bab ii tinjauan pustaka - repository.ump.ac.idrepository.ump.ac.id/3854/3/noviani wijayasari bab...

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Cronic Hearth Failure 1. Definisi Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk menggambarkan keadaan secara patofisiologik dimana terjadi gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dari berbagai sistem organ di dalam tubuh. Gagal jantung bisa diakibatkan oleh keadaan overload volume yang abnormal, pressure overload, disfungsi miokard, gangguan pengisian ventrikel atau meningkatnya kebutuhan metabolik (Sudoyo et al, 2009). Cronic hearth failure (CHF) menurut Scottish Intercollegiate Guidelines Network adalah keadaan yang menggambarkan apa yang terjadi ketika jantung tidak mampu memompakan darah keseluruh tubuh seperti yang seharusnya. Orang dengan CHF dapat dijumpai tanda dengan sesak nafas dan kelelahan (SIGN, 2007). Selanjutnya Sudoyo et al (2010) menjelaskan bahwa gagal jantung kronik/Cronic hearth failure (CHF) adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Cronic Hearth Failure

    1. Definisi

    Gagal jantung adalah termin umum yang dipakai untuk

    menggambarkan keadaan secara patofisiologik dimana terjadi

    gangguan fungsi jantung yang diakibatkan oleh ketidakmampuan

    ventrikel memompa darah sesuai dengan venous return sehingga tidak

    bisa memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dari berbagai sistem

    organ di dalam tubuh. Gagal jantung bisa diakibatkan oleh keadaan

    overload volume yang abnormal, pressure overload, disfungsi

    miokard, gangguan pengisian ventrikel atau meningkatnya kebutuhan

    metabolik (Sudoyo et al, 2009).

    Cronic hearth failure (CHF) menurut Scottish Intercollegiate

    Guidelines Network adalah keadaan yang menggambarkan apa yang

    terjadi ketika jantung tidak mampu memompakan darah keseluruh

    tubuh seperti yang seharusnya. Orang dengan CHF dapat dijumpai

    tanda dengan sesak nafas dan kelelahan (SIGN, 2007). Selanjutnya

    Sudoyo et al (2010) menjelaskan bahwa gagal jantung kronik/Cronic

    hearth failure (CHF) adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana

    terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • kebutuhan jaringan. Suatu definisi obyektif yang sederhana untuk

    menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin

    dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada disfungsi

    ventrikel. Untuk kepentingan praktis gagal jantung kongestif

    didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek disertai keluhan

    gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat atau

    latihan, edema dan tanda obyektif adanya disfungsi jantung dalam

    keadaan istirahat.

    Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau

    terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan. Congestiv Heart Failure

    adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung

    memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Suatu

    definisi obyektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal

    jantung kongestif hamper tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat

    nilai batas yang tegas pada disfungsi ventrikel (Sudoyo et al, 2010).

    2. Etiologi

    Menurut Mariyono dan Santoso (2007) penyebab CHF

    disebabkan oleh banyak hal. Di negara maju penyakit arteri koroner

    dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, di negara berkembang

    yang menjadi penyebab adalah penyakit jantung katup. Kemudian

    menurut Scottish Intercollegiate Guidelines Network (2007) etiologi

    CHF adalah penyakit yang menyebabkan kerusakan pada ventrikel

    kanan seperti penyakit arteri koronaria, myocardial infraction,

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • hipertensi, penyakit atau kerusakan katup jantung, cardiomyopaty,

    congenital heart defects, endocarditis, dan myocarditis.

    Dalam panduan American Heart Association (AHA) tahun

    2002 faktor risiko penyakit jantung adalah usia, jenis kelamin, status

    merokok, tekanan darah sistolik (kadang diastolik), kolesterol total,

    HDL dan pada beberapa sistem penilaian terdapat DM. The National

    Cholesterol Eucation Program (NCEP) mempertimbangkan bahwa

    pasien DM dengan faktor risiko penyakit jantung lainnya seperti usia,

    merokok, dislipidemia, tekanan darah tinggi mempunyai

    kecenderungan yang jauh lebih tinggi untuk mengalami kejadian

    vaskuler disbanding individu bukan DM dengan faktor risiko penyakit

    jantung yang sama. Sedangkan The Framingham Heart Study

    mengidentifikasi bahwa merokok, tekanan darah tinggi, dan kadar

    kolesterol tinggi merupakan faktor risiko yang utama kejadian

    penyakit jantung. (Rilantono, 2013). Selanjutnya penelitian

    epidemologi klinik melaporkan mortality rate penyakit kardiovaskuler

    20 kali lebih banyak pada pasien CKD yang dialysis dibandingkan

    dengan populasi umum, karena faktor risiko terkait uremia (Sukandar,

    2006).

