bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · diagnosis dan icd-9-cm untuk tindakan/prosedur...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Sistem
Dibentuknya suatu sistem pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah
ditetapkan. Sistem tersebut perlu dirangkai dengan berbagai unsur atau elemen sedemikian rupa
sehingga secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan. Pendekatan sistem adalah suatu strategi yang
menggunakan metoda analisa, desain, dan manajemen untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien. Gambaran penerimaan dari sebuah kebijakan dari kelompok sasaran berfungsi
sebagai umpan balik (feed back) yang merupakan keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan
bagi sistem (Azwar, 2010).
Sistem terbentuk dari bagian atau elemen yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Bagian
atau elemen tersebut banyak macamnya, yang jika disederhanakan dapat dikelompokkan dalam enam
unsur saja yaitu (Azwar, 2010) :
1. Masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen yang diperlukan untuk dapat berfungsinya
sistem tersebut.
2. Proses (process) adalah kumpulan bagian yang terdapat dalam sistem dan berfungsi untuk
mengubah masukan menjadi keluaran yang direncanakan.
3. Keluaran (output) adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya
proses dalam sistem.
4. Umpan Balik (feed back) adalah kumpulan bagian atau elemen yang merupakan keluaran dari
sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem.
5. Dampak (impact) adalah akibat yang dihasilakan oleh keluaran suatu sistem.
6. Lingkungan (environment) adalah dunia di luar sistem yang tidak dikelola oleh sistem tetapi
mempunyai pengaruh besar terhadap sistem.
Salah satu elemen dalam pembuatan kebijakan publik menurut Bintoro Tjokroamidjojo &
Mustopadidjaja (1988) dalam Utomo (2000) adalah dampaknya terhadap kelompok sasaran yaitu orang-
orang, kelompok atau organisasi yang perilaku atau keadaannya ingin dipengaruhi atau diubah oleh
kebijakan publik tersebut. Bentuk pokok sistem kesehatan antara satu negara dengan negara lainnya
sangat bervariasi, karena kesemuanya tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhi sistem
kesehatan itu sendiri. Terbentuknya sistem kesehatan pada dasarnya ditentukan oleh tiga unsur utama,
yakni (Azwar, 2010):
1. Pemerintah (policy maker) adalah yang bertanggung jawab dalam merumuskan berbagai kebijakan
pemerintah, termasuk kebijakan kesehatan.
2. Masyarakat (health consumer) adalah mereka yang memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan.
3. Penyedia pelayanan kesehatan (health provider) adalah yang bertanggung jawab secara langsung
dalam menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan.
Dalam kaitannya dengan sistem INA-CBGs, BPJS Kesehatan merupakan badan penyelenggara yang
ditunjuk oleh pemerintah yang berhubungan langsung dengan peserta JKN dan fasilitas kesehatan,
peserta program JKN adalah seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat enam bulan di Indonesia yang telah membayar iuran sebagai konsumen, serta penyedia
pelayanan kesehatan (rumah sakit) yang memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dan juga cost
effective.
2.2 Sistem INA-CBGs
Sistem INA-CBGs merupakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang
menjadi output pelayanan, berbasis pada data costing dan coding penyakit mengacu International
Classification of Diseases (ICD) yang disusun WHO dengan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-
Clinical Modifications untuk tindakan/prosedur. Tarif INA-CBGs mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri
dari 789 kode group/kelompok rawat inap dan 288 kode kelompok rawat jalan. Pengelompokan kode
diagnosis dan prosedur dilakukan dengan menggunakan grouper United Nations University (UNU
Grouper). UNU Grouper adalah grouper case-mix yang dikembangkan oleh UNU Malaysia (Kemenkes,
2014). Untuk tarif INA-CBG’s dikelompokan dalam 4 jenis RS, yaitu RS kelas D, C, B, dan A yang
ditentukan berdasarkan akreditasi rumah sakit (BPJS Kesehatan, 2014).
