bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang...

24
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sikap Kerja Sikap kerja merupakan posisi relatif dari bagian tubuh tertentu, baik pada saat berdiri, duduk dan pada saat angkat serta angkut barang (Ariani, 2009). Sedangkan menurut Siska dan Teza (2012) sikap kerja adalah posisi kerja secara alamiah yang dibentuk oleh pekerja, sebagai akibat berinteraksi dengan fasilitas yang digunakan ataupun kebiasaan kerja. Berdasarkan kedua pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sikap kerja adalah posisi relatif bagian tubuh tertentu pada saat bekerja yang dipengaruhi oleh interaksi dengan fasilitas yang digunakan maupun kebiasaan kerja. Sikap kerja yang baik merupakan persyaratan untuk mencegah pekerja untuk mengalami kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan. Sikap kerja yang baik adalah suatu kondisi dimana bagian-bagian tubuh secara nyaman melakukan kegiatan seperti sendi- sendi bekerja secara alami dimana tidak terjadi penyimpangan yang berlebihan (OSHA, 2008). Namun karena beberapa faktor seperti desain ruangan dan tuntutan pekerjaan, menyebabkan pekerja bekerja dengan sikap kerja yang tidak alamiah (Work Safe, 2010). Menurut OSHA (2008) dan Susihono dan Rubianti (2013) sikap kerja yang tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian-bagian tubuh tidak berada atau bergerak menjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari posisi alamiahnya, semakin tinggi pula resiko terjadinya muskuloskeletal (Susihono dan Rubianti, 2013).

Upload: vanxuyen

Post on 19-Jun-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sikap Kerja

Sikap kerja merupakan posisi relatif dari bagian tubuh tertentu, baik pada saat

berdiri, duduk dan pada saat angkat serta angkut barang (Ariani, 2009). Sedangkan

menurut Siska dan Teza (2012) sikap kerja adalah posisi kerja secara alamiah yang

dibentuk oleh pekerja, sebagai akibat berinteraksi dengan fasilitas yang digunakan

ataupun kebiasaan kerja. Berdasarkan kedua pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa sikap kerja adalah posisi relatif bagian tubuh tertentu pada saat bekerja yang

dipengaruhi oleh interaksi dengan fasilitas yang digunakan maupun kebiasaan kerja.

Sikap kerja yang baik merupakan persyaratan untuk mencegah pekerja untuk

mengalami kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan. Sikap kerja yang baik adalah suatu

kondisi dimana bagian-bagian tubuh secara nyaman melakukan kegiatan seperti sendi-

sendi bekerja secara alami dimana tidak terjadi penyimpangan yang berlebihan (OSHA,

2008). Namun karena beberapa faktor seperti desain ruangan dan tuntutan pekerjaan,

menyebabkan pekerja bekerja dengan sikap kerja yang tidak alamiah (Work Safe, 2010).

Menurut OSHA (2008) dan Susihono dan Rubianti (2013) sikap kerja yang tidak alamiah

adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian-bagian tubuh tidak berada atau bergerak

menjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu

membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian

tubuh dari posisi alamiahnya, semakin tinggi pula resiko terjadinya muskuloskeletal

(Susihono dan Rubianti, 2013).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

9

Posisi tubuh yang menyimpang secara signifikan terhadap posisi normal saat

melakukan pekerjaan dapat menyebabkan stress mekanik lokal pada otot, ligament dan

persendian. Kondisi kerja seperti itu dapat menyebabkan ketidaknyamanan pekerja dan

apabila dilakukan dalam durasi waktu yang panjang, maka akan dapat menyebabkan

pekerja cepat lelah, penurunan kualitas produksi dan dapat berakibat pada kerusakan

permanen pada bagian tubuh (Pangaribuan, 2009).

2.2 Hubungan Sikap Kerja dengan Keluhan Muskuloskeletal

Penelitan-penelitian tentang keluhan muskuloskeletal banyak menunjukan bahwa

sikap kerja yang tidak alamiah merupakan salah satu faktor risiko dari keluhan

muskuloskeletal. Penelitian yang dilakukan penelitian oleh Sang, dkk. (2014), pada

pemanenan kelapa sawit di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara menunjukan bahwa sikap

kerja tidak alamiah berpengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal. Penelitian yang

dilakukan oleh Hanklang, dkk. (2014) juga menunjukan hasil yang serupa bahwa pekerja

perempuan yang bekerja dengan sikap tubuh yang tidak alamiah memiliki risiko untuk

mengalami keluhan muskuloskeletal 44 kali dibandingkan dengan pekerja perempuan

yang bekerja dengan posisi yang alamiah.

Perbedaan sikap kerja memberikan kecenderungan keluhan muskuloskeletal yang

juga berbeda, hal ini ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Pangaribuan (2009)

yang melakukan analisis terhadap postur kerja pada pegawai bagian pelayanan

perpustakaan USU, dari hasil analisis tersebut menunjukan bahwa dari total responden

80% diantaranya merasakan sakit kaku di leher bagian atas, hal ini disebabkan karena

pada umumnya leher bagian atas pekerja berada pada posisi mendongak untuk melihat

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

10

kode katalog buku, hasil lain menunjukan bahwa 67% responden merasakan sakit pada

bagian pinggang, hal ini disebabkan oleh pegawai melakukan postur kerja jongkok atau

bungkuk dalam waktu yang cukup lama. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk

menghindari terjadinya keluhan muskuloskeletal yang disebabkan oleh faktor pekerjaan

yaitu (Pangaribuan, 2009):

1. Mengurangi postur kerja membungkuk pada pekerja dengan frekuensi yang sering

dan dalam kurun waktu yang lama. Untuk memperbaiki hal ini, maka yang dapat

dilakukan adalah dengan mengatur stasiun kerja, seperti kursi yang harus disesuaikan

dengan antropometri pekerja agar pekerja tetap mampu mempertahankan postur kerja

yang normal.

