bab ii. tinjauan pustaka - tugas ii pempem
TRANSCRIPT
Bab II.
Tinjauan Pustaka
2.1. Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
2.1.1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Pemerintah-Swasta
Dalam sepuluh tahun terakhir di Indonesia pelaksanaan otonomi daerah paska 1999, telah
mengubah wajah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Transformasi politik telah mengubah secara
radikal bagaimana pemerintah daerah menjalankan fungsinya. Pemerintah kabupaten dan kota yang
pada masa Orde Baru terjepit dalam kesempitan wewenang otonomi yang tersentralisasi, melalui 2
Undang-undang Otonomi Daerah, mendapatkan keleluasaan bertindak. Mereka mendapatkan
kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kecuali bidang politik luar negeri,
hankam, peradilan, moneter dan fiscal serta agama. Banyak studi dilakukan untuk menakar hasil
pelaksanaan otonomi daerah yang menggambarkan kegagalan (bad practice) maupun keberhasilan
(good practice) penyelenggaraan otonomi daerah.
Kegagalan (bad practice) yang paling menonjol dapat ditelisik dari banyaknya pemerintah
kabupaten dan kota yang memungut pajak dan retribusi tanpa mempertimbangkan implikasinya
terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kinerja birokrasi yang masih kurang baik,
kinerja lembaga legeslatif kurang memuaskan, penegakan hukum yang kedodoran, penanggulangan
kemiskinan yang tidak optimal serta proses demokratisasi yang kurang berkembang, merupakan
kegagalan yang banyak menodai semangat otonomi daerah. Studi tentang kegagalan birokrasi karena
ketidakmampuan birokrasi menterjemahkan secara konkret terhadap visi kepemimpinan bupati, telah
banyak ditulis. Studi semacam ini menemukan bahwa birokrasi daerah lebih banyak menghabiskan
ketimbang menghasilkan. Sekitra 60% hingga 70% anggaran daerah (APBD) dibelanjakan oleh birokrasi.
Studi ini juga mengungkap sikap birokrasi yang lebih sibuk berpikir tentang kesejahteraan sendiri
ketimbang berpikir tentang pelayanan publik.
Namun, masih ada yang terlewat dari pengamatan para ahli pemerintah daerah, yaitu tidak ada
studi yang berusaha memetakan dan memahami bagaimana upaya pemerintah lokal untuk memajukan
daerahnya dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Studi yang telah dilakukan oleh
Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (2001) di 13 kabupaten/kota memperlihatkan peningkatan
pertisipasi warga dan pengembangan transparansi serta akuntabilitas publik. Meskipun studi ini sangat
4
bermanfaat dalam menerangkan proses demokratisasi loka, studi ini tidak memberi cukup sinyal tentang
bagaimana transpransi dan akuntabilitas publik yang meningkat tersebut mampu menarik sektor privat
untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi lokal.
Kegagalan sejumlah kebijakan pemerintah di Indonesia pada decade 1980-an dan 1990-an menjadi
sumber utama ketidakpercayaan pada kapabilitas pemerintah untuk dapat memenuhi tujuannya dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan sosial. Selain ini pemerintah juga mengabaikan ketergantungan
pemerintah terhadap lingkungannya dan terhadap aktor lain, dan cenderung menjadi aktor tunggal.
Kemunculan konsep governance merupakan suatu jawaban akan kelemahan tersebut. Governance
merupakan suatu jawaban akan kelemahan tersebut. Governance sendiri berarti merupakan suatu
consensus untuk menjembatani perbedaan kepentingan dan membangun sinergi antar-stakeholder
dalam suatu negara, wilayah, atau daerah/lokal (Pratikno dalam Priyatno Harsastro, 2009). Maka dari itu
actor negara, privat, dan masyarakat bekerja dalam jejaring yang relevan, dan peran negara tidak lagi
bersifat regulative tetapi hanya sebagai fasilitator. Dalam konteks inilah disadari bahwa governance
hanya bisa dibangun dengan melibatkan actor non-negara yang seluas-luasnya dan membatasi peran
negara. Pertanyaan yang perlu dijelaskan lebih lanjut adalah “bagaimana pemerintah kota menggalang
consensus dan sinergi dengan sektor privat dalam pengembangan potensi lokal?”
Kemitraan dalam konteks pembangunan adalah kerjasama antara pemerintah (daerah) dengan
swasta dan/atau masarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Kemitraan antara
pemerintah dengan swasta dimaksudkan untuk melakukan desain, perencanaan, pembiayaan,
pembangunan dan/atau pengelolaan proyek pada ranah public service.
Praktek kemitraan antara pemerintah dan swasta sering juga disebut dengan Kerjasama
Pemerintah-Swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (PPPs). Hal yang melandasi dilakukan KPS
antara lain karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah dalam pelaksanaan
pembangunan dan pelayanan publik sementara tuntutan masyarakat terhadap kualitas dan kuatnitas
pelayanan publik semakin meningkat, memerlukan peningkatan partisipasi dunia usaha/swasta serta
masyarakat dalam pembangunan daerah dan pelayanan publik, dan percepatan pembangunan di
daerah.
Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) adalah sebuah cara untuk menjelaskan inisiasi pemerintah
atau sebuah skema yang mengikut sertakan penggunaan keuangan privat/swasta untuk memfasilitasi
provisi sebuah pelayanan pulik dan/atau penyelenggaraan aset-aset infrastruktur sosial. KPS telah
digunakan dalam penyelenggaraan aset-aset infrastruktur dalam sektor pendidikan, transportasi,
pertahanan, dan kesehatan.
5
Sudah menjadi wacana umum bahwa pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan
daya saing global sesuai dengan struktur ruang nasional (RTRWN) memerlukan biaya besar yang tak
mungkin bertumpu pada kapasitas fiskal Pemerintah. Untuk itu perlu kerja sama antara Pemerintah
dengan pihak swasta maupun bersama masyarakat.
Pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia relatif masih sangat rendah. Sebelum krisis
lalu (1998), rata-rata pembiayaan infrastruktur baru mencapai 2,2% terhadap GDP, kemudian meningkat
menjadi 5-6% terhadap GDP. Berdasarkan kebutuhan RPJP. total kebutuhan dana bagi pembangunan
infrastruktur sebesar Rp 1400 triliun, sementara kemampuan Pemerintah maksimal hanya Rp 452 triliun
sehingga masih ada kekurangan sekitar Rp 948 triliun. Dari mana kekurangan dana ini bisa diperoleh ?
Diharapkan peran swasta dan masyarakat mampu mengisi kekurangan dana sebesar Rp 948 triliun
tersebut.
Untuk itu Pemerintah mengeluarkan peraturan bagi terwujudnya kerja sama Pemerintah dengan pihak
swasta, yaitu :
1. Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur;
2. Perpres No. 42/2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur
(KKPPI); dan
3. Perpres No. 36/2005 jo Perpres No. 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
2.1.2. Pendekatan dan Pengertian Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
Pendekatan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) sudah banyak dilakukan dalam membiayai
pembangunan infrastruktur di berbagai negara. Pada hakekatnya KPS dapat dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan spesifik proyek. Beberapa varian definisi KPS, antara lain, adalah (Bult-Spiering and
Dewulf, 2006) :
1. KPS sebagai reformasi manajemen ketika fungsi pemerintahan dan birokrasi mengalami
perubahan dan pencerahan dari interaksinya dengan manajemen profesional yang biasanya
dimiliki oleh sektor swasta.
2. KPS adalah kerjasama yang melembaga dari sektor publik dan sektor swasta yang bekerja
bersama untuk mencapai target tertentu ketika kedua belah pihak menerima risiko investasi
atas dasar embagian keuntungan dan biaya yang dipikulnya.
6
3. KPS adalah kerjasama antara pemerintah dan swasta yang menghasilkan produk atau jasa
dengan risiko, biaya, dan keuntungan ditanggung bersama berdasarkan nilai tambah yang
diciptakannya.
4. KPS merupakan alat untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kualitas produk-produk
dan pelayanan publik. Tujuan bersama yang hendak dicapai dengan menggunakan skema KPS
ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya,
meningkatkan kualitas produk-produk dan pelayanan publik, dan adanya pembagian modal,
risiko, dan kompetensi atau keahlian sumber daya manusia secara bersama-sama.
Di lain pihak konsep KPS tidak hanya dapat dipandang dari sisi public dan privat sector saja, akan
tetapi merupakan triangle synergy antara government, business, dan communities. Seperti penjelasan
yang terdapat pada laporan United Nations Development Program (2004), United Nations Economic
Commission for Europe (2008), dan Asian Development Bank (2008), para pihak KPS yang dapat
dikategorikan menjadi 3 unsur, yaitu:
1. Negara; berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif.
2. Swasta; mendorong terciptanya lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat.
3. Masyarakat; mewadahi interaksi sosial politik, memobilisasi kelompok dalam masyarakat untuk
berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sosial dan politik.
Pada dasarnya kerja sama antara pemerintah dan swasta tersebut terkait dengan kerja sama
pengadaan investasi. Secara konvesional kerja sama selama ini dalam bentuk kontrak layanan (Sevice
Contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari Pemerintah), kemudian perlu
pengembangan yang lebih banyak peranan investasi dari pihak swasta mulai dari semacam kontrak
operasi dan pemliharaan (O&M Contract), BLT (Leasing), BOT/ROOT, BOOT (DBFO)/ROOT, BOO/ROO,
sampai dengan semua investasi dari swasta dalam bentuk privatization/divestiture.
7
Sumber : Perencanaankota.blogspot.com
Pengertian mengenai bentuk-bentuk pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta dalam skema
tersebut, secara prinsip, adalah :
1. Service Contract (Investasi Publik)
2. O&M (Operation and Maintenance) Contract
Pemerintah memberi wewenang kepada swasta dalam kegiatan operasional, perawatan, dan
kontrak pelayanan pada infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Pihak swasta membuat
suatu pelayanan dengan harga yang telah disetujui dan harus sesuai dengan performance
standard yang telah ditentukan oleh pemerintah. Contoh : pelayanan sektor air bersih
(distribusi, operasional, dan pemeliharaan pipa air), pendistribusian air, pembacaan meteran air,
penarikan dan pengumpulan tagihan, serta operasional dan perawatan pipa. Sedangkan contoh
dalam sampah adalah pengumpulan sampah, produksi dan distribusi kontainer sampah,
pelayanan pembersihan di jalan, perawatan kendaraan (truk-truk), dan pelaksanaan landfill atau
pelaksanaan transfer antar pos-pos pengumpul sampah.