Sistem INA-CBGs merupakan sistem pembiayaan prospektif dan tujuan yang ingin dicapai dari
penerapan sistem ini yaitu pelayanan kesehatan yang berkualitas dan cost effective. Tidak ada satupun
sistem pembiayaan yang sempurna, setiap sistem pembiayaan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Berikut tabel kelebihan dan kekurangan sistem pembayaran prospektif (Kemenkes, 2014).
Tabel 2.1 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembayaran Prospektif
Kelebihan Kekurangan
Provider 1. Pembayaran lebih adil sesuai dengan kompleksitas pelayanan
2. Proses klaim lebih cepat
1. Kurangnya kualitas koding akan menyebabkan ketidak sesuaian proses grouping (pengelompokan kasus)
Pasien 1. Kualitas pelayanan baik 2. Dapat memilih provider dengan
pelayanan terbaik
1. Pengurangan kuantitas pelayanan
2. Provider merujuk ke luar / RS lain
Pembayar 1. Terdapat pembagian resiko keuangan dengan provider
2. Biaya administrasi lebih rendah 3. Mendorong peningkatan sistem
informasi
1. Memerlukan monitoring pasca klaim
Sumber: Kemenkes. (2014a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA- CBGs).
Jika dibandingkan dengan Jamkesda Kota Yogyakarta yang menerapkan sistem Fee For Service
(FFS) untuk pembiayaan rumah sakit. Sistem pembiayaan Jamkesda masih bersumber pada pemerintah
kota, yakni Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD). Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)
terkadang mengalami kendala oleh pencairan klaim karena harus disesuaikan dengan mekanisme
keuangan daerah (Sunarto, 2011). Berbeda halnya dengan sistem INA-CBGs yang berlaku di era JKN
karena ada jaminan kepastian untuk pencairan klaim asalkan berkas klaim sudah dilengkapi dengan
benar. Namun penggunaan sistem INA-CBGs ini masih belum efektif, hal tersebut diperoleh dari hasil
penelitian yang menunjukkan kecenderungan besaran biaya INA-CBGs lebih besar disbanding FFS
terutama untuk kasus-kasus non bedah. Sebaliknya untuk kasus-kasus bedah kecenderungan biaya INA-
CBG's jauh lebih rendah dibanding FFS (Kusumaningtyas, 2013).
2.2.1 Struktur kode INA-CBGs
Pada sistem INA-CBGs setiap group dilambangkan dengan kode kombinasi alphabet dan numerik,
contoh dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Struktur Kode INA-CBGs
(Kemenkes, 2014)
Keterangan:
1. Digit ke-1 merupakan CMG (Casemix Main Groups), berhubungan dengan sistem organ tubuh
yang dilabelkan dengan huruf alphabet (A to Z).
2. Digit ke-2 merupakan tipe kasus yang dilabelkan dengan numerik (1 to 9).
3. Digit ke-3 merupakan spesifik CBG (Case Base Group) kasus yang dilabelkan dengan
numerik(01 to 99).
4. Digit ke-4 berupa angka romawi merupakan severity level, keparahan kasus dalam INA-CBGs
terbagi menjadi : “0” untuk rawat jalan, “I - Ringan” untuk rawat inap dengan tingkat keparahan
satu (tanpa komplikasi maupun komorbiditi), “II - Sedang” untuk rawat inap dengan tingkat
keparahan dua (dengan mild komplikasi dan komorbiditi), dan “III - Berat” untuk rawat inap
dengan tingkat keparahan tiga (dengan major komplikasi dan komorbiditi).
Untuk mendapatkan hasil grouper yang benar diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dan
koder. Kelengkapan rekam medis yang ditulis oleh dokter akan sangat membantu koder dalam
memberikan kode diagnosis dan tindakan/prosedur yang tepat (Kemenkes, 2014). Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Oktamianiza (2011) mengenai Analisis Keefektifan Pengelolaan Informasi
Kesehatan Berdasarkan Sistem Case-mix INA-CBGs Pasien Jamkesmas pada Bangsal Bedah di RSUP Dr.