2. Mengurangi tindakan pekerja untuk menggunakan jangkauan maksimum untuk

meraih alat kerja, dimana sebaiknya jangkauan dilakukan dengan jarak jangkauan

yang normal.

3. Mengatur pola kerja pekerja, dimana sebaiknya pekerja tidak duduk atau berdiri

dalam kurun waktu yang lama.

Namun tidak seluruh penelitian menunjukan adanya hubungan sikap kerja dengan

keluhan muskuloskeletal, hal ini ditunjukan pada penelitian Fathoni, dkk. (2009)

menunjukan bahwa sikap kerja tidak memiliki hubungan dengan nyeri pinggang pada

perawat RSUD Purbalingga. Penelitian yang dilakukan oleh Ulfah, dkk. (2014) juga

menunjukan hasil yang sama, bahwa sikap kerja yang tidak alamiah pekerja laundry

bagian pengeringan tidak berhubungan dengan risiko gangguan muskuloskeletal. Kedua

penelitian ini menunjukan bahwa sikap kerja yang tidak alamiah tidak selalu sebagai

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

11

penyebab dari keluhan muskuloskeletal. Karena kejadian keluhan muskuloskeletal pada

pekerja disebabkan oleh multifaktor.

2.3 Metode Penilaian Sikap Kerja

Berkaitan dengan bahaya terhadap gangguang kesehatan yaitu berupa keluhan

muskuloskeletal sebagai akibat dari sikap kerja yang tidak alamiah, maka banyak ahli yang

mengembangkan metode penilaiaan sikap kerja yang berisiko terhadap keluhan

muskuloskeletal. Pengembangan metode-metode tersebut bertujuan untuk memberikan

penilaian dari sikap kerja pekerja dalam bekerja apakah sikap kerja yang dilakukan

berisiko terhadap gangguan muskuloskeletal dan memberikan rekomendasi perbaikan

sikap kerja. Berikut adalah metode-metode yang umum digunakan dalam penilaian sikap

kerja untuk mengurangi risiko keluhan muskuloskeletal:

2.3.1 Metode OWAS (Ovako Working Analysis System)

Metode OWAS diperkenalkan pertama kali oleh seorang penulis dari Osmo Karhu

Finlandia, pada tahun 1977, yang awalnya ditujukan untuk mempelajari suatu pekerjaan

di industri baja di Finlandia (Tarwaka, 2014). Metode OWAS merupakan sebuah metode

yang sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisis beban yang diberikan pada

postur tubuh. Penggunaan metode OWAS didasarkan pada hasil pengamatan dari berbagai

posisi yang diambil pada pekerja selama melakukan pekerjaannya, dimana dapat

digunakan mengidentifikasikan sampai dengan 252 posisi yang berbeda. Hasil akhir dari

metode OWAS merupakan kombinasi antara postur tubuh bagian belakang (4 posisi),

lengan (3 posisi), kaki (7 posisi), dan berat beban (3 interval) (Tarwaka, 2014).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

12

Proses penilaian postur kerja dengan menggunakan metode OWAS, diawali

dengan melakukan observasi aktivitas pekerja dengan cara merekam aktivitas yang

dilakukan oleh pekerja baik menggunakan kamera atau menggunakan hendicam. Hasil

rekaman digunakan untuk menganalisis postur yang dilakukan, yaitu: postur punggung,

lengan, kaki dan berat beban. Hasil analisis postur dalam bentuk kode angka yang

kemudian diklasifikasikan ke dalam kategori. Tahapan penilaian sikap kerja dengan

menggunakan metode OWAS seperti ditunjukan pada gambar berikut (Budiman dan

Styaningsih, 2006):

Gambar 2.1 Tahapan Proses Penggunaan Metode OWAS

Hasil akhir dari metode OWAS adalah risiko untuk mengalami gangguan

muskuloskeletal dari sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja. Pengkategorian risiko

tersebut dibagi ke dalam sekala ordinal yaitu 1-4, dimana apabila skor yang diperoleh

semakin mendakati 4 maka semakin tinggi risiko untuk mengalami gangguan

muskuloskeletal, untuk penjelasan yang lebih lengkap dapat dilihat pada tabel berikut

(Tarwaka, 2014):

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

13

Tabel 2.1 Pengklasifikasian Kategori Risiko dan Tindakan Perbaikan Menurut Metode

OWAS Tingkat

risiko

Kategori

risiko

Efek pada sistem muskuloskeletal Tindakan perbaikan

1 Ringan Posisi normal tanpa efek yang dapat

mengganggu sistem muskuloskeletal

Tidak diperlukan perbaikan

2 Sedang Posisi yang berpotensi menyebabkan

kerusakan pada sistem muskuloskeletal

Tindakan perbaikan mungkin

diperlukan

3 Tinggi Posisi dengan efek yang berbahaya

pada sistem muskuloskeletal

Tindakan korektif diperlukan

segera

4 Sangat

Tinggi

Posisi dengan efek sangat berbahaya

pada sistem muskuloskeletal

Tindakan korektif diperlukan

segera mungkin

Metode OWAS telah digunakan seara luas untuk melakukan penilaian posisi kerja

seperti penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2007) untuk menilai sikap kerja pada

pekerja UD. TS yaitu industri kecil yang memproduksi paving dan tegel. Metode OWAS

merupakan sebuah metode yang sedarhana dan dapat digunakan untuk menganalisis suatu

pembebanan pada postur kerja, dan hal ini merupakan kelebihan dari metode OWAS.

