dalam lingkup masyarakat kecil kata sanksi ini banyak

    digunakan untuk menghukum seseorang atau kelompok yang bersalah.

    Sanksi pada awalnya hanya terdapat satu macam sanksi, yaitu sanksi kriminal berupa

    hukuman dalam arti sempit dengan kehidupan, kesehatan atau kepemilikan, sanksi pidana

    tujuanya adalah retributive atau menurut pandangan modern adalah adanya pencegahan.

    Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana kepada mereka yang melakukan

    pelanggaran norma. Sanksi mempunyai tugas agar norma yang ditetapkan itu ditaati dan

    9Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2012), 193

  • 23

    dilaksanakan. Sanksi merupakan alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang

    berlaku dalam masyarakat10

    .

    Menurut Mahrus Ali, Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak

    digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah

    melakukan perbuatan pidana. Bentuk-bentuk sanksi ini bervariasi, seperti pidana mati, pidana

    seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda yang merupakan pidana

    pokok, dan pidana berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,

    dan pengumuman putusan hakim merupakan pidana tambahan.11

    Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan dengan

    pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum administrasi. Pendekatan

    yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan

    melalui hukum pidana dengan pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana. Menurut

    Roeslan Saleh, mengemukakan pendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini

    berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik

    (perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-

    undang). Pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu

    dalam prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja.

    Menurut Richard D. Schwartz Dan Jerome H. Skonlick sanksi pidana dimaksudkan

    untuk:

    a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana.

    b. Mencegah orang melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan oleh

    terpidana.

    c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam.12

    Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya kejahatannya pada masa yang

    akan dating, tujuan diadakannya pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dasar dari

    pidana, bahwa dalam kontes dikatakan penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh

    perbuatan jahat.

    B. Penganiayaan

    1. Pengertian Penganiayaan

    Mr. M. H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut.

    “menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan

    10

    R. Soeoso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), 40 11

    Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, 200 12

    Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta, PT Eresco, 2004), 1

  • 24

    tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat

    dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan

    badan.13

    Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan penganiayaan adalah perlakuan

    sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya). Dengan kata lain untuk

    menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki

    kesengajaan dalam melakukan suatu kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk

    membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain atau pun orang itu dalam

    perbuatannya merugikan kesehatan orang lain.

    Di dalam KUHP yang disebut dengan tindak pidana terhadap tubuh disebut dengan

    penganiayaan, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan

    diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan

    yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang

    lain”.

    Penganiayaan juga merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan

    sengaja atau tidak sengaja untuk melukai atau mencederai orang lain. 14

    Adapun tindak pidana penganiayaan atau mishandeling itu diatur dalam Bab ke-XX Buku ke-

    II KUHP, yang dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 351 ayat (1) sampai dengan

    ayat (5) KUHP yang berbunyi :

    1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan

    delapan bulan atau dengan denda pidana setinggi-tingginya tiga ratus rupiah

    (sekarang empat ribu lima ratus rupiah).

    2. Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat pada tubuh, maka orang yang

    bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.

    3. Jika perbuatan tersebut menyebabkan kematian, maka orang yang bersalah

    dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.

    4. Disamakan dengan penganiayaan, yakni kesengajaan merugikan kesehatan.

    5. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.

    Dari rumusan Pasal 351 KUHP di atas itu orang dapat mengetahui bahwa undang-

    undang hanya berbicara mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak

    13

    Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap nyawa dan tubuh (pemberantas dan prevensinya,

    (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), 5 14

    Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 33

  • 25

    pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa kesengajaan merugikan

    kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan.

    Dengan demikian, untuk menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan

    terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai opzet atau suatu kesengajaan

    untuk:

    a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain

    b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain.

    c. Merugikaan kesehatan orang lain. Dengan kata lain, orang itu harus mempunyai

    opzet yang ditunjukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang

    lain atau untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain ataupun untuk

    merugikan kesehatan orang lain.

    Dengan demikian dapat dikatan bahwa tindak pidana penganiaayan adalah semua

    tindakan melawan hukum dan tindakan seseorang kepada orang yang membahayakan atau

    mendatangkan rasa sakit pada badan atau anggota badan manusia yang mana luka yang

    diderita oleh korban sesuai dengan kategori luka pada pasal 90 (KUHP) yang berisi:

    1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama

    sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.

    2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan

    pencarian.

    3. Kehilangan salah satu panca indra.

    4. Mendapat cacat berat.

    5. Menderita sakit lumpuh.

    6. Terganggu daya piker selama empat minggu atau lebih.

    7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.15

    2. Jenis-Jenis Penganiayaan

    Menurut KUHP penganiayaan dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:

    a. Penganiayaan Biasa (Pasal 251 KUHP)

    Dalam hal penganiayaan biasa, Pasal 351 KUHP memuat dua perbuatan yang

    dibuat, yaitu :

    1) Setiap perbuatan yang mengakibatkan luka-luka (rasa sakit), luka-luka berat atau

    mati (ayat (1), (2), (3), dari Pasal 351 KUHP.)

    15

    Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

    Pidana (KUHAP)

  • 26

    2) Disamakan dengan orang menganiaya adalah setiap perubuatan dengan sengaja

    merusak kesehatan orang lain (ayat (4) Pasal 351 KUHP).

    b. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP)

    Penganiayaan berat apabila seseorang dengan sengaja menimbulkan luka luka berat

    atau luka parh kepada orang lain. Perbedaan Pasal 354 dengan Pasal 351 ayat (2) adalah Pasal

    354, perbuatan penganiayaan dilakukan dengan sengaja sedangkan Pasal 351 ayat (2),

    perbuatan penganiayaan dilakukan dengan tidak sengaja.

    Jenis penganiayaan yang diatur didalam Pasal 358 KUHP yaitu kejahatan

    penganiayaan yang timbul dalam penyerangan dan perkelahian. Unsur-unsur Pasal 358

    KUHP antara lain:

    1) Dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan

    beberapa orang.

    2) Serangan atau perkelahian tersebut menimbulkan akibat luka berat atau kematian

    orang lain.

    3) Apabila seseorang peserta yang dimaksud oleh Pasal 358 KUHP mempunyai

    maksud tersendiri, maka terhadap dirinya tidak dapat diberlakukan dengan

    peraturan yang merumuskan perbuatannya tersebut.

    Penganiayan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain

    haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak

    pidana yaitu, pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu

    dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

    Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari

    tindak pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh

    seorang terdakwa dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang

    disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari tindak pidana. Apabila dihubungkan

    dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap

    perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka

    berat.

    Hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP

    sebagai berikut:

    Luka berat berarti :

    a. Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan

    sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.

    b. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaarian.

  • 27

    c. Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra.

    d. Mendapat cacat besar.

    e. Lumpuh (kelumpuhan).

    f. Akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu.

    g. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

    Pada Pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan

    sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan

    unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana

    dalam penganiayaan berat

    c. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)

    Menurut KUHP Pasal 352 ayat (1), penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang

    tidak berakibat suatu penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Dari

    ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP dapat diketahui, bahwa untuk

    dapat disebut sebagai tindak pidana penganiayaan ringan, tindak pidana tersebut harus

    memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

    a. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan dengan direncanakan terlebih

    dahulu.

    b. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan:

    1) terhadap ayah atau ibunya yang sah, terhadap suami, istri, atau terhadap

    anaknya sendiri.

    2) terhadap seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugas jabatannya

    secara sah.

    3) dengan memberikan bahan-bahan yang sifatnya berbahaya untuk nyawa atau

    kesehatan manusia.

    c. tidak menyebabkan orang yang dianiaya menjadi sakit atau terhalang dalam

    melaksanakan tugas-tugas jabatannya atau dalam melaksanakan kegiatan-

    kegiatan pekerjaannya.16

    Pasal 352 ayat (2) KUHP : Penganiayaan ringan diancam dengan maksimum

    hukuman penjara 3 bulan dan denda tiga ratus rupiah, apabila tidak termasud dalam rumusan

    16

    Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan Edisi Kedua,

    (Jakarta, Sinar Grafika, 2012), 144

  • 28

    Pasal 353 dan 356 KUHP dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan

    jabatan atau pekerjaan. 17

    d. Penganiyaan Berencana (Pasal 353 KUHP)

    Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :

    a. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara

    paling lama empat tahun.

    b. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan

    pidana penjara palang lama tujuh tahun.

    c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan

    pidana penjara paling lama sembilan tahun.

    Menurut Mr.M.H. Tirtamidjaja arti di rencanakan lebih dahulu adalah “bahwa ada

    suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir

    dengan tenang”. Apabila kita pahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud

    sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab

    terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih

    dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan dan merupakan alasan

    pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada

    pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

    Sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan

    itu tetapi ia masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi

    yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk

    melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan

    untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan

    emosi yang tinggi, waswas/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

    Penganiayaan berencana diatur dalam Pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka

    berat dan kematian adalah berupa faktor atau alasan pembuat pidana yang bersifat objektif,

    penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan

    (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana

    (Pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat

    3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (Pasal 340

    KUHP).

    17

    Triandy Anugrah, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan

    Luka Berat (Studi Kasus Putusan Nomor: 819/Pid.B/2015/Pn.Makasar)”, Skripsi, (Makasar, Fakultas Hukum

    Universitas Hassanudin, 2016), 57

  • 29

    e. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 KUHP)

    Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya

    adalah sebagai berikut :

    a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana

    dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

    b. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana

    penjara paling lama lima belas tahun.

    Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa

    penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini

    merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1 KUHP) dengan

    penganiyaan berencana (Pasal 353 ayat 1 KUHP). Dengan kata lain suatu penganiayaan berat

    yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi

    secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi

    baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

    C. Persertaan Melakukan Tindak Pidana (Deelneming)

    Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu

    orang yang saling terkait dan secara sadar menegetahuai apa yang dilakukan, tetapi ada juga

    yang dikarenakan unsur paksaan. Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang

    berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan

    perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana

    dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan orang

    lain.18

    Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik

    tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut

    sifatnya terdiri atas: 19

    a.Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta

    dihargai sendiri-sendiri

    b.Deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta

    yang digantungkan dari perbuatan peserta lain,

    18

    Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Refika Aditama, 2011), 174 19

    Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu, (Balai Lektur Mahasiswa),

    497 - 498

  • 30

    1. Bentuk-bentuk Deelneming

    Bentuk-bentuk deelneming atau keikutsertaan yang ada menurut ketentuan-

    ketentuan pidana dalam pasal 55-56 KUHP adalah:

    a. melakukan perbuatan (plegen,deder).

    b. menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke deder).

    c. turut serta melakukan perbuatan (medeplegen, mededader).

    d. membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker).

    e. yang membantu perbuatan (medeeplichtige).

    a. Melakukan Perbuatan (plegen, deder)

    Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang-

    undang, baik unsur subjektif maupun objektif, Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis

    delik yakni delik formil dan delik materil.

    b. Menyuruh Melakukan Perbuatan (doen plegen, middelijke deder)

    Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu

    tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare

    tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia

    memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, melainkan dengan perantara

    orang lain.

    Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau

    seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan

    hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman

    yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri. Untuk adanya suatu doen

    plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu

    harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader.

    Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.

    c. Turut Serta Melakukan Perbuatan (madeplegen, madedader)

    MedePlegen merupakan melakukan penganiayaan bersama-sama dalam tindak

    pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan (dederplegen)

    dan orang yang turut melakukan (medeplegen).

    Sejarah mencatat bahwa ajaran turut serta ini pertama kali merupakan buah pikiran

    dari von Feurbach yang membedakannya dalam dua bentuk peserta, yaitu (a). mereka yang

  • 31

    langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana dan (b). mereka yang hanya membantu usaha

    yang dilakukan oleh mereka yang disebut pada ada yaitu mereka yang tidak langsung

    berusaha, ini yang disebut gehilfe. Urheber adalah yang melakukan inisiatif, dan gehilfe

    adalah yang membantu saja.

    Perkembagan ajaran turut serta kemudian dimasukkan dalam Pasal 55 dan Pasal 56

    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terbagi dalam urheber terdiri dari yang

    melakukan (plegen), yang menyuruh (supaya) melakukan (doen plegen), yang turut

    melakukan (medeplegen) dan yang membujuk (supaya melakukan) yang disebut uitlokker,

    sedangkan dalam Pasal 56 KUHP disebut mereka yang menjadi gehilfe yaitu yang membantu

    (medeplichtige).20

    Menurut Hazewinkel-Suringa (halaman 240-241) Hoge Raad Belanda

    mengemukakan dua syarat bagi adanya unsur turut serta melakukan tindak pidana, yaitu:

    1) Kerja sama yang disadari antara para turut pelaku yang merupakan suatu

    kehendak bersama diantara mereka.

    2) Mereka harus bersama-sama melakukan kehendak itu.

    Tidak ada kesulitan apabila misalnya, dua orang pencuri bersama-sama mengangkut

    suatu peti berisi pakaian dari rumah seseorang. Juga adalah merata pendapat bahwa apabila

    seorang pencuri merusak kunci pintu rumah dan seorang pencuri lain masuk ke dalam rumah

    dan mengambil barang-barang yang dicuri, maka kini ada dua turut pelaku (made daders)

    tindak pidana pencurian dengan merusak, dari Pasal 363 KUHP.

    Lain halnya apabila seorang pencuri masuk rumah dan mengambil barang,

    sedangkan kawannya hanya berdiri diluar rumah untuk menjaga, dengan maksud memberi

    tahu kepada kawannya jika ada orang datang, yang mungkin akan menangkap mereka. Kini si

    penjaga sama sekali tidak melakukan suatu perbuatan yang cocok dengan suatu perumusan

    dalam pasal yang bersangkutan, Maka, para objektivis tentunya cenderung untuk menolak

    menganggap si penjaga sebagai “turut pelaku”. Sebaliknya para subjektivis akan mudah

    menganggap adanya turut melakukan (medeplegen) oleh kini sudah tampak maksud kerja

    sama antara para turut pelaku.

    Syarat adanya medeplegen adalah pertama adanya kerjasama secara sadar, dan

    kedua ada pelaksanaan bersama secara fisik. Sebagai catatan dari Jan Rummenlink bahwa

    dalam syarat medeplagen tersebut bahwa tidak perlu ada rencana atau kesepakatan yang

    dibuat terlebih dahulu. Sebaliknya yang perlu dibuktikan hanyalah adanya saling pengertian

    20

    Basir Rohrohmana, Penerapan Ajaran Turut Serta dalam Tindak Pidana Korupsi, https://E-

    jurnal.unair.ac.id, hlm.215 (diakses 1-11-2019 pukul 12.55 WIB)

  • 32

    diantara sesama pelaku dan pada saat perbuatan diwujudkan masing-masing pelaku

    bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.

    Selanjutnya Jan Rummelink mengemukakan 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi

    pembujukan yang dapat diancam pidana yaitu :

    1. Kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindakan yang dilarang

    Undang-Undang dengan bantuan sarana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang.

    2. Keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan. Syarat ini

    berkenaan dengan kausalitas psikis.

    3. Orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan rencana yang ditanamkan

    oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan tindak pidana atau setidak-tidaknya

    melakukan percobaan kearah itu. Itikad buruk penggerak saja tidaklah cukup, upayanya itu

    haruslah terwujud secara nyata ke dalam perbuatan.

    4. Orang yang terbujuk niscaya harus dapat dimintai tanggung jawab pidana, bila tidak maka

    tidak muncul pembujukan melainkan upaya menyuruh melakukan (doenplegen).

    Satochid Kartanegara menerjemahkan medeplichtigeheid sebagai “membantu

    melakukan” kaitan dengan ini Brada Nawawi menyatakan bahwa sifat yang dilihat

    perbuatannya, pembantuan ini bersifat accessoir Artinya untuk adanya pembantuan harus ada

    orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari

    pertanggung jawabannyya tidak accessoir, artinya dipidananya pembantu tidak tergantung

    pada dapat tidaknya sipelaku dituntut atau dipidana.

    Lebih lanjut dijelaskan oleh Brada Nawawi Arief ditinjau dari jenisnya pembantuan

    ini ada 2 (dua) jenis, yakni Pertama, menurut waktunya adalah pada saat kejahatan dilakukan,

    dan caranya tidak ditentukan secara limitative dalam undang-undang. Kedua, jenis menurut

    waktunya sebelum kejahatan dilakukan, caranya ditentukan secara limitatif dalam Undang-

    Undang yaitu dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan.21

    d. Membujuk Supaya Perbuatan Dilakukan (uitlokken, uitlokker)

    Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan

    dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada

    pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif

    tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus

    dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan

    21

    Basir Rohrohmana, Penerapan Ajaran Turut Serta dalam Tindak Pidana Korupsi, https://E-

    jurnal.unair.ac.id , hlm. 225(diakses 1-11-2019 pukul 14:25 WIB).

  • 33

    apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu

    sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.22

    e. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeeplichtig)

    Dilihat dari perbuatannya, pembantuan ini bersifat accesoir artinya untuk adanya

    pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu).

    Tetapi dilihat dari pertanggungjawabannya tidak accesoir, artinya dipidananya pembantu

    tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana.

    D. Tindak Pidana Islam

    1. Pengertian Tindak Pidana Islam

    Tindak pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi

    kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam yang dimaksud, secara

    materil mengandung kewajiban asas bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep

    kewajiban asasi Syariat, yang berarti menempatkan Allah sebagai pemegang dari segala hak,

    baik itu yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada diri orang lain. Setiap orang hanya

    pelaksana dari kewajiban yang diperintahkan Allah. Perintah Allah yang dimaksud harus

    diamalkan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

    Adapun yang dimaksud dengan Jinayah ini meliputi, hukum membunuh orang,

    memotong anggota tubuh, melukai orang, menghilangkan manfaat badan seperti

    menghilangkan satu panca indera. 23

    2. Tujuan Hukum Pidana Islam

    Tujuan hukum pidana Islam tidak dapat dilepaskan dari membicarakan tujuan syariat

    Islam secara umum, karena hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam. Syariat

    Islam ketika menetapkan hukum-hukum dalam masalah kepidanaan mempunyai tujuan

    umum, yaitu mendatangkan maslahat kepada umat dan menghindarkan mereka dari mara

    bahaya.

    Syariat Islam secara umum bertujuan untuk mengamankan lima hal mendasar dalam

    kehidupan umat manusia. Lima hal ini adalah aspek agama, aspek akal, aspek jiwa, aspek

    harta benda dan keturunan. Lima hal ini adalah perkara yang sangat fundamental dalam

    pandangan Islam bagi umat manusia.

    22

    E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

    (Jakarta, Storia Grafika), 350-359 23

    Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 54

  • 34

    Kelima tujuan hukum Islam diatas, bila dihubungkan dengan hukum pidana, maka

    dapat digambarkan sebagai berikut:24

    a. Memelihara Agama

    Karena agama mempunyai kedudukan yang sangat penting, maka sangat wajar bila

    islam menempatkan eksistensi agama bagi manusa sebagai kebutuhan hidup yang sangat

    fundamental. Dalam rangka menjaga eksistensiagama yang sangat penting bagi kehidupan

    manusia, maka Islam menetapkan hukum pidana riddah.

    b. Memelihara Jiwa

    Menyadari pentingnya jiwa atau hak hidup bagi manusia, maka hukum Islam

    mengatur tentang larangan membunuh dengan menerapkan hukuman Qishash.

    c. Memelihara Akal Pikiran

    Menyadari urgensi kedudukan akal dalam kehidupan manusia, maka Islam

    mengharamkan minuman keras (Khamar) karena tindakan mengonsumsi minuman keras dan

    narkoba dapat berakibat rusaknya akal dan pikiran manusia.

    d. Memelihara Keturunan

    Menyadari urgesi kesucian keturunan manusia, maka ajaran Islam mengharamkan

    perbuatan zina dengan ancaman pidana yang sangat keras.

    e. Memelihara Harta

    Menyadari urgensi tentang perlunya jaminan atas terpeliharanya harta maupun hak

    milik bagi kemaslahatan manusia, maka Islam melarang perbuatan mencurii, dn merampok

    (begal).

    Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa hukum Islam termasuk juga hukum pidana,

    tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga kepentingan masyarakat dan

    negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan dengan keyakinan

    agama, baik menyangkut jiwa, akal atau potensi berpikir, keturunan, maupun harta kekayaan,

    jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini jelas luas sekali

    karena menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, kaitannya dengan sesame manusia

    maupun dengan sang pencipta.

    Menurut Oktoberriansyah tujuan hukumm pidana Islam, yaitu:

    1. Al-Jaza’ (pembalasan)

    24

    Ade Maman Suherman, Pengantar Pebandingan Sistem Hukum , (Jakarta: Rajawali Press, 2008),

    163

  • 35

    Konsep ini memberikan arti bahwa setiap perbuatan jahat yang dilakukan seseorang

    kepada orang lain akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang dilakukannya

    tanpa melihat apa balasan itu bermanfaat bagi dirinya atau orang lain.

    2. Al-Jazru (pencegahan)

    Pencegahan ini dimaksudkan untuk mencegah suatu tindak pidana agar tidak

    terulang lagi.

    3. Al-Ishlah (pemulihan/perbaikan)

    Yaitu memulihakn pelaku tindak pidana dari keinginan melakukan tindak pidana.

    Tujian inilah menurut oleh sebagian fuqaha merupakan tujuan yang paling asas dalam sistem

    pemidanaan Islam.

    4. Al-Istiadah (restorasi)

    Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kathleen Day dalam artikelnya bahwa

    keadilan restorasif adalah sebuah metode untuk merespon tindak pidana dengan melibatkan

    pihak-pihak yang bertikai dalam rangka memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh

    tindak pidana tersebut.

    5. Al-Takfir (penebus dosa)

    Yaitu tujuan yang berdimensi ukhrawi, orang yang melakukan kejahatan tidak hanya

    dibebankan pertanggungjawban/hukuman di dunia saja, tetapi juga

    pertanggungjawaban/hukuman di akhirat. Penjatuhan hukuman di dunia merupakan salah

    satu untu menggugurkan dosa-dosa yang telah dilakukan.25

    3. Dasar-Dasar Hukum Pidana Islam

    Sumber hukum tujuan ajaran Islam bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran

    Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaatinya, yang urutannya

    adalah:26

    a. Al-Qur’an

    Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islamyang pertama, menurut kumpulan wahyu-

    wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Diantara kandungan isinya

    ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya

    dengan Allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya, hubungan dengan sesame

    manusia, dan hubungannya dengan alam berserta mahluk lainnya. Serta menjelaskan tentang

    ancaman/hukuman bagi hambanya yang melanggar ketentuannya.

    25

    Oktoberriansyah, Tujuan pemidanaan dalam Islam, (Volume I, Nomor I, 2011), 23-24 26

    Desi Nurdiyanti, “Tindak Pidana Pembantuan dalam Penipuan Ditinjau dari Hukum Pidana Islam

    (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa Nomor: 237/Pid.B/2015/PN.Sgun)”, Skripsi, (Makasar,

    Fakultas Syraiah dan Hukum UIN Alauddin Makasar, 2017), 57

  • 36

    b. Sunnah / Hadits Nabi

    Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, karena hal-hal yang

    diungkapkan oleh Al-Qur’an yang bersifat umum atau memerlukan penjelas, maka Nabi

    Muhammad SAW, menjelaskan melalui sunnah, Sunnah adalah perbuatan, perkataan,

    perizinan Nabi Muhammad SAW.

    c. Ar-Ra’yu

    Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunakan akal

    (penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat

    umum. Hal itu dilakukan oleh ahli hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia.

    d. Ijma’

    Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqha mujtahidin pada suatu masa atas sesuatu

    hukum sesudah masa Nabi Muhammad SAW.

    e. Ijtihad

    Ijtihad adalah perincian ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits

    yang bersifat umum. Orang yang melakukan perincian disebut Mujtahid.

    f. Qiyas

    Qiyas adalah mengecualikan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan

    hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya.

    g. Istihsan

    Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa

    peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya.

    Pengecualian dimaksud dilakukan dengan dasar yang kuat.

    h. Maslahat Mursalah

    Maslahat Mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan,

    kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun

    ketentuan khusus.

    i. Saddu Zari’ah

    Saddu Zari’ah adalah menghambat atau menutup sesuatu yang menjadi jalan

    kerusakan untuk menolak kerusakan. Sebagai contoh, melarang orang meminum seteguk

    minuman memabukan (padahal seteguk itu tidak memabukan).

    j. Urf

    Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-menurun tetapi tidak bertentangan dengan

    ajaran Islam.

  • 37

    Diantara sumber-sumber hukum tersebut hanya Al-Qur’an dan Hadits yang berisi

    aturan-aturan asasi bersifat umum (kulli), sedang sumber-sumber hukum yang lain lebih

    sesuai jika dikatakan hanya sebagai cara mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits.

    Bahkan diantara kedua sumber hukum ini hanya Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum

    pokok, sedangkan Hadits hanya penjelas terhadap maksud-maksud Al-Qur’an dan mengatur

    hal-hal yang tidak diterangkan oleh Al-Qur’an. Oleh karena itu, tidak mungkin Hadits

    menentang Al-Qur’an, lebih-lebih sumber yang lain.

    4. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan menurut Hukum Islam

    Penganiayaan dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah tindak pidana atas

    selain jiwa atau jinayat selain pembunuhan. Yang artinya setiap tindakan haram yang

    dilakukan terhadap anggota tubuh, baik dengan cara memotong, melukai maupun

    menghilangkan fungsinya.27

    Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa atau

    penganiayaan, seperti dikemukakan oleh Abdul Qadir Awdah adalah setiap perbuatan

    menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menimbulkan kematian

    atau menghilangkan nyawa.

    Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili,

    bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan

    manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan

    jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.

    Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, jika ada unsur formil yaitu

    harus ada nas yang melarang perbuatan dan mengancam dengan hukuman, unsur materiil

    yaitu melakukan perbuatan yang membentuk tindak pidana, baik perbuatan maupun sikap

    tidak berbuat. dan unsur moral yaitu pelaku harus seorang mukallaf artinya dia bertanggung

    jawab atas tindak pidana yang diperbuat, sebuah kejahatan jika tidak memenuhi unsur-unsur

    tersebut maka tidak bisa dikatakan jarimah (tindak pidana).

    Adapun unsur-unsur dalam Jarimah Penganiayaan yaitu :

    1. Adanya pelaku tindak pidana penganiayaan

    2. Adanya kesengajaan Adanya perbuatan

    3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka

    pada tubuh

    4. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya

    27

    Sayyid sabiq, FikihSunnah, (Bandung : PT Alma’arif 2009), 109

  • 38

    5. Adanya perencanaan penganiayaan sehingga mengakibatkan luka berat.28

    Hukuman pelaku penganiayaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penganiayaan yang

    dikenakan qishas dan penganiayaan dikenakan diyat.

    a. Hukum Qishas, atau balasan yang setimpal. Hal ini diberlakukan qishahs atau balasan

    yang setimpal itu memang dapat dilaksanakan tidak melebihi atau mengurangi.

    Apabila seseorang memotong anggota badan manusia, tidak diperselisihkan bahwa ia

    dikenakan qishas, suatu penganiayaaan adakalanya membinasakan salah satu anggota

    badan orang yang dianiaya atau tidak membinasakannya. Apabila termasuk

    penganiayaanyang membinasakan anggota badan maka kesengajaan pelakunya ialah

    apabila sengaja memukul dengan disertai arah dan dengan memakai alat yang dapat

    melukai pada ghalibnya. Tetapi apabila penganiayaan itu karena main-main atau

    dengan memakai alat tidak melukai pada ghalibnya atau karena untuk memberikan

    pelajaran, maka perbedaan pendapat fuqaha dalam hal ini mirip dengan perbedaan

    pendapat tentang pembunuhan, sebagian mengatakan qishas dan sebagian lagi tidak

    diqishas.29

    Jadi penganiayaan sengaja apabila terjadi menurut syara telah ditentukan masa

    hukumannya adalah qishas, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 45:

    30

    ْفِس َواْلَعْْيَ بِاْلَعْْيِ َواْْلَْنَف بِاْْلَْنِف َواْْلُُذَن بِاْْلُ ْفَس بِالن َّ َنا َعَلْيِهْم ِفيَها َأنَّ الن َّ نَّ وََكَتب ْ نِّ َواْْلُُروَح ُذِن َوالسِّ بِالسِّقَ َفَمنْ ۚ ِقَصاٌص ارَةٌ فَ ُهوَ ِبهِ َتَصدَّ ُ فَُأولََِٰئَك ُهُم الظَّاِلُموَن لَْ َوَمنْ ۚ َلهُ َكفَّ ََيُْكْم ِبَا أَنْ َزَل اَّللَّ

    “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa

    (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan

    gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka

    melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara

    menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.”

    b. Hukum Diyat, merupakan hukuman pengganti untuk qishas apabila hukuman qishas

    terhalang karena sesuatu sebab. Diyat sebagai hukuman pengganti berlaku dalam

    tindak pidana penganiayaan sengaja. Disamping itu juga diyat merupakan hukuman

    pokok apabila kejahatan menyerupai sengaja atau kesalahan. Diyat baik sebagai

    hukuman pengganti digunakan untuk diat kamilah. Diat kamilah atau diat sempurna

    28

    Ahmad Wardi Muslisch, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), 180 29

    Amir Syafruddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor, Kencana2003), 269 30

    Q.S Al-Maidah: 45

  • 39

    berlaku apabila manfaat jenis anggota badan hilang seluruhnya. Pada penganiayaan

    ini banyak hal yang diperhatikan dalam menjatuhkan hukuman diyat antara lain dari

    jenis perbuatannya sendiri ada yang berat dan ada yang ringan.

    Dalam Fiqih Jinayah kasus tindak pidana yang mengakibatkan kematian dengan

    sengaja melakukan perbuatan yang dilarang seperti memukul dengan tongkat, cambuk,

    tangan dan benda-benda yang pada dasarnya tidak mematikan tetapi yang terjadi korban

    meninggal akibat penganiayaan tersebut. Tindak pidana ini berakibatkan pada konsekuensi

    atau sanksi pada pelaku kejahatan tersebut. Allah SWT telah menetapkan sanksi bagi pelaku

    pembunuhan yang bersalah (tidak sengaja) melalui firman Allah SWT dalam surat Al-

    Baqarah ayat 178: 31

    َلى ُعِفَي َلُه َفَمنْ ۚ بِاْلُْرِّ َواْلَعْبُد بِاْلَعْبِد َواْْلُنْ َثىَٰ بِاْْلُنْ َثىَٰ اْْلُرُّ ۚ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ُكِتَب َعَلْيُكُم اْلِقَصاُص ِف اْلَقت ِْلكَ ۚ ِمْن َأِخيِه َشْيٌء فَاتَِّباٌع بِاْلَمْعُروِف َوأََداٌء إِلَْيِه بِِإْحَساٍن ِلَك ۚ َوَرْْحَةٌ َربُِّكمْ ِمنْ ََتِْفيفٌ ذََٰ َفَمِن اْعَتَدىَٰ بَ ْعَد ذََٰ

    فَ َلُه َعَذاٌب أَلِيٌم

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-

    orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita

    dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah

    (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar

    (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu

    keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,

    maka baginya siksa yang sangat pedih.”

    Menurut Prof.Drs.H.A.Dzajuli bahwa maksud dari pokok hukuman adalah

    memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga dari hal-hal yang

    masfsadah, serta memberi petunjuk dan pembelajaran kepada manusia, hukum pidana yang

    merupakan aturan-aturan yang bersumber dari syariat islam yang memiliki tujuan yang luhur

    dan baik untuk kepentingan pelaku tindak pidana maupun masyarakat pada umumnya.

    5. Pembagian Tindak Pidana Menurut hukum Pidana Islam

    Dilihat dari segi hukuman yang diancamkan dalam hukum Pidana Islam terdapat

    beberapa jenis tindak pidana atau jarimah. Dimana jarimah tersebut diancamkan kepada

    Terdakwa baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja

    berdasarkan berat ringannya hukuman. Jenis-jenis tersebut sebagai berikut:

    a. Jarimah Hudud

    Jarimah Hudud, yaitu jarimah yang diancamkan hukuman had yaitu hukuman yang

    telah ditentukan dan telah menjadi hak Allah SWT. Dan yang dimaksud dengan hak Allah

    31

    Q.S Al-Baqarah: 178

  • 40

    adalah hukuman tersebut tidak bias dihapuskan oleh perorangan ataupun masyarakat yang

    diwakili oleh negara. Adapun tindak pidana yang diancamkan hukuman had salah satunya

    adalah perzinahan yaitu Ulama Hanafiyah mendefinisikan zina adalah hubungan seagama

    yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dari depan yang bukan miliknya (haknya).

    Sedangkan menurut Malikiyah yang dimaksud dengan zina adalah senggama seorang laki-

    laki kepada farji perempuan yang bukan haknya dengan sengaja. Menurut Dzahiri zina adalah

    hubungan senggama yang diharamkan. Ancaman tersebut telah termasuk dalam Al-Quran. 32

    b. Jarimah Qishas dan Diyat

    Qishash berasal dari kata قصاص yang artinya memotong atau berasal dari

    kata Iqtassan yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat sebagai

    pembalasan atas perbuatannya. Menurut syara' qishash ialah hukuman balasan seimbang bagi

    pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain

    yang dilakukan dengan sengaja.

    Berdasarkan pengertian di atas maka qishash dibedakan menjadi dua yaitu:

    1.Qishash pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunuh).

    2.Qishash anggota badan (yang merupakan hukuman bagi pelaku tindak pidana melukai,

    merusak atau menghilangkat fungsi anggota badan).

    Hukuman qishash wajib dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana

    berikut:33

    1. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang benar baik).

    Jika seorang mukmim membunuh orang kafir, orang murtad, pezina yang sudah

    menikah, ataupun seorang pembunuh, maka dalam hal ini hukuman qishash tidak berlaku.

    Seorang muslim yang membunuh kafir ini tidak diqishash dan tidak dikenai hukuman

    apapun. Kafir yang berada di bawah kekuasaan penguasa muslim dan berinteraksi secara

    damai dengan kalangan muslimin. Penguasa muslim berhak menghukum seorang muslim

    yang membunuh kafir dzimmi. Semakin jelas disini, bahwa pada prinsipnya seorang muslim

    harus menghargai siapa pun, termasuk juga kalangan non muslim, selama mereka tidak

    berniat menghancurkan dinul Islam dan mendzalimi kalangan muslimin.

    2. Pembunuh sudah baligh dan berakal.

    Orang yang berakal adalah orang yang sehat sempurna pikirannya, dapat membedakan

    baik dan buruk, benar dan salah, mengetahui kewajiban, dibolehkan dan yang dilarang, serta

    yang bermanfaat dan yang merusak. Seseorang yang sudah baligh dibebani hukum syarak

    32Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1983 jilid 2),426.

    33Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 200

  • 41

    apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani

    hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan

    buruk, maupun benar dan salah.

    3. Pembunuh bukan bapak (orang tua dari terbunuh).

    Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan ta'zir kepada orang tua tersebut, semisal

    mengasingkannya dalam rentangw aktu tertentu atau hukuman lain sehingga membuatnya ia

    jera. Adapun jika seorang anak membunuh orang tuanya maka ia wajib dihukum qishash.

    4. Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh.

    Seperti muslim dengan muslim, merdeka dengan merdeka, dan hamba dengan hamba.

    Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al- Baqarah ayat 178: 34

    َلى ُعِفَي َلُه َفَمنْ ۚ بِاْلُْرِّ َواْلَعْبُد بِاْلَعْبِد َواْْلُنْ َثىَٰ بِاْْلُنْ َثىَٰ اْْلُرُّ ۚ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ُكِتَب َعَلْيُكُم اْلِقَصاُص ِف اْلَقت ِْلكَ ۚ ِمْن َأِخيِه َشْيٌء فَاتَِّباٌع بِاْلَمْعُروِف َوأََداٌء إِلَْيِه بِِإْحَساٍن ِلَك ۚ َوَرْْحَةٌ َربُِّكمْ ِمنْ ََتِْفيفٌ ذََٰ َفَمِن اْعَتَدىَٰ بَ ْعَد ذََٰ

    أَلِيٌم فَ َلُه َعَذابٌ

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-

    orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita

    dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah

    (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar

    (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu

    keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,

    maka baginya siksa yang sangat pedih.”

    5. Qishash dilakukan dalam hal yang sama.

    Misalnya jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, dan lain sebagainya. Sebagaimana

    firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 45: 35

    ْفِس َواْلَعْْيَ بِاْلَعْْيِ َواْْلَْنَف بِاْْلَْنِف َواْْلُُذَن بِاْْلُ ْفَس بِالن َّ َنا َعَلْيِهْم ِفيَها َأنَّ الن َّ نِّ َواْْلُُروَح وََكَتب ْ نَّ بِالسِّ ُذِن َوالسِّقَ َفَمنْ ۚ ِقَصاٌص ارَةٌ فَ ُهوَ ِبهِ َتَصدَّ ُ فَُأولََِٰئَك ُهُم الظَّاِلُموَن لَْ َوَمنْ ۚ َلهُ َكفَّ ََيُْكْم ِبَا أَنْ َزَل اَّللَّ

    “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa

    (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan

    gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka

    melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara

    menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.”

    Sedangkan Diyat adalah Hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiayaan semi

    sengaja dan tidak sengaja. Diyat menurut bahasa berarti denda, tebusan atau ganti rugi.

    Sedangkan diyat menurut istilah syara’ diyat adalah pemberian sejumlah barang atau uang

    34

    Q.S Al-Maidah: 178 35

    Q.S Al-Maidah: 45

  • 42

    kepada keluarga korban untuk menghilangkan dendam, meringankan beban korban dan

    keluarganya sebagai ganti hukum qishosh yang telah dimaafkan oleh keluarga korban,diyat

    diisyaratkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.

    c. Jarimah Ta’zir

    Tazir menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ditulis dengan "ta`zir" yang artinya

    hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam

    Alquran dan hadis. Sedangkan secara istilah adalah hukuman yang diberika kepada pelaku

    dosa-dosa yang tidak diatur dalam hudud atau aturan. Tazir diberlakukan terhadap pelaku

    dosa sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan sekalipun tidak dijelaskan bentuk

    hukumannya baik dalam Alquran dan Hadits. Sehingga hal tersebut ditentukan oleh penguasa

    yang berwenang untuk memberikan hukuman.36

    6. MedePlegen dalam Hukum Pidana Islam

    MedePlegen merupakan melakukan penganiayaan secara bersama-sama, dalam

    tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan

    (dederplegen) dan orang yang turut melakukan (medeplegen). Medeplegen dapat terjadi jika

    adanya kerjasama secara sadar dan ada pelaksanaan bersama secara fisik adanya kerjasama

    secara sadar dan adanya pelaksanaan bersama secara fisik. Dalam Fiqih Jinayah kasus tindak

    pidana yang mengakibatkan kematian dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang

    seperti memukul dengan tongkat, cambuk, tangan dan benda-benda yang pada dasarnya tidak

    mematikan tetapi yang terjadi korban meninggal akibat penganiayaan tersebut. Tindak pidana

    ini berakibatkan pada konsekuensi atau sanksi pada pelaku kejahatan tersebut. Allah SWT

    telah menetapkan sanksi bagi pelaku pembunuhan yang bersalah (tidak sengaja) melalui

    firmannya Surah Al-Baqarah: 178)37

    َلى ُعِفَي َلُه َفَمنْ ۚ بِاْلُْرِّ َواْلَعْبُد بِاْلَعْبِد َواْْلُنْ َثىَٰ بِاْْلُنْ َثىَٰ اْْلُرُّ ۚ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ُكِتَب َعَلْيُكُم اْلِقَصاُص ِف اْلَقت ِْلكَ ۚ ِمْن َأِخيِه َشْيٌء فَاتَِّباٌع بِاْلَمْعُروِف َوأََداٌء إِلَْيِه بِِإْحَساٍن ِلَك ۚ َوَرْْحَةٌ َربُِّكمْ ِمنْ ََتِْفيفٌ ذََٰ َفَمِن اْعَتَدىَٰ بَ ْعَد ذََٰ

    فَ َلُه َعَذاٌب أَلِيٌم

    “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-

    orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita

    dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah

    (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar

    (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu

    keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,

    maka baginya siksa yang sangat pedih.”

    36

    Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 249 37

    Q.S Al-Baqarah: 178

    https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27anhttps://id.wikipedia.org/wiki/Hadis

  • 43

    Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi qisas, baik penganiayaan maupun

    pembunuhan, harus melibatkan pemerintah melalui mekanisme persidangan majelis hakim

    pengadilan. Dalam hal ini Indonesia sebagai salah satu negara hukum, dipastikan memiliki

    hukum acara, baik bidang perdata maupun pidana, hanya saja bidang pidana Islam hingga

    kini belum bisa dilaksanakan sebagaimana yang ditetapkan Al-Quran dan Hadi