M. Djamil Padang Tahun 2011, dari hasil penelitian kualitatif, diketahui bahwa kebijakan secara
operasional belum ada, tim case- mix sudah dibentuk, motivasi dan edukasi belum optimal,
monitoring/evaluasi belum diterapkan. Analisa kuantitatif didapatkan 75,3% kinerja pengode tidak baik,
78,7% kinerja dokter tidak baik dan 48,3% pengelolaan informasi tidak efektif. Tidak ada hubungan
antara kinerja pengode dengan keefektifan informasi (p value = 0,124) dan ada hubungan kinerja dokter
dengan keefektifan informasi (p value = 0,024) (Oktamianiza, 2011).
Sesuai dengan Permenkes No. 269/ Menkes/Per/III/2008, rekam medis merupakan suatu
berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Depkes RI, 2008). Berdasarkan
hal tersebut, tujuan dari pengisian rekam medis adalah untuk menunjang tercapainya tertib
administrasi dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah sakit (Wijono, 2000).
Berikut tugas dan tanggung jawab dari dokter dan koder serta verifikator klaim berdasarkan
petunjuk teknis sistem INA-CBGs:
1. Tugas dan tanggung jawab dokter adalah menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan
diagnosis sekunder sesuai dengan ICD-10, menulis seluruh tindakan/prosedur sesuai ICD-9-
CM yang telah dilaksanakan serta membuat resume medis pasien secara lengkap dan jelas
selama pasien dirawat di rumah sakit.
2. Tugas dan tanggung jawab seorang koder adalah melakukan kodifikasi diagnosis dan
tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD-10 untuk
diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber dari rekam medis pasien.
Apabila dalam melakukan pengkodean diagnosis atau tindakan/prosedur koder menemukan
kesulitan ataupun ketidaksesuaian dengan aturan umum pengkodean, maka koder harus
melakukan klarifikasi dengan dokter. Apabila klarifikasi gagal dilakukan maka koder dapat
menggunakan aturan (rule) MB 1 hingga MB 5.
2.3 BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan adalah badan yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan,
implementasinya telah dimulai sejak 1 Januari 2014. Dengan telah disahkan Undang-Undang tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial maka PT Askes (Persero) dinyatakan bertransformasi menjadi BPJS
Kesehatan. Pihak BPJS Kesehatan bertugas melakukan pengawasan yang serius pada setiap rumah sakit
dalam implementasi tarif INA-CBGs. Walaupun telah dilakukan revisi seideal mungkin tapi tanpa disertai
pengawasan yang serius pada tahapan implementasi bisa jadi tujuan dari INA-CBGs tidak tercapai. BPJS
Kesehatan juga membentuk tim kendali mutu dan biaya yang memiliki tugas untuk melakukan sosialisasi
kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi dan melakukan
pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan (Kemenkes, 2013).
Pada setiap rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan terdapat petugas verifikator.
Untuk menjalankan tugasnya dalam melakukan verifikasi klaim, verifikator wajib memastikan
kesesuaian diagnosis dan posedur pada tagihan dengan kode ICD 10 dan ICD 9 CM (dengan melihat
buku ICD 10 dan ICD 9 CM atau softcopy-nya). Ketentuan koding mengikuti panduan Ketentuan koding
mengikuti panduan koding yang terdapat dalam Juknis INA-CBGs (BPJS Kesehatan, 2014).
2.4 Rumah Sakit sebagai FKRTL
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yang
dimaksud dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan
gawat darurat. Berdasarkan kepemilikannya rumah sakit dapat dibagi menjadi dua yaitu rumah sakit
pemerintah dan rumah sakit swasta. Rumah sakit pemerintah adalah rumah sakit yang dimiliki oleh
Departemen Kesehatan, pemerintah daerah, ABRI dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Rumah sakit
swasta adalah rumah sakit yang kepemilikannya berbentuk yayasan, Perseroan Terbatas (PT), koperasi
dan atau badan hukum lainnya.
