bab ii. tinjauan pustaka - tugas ii pempem

27
Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1. Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) 2.2. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Pemerintah-Swasta Dalam sepuluh tahun terakhir di Indonesia pelaksanaan otonomi daerah paska 1999, telah mengubah wajah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Transformasi politik telah mengubah secara radikal bagaimana pemerintah daerah menjalankan fungsinya. Pemerintah kabupaten dan kota yang pada masa Orde Baru terjepit dalam kesempitan wewenang otonomi yang tersentralisasi, melalui 2 Undang-undang Otonomi Daerah, mendapatkan keleluasaan bertindak. Mereka mendapatkan kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiscal serta agama. Banyak studi dilakukan untuk menakar hasil pelaksanaan otonomi daerah yang menggambarkan kegagalan (bad practice) maupun keberhasilan (good practice) penyelenggaraan otonomi daerah. Kegagalan (bad practice) yang paling menonjol dapat ditelisik dari banyaknya pemerintah kabupaten dan kota yang memungut pajak dan retribusi tanpa mempertimbangkan implikasinya terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kinerja birokrasi yang masih kurang baik, kinerja lembaga legeslatif kurang memuaskan, penegakan hukum yang kedodoran, penanggulangan kemiskinan yang tidak optimal serta proses demokratisasi yang kurang berkembang, merupakan kegagalan yang banyak menodai semangat otonomi daerah. Studi tentang kegagalan birokrasi karena ketidakmampuan birokrasi menterjemahkan secara konkret terhadap visi kepemimpinan bupati, telah banyak ditulis. Studi 4

Upload: tadaki-crcrew-hasegawa

Post on 28-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Bab II.

Tinjauan Pustaka

2.1. Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)

2.1.1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Pemerintah-Swasta

Dalam sepuluh tahun terakhir di Indonesia pelaksanaan otonomi daerah paska 1999, telah

mengubah wajah penyelenggaraan pemerintahan daerah. Transformasi politik telah mengubah secara

radikal bagaimana pemerintah daerah menjalankan fungsinya. Pemerintah kabupaten dan kota yang

pada masa Orde Baru terjepit dalam kesempitan wewenang otonomi yang tersentralisasi, melalui 2

Undang-undang Otonomi Daerah, mendapatkan keleluasaan bertindak. Mereka mendapatkan

kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri, kecuali bidang politik luar negeri,

hankam, peradilan, moneter dan fiscal serta agama. Banyak studi dilakukan untuk menakar hasil

pelaksanaan otonomi daerah yang menggambarkan kegagalan (bad practice) maupun keberhasilan

(good practice) penyelenggaraan otonomi daerah.

Kegagalan (bad practice) yang paling menonjol dapat ditelisik dari banyaknya pemerintah

kabupaten dan kota yang memungut pajak dan retribusi tanpa mempertimbangkan implikasinya

terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kinerja birokrasi yang masih kurang baik,

kinerja lembaga legeslatif kurang memuaskan, penegakan hukum yang kedodoran, penanggulangan

kemiskinan yang tidak optimal serta proses demokratisasi yang kurang berkembang, merupakan

kegagalan yang banyak menodai semangat otonomi daerah. Studi tentang kegagalan birokrasi karena

ketidakmampuan birokrasi menterjemahkan secara konkret terhadap visi kepemimpinan bupati, telah

banyak ditulis. Studi semacam ini menemukan bahwa birokrasi daerah lebih banyak menghabiskan

ketimbang menghasilkan. Sekitra 60% hingga 70% anggaran daerah (APBD) dibelanjakan oleh birokrasi.

Studi ini juga mengungkap sikap birokrasi yang lebih sibuk berpikir tentang kesejahteraan sendiri

ketimbang berpikir tentang pelayanan publik.

Namun, masih ada yang terlewat dari pengamatan para ahli pemerintah daerah, yaitu tidak ada

studi yang berusaha memetakan dan memahami bagaimana upaya pemerintah lokal untuk memajukan

daerahnya dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Studi yang telah dilakukan oleh

Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (2001) di 13 kabupaten/kota memperlihatkan peningkatan

pertisipasi warga dan pengembangan transparansi serta akuntabilitas publik. Meskipun studi ini sangat

4

Page 2: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

bermanfaat dalam menerangkan proses demokratisasi loka, studi ini tidak memberi cukup sinyal tentang

bagaimana transpransi dan akuntabilitas publik yang meningkat tersebut mampu menarik sektor privat

untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi lokal.

Kegagalan sejumlah kebijakan pemerintah di Indonesia pada decade 1980-an dan 1990-an menjadi

sumber utama ketidakpercayaan pada kapabilitas pemerintah untuk dapat memenuhi tujuannya dan

pengaruhnya terhadap pertumbuhan sosial. Selain ini pemerintah juga mengabaikan ketergantungan

pemerintah terhadap lingkungannya dan terhadap aktor lain, dan cenderung menjadi aktor tunggal.

Kemunculan konsep governance merupakan suatu jawaban akan kelemahan tersebut. Governance

merupakan suatu jawaban akan kelemahan tersebut. Governance sendiri berarti merupakan suatu

consensus untuk menjembatani perbedaan kepentingan dan membangun sinergi antar-stakeholder

dalam suatu negara, wilayah, atau daerah/lokal (Pratikno dalam Priyatno Harsastro, 2009). Maka dari itu

actor negara, privat, dan masyarakat bekerja dalam jejaring yang relevan, dan peran negara tidak lagi

bersifat regulative tetapi hanya sebagai fasilitator. Dalam konteks inilah disadari bahwa governance

hanya bisa dibangun dengan melibatkan actor non-negara yang seluas-luasnya dan membatasi peran

negara. Pertanyaan yang perlu dijelaskan lebih lanjut adalah “bagaimana pemerintah kota menggalang

consensus dan sinergi dengan sektor privat dalam pengembangan potensi lokal?”