3. BLT (Leasing)
Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara
suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara dengan menerima
pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko
komersial. Masa kontrak umumnya antara 5 -15 tahun. Contohnya adalah Leasing taman
hiburan, terminal udara, armada bis dan transportasi lain.
8
4. Build Operate Transfer (BOT)
Kontrak Bangun, Operasikan dan Transfer (Build, Operate and Transfer) digunakan untuk
melibatkan investasi swasta pada pembangunan konstruksi infrastruktur baru. Di bawah prinsip
BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas
atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-standar performance yang disusun oleh
pemerintah. Masa periode yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk
perusahaan swasta untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan guna membangun
konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20 tahun. Dalam hal
ini pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan pemerintah memiliki dua
peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut.
BOT merupakan cara yang baik untuk pembangunan infrastruktur baru dengan keterbatasan
dana pemerintah. Pemerintah menggunakan sistem BOT ini untuk fasilitas-fasilitas infrastruktur
yang lebih spesifik seperti penampungan supply air yang besar, air minum, WTP, tempat
pengumpulan sampah baik sementara maupun akhir pembuangan, serta tempat pengolahan
sampah.
Struktur Pembiayaan
Di dalam BOT, pihak swasta berperan untuk menyediakan modal untuk membangun fasilitas
baru. Pemerintah akan menyetujui untuk mengeluarkan tingkat produksi yang minimum untuk
memastikan bahwa operator swasta dapat menutupi biayanya selama pengoperasian.
Persyaratan ini menyatakan bahwa untuk mengantisipasi permintaan akan diperkirakan
meningkat sehingga akan menyebabkan permasalahan bagi rekan pemerintah jika permintaan
melewati perkiraan.
Keuntungan
BOT merupakan cara yang efektif untuk menarik modal swasta dalam pembangunan fasilitas
infrastruktur baru.
Perjanjian BOT akan dapat mengurangi pasar dan resikonya kecil untuk pihak swasta karena
pemerintah adalah penggunan tunggal, pengurangan resiko disini berhubungan dengan apabila
ada permasalahan tidak cukupnya permintaan dan permasalahan kemampuan membayar. Pihak
9
swasta akan menolak mekanisme BOT apabila pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa
investasi swasta akan kembali.
Model BOT ini telah digunakan banyak negara berkembang untuk membangun pembangkit
listrik baru.
5. Prinsip Konsesi
Dalam Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan penuh kepada
kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan pelayanan-pelayanan infrastruktur dalam
sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan
manajemennya. Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan
untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana
konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang
dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan
standar performance dan menjamin kepada konsesioner.
Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan (provider)
menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah yang harus
disediakan. Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada konsesioner untuk waktu
kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset infrastruktur akan menjadi milik
pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih dari 25 tahun. Lamanya tergantung pada
perjanjian kontrak dan waktu yang dibutuhkan oleh konsesioner swasta untuk menutup biaya
yang telah dikeluarkan.
Pada sektor persampahan, pemerintah memberikan suatu konsesi untuk membangun suatu
tempat daur ulang serta pengoperasiannya atau membangun suatu fasilitas yang dapat
mengubah sampaf menjadi sesuatu energi. Pada sektor air bersih, konsesi memiliki peran penuh
dalam pelayanan air pada suatu area tertentu. Cara konsesi telah banyak digunakan baik tingkat
kota maupun tingkat nasional.
Struktur Pembiayaan
Pihak swasta bertanggung jawab atas semua modal dan biaya operasi--termasuk pembangunan
infrastruktur, energi, material, dan perbaikan-perbaikan selama berlakunya kontrak. Pihak
swasta dapat berwenang untuk mengambil langsung tarif dari pengguna. Tarif yang berlaku
10
telah ditetapkan sebelumnya pada penjanjian kontrak konsesi, dimana adapun tarif ini ada
kemungkinan untuk berubah pada waktu-waktu tertentu. Pada beberapa kasus, pemerintah
dapat membantu pendanaan untuk menutup pengeluaran konsesioner dan hal ini merupakan
salah satu bentuk jaminan pemerintah namun hal ini sebaiknya dihindarkan.
6. Prinsip Join Venture
Kerja sama Joint venture merupakan kerja sama pemerintah dan swasta dimana tanggung jawab
dan kepemilikan ditanggung bersama dalam hal penyediaan pelayanan infrastruktur. Dalam
kerja sama ini masing-masing pihak mempunyai posisi yang seimbang dalam perusahaan. Kerja
sama ini bertujuan untuk memadukan keuggulan sektor swasta seperti modal, teknologi,
kemampuan manejemen, dengan keunggulan pemerintah yakni kewenangan dan kepercayaan
masyarakat. Perlu diperhatikan pemegang saham mayoritas dan minoritas karena hal ini
berkaitan dengan kekuasaan menjalankan perusahaan dan menentukan kebijaksanaan
perusahaan karena prinsip kerja sama ini satu saham satu suara. Di bawah joint venture,
pemerintah dan swasta dapat membentuk perusahaan baru atau menggunakan perusahaan
penyedia infrastruktur yang ada (misal perusahaan pemerintah menjual sebagian modal kepada
swasta). Adapun perusahaan yang ada memiliki fungsi yang independen terhadap pemerintah.
