bab ii tinjauan pustaka - uksw...bab ii tinjauan pustaka 2.1. penelitian terdahulu seto (2013)...

32
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Seto (2013) tentang” Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Dalam Pelayanan Publik Bidang Pendidikan dan Ketenagakerjaan Di Kota Surakarta”, menyebutkan bahwa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di perpustakaan sangatlah terbatas. Aksesbilitas yang merupakan aspek penting penyandang disabilitas, akan tetapi aksesibilitas bagi penyandang disabilitas bukan hanya soal sarana fisik, penyandang disabilitas memerlukan penerimaan dari masyarakat sekitar agar penyandang disabilitas tersebut dapat membaur dan menjadi satu dengan masyarakat lainnya. Dalam penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa masih ada kesenjangan yang dilakukan pemerintah dalam melakukan pelayanan perpustakaan untuk kaum disabilitas. Padahal kaum disabilitas mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik. Dalam asas pelayanan publik juga sangat jelas dipaparkan tentang adanya keadilan dan memberikan pelayanan. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya upaya pemaksimalan aksesibilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas. Upaya tesebut antara lain menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap para penyandang cacat baik yang ada dalam peraturan atau persyaratan maupun dalam perilaku birokrat, mengubah persepsi aparat pelayanan perpustakaan bahwa pelayanan perpustakaan tidak hanya untuk orang-orang normal, tetapi juga mengakomodir kepentingan penyandang disabilitas dalam setiap pembangunan fisik khususnya fasilitas pelayanan publik dan fasilitas umum, alokasi anggaran khusus bagi penyandang cacat yang pemanfaatan bersifat bottom up. Menurut Utami Dewi dan Sugi Rahayu (2013) tentang Pelayanan Publik bagi pemenuhan Hak-Hak Disabilitas di Kota Yogyakarta, Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan dan pelayanan publik yang diterapkan kepada masyarakat berkebutuhan khusus atau disabilitas. Penelitian ini sangat penting dan menarik mengingat minimnya perhatian pemerintah dalam memenuhi hak kaum disabilitas, padahal UU no 25 tahun 2009 telah jelas menyebutkan bahwa setiap

Upload: others

Post on 14-Feb-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Penelitian Terdahulu

    Seto (2013) tentang” Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Dalam

    Pelayanan Publik Bidang Pendidikan dan Ketenagakerjaan Di Kota Surakarta”,

    menyebutkan bahwa aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di perpustakaan

    sangatlah terbatas. Aksesbilitas yang merupakan aspek penting penyandang

    disabilitas, akan tetapi aksesibilitas bagi penyandang disabilitas bukan hanya soal

    sarana fisik, penyandang disabilitas memerlukan penerimaan dari masyarakat

    sekitar agar penyandang disabilitas tersebut dapat membaur dan menjadi satu

    dengan masyarakat lainnya. Dalam penelitian tersebut juga mengungkapkan

    bahwa masih ada kesenjangan yang dilakukan pemerintah dalam melakukan

    pelayanan perpustakaan untuk kaum disabilitas. Padahal kaum disabilitas

    mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik. Dalam asas

    pelayanan publik juga sangat jelas dipaparkan tentang adanya keadilan dan

    memberikan pelayanan. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya upaya

    pemaksimalan aksesibilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas. Upaya

    tesebut antara lain menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap para

    penyandang cacat baik yang ada dalam peraturan atau persyaratan maupun dalam

    perilaku birokrat, mengubah persepsi aparat pelayanan perpustakaan bahwa

    pelayanan perpustakaan tidak hanya untuk orang-orang normal, tetapi juga

    mengakomodir kepentingan penyandang disabilitas dalam setiap pembangunan

    fisik khususnya fasilitas pelayanan publik dan fasilitas umum, alokasi anggaran

    khusus bagi penyandang cacat yang pemanfaatan bersifat bottom up.

    Menurut Utami Dewi dan Sugi Rahayu (2013) tentang Pelayanan Publik

    bagi pemenuhan Hak-Hak Disabilitas di Kota Yogyakarta, Penelitian ini bertujuan

    untuk menganalisis kebijakan dan pelayanan publik yang diterapkan kepada

    masyarakat berkebutuhan khusus atau disabilitas. Penelitian ini sangat penting dan

    menarik mengingat minimnya perhatian pemerintah dalam memenuhi hak kaum

    disabilitas, padahal UU no 25 tahun 2009 telah jelas menyebutkan bahwa setiap

  • warga negara tidak terkecuali kaum disabilitas untuk mendapatkan pelayanan

    publik yang adil dan tanpa pandang bulu. Di Yogyakarta sendiri, sudah ada

    kebijakan yang mengatur kelompok rentan dan termarjinalkan ini yaitu perda No

    4 tahun 2012 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang

    Disabilitas. Selama ini, masyarakat berkebutuhan tersebut sangat sulit

    mendapatkan pelayanan yang setara dengan masyarakat ”normal” atau bukan

    penyandang disabilitas.

    Dilihat dari pernyataan yang dibuat oleh penulis, dapat ditarik kesimpulan

    pada perbedaan dan persamaan tentang penelitian yang terdahulu dengan

    penelitian saat ini yaitu:

    2.1.1. Persamaan Penelitian

    Persamaan penelitian saat ini yaitu sama-sama yang menjadi fokus

    penelitian adalah pelayanan dan fasilitas yang diberikan bagi penyandang

    disabilitas.

    2.1.2. Perbedaan Penelitian

    Berbeda dengan penelitian terdahulu yang sudah disebutkan di atas,

    penelitian ini menfokuskan pada akses penyandang disabilitas dalam pelayanan

    perpustakaan yang berlokasi di tingkat kota.

    2.2. Pengertian Fasilitas

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2002: 314), pengertian

    fasilitas adalah sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi.

    Sedangkan menurut Moenir (2001: 119) menyatakan bahwa “Fasilitas

    adalah segala jenis peralatan, perlengkapan kerja dan pelayanan yang berfungsi

    sebagai alat utama/pembantu dalam melaksanakan pekerjaan, dan juga sosial

    dalam rangka kepentingan orang-orang yang sedang berhubungan dengan

    organisasi kerja itu atau segala sesuatu yang digunakan, dipakai, ditempati, dan

    dinikmati oleh orang pengguna.”

    2.3. Pengertian Pelayanan

    Menurut Munir (1995: 26-27), pelayanan adalah usaha untuk memenuhi

    suatu kepentingan yang seringkali tidak dapat dilakukan sendiri sehingga

  • membutuhkan orang lain. Perbuatan yang dilakukan atas permintaan ini apa yang

    kemudian disebut pelayanan. Sedangkan pelayanan umum adalah kegiatan yang

    dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material

    melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi

    kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.

    Menurut Gronroos menjelaskan tentang pelayanan adalah suatu aktivitas

    atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang

    terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau

    hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang

    dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan (Gronroos

    2014: 2)

    Menurut Yusup menjelaskan tentang tugas perpustakaan adalah untuk

    melayani kebutuhan informasi bagi segenap anggota yang terlibat dalam

    organisasi tersebut. Contoh di sini adalah seluruh anggota perguruan tinggi dan

    sekolah mereka membutuhkan informasi tertentu. Karena tugas intinya seperti itu

    maka perpustakaan dianggap sebagai lembaga pelayanan (Yusup, 2009: 329).

    2.4. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Disabilitas

    Menurut Safrudin Aziz, Layanan informasi pada perpustakaan bagi

    pemustaka disabilitas akan berjalan lancar manakala didukung oleh ketersediaan

    fasilitas yang memadai ( Safrudin Aziz, 2014: 75).

    Menurut IFLA (http://archive.ifla.org.), secara umum perpustakaan harus

    memerhatikan akses fisik. Pemenuhan akses tersebut berdampak positif bagi

    pemustaka disabilitas. Mereka sangat terbantu adanya akses fisik tersebut.

    Kebutuhan layanan dapat terpenuhi sinergitas antara pengelola perpustakaan

    dengan pemustaka sebagai pengguna berjalan baik. Adapun akses fisik yang perlu

    disediakan pengelola perpustakaan meliputi:

    Pertama, lingkungan dan seluruh area perpustakaan (termasuk tempat

    parkir) diupayakan dapat dengan mudah dilalui atau dilewati masyarakat yang

    hendak berkunjung ke perpustakaan. Seperti pengunjung yang menggunakan kursi

    roda, alat bantu jalan, atau alat bantu mobilitas lainnya. Pemustaka disabilitas

    tersebut perlu dibantu dalam menjangkau ruang-ruang perpustakaan secara

  • mandiri karena akses jalan yang mendukung. Demikian juga orang yang

    mengalami gangguan penglihatan serta orang yang berjalan dengan tongkat atau

    anjing pemandu bisa bergerak di sekitar perpustakaan. Bagi pemustaka tuna rungu

    diupayakan dapat berkomunikasi dengan petugas perpustakaan. Untuk

    menghindari salah pengertian, jangan sampai terjadi petugas perpustakaan tidak

    memahami maksud pengunjung perpustakaan. Akses fisik ini perlu juga

    memperhatikan pemustaka dengan intelektual yang terbatas (penurunan nilai),

    supaya mereka mudah mendapatkan dan menemukan buku-buku dan bahan lain

    sesuai yang diperlukan.