Kemitraan dalam konteks pembangunan adalah kerjasama antara pemerintah (daerah) dengan

swasta dan/atau masarakat dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Kemitraan antara

pemerintah dengan swasta dimaksudkan untuk melakukan desain, perencanaan, pembiayaan,

pembangunan dan/atau pengelolaan proyek pada ranah public service.

Praktek kemitraan antara pemerintah dan swasta sering juga disebut dengan Kerjasama

Pemerintah-Swasta (KPS) atau Public-Private Partnership (PPPs). Hal yang melandasi dilakukan KPS

antara lain karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah dalam pelaksanaan

pembangunan dan pelayanan publik sementara tuntutan masyarakat terhadap kualitas dan kuatnitas

pelayanan publik semakin meningkat, memerlukan peningkatan partisipasi dunia usaha/swasta serta

masyarakat dalam pembangunan daerah dan pelayanan publik, dan percepatan pembangunan di

daerah.

Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) adalah sebuah cara untuk menjelaskan inisiasi pemerintah

atau sebuah skema yang mengikut sertakan penggunaan keuangan privat/swasta untuk memfasilitasi

provisi sebuah pelayanan pulik dan/atau penyelenggaraan aset-aset infrastruktur sosial. KPS telah

digunakan dalam penyelenggaraan aset-aset infrastruktur dalam sektor pendidikan, transportasi,

pertahanan, dan kesehatan.

5

Page 3: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Sudah menjadi wacana umum bahwa pembangunan infrastruktur dalam rangka meningkatkan

daya saing global sesuai dengan struktur ruang nasional (RTRWN) memerlukan biaya besar yang tak

mungkin bertumpu pada kapasitas fiskal Pemerintah. Untuk itu perlu kerja sama antara Pemerintah

dengan pihak swasta maupun bersama masyarakat.

Pembiayaan pembangunan infrastruktur di Indonesia relatif masih sangat rendah. Sebelum krisis

lalu (1998), rata-rata pembiayaan infrastruktur baru mencapai 2,2% terhadap GDP, kemudian meningkat

menjadi 5-6% terhadap GDP. Berdasarkan kebutuhan RPJP. total kebutuhan dana bagi pembangunan

infrastruktur sebesar Rp 1400 triliun, sementara kemampuan Pemerintah maksimal hanya Rp 452 triliun

sehingga masih ada kekurangan sekitar Rp 948 triliun. Dari mana kekurangan dana ini bisa diperoleh ?

Diharapkan peran swasta dan masyarakat mampu mengisi kekurangan dana sebesar Rp 948 triliun

tersebut.

Untuk itu Pemerintah mengeluarkan peraturan bagi terwujudnya kerja sama Pemerintah dengan pihak

swasta, yaitu :

1. Perpres No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan

Infrastruktur;

2. Perpres No. 42/2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur

(KKPPI); dan

3. Perpres No. 36/2005 jo Perpres No. 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

2.1.2. Pendekatan dan Pengertian Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)

Pendekatan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) sudah banyak dilakukan dalam membiayai

pembangunan infrastruktur di berbagai negara. Pada hakekatnya KPS dapat dikembangkan sesuai

dengan kebutuhan spesifik proyek. Beberapa varian definisi KPS, antara lain, adalah (Bult-Spiering and

Dewulf, 2006) :

1. KPS sebagai reformasi manajemen ketika fungsi pemerintahan dan birokrasi mengalami

perubahan dan pencerahan dari interaksinya dengan manajemen profesional yang biasanya

dimiliki oleh sektor swasta.

2. KPS adalah kerjasama yang melembaga dari sektor publik dan sektor swasta yang bekerja

bersama untuk mencapai target tertentu ketika kedua belah pihak menerima risiko investasi

atas dasar embagian keuntungan dan biaya yang dipikulnya.

6

Page 4: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

3. KPS adalah kerjasama antara pemerintah dan swasta yang menghasilkan produk atau jasa

dengan risiko, biaya, dan keuntungan ditanggung bersama berdasarkan nilai tambah yang

diciptakannya.

4. KPS merupakan alat untuk meningkatkan efisiensi dan meningkatkan kualitas produk-produk

dan pelayanan publik. Tujuan bersama yang hendak dicapai dengan menggunakan skema KPS

ini, antara lain, adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya,

meningkatkan kualitas produk-produk dan pelayanan publik, dan adanya pembagian modal,

risiko, dan kompetensi atau keahlian sumber daya manusia secara bersama-sama.

Di lain pihak konsep KPS tidak hanya dapat dipandang dari sisi public dan privat sector saja, akan

tetapi merupakan triangle synergy antara government, business, dan communities. Seperti penjelasan

yang terdapat pada laporan United Nations Development Program (2004), United Nations Economic

Commission for Europe (2008), dan Asian Development Bank (2008), para pihak KPS yang dapat

dikategorikan menjadi 3 unsur, yaitu:

1. Negara; berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif.

2. Swasta; mendorong terciptanya lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan masyarakat.

3. Masyarakat; mewadahi interaksi sosial politik, memobilisasi kelompok dalam masyarakat untuk

berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi sosial dan politik.