Tarif INA-CBGs untuk rumah sakit pemerintah dan swasta adalah sama, perbedaannya yaitu pada
kelompok kelas rumah sakit. Oleh karena itu di era JKN rumah sakit harus berlomba untuk meningkatkan
akreditasi rumah sakitnnya. Dengan ditetapkannnya metode pembayaran INA-CBGs, terjadi perubahan
cara pandang dan perilaku dalam pengelolaan rumah sakit serta pelayanan terhadap pasien. Rumah
sakit dituntut untuk merubah cara pandang dari pola pembayaran fee for service ke pembayaran INA-
CBGs, dari mulai tingkat manajemen rumah sakit, dokter dan seluruh karyawan rumah sakit.
Dalam menjalankan sistem INA-CBGs pihak rumah sakit harus membangun komunikasi
yang baik antara tim dokter dengan manajemen untuk mengurangi variasi pelayanan dan pilih
layanan yang paling cost efective dengan membuat dan menjalankan clinical pathway serta
mengedepankan kendali mutu dan kendali biaya, untuk menghasilkan pelayanan yang bermutu,
efisien dan cost effective (Kemenkes, 2014). Hal ini didukung oleh penelitian Indriani mengenai
Dampak Biaya Laboratorium Terhadap Kesenjangan Tarif INA-CBGs dan Biaya Riil Diagnosis
Leukemia menunjukkan bahwa selama penerapan Diagnosis Related Group di Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito, terjadi kesenjangan tarif biaya riil pelayanan kesehatan dengan
tarif INA-CBGs. Penyebab terbesar kesenjangan tarif tersebut adalah pelayanan obat dan
penggunaan sumber daya laboratorium yang tidak efisien (Indriani, 2013).
Rumah sakit provider BPJS kesehatan setelah menangani pasien peserta BPJS Kesehatan
maka dapat mengajukan klaim ke pihak BPJS Kesehatan. Pengesahan tagihan dilakukan oleh
direktur/kepala fasilitas kesehatan lanjutan dan petugas verifikator BPJS Kesehatan. Klaim pada
FKRTL diajukan secara kolektif oleh rumah sakit kepada BPJS Kesehatan maksimal tanggal 10
bulan berikutnya dengan kelengkapan administrasi umum yang terdiri dari (BPJS, tanpa tahun):
1. Formulir pengajuan klaim (FPK) rangkap tiga.
2. Softcopy luaran aplikasi.
3. Kuitansi asli bermaterai cukup.
4. Bukti pelayanan yang sudah ditandatangani oleh peserta atau anggota keluarga.
5. Kelengkapan lain yang dipersyaratkan oleh masing-masing tagihan klaim.
2.4.1 Penerapan sistem INA-CBGs
Jika rumah sakit menerapkan pembiayaan prospektif dan biaya dibayarkan tanpa melihat lama
pasien dirawat, maka rumah sakit akan terdorong untuk menghindari pengeluaran biaya yang tidak
penting, khususnya pada pembayaran yang melebihi biaya aktual yang optimal. Jaminan mutu dapat
diterapkan dengan penerapan pemanfaatan/utilization, sehingga evaluasi perawatan medik dapat
berlangsung dengan efisien (Mukti, 2009). Karena program ini merupakan hal yang masih baru bagi staf
rumah sakit maka dari manajemen perlu melakukan pendekatan dengan melihat edukasi (pendidikan)
dan motivasi (dorongan) terhadap staf untuk penerapan sistem INA-CBGs. Sebagaimana menurut Gillies
(1986) fungsi dasar manajemen pada tahap actuating adalah pengarahan (edukasi) dan motivasi.