Namun menurut (Budiman dan Styaningsih, 2006) metode ini juga memiliki sejumlah

kekurangan yaitu tidak menganalisis postur seluruh tubuh namun secara detail, dan belum

menganalisis pemakaian tenaga otot statik serta gerakan repetitif. Berdasarkan kekurangan

dari metode OWAS maka Tarwaka (2014) berpendapat bahwa diperlukan aplikasi metode

lain yang lebih spesifik, khususnya tentang klasifikasi tingkat keparahan dari posisi yang

berbeda, yang akan dapat membantu hasil kajian secara lebih mendetail.

2.3.2 Metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment)

Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Lynn McAtamney dan Nigel Corlett

(1993), yang mengobservasi segmen tubuh khususnya tubuh bagian atas dan

mentransfernya dalam bentuk skoring (Tarwaka, 2014). Metode RULA merupakan suatu

metode yang menggunakan penilaian terhadap postur tubuh, untuk mengestimasi

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

14

terjadinya risiko gangguan muskuloskeletal, khususnya pada anggota tubuh bagian atas.

Prinsip dari metode ini adalah mengukur sudut dasar yaitu sudut yang dibentuk oleh

perbedaan anggota tubuh (limbs) dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai,

dimana pengukuran sudut dapat dilakukan dengan alat bantu seperti busur drajat.

Pada intinya metode RULA memiliki kemiripan dengan metode OWAS yaitu

merekam terlebih dahulu aktivitas pekerja, namun metode ini memiliki keunggulan dalam

melakukan penilaian yaitu metode ini lebih detail dalam melakukan penilaian terhadap

bagian-bagian tubuh pekerja yaitu mengukur besarnya sudut penyimpangan bagian-bagian

tubuh dari posisi alamiahnya. Metode ini sangat efektif untuk mengidentifikasi sikap kerja,

khususnya aktivitas yang banyak melibatkan anggota tubuh bagian atas (Budiman dan

Styaningsih, 2006). Metode RULA dapat digunakan untuk menentukan prioritas pekerjaan

berdasarkan faktor risiko cidera, yang dilakukan dengan membandingkan nilai tugas-tugas

yang berbeda, di samping itu metode ini merupakan alat untuk melakukan analisis awal

yang mampu menentukan seberapa jauh risiko pekerja oleh faktor-faktor penyebab cedera

(Tarwaka, 2014). Metode ini telah secara umum digunakan dalam melakukan penilaian

sikap kerja pekerja, hal ini ditunjukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Pangaribuan

(2009) untuk menganalisis postur kerja pada pegawai pelayanan perpustakaan USU

Medan, kemudian penelitian yang dilakukan oleh Singh, dkk. (2012) untuk melihat risiko

gangguan muskuloskeletal pada pekerja pabrik penempaan di India. Metode ini harus

dilakukan terhadap kedua sisi anggota tubuh kiri dan kanan, dimana tubuh dibagi manjadi

dua kelompok yaitu kelompok A (lengan atas dan bawah dan pergelangan tangan) dan

kelompok B (leher, tulang belakang dan kaki) (Budiman dan Styaningsih, 2006 dan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

15

Tarwaka, 2014). Berikut adalah tahapan pengukuran sikap kerja dengan menggunakan

metode RULA seperti ditunjukan pada gambar berikut (Budiman dan Styaningsih, 2006):

Gambar 2.2 Tahapan Proses Penggunaan Metode RULA

Tahap awal dari pengukuran sikap kerja dengan menggunakan metode RULA,

dilakukan dengan merekam sikap kerja pekerja pada saat bekerja. Pemilihan sikap kerja

yang akan diamati, didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu (Middlesworth, 2012):

a. Sikap kerja yang paling sulit untuk dilakukan (berdasarkan hasil wawancara pekerja

dan observasi awal).

b. Sikap kerja yang dilakukan dalam kurun waktu yang lama.

c. Sikap kerja yang membutuhkan tenaga tinggi untuk melakukannya.

Setelah dilakukan perekaman sikap kerja pekerja yang akan diamati, kemudian

dilakukan penilaian terhadap sikap kerja statis dan beban angkatan tersebut untuk

mendapatkan skor RULA. Hasil akhir dari metode RULA adalah berupa penilaian risiko

untuk mengalami keluhan muskuloskeletal dari sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja.