Pada dasarnya kerja sama antara pemerintah dan swasta tersebut terkait dengan kerja sama

pengadaan investasi. Secara konvesional kerja sama selama ini dalam bentuk kontrak layanan (Sevice

Contract) yang hampir seluruhnya adalah investasi publik (dari Pemerintah), kemudian perlu

pengembangan yang lebih banyak peranan investasi dari pihak swasta mulai dari semacam kontrak

operasi dan pemliharaan (O&M Contract), BLT (Leasing), BOT/ROOT, BOOT (DBFO)/ROOT, BOO/ROO,

sampai dengan semua investasi dari swasta dalam bentuk privatization/divestiture.

7

Page 5: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Sumber : Perencanaankota.blogspot.com

Pengertian mengenai bentuk-bentuk pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta dalam skema

tersebut, secara prinsip, adalah :

1. Service Contract (Investasi Publik)

2. O&M (Operation and Maintenance) Contract

Pemerintah memberi wewenang kepada swasta dalam kegiatan operasional, perawatan, dan

kontrak pelayanan pada infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Pihak swasta membuat

suatu pelayanan dengan harga yang telah disetujui dan harus sesuai dengan performance

standard yang telah ditentukan oleh pemerintah. Contoh : pelayanan sektor air bersih

(distribusi, operasional, dan pemeliharaan pipa air), pendistribusian air, pembacaan meteran air,

penarikan dan pengumpulan tagihan, serta operasional dan perawatan pipa. Sedangkan contoh

dalam sampah adalah pengumpulan sampah, produksi dan distribusi kontainer sampah,

pelayanan pembersihan di jalan, perawatan kendaraan (truk-truk), dan pelaksanaan landfill atau

pelaksanaan transfer antar pos-pos pengumpul sampah.

3. BLT (Leasing)

Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara

suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara dengan menerima

pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko

komersial. Masa kontrak umumnya antara 5 -15 tahun. Contohnya adalah Leasing taman

hiburan, terminal udara, armada bis dan transportasi lain.

8

Page 6: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

4. Build Operate Transfer (BOT)

Kontrak Bangun, Operasikan dan Transfer (Build, Operate and Transfer) digunakan untuk

melibatkan investasi swasta pada pembangunan konstruksi infrastruktur baru. Di bawah prinsip

BOT, pendanaan pihak swasta akan digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas

atau sistem infrastruktur berdasarkan standar-standar performance yang disusun oleh

pemerintah. Masa periode yang diberikan memiliki waktu yang cukup panjang untuk

perusahaan swasta untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan guna membangun

konstruksi beserta keuntungan yang akan didapat yaitu sekitar 10 sampai 20 tahun. Dalam hal

ini pemerintah tetap menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan pemerintah memiliki dua

peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut.

BOT merupakan cara yang baik untuk pembangunan infrastruktur baru dengan keterbatasan

dana pemerintah. Pemerintah menggunakan sistem BOT ini untuk fasilitas-fasilitas infrastruktur

yang lebih spesifik seperti penampungan supply air yang besar, air minum, WTP, tempat

pengumpulan sampah baik sementara maupun akhir pembuangan, serta tempat pengolahan

sampah.

Struktur Pembiayaan

Di dalam BOT, pihak swasta berperan untuk menyediakan modal untuk membangun fasilitas

baru. Pemerintah akan menyetujui untuk mengeluarkan tingkat produksi yang minimum untuk

memastikan bahwa operator swasta dapat menutupi biayanya selama pengoperasian.

Persyaratan ini menyatakan bahwa untuk mengantisipasi permintaan akan diperkirakan

meningkat sehingga akan menyebabkan permasalahan bagi rekan pemerintah jika permintaan

melewati perkiraan.

Keuntungan

BOT merupakan cara yang efektif untuk menarik modal swasta dalam pembangunan fasilitas

infrastruktur baru.

Perjanjian BOT akan dapat mengurangi pasar dan resikonya kecil untuk pihak swasta karena

pemerintah adalah penggunan tunggal, pengurangan resiko disini berhubungan dengan apabila

ada permasalahan tidak cukupnya permintaan dan permasalahan kemampuan membayar. Pihak

9

Page 7: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

swasta akan menolak mekanisme BOT apabila pemerintah tidak memberikan jaminan bahwa

investasi swasta akan kembali.

Model BOT ini telah digunakan banyak negara berkembang untuk membangun pembangkit

listrik baru.

5. Prinsip Konsesi

Dalam Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan penuh kepada

kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan pelayanan-pelayanan infrastruktur dalam

sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan

manajemennya. Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan

untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana

konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang

dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan

standar performance dan menjamin kepada konsesioner.

Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan (provider)

menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah yang harus

disediakan. Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada konsesioner untuk waktu

kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset infrastruktur akan menjadi milik

pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih dari 25 tahun. Lamanya tergantung pada

perjanjian kontrak dan waktu yang dibutuhkan oleh konsesioner swasta untuk menutup biaya

yang telah dikeluarkan.

Pada sektor persampahan, pemerintah memberikan suatu konsesi untuk membangun suatu

tempat daur ulang serta pengoperasiannya atau membangun suatu fasilitas yang dapat

mengubah sampaf menjadi sesuatu energi. Pada sektor air bersih, konsesi memiliki peran penuh

dalam pelayanan air pada suatu area tertentu. Cara konsesi telah banyak digunakan baik tingkat

kota maupun tingkat nasional.

Struktur Pembiayaan

Pihak swasta bertanggung jawab atas semua modal dan biaya operasi--termasuk pembangunan

infrastruktur, energi, material, dan perbaikan-perbaikan selama berlakunya kontrak. Pihak

swasta dapat berwenang untuk mengambil langsung tarif dari pengguna. Tarif yang berlaku

10

Page 8: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

telah ditetapkan sebelumnya pada penjanjian kontrak konsesi, dimana adapun tarif ini ada

kemungkinan untuk berubah pada waktu-waktu tertentu. Pada beberapa kasus, pemerintah

dapat membantu pendanaan untuk menutup pengeluaran konsesioner dan hal ini merupakan

salah satu bentuk jaminan pemerintah namun hal ini sebaiknya dihindarkan.