    Kedua, pintu masuk yakni revolving pintu dibuat atau diupayakan

    memudahkan pemustaka yang mengunakan kursi roda melewati pintu tersebut.

    Sebaiknya pintu yang disediakan bisa terbuka secara otomatis. Penempatan

    tombol lift disesuaikan pada ketinggian tertentu seukuran orang yang mengunakan

    kursi roda. Ketika orang yang menggunakan kursi roda melalui pintu tersebut

    tentu membutuhkan waktu. Untuk itu pintu otomatis hendaknya diprogram agar

    terbuka cukup lama. Pada bagian pos pemeriksaan sebaiknya dibuat cukup lebar

    sehingga bisa dilalui oleh kursi roda secara nyaman. Penggunaan Glassdoors

    hendaknya diberi tanda pada bagian tengah sehingga pemustaka yang memiliki

    gangguan penglihatan tidak berjalan menabrak pintu tersebut.

    Ketiga, ruang perpustakaan Pengelola perpustakaan dalam mengatur ruang

    perpustakaan hendaknya memperhatikan pemustaka disabilitas. Artinya, ruang

    perpustakaan hendaknya diatur sedemikian rupa serta diberi tanda-tanda yang

    jelas sehingga pemustaka disabilitas yang menggunakan kursi roda bisa

    mengakses informasi secara leluasa. Ketika harus mengunakan kursi roda untuk

    mencari buku-buku menelusuri lorong antara rak-rak buku memungkinkan kursi

    roda melewatinya dengan nyaman.

    Keempat, kamar kecil Bagian yang menunjang kenyamanan perpustakaan

    yang tidak boleh kita sepelekan adalah kamar kecil atau toilet. Bagi pemustaka

    yang berkunjung ke perpustakaan mungkin perlu waktu lama dalam mencari

    informasi yang dibutuhkan. Tentu mereka perlu ke toilet. Setiap perpustakaan

    usahakan memiliki setidaknya satu toilet disesuaikan untuk pemustaka disabilitas.

  • Khususnya yang menggunakan kursi roda berarti toilet yang dibuat ukurannya

    cukup besar sehingga kursi roda bisa masuk dan bergerak dengan nyaman.

    Kelima, meja sirkulasi. Penempatan meja sirkulasi sebaiknya dekat dengan

    pintu masuk. Penempatan yang tepat meja sirkulasi hendaknya disesuaikan

    dengan pemustaka disabilitas sehingga pustakawan dapat berkomunikasi dengan

    pemustaka yang sedang duduk di kursi roda. Apabila perpustakaan memiliki

    stasiun swalayan sirkulasi usahakan petugas yang melayani pengunjung

    khususnya penyandang disabilitas dalam memberikan penjelasan secara sederhana

    dan memungkinkan pemustaka disabilitas untuk tetap duduk di kursi roda.

    Keenam, children department Pengelola perpustakaan sebaiknya

    menyiapkan ruang khusus bagi pemustaka anak-anak yang memiliki berbagai

    jenis gangguan, mereka seharusnya ditempatkan pada ruang layanan informasi

    secara khusus. Di tempat ini mereka bisa memilih buku, mendengarkan cerita,

    atau mengambil manfaat apa pun dari layanan dan program-program yang

    disediakan oleh pustakawan. Rak buku juga harus dapat diakses oleh tiap anak

    disabilitas. Pustakawan anak-anak harus memberikan pelayanan informasi kepada

    semua anak, baik normal maupun disabilitas. Hak-hak anak penyandang

    disabilitas terpenuhi dengan adanya ruang khusus ini.

    Ketujuh, ruang baca dan dengar bagi pemustaka disabilitas. Pemustaka

    dengan disabilitas membaca memerlukan perhatian khusus ketika mereka

    mendatangi perpustakaan. Oleh sebab itu, pustakawan seharusnya memahami

    bagaimana melayani mereka secara profesional. Misalnya, melalui sentuhan

    hangat bagi pemustaka tunanetra, cahaya dan lampu baca yang nyaman, dan

    sebagainya. Selanjutnya, perpustakaan harus memilih alat bantu pendukung bagi

    kegiatan belajar mereka di perpustakaan, seperti lensa pembesar, tape recorder,

    perangkat pembaca layar, keyboard braille, dan sebagainya.

    Kedelapan, penyediaan layanan komputer dan penggunaan meja komputer

    sebaiknya memperhatikan pemustaka yang menggunakan kursi roda. Komputer

    pada perpustakaan hendaknya dapat digunakan oleh setiap pemustaka disabilitas.

    Meja komputer sebaiknya disesuaikan dengan kondisi pemustaka yang

    menggunakan kursi roda. Apabila perpustakaan membutuhkan alat bantu atau

  • peralatan lain yang diperuntukkan bagi pemustaka disabilitas, sebaiknya meminta

    rekomendasi dari organisasi cacat nasional atau lokal sehingga terbantu dalam

    menyediakan alat sesuai fungsi yang dipergunakan bagi penyandang disabilitas,

    Pengelolaan perpustakaan yang baik bagi tidak hanya menekankan aspek fisik

    saja. Apabila aspek fisik sudah terpenuhi bagi pemustaka disabilitas. Maka yang

    perlu diperhatikan adalah pemberian layanan informasi dan komunikasi yang

    efektif antara pustakawan dengan pemustaka. Inti dari layanan ini adalah mereka

    saling memahami satu dengan yang lain. Petugas perpustakaan dapat membantu

    pemustaka secara maksimal dan pemustaka yang hendak menggunakan layanan

    perpustakaan terbantu dengan cepat. Hal ini akan memberikan kesan baik bagi

    pemustaka disabilitas karena merasa diterima dan dihargai ketika mengunjungi

    perpustakaan. Kesan positif yang muncul bagi pemustaka disabilitas karena

    merasa dibutuhkan dan nyaman menggunakan jasa perpustakaan. Di kemudian

    hari ada keinginan datang ke perpustakaan lagi bahkan dapat memberikan ajakan

    kepada penyandang disabilitas lainnya untuk ke perpustakaan. Komunikasi yang

    baik ini menjadikan sarana promosi perpustakaan menarik sebanyak mungkin

    pemustaka disabilitas untuk berkunjung ke perpustakaan.

    Keberhasilan proses pembelajaran di lingkungan sekolah dan perguruan

    tinggi tidak luput dari tersedianya perpustakaan. Perpustakaan yang dapat

    melayani kebutuhan pengguna pelajar atau mahasiswa tentu sangat dibutuhkan.

    Peran perpustakaan dalam menunjang keberhasilan studi tak terabaikan lagi.

    Penyediaan layanan informasi perpustakaan dalam mendukung proses

    pembelajaran tentunya tidak lepas dari pengembangan lingkungan belajar dalam

    hal ini perpustakaan secara terpadu. Pengembangan lingkungan secara terpadu

    dimaksudkan dengan lingkungan yang mempunyai prinsip-prinsip umum dan

    prinsip-prinsip khusus (Bandi Delphie, 2006: 46).

    Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan proses pelayanan

    informasi kepada pemustaka menggunakan prinsip-prinsip umum yang harus

    diperhatikan misalnya: tidak terlepas dari prinsip motivasi, konteks, keterarahan,

    hubungan sosial, individualisasi, menemukan, dan prinsip pemecahan masalah.

  • Hal-hal tersebut menjadikan pustakawan dengan pemustaka disabilitas dapat

    menjalin komunikasi dengan harmonis.

    Sementara itu prinsip-prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik

    khusus dari setiap pemustaka disabilitas. Pustakawan harus memperhatikan

    pemustaka yang memiliki hambatan tertentu. Melalui pendekatan khusus sesuai

    keterbatasan pemustaka. Misalnya, untuk anak dengan hambatan visual

    diperlukan prinsip kekonkretan, pengalaman yang menyatu, dan belajar sambil

    melakukan aktivitas meraba buku huruf Braille & mendengarkan audio.

    Hal yang berbeda perlu dilakukan pustakawan dalam melayani pengunjung

    dengan kesulitan berbicara dan mendengar. Perlu diperhatikan untuk anak yang

    mengalami kesulitan mendengar dan berbicara diperlukan prinsip-prinsip

    keterarahwajahan. Selain itu khusus anak yang mengalami kesulitan dalam

    mengatasi masalah emosinya diperlukan prinsip-prinsip memenuhi kebutuhan dan

    mendorong keaktifan, kebebasan yang mengarah, kekeluargaan, setia kawan dan

    idola, perlindungan, minat dan kemampuan, disiplin dan kasih sayang. Bagi anak

    yang mengalami kesulitan berpikir disebabkan adanya hambatan perkembangan

    fungsionalnya, prinsip pelayanan yang diberikan, antara lain melalui model

    pengulangan, pemberian contoh dan arahan, ketekunan, kasih sayang, pemecahan

    materi menjadi beberapa bagian kecil atau task analysis (Bandi Delphie, 2006:

    47).