Pengkategorian risiko tersebut ditunjukan pada tabel berikut (Tarwaka, 2014):

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

16

Tabel. 2.2 Pengklasifikasian Kategori Risiko dan Tindakan Perbaikan Menurut Metode

RULA Skor Akhir

RULA

Tingkat

Risiko

Kategori

Risiko

Tindakan

1-2 0 Rendah Tidak ada masalah dengan postur tubuh

3-4 1 Sedang Diperlukan investigasi lebih lanjut, mungkin diperlukan

adanya perubahan untuk perbaikan sikap kerja

5-6 2 Tinggi Diperlukan adanya investigasi dan perbaikan segera

7+ 3 Sangat

tinggi

Diperlukan adanya investigasi dan perbaikan secepat

mungkin

2.3.3 Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment)

Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney,

yang merupakan hasil kerja sama antara tim ergonomist, fisioterapi, ahli okupasi dan

perawat yang mengidentifikasi sekitar 600 posisi di industri manufacturing (Tarwaka,

2014). Metode REBA merupakan suatu alat analisis postural yang sangat sensitive terhadap

pekerjaan yang melakukan perubahan posisi secara mendadak, biasanya sebagai akibat dari

penanganan kontainer yang tidak stabil dan tidak terduga. Sama halnya dengan metode

RULA, pengukuran dengan metode REBA juga dilakukan pada kedua sisi yaitu sisi kanan

dan kiri.

Keistimewaan dari metode REBA yaitu mampu untuk menganalisis pengaruh pada

beban postural selama penanganan kontainer yang dilakukan dengan tangan atau bagian

tubuh lainnya, memungkinkan untuk melakukan penilaian terhadap aktivitas otot yang

disebabkan oleh posisi tubuh statis, dinamis, atau karena terjadinya perubahan postur yang

tak terduga atau tiba-tiba dan lain-lain (Tarwaka, 2014). Sejak dipublikasikan pada tahun

2000, metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti untuk menilai sikap kerja pekerja

seperti Ariani (2009) untuk melihat gambaran risiko muskuloskeletal pada buruh angkut

(porter) di stasiun kereta Jatinegara dan juga Lasota (2014) yang melakukan studi kasus

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

17

pengukuran beban kerja pada pekerja pengepakan di Polandia. Berikut adalah tahapan

pengukuran sikap kerja dengan menggunakan metode REBA seperti ditunjukan pada

gambar berikut (Budiman dan Styaningsih, 2006):

Gambar 2.3 Tahapan Proses Penggunaan Metode REBA

Tahap awal dari pengukuran sikap kerja dengan menggunakan metode REBA,

dilakukan dengan merekam sikap kerja pekerja pada saat bekerja. Pemilihan sikap kerja

yang akan diamati, didasari oleh beberapa pertimbangan yaitu (Ariani,2009):

a. Postur yang paling sering dilakukan.

b. Postur yang statis dalam waktu lama.

c. Postur yang membutuhkan aktivitas otot atau tenaga yang besar.

d. Postur yang diketahui menyebabkan ketidaknyamanan.

e. Postur janggal, tidak stabil dan ekstrim.

Setelah dilakukan perekaman sikap kerja pekerja yang akan diamati, kemudian

dilakukan penilaian terhadap sikap kerja, berat beban yang diangkat, pegangan dari beban

yang diangkat dan posisi statis dari aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan skor

REBA. Setelah diketahui skor akhir dari metode REBA, selanjutnya dikalasifikasikan skor

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

18

akhir ke dalam 5 tingkatan. Setiap tingkatan aksi menentukan tingkat risiko dan tindakan

korektif yang disarankan pada posisi yang dievaluasi. Semakin besar nilai dari hasil yang

diperoleh, maka akan lebih besar risiko yang dihadapi untuk posisi yang bersangkutan.

Berikut adalah penilaian berdasarkan skor akhir berdasarkan metode REBA:

Tabel 2.3 Kategori Risiko Berdasarkan Sikap Kerja Menurut Metode REBA

Skor Akhir Tingkat

Risiko

Kategori Risiko Tindakan

1 0 Sangat Rendah Tidak ada tindakan

2-3 1 Rendah Mungkin diperlukan tindakan

4-7 2 Sedang Diperlukan tindakan

8-10 3 Tinggi Diperlukan tindakan segera

11-15 4 Sangat Tinggi Diperluka tindakan sesegera mungkin

2.4 Keluhan Muskuloskeletal

2.4.1 Definisi keluhan muskuloskeletal

Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang/kerangka, otot, tulang rawan,

ligament, tendon, fascia, bursae dan persendian (Ariani, 2009). Fungsi utama dari

sistem ini adalah mempertahankan postur tubuh manusia dan membantu manusia

dalam bergerak.

Apabila sistem muskuloskleletal mendapatkan pengaruh dari luar tubuh seperti

otot menerima beban statis secara berulang dan dalam kurun waktu yang lama

maupun faktor internal seperti usia, maka akan dapat mempengaruhi kinerja dari

sistem muskuloskeletal yang pada akhirnya dapat menyebabkan keluhan berupa

kerusakan pada sendi, ligament dan tendon. Keluhan pada sistem muskuloskeletal

adalah keluhan yang dirasakan oleh seseorang pada bagian otot dan rangka dengan

tingkat keluhan yang berbeda-beda, keluhan hingga kerusakan ini yang biasanya

diistilahkan dengan gangguan muskuloskeletal (Tarwaka, 2014). Pada umumnya

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

19

keluhan muskuloskeletal terjadi apabila sistem muskuloskeletal menerima beban

yang melampaui kapasitasnya dengan durasi pembebanan yang panjang (WHO,

2003). Pembebanan berlebih pada otot yang menyebabkan otot mengalami kontraksi

melebihi 20% dari kekuatan maksimumnya, yang akan berdampak pada kurangnya

peredaran darah ke otot (Tarwaka, 2014). Menurunnya suplai oksigen ke otot

menyebabkan proses metabolisme karbohidrat terhambat dan akan terjadi

penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya nyeri otot. Secara garis besar

keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua yaitu (Tarwaka, 2014):

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot

menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang

apabila pemberian beban dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent) yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun

pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus

berlanjut.