6. Prinsip Join Venture

Kerja sama Joint venture merupakan kerja sama pemerintah dan swasta dimana tanggung jawab

dan kepemilikan ditanggung bersama dalam hal penyediaan pelayanan infrastruktur. Dalam

kerja sama ini masing-masing pihak mempunyai posisi yang seimbang dalam perusahaan. Kerja

sama ini bertujuan untuk memadukan keuggulan sektor swasta seperti modal, teknologi,

kemampuan manejemen, dengan keunggulan pemerintah yakni kewenangan dan kepercayaan

masyarakat. Perlu diperhatikan pemegang saham mayoritas dan minoritas karena hal ini

berkaitan dengan kekuasaan menjalankan perusahaan dan menentukan kebijaksanaan

perusahaan karena prinsip kerja sama ini satu saham satu suara. Di bawah joint venture,

pemerintah dan swasta dapat membentuk perusahaan baru atau menggunakan perusahaan

penyedia infrastruktur yang ada (misal perusahaan pemerintah menjual sebagian modal kepada

swasta). Adapun perusahaan yang ada memiliki fungsi yang independen terhadap pemerintah.

Joint venture dapat digunakan secara kombinasi dari beberapa tipe kerja sama pemerintah dan

swasta yang lain. Misal, pemerintah membuka modal secara bersama, khususnya dalam hal

pelayanan, BOT, atau konsesi untuk penyediaan infrastruktur.

Kerja sama Joint venture merupakan suatu alternatif yang dapat dikatakan "benar-benar"

bentuk public-private partnership yaitu antara pemerintah, swasta, lembaga bukan pemerintah,

dan lembaga lainnya yang dapat menyumbangkan sumber daya mereka yang bisa saling "share"

dalam menyelesaikan masalah infrastruktur lokal. Di bawah joint venture pemerintah selain

memiliki peran sebagai pemberi aturan, juga berperan sebagai shareholder yang aktif dalam

menjalankan suatu perusahaan bersama.

Dibawah joint venture, pemerintah dan swasta harus bekerja sama dari tahap awal,

pembentukan lembaga, sampai pada pembangunan proyek.

Struktur Pembiayaan

11

Page 9: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Di bawah model kerja sama joint venture ini, pihak pemerintah dan swasta harus berkontribusi

dalam pembiayaan dari sejak awal, mulai dari pembiayaan studi kelayakan proyek sampai

mempersiapkan investasi pada perusahaan baru ketika telah terbentuk. Modal-bersama PPP ini

memerlukan kesepakatan sebelumnya untuk menanggung resiko dan membagi keuntungan

secara bersama-sama. Dengan kata lain, masing-masing harus memiliki kontribusi melalui

proyek pembangunan dan implementasinya. Secara optimal, perusahaan seharusnya membiayai

secara independen. Tapi bagaimanapun tidak menutup kemungkinan pemerintah memberikan

subsidi pada perusahaan atau pada penggunaanya namun hal ini dilakukan jika sangat

mendesak dan diusahakan agar dihindari.

7. Prinsip Community-Based Provision

CBP dapat terdiri dari perorangan, keluarga, atau perusahaan kecil. CBO memiliki peran utama

dalam mengorganisasikan penduduk miskin ke dalam kegiatan bersama dan kepentingan

mereka akan direpresentasikan dan dinegosiasikan dengan NGO dan pemerintah. NGO berperan

untuk menyediakan proses manajemen, menengahi negosisasi antara CBO dan lembaga yang

lebih besar lainnya dalam hal bentuk jaringan kerjasama, pemberian informasi ataupun

kebijasanaan.

Banyak permukiman-permukiman miskin atau menengah ke bawah memiliki pengaturan

sampah padat oleh komunitas setempat yaitu dilakukan dengan mengumpulkan dari pintu ke

pintu, di jalan dan tempat sampah pinggir jalan dan di pilih dan di daur ulang untuk di jual

kembali, hal tersebut banyak terjadi negara berkembang (Contoh Komunitas Bagus Rangin di

Kota Bandung mengumpulkan sampah dengan menggunakan CBP ini). Pada sektor air bersih,

CBP ini membeli air dalam jumlah besar dan menjualnya kepada komunitas mereka dalam

bentuk ember.

Struktur Pembiayaan

Community-based provision memiliki karakteristik khusus yaitu memerlukan biaya rendah dan

biaya tersebut dapat dikatakan sebagai "modal"-nya yang telah disediakan oleh penyedia

setempat beserta material mereka. Pengorganisasian dan biaya material biasanya disediakan

oleh NGO-NGO, sumbangan-sumbangan, asisten pengurus pembangunan, pemerintah atau oleh

komunitas tersebut. Biaya perawatan seharusnya didapat dari tarif pengguna atau pendapatan.

Pengetahuan setempat yang ada secara menyeluruh dapat mengikuti dengan pembangunan

12

Page 10: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

yang ada setidaknya dapat memberikan salah satu solusi dari kebutuhan biaya dimana tetap

menjaga pengeluaran yang rendah.

8. Rehabilitate Operate Transfer (ROOT)

9. Build Own Operate Transfer (BOOT)

Swasta membangun, memilki, mengoperasikan, dan menyerahkan kepada pemerintah di akhir

kontrak.

10. Design Build Finance Operate (DBFO)

Swasta mendesain, membangun, membiayai, dan mengoperasikan.