Berbagai jenis informasi dalam rangka sosialisasi dapat disampaikan dalam pola dan bentuk kegiatan,
yaitu melalui berbagai jenis event seperti seminar, workshop, talkshow, simulasi ataupun penyebaran
buku, leaflet, brosur, CD dan sebaran lainnya (Aprillia, 2009). Menurut Notoatmodjo (2003) dalam
Efendi & Makhfudli (2009), pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Kurangnya pengetahuan responden mengenai sistem INA-CBGs dapat
berdampak pada rendahnya sikap/perilaku dalam menjalankan sistem INA-CBGs.
Penyelenggaraan jaminan kesehatan menggunakan prinsip-prinsip managed care yaitu suatu
teknik yang mengintegrasikan pembiayaan dan pelayanan kesehatan melalui penerapan kendali biaya
dan kendali mutu yang bertujuan untuk mengurangi biaya pelayanan yang tidak perlu dengan cara
meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan (Mukti, 2009). Berikut adalah hal yang harus
dilakukan rumah sakit untuk menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 antara lain:
a. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik profesi sesuai kompetensi.
Hal ini perlu dilakukan karena salah satu tonggak keselamatan pasien adalah akuntabilitas sumber
daya manusia yang terlibat dalam layanan kesehatan. Dokter, perawat, atau tenaga kesehatan
lainnya dituntut untuk memiliki kompetensi yang adekuat (Herkutanto, 2009). Proses kredensial
adalah proses untuk memberikan kewenangan klinis bagi tenaga kesehatan untuk melakukan
tindakan klinis tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Herkutanto mengenai Hambatan Dan
Harapan Sistem Kredensial Dokter: Studi Kualitatif Di Empat Rumah Sakit Indonesia Tahun 2009
menunjukan hasil bahwa hambatan terwujudnya sistem kredensial ideal adalah mispersepsi
bahwa kredensial identik dengan proses penerimaan dokter sebagai karyawan rumah sakit.
Harapan partisipan tercermin dari kebutuhan proses monitoring, hubungan baik tim kredensial
dengan pihak manajemen, standardisasi aturan dan instrumen kredensial, adanya tim kredensial
yang obyektif, dan hubungan baik antar sejawat (Herkutanto, 2009). Dengan sistem kredensial
yang baik akan menjamin kualitas layanan rumah sakit terhadap pasien.
b. Utilization review dan audit medis yang dilaporkan setiap bulan oleh rumah sakit kepada pihak BPJS
Kesehatan.
Utilization review merupakan suatu metode untuk menjamin mutu pelayanan terkait
penghematan biaya. Mekanisme pengendalian biaya utilization review dengan memeriksa
apakah pelayanan secara medis perlu diberikan dan apakah pelayanan diberikan secara tepat.
Utilization review memiliki keuntungan yang jelas untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan
pelayanan kesehatan agar menghilangkan dan mengurangi hal-hal yang tidak perlu serta resiko
potensial pasien (Kemenkes, 2014). Audit medis adalah upaya evaluasi secara professional
terhadap mutu pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam
medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis (Kemenkes, 2005)
c. Pembinaan etika dan disiplin profesi kepada tenaga kesehatan dan/atau;
Tujuan dari pembinaan etik dan profesionalisme adalah untuk memastikan bahwa pasien
mendapatkan pelayanan kesehatan dengan standar mutu tinggi dan keselamatan pelayanan
sesuai dengan sumber daya yang dimiliki (Indonesia Orthopedic, 2015). Lamanya menjalani
profesi sebagai tenaga kesehatan akan mempengaruhi pengetahuan, sikap serta perilaku
berkaitan dengan etika dan disiplin profesi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Afandi mengenai Refleksi Dokter terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia menunjukkan hasil
untuk variabel lama menjadi dokter didapatkan hubungan yang bermakna dengan tingkat refleksi
KODEKI (p=0,01). Hal ini dapat terjadi dikarenakan perkembangan moral yang dipengaruhi oleh
faktor eksternal (reward and punishment) yang didapat selama menjalani profesi sebagai tenaga
kesehatan (Afandi, 2008).
d. Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dalam
pelayanan kesehatan secara berkala yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sistem informasi
kesehatan.