Faktor pekerjaan dipercayai sebagai salah satu faktor risiko dari gangguan

muskuloskeletal. Gangguan muskuloskeletal yang disebabkan oleh faktor pekerjaan

disebut dengan Work-Related Muskuloskeletal Disorders (WRMSDs). Keluhan

muskuloskeletal yang berkaitan dengan pekerjaan didefinisikan sebagai gangguan

yang terjadi pada struktur tubuh seperti: otot, sendi, tendon, ligamen, saraf, tulang dan

sistem peredaran darah lokal, yang terutama disebabkan atau diperparah oleh faktor

pekerjaan (OSHA, 2007). Pada umumnya gangguan muskuloskeletal yang berkaitan

dengan pekerjaan adalah gangguan kumulatif, yang dihasilkan dari paparan berulang

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

20

terhadap beban intensitas tinggi atau rendah yang dilakukan dalam kurun waktu yang

panjang.

2.4.2 Faktor risiko keluhan muskuloskeletal

Faktor risiko adalah hal-hal atau kondisi yang dapat memicu munculnya

keluhan muskuloskeletal. Berikut adalah faktor-faktor risiko munculnya keluhan

muskuloskeletal:

1. Potensi bahaya ergonomi

Potensi bahaya ergonomi adalah potensi bahaya yang berasal atau yang

disebabkan oleh penerapan ergonomi yang tidak baik atau tidak sesuai dengan norma-

norma ergonomi yang berlakudalam melakukan pekerjaan (Tarwaka, 2008). Berikut

adalah potensi bahaya ergonomi yang dapat menyebabkan keluhan muskuloskeletal:

a. Aktivitas berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus

seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar dan angkat angkut (Tarwaka,

2014). Sedangkan pada metode penilain sikap kerja REBA dan RULA, yang

dikategorikan sebagai aktivitas berulang adalah apabila suatu kegiatan dilakukan

empat kali dalam satu menit. Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya, dkk.,(2011)

untuk melihat faktor-faktor risiko keluhan muskuloskeletal pada mahasiswa

kedokteran gigi UI menunjukan bahwa gerakan repetitive merupakan salah faktor

risiko dari keluhan muskuloskeletal. Pada aktivitas yang dilakukan secara berulang,

keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus

menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksaasi (Tarwaka, 2014).

b. Sikap kerja tidak alamiah

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

21

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-

bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, dimana semakin jauh posisi bagian

tubuh dari pusat grafitasi tubuh, maka semakin meningkat pula risiko terjadinya

keluhan muskuloskeletal (Tarwaka, 2014). Penelitian yang dilakukan Sang, dkk.

(2014), pada pemanenan kelapa sawit di PT. Sinergi Perkebunan Nusantara

menunjukan bahwa sikap kerja berpengaruh terhadap keluhan muskuloskeletal. Sikap

kerja yang tidak alamiah menyebabkan sendi lebih rentan mengalami cidera (Nunes

dan Bush, 2012).

c. Peregangan otot yang berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja

yang memerlukan pengerahan tenaga yang berlebih pada saat melakukan aktivitas

kerja seperti pekerjaan manual material handling. Peregangan otot yang berlebihan

ini terjadi kerena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum

otot (Tarwaka, 2014). Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat meningkatkan

risiko terjadinya keluhan muskuloskeletal. Pekerja yang memerlukan tenaga yang

berlebihan lebih cenderung untuk mengalami keluhan muskuloskeletal hal ini

ditunjukan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2009) pada porter di

Stasiun Kereta Jatinegara menunjukan bahwa 100% responden merasakan

ketidaknyamanan/keluhan pada sistem muskuloskeletal.

2. Potensi Bahaya Fisik

Potensi bahaya fisik adalah potensi bahaya yang dapat menyebabkan

gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar (Tarwaka, 2008).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

22

Berikut adalah potensi bahaya fisik yang dapat menyebabkan keluhan

muskuloskeletal:

a. Getaran

Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah.

Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, sehingga akan terjadi

penimbunan asam laktat dan pada akhirnya akan menimbulkan rasa nyeri otot

(Tarwaka, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2013) di Bangladesh

menunjukan bahwa prevalensi sopir truk yang mengalami ganguan muskuloskeletal

adalah 75%, dimana seluruh sopir truk terpapar getaran yang ditimbulkan dari mesin

mobil. Nusa, dkk. (2014), menunjukan bahwa getaran memiliki hubungan dengan

keluhan muskuloskeletal pada sopir bus trayek Manado-Langowan. Penelitian

tersebut menunjukan bahwa pekerja yang menerima getaran berlebih dan frekuensi

waktu yang lama berisiko untuk mengalami keluhan muskuloskeletal.

b. Paparan suhu lingkungan kerja.