11. Rehabilitate Own Operate Transfer (ROOT)

12. Build Own Operate (BOO)

Pihak swasta membangun, memiliki dan mengoperasikan fasilitas yang dikontrakkan

13. Rehabilitate Own Operate (ROO)

14. Privatisasi (Divestiture)

Perkembangan kerja sama antara Pemerintah dan swasta masih banyak kendala-kendala,

khususnya dalam penggalakan dana dari investor perbankan umum dengan harga uang dalam bentuk

“interest” yang masih mahal. Kemahalan dana perbankan umum utamanya disebabkan oleh risiko yang

masih tinggi berhubungan dengan kurang teguhnya peraturan perundangan, terutama berhadapan

dengan kebutuhan masyarakat yang dinilai melalui tarif. Oleh karena itu Pemerintah terus berusaha

menelorkan berbagai regulasi dan sekaligus bertindak sebagai operator (bila perlu) untuk meningkatkan

akses pembiayaan ini antara lain melalui :

1. Peraturan Pemerintah No. 1/2008 tentang Investasi Pemerintah. Dalam konteks ini Pemerintah

telah membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). PIP ini menyediakan dana yang cukup

murah untuk keperluan pembangunan infrastruktur.

2. Pendirian PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) berupa persero. Kelak PT SMI ini akan mendirikan

anak perusahaan dan joint venture dengan Bank Dunia dan ADB yang sudah mendirikan

Indonesian Infrastructure Finance Facility (IIFF).

3. Penjaminan Pinjaman (untuk infrastruktur air minum dan kelistrikan) dan Unit Pengelolaan

Risiko (Management Risk Unit) yang berada di Departemen Keuangan (Peraturan Menteri

Keuangan No. 38/2006).

13

Page 11: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Pada dasarnya, kelembagaan pembiayaan yang dibentuk tersebut sebagai katalisator bagi

pembangunan prasarana nasional dalam rangka meningkatkan daya saing global dan pertumbuhan

ekonomi dalam negeri khususnya.

2.1.3. Cara Kerja Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)

Langkah kerja dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta antara lain :

1. Proses Menawar

Pada tahapan ini, satuan sektor publik (pemerintah) akan mengidentifikasi kebutuhan untuk

penyelenggaraan beberapa proyek, seperti pembangunan sebuah bangunan, jalur kereta atau

sebuah rumah sakit. Sektor publik akan mempromosikan kebutuhan pelaksanaan proyek tersebut

dan melakukan proses kompetitif dengan pertimbangan sektor privat yang menawar “lebih baik”

untuk memenangkan haknya sebagai pelaksana proyek. Sektor privat yang memenangkan, dengan

penawaran terbaik, akan terpilih dan mendapat konsesi sebagai bentuk solusi pengesahan

pelaksana.

2. Perusahaan Pelaksana Proyek

Pihak swasata akan membuat kontrak dengan pihak pemerintah dan meningkatkan pendapatan dari

investor dan peminjam untuk menyukseskan proyek. Biasanya, sebuah perusahaan yang baru dan

terpisah, akan diatur untuk menjadi pemilik proyek dalam rangka untuk melindungi para sponsor

dari sektor swasta dari kebangkrutan jika proyek gagal. Perusahaan baru ini diketahui sebagai

Special Pupose Vehicle (SPV). SPV merupakan perusahaan gabungan yang secara khusus dibangun

oleh pemerintah dan swasta untuk mencapai gol terselenggaranya pembangunan sebuah

infrastruktur.

3. Sponsor

Aktivitas dari perusahaan pelaku proyek tersebut akan diatur oleh satu atau lebih perusahaan

swasta (sebagai pihak sponsor). Secara tipikal, perusahaan pelaku proyek ini diatur sebagai cabang

langsung atau tak langsung dari sponsor. Sponsor tersebut biasanya merupakan pembagian investasi

seimbang dari sebuah perusahaan-perusahaan manajemen fasilitas atau konstruksi yang besar dan

mereka menginginkan pembagian manajemen fasilitas atau konstruksi mereka dapat

diselenggarakan. Pengaturan ini akan didokumentasikan ke dalam sebuah Shareholders Agreement.

4. Dokumentasi

14

Page 12: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Perusahanaan pelaksana proyek akan masuk pada tahapan kontrak kerjasama dengan sektor publik

(Persetujuan Konsesi). Hal ini merupakan sebuah kunci dokumen yang mendetailkan peraturan dan

kondisi sebuah proyek.

5. Kontraktor

Perusahanaan pelaksana proyek akan masuk pada tahapan kontrak-kontrak kerjasama untuk

memungkinkan perusahaan tersebut mengimplementasikan proyek dimana proyek tersebut masih

belum memiliki pekerja. Biasanya akan terdapat sebuah pihak yang akan diberi tanggung jawab

untuk menyelenggarakan manajemen fasilitas pelayanan yang didetailkan dalam Persetujuan

Konsesi (biasa disebut dengan FM Contractor) dan pihak yang diberi tanggung jawab untuk

mengawasi pengerjaan konstruksi yang didetailkan dalam Persetujuan Konsesi (Construction

Contractor). Beberapa tanggung jawab dapat di sub-kontrakkan ke pihak yang lebih khusus dan

spesialis dalam bidangnya (Sub-Constractor).