    Upaya yang dilakukan pustakawan dalam memberikan layanan informasi

    diharapkan berdampak baik sesuai apa yang dibutuhkan pemustaka. Selanjutnya

    dalam upaya mendapatkan layanan informasi secara optimal dan layanan belajar

    yang efektif di perpustakaan, pemustaka disabilitas diharapkan atau dituntut:

    Pertama, melalui seperangkat informasi dan pengetahuan yang telah

    diperolehnya, mereka diharapkan mampu melakukan kegiatan belajar dan

    menggali sumber-sumber informasi secara mandiri melalui kemampuan dirinya

    dalam menggunakan persepsi, pendengaran, penglihatan, perabaan, kinestetik,

    fine motor, dan gross motor.

    Kedua, melalui informasi yang diperoleh setidaknya mereka memiliki

    seperangkat pengetahuan yang akan menciptakan kematangan diri dan

  • kematangan sosial. Misalnya, pemustaka disabilitas dapat berinisiatif, dapat

    memanfaatkan waktu luangnya, tekun serta menaruh perhatian terhadap

    lingkungannya.

    Ketiga, seperangkat informasi dan pengetahuan yang telah diperolehnya

    diharapkan mampu menjadikan individu yang bertanggung jawab secara pribadi

    dan sosial. Misalnya, dapat berhubungan dengan orang lain, dapat berperan serta,

    dapat melakukan suatu peran tertentu di lingkungan kehidupannya.

    Keempat, memiliki kematangan untuk melakukan penyesuaian diri dan

    penyesuaian terhadap lingkungan sosial, seperti mampu berkomunikasi dengan

    orang lain melalui kematangan berbahasa. Berikut akan dikaji tentang fasilitas dan

    layanan perpustakaan yang berkaitan dengan karakteristik ketunaannya.

    2.4.1. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Tunanetra

    Salah satu keterbatasan fisik yang dialami seseotang adalah tunanetra.

    Pemustaka disabilitas tunanetra tentu memiliki keterbatasan dalam membaca

    informasi. Secara teori pengertian tunanetra adalah sebuah jenis kelainan pada

    indra (sensori) seseorang, yakni pada indra penglihatan. Tunanetra secara umum

    ditunjukkan pada seseorang yang memiliki kelainan penglihatan dari tingkatan

    ringan sampai berat atau buta total.

    Pemustaka tunanetra berarti mengalami gangguan penglihatan dan memiliki

    keterbatasan pada individu tersebut untuk melihat suatu objek yang terdapat di

    sekitarnya. Penyandang tunanetra tidak dapat mengontrol lingkungan dalam

    hubungannya dengan alam sekitar. Maka dari itu, ketidakmampuan melihat secara

    normal mengakibatkan seseorang tunanetra harus memperoleh pendidikan dan

    mengakses informasi secara khusus, baik pada aspek layanan maupun sarana

    penunjang lainnya. Dengan demikian, diharapkan pemustaka tunanetra mampu

    memperoleh informasi secara luas dan optimal yang berdampak pada peningkatan

    prestasi belajar layaknya pemustaka normal pada umumnya.

    Salah satu panca indra manusia yang penting adalah mata. Mata berfungsi

    untuk menuntun orang untuk bergerak dan memperoleh informasi. Dengan

    membaca informasi yang diterima akan lebih mudah dicerna. Terlebih bagi

  • pemustaka baik normal ataupun pemustaka tunanetra informasi di perpustakaan

    diperoleh dengan membaca guna mendapat informasi yang diinginkan.

    Mata sebagai indra penglihatan merupakan pemadu segala rangsang yang

    diterima individu (Heri Purwanto, 1998: 50). Fungsi indra pemadu ini secara

    mekanis kedudukannya tidak dapat tergantikan oleh indra yang lain. Namun, tidak

    berfungsinya indra penglihatan akan cenderung memfungsikan indra pendengaran

    dan perabaan secara intensif. Kondisi demikian tentunya akan membawa

    konsekuensi pada layanan dan penyediaan akses informasi di perpustakaan. Maka

    dari itu, pengelolaan akses informasi ini sebaiknya ramah bagi pemustaka

    tunanetra.

    Pendapat umum sering menyatakan keterbatasan penglihatan (tunanetra)

    memiliki intelegensi yang kurang dibanding orang dengan penglihatan normal.

    Asumsi tersebut kemungkinan karena alasan tidak bisa memperoleh informasi,

    tidak bisa membaca dan melihat segala sesuatu di sekitarnya. Hal demikian

    dianggap penyandang tunanetra memiliki intelegensi rendah.

    Padahal pendapat tersebut tidaklah benar, penyandang tunanetra pada

    hakikatnya tidak secara otomatis memiliki inteligensi rendah dan tidak berprestasi

    akademik maupun non akademik. Kondisi inteligensi tunanetra tidak berbeda

    dengan orang normal pada umumnya. Berbagai sumber juga menyatakan bahwa

    tidak ada hubungan antara IQ dan ketunanetraan. Akan tetapi, sangat disayangkan

    bahwa salah satu sumber informasi bagi masyarakat yang berfungsi melayani

    publik seperti perpustakaan masih terlihat belum memfasilitasi secara lengkap

    bagi pemustaka tunanetra untuk mengakses informasi secara khusus. Pengelola

    perpustakaan sebaiknya memperhatikan dan mencermati persoalan ini karena

    bagaimanapun juga pemustaka tunannetra harus dilayani dengan maksimal

    sebagai pelayan publik.

    Begitu pula dengan koleksi dan layanan yang disediakan secara khusus oleh

    pustakawan masih minim disediakan. Bahkan, menurut penelitian pusat studi dan

    layanan disabilitas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2010 yang melibatkan

    mahasiswa disabilitas sebagai partisipan dari 11 perguruan tinggi di Yogyakarta

    menyatakan bahwa hambatan yang dialami para mahasiswa disabilitas salah

  • satunya adalah belum tersedianya bahan ajar dan buku teks yang bisa diakses

    mahasiswa disabilitas, seperti buku Braille, buku audio, ataupun buku digital

    (Safrudin Aziz, 2014: 80)

    Perihal di atas jelas sangat merugikan pemustaka tunanetra karena

    pengetahuan dan akses informasi yang mereka dapatkan sangatlah sedikit. Untuk

    mengantisipasi hal tersebut, perlu disediakan fasilitas dan layanan secara khusus

    bagi pemustaka tunanetra. Fasilitas penunjang proses penelusuran informasi dan

    belajar untuk pemustaka tunanetra secara umum sama dengan pemustaka normal,

    hanya memerlukan penyesuaian untuk informasi yang memungkinkan tidak dapat

    dilihat, harus disampaikan dengan media perabaan atau pendengaran.

    Sebagai lembaga pelayanan publik (sekolah, perguruan tinggi) ketika

    hendak merancang dan membangun perpustakaan hendaknya memperhatikan

    aspek fisik bangunan dan area sekitar perpustakaan yang memudahkan pemustaka

    tunanetra. Perlu dihindari atau dibuat sedikit mungkin kanal, parit, saluran air

    yang menyulitkan penyandang tunanetra ketika memasuki perpustakaan.

    Demikian juga pemasangan keramik variasi tinggi rendah lantai tidak terlalu

    banyak. Keramik untuk lantai yang dipasang hindari yang mempunyai sudut

    lancip dan keras. Pemilihan mebelair untuk perabot perpustakaan sedapat

    mungkin menggunakan sudut yang tumpul.

    Menurut Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw (1995) fasilitas

    penunjang yang diperlukan untuk anak tunanetra adalah braille dan peralatan

    orientasi mobilitas, serta media pembelajaran yang memungkinkan anak untuk

    memanfaatkan fungsi perabaan dengan optimal. Adanya fasilitas tersebut sangat

    membantu anak tunanetra dalam mendapat informasi dan memudahkan proses

    belajar.

    Fasilitas penunjang berupa huruf braille merupakan fasilitas utama

    penyelenggaraan pendidikan bagi pemustaka tunanetra. Munculnya huruf braille

    ditemukan pertama kali oleh Louis Braille. Ia menyusun tulisan yang terdiri dari

    enam titik dijajarkan vertikal tiga-tiga. Dengan menempatkan titik tersebut dalam

    berbagai posisi, terbentuklah seluruh abjad. Dengan menggunakan tulisan

    tersebut, akan mempermudah para tunanetra membaca dan menulis. Untuk

  • membaca, titik timbul positif yang dibaca. Cara membaca seperti pada umumnya,

    yaitu dari kiri ke kanan. Sementara untuk menulis, prinsip kerjanya berbeda

    dengan membaca. Cara menulis huruf braille tidak seperti umumnya, yaitu mulai

    dari kanan ke kiri, biasanya sering disebut dengan menulis secara negatif. Jadi,

    menulis braille secara negatif akan menghasilkan tulisan timbul positif dan yang

    dibaca adalah tulisan timbulnya.

    Ada tiga cara untuk menulis braille, yaitu dengan (1) reglet dan pen atau

    stilus, (2) mesik tik braille, dan (3) komputer yang dilengkapi dengan printer

    braille. Media yang digunakan berupa kertas tebal yang tahan lama (manila, atau

    yang lain). Kertas standar untuk braille adalah kertas braillon. Untuk mendukung

    pembelajaran anak tunanetra, buku-buku pelajaran seyogianya dialihtuliskan ke

    huruf braille dan disimpan dengan rapi secara berdiri tidak ditumpuk. Berikut

    alfabet huruf braille.