Joint venture dapat digunakan secara kombinasi dari beberapa tipe kerja sama pemerintah dan
swasta yang lain. Misal, pemerintah membuka modal secara bersama, khususnya dalam hal
pelayanan, BOT, atau konsesi untuk penyediaan infrastruktur.
Kerja sama Joint venture merupakan suatu alternatif yang dapat dikatakan "benar-benar"
bentuk public-private partnership yaitu antara pemerintah, swasta, lembaga bukan pemerintah,
dan lembaga lainnya yang dapat menyumbangkan sumber daya mereka yang bisa saling "share"
dalam menyelesaikan masalah infrastruktur lokal. Di bawah joint venture pemerintah selain
memiliki peran sebagai pemberi aturan, juga berperan sebagai shareholder yang aktif dalam
menjalankan suatu perusahaan bersama.
Dibawah joint venture, pemerintah dan swasta harus bekerja sama dari tahap awal,
pembentukan lembaga, sampai pada pembangunan proyek.
Struktur Pembiayaan
11
Di bawah model kerja sama joint venture ini, pihak pemerintah dan swasta harus berkontribusi
dalam pembiayaan dari sejak awal, mulai dari pembiayaan studi kelayakan proyek sampai
mempersiapkan investasi pada perusahaan baru ketika telah terbentuk. Modal-bersama PPP ini
memerlukan kesepakatan sebelumnya untuk menanggung resiko dan membagi keuntungan
secara bersama-sama. Dengan kata lain, masing-masing harus memiliki kontribusi melalui
proyek pembangunan dan implementasinya. Secara optimal, perusahaan seharusnya membiayai
secara independen. Tapi bagaimanapun tidak menutup kemungkinan pemerintah memberikan
subsidi pada perusahaan atau pada penggunaanya namun hal ini dilakukan jika sangat
mendesak dan diusahakan agar dihindari.
7. Prinsip Community-Based Provision
CBP dapat terdiri dari perorangan, keluarga, atau perusahaan kecil. CBO memiliki peran utama
dalam mengorganisasikan penduduk miskin ke dalam kegiatan bersama dan kepentingan
mereka akan direpresentasikan dan dinegosiasikan dengan NGO dan pemerintah. NGO berperan
untuk menyediakan proses manajemen, menengahi negosisasi antara CBO dan lembaga yang
lebih besar lainnya dalam hal bentuk jaringan kerjasama, pemberian informasi ataupun
kebijasanaan.
Banyak permukiman-permukiman miskin atau menengah ke bawah memiliki pengaturan
sampah padat oleh komunitas setempat yaitu dilakukan dengan mengumpulkan dari pintu ke
pintu, di jalan dan tempat sampah pinggir jalan dan di pilih dan di daur ulang untuk di jual
kembali, hal tersebut banyak terjadi negara berkembang (Contoh Komunitas Bagus Rangin di
Kota Bandung mengumpulkan sampah dengan menggunakan CBP ini). Pada sektor air bersih,
CBP ini membeli air dalam jumlah besar dan menjualnya kepada komunitas mereka dalam
bentuk ember.
Struktur Pembiayaan
Community-based provision memiliki karakteristik khusus yaitu memerlukan biaya rendah dan
biaya tersebut dapat dikatakan sebagai "modal"-nya yang telah disediakan oleh penyedia
setempat beserta material mereka. Pengorganisasian dan biaya material biasanya disediakan
oleh NGO-NGO, sumbangan-sumbangan, asisten pengurus pembangunan, pemerintah atau oleh
komunitas tersebut. Biaya perawatan seharusnya didapat dari tarif pengguna atau pendapatan.
Pengetahuan setempat yang ada secara menyeluruh dapat mengikuti dengan pembangunan
12
yang ada setidaknya dapat memberikan salah satu solusi dari kebutuhan biaya dimana tetap
menjaga pengeluaran yang rendah.
8. Rehabilitate Operate Transfer (ROOT)
9. Build Own Operate Transfer (BOOT)
Swasta membangun, memilki, mengoperasikan, dan menyerahkan kepada pemerintah di akhir
kontrak.
10. Design Build Finance Operate (DBFO)
Swasta mendesain, membangun, membiayai, dan mengoperasikan.
11. Rehabilitate Own Operate Transfer (ROOT)
12. Build Own Operate (BOO)
Pihak swasta membangun, memiliki dan mengoperasikan fasilitas yang dikontrakkan
13. Rehabilitate Own Operate (ROO)
14. Privatisasi (Divestiture)
Perkembangan kerja sama antara Pemerintah dan swasta masih banyak kendala-kendala,
khususnya dalam penggalakan dana dari investor perbankan umum dengan harga uang dalam bentuk
“interest” yang masih mahal. Kemahalan dana perbankan umum utamanya disebabkan oleh risiko yang
masih tinggi berhubungan dengan kurang teguhnya peraturan perundangan, terutama berhadapan
dengan kebutuhan masyarakat yang dinilai melalui tarif. Oleh karena itu Pemerintah terus berusaha
menelorkan berbagai regulasi dan sekaligus bertindak sebagai operator (bila perlu) untuk meningkatkan
akses pembiayaan ini antara lain melalui :
1. Peraturan Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Dalam konteks ini Pemerintah
telah membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP ini menyediakan dana yang cukup
murah untuk keperluan pembangunan infrastruktur.