6. Pembiayaan

Perusahaan pelaksana proyek akan mendapat dana dari swasta untuk membiayai KPS. Biasanya,

dana tersebut diperoleh dari percampuran dana dari berbagai sponsor (biasanya proporsi kecil dari

semua tanggungan)dan pinjaman dari pemberi pinjaman luar. Pemberi pinjaman akan masuk

kedalam Persetujuan Pembiayaan dan Persetujuan Keamanan. Selain itu, terdapat Persetujuan

Kelangsungan. Biaya proyek menyediakan kekuatan dari cashflow sebuah perusahaan pelaksana

proyek namun dengan Persetujuan Konsesi sebagai kuncinya. Pembayaran yang dilakukan oleh

sektor publik adalah satu-satunya arus pendapatan dalam sebuah perusahaan pelaksana proyek,

sehingga jika Persetujuan Konsesi habis akibat pemerintah memberhentikan pembayaran atau

terlambat, perusahaan pelaksana proyek tidak harus membayar semua hutangnya. Jika sebuah

proyek mulai terjadi kesalahan dan hak sebuah perusahaan pelaksana proyek yang membuat sebuah

kontrak dalam bahaya, yang disebabkan oleh pihak sektor publik, maka pemberi pinjaman dapat

mengandalkan Persetujuan Kelangsungan yang menjamin kelangsungan dan keamanan perusahaan

pelaksana proyek hingga pemberi pinjaman dapat kesempatan untuk “menyelinap” ke dalam kaki

perusahaan pelaksana proyek dan memperbaiki situasi tersebut.

15

Page 13: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Gambar Skema KPS

2.1.4. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta

Apapun yang telah dilakukan oleh Pemerintah dengan RPJP, RTRWN, belanja APBN, kerja sama

dengan swasta, maupun pembentukan lembaga-lembaga pembiayaan dan pengelolaan risiko tersebut

merupakan langkah-langkah yang strategis, tetapi tetap dalam kapasitas yang masih terbatas dan masih

banyak kendala.

Selama ini pemerintah daerah masih terus membebani Pemerintah dengan permintaan bantuan-

bantuan langsung karena dana yang dimiliki pemerintah daerah sangat terbatas untuk memenuhi

kebutuhan pembangunan infrastruktur bagi daerahnya. Hal ini terjadi karena anggaran setiap daerah

untuk infrastruktur masih sangatlah kecil dibandingkan dengan anggaran belanja untuk kebutuhan

operasional pemerintah.

Rata-rata Belanja Modal daerah adalah sebesar 20% dari total APBD . Rendahnya Belanja Modal ini

lebih karena sebagian besar APBD digunakan untuk Belanja Operasional seperti gaji pegawai, biaya

perjalanan, ATK, dan banyak kebutuhan operasional lainnya yang mencapai 80% sehingga hanya tersisa

20% bagi pembangunan infrastruktur. Angka 20% ini semakin kecil bagi pemerintah kota yang rata-rata

hanya 13% saja. Gambaran ini menunjukkan bahwa pemerintahan di daerah masih kurang efisien

karena terlalu banyak dana yang dipakai untuk operasional ketimbang pembangunan infrastruktur yang

mampu mengangkat ekonomi daerahnya.

16

Page 14: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Terlepas dari persoalan ketidakefisienan pemerintah daerah sehingga kurangnya dukungan

terhadap pembangunan prasarana, pemerintah daerah sebenarnya masih memiliki dana selain dari

pendapatan, yaitu berupa Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA). Silpa umumnya berupa akumulasi

Surplus (Pendapatan dikurangi Belanja) tiap tahun. Rata-rata Surplus daerah adalah 12,6% dari total

APBD tiap tahun yang terkumpul dan sebagian digunakan untuk pembiayaan lain dan tersisa menjadi

Silpa. Karena pembiayaan lain yang dilakukan daerah masih relatif kecil, sehingga jumlah Silpa

jumlahnya semakin meningkat. Pada tahun 2006 yang lalu, dari sekitar 360 kabupaten/kota, jumlah Silpa

ini mencapai Rp 33,6 triliun dan kabarnya pada tahun 2007 sudah mencapai Rp 45 triliun. Dan bila

jumlah ini ditambah dengan Silpa milik provinsi (33 provinsi), maka bisa mencapai Rp 60 triliun lebih.

Silpa ini umumnya disimpan dalam bentuk Deposito “On call” di Bank Pembangunan Daerah (BPD)

setempat dan oleh karenanya banyak yang ditempatkan dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Jadi apabila daerah bekerja efisien dan mampu memanfaatkan dana-dananya, termasuk Silpa

untuk penyertaan modal, pinjam meminjam, menutupi defisit, dan kegiatan pembiayaan lainnya yang

ditujukan bagi pembangunan infrastruktur, maka sebenarnya akan sangat membantu Pemerintah dalam

mewujudkan strategi pembangunan infrastruktur yang berdaya saing global.

2.1.5. Peranan Masyarakat Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta

Masyarakat memiliki peran penting dalam proses Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS).

Dalam prosesnya, kerjasama tersebut memerlukan hubungan kerjasama pula dengan

kelompok-kelompok sosial. Dari segi pengembang, kerjasama dari komunitas-komunitas

tersebut telah terbukti dan berguna sebagai outlet-outlet peluncuran produk-produk pelayanan

kesehatan yang telah terbentuk. Selain popularisasi, komunitas tersebut berguna dalam

kampanye-kampanye komunikasi, manajemen kelompok-kelompok skala besar, menyediakan

sumber daya tambahan dan keahlian-keahlian teknis, serta bentuk usaha advokasi.

2.1.6. Faktor Keberhasilan Kerjasama Pemerintah-Swasta

Program pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya investasi yang besar. Kesuksesan KPS

pada pembangunan infrastruktur erat kaitannya dengan peningkatan Perkembangan Kebijakan

Pembiayaan Infrastruktur Transportasi (Bambang Susantono dan Mohammed Ali Berawi) 95 efisiensi

17

Page 15: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

dan produktivitas proyek, penciptaan manfaat lebih (value for money), inovasi, serta realisasi investasi

swasta (Koppenjan, 2008).