Paparan lingkungan kerja dengan suhu dingin demikian juga dengan paparan

suhu panas yang berlebihan dapat menurunkan kekuatan otot pekerja yang akan

berdampak pada menurunnya kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja (Tarwaka,

2014). Beberapa sumber seperti OSHA (2007), Nunes dan Bush (2012) dan Tarwaka

(2014) menyebutkan bahwa paparan suhu dingin meningkatkan kemungkinan pekerja

untuk mengalami keluhan muskuloskeletal. Paparan suhu dingin dapat

mempengaruhi efisiensi otot dan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf. Sama

halnya dengan paparan suhu dingin yang berlebih, paparan suhu panas yang berlebih

juga dapat menyebabkan terjadinya keluhan muskuloskeletal pada pekerja.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

23

Lingkungan kerja panas, mengakibatkan tubuh mengeluarkan energi yang lebih

banyak untuk menyesuaikan diri. Apabila tubuh tidak memiliki cadangan energi yang

cukup untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar, maka hal ini akan

menyebabkan peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun dan

terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot (Tarwaka,

2014).

3. Karakteristik individu

Faktor risiko individu dapat mempengaruhi kemungkinan untuk terjadinya

keluhan muskuloskeletal. Faktor-faktor ini bervariasi tergantung pada penelitian yang

dilakukan, namun faktor risiko individu yang paling umum dikatakan sebagai faktor

risiko keluhan muskuloskeletal yaitu:

a. Umur

Umur merupakan salah satu faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal, hal

ini dikarenakan pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai

menurun sehingga sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat (Tarwaka,

2014). Penelitian yang dilakukan oleh Umami, dkk. (2014) menunjukan bahwa

terdapat hubungan yang bermaknsa antara umur dan keluhan nyeri punggung

bawah pada pekerja batik tulis. Bertambahnya umur akan menyebabkan penurunan

fungsi sistem tubuh yang salah satunya adalah sistem muskuloskeletal, hal ini akan

berdampak pada meningkatnya risiko keluhan muskuloskeletal.

Namun penelitian Ellyana (2014) pada kuli panggul dan Sani, dkk. (2014)

pada pekerja batik tulis, menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara umur pekerja dan keluhan muskuloskeletal. Hal tersebut

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

24

disebabkan karena pekerja telah terbiasa melakukan pekerjaan tersebut dan merasa

nyaman dengan pekerjaannya.

b. Jenis kelamin

Secara fisiologis, kemampuan otot perempuan memang lebih rendah dari

pada laki-laki. Astrand dan Ronald (1996) dalam Tarwaka (2014) menjelaskan

bahwa kekuatan otot perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yaitu

sekitar dua pertiga dari kekuatan otot laki-laki, sehingga daya tahan otot perempuan

lebih rendah dibandingakn laki-laki. Pekerja perempuan lebih cenderung untuk

mengalami keluhan muskuloskeletal dibandingkan dengan pekerja laki-laki.

Penelitian Bedu, dkk. (2013) bahwa jenis kelamin mempengaruhi keluhan

muskuloskeletal.

c. Masa kerja

Masa kerja adalah suatu kurun waktu lamanya seorang pekerja bekerja di

suatu tempat (Riski, 2013). Masa kerja merupakan faktor risiko dari keluhan

keluhan muskuloskeletal, karena keluhan muskuloskeletal yang berkaitan dengan

pekerjaan bersifat kumulatif, yang berarti bahwa semakin lama seseorang terpajan

faktor risiko maka semakin besar seseorang merasakan keluhan- keluhan fisik

akibat pekerjaannya. Penelitian yang menunjukan masa kerja sebagai salah satu

faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal adalah penelitian yang dilakukan oleh

Bedu, dkk. (2013) menunjukan bahwa masa kerja berpengaruh terhadap keluhan

muskuloskeletal.

Namun tidak seluruh penelitian menunjukan bahwa masa kerja merupakan

faktor risiko dari keluhan muskuloskeletal. Penelitian yang dilakukan oleh Nusa,

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

25

dkk. (2014) menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara masa kerja dengan

keluhan muskuloskeletal. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh

Jonathan dkk. (2013) pada kuli bongkar muatan dan Sani, dkk. (2014) pada

pengajin batik juga memperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara masa

kerja dan keluhan muskuloskeletal pada pengajin batik.

d. Antropometri

Antropometri adalah suatu kumpulan data numerik yang berhubungan

dengan karakteristik fisik tubuh manusia yang meliputi: ukuran, bentuk dan

kekuatan serta penerapan dari data tersebut dalam membangun desain tempat kerja

(Nurmianto, 2004). Keluhan muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh

lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima

beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Index

antropometri yang umumnya digunakan untuk menilai risiko seseorang untuk

ngalami keluhan muskuloskeletal adalah Indeks Massa Tubuh (IMT). Menurut

Depkes RI (2006) Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat dikelompokan menjadi 4

yaitu:

Tabel 2.4 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)

Kategori Jenis Kelamin

Laki-Laki Perempuan

Kurus <17 kg/m2 <18 kg/m2

Normal 17-23 kg/m2 18-25 kg/m2

Kegemukan 23-27 kg/m2 25-27 kg/m2

Obesitas >27 kg/m2 >27 kg/m2

Menurut OSHA (2007), orang yang tergolong mengalami obesitas, lebih

cenderung untuk mengalami keluhan muskuloskeletal. Penelitian yang dilakukan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

26

oleh Vessy, dkk., (1994) dalam Tarwaka (2014) menyatakan bahwa perempuan

yang gemuk mempunyai risiko dua kali lipat mengalami keluhan muskuloskeletal

dibandingkan dengan perempuan kurus. Namun penelitian lain yang dilakukan

oleh Sani, dkk. (2014) dan Jonathan dkk. (2013) menunjukan bahwa tidak terdapat

hubungan antara status Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan keluhan

muskuloskeletal.