2. Pendirian PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berupa persero. Kelak PT SMI ini akan mendirikan
anak perusahaan dan joint venture dengan Bank Dunia dan ADB yang sudah mendirikan
Indonesian Infrastructure Finance Facility (IIFF).
3. Penjaminan Pinjaman (untuk infrastruktur air minum dan kelistrikan) dan Unit Pengelolaan
Risiko (Management Risk Unit) yang berada di Departemen Keuangan (Peraturan Menteri
Keuangan No. 38/2006).
13
Pada dasarnya, kelembagaan pembiayaan yang dibentuk tersebut sebagai katalisator bagi
pembangunan prasarana nasional dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan
ekonomi dalam negeri khususnya.
2.1.3. Cara Kerja Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
Langkah kerja dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta antara lain :
1. Proses Menawar
Pada tahapan ini, satuan sektor publik (pemerintah) akan mengidentifikasi kebutuhan untuk
penyelenggaraan beberapa proyek, seperti pembangunan sebuah bangunan, jalur kereta atau
sebuah rumah sakit. Sektor publik akan mempromosikan kebutuhan pelaksanaan proyek tersebut
dan melakukan proses kompetitif dengan pertimbangan sektor privat yang menawar “lebih baik”
untuk memenangkan haknya sebagai pelaksana proyek. Sektor privat yang memenangkan, dengan
penawaran terbaik, akan terpilih dan mendapat konsesi sebagai bentuk solusi pengesahan
pelaksana.
2. Perusahaan Pelaksana Proyek
Pihak swasata akan membuat kontrak dengan pihak pemerintah dan meningkatkan pendapatan dari
investor dan peminjam untuk menyukseskan proyek. Biasanya, sebuah perusahaan yang baru dan
terpisah, akan diatur untuk menjadi pemilik proyek dalam rangka untuk melindungi para sponsor
dari sektor swasta dari kebangkrutan jika proyek gagal. Perusahaan baru ini diketahui sebagai
Special Pupose Vehicle (SPV). SPV merupakan perusahaan gabungan yang secara khusus dibangun
oleh pemerintah dan swasta untuk mencapai gol terselenggaranya pembangunan sebuah
infrastruktur.
3. Sponsor
Aktivitas dari perusahaan pelaku proyek tersebut akan diatur oleh satu atau lebih perusahaan
swasta (sebagai pihak sponsor). Secara tipikal, perusahaan pelaku proyek ini diatur sebagai cabang
langsung atau tak langsung dari sponsor. Sponsor tersebut biasanya merupakan pembagian investasi
seimbang dari sebuah perusahaan-perusahaan manajemen fasilitas atau konstruksi yang besar dan
mereka menginginkan pembagian manajemen fasilitas atau konstruksi mereka dapat
diselenggarakan. Pengaturan ini akan didokumentasikan ke dalam sebuah Shareholders Agreement.
4. Dokumentasi
14
Perusahanaan pelaksana proyek akan masuk pada tahapan kontrak kerjasama dengan sektor publik
(Persetujuan Konsesi). Hal ini merupakan sebuah kunci dokumen yang mendetailkan peraturan dan
kondisi sebuah proyek.
5. Kontraktor
Perusahanaan pelaksana proyek akan masuk pada tahapan kontrak-kontrak kerjasama untuk
memungkinkan perusahaan tersebut mengimplementasikan proyek dimana proyek tersebut masih
belum memiliki pekerja. Biasanya akan terdapat sebuah pihak yang akan diberi tanggung jawab
untuk menyelenggarakan manajemen fasilitas pelayanan yang didetailkan dalam Persetujuan
Konsesi (biasa disebut dengan FM Contractor) dan pihak yang diberi tanggung jawab untuk
mengawasi pengerjaan konstruksi yang didetailkan dalam Persetujuan Konsesi (Construction
Contractor). Beberapa tanggung jawab dapat di sub-kontrakkan ke pihak yang lebih khusus dan
spesialis dalam bidangnya (Sub-Constractor).
6. Pembiayaan
Perusahaan pelaksana proyek akan mendapat dana dari swasta untuk membiayai KPS. Biasanya,
dana tersebut diperoleh dari percampuran dana dari berbagai sponsor (biasanya proporsi kecil dari
semua tanggungan)dan pinjaman dari pemberi pinjaman luar. Pemberi pinjaman akan masuk
kedalam Persetujuan Pembiayaan dan Persetujuan Keamanan. Selain itu, terdapat Persetujuan
Kelangsungan. Biaya proyek menyediakan kekuatan dari cashflow sebuah perusahaan pelaksana
proyek namun dengan Persetujuan Konsesi sebagai kuncinya. Pembayaran yang dilakukan oleh
sektor publik adalah satu-satunya arus pendapatan dalam sebuah perusahaan pelaksana proyek,
sehingga jika Persetujuan Konsesi habis akibat pemerintah memberhentikan pembayaran atau
terlambat, perusahaan pelaksana proyek tidak harus membayar semua hutangnya. Jika sebuah
proyek mulai terjadi kesalahan dan hak sebuah perusahaan pelaksana proyek yang membuat sebuah
kontrak dalam bahaya, yang disebabkan oleh pihak sektor publik, maka pemberi pinjaman dapat
mengandalkan Persetujuan Kelangsungan yang menjamin kelangsungan dan keamanan perusahaan
pelaksana proyek hingga pemberi pinjaman dapat kesempatan untuk “menyelinap” ke dalam kaki
perusahaan pelaksana proyek dan memperbaiki situasi tersebut.