Untuk menjalankan sistem INA CBGs rumah sakit harus sudah memiliki clinical pathway untuk
setiap diagnosa (Nasution, 2014). Clinical pathway adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang
merangkum setiap langkah kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan
keperawatan dan standar pelayanan kesehatan lainnya (Rivani, 2009). Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Devitra (2011) mengenai Analisis Implementasi Clinical Pathway Kasus Stroke
Berdasarkan INA-CBGs di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi Tahun 2011, menunjukkan bahwa
pelaksanaan clinical pathway di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi berada pada tingkat
pengenalan dan siap untuk diimplementasikan. Operasional kebijakan, komitmen, kepemimpinan klinis,
motivasi dan evaluasi perlu ditingkatkan. Manajemen rumah sakit disarankan untuk membuat rencana
clinical pathway, membentuk tim clinical pathway, meningkatkan motivasi staf rumah sakit dan
menyosialisasikan program pada semua staf rumah sakit (Devitra, 2011). Karena dengan
diberlakukannya clinical pathway dapat memperbaiki proses pelayanan (Pinzon, 2009).
Selain clinical pathway di era JKN juga telah dibentuk formularium obat atau disebut
Formularium Nasional / Fornas. Menurut Kongstvedt dalam Christina 2011 disebutkan bahwa
formularium merupakan suatu daftar obat yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan medis
dengan jenis obat yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien. Berkaitan dengan obat, formularium
nasional sebenarnya dapat mempermudah dalam perencanaan dan penyediaan obat, serta
meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan. Formularium nasional daftar obat ini
disusun oleh Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional (BPJS Kesehatan, 2014).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang
Petunjuk Teknis Sistem INA-CBGs ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan rumah sakit agar
pemberlakuan sistem INA-CBGs dapat berjalan dengan baik. Beberapa upaya yang sebaiknya
dilakukan rumah sakit adalah:
1. Membangun Tim Rumah Sakit
Manajemen dan profesi serta komponen rumah sakit yang lain harus mempunyai persepsi dan
komitmen yang sama serta mampu bekerja sama untuk menghasilkan produk pelayanan rumah
sakit yang bermutu dan cost efective. Bukan sekedar untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya. Sebagai tim semua komponen rumah sakit harus memahami tentang konsep tarif
paket, dimana dimungkinkan suatu kasus atau kelompok CBG tertentu mempunyai selisih
positif dan pada kasus atau kelompok kasus CBG yang sama pada pasien berbeda ataupun pada
kelompok CBG lain mempunyai selisih negatif. Surplus atau selisih positif pada suatu kasus
atau kelompok CBG dapat digunakan untuk menutup selisih negatif pada kasus lain atau
kelompok CBG lain (subsidi silang). Sehingga pelayanan rumah sakit tetap mengedepankan
mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
2. Meningkatkan Efisiensi
Efisiensi tidak hanya dilakukan pada sisi proses seperti penggunaan sumber daya farmasi, alat
medik habis pakai, lama rawat, pemeriksaan penunjang yang umumnya menjadi area profesi
tetapi juga pada sisi input seperti perencanaan dan pengadaan barang dan jasa yang umumnya
menjadi area/tanggung jawab menejemen. Sisi proses umumnya lebih menekankan pada aspek
efektifitas sedangkan sisi input umumnya lebih menekankan aspek efisiensi. Keduanya harus
mampu berinteraksi untuk menghasilkan produk pelayanan yang cost effective. Sisi proses
dalam hal melakukan efisiensi juga harus mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan
pelayanan yang berlebih dan tidak diperlukan (over treatment dan atau over utility). Seperti
penggunaan/pemilihan obat yang berlebihan dan pemeriksaan penunjang yang tidak selektif
dan tidak kuat indikasinya. Efisiensi juga harus dilakukan pada biaya umum seperti penggunaan
listrik, air, perlengkapan kantor dan lain-lain. Inefisiensi pada sisi input maupun proses akan
berpengaruh pada ongkos/biaya produksi pelayanan rumah sakit yang mahal.