2.4.3 Penilaian tingkat keluhan muskuloskeletal.

Metode nordic body map merupakan metode yang paling umum

digunakan untuk menilai tingkat keluhan muskuloskeletal yang dirasakan oleh

seseorang. Dalam aplikasinya, metode nordic body map, menggunakan gambar

tubuh manusia yang dibagi menjadi 28 bagian otot pada sistem muskuloskeltal

pada kedua sisi tubuh.

Penilaian dengan menggunakan nordic body map dapat dilakukan dengan

2 cara yaitu (Tarwaka, 2014):

1. Menggunakan skala nominal yang memberikan dua pilihan yaitu ya apabila

merasakan keluhan muskuloskeletal pada bagian tubuh yang ditanyakan dan

tidak apabila tidak merasakan keluhan pada bagian tubuh yang ditanyakan.

2. Menggunakan skala ordinal, dimana penilaian dilakukan dengan menggunakan

skoring 0-3, yang menunjukan tingkat keluhan yang dirasakan. Berikut adalah

contoh tingkat keparahan pada masing-masing skor tersebut:

a. Skor 0 = Tidak ada keluhan /kenyerian pada otot-otot atau tidak ada rasa

sakit sama sekali yang dirasakan oleh pekerja selama melakukan

pekerjaaan (tidak sakit)

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

27

b. Skor 1 = Dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada bagian otot,

tetapi belum mengganggu pekerjaan (agak sakit)

c. Skor 2 = Responden merasakan adanya keluhan/kenyerian atau sakit pada

bagain otot dan sudah mengganggu pekerjaan, tetapi rasa kenyeriaan segera

hilang setelah dilakukan istirahat dari pekerjaan (sakit).

d. Skor 3 = Responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri pada

bagian otot dan kenyerian tidak segera hilang meskipun telah beristirahat

yang lama atau bahkan diperlukan obat pereda nyeri otot (sangat sakit).

Setelah dilakukan skoring kemudian dihitung total skor keluhan

muskuloskeletal yang kemudian dicocokan dengan klasifikasi seperti di bawah

ini (Tarwaka, 2014):

Tabel 2.5 Klasifikasi Skor Keluhan Muskuloskelatal

Total Skor

Keluhan

Individu

Tingkat

Risiko

Kategori

Risiko

Tindakan perbaikan

0-20 0 Rendah Belum diperlukan tindakan

perbaikan

21-41 1 Sedang Mungkin diperlukan tindakan

perbaikan

42-62 2 Tinggi Diperlukan tindakan perbaikan

63-84 3 Sangat tinggi Diperlukan tindakan

menyeluruh sesegera mungkin

Metode nordic body map merupakan metode yang sangat subjektif,

artinya hasil dari metode ini sangat bergantung pada kondisi yang dihadapi oleh

responden dan juga keahlian observer (Tarwaka, 2014). Namun metode ini

merupakan metode yang paling umum digunakan untuk melihat gambaran

keluhan muskuloskeletal pada pekerja, salah satunya yaitu Ariani (2009) untuk

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

28

melihat gambaran keluhan muskuloskeletal pada porter di Stasiun Kereta Jatinegara dan

Abdillah (2013) untuk melihat keluhan muskuloskeletal pada pekerja kuli angkut buah

di Pasar Johar, Kota Semarang.

2.5 Pengrajin Patung

Menurut Susanto (2011) seni patung adalah sebuah karya seni yang dibuat

dengan metode subtraktif (mengurangi bahan seperti memotong, menatah) atau aditif

(membuat model lebih dulu seperti mengecor dan mencetak) dimana karya seni ini

berbentuk tiga dimensi. Sedangkan menurut kamus besar Bahasa Indonesia, seni patung

didefinisikan sebagai benda tiruan, yang menyerupai manusia dan hewan yang cara

pembuatannya dengan dipahat. Orang yang berprofesi sebagai pembuat patung, pada

umumnya disebut dengan pengrajin patung. Menurut kamus besar bahasa Indonesia

pengrajin adalah orang yang pekerjaannya (profesinya) membuat barang kerajinan.

Sehingga berdasarkan definisi dari pengrajin tersebut, maka pengrajin patung dapat

didefinisikan sebagai orang yang pekerjaannya (profesinya) membuat barang kerajinan

patung.

Patung dapat dibuat dari berbagai bahan seperti: kayu, batu paras, tanah liat dan

lain-lain. Proses pembuatan patung sangat beragam, tergantung dari bahan yang

digunakan. Untuk pembuatan patung kayu, berdasarkan informasi yang diperoleh dari para

pengrajin patung di Desa Kemenuh, secara umum dibagi menjadi 7 tahap yaitu:

1. Pemilihan kayu dan ide

Tahap ini merupakan langkah awal yang dilakukan oleh para pengrajin patung.