15
Gambar Skema KPS
2.1.4. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta
Apapun yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan RPJP, RTRWN, belanja APBN, kerja sama
dengan swasta, maupun pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan dan pengelolaan risiko tersebut
merupakan langkah-langkah yang strategis, tetapi tetap dalam kapasitas yang masih terbatas dan masih
banyak kendala.
Selama ini pemerintah daerah masih terus membebani Pemerintah dengan permintaan bantuan-
bantuan langsung karena dana yang dimiliki pemerintah daerah sangat terbatas untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan infrastruktur bagi daerahnya. Hal ini terjadi karena anggaran setiap daerah
untuk infrastruktur masih sangatlah kecil dibandingkan dengan anggaran belanja untuk kebutuhan
operasional pemerintah.
Rata-rata Belanja Modal daerah adalah sebesar 20% dari total APBD . Rendahnya Belanja Modal ini
lebih karena sebagian besar APBD digunakan untuk Belanja Operasional seperti gaji pegawai, biaya
perjalanan, ATK, dan banyak kebutuhan operasional lainnya yang mencapai 80% sehingga hanya tersisa
20% bagi pembangunan infrastruktur. Angka 20% ini semakin kecil bagi pemerintah kota yang rata-rata
hanya 13% saja. Gambaran ini menunjukkan bahwa pemerintahan di daerah masih kurang efisien
karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang
mampu mengangkat ekonomi daerahnya.
16
Terlepas dari persoalan ketidakefisienan pemerintah daerah sehingga kurangnya dukungan
terhadap pembangunan prasarana, pemerintah daerah sebenarnya masih memiliki dana selain dari
pendapatan, yaitu berupa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). Silpa umumnya berupa akumulasi
Surplus (Pendapatan dikurangi Belanja) tiap tahun. Rata-rata Surplus daerah adalah 12,6% dari total
APBD tiap tahun yang terkumpul dan sebagian digunakan untuk pembiayaan lain dan tersisa menjadi
Silpa. Karena pembiayaan lain yang dilakukan daerah masih relatif kecil, sehingga jumlah Silpa
jumlahnya semakin meningkat. Pada tahun 2006 yang lalu, dari sekitar 360 kabupaten/kota, jumlah Silpa
ini mencapai Rp 33,6 triliun dan kabarnya pada tahun 2007 sudah mencapai Rp 45 triliun. Dan bila
jumlah ini ditambah dengan Silpa milik provinsi (33 provinsi), maka bisa mencapai Rp 60 triliun lebih.
Silpa ini umumnya disimpan dalam bentuk Deposito “On call” di Bank Pembangunan Daerah (BPD)
setempat dan oleh karenanya banyak yang ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Jadi apabila daerah bekerja efisien dan mampu memanfaatkan dana-dananya, termasuk Silpa
untuk penyertaan modal, pinjam meminjam, menutupi defisit, dan kegiatan pembiayaan lainnya yang
ditujukan bagi pembangunan infrastruktur, maka sebenarnya akan sangat membantu Pemerintah dalam
mewujudkan strategi pembangunan infrastruktur yang berdaya saing global.
2.1.5. Peranan Masyarakat Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta
Masyarakat memiliki peran penting dalam proses Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS).
Dalam prosesnya, kerjasama tersebut memerlukan hubungan kerjasama pula dengan
kelompok-kelompok sosial. Dari segi pengembang, kerjasama dari komunitas-komunitas
tersebut telah terbukti dan berguna sebagai outlet-outlet peluncuran produk-produk pelayanan
kesehatan yang telah terbentuk. Selain popularisasi, komunitas tersebut berguna dalam
kampanye-kampanye komunikasi, manajemen kelompok-kelompok skala besar, menyediakan
sumber daya tambahan dan keahlian-keahlian teknis, serta bentuk usaha advokasi.
2.1.6. Faktor Keberhasilan Kerjasama Pemerintah-Swasta
Program pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya investasi yang besar. Kesuksesan KPS
pada pembangunan infrastruktur erat kaitannya dengan peningkatan Perkembangan Kebijakan
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi (Bambang Susantono dan Mohammed Ali Berawi) 95 efisiensi
17
dan produktivitas proyek, penciptaan manfaat lebih (value for money), inovasi, serta realisasi investasi
swasta (Koppenjan, 2008).
Berdasarkan kajian literatur mengenai sistem pendanaan KPS (Tabel 1), beberapa faktor kunci
keberhasilan skema KPS pada pembangunan infrastruktur mencakupi kerjasama dan komunikasi yang
baik beserta kerjasama yang solid antar para pihak, pembagian risiko yang berimbang, garansi
pengembalian investasi, dan key performance indicator (KPI) yang jelas dan terukur bagi parapihak yang
terlibat dalam hubungan kerjasama.