    Penelitian Dani et al (2007) bahwa pada kelompok wanita usia

    >55 tahun menjadi faktor prediktor kejadian kardivaskuler. Ada

    beberapa penyebab yang tidak diketahui. Sudoyo et al (2010)

    menyampaikan faktor–faktor yang dapat menjadi pencetus gagal

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • jantung adalah penyakit jantung iskemik; sindrom koroner akut,

    komplikasi mekanik dari infark akut, dan infark ventrikel kanan.

    Faktor valvular; stenosis valvular, regurgitasi valvular, endocarditis,

    diseksi aorta. Faktor miopatia; post-partum kardiomiopatia,

    miokarditis akut. Faktor hipertensi; hipertensi, aritmia akut. Faktor

    gagal sirkulasi; septikemia, hygrotokoxicosis, anemia, pirai,

    tamponade, emboli paru. Faktor dekompensasi pada gagal jantung

    kronik; tidak patuh minum obat, volume overload, infeksi, terutama

    pneumonia, cerebrovaskuler insult, operasi, disfungsi renal,

    asma/PPOK, penyalahgunaan obat dan penyalahgunaan alkohol.

    3. Manifestasi Klinis

    Tanda yang paling awal pada CHF berupa meningkatknya

    frekuensi jantung pada kondisi istirahat. Lebih spesifik berupa

    penigkatan frekuensi nadi yang sangat ekstrim walau dengan aktifitas

    yang minimal seperti merubah posisi tidur. Peningkatan vaso-

    konstriksi ditunjukan dengan peningkatan tekanan darah secara

    transien sedang veno-konstriksi terlihat melalui distensinya vena

    jugularis. Dengan meningkatnya gagal jantung, cardiac output drop

    dan vaso-konstriksi renal maupun kutan makin nyata. Depresi pada

    renal terlihat sebagai oligouri atau abnormalitas tes fungsi ginjal dan

    pada kutan terlihat sebagai menurunnya suhu kulit dan pucat.

    Manifestasi peningkatan tonus simpatis menunjukan hasil akhir low

    output failure dan shok kardiogenik (Sudoyo et al, 2009).

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • Menurut Irawan (2011), sesak nafas merupakan tanda utama

    CHF, frekuensi pernafasan bisa mencapai 20 sampai 40 kali/menit.

    Kerja otot pernafasan meningkat mengakibatkan tekanan negatif intra

    pleural. Hal ini terlihat sebagai pernafasan cuping hidung, retraksi

    fosa supra klavikulare dan ruang interkostal. Pada pemeriksaan

    perkusi terdengar redup pada daerah dada dan pada auskultasi

    terdengar whizing dan ronkhi basah. Suara jantung sukar terdengar

    karena banyaknya suara tambahan yang mengganggu, biasanya

    terdengar suara jantung ketiga. Kulit terasa dingin dan pucat

    menunjukan adanya hipoksia, cardiac output yang turun dan

    mekanisme compensatio simpato adrenergik. Tekanan darah dan

    frekuensi jantung meningkat akibat rangsang simpatis. Saat terjadi

    oedem paru, dengan menurunnya fungsi ventrikel kiri, tekanan darah

    menurun dan bisa terjadi syok.

    Beberapa studi menunjukkan bahwa gagal jantung

    asymtomatik adalah lazim seperti jantung kegagalan dengan

    manifestasi klinis. Gejala yang berhubungan dengan CHF adalah

    sesak napas, yang pada tahap awal dikaitkan dengan tenaga. Dyspnea

    terjadi saat istirahat. Kesulitan dalam pernapasan dikaitkan dengan

    posisi telentang karena peningkatan vena kembali kejantung disebut

    ortopnea. Pasien mungkin juga memiliki Dyspnea Nokturnal

    Paroksismal (DNP), yang mengacu pada mendadak pengembangan

    sesak nafas yang hebat pada malam itu membangunkan pasien dari

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • tidur. Semua gejala terkait dengan kongesti paru dengan akumulasi

    cairan di ruang interstitial dan alveolar yang kadang-kadang mungkin

    mengarah pada pengembangan edema paru akut. Gejala lain yang

    umum pada pasien dengan CHF adalah edema perifer, kelelahan,

    anoreksia, cepat kenyang, kebingungan, gangguan tidur, dan nokturia,

    terjaga sepanjang malam untuk buang air kecil (Nasif & Alahmad,

    2005).