Jenis kayu yang umumnya digunakan dalam pembuatan patung yaitu: kayu mahoni, jati,

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

29

waru, sono, dan eboni. Pemilihan kayu ini tidak tergantung dari kesempurnaan kondisi

kayu tersebut, dimana kayu yang sudah dalam kondisi tidak baik pun dapat dimanfaatkan

oleh pengrajin patung. Hal ini sangat tergantung dari ide yang dimiliki oleh pengrajin. Ide

awal yang dimiliki oleh seorang pengrajin patung, merupakan faktor yang paling

menentukan akan dibentuk menjadi apa potongan kayu yang telah diperoleh tersebut.

2. Pembentukan/nyalonan

Pembentukan merupakan langkah kedua yang dilakukan setelah para pengrajin

memilih kayu. Pembentukan merupakan proses dimana kayu yang diperoleh dibentuk

menjadi bentuk yang diinginkan, namun masih dalam bentuk kasar. Lekukan-lekukan

yang terbentuk masih dalam bentuk kasar dan belum tegas, namun telah menunjukan

gambaran bentuk patung yang diinginkan.

3. Pengahalusan

Pengahalusan merupakan tahap selanjutnya yang dilakukan setelah proses

pembentukan. Pada tahap ini, bentuk dari patung dipertegas. Lekukan-lekukan dari

bagian-bagian patung tersebut dipertegas dengan cara dihaluskan dengan menggunakan

pahat (ngerot). Tehnik penghalusan dilakukan berlawanan arah denagn serat kayu, hal ini

bertujuan untuk memudahkan untuk melepas lapisan kayu.

4. Pengukiran

Pengukiran merupakan tahapan dalam proses pembuatan patung yang dilakukan

untuk menambahkan ornamen atau hiasan pada pada patung. Penambahan ornament ini

sangat ditentukan oleh jenis patung yang dibuat dan pengaruh dari daerah setempat. Untuk

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

30

di Bali khususnya di Desa Kemenuh, ornamen yang umumnya ditambahkan adalah

ornament pepatran. Ornamen pepatran adalah ornament yang ide/konsep diambil dari

tanaman yang merambat.

5. Pembuatan wajah/muent

Pembuatan wajah merupakan tahapan yang dilakukan untuk membentuk wajah

dari patung agar terbentuk karakter yang ingin diciptakan oleh pengrajin.

6. Pengamplasan

Pengamplasan merupakan tahapa dalam proses pembuatan patung yang dilakukan

untuk menghaluskan patung yang sudah terbentuk sesuai dengan ide awal pengrajin.

Pengamplasan dilakukan dengan dua tahap yaitu:

a. Pengamplasan keras untuk meratakan bagain-bagain dari patung.

b. Pengamplasan untuk membuat patung terlihat mengkilap.

7. Penyemiran

Penyemiran merupakan tahap akhir dalam proses pembuatan patung. Penyemiran

dilakukan dengan menggunakan semir sepatu yang dicampur dengan minyak yang

kemudian dioleskan pada patung tersebut. Tujuan dari proses penyemiran ini adalah agar

patung terlihat semakin mengkilap, sehingga tampilan patung menjadi lebih menarik

untuk dilihat.

Waktu yang diperlukan pada setiap tahapan pembuatan patung kayu sangat

bervariasi tergatung dari ukuran patung dan inspirasi yang dimiliki oleh pengrajin patung.

Seluruh proses pembuatan patung tersebut dilakukan dengan posisi duduk, dimana

seorang pengrajin patung dapat bertahan duduk selama berjam-jam.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfmenjauhi posisi alamiah mereka, seperti tangan yang terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin

31

Apabila dilihat dari sudut pandang seni, hal tersebut merupakan hal yang wajar

dilakukan namun apabila dilihat dari sisi kesehatan, tentunya kondisi tersebut dapat

menimbulkan masalah kesehatan pada pengrajin petung seperti keluhan muskuloskelatal.

Sejumlah penelitian telah menunjukan bahwa sejumlah pekerjaan yang dilakukan dengan

posisi duduk selama kurun waktu yang lama dapat menyebabakan keluhan

muskuloskeletal pada pekerjanya. Penelitian yang dilakukan oleh Siswiyanti dan

Luthfianto (2011) pada pembatik tulis di Kelurahan Kalinyamat Wetan Kota Tegal

menunjukan bahwa para pembatik yang melakukan kegiatan membatik dengan posisi

duduk merasakan keluhan muskuloskeletal yaitu 40% pada tubuh bagian bokong, siku

kanan, lutut kiri, dan 60% pada tubuh bagian punggung dan pantat. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Sani, dkk. (2014) pada pekerja perempuan kerajinan batik tulis di Dusun

Karang Kulon Desa Wukirsari menunjukan bahwa seluruh responden yang berjumlah 55

orang merasakan keluhan muskuloskeletal, dimana 89% merasakan keluhan dibagai leher

dan 83% merasakan keluhan di bagian punggung. Subjek penelitian yang digunakan oleh

kedua peneliti tersebut memiliki kemiripan dengan proses kerja pengrajin patung yaitu

bekerja dengan posisi duduk dalam durasi waktu yang lama. Berdasarkan hal tersebut

bahwa para pengrajin patung juga mungkin merasakan keluhan muskuloskeletal seperti

halnya para pengrajin batik tersebut.