    Gambar 2.1 Braille

    Fasilitas penunjang lainya yaitu peralatan orientasi mobilitas dan media

    pembelajaran yang memungkinkan untuk memanfaatkan fungsi perabaan dengan

    optimal. Peralatan penunjang seperti tongkat putih merupakan fasilitas pendukung

    bagi pemustaka tunanetra untuk orientasi dan mobilitas. Dengan tongkat putih,

    anak tunanetra berjalan untuk mengenali lingkungan perpustakaan. Alat tersebut

    menuntun pemustaka tunanetra menelusuri ruang-ruang di perpustakaan dalam

    mencari informasi sumber bahan belajar. Berbagai media alat bantu mobilitas

    selain tongkat putih dapat berupa, kacamata elektronik, tongkat elektronik.

    Berikut gambar tongkat putih untuk penyandang tunanetra.

  • Gambar 2.2 Tongkat Elektronik

    Selain itu pemustaka tunanetra dapat mengikuti program latihan orientasi

    dan mobilitas di perpustakaan. Pelatihan ini meliputi: jalan dengan pendamping

    orang normal, jalan mandiri, dan latihan bantu diri, seperti latihan di kamar mandi

    dan WC, latihan orientasi di perpustakaan, dan sebagainya. Program orientasi di

    atas membantu dalam proses adaptasi lingkungan dan membiasakan pemustaka

    tunannetra berjalan di area perpustakaan. Setelah terbiasa pemustaka tunanetra

    mampu berjalan sendiri mencari informasi yang dibutuhkan.

    Kedua, laser cane (tongkat laser). Tongkat laser adalah tongkat penuntun

    berjalan yang menggunakan sinar infra merah untuk mendeteksi rintangan yang

    ada pada jalan yang akan dilalui dengan memberi tanda lisan (suara). Melalui alat

    ini pemustaka tunanetra terbantu ketika memasuki perpustakaan bila dijumpai ada

    rintangan atau penghalang di depannya. Tongkat laser yang dibawa memberi

    tanda melalui suara. Berikut gambar tongkat laser.

    Gambar 2.3 Tongkat Laser

    Pihak pengelola perpustakaan dalam mendukung lingkungan belajar yang

    kondusif bagi pemustaka tunanetra pada prinsipnya sama dengan pengelolaan

    perpustakaan dan lingkungan belajar orang-orang non berkebutuhan khusus.

    Meskipun begitu, tidak semua sarana dan alat yang tersedia di perpustakaan dapat

  • digunakan oleh pemustaka tunanetra. Dengan kata lain, terdapat hal-hal khusus

    yang tidak menjadi kebutuhan orang pada umumnya, tetapi menjadi kebutuhan

    pemustaka tunanetra. Oleh sebab itu, perpustakaan dan lingkungan belajar yang

    pro disabilitas seharusnya dikelola dengan strategi khusus untuk pemustaka

    tunanetra.

    Strategi khusus yang dapat diterapkan pengelola perpustakaan agar di setiap

    ruang perpustakaan berbagai sarana dan prasarana seperti tempat duduk, meja,

    rak-rak buku, sesebaiknya perlu diberi tanda yang dapat diraba oleh pemustaka

    tunanetra. Tanda ini dapat berupa tulisan huruf braille ataupun tanda-tanda

    tertentu, misalnya gambar timbul yang tertempel pada berbagai sarana dan

    fasilitas perpustakaan. Tanda-tanda tersebut sangat membantu pemustaka

    tunanetra dalam mencari informasi dan berjalan di area perpustakaan.

    Pengelola perpustakaan dalam merancang dan mengatur ruangan hendaknya

    memerhatikan keleluasaan gerak pada pemustaka tunanetra agar tidak

    mengganggu mobilitas mereka. Ruangan hendaknya tidak terlalu sempit dan jarak

    antara rak satu dengan rak lainnya dapat dilalui oleh dua orang atau lebih.

    Pengaturan ini membantu pemustaka tunannetra nyaman bilamana mencari buku-

    buku sebagai bahan informasi pembelajaran.

    Layanan berbasis teknologi diperlukan bagi pemustaka tunanetra untuk

    mengaksesinformasi. Layanan perpustakaan bagi tunanetra yang mempunyai

    keterbatasan penglihatan memerlukan berbagai alat yang dapat membantu

    pemustaka tunanetra untuk dapat mengakses informasi. Berbagai alat bantu yang

    telah dikembangkan oleh berbagai pihak yang menaruh minat pada teknologi

    layanan bagi tunanetra. Telah menghasilkan alat-alat yang bersifat manual,

    mekanis, sampai alat elektronik yang canggih.

    Peralatan atau fasilitas lain yang digunakan pemustaka tunanetra untuk

    dapat membantu mengakses informasi di perpustakaan sebagai berikut.

    a. Komputer dengan Program JAWS

    Komputer yang memudahkan pemustaka tunanetra mengakses informasi

    dari internet maupun ketika mengetik adalah komputer yang memiliki aplikasi

    screen reader yang disebut JAWS (Job Acces With Speech). Cara kerja aplikasi

  • screen reader, yaitu komputer menerangkan tampilan yang ada pada layar monitor

    (screen) dengan suara. Mulai dari menu program yang tersedia, sampai

    menginformasikan di mana letak kursor dan menerangkan tulisan apa saja yang

    terbaca pada screen (membaca kata per kata maupun huruf demi huruf).

    Suara yang dihasilkan oleh JAWS terkesan seperti robot yang berlogat

    Barat. Kecepatannya pun dapat diatur, dipercepat maupun diperlambat. Program

    JAWS dapat juga mentranslate kata dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Pem-

    braille-annya pun menggunakan dua program, yaitu Duxbury dan MBC. Duxbury

    merupakan program dari luar negeri, sedangkan MBC (Mitra Netra Braille

    Conventer) berasal dari Indonesia.

    Persamaan dari keduanya adalah dapat mengubah tulisan Braille ke tulisan

    awas maupun sebaliknya. Namun, proses ini memiliki kelemahan, yaitu file yang

    disimpan formatnya akan berubah dan simbol-simbol khusus (misal arab dan

    matematika) tidak dapat dikonversikan langsung. Berikut gambar komputer bicara

    dan keyboard khusus bagi pemustaka tunanetra.

    Gambar 2.4 Komputer dengan Program JAWS

  • Gambar 2.5 Keyboard dengan Program JAWS

    b. Printer Braille (Impact Printer)

    Gambar 2.6 Printer Braille (Impact Printer)

    Printer ini memiliki cara kerja yang mirip dengan printer dot matrix. Proses

    pencetakan dilakukan dengan cara pengetukan pada kertas sehingga printer ini

    lebih bersuara jika dibandingkan dengan printer tinta. Printer braille terdiri dari

    dua tipe, yaitu Comet dan Bmillo Norway (tipe 200 dan 400). Perbedaan dari dua

    tipe ini terletak pada hasil cetakannya. Printer Comet hanya dapat mencetak dari

    dua sisi (satu muka), sedangkan Braillo Norway dapat mencetak dua sisi (bolak-

    balik).

    c. Open Book Scanner

    Open book scanner memiliki cara kerja yang hampir sama dengan scanner

    biasa. Hanya saja Open book scanner ini masih dapat membaca tulisan walaupun

    dengan kertas yang terbalik (atas bawah). Hal ini memudahkan tunanetra untuk

    meletakkan kertas di scanner tanpa harus khawatir tulisan tidak dapat terbaca

    karena terbalik. Namun, Open Book Scaner ini memiliki kelemahan, yaitu tidak

    dapat membaca tabel secara horisontal.

  • d. Buku Bicara (Digital Talking Book)

    Buku bicara pada dasarnya memiliki cara kerja yang hampir sama dengan

    buku bicara dalam bentuk compact disk (CD). Hanya saja, pengoperasian kaset

    bicara harus menggunakan radio tape. Berikut gambar digital talking book bagi

    pemustaka tunanetra.

    Gambar 2.7 Buku Bicara (Digital Talking Book)

    e. DAISY Player (Digital Ascesible System Player).

    DAISY Player digunakan untuk mempermudah pemustaka tunanetra untuk

    memperoleh informasi dari buku tertentu yang telah diubah menjadi bentuk suara.

    Kecepatan dan volume suara dapat diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan.

    Buku bicara yang digunakan untuk DAISY player ini berupa compact disk.

    f. Termoform

    Merupakan mesin pengganda bacaan pemustaka tunanetra dengan

    penggunakan kertas khusus, yaitu braillon.

    g. Telesensory

    Suatu alat yang digunakan untuk memperbesar huruf awas agar terbaca oleh

    penderita tunanetra low vision.

    Selain fasilitas khusus di atas, fasilitas lain yang perlu disediakan dapat

    berupa fasilitas koleksi multimedia, seperti VCD, DVD, tape recorder, dan

    sebagainya yang terlayankan secara khusus dengan dilengkapi kaset atau rekaman

    berbagai informasi yang bermanfaat bagi peningkatan pengetahuan dan informasi

    mereka sehingga SDM pemustaka tunanetra senantiasa berkembang dan

    meningkat dengan lebih baik.

  • Hal yang perlu dipikirkan tidak hanya fasilitas dan koleksi berhuruf braille

    saja yang harus diperhatikan oleh pengelola perpustakaan dalam memberikan

    layanan kepada pemustaka tunanetra. Ruang lingkup lain yang harus diperhatikan

    oleh perpustakaan, yaitu akses dan gedung. Akses tersebut dapat berupa suatu

    ruangan khusus yang didesain dengan kenyamanan yang sesuai dengan psikologis

    para pemustaka tunanetra. Sentuhan aspek psikologis dari pengelola perpustakan

    kepada pemustaka tunanetra, membuat mereka nyaman dan senang berlama-lama

    di perpustakan.

    Desain ruangan perpustakaan yang nyaman menunjang aspek psikologis

    bagi pengguna, pemustaka tunanetra dapat merasakan bahwa lingkungan dalam

    ruangan tersebut mempunyai fungsi yang dirasakan sebagai rumah tinggal pribadi

    maupun sebagai tempat untuk mengakses informasi.

    Selanjutnya, pemustaka tunanetra di perpustakaan hendaknya juga

    mendapatkan layanan pendidikan dan pendampingan secara khusus, seperti

    latihan orientasi dan mobilitas, yakni jalan dengan pendamping awas, latihan jalan

    mandiri di perpustakaan, serta penguasaan latihan bantu menuju tempat-tempat

    yang ada di perpustakaan sehingga mampu mandiri dalam memperoleh informasi

    di perpustakaan.

    Perlu diperhatikan dalam proses pemberian layanan terhadap pemustaka

    tunanetra, seorang pustakawan harus memahami ciri khusus atau karakter dari

    pemustaka tunanetra yang biasanya memiliki karakteristik sosial, seperti

    cenderung bersikap curiga terhadap orang lain, memiliki perasaan yang mudah

    tersinggung, ketergantungan kepada orang lain secara berlebihan. Pustakawan

    dalam melayani pemustaka tunanetra hendaknya menerapkan prinsip-prinsip

    layanan dengan baik. Dengan mengetahui karakteristik yang terdapat dalam diri

    seorang pemustaka tunanetra, hal ini dapat menjadi salah satu tolok ukur dalam

    menyediakan pelayanan yang layak untuk dilayankan kepada mereka. Pendekatan

    sesuai karakteristik pemustaka tunanetra menimbulkan hubungan timbal balik

    yang harmonis. Sebagai insan manusia seorang pustakawan memanusiakan

    pemustaka tunanetra, sebaliknya pemustaka tunanetra merasa dihargai dan

    dimanusiakan.

  • Aqila Smart (2012: 83-87) menjelaskan mengenai prinsip-prinsip pelayanan

    yang meliputi: Prinsip layanan secara individual yang berarti setiap pustakawan

    harus memperhatikan perbedaan tingkat ketunanetraan pemustaka sebagai

    pengguna perpustakaan yang harus dilayani. Pemustaka juga harus

    memperhatikan aspek usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan serta latar

    belakang sosial budaya setiap pemustaka tunannetra yang harus dilayani.

    Prinsip pengalaman pengindraan artinya pemustaka tunanetra dikondisikan

    supaya mendapat pengalaman secara nyata (langsung) dari apa yang

    dilakukannya. Dengan kata lain, pemustaka tunanetra harus melakukan observasi

    langsung terhadap ruang dan segala sarana yang tersedia serta koleksi

    perpustakaan. Pustakawan dalam hal ini harus mampu membimbing dan

    memperkenalkan kondisi perpustakaan, lokasi rak buku, lokasi layanan, dan

    sebagainya.

    Prinsip totalitas artinya pemustaka tunanetra yang memiliki keterbatasan

    dalam hal indra penglihatan tersebut harus dapat melibatkan keseluruhan indra

    yang masih berfungsi untuk mendapatkan informasi secara utuh serta mengetahui

    letak sarana prasarana dan koleksi yang ada.

    Prinsip aktivitas mandiri (self activity) berarti pemustaka tunanetra perlu

    diberikan kebebasan untuk mengalami sendiri dalam menelusur sekaligus

    menemukan informasi. Pustakawan dalam hal ini berperan sebagai fasilitator dan

    motivator, information specialist serta pembimbing terhadap pemustaka tunanetra

    dalam membantu pemustaka untuk belajar menemukan sebuah informasi.

    Aktivitas menelusur dan menemukan informasi secara mandiri ini membantu

    pemustaka tunanetra mengenali apa yang selama ini pemustaka normal lainnya

    alami.

    Pustakawan sebagai information specialist bagi pemustaka tunanetra

    memiliki tanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. Pustakawan dalam

    menjalankan tugasnya harus memperhatikan hal berikut ini. Pertama, memahami

    dengan baik informasi yang dibutuhkan untuk mereka. Kedua, harus dapat

    memahami dan kemudian mengevaluasi sumber-sumber informasi tersebut.

    Ketiga, pustakawan harus menjadi promotor yang menentukan dalam organisasi

  • untuk pengadaan materi informasi perpustakaan, indeksnya, dan aktivitas lain

    (Safrudin Aziz, 2010: 11).

    Tugas dan tanggung jawab pustakawan di atas berkembang lebih luas

    seiring dengan peran fungsinya sebagai tenaga kependidikan profesional dan

    tenaga fungsional yang memerlukan seperangkat kompetensi, yakni dengan tugas

    membimbing, khususnya melalui penyediaan dan penelusuran informasi. Hal ini

    dinyatakan dalam UU No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

    Membimbing dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai kegiatan menuntun

    pemustaka (misalnya: user education) dan memandu dengan kemampuan

    memberikan nasihat dan arahan yang tepat kepada pemustaka dalam memilih

    informasi yang sesuai dengan kebutuhan informasi. Pengelola perpustakaan

    dituntut menyediakan lingkungan yang kondusif dan menjaga suasana tenang.

    Sehingga mendukung pemustaka memperoleh hasil maksimal dalam proses

    pembelajaran. Pustakawan diharapkan membantu kebutuhan dan kesulitan yang

    dihadapai pemustaka ketika mencari informasi yang dibutuhkan. Oleh karenanya,

    dalam menuntun dan memandu tersebut, hendaknya sesuai dengan kaidah yang

    baik dan mengarahkan mereka sesuai dengan kebutuhan informasi yang

    diperlukan, termasuk dalam membantu memecahkan persoalan yang dihadapi

    pemustaka terkait dengan tidak diketemukannya informasi atau koleksi yang

    diperlukan.

    Selain bimbingan informasi, pustakawan juga diharapkan mampu

    memberikan konseling secara khusus melalui pendekatan psikologi guna

    membentuk persepsi positif tentang ketunanetraannya. Pustakawan diharapkan

    pula mengembalikan harga diri dengan merehabilitasi kompetensi yang pernah

    dimilikinya atau membentuk kompetensi baru untuk mengkompetensikan

    ketunanetraannya agar individu tersebut dapat memiliki self-efficacy (rasa

    memiliki kemampuan yang terukur). Tugas lainnya adalah bagaimana dapat

    menumbuhkan dan mengembangkan kemandirian. Sehingga pemustaka tunanetra

    dapat mengarungi kehidupan dan membangun kehidupan yang bermakna, baik

    bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Selanjutnya, pustakawan dalam

    penyediaan layanan bimbingan juga harus mampu berperan tidak hanya sebagai

  • teacher library, tetapi juga menjadi konselor dalam membangun kesadaran dan

    kemampuan diri untuk mandiri.

    Hal tersebut dapat dilakukan oleh pengelola dan penangungjawab

    perpustakaan, misalnya dengan memberikan keleluasaan kepada pemustaka

    tunanetra untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang selintas tampak terlalu sulit

    baginya sebagai seorang tunanetra. Misalnya, mengoperasikan peralatan

    komputer, bepergian sendiri dengan tongkat di lingkungan perpustakaan yang

    sudah ataupun belum dikenalnya dan sebagainya. Pemustaka tunanetra harus

    memahami bahwa dia dapat belajar melakukan kegiatan-kegiatan tersebut atau

    kegiatan-kegiatan lain yang penuh tantangan secara kompeten, dengan ataupun

    tanpa penglihatan, bila dia menggunakan teknik yang tepat.

    2.4.2. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunagrahita

    Setiap manusia yang dilahirkan di bumi dari lahir sampai tua membutuhkan

    pendidikan dan informasi. Melalui pendidikan dan informasi yang diperoleh taraf

    kehidupannya dapat meningkat serta mendukung tercapainya tujuan hidup yang

    dicita-citakan. Demikian juga seperti manusia pada umumnya, penyandang

    tunagrahita pada hakikatnya membutuhkan pendidikan dan informasi. Melalui

    pendidikan dan informasi yang memadai penyandang tunagrahita dapat

    bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh individu

    tersebut.

    Penyandang tunagrahita layak dan perlu mendapatkan pendidikan dan

    layanan informasi sebagaimana manusia lainnya. Landasan yang mendasari

    pemikiran tersebut adalah, mereka pada prinsipnya bisa dididik maupun mendidik

    dirinya sendiri dalam hal-hal yang sederhana. Misalnya, pada anak tunagrahita

    ringan bisa melakukan makan dan minum, sedangkan tunagrahita berat dapat

    dididik dengan mengaktualisasikan potensi yang mereka miliki, seperti pekerjaan

    menggulung benang, mengamplas, dan sebagainya. Hal tersebut mengisyaratkan

    bahwa pemustaka tunagrahita apabila diberikan layanan informasi dan pendidikan

    yang baik, mereka akan dapat mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya guna

    memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri dan kreatif.

  • Kedua, landasan nilai agama dan nilai peri kemanusiaan. Artinya, mengakui

    bahwa setiap insan wajib bertakwa kepada Tuhan YME dan memiliki hak yang

    sama dalam memperoleh pendidikan serta informasi apa pun yang mendukung

    perkembangan intelektualnya.

    Ketiga, landasan sosial ekonomi, yakni apabila penyandang tunagrahita

    memperoleh pengetahuan dan informasi yang luas, mereka dapat

    mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya guna memenuhi kebutuhan

    hidupnya. Pada akhirnya dapat berproduksi dan tidak menjadi manusia konsumtif

    semata (E. Rochyadi, tt: 31).

    Fasilitas belajar di perpustakaan untuk pemustaka tunagrahita pada dasarnya

    relatif sama dengan pemustaka non disabilitas. Begitu pula dengan sistem layanan

    informasi yang disediakan tidaklah terpisah dan berbeda dengan layanan bagi

    pemustaka normal pada umumnya. Namun, bobot dan jenis layanan disesuaikan

    dengan berat dan ringannya kelainan pemustaka tunagrahita. Makin ringan

    kelainan yang disandangnya, makin sedikit pula layanan informasi yang

    diberikannya. Sebaliknya, makin berat kelainannya makin banyak pula layanan

    yang harus diberikan.

    Selain itu, perbedaan individual dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan

    informasi harus didasarkan pada karakteristik dan kebutuhan setiap pemustaka.

    Namun, dalam pemberian layanan bagi penyandang tunagrahita tidak boleh

    dimanjakan atau sebaliknya dibiarkan. Artinya, berikan pelayanan informasi

    secara wajar agar mereka dapat berkembang optimal dan mendidik tidak

    bergantung terus-menerus pada orang lain. Menumbuhkan kepercayaan diri dan

    nilai diri yang tinggi yang akan membantu mereka menghadapi kehidupan

    normal.

    Berdasarkan pernyataan di atas, pihak pengelola perpustakaan sebaiknya

    memperhatikan dengan cermat jenis layanan informasi untuk pemustaka

    tunagrahita. Mereka perlu mendapat perhatian sesuai dengan kebutuhan. Beberapa

    hal yang perlu diperhatikan dalam menyediakan layanan informasi bagi

    pemustaka tunagrahita sebagai berikut.

  • 2.4.2.1. Tempat dan Sistem Layanan

    Tempat pelayanan informasi bagi pemustaka tunagrahita dapat lakukan pada

    tempat secara khusus atau pada tempat layanan umum. Tempat atau ruang khusus

    diperuntukkan bagi pemustaka tunagrahita yang tidak mampu belajar sendiri dan

    menggunakan sumber-sumber informasi tanpa bantuan pendamping. Ruang

    layanan khusus lebih tepatnya diperuntukkan bagi pemustaka tunagrahita sedang.

    Bagi pemustaka tunagrahita ringan, jenis layanan informasi bisa dilakukan

    pada layanan umum sebagaimana pemustaka lainnya. Artinya, ia diberikan

    kebebasan untuk mengakses informasi secara mandiri, tanpa harus selalu

    mendapatkan pendampingan pustakawan.

    2.4.2.2. Ciri Khas Layanan

    Pemustaka tunagrahita walaupun mengalami hambatan intelektual, akan

    dapat mengaktualisasikan potensinya jika mendapatkan layanan informasi secara

    optimal dengan pelayanan khusus. Hal yang paling penting dalam memberikan

    layanan informasi bagi pemustaka tunagrahita adalah pustakawan hendaknya

    mampu memunculkan harga diri sehingga mereka tetap tampil percaya diri dan

    merasa diakui oleh masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai harapan tersebut,

    seorang pustakawan harus mampu melayani dengan menggunakan bahasa yang

    sederhana, tidak berbelit-belit, jelas, dan menggunakan kata-kata yang sering

    didengar oleh mereka.

    Berikutnya, prinsip keperagaan juga dapat digunakan dalam melayani

    sebuah informasi untuk anak tunagrahita. Mengingat mereka memiliki

    keterbatasan dalam berpikir yang sulit dan abstrak. Oleh karenanya, pustakawan

    dalam memberikan informasi ataupun menunjukkan prosedur menelusur

    informasi dan berbagai jenis transaksi perpustakaan perlu diperagakan. Dengan

    jenis layanan yang diperagakan tersebut, anak tunagrahita diharapkan lebih jelas

    dan dapat menerima petunjuk dengan baik.

    Pustakawan juga harus memperhatikan ciri khusus dalam memberikan

    layanan informasi bagi pemustaka tunagrahita. Ketika bertugas melayani mereka

    lakukan dengan cara berulang-ulang sampai mengerti benar informasi tersebut.

    Penjelasan disertai contoh-contoh nyata. Hal ini dikarenakan mereka biasanya

  • sering lupa terhadap informasi yang sudah diterimanya. Misalnya, pengulangan

    dalam menunjukkan letak koleksi.

    2.4.3. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunarungu

    Fasilitas penunjang bagi pemustaka tunarungu secara umum relatif sama

    dengan pemustaka normal, seperti buku pelajaran, novel ataupun media internet

    dan sebagainya. Namun, karena anak tunarungu mempunyai hambatan dalam

    mendengar dan bicara, mereka memerlukan alat bantu khusus. Alat bantu khusus

    tersebut, antara lain menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996)

    adalah audiometer, hearing aids, telephone-typewriter, mikro komputer,

    audiovisual, tape recorder, spatel, cermin.

    2.4.3.1. Audiometer

    Audiometer adalah alat elektronik untuk mengukur taraf kehilangan

    pendengaran seseorang. Alat ini berfungsi untuk mengetahui kondisi pendengaran

    pemustaka tunarungu. Pustakawan dapat menggunakan alat ini dalam

    memberikan layanan kepada pemustaka tunarungu. Fungsi dan manfaat dari

    audiometer adalah untuk mengetahui kondisi pemustaka tunarungu yang meliputi:

    - Apakah sisa pendengarannya difungsionalkan melalui konduksi tulang atau

    konduksi udara.

    - Berapa desibel anak tersebut kehilangan pendengarannya.

    - Telinga mana yang mengalami kehilangan pendengaran, apakah telinga kiri,

    telinga kanan, atau kedua-duanya.

    -Pada frekuensi berapa pemustaka masih dapat menerima suara.

    Setelah mengetahui fungsi dan manfaat audiometer, sebaiknya pihak

    pengelola perpustakaan meyediakan alat ini berdasarkan jenisnya. Ada dua jenis

    audiometer, yaitu audiometer oktaf dan audiometer kontinu. Audiometer okraf

    untuk mengukur frekuensi pendengaran: 125 – 250 – 500 – 1000 – 2000 – 4000 –

    8000 Hz. Audiometer kontinu mengukur pendengaran antara 125 – 12000 Hz.

    Tersedianya audiometer secara lengkap tentu akan membantu tugas pustakawan

    dalam melayani pemustaka tunarungu sesuai kondisi pendengarannya.

  • 2.4.3.2. HearingAids

    Hearing aids, adalah alat bantu dengar yang mempunyai tiga unsur utama.

    Unsur-unsur tesebut terdiri dari microphone, amplifier, dan reciever. Alat ini

    mempunyai prinsip kerja sebagai berikut: suara (energi akustik) diterima

    microphone, kemudian diubah menjadi energi listrik dan dikeraskan melalui

    amplifier, kemudian diteruskan ke reciever (telepon) yang mengubah kembali

    energi listrik menjadi suara seperti alat pendengaran pada telepon dan diarahkan

    ke gendang telinga (membrana tympany).

    Penggunaan alat bantu dengar cukup bervariasi ada yang diselipkan di

    belakang telinga, di dalam telinga, dipakai pada saku kemeja (pocket), atau yang

    dipasang pada bingkai kaca mata. Dengan menggunakan alat bantu dengar

    (hearingaids), penyandang tunarungu dapat berlatih mendengarkan, baik secara

    individual maupun secara kelompok.

    Alat bantu tersebut lebih tepat digunakan bagi tunarungu yang mempunyai

    kelainan pendengaran konduktif. Pemustaka tunarungu yang menggunakan alat

    bantu dengar diharapkan mampu memilih suara-suara mana yang diperlukan.

    Dengan bantuan mimik dan gerak bibir dari pustakawan (speech therapist),

    pemustaka tunarungu dapat berlatih menangkap arti dari apa yang diucapkan oleh

    pustakawan atau orang lain.

    2.4.3.3. Mikrokomputer

    Mikrokomputer merupakan alat bantu khusus yang dapat memberikan

    informasi secara visual. Alat bantu ini sangat membantu bagi penyandang

    tunarungu yang mengalami kelainan pendengaran berat. Keefektifan penggunaan

    mikrokomputer tergantung pada software dan materinya harus dapat dimengerti

    oleh penyandang tunarungu. Di samping itu, penyandang tunarungu harus bisa

    membaca atau paling tidak mampu mengintepretasikan simbol-simbol yang

    digunakan. Manfaat penggunaan mikrokomputer bagi pemustaka tunarungu antara

    lain:

    - Pemustaka tunarungu dapat belajar mandiri secara bebas dan bertanggung

    jawab.

  • - Pemustaka tunarungu belajar membuat program dan mendemonstrasikan hasil

    karyanya.

    - Pemustaka tunarungu dapat mengembangkan kreativitas berpikir dengan

    menggunakan mikrokomputer.

    - Pemustaka tunarungu dapat berkomunikasi interaktif dengan informasi yang

    ada dalam program mikrokomputer.

    2.4.3.4. Audiovisual

    Alat bantu audiovisual dapat berupa film, video-tape, TV. Penggunaan

    audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi pemustaka tunarungu. Sebab mereka

    dapat memerhatikan sesuatu yang ditampilkan sekalipun dalam kemampuan

    mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film pendidikan, film

    ilmiah populer, film kartun, dan siaran berita TV dengan bahasa isyarat pada

    institusi perpustakaan.

    Seorang pustakawan profesional hendaknya tidak membedakan antara

    pemustaka normal dan pemustaka berkriteria tunarungu. Pada saat memberikan

    pelayanan informasi kepada pemustaka tunarungu, seorang pustakawan harus

    memerhatikan model komunikasi yang dilakukan. Model ini tentunya berbeda

    ketika melayani pemustaka normal pada umumnya. Misalnya, melayani dengan

    model berkomunikasi isyarat atau ejaan jari, ungkapan badaniah meliputi:

    keseluruhan ekspresi badan, seperti sikap badan, ekspresi muka (mimik),

    pantomimic, dan gesti yang dilakukan orang secara wajar dan alamiah. Ungkapan

    badaniah tidak dapat digolongkan sebagai suatu bahasa dalam arti sesungguhnya,

    walaupun lambang atau isyaratnya dapat berfungsi sebagai media komunikasi.

    Bahasa isyarat lokal, yaitu suatu ungkapan manual dalam bentuk isyarat

    konvensional berfungsi sebagai pengganti kata. Bahasa isyarat lokal berkembang

    di antara para tunarungu melalui konvensi (kesepakatan). Bahasa isyarat formal

    adalah bahasa nasional dalam isyarat yang biasanya menggunakan kosakata

    isyarat dan dengan struktur bahasa yang sama persis dengan bahasa lisan.

    Selain itu, sarana penunjang dalam berkomunikasi pemustaka tunarungu

    dengan pustakawan dengan ejaan jari. Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat

    yang dipergunakan pemustaka tunarungu dengan menggunakan ejaan jari. Ejaan

  • jari secara garis besar dapat dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu (1) ejaan jari

    dengan satu tangan (onehanded), (2) ejaan jari dengan kedua tangan (twobanded),

    dan (3) ejaan jari campuran dengan menggunakan satu tangan atau dua tangan.

    Bentuk komunikasi lain yang dapat dipergunakan antara pustakawan dengan

    pemustaka tunarungu adalah dengan mengunakan komunikasi total. Komunikasi

    total merupakan cara berkomunikasi dengan menggunakan salah satu modus atau

    semua cara komunikasi. Cara ini meliputi penggunaan sistem isyarat, ejaan jari,

    bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar dan menulis.

    Cara lainnya yaitu dengan memanfaatkan sisa pendengaran pemustaka tunarungu

    sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Pustakawan dalam memberikan layanan

    kepada pemustaka tunarungu menggunakan cara komunikasi total hendaknya

    melakukan dengan pelan dan lugas. Sebaiknya dilakukan dengan berhadapan dan

    usahakan tidak terlalu jauh jaraknya dengan pemustaka tunarungu.

    Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pustakawan dalam memberikan

    layanan kepada pemustaka tunarungu menyadari bahwa penyandang tunarungu

    memiliki kecenderungan pendiam dan sulit diajak bicara. Meskipun demikian,

    kesulitan berbicara bukan berarti mereka tidak mampu berkomunikasi. Pihak

    pengelola perpustakaan hendaknya melatih dan menyiapkan seorang pustakawan

    yang memiliki kcmampuan berkomunikasi dengan baik dan santun sehingga

    mengetahui keinginan dan kebutuhan informasi yang diperlukan pemustaka

    tunarungu.

    Ketika pustakawan cenderung diam dalam melayani pemustaka tunarungu

    dan menunjukkan respon tidak antusias dalam memberikan layanan kepada

    pemustaka tunarungu. Bagi mereka perpustakaan sama saja seperti ruang

    terisolasi. Pemustaka tunarungu merasa tidak dihargai dan dilayani dengan baik.

    Tujuan dari perpustakaan untuk melayani publik gagal dan pemustaka tuna rungu

    yang bermaksud mencari informasi di perpustakaan tidak mencapai hasil yang

    diharapkan. Pemasalahan demikian perlu dihindari, untuk itu pustakawan dengan

    pemustaka tunarungu ataupun tunawicara tetap dapat menjalin komunikasi.

    Namun model dan pola yang diterapkan dalam berkomunikasi tidak melalui

    bahasa lisan dan suara tetapi menggunakan tatapan penuh kasih sayang serta

  • sapaan melalui bahasa isyarat. Model komunikasi tersebut merupakan salah satu

    bahasa yang cukup efektif untuk menyampaikan kepada mereka betapa seorang

    pustakawan sangat peduli dan memberikan apresiasi kepada mereka.

    Pustakawan juga harus memahami begitu sensitif pemustaka tunarungu

    dalam hal emosi. Pemustaka tunarungu kurang memiliki pemahaman akan bahasa

    lisan sehingga dalam berkomunikasi sering kali menimbulkan hal-hal yang tidak

    diinginkan seperti terjadi kesalahpahaman. Penyebab persoalan tersebut adalah

    komunikasi yang tidak dimengerti orang lain dan anak tunarungu pun sukar

    memahami orang lain. Bila pengalaman demikian terus berlanjut akan

    menimbulkan tekanan pada emosi. Yang berdampak menghambat perkembangan

    kepribadian dengan menampilkan sikap-sikap negatif seperti menutup diri,

    bertindak secara agresif atau sebaliknya, menampakkan kebimbangan dan keragu-

    raguan.

    Sikap pustakawan dalam hal ini adalah berusaha untuk dapat memahami

    kehendak dan kebutuhan informasi apa yang diperlukan oleh pemustaka

    tunarungu. Di samping itu, jadikan pemustaka tunarungu sebagai teman, sahabat

    dalam institusi perpustakaan atau menjadikan mereka sebagai sebuah keluarga

    yang saling membutuhkan satu sama lain. Pada akhirnya mereka senantiasa

    merasa nyaman dan mendapat persamaan hak dalam memperoleh informasi.

    Sikap familier pustakawan terhadap pemustaka tunarungu juga mampu

    menghilangkan perasaan rendah diri mereka sehingga pemustaka tunarungu

    memiliki perasaan yang sama dengan pemustaka normal lainnya. Sikap seperti ini

    juga membangkitkan setiap pemustaka tunarungu tidak merasa diasingkan, tidak

    memiliki perasaan dicurigai, dan sebagainya. Mereka menjadi percaya diri dan

    mampu mngembangkan diri secara maksimal dengan memanfaatkan sarana dan

    informasi yang tersedia di perpustakaan, pada gilirannya mereka mampu hidup

    mandiri dalam menghadapi tantangan hidup.

    2.4.4 Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunadaksa

    Pustakawan dalam menjalankan tugasnya tidaklah ringan setiap hari

    menghadapi pemustaka yang beraneka ragam. Khususnya yang memiliki

  • keterbatasan tertentu, selain pemustaka yang telah disebutkan di atas, pustakawan

    juga akan menghadapi pemustaka tunadaksa.

    Pemustaka tunadaksa memiliki penyimpangan dalam penglihatan dan

    gangguan ketajaman pendengaran. Masalah lain yang dihadapi oleh pemustaka

    tunadaksa diantaranya kelainan bicara yang terdiri dari: dysarthria (gangguan

    bicara pada bagian artikulasinya akibat lemahnya pengontrolan gerak), delayed

    speech (gangguan bicara karena keterbelakangan mental dan disfungsinya otak),

    voice disorder (gangguan pita suara), stuttering (gagap), serta aphasia (gangguan

    bahasa verbal). Sementara gangguan lain yang bersifat psikologis dari pemustaka

    tunadaksa adalah gangguan persepsi. Persepsi yang dimaksud menurut beberapa

    referensi mencakup pendengaran (auditory), penglihatan (visual), sentuhan

    (tactile), serta kepekaan modalitas yang lain.

    Memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi fisik dan psikologi

    pemustaka tunadaksa, pustakawan sebaiknya dalam memberikan layanan kepada

    pemustaka tunadaksa perlu perhatian khusus atau ekstra. Pustakawan harus

    mampu melayani dengan empati serta ketulusan. Sikap ini dapat diterapkan

    dengan memerhatikan mereka melalui tatapan mata, mendengarkan keluhan dan

    kebutuhan informasi yang diperlukan serta berusaha memahami apa yang

    diharapkannya. Jangan sampai pemustaka tunadaksa memiliki persepsi bahwa

    pustakawan mempersepsikan dirinya sebagai manusia yang tidak berguna,

    manusia cacat, dan merepotkan. Akibat dari persepsi tersebut mengakibatkan

    kondisi pemustaka tunadaksa enggan mempergunakan jasa perpustakaan, benci

    terhadap informasi, bahkan menganggap pustakawan sebagai orang yang enggan

    melayani dirinya. Oleh karena itu, pustakawan dalam hal ini harus mampu

    menjadi figur dan partner bagi mereka, senantiasa bersikap terbuka, tersenyum,

    dan pandai mengambil hatinya melalui komunikasi yang hangat dan

    menyejukkan.

    Demi menunjang hasil maksimal dalam memberikan layanan informasi

    kepada pemustaka tunadaksa. Mereka juga mampu berkembang dalam pemikiran

    dan kemandirian ada baiknya dilakukan kerja sama yang baik antara pustakawan

    dan peran orang tua. Artinya, sikap dan reaksi positif senantiasa dicurahkan

  • sehingga pemustaka tunadaksa mampu bersikap dan berprasangka positif terhadap

    lingkungan dan terhadap kecacatannya. Dengan demikian, pada hakikatnya

    layanan informasi untuk pemustaka tunadaksa bukan saja sebatas memerhatikan

    kondisi fisiknya yang berkelainan, melainkan juga masalah sosial dan psikologis

    pun harus turut diperhatikan.

    2.4.5. Fasilitas dan Layanan Informasi bagi Pemustaka Tunalaras

    Pustakawan yang melayani pemustaka yang memiliki keterbatasan tertentu

    harus cermat dan pandai menggunakan pendekatan tertentu. Supaya tugas

    melayani publik khususnya memberikan layanan informasi berhasil. Layanan lain

    yang harus dilakukan pemustaka adalah melayani pemustaka tunalaras.

    Pemustaka tunalaras dilihat pada aspek perkembangan memiliki kepribadian

    antara lain: mereka kurang percaya diri, sering menunjukkan sikap curiga pada

    orang lain, selalu dihinggapi perasaan rendah diri atau sebaliknya, selalu

    menunjukkan permusuhan terhadap orang lain, suka melawan otoritas, suka

    mengisolasi diri, kecemasan atau ketakutan yang berlebihan, tidak memiliki

    ketenangan jiwa, beberapa di antaranya hiperaktif dan sering kali melakukan

    bentrokan atau perkelahian (Mohammad Efendi, 2006: 156).

    Mencermati perkembangan kepribadian pemustaka tunalaras di atas, tugas

    pustakawan adalah memberikan bimbingan untuk memotivasi mereka betapa

    pentingnya informasi dan pengetahuan bagi kehidupan mereka. Melalui informasi

    yang dipahami dan dikuasai oleh pemustaka tunalaras diolah menjadi sebuah

    pengetahuan. Dengan bekal pengetahuan tersebut pemustaka tunalaras akan

    memiliki kepercayaan diri dalam bergaul dan beradaptasi dengan lingkungannya.

    Mereka juga memiliki sikap lebih terbuka dan memahami pentingnya mengikuti

    norma-norma dan peraturan untuk ditaati serta diikuti.

    Bimbingan terhadap pemustaka tunalaras dapat dilakukan melalui

    pendekatan religius yang bersifat teknis aplikatif. Dengan harapan, mereka

    memiliki ketenangan jiwa dan dapat mengendalikan perilaku yang bersifat

    negatif. Sementara pada aspek perkembangan sosial, penyandang tunalaras

    mengalami kesulitan dalam melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau

    lingkungannya. Hal ini bukan berarti mereka sama sekali tidak memiliki

  • kemampuan untuk membina hubungan sosial dengan semua orang. Dalam banyak

    kejadian, mereka ternyata dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan

    teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang kompak dan

    akrab serta membangun keterikatan antara yang satu dengan lainnya.

    Ketidakmampuan penyandang tunalaras dalam melakukan interaksi sosial

    yang baik dengan lingkungan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman yang

    tidak/ kurang menyenangkan. Artinya, ketika ia memasuki tahapan perkembangan

    baru, penyandang tunalaras sebaiknya dihadapkan pada tantangan yang timbul

    dari lingkungannya agar egonya menyesuaikan diri.

    Pendekatan yang dapat dilakukan pustakawan dalam memberikan layanan

    informasi kepada pemustaka tunalaras seyogyanya memperhatikan aspek

    perkembangan sosial mereka. Pustakawan harus mampu menciptakan lingkungan

    perpustakaan yang kondusif dan bersifat kekeluargaan. Sikap ini dapat

    dikembangkan melalui sapaan yang hangat, mengajak mereka berinteraksi dengan

    petugas perpustakaan, menyediakan ruangan hiburan secara khusus, seperti

    ruangan multimedia dengan menyediakan film pendidikan, sejarah dunia, dan

    sebagainya. Pustakawan bersama pemustaka tunalaras menikmati tontonan

    bersama, selanjutnya ulasan pelajaran dan hikmah tayangan film tersebut

    disampaikan secara komunikatif guna membangkitkan semangat mereka.

    Seringkali pemustaka tunalaras memiliki penilaian yang keliru, baik

    terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosial. Mereka menganggap

    dirinya tidak berguna bagi orang lain dan merasa bahwa orang lain tidak peduli

    dengan dirinya. Anggapan demikian menjadikan pemustaka tunalaras mengalami

    kesulitan apabila hendak menjalin hubungan dengan orang lain.Untuk

    menghindari hal demikian pustakawan usahakan melakukan pendekatan secara

    pribadi dan mencoba menunjukkan rasa sayang kepada mereka. Bila upaya ini

    berhasil rasa percaya diri mereka tumbuh. Secara sosial pemustaka tunalaras

    merasa senang karena karena merasa diperhatikan dan dianggap oleh orang lain.

    Dengan begitu pemustaka tunalaras akan mampu dan berupaya berinteraksi sosial

    dengan pihak lain. Diharapkan pemustaka tunalaras menemukan citra diri yang

    positif sebagai bekal menghadapi kehidupan.

  • Berdasarkan pengamatan biasanya pengendalian emosi penyandang

    tunalaras memiliki emosi yang tidak stabil atau naik turun berdasarkan suasana

    hati. Ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara tepat dan pengendalian diri

    yang rendah, mengakibatkan mereka sering kali menjadi sangat emosional. Emosi

    yang tidak stabil ini berdampak penyandang tunalaras tidak mampu berinteraksi

    dengan lingkungan. Padahal, lingkungan merupakan bagian penting untuk

    mengekspresikan emosi tersebut.

    Pustakawan perlu menyadari bahwa penyandang tunalaras kurang mampu

    untuk belajar mengelola dengan baik setiap emosi yang dirasakan dan dihayati.

    Penyandang tunalaras juga memiliki kehidupan emosi yang monoton atau kurang

    bervariasi. Mereka pun memiliki keterbatasan dan kepekaan yang kurang dalam

    memahami, mengerti, menghayati bagaimana perasaan orang lain.

    Penyandang tunalaras kurang mampu mengendalikan emosinya dengan baik

    sehingga sering kali terjadi peledakan emosi. Ketidakstabilan emosi ini

    menimbulkan penyimpangan tingkah laku, seperti mudah marah, mudah

    tersinggung, kurang mampu memahami perasaan orang lain, berperilaku agresif,

    menarik diri, dan sebagainya (Sutjihati Somantri, 2006: 152).

    Berdasarkan penjelasan di atas demi menunjang keberhasilan tugas

    melayani pemustaka tunalaras dalam mencari informasi di perpustakaan. Hal

    yang dapat dilakukan yaitu. Pustakawan berupaya bersahabat dengan pemustaka

    tunalaras. Bila diperlukan pustakawan dapat menyediakan hadiah kejutan yang

    bermanfaat bagi mereka. Melalui hadiah tersebut, mereka secara bertahap akan

    menerima pustakawan sebagai teman bahkan sahabat.

    Pustakawan perlu menyadari bahwa langkah tersebut sebagai tahap

    pengendalian emosi dan pembentukan kepribadian. Setelah pustakawan diterima

    dan dianggap sebagi teman oleh pemustaka tunalaras, langkah berikutnya berikan

    nila-nilai positif. Melalui penanaman nilai-nilai positif tersebut pemustaka

    tunalaras mulai terbangun kepribadian dan kemandiriannya. Sikap manja dan

    selalu tergantung pada bantuan orang lain dapat diubah melalui memberikan

    kepercayaan dari yang sederhana hingga mengikuti aturan-aturan di perpustakaan.

    Misalnya, menelusur informasi secara bebas dan mandiri sesuai dengan kesukaan

  • pemustaka, memberikan tanggung jawab terhadap koleksi yang dipinjam, dan

    sebagainya.