    4. Klasifikasi

    Klasifikasi CHF menggunakan Kriteria Framingham menurut

    Figueroa dan Peters (2006) yang dapat digunakan untuk menegakan

    diagnosis CHF adalah kriteria mayor yang terdiri dari ; paroxismal

    nocturnal dispneu, distensi vena leher, ronkhi paru, kardiomegali,

    edema paru akut, galloop S3, peninggian tekanan vena jugularis,

    refluks hepatojugular. Kriteria minor terdiri dari ; edema ekstremitas,

    batuk malam hari, dispneu de effort, hepatomegali, efusi pleura,

    takhicardia, penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal. Kriteria

    mayor atau minor : penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari

    setelah terapi. Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1

    kriteria mayor dan 1 kriteria minor harus ada pada saat bersamaan.

    Klasifikasi CHF menurut Figueroa dan Peters (2006) yang

    diambil dari New York Heart Association Classification of Congestive

    adalah sebagai berikut :

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • Tabel 2.1. Klasifikasi CHF Kelas Gejala

    I II III IV

    Tanpa gejala dengan aktifitas sehari – hari Nyaman saat istirahat maupun aktifitas ringan Menunjukan gejala pada saat aktifitas tertentu Menunjukan gejala saat istirahat, duduk, atau tidur

    5. Patofisiologi

    Menurut Irawan (2011), menyampaikan bahwa fungsi dasar

    jantung adalah memompa darah dari ventrikel dari sistem venous yang

    bertekanan rendah ke sistem arterial yang bertekanan tinggi.

    Kegagalan fungsi ini akibatkan kegagalan untuk mengosongkan depot

    venous dan menurunnya aliran darah yang dipompakan jantung ke

    sistem arteri. Hal ini mengakibatkan meningkatnya volume darah

    venous di sistem sirkulasi sistemik maupun pulmonal dan turunnya

    volume darah yang dipompakan ke arteri pulmonalis dan aorta.

    Secara hemodinamik mengakibatkan meningkatnya tekanan akhir

    diastolik dari ventrikel, meningkatnya tekanan venous baik sistemik

    maupun pulmonal dan turunnya cardiac out-put.

    Beberapa istilah yang perlu diketahui mengenai CHF menurut

    Irawan (2011) adalah :

    a. Gagal Miokard

    Gagal miokard menggambarkan kegagalan otot jantung di

    dalam membangun kontraktilitas yang adekuat. Kerusakan ini

    disebabkan oleh iskemia, infark, miopathi maupun miokarditis.

    Kelainan lain seperti keterbatasan pengisian maupun pengosongan

    ventrikel seperti pada gangguan katup, kenaikan tahanan aorta dan

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • perikard efusi dapat juga akibatkan gagal miokard. Gagal miokard

    dapat juga disebabkan oleh gangguan perfusi koroner akibat

    sumbatan atau disebabkan oleh gangguan baik irama maupun

    konduksi jantung. Gagal miokard yang berlanjut akibatkan gagal

    sirkulasi.

    b. Gagal Sirkulasi

    Gagal sirkulasi menggambarkan ketidakmampuan sistem

    kardiovaskuler untuk menjalankan fungsi utamanya sehubungan

    dengan kebutuhan metabolik jaringan. Hal ini dapat disebabkan

    oleh baik gagal miokard maupun disfungsi sirkulasi nonkardiak.

    Gagal sirkulasi dapat terjadi baik akibat kenaikan maupun

    penurunan volume darah intravaskuler ataupun berubahnya tonus

    vaskuler.

    Beberapa kondisi non kardiak yang mengakibatkan

    meningkatnya volume darah adalah tranfusi darah yang berlebihan,

    penumpukan cairan baik ekstra maupun intra vaskuler akibat

    disfungsi ginjal maupun gastro intestinal, terapi steroid dan

    meningkatnya venous return akibat fistula arteri venosa.

    Kondisi yang mengakibatkan volume darah berkurang

    seperti luka bakar, perdarahan akibat trauma ataupun operasi,

    kondisi yang pengaruhi tonus vaskuler seperti infeksi, defisiensi

    vitamin, dan anemia berat. Kondisi non kardiak ini tidak

    berhubungan langsung dengan gagal mikard, namun kalau kondisi

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • ini tidak diatasi akibatkan kerusakan miokard permanen dan

    akhirnya terjadi gagal jantung.

    c. Gagal Jantung Simptomatis dan Asimptomatis

    Istilah gagal jantung kronis merupakan istilah yang condong

    terdapatnya keluhan atau tanda fisik sedangkan atas dasar

    pemeriksaan ekhokargiografi terdapat sekitar 50% penderita

    dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang asimptomatik.