Berdasarkan kajian literatur mengenai sistem pendanaan KPS (Tabel 1), beberapa faktor kunci

keberhasilan skema KPS pada pembangunan infrastruktur mencakupi kerjasama dan komunikasi yang

baik beserta kerjasama yang solid antar para pihak, pembagian risiko yang berimbang, garansi

pengembalian investasi, dan key performance indicator (KPI) yang jelas dan terukur bagi parapihak yang

terlibat dalam hubungan kerjasama.

Selain itu, menurut penelitian yang pernah dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara di Samarinda

(2008) dalam Kajian Pola Kemitraan Pemerintah Kota Dengan Swasta Dalam Pembangunan Daerah Di

Kalimantan, terdapat beberapa asumsi yang harus terpenuhi agar tercipta kerjasama pemerintah-

swasta. Beberapa diantaranya antara lain :

- Pelayanan atau proyek kegiatan tidak bisa dilakukan sendiri karena keterbatasan finansial atau

pengalaman pemerintah.

- Mitra swasta bisa memberikan manfaat dalam peningkatan kualitas atau pelayanan publik yang

lebih baik daripada yang dilakukan oleh pemerintah.

- Mitra swasta memungkinkan pelayanan atau proyek kegiatan bisa dilaksanakan lebih cepat daripada

dilakukan sendiri oleh pemerintah.

- Ada dukungan dari pengguna layanan publik sebagai alasan dilibatkannya swasta dalam kegiatan

tersebut.

18

Page 16: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

- Ada peluang kompetisi diantara mitra swasta yang prospektif.

- Tidak ada aturan yang melarang pelibatan swasta dalam program kemitraan yang akan dilakukan

- Output layanan terukur dan ternilai dengan mudah

- Biaya program kemitraan bisa tertutup melalui implementasi biaya pengguna layanan.

- Proyek kegiatan atau pelayanan memberikan peluang berinovasi.

- Ada track record kemitraan dengan swasta dan ada peluang untuk mendorong perkembangan

ekonomi.

Kunci motivasi utama yang disadari oleh pemerintah dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)

adalah kemungkinan dalam memperoleh sumber pendanaan untuk mendanai kebutuhan pelayanan dan

infrastruktur publik (Barlow, 2010). Penting untuk dipahami bahwa mekanisme utama dalam proyek

infrastruktur, adalah prinsip investor dalam mengembangkan sebuah negara, sumber pendanaan,

struktur pembiayaan proyek sejenis, dan isu utama yang muncul dari transaksi-transaksi proyek yang

sedang berkembang (World Bank. 2012). Beberapa negara melengkapinya dengan pihak oenghitung

keuntungan finansial dari kerjasama pemerintah-swasta tersebut.

Sejumlah resiko utama perlu dipertimbangkan. Resiko-resiko ini akan perlu dialokasikan dan

dikelola untuk memastikan pembiayaan proyek yang sukses. Pihak terbaik ditempatkan untuk

pengelolaan resiko tersebut adalah sektor swasta. Namun, ada sejumlah produk-produk mekanisme dari

pasar sponsor proyek, pemberi pinjaman, dan pemerintah untuk mengurangi beberapa resiko tersebut,

seperti hedging dan kontrak berjangka, asuransi, dan produk-produk mitigasi bencana yang disediakan

oleh Institursi Pembiayaan Internasional (IFI) (World Bank, 2012).

2.1.7. Keberhasilan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)

Bank Dunia mencatat bahwa dari 4000 proyek KPS di seluruh dunia yang dipelajari, hanya terdapat

57 proyek yang bermaalah dan 185 proyek yang dibatalkan (Reside, 2009). Proyek KPS yang bermasalah

tetap dilanjutkan dengan komitmen dari investor dan pemerintah yang diwujudkan dengan cara

renegoisasi tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Renegosiasi proyek KPS pada umumnya

menyangkut kenaikan tarif, panjang periode konsesi, standar pelayanan yang harus dipenuhi, tata cara

pembayaran, penjaminan, hak ekslusif investor, serta rencana investasi secara keseluruhan, termasuk

jadwal dan nominal proyek. Renegosiasi terjadi pada 300 proyek dari 1000 proyek dengan pola konsesi

di Amerika Latin dan Karibia dalam kurun waktu tahun 1985 sampai 2000. Dalam bidang transportasi,

pada khususnya, renegosiasi cukup sering terjadi, yaitu pada 55% jumlah kontrak konsesi dan umumnya

19

Page 17: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

terjadi 3 tahun setelah konsesi diberikan kepada investor (Guasch, 2004). Motif renegosiasi pada

kontrak proyek di bidang transportasi biasanya terkait over estimated demand, yaitu tidak tercapainya

pendapatan investor karena jumlah lalulintas lebih kecil daripada jumlah lalulintas pada proyeksi awal.

Alasan-alasan lain 96 Jurnal Transportasi Vol. 12 No. 2 Agustus 2012: 93-102 renegosiasi ini umumnya

berkaitan dengan biaya-biaya operasi dan konstruksi yang membengkak serta masalah sekitar tarif,

seperti harga tarif yang dianggap tidak terjangkau atau tidak dapat dinaikkan sesuai jadwal yang

disepakati.

Mengikuti perkembangan KPS di Indonesia, terlihat adanya pergeseran arah kebijakan yang

diterapkan. Tonggak kebijakan KPS di Indonesia dicanangkan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden

No. 7 tahun 1998, Tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan

atau Pengelolaan Infrastruktur. Kebijakan ini kemudian tidak dapat dilaksanakan dengan baik akibat

krisis moneter yang melanda Indonesia serta peraturan perundangan pendukung lainnya yang belum

siap pada saat itu.

Kondisi ekonomi Indonesia pascakrisis 1998 membaik sehingga memungkinkan Pemerintah kembali

membuka peluang bagi swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur Indonesia dengan

skema KPS dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 tahun 2005, yang mengatur tata

cara KPS pada pembangunan proyek infrastruktur. Perpes ini tidak langsung menarik minat investor

pada KPS di bidang transportasi karena peraturan perundangan yang berlaku saat itu, seperti Undang-

Undang Pelayaran, Undang-Undang Penerbangan, dan Undang-Undang Perkeretaapian masih belum

memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk berpartisipasi aktif dalam pengelolaan

infrastruktur transportasi.

Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia, pemerintah mencanangkan empat

pilar utama Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Indonesia yang diluncurkan bersamaan

dengan digelarnya Infrastructure Summit 2005. Keempat pilar utama tersebut meliputi:

1. Pilar pertama adalah reformasi peraturan perundangan. Reformasi ini bertujuan untuk

membuka peluang swasta secara langsung dalam pembangunan infrastruktur. Undang-Undang

Pelayaran, Undang-Undang Penerbangan, dan Undang-Undang Perkeretaapian dan semua

turunannya direvisi sehingga membuka kemungkinan tidak hanya swasta tetapi juga masyarakat

dan pemerintah daerah dapat ikut serta dalam pembangunan infrastruktur.

2. Pilar kedua adalah penyusunan daftar proyek yang akan dipercepat pembangunannya, baik yang

dibiayai oleh APBN maupun oleh skema KPS. Untuk proyek KPS, disusun KPS Book yang berisi

informasi terkait proyek yang akan ditawarkan kepada pihak swasta. Beberapa proyek dipilih

20

Page 18: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

menjadi model proyek yang diharapkan dapat menjadi acuan proyek-proyek sejenis. Selain itu

juga disusun kerangka pengelolaan risiko yang memberikan jenis penjaminan yang sesuai dalam

pembangunan infrastruktur. Agar Perkembangan Kebijakan Pembiayaan Infrastruktur

Transportasi (Bambang Susantono dan Mohammed Ali Berawi) 97 jaminan Pemerintah ini tidak

secara langsung berimplikasi pada APBN, maka disusunlah konsep cikal bakal Indonesia

Infrastructure Guarantee Fund.

3. Pilar ketiga adalah pembentukan forum komunikasi yang erat antar pemangku kepentingan.

Forum ini adalah gagasan awal terbentuknya Indonesia Infrastructure Forum yang menjadi

wadah diskusi para pemangku kepentingan bidang infrastruktur, terutama dari unsur

pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Forum ini mengadakan pertemuan reguler

dengan tujuan menjembatani informasi, interaksi, dan pewujudan aksi bersama untuk

mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia. Forum ini sedianya merupakan

organisasi komplementer Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KPPI) yang

beranggotakan para menteri dan kepala lembaga terkait.

4. Pilar keempat adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan institusi. Pada eberapa

kementerian, dilahirkan badan pengatur sektor yang berfungsi sebagai regulator bagi sektor

terkait. Sebagai contoh adalah di bidang jalan tol, yang diatur oleh Badan Pengatur Jalan Tol

(BPJT), dan di bidang air minum, dengan dibentuknya Badan Pengatur Sistem Penyediaan Air

Minum.

Untuk melengkapi komitmen pemerintah dalam mendukung KPS di Indonesia, dibentuk beberapa

lembaga yang secara spesifik berperan dalam pelaksanaan KPS, seperti Indonesia Infrastructure

Guarantee Fund (IIGF), yang dibentuk untuk mencegah dan mengantisipasi resiko-resiko tertentu yang

terdapat pada pembangunan proyek infrastruktur. Penjaminan pemerintah ini bersifat tidak langsung

(non-recourse) sehingga pola penjaminan dilakukan di luar neraca keuangan (off-balance sheet), yang

berarti neraca keuangan Pemerintah tidak terekspos secara langsung. Risiko yang ditanggung adalah

risiko yang tidak mungkin ditanggung oleh pihak lain selain pemerintah, seperti pembebasan lahan dan

kepastian naiknya tarif secara berkala berdasarkan perjanjian konsesi.

Selanjutnya pemerintah membentuk PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk menutup celah

pembiayaan, khususnya pembiayaan antara (bridging finance) dan dana ekuitas. PT SMI bersama

dengan lembaga donor, seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), Bank Pembangunan

Jerman GIZ, membentuk Indonesia Infrastructure Funds and Facilities (IIFF).

21

Page 19: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Dalam rangka memacu pembangunan ekononomi di Indonesia, Pemerintah meluncurkan Master

Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Elemen utama yang perlu diprioritaskan

pada kesuksesan program MP3EI dalam rangka pendayagunaan sumber daya alam dan sumber daya

mineral dengan optimal adalah melalui pembangunan konektivitas dalam pulau (intra island), antar

pulau (inter islands), dan internasional. Jaringan transportasi adalah salah satu komponen utama

konektivitas tersebut.

22

Page 20: Bab II. Tinjauan Pustaka - Tugas II Pempem

Bab II. Tinjauan Pustaka

2.1. Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)

2.1.1. Latar Belakang Terjadinya Kerjasama Pemerintah-Swasta

2.1.2. Pendekatan dan Pengertian Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)

2.1.3. Cara Kerja Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS)

2.1.4. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta

2.1.5. Peranan Masyarakat Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta

2.1.6. Faktor Keberhasilan Kerjasama Pemerintah-Swasta

2.1.7. Keberhasilan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)

23