Selain itu, menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara di Samarinda
(2008) dalam Kajian Pola Kemitraan Pemerintah Kota Dengan Swasta Dalam Pembangunan Daerah Di
Kalimantan, terdapat beberapa asumsi yang harus terpenuhi agar tercipta kerjasama pemerintah-
swasta. Beberapa diantaranya antara lain :
- Pelayanan atau proyek kegiatan tidak bisa dilakukan sendiri karena keterbatasan finansial atau
pengalaman pemerintah.
- Mitra swasta bisa memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas atau pelayanan publik yang
lebih baik daripada yang dilakukan oleh pemerintah.
- Mitra swasta memungkinkan pelayanan atau proyek kegiatan bisa dilaksanakan lebih cepat daripada
dilakukan sendiri oleh pemerintah.
- Ada dukungan dari pengguna layanan publik sebagai alasan dilibatkannya swasta dalam kegiatan
tersebut.
18
- Ada peluang kompetisi diantara mitra swasta yang prospektif.
- Tidak ada aturan yang melarang pelibatan swasta dalam program kemitraan yang akan dilakukan
- Output layanan terukur dan ternilai dengan mudah
- Biaya program kemitraan bisa tertutup melalui implementasi biaya pengguna layanan.
- Proyek kegiatan atau pelayanan memberikan peluang berinovasi.
- Ada track record kemitraan dengan swasta dan ada peluang untuk mendorong perkembangan
ekonomi.
Kunci motivasi utama yang disadari oleh pemerintah dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
adalah kemungkinan dalam memperoleh sumber pendanaan untuk mendanai kebutuhan pelayanan dan
infrastruktur publik (Barlow, 2010). Penting untuk dipahami bahwa mekanisme utama dalam proyek
infrastruktur, adalah prinsip investor dalam mengembangkan sebuah negara, sumber pendanaan,
struktur pembiayaan proyek sejenis, dan isu utama yang muncul dari transaksi-transaksi proyek yang
sedang berkembang (World Bank. 2012). Beberapa negara melengkapinya dengan pihak oenghitung
keuntungan finansial dari kerjasama pemerintah-swasta tersebut.
Sejumlah resiko utama perlu dipertimbangkan. Resiko-resiko ini akan perlu dialokasikan dan
dikelola untuk memastikan pembiayaan proyek yang sukses. Pihak terbaik ditempatkan untuk
pengelolaan resiko tersebut adalah sektor swasta. Namun, ada sejumlah produk-produk mekanisme dari
pasar sponsor proyek, pemberi pinjaman, dan pemerintah untuk mengurangi beberapa resiko tersebut,
seperti hedging dan kontrak berjangka, asuransi, dan produk-produk mitigasi bencana yang disediakan
oleh Institursi Pembiayaan Internasional (IFI) (World Bank, 2012).
2.1.7. Keberhasilan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
Bank Dunia mencatat bahwa dari 4000 proyek KPS di seluruh dunia yang dipelajari, hanya terdapat
57 proyek yang bermaalah dan 185 proyek yang dibatalkan (Reside, 2009). Proyek KPS yang bermasalah
tetap dilanjutkan dengan komitmen dari investor dan pemerintah yang diwujudkan dengan cara
renegoisasi tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Renegosiasi proyek KPS pada umumnya
menyangkut kenaikan tarif, panjang periode konsesi, standar pelayanan yang harus dipenuhi, tata cara
pembayaran, penjaminan, hak ekslusif investor, serta rencana investasi secara keseluruhan, termasuk
jadwal dan nominal proyek. Renegosiasi terjadi pada 300 proyek dari 1000 proyek dengan pola konsesi
di Amerika Latin dan Karibia dalam kurun waktu tahun 1985 sampai 2000. Dalam bidang transportasi,
pada khususnya, renegosiasi cukup sering terjadi, yaitu pada 55% jumlah kontrak konsesi dan umumnya
19
terjadi 3 tahun setelah konsesi diberikan kepada investor (Guasch, 2004). Motif renegosiasi pada
kontrak proyek di bidang transportasi biasanya terkait over estimated demand, yaitu tidak tercapainya
pendapatan investor karena jumlah lalulintas lebih kecil daripada jumlah lalulintas pada proyeksi awal.
Alasan-alasan lain 96 Jurnal Transportasi Vol. 12 No. 2 Agustus 2012: 93-102 renegosiasi ini umumnya
berkaitan dengan biaya-biaya operasi dan konstruksi yang membengkak serta masalah sekitar tarif,
seperti harga tarif yang dianggap tidak terjangkau atau tidak dapat dinaikkan sesuai jadwal yang
disepakati.
Mengikuti perkembangan KPS di Indonesia, terlihat adanya pergeseran arah kebijakan yang
diterapkan. Tonggak kebijakan KPS di Indonesia dicanangkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden
No. 7 tahun 1998, Tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan
atau Pengelolaan Infrastruktur. Kebijakan ini kemudian tidak dapat dilaksanakan dengan baik akibat
krisis moneter yang melanda Indonesia serta peraturan perundangan pendukung lainnya yang belum
siap pada saat itu.
Kondisi ekonomi Indonesia pascakrisis 1998 membaik sehingga memungkinkan Pemerintah kembali
membuka peluang bagi swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur Indonesia dengan
skema KPS dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 tahun 2005, yang mengatur tata
cara KPS pada pembangunan proyek infrastruktur. Perpes ini tidak langsung menarik minat investor
pada KPS di bidang transportasi karena peraturan perundangan yang berlaku saat itu, seperti Undang-
Undang Pelayaran, Undang-Undang Penerbangan, dan Undang-Undang Perkeretaapian masih belum
memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan
infrastruktur transportasi.
Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia, pemerintah mencanangkan empat
pilar utama Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Indonesia yang diluncurkan bersamaan
dengan digelarnya Infrastructure Summit 2005. Keempat pilar utama tersebut meliputi:
1. Pilar pertama adalah reformasi peraturan perundangan. Reformasi ini bertujuan untuk
membuka peluang swasta secara langsung dalam pembangunan infrastruktur. Undang-Undang
Pelayaran, Undang-Undang Penerbangan, dan Undang-Undang Perkeretaapian dan semua
turunannya direvisi sehingga membuka kemungkinan tidak hanya swasta tetapi juga masyarakat
dan pemerintah daerah dapat ikut serta dalam pembangunan infrastruktur.
2. Pilar kedua adalah penyusunan daftar proyek yang akan dipercepat pembangunannya, baik yang
dibiayai oleh APBN maupun oleh skema KPS. Untuk proyek KPS, disusun KPS Book yang berisi
informasi terkait proyek yang akan ditawarkan kepada pihak swasta. Beberapa proyek dipilih
20
menjadi model proyek yang diharapkan dapat menjadi acuan proyek-proyek sejenis. Selain itu
juga disusun kerangka pengelolaan risiko yang memberikan jenis penjaminan yang sesuai dalam
pembangunan infrastruktur. Agar Perkembangan Kebijakan Pembiayaan Infrastruktur
Transportasi (Bambang Susantono dan Mohammed Ali Berawi) 97 jaminan Pemerintah ini tidak
secara langsung berimplikasi pada APBN, maka disusunlah konsep cikal bakal Indonesia
Infrastructure Guarantee Fund.
3. Pilar ketiga adalah pembentukan forum komunikasi yang erat antar pemangku kepentingan.
Forum ini adalah gagasan awal terbentuknya Indonesia Infrastructure Forum yang menjadi
wadah diskusi para pemangku kepentingan bidang infrastruktur, terutama dari unsur
pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Forum ini mengadakan pertemuan reguler
dengan tujuan menjembatani informasi, interaksi, dan pewujudan aksi bersama untuk
mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia. Forum ini sedianya merupakan
organisasi komplementer Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KPPI) yang
beranggotakan para menteri dan kepala lembaga terkait.
4. Pilar keempat adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi. Pada eberapa
kementerian, dilahirkan badan pengatur sektor yang berfungsi sebagai regulator bagi sektor
terkait. Sebagai contoh adalah di bidang jalan tol, yang diatur oleh Badan Pengatur Jalan Tol
(BPJT), dan di bidang air minum, dengan dibentuknya Badan Pengatur Sistem Penyediaan Air
Minum.
Untuk melengkapi komitmen pemerintah dalam mendukung KPS di Indonesia, dibentuk beberapa
lembaga yang secara spesifik berperan dalam pelaksanaan KPS, seperti Indonesia Infrastructure
Guarantee Fund (IIGF), yang dibentuk untuk mencegah dan mengantisipasi resiko-resiko tertentu yang
terdapat pada pembangunan proyek infrastruktur. Penjaminan pemerintah ini bersifat tidak langsung
(non-recourse) sehingga pola penjaminan dilakukan di luar neraca keuangan (off-balance sheet), yang
berarti neraca keuangan Pemerintah tidak terekspos secara langsung. Risiko yang ditanggung adalah
risiko yang tidak mungkin ditanggung oleh pihak lain selain pemerintah, seperti pembebasan lahan dan
kepastian naiknya tarif secara berkala berdasarkan perjanjian konsesi.
Selanjutnya pemerintah membentuk PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk menutup celah
pembiayaan, khususnya pembiayaan antara (bridging finance) dan dana ekuitas. PT SMI bersama
dengan lembaga donor, seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), Bank Pembangunan
Jerman GIZ, membentuk Indonesia Infrastructure Funds and Facilities (IIFF).
21
Dalam rangka memacu pembangunan ekononomi di Indonesia, Pemerintah meluncurkan Master
Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Elemen utama yang perlu diprioritaskan
pada kesuksesan program MP3EI dalam rangka pendayagunaan sumber daya alam dan sumber daya
mineral dengan optimal adalah melalui pembangunan konektivitas dalam pulau (intra island), antar
pulau (inter islands), dan internasional. Jaringan transportasi adalah salah satu komponen utama
konektivitas tersebut.
22
Bab II. Tinjauan Pustaka
2.1. Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
2.1.1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Pemerintah-Swasta
2.1.2. Pendekatan dan Pengertian Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
2.1.3. Cara Kerja Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)
2.1.4. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta
2.1.5. Peranan Masyarakat Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta
2.1.6. Faktor Keberhasilan Kerjasama Pemerintah-Swasta
2.1.7. Keberhasilan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
23