    Penyebab gagal jantung kronis dengan preserved ejection farction

    berbeda dengan yang reduced cardiac function. Preserved ejection

    gagal jantung kronis lebih berhubungan dengan riwayat hipertensi

    daripada penyakit jantung koroner.

    6. Tatalaksana

    Penanganan muthahir CHF menurut Rilantono (2013)

    tergantung berat ringannya penyakit dan penyebabnya. Semua

    penderita CHF memerlukan obat penghambat ensim konversi

    angiotensin (ACE-I) atau penghambat reseptor angiotensin (ARB)

    bila tidak ada kontraindikasi sampai dosis optimal. Bila ada kontra

    indikasi, misalnya kelaianan ginjal yang berat, maka dapat digunakan

    kombinasi hydralazine dan isorbid dinnitrat. Semua penderita CHF

    memerlukan obat penyekat beta (beta blocker/BB) mulai dosis kecil

    bila tidak ada kontraindikasi. Bila tidak ada kontraindikasi, penderita

    CHF berat dengan fraksi ejeksi

  • Usahakan penyebab CHF diperbaiki. Klinik CHF sangat

    diperlukan untuk menangani pasien yang sulit dan sering rawat ulang.

    Klinik CHF dilengkapi dengan perawat CHF yang akan datang

    kerumah pasien untuk memantau kepatuhan mium obat, dan

    menaikkan dosis diuretika saat eksaserbasi gagal jantung. Penanganan

    CHF memerlukan pendekatan kerjasama tim dari berbagai sub

    spesialis bidang kardiovaskuler (heart failure cardiologist, pacemaker

    specialist, interventionist, heart failure nurse, heart failure

    physiotherapist, nutritionist, psychiatrist, dan lain-lain), bila tidak

    maka penderita CHF akan berulang kali dirawat dengan biaya besar

    dan menimbulkan kecacatan bahkan kematian (Rilantono, 2013).

    B. Hipertensi

    Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 139 mmHg dan/atau

    tekanan darah diastolik > 89 mmHg, berdasarkan rerata dua atau tiga kali

    pengukuran yang cermat sewaktu duduk dalam satu atau dua kali

    kunsengan. (Rilantono, 2013). Hipertensi bisa menyebabkan kerusakan

    organ tubuh sasaran (target organ damage) yaitu jantung (hipertrofi

    ventrikel kiri), ginjal (nefropati), syaraf otak (encefalopati), mata

    (retinopati atau perdarahan), dan bahkan disfungsi ereksi. Kerusakan

    pada jantung bisa menyebabkan disfungsi baik diastolik maupun sistolik,

    dan berakhir pada gagal jantung kongestif (CHF). Hipertensi juga

    merupakan faktor risiko penyakit jantung koroner, dan terhadap otak

    hipertensi dapat menyebabkan stroke.

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • Hasil penelitian Hendrawan, Setijowati, dan Kurniasari (2004)

    tentang hubungan hipertensi dengan gagal jantung didapatkan hasil

    hipertensi berpengaruh terhadap timbulnya penyakit gagal jantung (rasio

    prevalensi 1,5 dan p=0,019) dan semakin tinggi stage hipertensi maka

    semakin berpeluang terjadinya penyakit gagal jantung. Selanjutnya hasil

    penelitian Wati dan Hasan (2011) menyebutkan bahwa 133 dari 200

    sampel (66,5%) pasien gagal jantung kongestif memiliki riwayat

    hipertensi. Kemudian dalam penelitian yang dilakukan oleh Majid (2010)

    didapatkan hasil bahwa hipertensi berhubungan dengan frekuensi rawat

    inap dimana OR=18,81 artinya responden yang memiliki riwayat

    hipertensi berpeluang 18,81 kali lebih besar menjalani rawat inap dengan

    frekuensi tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat

    hipertensi.

    C. Diabetes Mellitus

    Sesuai dengan Konsensus PERKENI 2011 dalam Rilantoro,

    (2013) untuk menegakkan diagnosis DM dapat menggunakan kriteria

    sebagai berikut :

    1. Ditemukan gejala klasik DM dan kadar glukosa plasma sewaktu

    > 200 mg/dL.

    2. Ditemukan gejala klasik DM dan kadar glukkosa plasma puasa

    ≥ 126 mg/dL.

    3. Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

    > 200 mg/dL.

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • Pasien dengan diabetes mellitus lebih mungkin untuk terjadi CHF

    dibandingkan pasien tanpa diabetes mellitus (tingkat kejadian 30,9 vs

    12,4 kasus per 1.000 orang - tahun, tingkat rasio 2,5 , 95 % CI 2,3-2,7).

    Perbedaan tingkat kejadian CHF antara orang-orang dengan dan tanpa

    diabetes mellitus jauh lebih besar pada usia yang lebih muda. Selain usia

    dan penyakit jantung iskemik, kontrol glikemik yang buruk (rasio hazard

    1,32 per titik persentase HbA1c) dan lebih besar Body Mass Index (BMI)

    (1,12 per 2,5 unit BMI) adalah prediktor penting dari terjadinya CHF.

    (Nichols, Gullion, Koro, Ephross, dan Brown, 2004). Selanjutnya

    Penelitian Dani, Rubiono, Soesanto dan Kasim (2007) bahwa faktor

    prediktor kejadian kardivaskuler adanya Diabetes Mellitus dengan HR

    2,229 (95% CI: 1,099-4,783 p=0,027).

    D. Cronic Kidney Desease

    Cronic kidney desease adalah kerusakan ginjal atau penurunan

    faal ginjal lebih atau sama dengan tiga bulan sebelum diagnosis

    ditegakkan. (National Kidney Foundation-Disease Outcome Quality

    Initiative [NKF-DOQI, 2002] dalam Sukandar, 2006). Sedangkan

    Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) memberikan definisi

    bahwa CKD adalah setiap kerusakan ginjal (kidney damage) atau

    penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG/GFR/Glomerulus Filtration

    Rate) < 60 ml/mnt/1,73 m2 untuk jangka waktu ≥ 3 bulan. Kerusakan

    ginjal adalah setiap kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal,

    termasuk kelaianan dalam darah, urin atau studi pencitraan.

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • Penelitian oleh Badheka et al (2012) menyimpulkan bahwa

    penyakit ginjal merupakan penyebab kematian (n= 116, rasio hazard :

    1,748 ; interval kepercayaan 95% : 1,01-3,01 , p = 0,04). Selanjutnya

    Smith et al (2013) menyebutkan CKD adalah umum dan merupakan

    predictor independen penting terjadinya kematian dan rawat inap pada

    orang dewasa dengan Heart Failure (HF) seluruh spektrum fungsi

    sistolik ventrikel kiri.

    E. Survival Analysis

    Menurut Sastroasmoro (2011) survival analisis adalah teknik

    analisis untuk data follow up yang memperhitungkan waktu terjadinya

    efek (time dependent effect) dengan periode waktu pengamatan terhadap

    tiap subyek yang tidak seragam. Analisis survival disebut juga analisis

    tabel kehidupan (life table analysis). Metode analisis survival yang sering

    digunakan adalah metode aktuarial (Cutler-Ederer) dan metode product

    limit (Kaplan-Meier).

    1. Metode Aktuarial/Life Table

    Sastroasmoro (2011) menyampaikan bahwa metode ini

    dikenal dengan nama metode Cutler-Ederer. Pada metode ini

    ditentukan interval waktu yang dikehendaki. Pemilihan interval

    dilakukan dengan memperhitungkan karakteristik penyakit atau efek

    yang dipelajari (dapat dalam hari, minggu, bulan, tahun).

    Selanjutnya Sastroasmoro (2011) menjelaskan bahwa teknik

    aktuarial diperlukan beberapa syarat dan asumsi berikut :

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

    http://circoutcomes.ahajournals.org/search?author1=David+H.+Smith&sortspec=date&submit=Submit

  • a. Saat awal pengamatan harus jelas.

    Tergantung dari jenis penyakit, awal pengamatan dapat

    mulai timbulnya keluhan, saat diagnosis, atau mulainya terapi.

    Keluhan

    pada banyak penyakit dapat samar-samar, maka waktu yang

    sering diambil sebagai saat awal pengamatan adalah saat

    diagnosis ditegakan. Untuk pasien keganasan dianggap

    memadai, namun untuk beberapa kelainaan yang diagnosisnya

    mungkin baru dapat ditegakan berbulan-bulan atau bertahun-

    tahun setelah awal penyakit, metode ini tidak sahih.

    b. Efek yang diteliti harus jelas.

    Efek yang diteliti harus berskala dikotom, hanya

    mempunyai dua nilai, misal normal-abnormal atau meninggal-

    hidup. Selain itu efek juga harus bersifat multipel, artinya setiap

    subyek hanya mengalami efek satu kali. Bila efek yang diteliti

    adalah kematian, maka hal ini tidak menjadi masalah. Namun

    bila efek yang diteliti bukan kematian, melainkan kambuh atau

    remisi, maka harus ada cara untuk memastikan subyek kambuh

    atau remisi. Apabila kriteria sembuh atau remisi tidak jelas,

    maka dapat dipastikan bahwa data yang terkumpul tidak sahih.

    Bila efek dapat terjadi berulang kali, efek pertamalah yang

    dihitung dalam analisis.

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • c. Kejadian withdrawal atau loss to follow-up harus independen

    terhadap efek.

    Bila pasien tidak datang karena merasa sudah sembuh,

    atau karena merasa tidak tertolong lagi, maka hal ini dapat

    mempengaruhi kesahihan hasil penelitian.

    d. Risiko untuk terjadinya efek tidak tergantung pada tahun

    kalender.

    Pada penelitian kesintasan yang berlangsung lama,

    sepanjang periode penelitian tersebut tidak boleh terjadi

    perubahan tata laksana yang signifikan yang bdapat mengubah

    prognosis. Bila ini terjadi maka pasien yang durekrut pada awal

    penelitian tidak memperoleh perlakuan yang sama dengan

    pasien yang direkrut pada akhir penelitian, sehingga kurva

    kesintasan menjadi tidak valid.

    e. Risiko untuk terjadinya efek pada interval waktu dipilih

    dianggap sama.

    Bila dipilih interval pengamatan tiap tahun, maka peluang

    untuk mengalami efek pada awal maupun akhir tahun harus

    sama.

    f. Pasien yang tersensor (tidak diketahui nasibnya) dianggap

    mengalami setengah efek.

    Bila selama interval terdapat 2 pasien tersensor, dianggap

    terjadi 1 efek.

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • 2. Metode Kaplan-Meier

    Metode Kaplan-Meier merupakan metode analisis kesintasan

    yang sering digunakan. Metode ini sering disebut product limit

    method. Berbeda dengan metode aktuarial, pada metode Kaplan-

    Meier tidak dibuat interval tertentu dan efek atau outcome

    diperhitungkan tepat pada saat ia terjadi. Lama pengamatan masing-

    masing subyek disusun dari yang terpendek sampai yang terpanjang

    dengan catatan subyek yang tersensor diikutsertakan. Metode

    Kaplan-Meier disusun berdasarkan pada dua konsep sederhana yaitu

    pasien yang tersensor dihitung sebagai at risk hanya sampai ia

    tersensor dan peluang untuk hidup 2 bulan sama dengan peluang

    hidup pada bulan II dan seterusnya.

    Dengan adanya perbedaan asumsi tersebut maka menurut

    Sastroasmoro (2011) analisa pada metode Kaplan-Meier berbeda

    dengan perhitungan metode Cutler-Ederer. Perhitungan kesintasan

    subyek yang diamati dengan cara Kaplan-Meier dilakukan sebagai

    berikut :

    Tabel. 2.2. Analisa Kaplan-Meier (1) (2) (3) (4) (5) (6) T rt dt qt=dt/rt pt=1-qt st=p1xp2xp3

    dst Lama

    pengamatan sampai saat

    kejadian (bulan)

    Jumlah pasien dengan risiko

    pada saat t

    Jumlah kejadian

    pada saat t

    Death rate pada saat

    t

    Kesintasan Kesintasan kumulatif

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • a. Kolom (1) t = masa pengamatan tiap subyek dari insepsi ke

    efek, termasuk subyek yang tersensor. Disusun dari yang

    terpendek.

    b. Kolom (2) rt = jumlah subyek dengan risiko pada saat t, yaitu

    jumlah subyek yang masih hidup sesaat sebelum t.

    c. Kolom (3) dt = jumlah kematian pada saat t.

    d. Kolom (4) qt = dt/rt = death rate pada saat t, yaitu jummlah

    kematian pada saat t dibandingkan dengan jumlah subyek at

    risk pada saat t.

    e. Kolom (5) pt = kesintasan (survival rate, event-free rate).

    f. Kolom (6) St = kesintasan kumulatif, yakni perkalian

    kesintasan sampai akhir interval.

    Selanjutnya Sastroasmoro (2011) menyampaikan perbedaan antara

    metode Cutler-Ederer dengan Kaplan-Meier adalah pada metode Cutler-

    Ederer dibuat interval arbitrer, yaitu dengan menganggap peluang

    terjadinya efek selama masa interval tersebut dianggap konstan. Interval

    disesuaikan dengan karakteristik penyakit, mungkin dalam hitungan hari,

    minggu, bulan, atau tahun. Keadaan tersebut dianggap sebanding dengan

    pengukuran dengan skala kategorikal. Pada metode Kaplan-Meier tidak

    dibuat interval, dan terjadinya efek dicatat pada saat efek tersebut terjadi

    (biasanya dala tanggal). Keadaan ini dianggap sebanding dengan

    pengukuran variabel yang berskala numerik.

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • Perbedaan selanjutnya menurut Sastroasmoro (2011) adalah

    metode Cutler-Ederer menyertakan subyek tersensor dalam kalkulasi

    kesintasan, dengan memberikan nilai ½ efek. Pada metode Kaplan-

    Meier, data pengamatan antara 2 efek yang berurutan diabaikan, dengan

    kata lain subyek tersensor hanya bertindak sebagai at risk sampai saat ia

    tersensor, namun subyek itu sendiri diabaikan dalam kalkulasi

    kesintasan. Metode Kaplan-Meier dapat digunakan pada data dengan

    jumlah subyek yang sedikit, oleh karena efek tidak dikelompokan dalam

    interval, malainkan diperhitungkan sesuai dengan saat terjadinya efek

    pada tiap subyek.

    Kemudian Sastroasmoro (2011) menjelaskan bahwa terdapat

    kemungkinan bias pada analisis kesintasan seperti pada semua uji

    komperatif, termasuk faktor perancu (confounding factor). Teknik untuk

    menyingkirkan berbagai faktor perancu perlu diperhatikan, yaitu dalam

    desain, termasuk inklusi pasien dengan diagnosis yang akurat, atau dalam

    analisis. Definisi operasional yang jelas, serta pengukuran yang sahih dan

    andal merupakan hal-hal yang mutlak harus dipenuhi dalam studi analisis

    kesintasan. Analisis multivariat yang kompleks mungkin perlu dilakukan

    untuk mengontrol variabel perancu yang tidak dapat disingkirkan dalam

    desain.

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • Beberapa kelebihan analisis kesintasan menurut Sastroasmoro

    (2011) adalah:

    a. Dengan analisis kesintasan dapat dihitung kesintasan data follow-up,

    meskipun hanya ada satu subyek penelitian yang telah memenuhi

    lama follow-up maksimal.

    b. Dapat dihitung interval kepercayaan yang dapat memberikan

    gambaran kesalahan data pada sampel.

    c. Meski teknik analisis kesintasan dipergunakan untuk menghitung

    masa harapan hidup, namun seperti diuraikan dapat pula dipakai untuk

    membuat tabel untuk kejadian klinis lain, seperti kejadian relaps,

    rekurens, remisi, komplikasi, dan lain sebagainya. Terjadinya efek

    pada uji klinis, disamping dapat dianalisis dengan uji hipotesis juga

    dapat dianalisis dengan analisis kesintasan bila faktor saat terjadiya

    efek ingin diperhitungkan.

    3. Regresi Cox (Cox Proportional Hazard)

    Selanjutnya Yasril dan Kasjono (2009) menyampaikan bahwa jika

    ingin ada variable kovariat yang ingin dikontrol atau bila

    menggunakan beberapa variable explanatory dalam menjelaskan

    hubungan survival time maka kita menggunakan regresi cox. Regresi

    cox dapat digunakan untuk yang membuat model menggambarkan

    hubungan antara survival time sebagai dependen variable dengan

    satu set variable independen (kontinyu/kategorik). Regresi cox

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • menggunakan hazard function sebagai dasar untuk memperkirakan

    Relative Risk untuk gagal.

    Fungsi hazard h (t) adalah sebuah rate yang merupakan

    estimasi potensi untuk mati pada 1 unit waktu pada saat tertentu,

    dengan catatan bahwa kasus tersebut masih hidup ketika menginjak

    interval waktu tersebut. Karena fungsi hazard bukan suatu

    probability (0-1), maka ia dapat mempunyai nilai 0 hingga ∞.

    Tujuan penggunaan regresi cox adalah untuk : mengestimasi hazard

    ratio, menguji hipotesa dan melihat confident interval dari hazard

    ratio.

    Hazard ratio (HR) adalah rasio dua hazard pada x=1 dan x=0

    merupakan exp (b), Artinya ingin diketahui berapa besarnya rasio

    untuk hazard failure pada x terpapar dibanding tak terpapar.

    Interpretasi HR ~ seperti RR atau OR

    Model Regresi Cox

    h(t,x) = ho(t).e-(b1x1+b2x2+…..bixi)

    Dimana :

    X = kovariat

    b = koefisienregresi

    ho(t) = baseline hazard function ketika x=0

    Cox Proporsional hazard model sangat popular digunakan karena :

    • Dapat mengestimasi hazard ratio tanpa perlu diketahui ho (t) atau

    baseline hazard function

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • • Dapat mengestimasi ho (t), h (t,x) dan fungsi survivor meskipun

    ho (t) tidak spesifik

    • Cox modelrobust sehingga hasil dari cox model hamper sama

    dengan hasil model parametrik

    Formula model cox menyatakan bahwa hazard pada waktu

    t adalah merupakan hasil dari dua kuantitas. Pada bagian pertama

    disebut dengan baseline hazard function sedangkan pada kuantitas

    kedua disebut dengan eksponensial yang dinyatakan dengan e hingga

    jumlah linier dari bixi dimana jumlah tersebut adalah menerangkan

    variabel x. Hal penting pada formula tersebut adalah perhatian

    terhadap asumsi proportional hazard, yaitu baseline hazard adalah

    fungsi dari t dimana ekspresi eksponensial meliputi X tetapi tidak

    melibatkan t, X disini disebut dengan time independen X (X tidak

    tergantung waktu), bila hal ini terjadi maka X disebut time dependen

    variables, model ini disebut dengan extended cox model.

    Asumsi pada model Cox Proporstional Hazard adalah

    hazard ratio yang membandingkan dua kategori dari prediktor

    adalah konstan pada setiap waktu atau tidak tergantung waktu.

    Apabila asumsi tidak terpenuhi maka model yang digunakan

    disarankan regresi cox dengan time dependent covariat atau

    extended cox model. Secara umum ada 3 pendekatan untuk mengkaji

    asumsi proportional hazard, yaitu ;

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • a. Pendekatan gambar, caranya dengan membuat plot Log Minus

    Log (LML) dari fungsi ketahanan hidup. Pada plot ini untuk

    setiap strata harus parallel/sejajar. Cara ini hanya dapat

    digunakan untuk variabel kategorik. Untuk variabel kontinyu

    harus diubah menjadi kategorik (2 atau 3 kelompok)

    b. Menggunakan variable time dependent dalam extended cox

    model, caranya adalah membuat interaksi antar variabel bebas

    dengan waktu ketahanan hidup kemudian lihat nilai

    signifikannya.

    c. Menggunakan goodness of fit test. Untuk menguji dengan cara ini

    menggunakan program komputer khusus.

    Ketiga cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, untuk

    itu sebaiknya peneliti menggunakan minimal 2 cara untuk menguji

    asumsi proporsional (Kleinbaum, 1997).

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • F. Kerangka Teori

    Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian

    CRONIC HEART FAILURE

    Rawat/Kambuh

    Rilantono (2013). Penyakit Kardiovaskuler (PKV). BadanPenerbit FKUI. Jakarta.

    Sukandar (2006). Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis tahun 2006. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran UNPAD/RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Bandung

    Etiologi - Endokarditis - Miokarditis - Kongenital - Kardiomiopati - Miocardial infraction - Penyakit arteri koronaria - Hipertensi - Penyakit jantung katup

    Kegagalan fungsi : kegagalan untuk mengosongkan depot venous dan menurunnya aliran darah yang dipompakan jantung ke sistem arteri arteri.

    Meningkatnya volume darah venous di sistem sirkulasi sistemik maupun pulmonal dan turunnya volume darah yang dipompakan ke arteri pulmonalis dan aorta.

    Meningkatnya tekanan akhir diastolik dari ventrikel, meningkatnya tekanan venous baik sistemik maupun pulmonal dan turunnya cardiac out-put

    - Meningkatnya frekuensi nadi - Sesak nafas - Abnormalitas tes fungsi ginjal - Pada kutan terlihat sebagai menurunnya suhu kulit dan pucat. - Edema perifer, kelelahan, anoreksia, cepat kenyang, kebingungan, gangguan

    tidur, dan nokturia

    Faktor Risiko : - Usia - Jenis Kelamin - Status Merokok - Tekanan darah tinggi - Hiperkolesterol - Diabetes Mellitus - Dislipidemia - CKD

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014

  • G. Kerangka Konsep

    Dari tinjauan pustaka dan kerangka teori yang telah diuraikan

    makadapat dibuat kerangka konsep penelitian meliputi : Kesintasan

    kekambuhan pasien CHF dipengaruhi oleh Umur, Jenis Kelamin,

    Hipertensi, DM dan CKD. Dari variabel tersebut maka dapat dibuat

    kerangka konsep sebagai berikut :

    Gambar 2.2. Kerangka Konsep

    H. Hipotesis

    Ada pengaruh umur, jenis kelamin, hipertensi, DM dan CKD

    terhadap kekambuhan pasien CHF di RSUD Banyumas tahun 2012.

    Faktor risiko : - Usia - Jenis Kelamin - Tekanan Darah Tinggi - DM - CKD

    Kekambuhan Pasien CHF

    dalam 1 tahun

    Analisis Kekambuhan pada..., Noviani Wijayasari, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2014