3. Memperbaiki Mutu Rekam Medis
Tarif INA-CBGs sangat ditentukan oleh output pelayanan yang tergambar pada diagnosis akhir
(baik diagnosis utama maupun diagnosis sekunder) dan prosedur yang telah dilakukan selama
proses perawatan. Kelengkapan dan mutu dokumen rekam medis akan sangat berpengaruh pada
koding, grouping dan tarif INA-CBGs.
4. Memperbaiki Kecepatan dan Mutu Klaim
Kecepatan dan mutu klaim akan mempengaruhi cash flow rumah sakit. Kecepatan klaim sangat
dipengaruhi oleh kecepatan penyelesaian berkas rekam medis. Sehingga rumah sakit harus
menata sistem pelayanan rekam medis yang baik agar kecepatan dan mutu rekam medis bisa
memperbaiki dan meningkatkan cash flow rumah sakit.
5. Melakukan Standarisasi
Perlu terus dibangun standard input dan proses di tingkat rumah sakit. Standard input misalnya
farmasi, alat medik habis pakai. Perlu dibuat formularium obat rumah sakit (perencanaan), perlu
dibuat standar pengadaan obat rumah sakit (e-katalog dan atau lelang), standar penulisan resep
misal dokter hanya menulis nama generik sedangkan obat yang diberikan berdasar
hasil/perolehan pengadaan. Standar proses misalnya PPK/SPO dan atau clinical pathway.
Keputusan/penetapan standar proses akan sangat berpengaruh pada pembuatan keputusan pada
standar input.
6. Membentuk Tim Casemix/Tim INA-CBG Rumah Sakit
Tim Case-mix/Tim INA-CBGs rumah sakit akan menjadi penggerak membantu melakukan
sosialisasi, monitoring dan evaluasi implementasi INA-CBGs di rumah sakit.
7. Memanfaatkan Data Klaim
Data INA-CBGs rumah sakit dapat digunakan/dimanfaatkan tidak hanya untuk klaim tetapi
juga dapat digunakan untuk menilai performance rumah sakit dan performance SDM
khususnya profesi dokter. Data INA-CBGs bisa juga digabungkan dengan data HIMS (Health
Information Management System) bahkan bisa dibandingkan dengan rumah sakit lain yang
sekelas. Jadi data INA-CBGs dan data klaim dapat digunakan sebagai bahan untuk pengambilan
keputusan/kebijakan tingkat rumah sakit.
8. Melakukan Reviu Post-Claim
Reviu post-claim yang dilakukan secara berkala sangat penting dalam menentukan kebijakan
yang berkaitan dengan pengendalian biaya dan mutu dalam pelayanan yang akan diberikan.
Idealnya kegiatan reviu ini melibatkan seluruh unit yang ada di rumah sakit baik manajemen,
tenaga professional, serta unit penunjang maupun pendukung dan dilakukan dengan data yang
telah dianalisis oleh tim case-mix rumah sakit.
9. Pembayaran Jasa Medis
Perubahan metode pembayaran rumah sakit dengan metode paket INA-CBGs sebaiknya diikuti
dengan perubahan pada cara pembayaran jasa medis. Pembayaran jasa medis sebaiknya
disesuaikan dengan menggunakan sistem remunerasi berbasis kinerja. Remunerasi merupakan
imbalan yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan kompetensi yang dimilikinya dan
kinerja yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Kristanti, 2013). Apabila
karyawan merasa bahwa kompensasi yang mereka terima tidak memadai maka prestasi kerja,
kepuasan kerja, dan motivasi kerja menurun secara drastic (Darmawan, 2008).
10. Untuk masa yang akan datang diharapkan seluruh rumah sakit provider JKN bisa berkontribusi
untuk mengirimkan data koding dan data costing sehingga dapat dihasilkan tarif yang
mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit.