bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · bahwa angka kenaikan gnp per kapita mengandung...
TRANSCRIPT
21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesejahteraan Masyarakat
Dalam paradigma pembangunan ekonomi, perubahan kesejahteraan
masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini dikarenakan
pembangunan ekonomi dikatakan berhasil jika tingkat kesejahteraan masyarakat
semakin baik. Keberhasilan pembangunan ekonomi tanpa menyertakan
peningkatan kesejahteraan masyarakat akan mengakibatkan kesenjangan dan
ketimpangan dalam kehidupan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah
suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang
dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin, 2012).
Menurut Todaro dan Stephen C. Smith (2006), kesejahteraan masyarakat
menunjukkan ukuran hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan
yang lebih baik yang meliputi: pertama, peningkatan kemampuan dan pemerataan
distribusi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, kesehatan, dan
perlindungan; kedua, peningkatan tingkat kehidupan, tingkat pendapatan,
pendidikan yang lebih baik, dan peningkatan atensi terhadap budaya dan nilai-
nilai kemanusiaan; dan ketiga, memperluas skala ekonomi dan ketersediaan
pilihan sosial dari individu dan bangsa. Kesejahteraan masyarakat adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan dasar yang tercermin dari rumah yang layak,
tercukupinya kebutuhan sandang dan pangan, biaya pendidikan dan kesehatan
yang murah dan berkualitas atau kondisi dimana setiap individu mampu
22
memaksimalkan utilitasnya pada tingkat batas anggaran tertentu dan kondisi
dimana tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani.
Secara umum teori kesejahteraan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
classical utilitarium, neoclassical welfare theory, dan new contraction approach
(Badrudin, 2012). Classical utilitarian menekankan bahwa kepuasan atau
kesenangan seseorang dapat diukur dan bertambah. Tingkat kepuasan setiap
individu dapat dibandingkan secara kuantitatif. Neoclassical welfare menekankan
pada prinsip pareto optimality. Pareto optimum didefenisikan sebagai sebuah
posisi dimana tidak memungkinkan suatu realokasi input atau output untuk
membuat seseorang menjadi lebih baik tanpa menyebabkan sedikitnya satu orang
atau lebih buruk. New contraction approach menekankan pada konsep dimana
setiap individu memiliki kebebasan maksimum dalam hidupnya. Ketiga
pandangan tersebut menekankan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang sangat
tergantung pada tingkat kepuasan kesenangan yang diraih dalam kehidupannya.
Gregory dan Stuart (1992) mengatakan bahwa pertumbuhan pendapatan
per kapita dari waktu ke waktu umumnya membawa perubahan terhadap
kesejahteraan masyarakat dengan arah yang sama. Pertimbangan menggunakan
pendapatan per kapita sebagai indikator kesejahteraan masyarakat karena data
tersebut umumnya mudah diperoleh di kantor-kantor statistik. Sebaliknya, data
indikator kesejahteraan atau kemakmuran mayarakat yang lebih kompleks, seperti
presentase penduduk yang memiliki rumah, menikmati fasilitas air bersih, fasilitas
kesehatan, fasilitas pendidikan, pemilikan alat hiburan seperti televisi dan radio,
jarang tersedia (Sukirno, 2001). Meskipun demikian, pengukuran kesejahteraan
23
masyarakat yang hanya menggunakan pendapatan per kapita banyak ditentang
oleh berbagai pihak. Hal ini terjadi karena kesejahteraan sifatnya normatif
sehingga diperlukan pengukuran yang lebih komprehensif yang dapat
menggambarkan kemajuan kualitas hidup masyarakat. Todaro (2000) mengatakan
bahwa angka kenaikan GNP per kapita mengandung kelemahan yang sangat fatal,
yakni menyamarkan kenyataan fundamental yang sebenarnya, yaitu sama sekali
belum membaiknya kondisi kesejahteraan kelompok penduduk yang relatif paling
miskin.
United Nations Research Institute for Social Development menyusun
delapan belas indikator yang apabila digunakan sebagai indikator kesejahteraan
masyarakat maka perbedaan tingkat pembangunan antara negara maju dan negara
sedang berkembang tidak terlampau besar. Delapan belas indikator tersebut,
antara lain: 1) tingkat harapan hidup; 2) konsumsi protein hewani per kapita; 3)
persentase anak-anak yang belajar di sekolah dasar dan menengah; 4) persentase
anak-anak yang belajar di sekolah kejuruan; 5) jumlah surat kabar; 6) jumlah
telepon; 7) jumlah radio; 8) jumlah penduduk di kota-kota yang mempunyai
20.000 penduduk atau lebih; 9) persentase laki-laki dewasa di sektor pertanian;
10) persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air, kesehatan,
pengakutan, pergudangan, dan transportasi; 11) persentase tenaga kerja yang
memperoleh gaji; 12) persentase PDB yang berasal dari industri pengolahan; 13)
konsumsi energi per kapita; 14) konsumsi listrik per kapita; 15) konsumsi baja per
kapita; 16) nilai per kapita perdagangan luar negeri; 17) produk pertanian rata-rata
24
dari pekerja laki-laki di sektor pertanian; dan 18) pendapatan per kapita Produk
Nasional Bruto.
World Bank pada tahun 2000 merumuskan indikator kesejahteraan
masyarakat sebagai indikator pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan
manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan ekonomi, khususnya
pembangunan manusia dan kemiskinan. Rumusan indikator pembangunan itu
disebut sebagai Millenium Development Goals (MDGs). MDGs terdiri dari
delapan indikator capaian pembangunan, yaitu penghapusan kemiskinan,
pendidikan untuk semua, persamaan gender, perlawanan terhadap penyakit
menular, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, pelestarian
lingkungan hidup, dan kerja sama global. Keberhasilan pembangunan manusia
diukur dalam beberapa dimensi utama tersebut. Menurut World Bank, tingkat
pencapaian pembangunan manusia dapat diamati melalui dimensi pengurangan
kemiskinan (decrease in proverty), peningkatan kemampuan baca tulis (increase
in literacy), penurunan tingkat kematian bayi (decrease in infant mortality),
peningkatan harapan hidup (life expectancy), dan penurunan dalam ketimpangan
pendapatan (decrease income inequality).
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan suatu ukuran
standar pembangunan manusia, yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau
Human Development Index (HDI). Indeks ini dibentuk berdasarkan empat
indikator, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah,
dan kemampuan daya beli. Indikator angka harapan hidup merepresentasikan
dimensi umur panjang dan sehat. Selanjutnya, angka melek huruf dan rata-rata
25
lama sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Adapun indikator
kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak.
Badan Pusat Statistik menggunakan IPM untuk mengukur capaian
pembangunan manusia dengan menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu mencakup
umur panjang dan sehat, pengetahuan serta kehidupan yang layak. Ketiga dimensi
dasar tersebut menggambarkan empat komponen dasar kualitas hidup yakni angka
harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan; angka melek huruf dan rata-rata
lama bersekolah untuk mengukur capaian pembangunan di bidang pendidikan;
dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok hidup
masyarakat yang dapat dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita
sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup
yang layak (Gambar 2.1).
Gambar 2.1Diagram Perhitungan IPM
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Tengah, 2012
Pembangunan manusia merupakan suatu konsep yang
mempertimbangkan aspek kuantitatif dan kualitatif untuk menopang hidup, yang
26
memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Dengan
pembangunan manusia yang lebih baik, yang akan menciptakan manusia yang
lebih terdidik dan sehat, tidak mengalami kelaparan dan memiliki kemampuan
berpartisipasi dalam lingkungan sosial (Karmakar, 2006). Selanjutnya, Saharudin
(2008) mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat dengan menggunakan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dengan indikatornya adalah pendapatan per kapita,
angka usia harapan hidup dan angka partisipasi sekolah.
2.1.1 Pengertian Kesejahteraan
Setiap manusia memiliki keinginan untuk sejahtera, sejahtera menunjuk
ke suatu keadaan yang serba baik atau suatu kondisi manusia, dimana orang-
orangnya dalam keadaan makmur, sehat, dan damai. Menurut kamus Bahasa
Indonesia, sejahtera juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta
selamat, terlepas dari segala macam gangguan. Menurut Undang Undang Nomor
10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan
Keluarga Sejahtera, diartikan bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang
dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan
hidup spiritual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
memiliki hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antar anggota dan antara
keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.
Stiglitz (2011) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan kesejahteraan,
rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-dimensi tersebut meliputi
standar hidup material (pendapatan, konsumsi, dan kekayaan), kesehatan,
27
pendidikan, aktivitas individu termasuk bekerja, suara politik, dan tata
pemerintahan, hubungan dan kekerabatan sosial, lingkungan hidup (kondisi masa
kina dan masa depan), baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi
ini menunjukkan kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan
data objektif dan subjektif.
Perumusan konsep kesejahteraan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan bahwa
keluarga yang dikatakan sejatera apabila memenuhi kriteria berikut.
1) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan anggotanya, baik kebutuhan
sandang, pangan, perumahan, sosial maupun agama;
2) Keluarga yang mempunyai keseimbangan antara penghasilan keluarga dan
jumlah anggota keluarga; dan
3) Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan kesehatan anggota keluarga,
kehidupan bersama dengan masyarakat sekitar, beribadah khusuk di samping
terpenuhi kebutuhan pokoknya.
2.1.2 Kriteria Ekonomi Kesejahteraan
Ekonomi kesejahteraan penting untuk dipahami karena ekonomi
kesejahteraan berhubungan dengan tujuan pemberdayaan ekonomi rakyat, yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berbagai kriteria dari ekonomi
kesejahteraan berguna dalam mempertimbangkan suatu kebijaksanaan. Kriteria-
kriteria kesejahteraan sebagai berikut.
28
1) Kriteria Bentham
Jeremy Benthan menyatakan bahwa perbaikan welfare akan terjadi
apabila tersedia barang-barang dalam jumlah yang semakin banyak. Ini
berarti bahwa welfare total adalah penjumlahan utility dari individu-individu
dalam masyarakat. Menurut kriteria ini bila terdapat perubahan positif
welfare total, berarti terdapat perbaikan kesejahteraan walaupun sebenarnya
dalam perubahan itu terdapat anggota masyarakat atau individu yang
dirugikan dan ada yang diuntungkan. Secara implisit kriteria ini
mengasumsikan adanya komparasi antaraindividual (interpersonal
comparison) di antara anggota masyarakat yang menikmati manfaat dengan
anggota masyarakat yang menderita kerugian karena adanya perubahan dalam
masyarakat yang bersangkutan.
2) Kriteria Cardinal
Menurut kriteria cardinal pendapatan anggota masyarakat berpengaruh
terhadap utility. Berlaku law of diminishing marginal utility, anggota
masyarakat yang berpendapatan tinggi (memiliki uang lebih banyak) akan
memperoleh marginal utility yang lebih kecil dibandingkan dengan anggota
masyarakat yang berpendapat rendah (memiliki uang yang lebih sedikit).
Dengan demikian, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus
dilakukan redistribusi pendapatan di antara anggota masyarakat. Maksimum
kesejahteraan masyarakat akan tercapai apabila distribusi pendapatan merata
di antara anggota masyarakat. Kriteria ini mengasumsikan bahwa marginal
utility uang adalah sama bagi setiap anggota masyarakat.
29
3) Kriteria Pareto-Optimal
Pareto Optimality merupakan kriteria efisiensi (efisiensi alokatif)
yang dicetuskan oleh seorang sosiolog dan ekonom Italy yang bernama
V. Pareto. Kriteria pareto ini menyatakan bahwa efisiensi alokatif akan terjadi
bila tidak mungkin lagi dilakukan re-organisasi produksi sedemikian rupa
sehingga masing-masing pihak (yang terlibat dalam kegiatan ekonomi:
produsen dan konsumen) merasa lebih sejahtera (better off). Oleh karena itu,
pada keadaan efisiensi alokatif ini utility (kepuasan) seseorang dapat
ditingkatkan hanya dengan menurunkan utility orang lain. Contoh keadaan
tidak efisien adalah masyarakat yang tidak memanfaatkan sepenuhnya batas
kemungkinan produksinya. Dengan lebih dimanfaatkan batas kemungkinan
produksinya itu, tidak akan ada orang yang mengalami penurunan utilitas.
Cara lain untuk memahami konsep efisiensi ini adalah kaitannya dengan
perdagangan. Misalnya, orang membawa hasil produksinya ke pasar untuk
ditukarkan dengan barang orang lain. Setiap kali terjadi perutukaran
(perdagangan), maka utilitas kedua pihak akan naik. Jika semua kemungkinan
pertukaran yang menguntungkan telah habis sehingga tidak ada lagi kenaikan
utilitas, maka dapat dikatakan bahwa keadaan telah mencapai efisien.
Pada kenyataannya penggunaan kriteria pareto sangat terbatas untuk
diterapkan karena memiliki kelemahan yang mendasar, misalnya sebagai
berikut.
a. Tidak berlaku pada kasus suatu perubahan yang menguntungkan
beberapa orang, tetapi juga merugikan orang lain. Walaupun besarnya
30
keuntungan lebih besar jika dibandingkan dengan besar kerugian,
menurut pareto perubahan tersebut bukanlah suatu perbaikan. Dengan
demikian kriteria pareto tidak dapat menentukan mana yang lebih baik.
b. Berkaitan dengan distribusi pendapatan, tidak menumbuhkan alokasi
yang memadai, sebagai contoh banyak individu yang menerima
pendapatan rendah.
c. Dalam kenyataannnya sistem yang kompetitif sempurna tidak pernah
ada.
Dengan demikian untuk mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat
menggunakan kriteria pareto optimal apabila paling sedikit satu orang
bertambah makmur (better off) dengan tidak menyebabkan orang lain
bertambah miskin (worse off).
4) Kriteria Kaldor-Hicks
Kaldor Hicks menyarankan pendekatan kompensasi untuk menilai
suatu perubahan, yaitu menilai keuntungan dari mereka yang menikmati
perbaikan dan menilai kerugian dari mereka yang menderita kerugian dengan
satuan uang. Ini berarti utnuk mengukur peningkatan kemakmuran
masyarakat menurut Kaldor Hicks kemakmuran masyarakat meningkat
apabila orang yang memperoleh manfaat dari kebijakan publik/pembangunan
(who gain) membantu orang lain yang dirugikan (who lose) sehingga tidak
ada orang lain yang bertambah miskin apabila ada orang yang bertambah
kaya. Kriteria Kaldor Hicks ditunjukkan dengan gambar sebagai berikut.
31
Gambar 2.2Kriteria Kaldor Hicks
Sumber : Miller dan Meiners, 2000
Berdasarkan Gambar 2.2 dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut.
a. Diperoleh sebuah kurva UPF (Utility Possibility Frontiers), yaitu kurva
batas-batas kemungkinan kepuasan.
b. Misalkan, perekonomian mula-mula berada di titik A, setiap pergerakan
diharapkan menuju titik B atau D karena pergerakan itu meningkatkan
kesejahteraan salah satu konsumen tanpa merugikan konsumen lainnya.
Akan tetapi bila bergerak ke titik E, sementara salah satu pihak untung,
yang lain dirugikan. Menurut Kaldor Hicks, pergerakan ke titik E itu
sebenarnya tidak menguntungkan karena pihak yang untung akang
mengimbangi kerugian pihak lain. Atau dengan kata lain, menurut Kaldor
Hicks bila E tercapai, akan terjadi redistribusi pendapatan atau kekayaan
yang akan menggerakkan perekonomian secara keseluruhan ke titik C,
dimana setiap orang dalam perekonomian diuntungkan.
32
c. Kriteria Kaldor Hicks, setiap titik pada UPF menguntungkan dan lebih
baik dari titik mana pun yang berada di bawah UPF (misal di titik A).
d. Konsumen 1 (yang untung) akan selalu mengimbangi kerugian konsumen
2, lewat pembayaran uang secara langsung (potensi imbalan atau
kompensasi).
Kritera Kaldor Hicks menyatakan bahwa suatu perubahan merupakan
perbaikan jika pelaku ekonomi (agen ekonomi) yang beruntung dari adanya
perubahan dapat membayar ganti rugi kepada pelaku ekonomi (agen
ekonomi) yang menderita kerugian dan besarnya keuntungan yang diperoleh
adalah lebih besar daripada ganti rugi yang dibayarkan. Menurut Kaldor
Hicks, perubahan ke arah perbaikan menunjukkan bahwa berbagai kombinasi
utilitas antara pelaku ekonomi A (konsumen 1) dan pelaku ekonomi B
(konsumen 2) yang terdapat pada kurva (Gambar 2.2) kemungkinan utilitas
dapat diperoleh dengan jalan pendistribusian kembali (redistribusi)
pendapatan dalam perekonomian dengan menggunakan pajak sekaligus
(lumpsum tax) atau subsidi.
5) Kriteria Ganda Scitovsky
Menurut Scitovsky, kriteris Kaldor Hicks menunjukkan adanya
kelemahan karena pada kurva kemungkinan utilitas, yaitu utilitas pelaku
ekonomi A (konsumen 1) (U1U1) dan utilitas pelaku ekonomi B (konsumen
2) (U2U2), bahwa perubahan dari suatu aktivitas (E) ke aktivitas lain (A)
merupakan perbaikan, karena penambahan dari suatu aktivitas yang lain (B)
melebihi pengurangan utilitas aktivitas (A). Hal ini terjadi karena aktivitas B
33
> A, sedangkan aktivitas B mempunyai kedudukan yang sama dengan
aktivitas E (dalam hal ini terletak pada kurva kemungkinan utilitas yang
sama, yaitu U1U1). Dengan demikian, perubahan kembali dari utilitas
aktivitas ekonomi (A) ke utilitas aktivitas ekonomi (E) merupakan perbaikan
juga. Hal inilah yang merupakan kelemahan Kaldor Hicks.
Bila kaum ekonom menganggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah
mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price
stability), maka tugas negara adalah mengobati kelemahan yang ada pada
competition demi menjamin welfare. Negara menurut Scitovsky harus
menyediakan jasa-jasa yang bermanfaat bagi masyarakat secara kolektif.
Scitovsky mendukung anti-trust legislation dan menolak aggressive
competition, yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun, pada dasarnya
Scitovsky tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki
pembatasan terhadap kontrol negara. Scitovsky menutupi beberapa
kelemahan kriteria Kaldor Hicks dengan mengusulkan uji ganda yang lebih
ketat, yaitu menggunakan kriteria Kaldor Hicks untuk menentukkan apakah
perubahan dari titik asal ke titik baru merupakan suatu perbaikan, dan
menggunakan kriteris Kaldor Hicks untuk menentukkan apakah perubahan
kembali dari titik baru ke titik lama bukan merupakan perbaikan pula.
Berbagai kriteria diatas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-
masing. Kritik yang cukup tajam terhadap kriteria Kaldor Hicks dari pakar-
pakar ekonomi terjadi karena pada kenyataannya ganti rugi tidak perlu
dibayarkan kepada penerima kerugian. Ganti rugi pada kriteria Kaldor Hicks
34
adalah ganti rugi yang potensial bukan ganti rugi aktual. Tanpa pembayaran
ganti rugi yang aktual perlu digunakan pertimbangan nilai (value judgement)
untuk menyatakan bahwa secara keseluruhan masyarakat menjadi lebih baik
dengan adanya perubahan. Kedua kriteria Kaldor-Hicks dan Scitovsky di
kritik oleh Boumol, karena keduanya menggunakan nilai uang sebagai ukuran
besarnya utilitas. Padahal uang mempunyai nilai yang relatif tergantung atas
kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Berdasarkan konsep Boumol tersebut,
maka Bergson telah memperkenalkan kriteria yang lain, yaitu fungsi
kesejahteraan sosial (social walfare function).
1. Kriteria Bergson
Bergson menyatakan bahwa penilaian tentang perubahan hanya dapat
dilakukan jika masyarakat mempunyai fungsi kesejahteraan sosial, yang
menyatakan bagaimana kebijakan masyarakat tergantung kepada
kesejahteraan tiap-tiap anggotanya. Fungsi kesejahteraan sosial bertujuan
untuk menyatakan dalam bentuk yang tepat pertimbangan nilai yang
diperlukan untuk derivasi kondisi kesejahteraan ekonomi maksimal. Fungsi
ini bernilai riil dan terdeferensialkan. Argumen fungsi, termasuk jumlah
komoditas yang berbeda diproduksikan dan dikonsumsi dan sumber daya
yang digunakan dalam menghasilkan komoditas yang berbeda, termasuk
tenaga kerja. Nilai fungsi maksimum memerlukan kondidi umum sebagai
berikut.
a. kesejahteraan marginal sama untuk setiap individu dan setiap komoditas.
35
b. Marginal setiap nilai uang dihasilkan dari kerja sama setiap komoditas
yang dihasilkan dari setiap masukan tenaga kerja.
c. Marginal biaya setiap unit sumber daya adalah sama dengan nilai
produktivitas marginal untuk setiap komoditas.
Bergson menggambarkan sebuah peningkatan kesejahteraan ekonomi yang
kemudian disebut perbaikan Pareto. Setidak-tidaknya satu orang pindah ke
posisi yang lebih disukai dengan orang lain acuh tak acuh. Fungsi Bergson
dapat memperoleh Pareto Optimal yang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk
mendefenisikan ekuitas normative interpersonal.
2.1.3 Pengukuran Kesejahteraan
Kesejahteraan memiliki banyak dimensi, yakni dapat dilihat dari dimensi
materi dan dimensi non materi. Dari sisi materi dapat diukur dengan pendekatan
pendapatan dan konsumsi. Mayer dan Sullivan (2002) menyatakan bahwa secara
konseptual dan ekonomi data konsumsi lebih tepat digunakan untuk mengukur
kesejahteraan dibandingkan dengan data pendapatan karena data konsumsi
merupakan pengukuran yang lebih langsung dari kerjahteraan. Kesejahteraan dari
dimensi non materi dapat dilihat dari sisi pendidikan dan kesehatan. Pengukiran
status kesehatan dapat dilakukan melalui pertanyaan tentang pengukuran
kesehatan secara umum, penyakit berdasarkan pelaporan respiden dan pengukuran
secara medis, pengobatan yang dijalani, aktivitas fisik, hubungan sosial dan
kesehatan psikologi/mental/emosional seperti tetang sulit tidur, perasaan
takut/gelisah, dan pertanyaan tentang kebahagiaan (Easterlin, 2001).
36
Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan di antaranya adalah menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS),
yakni menggunakan kriteria yang didasarkan pada pengeluaran konsumsi rumah
tangga, baik pangan maupun non pangan (pendekatan kemiskinan). Disamping itu
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam pendekatan
kesejahteraan mengukur tingkat kesejahteraan keluarga dengan membagi kriteria
keluarga ke dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), Keluarga
Sejahtera I (KS I), keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS III),
dan keluarga Sejahtera Plus (KS III Plus) (BPS, 2008). Selanjutnya Cahyat dkk
(2007) dari lembaga CIFOR (Center for International Forestry Research)
melakukan pemantauan kesejahteraan dengan mengambil kasus Kutai Barat
Kalimantan Timur menemukan bahwa kesejahteraan diukur dengan kriteria (1)
kesejahteraan subjektif; (2) kesejahteraan dasar yang dibagi menjadi tiga indeks,
yaitu kesehatan dan gizi, kekayaan materi, dan pengetahuan; (3) lingkungan
pendukung yang antara lain lingkungan alam, lingkungan ekonomi, lingkungan
sosial, lingkungan politik, dan infrastruktur serta pelayanan.
Stiglitz (2011) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan kesejahteraan,
rumusan multidimensi harus digunakan. Dimensi-dimensi pokok yang harus
diperhitungkan adalah (1) standar hidup materiil (pendapatan, konsumsi, dan
kekayaan; (2) kesehatan; (3) pendidikan; (4) aktivitas individu, termasuk bekerja;
(5) suara politik dan tata pemerintahan; (6) hubungan dan kekerabatan sosial; (7)
lingkungan hidup (kondisi masa kini dan masa depan); dan (8) ketidaknyamanan,
baik yang bersifat ekonomi maupun fisik. Semua dimensi tersebut menunjukkan
37
kualitas hidup masyarakat dan untuk mengukurnya diperlukan data objektif dan
subjektif. Indikator-indikator objektif kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan
Manusia.
2.2 Perubahan Struktur Ekonomi
Telah lama disadari bahwa dalam proses pembangunan ekonomi, struktur
ekonomi akan mengalami perubahan. Djojohadikusumo (1993) mengatakan
bahwa perubahan struktur ekonomi merupakan bagian dari proses pembangunan
yang ditandai oleh adanya transformasi yang bersifat multidimensial dari keadaan
ekonomi tertentu ke arah keadaan yang mengandung gerak kekuatan dinamika
dalam perjalanan pembangunan. Berkaitan dengan hal itu, Kuznet dalam Todaro
(2000) mengatakan bahwa percepatan perubahan struktur ekonomi adalah salah
satu syarat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi maju (modern economic
growth). Tulisan Kuznet yang lain seperti yang dikutip oleh Ghatak dan Ingersent
(1984) dan Djoyohadikusumo (1993) menyebutkan bahwa perubahan struktur
ekonomi dapat dilihat dari dua sisi, yaitu perubahan kontribusi relatif suatu sektor
dalam pembentukan Produk Nasional Bruto (PNB) atau perubahan penyerapan
tenaga kerja sektor-sektor ekonomi terhadap total penyerapan tenaga kerja
nasional. Perubahan struktur total output dapat disebabkan oleh adanya perubahan
teknologi produksi. Pengkajian mengenai perubahan struktur perekonomian
adalah untuk mengetahui dampak dari perubahan struktur PNB terhadap
pendapatan per kapita serta perubahan struktur PNB dan teknologi terhadap
perubahan struktur total output.
38
Tabel 2.1Cara-cara yang Digunakan untuk Menunjukkan Corak Perubahan
Struktur Ekonomi dalam Proses Pembangunan
FAKTOR-FAKTOR YANG DIANALISISPENDEKATAN PERHITUNGAN
UNTUK MENUNJUKKANPERUBAHAN YANG TERJADI
I. PROSES AKUMULASI1.
a.b.c.
2.a.b.
3.a.
b.
Pembentukkan ModalTabungan Domestik BrutoPembentukkan Modal Domestik BrutoAliran masuk Modal (di luar Impor Barang dan Jasa)Pendapatan PemerintahPendapatan PemerintahPendapatan dari PajakPendidikanPengeluaran untuk pendidikan
Tingkat Pemasukan anak-anak ke sekolah dasar dansekolah menengah
Dengan melihat perubahan nilai-nilainya dan dinyatakan sebagaipersentase dari Produk DomestikBruto (PDB).
Dengan menunjukkan perubahanpersentase GDP untuk pendidikan.
Dengan menunjukkan perubahanpersentase anak-anak yangbersekolah di sekolah dasar dansekolah menengah.
II. PROSES ALOKASI SUMBER DAYA4.
a.b.c.d.
5.a.b.c.d.
6.a.b.c.d.
Struktur Permintaan DomestikPembentukan modal domestik brutoKonsumsi rumah tanggaKonsumsi pemerintahKonsumsi atas bahan makananStruktur ProduksiProduksi sektor primerProduksi sektor industriProduksi perusahaan utilitiesProduksi sektor jasaStruktur PerdaganganEksporEkspor bahan mentahEkspor barang-barang industriImpor
Dengan melihat perubahan nilai-nilainya dan dinyatakan sebagaipersentase dari Produk DomestikBruto (GDP).
III. PROSES DEMOGRAFIS DAN DISTRIBUSI7.
a.b.c.
8.
9.a.b.
10.a.
b.
Alokasi Tenaga KerjaDalam sektor primerDalam sektor industriDalam sektor jasa
UrbanisasiPenduduk daerah urbanTransisi DemografisTingkat kelahiranTingkat kematian
Distribusi PendapatanBagian dari 20 persen penduduk yang menerimapendapatan paling tinggi.Bagian dari 40 persen penduduk yang menerimapendapatan paling rendah.
Dengan melihat perubahanjumlahnya dan dinyatakansebagai persentase darikeseluruhan jumlah tenaga kerja.
Dengan melihat perubahanjumlahnya dan dinyatakansebagai persentase darikeseluruhan jumlah penduduk.
Dengan melihat perubahanpersentase Produk NasionalBruto (GNP) yang diterima olehmasing-masing golonganpendapatan tersebut.
Sumber : Sukirno, 2011
39
Perubahan atau transformasi struktural lebih tepat ditunjukkan oleh
perubahan komposisi struktur produksi sektoral, jumlah, dan macam sektor yang
membentuk ekonomi nasional seperti yang dikemukakan. Di samping itu, hal
yang penting dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi adalah proses atau
tahap-tahap dari perubahan tersebut. Perubahan produksi sektoral dapat
diakibatkan oleh perubahan permintaan, perdagangan, dan penggunaan faktor-
faktor produksi. Interaksi dari faktor-faktor tersebut selanjutnya akan
mempengaruhi produktivitas ekonomi.
Hollis B. Chenery yang menyelidiki pola-pola pembangunan dan
melakukan pengkajian empiris tentang proses perubahan struktural di sejumlah
Negara-negara Dunia Ketiga selama kurun waktu pasca Perang Dunia Kedua
menyimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kelancaran
proses pembangunan pada umumnya. Faktor-faktor yang dimaksud adalah jumlah
dan jenis sumber daya alam yang dimiliki tiap-tiap negara, ketepatan rangkaian
kebijakan dan sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah setempat, tersedianya
modal dan teknologi dari luar, serta kondisi-kondisi di lingkungan perdagangan
internasional. Banyak di antara faktor-faktor tersebut berada di luar jangkauan
kendali negara-negara berkembang (Todaro, 2000).
Sukirno (2011) dan Suyana (2006) menyatakan secara lengkap faktor-
faktor yang dianalisis oleh Chenery dan Syrquin pada tahun 1975 menunjukkan
corak sepuluh jenis perubahan dalam struktur perekonomian yang terjadi dalam
proses pembangunan negara-negara berkembang. Perubahan-perubahan tersebut
dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: (1) perubahan-perubahan dalam struktur
40
ekonomi yang dipandang sebagai perubahan dalam proses akumulasi, (2)
perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi yang dipandang sebagai perubahan
dalam proses alokasi sumber-sumber daya, dan (3) perubahan-perubahan dalam
struktur ekonomi yang dipandang sebagai perubahan dalam proses demografis
dan distributif. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang termasuk sebagai proses
akumulasi adalah pembentukkan modal atau investasi, penerimaan pemerintah,
dan usaha menyediakan pendidikan bagi masyarakat. Yang tergolong sebagai
alokasi sumber daya adalah struktur permintaan domestik, struktur produksi, dan
struktur perdagangan. Dalam golongan ketiga, yaitu proses demografis dan
distributif termasuk proses perubahan dalam faktor alokasi tenaga kerja dalam
berbagai sektor, urbanisasi, tingkat kelahiran dan kematian, serta distribusi
pendapatan.
Secara lengkap faktor-faktor yang dianalisis oleh Chenery dan Syrquin
untuk menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur ekonomi dalam proses
pembangunan, dan cara-cara yang digunakan untuk menunjukkan corak
perubahan tersebut dapat dikemukakan dalam Tabel 2.1.
2.2.1 Sumber-sumber Perubahan Struktur Ekonomi
Perubahan struktur ekonomi disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
pertumbuhan sektor-sektor ekonomi. Oleh karena itu diperlukan penelusuran
mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan dan selanjutnya
mempengaruhi kondisi transformasi. Tambunan (2009) mengatakan bahwa
perubahan struktur ekonomi dapat disebabkan oleh adanya perubahan dari sisi
permintaan dan dari sisi penawaran di samping secara langsung atau tidak
41
langsung dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Kalau digambarkan akan
tampak seperti Gambar 2.3.
Gambar 2.3Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perubahan Struktur Ekonomi
Sumber: Tambunan, 2009
Berdasarkan Gambar 2.3 dapat dijelaskan bahwa dari sisi permintaan
perubahan struktur ekonomi disebabkan oleh adanya pertumbuhan ekonomi yang
selanjutnya menyebabkan meningkatnya pendapatan per kapita atau daya beli
masyarakat. Di samping memperbesar permintaan barang-barang yang ada juga
memperbesar pasar bagi barang-barang baru non makanan. Perubahan ini
selanjutnya akan menggairahkan pertumbuhan industri-industri baru di satu pihak
dan di pihak lain meningkatkan laju pertumbuhan output industri-industri atau
sektor-sektor ekonomi.
Dari sisi penawaran, faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi
perubahan struktur ekonomi di antaranya adalah pergeseran keunggulan
42
komparatif, perubahan/kemajuan teknologi, peningkatan pendidikan atau kualiatas
sumber daya manusia (SDM), penemuan material-material baru untuk produksi,
dan akumulasi modal. Hal ini menambah koleksi jenis-jenis industri yang tumbuh
dan selanjutnya menyebabkan semakin besar kontribusi output industri terhadap
pembentukkan PDB.
Berkaitan dengan sisi penawaran Djojohadikusumo (1993) mengatakan
bahwa upaya perubahan sruktur ekonomi atau pendobrakan terhadap keadaan
stagnan yang dihadapi penduduk negar-negara berkembang ketika mulai
melaksanakan pembangunan pada umumnya taraf hidup diukur dengan rata-rata
pendapatan per kapita jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan di negara-
negara maju, yaitu pada tahap awal industrialisasi pada akhir abad kedelapan
belas atau awal abad kesembilan belas. Upaya pokok yang dilakukan adalah untuk
meningkatkan kemampuan berproduksi supaya tersedia lebih banyak barang dan
jasa dengan mutu yang memadai (artinya pendapatan riil meningkat). Hal ini
berarti usaha untuk menanggulangi kekakuan penawaran (supply rigidities and
supply constraints).
Dalam hal menonjolkan sisi penawaran (supply side) bukan berarti
bahwa sisi permintaan tidak memegang peranan. Sisi permintaan dan pengelolaan
tentang permintaan agregatif (management of aggregate demand) tetap penting
untuk menjaga kestabilan dalam proses pembangunan. Upaya pendobrakan
terhadap stagnasi ekonomi dan usaha mengatasi kekakuan dan kendala pada sisi
penawaran dalam tata susunan ekonomi dilakukan untuk mewujudkan akumulasi
mengenai sumber daya produksi. Akumulasi itu harus disertai dengan penggunaan
43
(alokasi) yang tepat mengenai sumber daya produksi. Proses dasar yang
menyangkut segi akumulasi dan alokasi harus dilengkapi dengan pembagian hasil
produksi yang lebih wajar (lebih merata) terhadap ekonomi masyarakat
(Djojohadikusumo, 1993).
Dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,
perubahan struktur ekonomi memberikan interaksi yang berantai terhadap
perkembangan atau pertumbuhan ekonomi. Seperti yang dikemukakan oleh Lewis
(Todaro, 2000) bahwa dengan teori dualisme ekonomi dan penawaran tenaga
kerja yang tidak terbatas beranggapan pembangunan ekonomi akan berlangsung
apabila modal yang terakumulasi sebagai akibat dari adanya peralihan surplus
tenaga kerja dari sektor subsisten ke sektor kapitalis. Dengan penawaran tenaga
kerja yang tidak terbatas pada sektor pertanian, maka sifat kurva penawarannya
adalah elastis. Pada kondisi demikian, tenaga kerja dapat ditarik tanpa batas
berdasarkan upah yang berlaku dari sektor pertanian yang subsisten. Sektor
pertanian yang ditinggalkan tidak akan kehilangan produktivitasnya, sedangkan
sektor industri yang menampung kelebihan tenaga kerja dari sektor pertanian akan
terus dapat meningkatkan outputnya. Hal ini dimungkinkan dengan meningkatnya
investasi dan akumulasi modal di sektor modern. Pada awalnya memang terjadi
hambatan dalam penarikan tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri, tetapi hal
itu bersifat hambatan semu. Hal ini dapat segera ditanggulangi dengan
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Studi empiris yang dilakukan oleh Chenery dan Clark menganalisis
proses industrialisasi di Jepang tahun 1914-1954 dengan menggunakan analisis
44
input-output menyimpulkan bahwa pada periode tersebut perekonomian Jepang
telah mengalami transformasi dari ekonomi negara terbelakang menjadi ekonomi
negara maju. Simpulan penting lainnya dari studi tersebut menunjukkan bahwa
hampir 25 persen dari peningkatan kemampuan sekotr-sektor produksi dalam
perekonomian disebabkan oleh peningkatan ekspor dan perubahan permintaan
domestik. Sementara itu tiga perempat sisanya ternyata dipengaruhi oleh
perubahan supply, termasuk peningkatan aktivitas manufaktur domestik untuk
substitusi impor dan memproduksi produk-produk primer.
2.2.2 Hubungan Perubahan Struktur Ekonomi dan Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti
pertumbuhan pendapatan per kapita, akan membawa suatu perubahan mendasar
dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor
kunci ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor non primer,
khususnya industri pengolahan dengan skala hasil yang meningkat (relasi positif
antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas), perdagangan dan jasa
sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan
bahwa semakin cepat proses peningkatan per kapita, semakin cepat perubahan
struktur ekonomi, dengan asumsi ketersediaan tenaga kerja, bahan baku, dan
teknologi. Pola dari perubahan struktur ekonomi seperti ini memang merupakan
suatu evolusi alamiah seiring dengan proses pembangunan dan industrialisasi
(Tambunan, 2009).
Menurut Chenery (Suyana Utama, 2006) pertumbuhan ekonomi telah
mengakibatkan perubahan struktur ekonomi. Transformasi struktural sendiri
45
merupakan proses perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke
sektor industri, perdagangan dan jasa, dimana masing-masing perekonomian akan
mengalami transformasi yang berbeda-beda. Pada umumnya transformasi yang
terjadi di negara sedang berkembang adalah transformasi dari sektor pertanian ke
sektor industri. Perubahan struktur dan transformasi ekonomi dari tradisional
menjadi modern secara umum dapat didefenisikan sebagai suatu perubahan dalam
ekonomi yang berkaitan dengan komposisi penyerapan tenaga kerja, produksi,
perdagangan, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan secara terus menerus
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sosial melalui peningkatan
pendapatan per kapita.
2.3 Konsep Pembangunan Ekonomi
Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir
(Subandi, 2012). Proses pembangunan adalah merupakan suatu perubahan sosial
budaya. Pembangunan dapat menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas
kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya. Pembangunan
ekonomi dapat didefenisikan sebagai suatu rangkaian proses kegiatan yang
dilakukan oleh suatu negara untuk mengembangkan kegiatan atau aktivitas
ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup/kemakmuran (Income per-kapita) dalam
jangka panjang. Kemakmuran itu sendiri ditunjukkan dengan meningkatnya
pendapatan per kapita masyarakat dan adanya keseimbangan antara supply dan
demand di pasar.
Pada dasarnya dalam pembangunan ekonomi memiliki dua sifat yaitu
yang pertama bersifat deskriptif analitis dan kedua bersifat pilihan kebijakan.
46
Berdasarkan kedua sifat tersebut, maka Arsyad (1999) mendefenisikan ekonomi
pembangunan sebagai suatu cabang ilmu ekonomi yang menganalisa masalah-
masalah yang dihadapi oleh negara sedang berkembang dan mencari cara-cara
untuk mengatasi masalah-masalah itu agar negara-negara tersebut dapat
membangun ekonominya lebih cepat lagi. Definisi pembangunan ekonomi
menurut pendapat Meier (Kuncoro, 1997) adalah suatu proses dimana pendapatan
per kapita suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan
catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan absolut
tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.
Proses pembangunan menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang
diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam: pertama, perubahan
struktur ekonomi, dari pertanian ke industri jasa; dan kedua, perubahan
kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan. Ada 3 (tiga)
kategori masyarakat secara sosiologis, yaitu masyarakat yang masih bersifat
tradisional; masyarakat yang bersifat peralihan; dan masyarakat yang sudah maju.
Perubahan dalam masyarakat yang bersifat menyeluruh dapat dikembangkan
secara sadar oleh pemerintah, yang sebaiknya pula mewakili kekuatan-kekuatan
perubahan yang ada. Pembangunan yang dilakukan secara terencana adalah suatu
usaha yang lebih rasional dan teratur bagi pembangunan masyarakat yang belum
atau baru berkembang.
Todaro (2000) mengartikan pembangunan sebagai fenomena yang tidak
dapat sepenuhnya ditangkap dengan kasat mata, melainkan melampaui sisi materi
dan keuangan kehidupan manusia. Untuk itu, pembangunan idealnya merupakan
47
proses yang akan melibatkan pengorganisasi dan peninjauan kembali terhadap
keseluruhan sistem ekonomi dan sosial, bahkan sikap-sikap, kebiasaan, adat
istiadat, sistem kepercayaan dan aspek sosial lainnya. Selanjutnya Simanjuntak
dan Muklis (2012), mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses
multidimensional yang bukan saja mencakup pertumbuhan ekonomi melainkan
juga terjadinya perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, dimana hasil
konkritnya ditunjukkan dengan terjadinya penurunan ketimpangan distribusi
pendapatan, berkurangnya kemiskinan absolut dan mengecilnya tingkat
pengangguran. Sukirno (2010), mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai
terjadinya pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara yang dibarengi dengan
terjadinya perkembangan dalam berbagai aspek kegiatan ekonomi lainnya, seperti:
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, teknologi, pendapatan dan kemakmuran
masyarakat.
Pembangunan pada hakekatnya harus mencerminkan adanya perubahan
total atau penyesuaian sistem sosial masyarakat secara keseluruhan, tanpa
mengabaikan keragaman kebutuhan dan keinginan individual maupun kelompok
sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju kehidupan yang lebih
baik secara material maupun spiritual. Oleh karena itu, indikator pembangunan
ekonomi tidak saja diukur dengan indikator ekonomi seperti pertumbuhan
ekonomi, melainkan dilengkapi juga dengan indikator sosial lainnya, seperti:
ketenagakerjaan, pendidikan, distribusi pendapatan dan penduduk miskin.
Melengkapi dengan indikator sosial, pembangunan ekonomi sudah mengarah
kepada paradigma pembangunan modern yang mulai mengedepankan
48
pengentasan kemiskinan, penurunan ketimpangan distribusi pendapatan, serta
penurunan tingkat pengangguran (Todaro & Smith, 2006).
2.3.1 Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi
Setelah Perang Dunia II, teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
didominasi oleh empat pendekatan dalam pemikiran pembangunan ekonomi.
Empat pendekatan tersebut antara lain; 1) pertumbuhan linear atau klasik, seperti
teori Adam Smith, David Ricardi, dan Arthur Lewis; 2) perubahan struktural,
seperti teori Roy F. Harrod dan Evsey D. Domar, Nicholas Kaldor, dan Simon
Kuznets; 3) teori ketergantungan; dan 4) neo klasik, seperti teori Robert Solow
dan Trevor Swan (Todaro dan Smith, 2006). Mulai tahun 1970, pendekatan model
pertumbuhan linear diganti dengan pendekatan model perubahan struktural dan
teori ketergantungan. Dalam model perubahan struktural, teori dan materi
perubahan struktural menggunakan teori ekonomi modern dan analisis statistik
sehingga dapat dianalisis bagaimana upaya suatu negara dalam melakukan proses
pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Selanjutnya, mulai tahun 1980 dan awal tahun 1990, pendekatan model perubahan
struktural dan teori ketergantungan diganti dengan model neo klasik melalui peran
perdagangan bebas, keterbukaan ekonomi, dan privatisasi perusahaan-perusahaan
publik. Model neo klasik memandang bahwa ketergantungan suatu negara
menjadi semakin bertambah karena ketidakmampuan aspek teori ketergantungan
dalam mengelola eksploitasi faktor eksternaldan internal, sepeti negara luar serta
struktur sosial-budaya dan pola perilaku masyarakat setempat yang
mengakibatkan intervensi pemerintah berupa regulasi dalam perekonomian.
49
Beberapa teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, antara lain.
1) Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of Nations pada tahun 1776 mengemukakan tentang proses
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang secara sistematis. Menurut
Adam Smith, ada dua aspek utama pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan
output total dan pertumbuhan penduduk. Unsur pokok dalam pertumbuhan
output total adalah sumber daya alam yang tersedia (faktor produksi tanah),
sumber daya insani (jumlah penduduk), dan stok barang modal yang ada
(Arsyad, 2010). Ada lima hal penting dalam teori pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi menurut Adam Smith, yaitu: a) tingkat perkembangan
suatu negara tergantung jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas
tanah dan teknologi; b) pendapatan nasional masyarakat meliputi pendapatan
dari sewa tanah, upah bekerja dan keuntungan pengusaha; c) kenaikan upah
menyebabkan pertambahan penduduk; d) pembentukan modal dipengaruhi
tingkat keuntungan sehingga apabila tidak ada tingkat keuntungan maka
perekonomian mengalami stationary state; dan e) the law of diminishing
return mengakibatkan pertambahan penduduk menurunkan tingkat upah,
menurunkan tingkat keuntungan, meningkatkan tingkat sewa tanah apabila
tidak ada kemajuan teknologi.
2) David Ricardo dalam bukunya The Principles of Political Economy and
Taxation pada tahun 1917 menyatakan bahwa teori pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi bertumpu pada laju pertumbuhan output dan lau
pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan output tergantung dari faktor
50
produksi yang tersedia. Faktor produksi tanah (sumber daya alam) tidak dapat
bertambah, karena tidak semua faktor produksi tanah merupakan faktor
produksi yang produktif. Oleh karena itu, faktor tanah menjadi faktor
pembatas dalam proses pertumbuhan ekonomi. Jumlah faktor produksi tenaga
kerja atau penduduk tergantung pada tingkat upah yang diperolehnya apakah
lebih tinggi atau lebih rendah daripada tingkat upah minimal atau tingkat
upah alamiah. Akumulasi faktor produksi modal terjadi apabila tingkat
keuntungan yang diperoleh pemilik modal lebih besar daripada tingkat
keuntungan minimal yang diperlukan untuk menarik investor melakukan
investasi. Selanjutnya, David Ricardo menambahkan bahwa kemajuan
teknologi terjadi sepanjang waktu dan sektor dominan dalam perekonomian
adalah sektor pertanian (Sukirno, 2010).
3) Arthur Lewis pada tahun 1954 membahas bahwa proses transformasi
industrialisasi pada tahap awal pembangunan kapitalis di Eropa dengan
melihat hubungan antara sektor pertanian (tradisional) dan industri (modern)
dalam perekonomian yang terjadi antara daerah pedesaan dan perkotaan
dengan memasukkan proses urbanisasi yang terjadi di daerah tersebut.
Asumsi teori pembangunan dan pertumbuhan Arthur Lewis adalah sektor
pedesaan merupakan sektor pertanian (tradisional) yang subsisten dengan
jumlah penduduk yang berkelebihan yang ditandai dengan produktivitas
marginal tenaga kerja sebesar nol dan tingkat upah riil yang rendah,
sedangkan sektor perkotaan merupakan sektor industri (modern) yang
produktivitas marginalnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga
51
kerja yang dialihkan sedikit demi sedikit dari sektor pertanian yang terjadi
kelebihan jumlah tenaga kerja (Sukirno, 2006).
4) Harrod-Domar yang dikembangkan oleh Roy F. Harrod dan Evsey D. Domar.
Harrod mengemukkan teorinya pada tahun 1939 dalam jurnal Economic
Journal sedangkan Domar mengemukakan teorinya pada tahun 1947 dalam
jurnal American Economic Review. Teori pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi Harrod-Domar merupakan perluasan dari analisis John Maynard
Keynes mengenai kegiatan ekonomi secara nasional dan masalah tenaga
kerja. Teori Harrod-Domar ini menganalisis syarat-syarat yang diperlukan
agar perekonomian dapat tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang.
Dengan kata lain, teori Harrod–Domar berusaha menunjukkan syarat yang
dibutuhkan agar perekonomian dapat tumbuh dan berkembang dengan
mantap (Badrudin, 2012).
5) Menurut Solow-Swan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi tergantung
pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga
kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi. Peran kemajuan
teknologi di dalam pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Pandangan ini
didasarkan pada anggapan yang mendasari analisis Klasik, yaitu
perekonomian tetap mengalami tingkat pengerjaan penuh dan kapasitas
modal tetap sepenuhnya digunakan sepanjang waktu. Dengan demikian,
seberapa perkembangan perekonomian akan tergantung pada pertambahan
penduduk, akumulasi modal, dan kemajuan teknologi.
52
6) Simon Kuznets mendefenisikan pertumbuhan ekonomi sebagai peningkatan
kemampuan suatu negara untuk menyediakan barang-barang ekonomi bagi
penduduknya. Pertumbuhan kemampuan ini disebabkan oleh kemajuan
teknologi dan kelembagaan serta penyesuaian idiologi yang dibutuhkan. Ada
tiga komponen pokok penting yaitu kenaikan otuput nasional secara terus
menerus, kemajuan teknologi sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi, dan
penyesuaian kelembagaan, sikap, dan ideologi. Simon Kuznets memisahkan
enam karakteristik proses pertumbuhan pada hampir semua negara maju,
yaitu a) tingginya tingkat pertumbuhan output per kapita dan penduduk; b)
tingginya tingkat kenaikan produktivitas faktor produksi secara keseluruhan
terutama produktivitas tenaga kerja; c) tingginya tingkat transformasi struktur
ekonomi; d) tingginya tingkat transformasi sosial dan ideologi; e)
kecenderungan negara-negara maju secara ekonomis untuk menjangkau
seluruh dunia untuk mendapatkan pasar dan bahan baku; dan f) pertumbuhan
ekonomi ini hanya terbatas pada sepertiga populasi dunia.
7) Joseph Schumpeter dalam bukunya The Theory of Economics Development
pada tahun 1934 dan Business Cycle tahun 1939 menjelaskan dua hal penting,
pertama sistem kapitalisme merupakan sistem yang paling baik untuk
menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat dan kedua faktor utama yang
mengakibatkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi yang dilakukan
oleh inovator atau entrepreneur. Lima macam kegiatan yang dimasukkan
sebagai proses inovasi adalah a) diperkenalkannya produk baru yang
sebelumnya tidak ada; b) diperkenalkannya cara berproduksi baru; c)
53
pembukaan daerah pasar baru; d) penemuan sumber bahan mentah baru; dan
e) perubahan organisasi industri sehingga menjadi industri yang efisiensi.
Menurut Schumpeter, perkembangan ekonomi diartikan sebagai peningkatan
output total masyarakat terdiri dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
ekonomi.
2.3.2 Kinerja Pembangunan Ekonomi
Pembangunan selalu menimbulkan dampak positif dan negatif. Oleh
karena itu, diperlukan indikator sebagai tolak ukur terjadinya pembangunan.
Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha tanpa akhir. Proses
pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya.
Pembangunan agar dapat menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju atas
kekuatan sendiri tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya (Kuncoro,
2010).
Proses pembangunan sendiri menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi
yang diikuti dengan perubahan dalam: pertama, perubahan struktur ekonomi: dari
pertanian ke industri atau jasa; kedua, perubahan kelembagaan, baik lewat
regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri. Proses pembangunan
ekonomi sering diartikan sebagai kemajuan ekonomi atau kenaikan kesejahteraan
ekonomi. Peningkatan pendapatan riil per kapita hanyalah merupakan sebagian
dari indeks kesejahteraan ekonomi. Kesejahteraan ekonomi mengandung
pertimbangan nilai mengenai tingkat distribusi pendapatan yang diinginkan.
Dengan demikian, indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada
54
dasarnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu indikator ekonomi dan indikator
sosial (Kuncoro, 2013).
Penetapan indikator kinerja atau ukuran kinerja akan digunakan untuk
mengukur kinerja atau keberhasilan negara/organisasi. Indikator kinerja daerah
sebagai alat untuk menilai keberhasilan pembangunan secara kuantitatif maupun
kualitatif, merupakan gambaran yang mencerminkan capaian indikator kinerja
program (outcomes/hasil) dari kegiatan (output/keluaran). Indikator kinerja
program adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada
jangka menengah (efek langsung). Pengukuran indikator hasil lebih utama
daripada sektor keluaran, karena hasil (outcomes), menggambarkan tingkat
pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungkin mencakup kegiatan banyak
pihak. Indikator kinerja akan dapat dijadikan sebagai media perantara untuk
memberi gambaran tentang prestasi organisasi yang diharapkan di masa
mendatang.
Kinerja pembangunan pada dasarnya digambarkan melalui tingkat
capaian sasaran dan tingkat efisiensi dan efektivitas pencapaian sasaran. Dengan
demikian, makna penetapan kinerja pembangunan tersebut untuk dapat mengukur
tingkat capaian kinerja pelaksanaan pembangunan daerah diperlukan penetapan
indikator kinerja daerah dalam bentuk penetapan indikator kinerja program
pembangunan daerah sebagai indikator kinerja utama. Untuk mengukur kinerja
pembangunan ekonomi ada beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain:
PDB; pertumbuhan ekonomi; pendapatan per kapita; inflasi; kependudukan;
55
ketenagakerjaan; pengangguran; distribusi pendapatan; dan tren ketimpangan
(Kuncoro, 2013).
2.3.3 Pengangguran
Sebelum mendefinisikan tentang pengangguran, ada baiknya
didefinisikan terlebih dahulu penduduk usia kerja. Menurut Badan Pusat Statistik
(BPS), konsep dan definisi penduduk usia kerja adalah mereka yang berdasarkan
golongan umurnya sudah bisa diharapkan untuk bekerja dan untuk di Indonesia
batasan umur 15 tahun digunakan sebagai batas seseorang diangap mulai bisa
bekerja. Jadi penduduk usia kerja adalah penduduk yang telah berusia15 tahun
atau lebih. Penduduk usia kerja terbagi menjadi dua kelompok besar yakni
angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk bukan angkatan kerja adalah
penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak termasuk ke dalam angkatan
kerja. Golongan ini secara ekonomi memang tidak aktif (non-economically active
population). Kegiatan mereka biasanya adalah sekolah, mengurus rumah tangga,
pensiun, dan cacat jasmani. Sementara angkatan kerja didefinisikan sebagai
jumlah orang yang bekerja dan orang yang menganggur.
Menurut BPS (2012) bekerja didefinisikan sebagai kegiatan dengan
maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan
selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus.
Seseorang dikatakan menganggur atau mencari pekerjaan apabila termasuk
penduduk usia kerja yang (1) tidak bekerja, atau (2) sedang mencari pekerjaan
baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah
pernah berkerja, atau (3) sedang mempersiapkan suatu usaha, atau (4) yang tidak
56
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan,
atau (5) yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Secara
skematis konsep tersebut digambarkan dalam Gambar 2.4.
Gambar 2.4Skematis Konsep Ketengarakerjaan di Indonesia
Sumber : BPS Jakarta, 2012
Dari sisi ekonomi, pengangguran merupakan produk dari
ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia.
Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas, tidak mampu untuk menyerap
para pencari kerja yang senantias mengalami peningkatan setiap tahunnya seiring
dengan terjadinya peningkatan jumlah penduduk (BPS, 2012).
Samuelson dan Nordhaus (1992), menyebutkan bahwa para ahli ekonomi
menggolongkan pengangguran dalam tiga kelompok berikut.
1) Pengangguran friksional, pengangguran terjadi karena berpindahnya
orang-orang dari satu daerah ke daerah lainnya, dan dari satu jenis
pekerjaan ke pekerjaan lain atau melalui berbagai tingkat siklus kehidupan
yang berbeda.
57
2) Pengangguran struktural, pengangguran yang terjadi karena
ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan. Seringkali terjadi
peningkatan permintaan terhadap satu pekerjaan dan penurunan
permintaan terhadap pekerjaan yang lainnya, sedangkan penawaran tidak
dapat menyesuaikan dengan cepat atas situasi yang terjadi tersebut.
3) Pengangguran siklis, pengangguran yang timbul karena terjadinya
kemerosotan pada beberapa faktor produksi sehingga kegiatan produki
mengalami penurunan.
Ada dua pendekatan yang lazim dipergunakan untuk mendefinisikan
pengangguran, yaitu.
1) Pendekatan angkatan kerja (labor force approach)
Pendekatan ini mendefinisikan pengangguran sebagai angkat kerja yang
tidak bekerja.
2) Pendekatan pemanfaatan tenaga kerja (labor utilization approach)
Indikator pengangguran menurut pendekatan ini adalah berdasarkan pada
tingkat pemanfaatan tenaga kerja, yaitu diantaranya adalah menggunakan
jam kerja, produktivitas dan pendapatan yang diperoleh.
Menurut Sadono Sukirno (2011) pendekatan pemanfaatan tenaga kerja
juga menggolongkan angkatan kerja kedalam tiga kelompok, yaitu : (1)
menganggur (unemployed) merupakan keadaan di mana orang sama sekali tidak
bekerja atau sedang mencari pekerjaan, atau sering juga disebut sebagai
pengangguran terbuka (open unemployment), (2) setengah menganggur
(underemployed), merupakan suatu keadaan di mana orang bekerja tetapi belum
58
dapat dimanfaatkan secara penuh, dan keadaan ini lebih lanjut digolongkan
menjadi dua yaitu: setengah menganggur kentara (visible underemployed)
merupakan suatu keadaan di mana orang yang bekerja kurang dari 35 jam per
minggu dan setengah menganggur tidak kentara (invisible underemployed)
merupakan orang yang produktivitas dan pendapatannya rendah, dan (3) Bekerja
penuh (employed) merupakan orang yang cukup dimanfaatkan. Menurut para ahli-
ahli ekonomi, pada masa ini pengangguran terselubung di daera-daerah pertanian
telah menjadi sangat memburuk sebagai akibat dari perkembangan penduduk
yang sangat pesat. Perkembangan penduduk yang sangat besar tersebut tidak
diikuti oleh pertambahan luas tanah yang ditanami. Oleh karenanya, pertambahan
penduduk yang tetap berada di daerah pedesaan terutama berada di daerah-daerah
pertanian yang sudah lama dikembangkan. Terbatasnya pertambahan luas area
pertanian menyebabkan perbandingan antara luas tanah yang ditanami dengan
jumlah tenaga kerja di sektor pertanian bertambah kecil. Keadaan ini
memperburuk masalah pengangguran terselubung dan masalah underemployment
yang dihadapi oleh penduduk di sektor pertanian.
2.3.4 Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan,
pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi
lingkungan. Mengacu pada strategi nasional penanggulangan kemiskinan defenisi
kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki
dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
59
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi ini dimulai dari
pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai
hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak
lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan
memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi sesorang atau sekelompok
orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui
secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan
hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan maupun laki-
laki.
Menurut Perpres Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan, pemahaman mengenai kemiskinan semestinya
berawal dari pendekatan berbasis hak (right based approach). Pendekatan right
based approach memiliki arti bahwa negara berkewajiban untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap.
Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan
atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial politik, baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Hak-hak dasar tidak
berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak
terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.
60
Friedman mendefinisikan kemiskinan (Usman, 2001) sebagai
ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis
kekuatan sosial tidak terbatas hanya pada (1) modal produktif atau aset (misalnya
organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama, partai politik, sindikasi, koperasi, dan lain-lain); tetapi juga pada (2) net
work atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lain-
lain; (3) pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan (4) informasi yang
berguna untuk memajukan kehidupan mereka.
Scott menerangkan (Usman, 2001) bahwa kemiskinan setidaknya
memiliki kondisi-kondisi yang pada umumnya didekati dengan (1) dari segi
pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non
material yang diterima oleh seseorang sehingga secara luas kemiskinan meliputi
kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan sehat yang buruk atau
kekurangan transportasi yang dibutuhkan masyarakat; (2) kadang-kadang
didefenisikan dari segi kepemilikan aset yakni tanah, rumah, peralatan, uang,
emas, kredit dan lain-lain; (3) kemiskinan non materi meliputi berbagai macam
kebebasan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga
dan kehidupan yang layak.
United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam
hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian “tidak adanya partisipasi dalam
pengambilan keputusan publik” sebagai salah satu indikator kemiskinan (Chayat,
2007). Selanjutnya Chayat (2007) juga menambahkan bahwa di penghujung abad
61
ke 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan yaitu bahwa kemiskinan
juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan
untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness). Jadi dikatakan sebagai kemiskinan
berwajah majemuk atau bersifat multidimensi.
Definisi kemiskinan menurut Kuncoro (1997) adalah sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Permasalahan standar
hidup yang rendah memiliki keterkaitan dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang buruk, sehingga berakibat pada rendahnya sumber daya
manusia dan tentunya akan bermuara kepada jumlah pendapatan yang sedikit.
Beberapa indikator sederhana yang seringkali dipergunakan untuk mengukur
tingkat standar hidup dalam suatu negara antara lain Gross National Product
(GNP) per capita, pertumbuhan relatif nasional dan pendapatan per kapita,
distribusi pendapatan nasional, tingkat kemiskinan, dan tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Menurut Todaro (2000), kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa
mengacu kepada garis kemiskinan (proverty line). Konsep pengukuran
kemiskinan yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut,
sedangkan konsep pengukuran kemiskinan yang tidak didasarkan pada garis
kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat
kemiskinan di bawah, dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan
hidup tidak dapat terpenuhi. Hal ini merupakan suatu ukuran tetap (tidak berubah)
di dalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum di tambah komponen-
komponen non makanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup
62
(survive). Sedangkan kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai
kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya dapat didefinisikan dalam
kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud.
Terdapat dua pendekatan untuk mengukur tingkat kemiskinan, yaitu
pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pertama, pendekatan kemiskinan
absolut, yaitu pendekatan yang memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang
bersifat mutlak dan yang bermuara atau berwujud sebagai garis, titik, atau batas
kemiskinan. Seseorang atau masyarkat yang tidak mampu keluar dari ukuran-
ukuran tersebut dikelompokkan sebagai miskin. Ukurannya antara lain berupa
tingkat pendapatan, pengeluaran atau konsumsi, atau kalori seseorang atau
keluarga dalam satu waktu tertentu dan hal-hal yang disetarakan dengan ukuran
tersebut. Pendekatan absolut lebih mudah diterapkan karena hanya
membandingkan saja dengan batasan yang dikehendaki (Nugroho dan Dahuri,
2004). Kemiskinan absolut dapat diartikan pula sebagai suatu keadaan dimana
tingkat pendapatan absolut dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya, seperti pangan, sandang, pemukiman, kesehatan, dan
pendidikan. Besarnya atau dimensi masalah kemiskinan absolut tercermin dari
jumlah penduduk yang tingkat pendapatan atau tingkat konsumsinya berada
dibawah “tingkat minimum” yang telah ditetapkan (Wie, 1983).
Kedua, pendekatan kemiskinan relatif, yaitu pendekatan yang
memandang kemiskinan dalam suatu ukuran yang dipengaruhi ukuran-ukuran
lainnya yang berhubungan dengan proporsi atau distribusi. Ukurannya berasal dari
ukuran absolut, namun lebih ditekankan pada proporsi relatif. Misalnya, garis
63
kemiskinan adalah 20 persen pendapatan terendah, median dari distribusi
pendapatan dan lain-lain (Nugroho dan Dahuri, 2004). Berdasarkan konsep
kemiskinan relatif ini garis kemiskinan akan mengalami perubahan. Hal ini jelas
merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut/mutlak. Kelemahan konsep
ini justru terletak pada sifatnya yang dinamis. Secara implisit akan terlihat bahwa
“kemungkinan kemiskinan akan selalu berada di antara kita”. Dalam setiap waktu
akan selalu terdapat sejumlah penduduk dari total penduduk yang dapat
dikategorikan sebagai penduduk miskin. Sehingga berbeda dengan konsep
kemiskinan absolut dimana jumlah orang miskin tidak mungkin habis sepanjang
zaman (Esmara, 1986).
Termonologi kemiskinan lain selain kemiskinan relatif dan kemiskinan
absolut adalah kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan
struktural adalah kemiskinan yang disebabkan kondisi struktur atau tatanan
kehidupan yang tidak menguntungkan karena tatanan itu tidak hanya
menyebabkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan di dalam
masyarakat. Di dalam kondisi struktur yang demikian, kemiskinan menggejala
bukan oleh sebab-sebab yang alami melainkan oleh sebab tatanan sosial yang
tidak adil. Tatanan yang tidak adil ini menyebabkan banyak warga masyarakat
gagal memperoleh peluang dan/atau akses untuk mengembangkan dirinya serta
meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga penduduk yang malang dan
terperangkap ke dalam perlakuan yang tidak adil ini menjadi serba kekurangan,
tidak setara dengan tuntutan untuk hidup yang layak dan bermartabat sebagai
manusia. Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya
64
suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan
indikator kemiskinan.
Menurut Kuncoro (1997) penyebab kemiskinan adalah 1) secara mikro,
kemiskinan karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya
memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah; 2)
kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia yang
rendah, yang berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya
rendah. Rendahnya kualitas sumber daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib
yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan; dan 3)
kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Ketiga penyebab
kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle
poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya
modal menyebabkan rendahnya produktivitas, sehingga mengakibatkan
rendahnya pendapatan yang diterima. Rendahnya pendapatan berimplikasi pada
rendahnya tabungan dan investasi yang berkaitan pada keterbelakangan, dan
seterusnya.
Teori yang menarik yang sering dijadikan acuan dalam membahas
permasalahan kemiskinan serta sekaligus menunjukkan bahwa permasalahan
kemiskinan bersifat multidimensional adalah Teori Lingkaran Setan (vicious cicle
of poverty). Pencetus teori ini, Myrdal, pada tahun 1957 menjelaskan bahwa setiap
individu dan masyarakat memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain dalam
menciptakan suatu problem yang muncul di dalam masyarakat. Teori ini
65
kemudian dikembangkan lagi oleh para pengamat permasalahan kemiskinan,
diantaranya Jonathan Secher. Ia menjelaskan bahwa pendidikan dan
ketenagakerjaan di masyarakat berinteraksi dalam bentuk sebuah lingkaran yang
saling kait terkait satu sama lain. Masyarakat yang tidak memiliki akses untuk
berkembang dengan baik akan terdorong untuk berimigrasi ke tempat lain dan
meninggalkan usahanya di tempat asal. Akibatnya, terjadi penurunan
produktivitas dan penerimaan pajak di daerah tersebut. Penurunan penerimaan
pajak akan berdampak pada pengurangan anggaran pembangunan di daerah itu
termasuk belanja pembangunan untuk pendidikan. Penurunan kualitas pendidikan
dan kualitas tenaga kerja pada akhirnya tidak dapat dihindari. Dengan tenaga kerja
berkualitas rendah, industri tidak dapat mengadopsi teknologi yang lebih baik dan
tidak mampu mengembangkan usahanya sehingga berakibat pada berkurangnya
penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya pengangguran.
2.3.4.1 Ukuran Kemiskinan
Secara umum kemiskinan dijelaskan oleh indikator berikut (1)
kekurangan kebutuhan dasar: ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, yaitu
makanan dan gizi, pakaian, pendidikan, dan kesehatan; (2) ketidakproduktifan:
ketidakmampuan melakukan upaya-upaya produktif; (3) ketertutupan akses
terhadap sumber daya sosial dan ekonomi; (4) keterpurukan: ketidakmampuan
menentukan nasibnya sendiri, diperlakukan secara tidak adil, didera ketakuan dan
keraguan, dan berlaku apatis serta pesimistik; dan (5) ketergantungan: tidak
mampu melepaskan diri dari kemiskinan dan mentalitas kultural serta rendah
dalam apresiasi diri.
66
Ada beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia,
diantaranya adalah ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan United Nations Development
Program (UNDP). BPS sejak tahun 1984 melaporkan hasil pengukuran tingkat
kemiskinan melalui perhitungan tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar
yang meliputi konsumsi dasar pangan dan konsumsi dasar non pangan (sandang,
papan, pendidikan dan kesehatan). Dari sisi konsumsi dasar pangan, BPS
menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakara Pangan dan Gizi
tahun 1998, yaitu kebutuhan gizi 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari
sisi konsumsi non pangan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan melainkan
termasuk pendidikan dan kesehatan. Model ini pada intinya membandingkan
tingkat konsumsi penduduk dengan suatu garis kemiskinan, yaitu jumlah rupiah
untuk konsumsi per orang per bulan. Sedangkan data yang digunakan adalah data
makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (SUSENAS).
Selain melakukan perhitungan jumlah penduduk miskin dalam analisis
tentang penduduk miskin, BPS juga menyertakan hasil analisis tentang
karakteristik rumah tangga miskin. Di dalamnya tergambar kondisi rumah tangga
miskin berdasarkan karakteristik sosial demografi, pendidikan, kesehatan, sumber
penghasilan, rasio ketergantungan, ketenagakerjaan, kondisi perumahan, dan lain-
lainnya. Karakterisktik rumah tangga yang dianggap BPS memiliki keterkaitan
erat dengan kemiskinan diantaranya adalah jumlah anggota rumah tangga, mereka
yang kepala rumah tangganya berstatus janda, pendidikan kepala rumah tangga
rendah atau kepala rumah tangga buta huruf, perbedaan geografis antara kota dan
67
desa, lapangan usaha dan status pekerjaan, penguasaan luas lantai per kapita,
rumah tangga tanpa akses air bersih, fasilitas buang air besar, pemanfaatan listrik,
dan sebagainya.
Pengukuran kemiskinan melalui pendekatan pengeluaran, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Metode yang digunakan adalah menghitung garis kemiskinan (GK) yang terdiri
dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Berkaitan dengan hal itu, setiap tahun BPS melakukan penyesuaian terhadap garis
kemiskinannya. Sebab utamanya adalah perubahan harga (inflasi), namun kadang
juga oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. selama ini GK selalu naik, dan
hampir bisa dipastikan pula untuk tahun-tahun mendatang. Sumber data utama
yang dipakai BPS untuk menentukan GK adalah data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) dan Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD).
Ukuran lain kemiskinan yang dikembangkan oleh BKKBN menggunakan
data mikro hasil pendaftaran keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Dalam ukuran
ini, sebuah keluarga disebut miskin jika: (1) tidak bisa melakukan kewajiban-
kewajiban rutin dalam agamanya; (2) tidak bisa makan dua kali dalam sehari; (3)
tidak mempunyai pakaian lain untuk bekerja/bersekolah dan melakukan aktivitas
68
lainnya; (4) tinggal di rumah yang sebagian besar ruangannya berlantai tanah; dan
(5) tidak bisa membayar biaya fasilitas kesehatan. Selain itu, model pembangunan
manusia dari UNDP juga digunakan sebagai ukuran kemiskinan di Indonesia.
Lembaga ini secara berkala – setiap tiga tahun – sejak tahun 1990
mempublikasikan Laporan Pembangunan Manusia atau Human Development
Report (HDR).
Tabel 2.2Indeks HDR – UNDP dan Indikatornya
Jenis Indeks IndikatorHuman DevelopmentIndex (HDI)
a. Tingkat harapan hidupb. Tingkat melek huruf orang dewasac. Rata-rata lama bersekolahd. Tingkat daya beli per kapita
Human Poverty Index(HPI)
a. Kelahiran yang tidak dapat bertahan sampai usia40 tahun
b. Tingkat buta huruf orang dewasac. Persentase penduduk yang tidak memiliki akses
pada air yang aman untuk digunakand. Persentase penduduk yang tidak memiliki akses
pada fasilitas kesehatane. Persentase balita yang kurang makan
Gender DevelopmentIndex (GDI)
a. Tingkat harapan hidup lelaki dan perempuanb. Tingkat melek huruf orang dewasa lelaki dan
perempuanc. Rata-rata lama bersekolah untuk lelaki dan
perempuand. Perkiraan tingkat pendapatan lelaki dan
perempuanGender EmpowermentMeasures (GEM)
a. Persentase jumlah anggota DPR lelaki danperempuan
b. Persentase jumlah pegawai tingkat senior,manager, profesional dan posisi teknis dari lelakidan perempuan
c. Perkiraan tingkat pendapatan lelaki danperempuan
Sumber : Sugiarto, 2007
69
HDR berisi penjelasan tentang empat indeks, yaitu Indeks Pembangunan
Manusia atau Human Development Index(HDI), tingkat Upaya Pemberdayaan
Gender atau Gender Empowerment Measure (GEM), Indeks Pembangunan
Gender atau Gender Development Index (GDI), dan Indeks Kemiskinan Manusia
atau Human Poverty Index (HPI). Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 2.2.
2.3.5 Hubungan Pembangunan Ekonomi Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat
Secara umum kinerja dari ekonomi daerah ditunjukkan oleh tingkat
kesejahteraan masyarakat yang dicapai oleh masyarakat secara keseluruhan.
Kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari aktivitas ekonomi yang terjadi di
masyarakat tersebut. Aktivitas ekonomi akan menghasilkan barang dan jasa serta
nilai tambah ekonomi dan nilai tambah sosial masyarakat. Nilai tambah (value
added) tersebut antara lain timbulnya balas jasa faktor produksi, berupa balas jasa
modal, kesempatan kerja, sewa yang timbul dari pemanfaatan aset/faktor produksi
yang tidak terpakai atau menganggur (idle), surplus usaha serta nilai tambah
sosial, yang adalah sumber utama pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh
karena itu maka makin tinggi aktivitas ekonomi di suatu daerah, makin tinggi pula
kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut, dan sebaliknya. Untuk mewujudkan
masyarakat sejahtera, dimana rakyatnya memiliki pendapatan, karena memiliki
pekerjaan, dan negara bias melayani masyarakatnya dengan memadai, karena
memiliki APBN yang juga memadai, diperlukan aktivitas bisnis di masyarakat
yang juga memadai. Untuk mendorong aktivitas ekonomi publik yang memadai,
diperlukan perkembangan investasi yang memadai pula. Sehubungan dangan hal
70
ini diperlukan iklim usaha yang kondusif, dimana peran negara atau pemerintah
sangat menentukkan dalam penciptaan iklim investasi tersebut (Noor, 2013).
Aspek pendapatan (income) memerlukan dua faktor penting sebagai
penunjang, yaitu tersedianya lapangan pekerjaan dan stabilitas nilai tukar (internal
maupun eksternal). Tersedianya lapangan pekerjaan memberikan masyarakat
pekerjaan yang adalah sumber nafkah bagi masyarakat. Tanpa tersedianya
lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat, tentu akan berakibat pada
sumber nafkah yang juga tidak memadai. Bila masyarakat banyak yang tidak
dapat bekerja, atau menganggur, maka hal ini akan menimbulkan berbagai
masalah, tidak hanya masalah bagi yang bersangkutan (penganggur) saja, tetapi
juga masalah bagi keluarga, masyarakat lingkungan dan negara secara
keseluruhan. Oleh karena itu, maka salah satu indikator penting kinerja ekonomi
publik adalah tingkat pengangguran (unemployment rate) yang terjadi di
masyarakat. Makin tinggi angka pengangguran, mengindikasikan kinerja ekonomi
publik makin buruk, dan sebaliknya. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat luas (jumlah, aksesibilitas, kualitas, dan keragamannya) sangat
menentukan kesejahteraan masyarakat.
Stabilitas nilai tukar, baik internal (stabilitas harga barang dan jasa
domestik, yang dikonsumsi setiap hari) maupun eksternal (kurs), juga
berpengaruh pada peningkatan pendapatan, khususnya daya beli konsumen. Bila
pendapatan naik sementara harga barang dan jasa naik lebih tinggi dari kenaikan
pendapatan, maka daya beli dari pendapatan konsumen akan menurun.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu menorong aktivitas ekonomi di
71
masyarakat, melalui pengembangan bisnis, sehingga akan mendorong terciptanya
keseimbangan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) barang dan
jasa di masyarakat yang akan membantu terbangunnya stabilitas harga (nilai
tukar), baik untuk harga barang dan jasa domestik (internal stability) maupun
untuk nilai tukar uang domestik dengan uang asing (external stability). Makin
berfluktuasi nilai tukar mengindikasikan kinerja ekonomi publik makin buruk.
Ketersediaan dan banyaknya konsumsi barang dan jasa yang ada di
masyarakat menunjukkan masyarakat tersebut makin sejahtera. Faktor penunjang
ketersediaan barang dan jasa adalah investasi. Dengan banyaknya investasi di
berbagai sektor akan menghasilkan makin banyak jenis dan ragam barang dan
jasa, sehingga jumlah atau alternatif pilihan konsumsi masyarakat juga bertambah.
Ketersediaan barang dan jasa yang dimaksud bukan hanyalah barang kebutuhan
pokok (primer) tetapi juga menyangkut barang dan jasa lainnya yang dibutuhkan
untuk melengkapi kualitas hidup masyarakat, seperti sarana pendidikan dan
jaminan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Dengan demikian
indikator penting lainnya dari kinerja ekonomi publik adalah tingkat ketersediaan
barang dan jasa yang memadai (sufficient supply) di masyarakat. Ketersediaan
barang dan jasa strategis seperti pangan dan energi merupakan hal yang sangat
penting dalam menjaga kinerja ekonomi publik, karena berkaitan dengan
kedaulatan dan ketahanan pangan serta kedaulatan dan ketahanan energi (Noor,
2013).
Untuk meningkatkan persediaan barang dan jasa yang dibutuhkan
masyarakat, maka pemerintah perlu mendorong pertumbuhan investasi.
72
Pertumbuhan investasi yang meningkat dapat membawa dampak baik bagi
kesejahteraan masyarakat dan juga memberikan tambahan pendapatan negara
melalui pajak dan retribusi. Jika pendapatan negara meningkat, maka akan
mendorong peningkatan pelayanan masyarakat, baik di bidang pendidikan,
kesehatan, lingkungan, transportasi, dan lain sebagainya. Hal ini akan membawa
dampak memperkuat persatuan serta mempercepat kemakmuran. Sebaliknya jika
pendapatan negara karena meningkatnya aktivitas ekonomi di masyarakat melalui
investasi, namun pelayanan publik tidak meningkat, maka hal ini menunjukkan
perlunya perbaikan, karena terdapat kebijakan penggunaan anggaran yang tidak
tepat.
Meningkatnya investasi akan menambah tersedianya lapangan pekerjaan
dan bertambahnya pendapatan asli masyarakat, berkurangnya kemiskinan, serta
meningkatnya pendapatan negara, yang digambarkan oleh meningkatnya peran
pendapatan asli negara (baik dari pajak maupun luar pajak) pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diikuti dengan peningkatan
pelayanan publik yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat, baik dalam
bentuk kuantitas maupun kualitas sarana publik, maupun bentuk pelayanan sosial,
dan sebagainya. Namun bila APBN meningkat, sementara tingkat kemiskinan
tidak berkurang, dan pelayanan publik juga tidak meningkat, maka artinya
peningkatan APBN tersebut cenderung pemborosan dan tidak berkontribusi pada
ekonomi publik.
2.3.6 Hubungan Pembangunan Ekonomi dan Perubahan Struktur Ekonomi
Perubahan struktur ekonomi ditandai dengan perkembangan produksi
sektor pertanian yang lebih lambat dibandingkan perkembangan produksi
73
nasional, sedangkan tingkat pertambahan produksi sektor industri lebih cepat dari
pada tingkat pertambahan produksi nasional dan tidak adanya perubahan dalam
peranan sektor jasa dalam produksi nasional, yang artinya bahwa tingkat
perkembangan sektor jasa adalah sama dengan tingkat perkembangan produksi
nasional. Perubahan struktur ekonomi demikian disebabkan oleh beberapa faktor
melalui proses pembangunan. Pertama, keadaan yang demikian disebabkan oleh
sifat manusia dalam kegiatan konsumsinya, yaitu apabila pendapatan naik,
elastisitas permintaan yang diakibatkan oleh perubahan pendapatan (income
elasticity of demand) adalah rendah untuk konsumsi atas bahan-bahan makanan.
Sedangkan permintaan terhadap bahan-bahan pakaian, perumahan, dan barang-
barang konsumsi hasil industri keadaannya adalah sebaliknya. Sifat permintaan
masyarakat yang seperti ini ditujukkan oleh Engels yang disebut sebagai hukum
Engels. Pada hakikatnya teori ini mengatakan bahwa makin tinggi pendapatan
masyarakat, maka akan makin sedikit proporsi pendapatan yang digunakan untuk
membeli bahan pertanian. Akan tetapi sebaliknya, proporsi pendapatan yang
digunakan untuk membeli produksi barang-barang industri menjadi bertambah
besar (Sukirno, 2011).
Kedua, perubahan struktur yang disebabkan oleh perubahan teknologi
yang terus menerus berlangsung. Perubahan teknologi yang terjadi dalam proses
pembangunan akan menimbulkan perubahan struktur produksi yang bersifat
compulsory dan inducive. Kemajuan teknologi akan mempertinggi produktivitas
kegiatan-kegiatan ekonomi yang selanjutnya akan memperluas pasar serta
kegiatan perdagangan. Perubahan-perubahan ini akan menimbulkan kebutuhan
74
untuk menghasilkan barang-barang baru. Demikian pula industrialisasi,
urbanisasi, dan pengembangan kota yang selalu mengikuti proses pembangunan
ekonomi memerlukan perumahan yang lebih baik, jaringan pengangkutan dan
perhubungan yang lebih sempurna dan administrasi pemerintahan yang lebih luas,
untuk menjamin agar kehidupan di kota-kota dan kegiatan ekonomi yang semakin
bertambah kompleks dapat berjalan dengan teratur. Barang-barang dan jasa
tersebut merupakan benda-benda yang harus diciptakan untuk memenuhi
keperluan masyarakat baru, yang timbul sebagai akibat dari kemajuan teknologi
dan pembangunan ekonomi. Oleh sebab itu, perubahan tersebut dinamakan
perubahan struktur produksi nasional yang bersifat compulsory. Selanjutnya,
kemajuan teknologi menyebabkan pula perubahan dalam struktur produksi
nasional yang bersifat inducive, yaitu kemajuan tersebut menciptakan barang-
barang baru yang menambah pilihan barang-barang yang dapat dikonsumsi
masyarakat.
2.4 Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan suatu istilah pemerintahan yang dipahami
sebagai penyerahan wewenang yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada
daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Di samping itu,
penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, partisipasi masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
75
Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan yaitu perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi kecuali
bidang luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan peraturan
pemerintah. Kewenangan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan daerah dalam bidang tertentu yang secara nyata
ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Kewenangan
otonomi yang bertanggungjawab adalah perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah tersebut, maka
daerah diberi kewenangan untuk menggali sumber keuangan daerah sendiri yang
didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta
antara provinsi dan kabupaten/kota sebagai prasyarat dalam sistem pemerintahan
daerah.
Pemberian otonomi kepada daerah sangat diperlukan untuk memperbesar
partisipasi masyarakat di seluruh Indonesia dalam memberikan keputusan yang
berdampak langsung kepada daerahnya, sebab sangatlah tidak realistik jika
Pemerintah Pusat membuat keputusan mengenai pelayanan masyarakat untuk
seluruh negeri. Demikian juga diyakini bahwa masyarakat lokal melalui
kabupaten/kota memiliki pengetahuan yang lebih tentang kebutuhan, kondisi dan
yang diprioritaskan. Mobilisasi sumber daya lebih dimungkinkan dilakukan oleh
masyarakat yang dekat dengan pengambil keputusan di tingkat lokal
(Simanjuntak, 2003). Dengan demikian hakikat otonomi adalah meletakkan
76
landasan pembangunan yang tumbuh dan berkembang dari rakyat,
diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh
seluruh rakyat.
Harapan dilaksanakannya otonomi daerah adalah agar pemerintah daerah
daerah lebih fleksibel dalam mengatur strategi pembangunannya, karena dengan
adanya otonomi pemerintah akan lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga
makin banyak keinginan masyarakat dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dengan
adanya otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat dan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia pada masa
yang akan datang. Selain itu, pemberian otonomi terhadap daerah sangat perlu
karena makin berkembangnya kesadaran terhadap pembangunan yang bercirikan
“growth and equitya” dan juga munculnya kebutuhan untuk menciptakan
“sustainable development” serta terciptanya “good governance”, mengisyaratkan
perlunya partisipasi pembangunan dari masyarakat. Untuk itu, maka peran
pemerintah daerah meratakan pembangunan dan menciptakan kelestarian
pembangunan menjadi sangat penting (Suwandi, 2000).
Desentralisasi sebagai pengembangan otonomi daerah memiliki prinsip
money should follow function yang artinya setiap penyerahan atau pelimpahan
wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan
untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Jumlah bidang pemerintahan yang
menjadi tanggungjawab birokrasi adalah sama di antara pemerintahan
kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia, namun keberhasilan masing-masing
daerah melaksanakan kewenangannya tergatung kepada daerah yang bersangkutan
77
sesuai dengan kreativitas, kemapuan organisasi pemerintahan daerah, dan kondisi
setiap daerah (Badrudin, 2012).
Desentralisasi fiskal menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Pasal 1
didefenisikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom unutuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi
fiskal diharapkan dapat menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama,
mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa, dan kreativitas masyarakat dalam
pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan di seluruh
Indonesia; dan yang kedua diharapkan dapat memperbaiki alokasi sumber daya
produktif melalui pergeseran peran pengambil keputusan ke tingkat pemerintah
yang lebih rendah. Agar tujuan desentralisasi fiskal dapat tercapai, maka ada
empat elemen penting dalam desentralisasi fiskal yang harus diperhatikan. Empat
elemen tersebut, antara lain: (1) sistem dana perimbangan (transfer); (2) sistem
pajak dan pinjaman daerah; (3) sistem administrasi dan anggaran pemerintah
pusat dan daerah; dan (4) penyediaan layanan publik dalam konteks penerapan
Sistem Pelayanan Minimal (SPM) (Mardiasmo, 2002).
Sistem dana perimbangan terdapat transfer dari pemerintah pusat yang
pada prakteknya masih merupakan sumber pembiayaan dominan pada sebagian
besar pemerintah daerah di Indonesia. Sistem pajak daerah terdapat pembatasan
otonomi dari segi penerimaan yang cenderung berimplikasi pada penetapan
redistribusi baru dan pembatasan atau penundaan mekanisme penerusan pinjaman
78
luar negeri sehingga terjadi praktek defisit anggaran. Sistem pinjaman daerah
terdapat perubahan regulasi dalam bentuk peningkatan batasan defisit anggaran
daerah dan juga batasan akumulasi pinjaman yang menandakan belum
sepenuhnya disiplin fiskal berjalan. Sistem administrasi dan anggaran pemerintah
pusat dan daerah terdapat efisiensi pada bagian pendapatan tidak akan efektif jika
tidak ada disiplin fiskal dari pengeluaran pemerintah dan peningkatan efisiensi
pengelolaan anggaran pusat dan daerah. Penyediaan layanan publik dalam konteks
penerapan SPM terdapat otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota dan provinsi
belum dikaitkan dengan skala ekonomis terkait dengan jenis layanan publik.
2.4.1 Keuangan Daerah
Keuangan daerah berperan penting dalam otonomi daerah karena
keuangan daerah menggambarkan cerminan kemampuan daerah untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadikan
kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD). Berdasarkan penjelasan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah , defenisi keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu baik berupa
uang dan barang yang dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut dalam kerangka APBD.
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dilihat dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
79
daerah tersebut (Adisasmita, 2011). Keuangan daerah dikelola dengan
menggunakan 4 (empat) prinsip, yaitu.
1) Prinsip Kemandirian: prinsip ini mengarah pada pengelolaan anggaran yang
dikelola dengan pengurangan ketergantungan terhadap sumber keuangan
yang sifatnya pragmatis datang dari atas, tanpa harus mencoba melakukan
sebuah inovasi dan penemuan sumber-sumber penerimaan yang baru,
optimalisasi terhadap sumber-sumber daya yang dimiliki, peningkatan
kualitas sumber daya yang ada sehingga akan mendorong perbaikan
produktivitas yang akan mengarah kepada perbaikan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat.
2) Prioritas: penggunaan skala prioritas dalam menentukan objek-objek dalam
perjalanan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Adanya sebuah
indikator dalam menentukkan pilihan objek yang terbaik dari alternatif yang
terbaik (best of the best).
3) Efisisensi, efektivitas, dan ekonomis: efisiensi adalah input yang digunakan
dialokasikan secara optimal dan baik untuk mencapai output yang
menggunakan biaya terendah, efektif adalah pencapaian tujuan atau sasaran
yang telah ditetapkan sebelumnya, dan ekonomis adalah penghematan input
untuk mendapatkan output yang baik, semua input yang digunakan dibiayai
dengan harga termurah.
4) Disiplin anggaran: penggunakan anggaran sesuai dengan alokasi anggaran
yang telah ditentukan sebelumnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan otonomi daerah
adalah faktor keuangan yang baik. Istilah keuangan ini mengandung arti setiap
80
hak yang berhubungan dengan masalah uang, yang antara lain berupa sumber
pendapatan, jumlah uang yang cukup, dan pengelolaan keuangan yang sesuai
dengan tujuan dan peraturan yang berlaku. Faktor keuangan penting dalam setiap
kegiatan pemerintah, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak
membutuhkan biaya. Makin besar jumlah uang yang tersedia, makin banyak pula
kemungkinan kegiatan atau pekerjaan dapat dilaksanakan.
Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah. APBD merupakan ilustrasi yang digunakan dalam
memberikan gambaran bagaimana pelaksanaan pembangunan dilaksanakan dalam
suatu daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintah daerah, APBD didefenisikan sebagai rencana operasional keuangan
pemerintah daerah, dimana satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran
guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun
anggaran tertentu dan dipihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan
sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang
dimaksud.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan Standar Akuntansi Pemerintahan, struktur APBD merupakan satu
kesatuan yang terdiri dari.
1) Pendapatan Daerah adalah semua penerimaan kas yang menjadi hak daerah
dan diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam satu tahun
81
anggaran dan tak perlu dibayar lagi oleh pemerintah. Kelompok pendapatan
terdiri atas;
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan daerah yang dipungut
berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
b. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
c. Lain-lain Pendapatan yang sah adalah pendapatan lain-lain yang
dihasilkan dari bantuan dan dana penyeimbang dari pemerintah pusat.
2) Belanja Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang
diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode satu tahun
anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.
Kelompok belanja terdiri atas.
a. Belanja Administrasi Umum (belanja tak langsung) adalah belanja yang
secara tak langsung dipengaruhi program atau kegiatan.
b. Belanja Operasional dan Pemeliharaan (belanja langsung) adalah belanja yang
secara langsung dipengaruhi program atau kegiatan.
c. Belanja Modal adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai
kegiatan yang akan menambah aset.
d. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan adalah belanja langsung yang
digunakan dalam pemberian bantuan berupa uang dengan tidak mengharapkan
imbalan.
e. Belanja Tak Disangka adalah belanja yang langsung dialokasikan untuk
kegiatan diluar rencana, seperti terjadinya bencana alam.
82
3) Transfer adalah penerimaan/pengeluaran uang dari suatu entitas pelaporan
lain, termasuk dana perimbangan dan bagi hasil.
4) Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam
penganggaran pemerintah terutama dimaksud untuk menutup defisit atau
memanfaatkan surplus anggaran.
Surplus APBD digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah tahun
anggaran berikutnya, membentuk dana cadangan, dan penyertaan modal dalam
perusahaan daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-
sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut. Pengaturan dana
dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan
kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Dana tugas pembantuan untuk menjamin tersedianya dana bagi
pelaksanaan kewenangan pemerintah pusat yang ditugaskan kepada daerah.
Dalam undang-undang hal ini ditegaskan bahwa pengadministrasian dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBD. Hal
ini dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan daerah
dapat dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
2.4.2 Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja menurut Indra Bastian (2006) adalah sebagai prestasi yang
dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu. Kinerja merupakan pencapaian
atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi (Hamzah, 2008).
83
Pengukuran kinerja penting untuk dilakukan dikarenakan dapat meningkatkan
efisiensi, keefektivitas, penghematan, dan produktivitas pada organisasi sektor
publik. Pengukuran kinerja ini dimaksudkan untuk mengetahui capaian kinerja
yang telah dilakukan organisasi dan sebagai alat untuk pengawasan serta evaluasi
organisasi. Pengukuran kinerja akan memberikan umpan balik sehingga terjadi
upaya perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai tujuan dimasa mendatang.
Pengukuran kinerja keuangan daerah menyangkut 3 (tiga) bidang analisis
yang saling terkait satu dengan yang lainnya, ketiga bidang tersebut yaitu:
a. Analisis Penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah
dalam menggali sumber-sumber pendapatan potensial.
b. Analisis Pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari
suatu layanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya
tersebut meningkat.
c. Analisis Anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan
pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.
Pemerintah daerah merupakan organisasi sektor publik yang dituntut
untuk dapat memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Pengukuran kinerja
keuangan pemerintah daerah merupakan salah satu cara untuk mengetahui apakah
pemerintah daerah berhasil mengelola keuangannya yang berdampak pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengukuran kinerja yang bersifat finansial
biasanya dilakukan memenuhi tiga tujuan, yaitu (1) memperbaiki kinerja
pemerintah; (2) membantu mengalokasikan sumber daya yang tepat; dan (3)
mewujudkan pertanggungjawaban publik (Mardiasmo, 2002).
84
Pengukuran kinerja keuangan daerah dapat diukur melalui perhitungan
rasio-rasio keuangan. Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan
membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan
periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang
terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio
keuangan daerah lainnya yang terdekat ataupun yang potensi daerahnya relatif
sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan pemerintah tersebut terhadap
pemerintah daerah lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan
rasio keuangan APBD antara lain: 1) DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah
(masyarkat); 2) pihak eksekutif sebagai landasan dalam penyusunan APBD
berikutnya; 3) Pemerintah Pusat/provinsi sebagai bahan masukan dalam
pembinaan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah; dan 4) masyarakat dan
kreditur, bersedia memberi pinjaman ataupun membeli obligasi.
Kelemahan utama dalam manajemen keuangan daerah adalah tidak
adanya ukuran kinerja yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam
proses perencanaan, ratifikasi, implementasi, dan evaluasi terhadap keuangan
daerah. Selama ini satu-satunya ukuran kinerja yang ada adalah ukuran kinerja
yang ditentukan oleh pemerintah pusat, yaitu aturan jumlah belanja daerah baik
belanja aparatus maupun belanja pelayanan publik yang tertera dalam APBD
adalah jumlah maksimal yang dapat dibelanjakan untuk setiap pos belanja daerah.
Dengan aturan ini kinerja belanja daerah disebut baik apabila realisasinya sesuai
dengan target, yaitu semua dana belanja daerah dihabiskan pada tahun anggaran
yang bersangkutan (Mardiasmo, 2002).
85
Beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan
daerah, antara lain.
a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah.
Rasio ini menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai
sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat
yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah.
Kemandirian keuangan daerah dihitung dengan membandingkan realisasi
pendapatan asli daerah (PAD) dengan total pendapatan daerah.Rasio ini dapat
diformulasikan sebagai berikut (Halim, 2004).
Rasio Kemandirian = 100%Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan
daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD, maka semakin tinggi kemampuan
pemerintah dalam penyelenggaraan desentralisasi (Mahmudi, 2007). Semakin
tinggi rasio kemandirian menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan daerah
terhadap bantuan pihak eksternal (pemerintah pusat dan provinsi) semakin
rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah.
Semakin tinggi rasio kemandirian berarti semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan
komponen utama dalam pendapatan asli daerah (Halim, 2002). Hasil rasio
kemandirian menunjukkan hubungan situasional, yaitu pola hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah yang dapat digunakan dalam pelaksanaan
otonomi daerah terutama pelaksanaaan Undang-undang Nomor 25 Tahun
86
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
(Halim, 2004). Pola hubungan itu sebagai berikut.
1) Pola instruktif, yaitu bahwa peranan pemerintah pusat lebih dominan
dari pemerintah daerah.
2) Pola konsulatif, yaitu bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah
mulai berkurang karena darah dianggap sedikit lebih mampu
melaksanakan otonomi daerah.
3) Pola partisipatif, yaitu bahwa peranan pemerintah pusat semakin
berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat
kemandiriannya mendekati kemampuan melaksanakan urusan
otonomi daerah.
4) Pola delegatif, yaitu bahwa campur tangan pemerintah pusat sudah
tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan otonomi daerah.
Pola hubungan diatas dapat diukur menurut Tabel 2.3.
Tabel 2.3Kriteria Tingkat Kemampuan Keuangan Daerah
KemampuanKeuangan Daerah
TingkatKemandirian
(%)Pola Hubungan
Rendah SekaliRendahSedangTinggi
0 – 2526 – 5051 – 7576 – 100
InstruktifKonsultatifPartisipatifDelegatif
Sumber : Halim, 2004
b. Rasio Efektivitas.
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
memobilisasi penerimaan PAD sesuai dengan yang ditargetkan (Mahmudi,
2007). Rasio ini mengukur tingkat output dari organisasi sektor publik
87
terhadap target-target pendapatan sektor publik. Pengukuran tingkat
efektivitas memerlukan dara-data realisasi pendapatan dan anggaran atau
target pendapatan. Rasio efektivitas diformulasikan sebagai berikut.
Rasio Efektivitas = 100%Kriteria kinerja nilai rasio efektivitas dapat diukur sebagai berikut.
Tabel 2.4Pedoman Penilaian Efektivitas Keuangan
Persentase Kinerja Keuangan(%) Kriteria
> 10091 – 10081 – 9061 – 800 – 60
Sangat efektifEfektif
Cukup EfektifKurang EfektifTidak Efektif
Sumber : Mahsun, 2006
c. Rasio Keserasian
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja aparatur dan belanja pelayanan publik secara
optimal. Rasio ini bermanfaat untuk pengendalian biaya dan pengendalian
anggaran. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja
aparatur berarti persentase belanja investasi (belanja pelayanan publik) yang
digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat
cenderung semakin kecil. Belum ada patokan yang pasti berapa besarnya
rasio belanja aparatur maupun belanja pelayanan publik terhadap belanja
daerah yang ideal, karena sangat dipengaruhi oleh dinamisasi kegiatan
pembangunan dan besarnya kebutuhan investasi yang diperlukan untuk
mencapai pertumbuhan yang ditargetkan. Oleh karena itu, rasio belanja
88
pembangunan yang relatif kecil perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan daerah. Rasio keserasian diformulasikan sebagai berikut.
Rasio Keserasian= %Dengan mengetahui hasil perbandingan antara total belanja modal dengan
total belanja daerah, maka penilaian kinerja keuangan daerah terkait dengan
keserasian belanja daerah ditentukan sebagai berikut.
Tabel 2.5Keserasian Belanja Daerah
Rasio Keserasian(%) Kriteria Keserasian0 – 2021 – 4041 – 6061 – 8081 – 100
Tidak SerasiKurang SerasiCukup Serasi
SerasiSangat Serasi
Sumber : Mahsun, 2006
d. Rasio upaya PAD.
Penerimaan PAD pada suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kemampuan
aparatur perpajakan memungutnya serta kemampuan masyarakat untuk
membayar (ability to pay) yang umumnya dicerminkan oleh pendapatan per
kapita masyarakat. Oleh karena itu, usaha pemungutan PAD umumnya diukur
berdasarkan rasio antara PAD dengan PDRB per kapita. Upaya pemungutan
PAD menunjukkan kemampuan pemerintah dalam meningkatkan pendapatan
asli daerah berdasarkan potensi daerah. Secara logika pendapatan masyarakat
yang tinggi wajar jika dikenakan pajak atau pungutan tinggi untuk membiayai
pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu upaya pemungutan PAD umumnya
diukur dengan membandingkan realisasi pendapatan asli daerah dengan
PDRB. Dengan demikian upaya pemungutan PAD dihitung dengan rumus:
89
Upaya PAD = 100%2.4.3 Hubungan Kinerja Keuangan Daerah dan Kesejahteraan Masyarakat
Sejak diterapkannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Otonomi Daerah
sudah dilaksanakan di Indonesia. Berbagai dampak, baik positif maupun negatif,
dialami oleh daerah, khususnya kota dan kabupaten yang menjadi sasaran
kebijakan otonomi daerah. Dengan memperhatikan dampak negatif yang timbul
tersebut, kebijakan otonomi daerah terus mengalami perubahan menuju perbaikan.
Dengan harapan utama, otonomi daerah memberikan perbaikan bagi kesejahteraan
warga masyarakat lokal. Tanpa ada perbaikan kesejahteraan warga, otonomi
daerah sebagai suatu trobosan akan kehilangan makna.
Pemerintah daerah merupakan salah satu organisasi sektor publik yang
dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.
Dengan adanya desentralisasi politik, administratif, dan fiskal yang tujuan
masing-masing adalah untuk menciptakan distribusi pembagian kekuasaan yang
adil antara pusat dan daerah, mempercepat pelayanan kepada masyarakat, serta
memperkuat fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan atau disparitas fiskal
antara pemerintah daerah maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
maka peran dan tanggungjawab pemerintah daerah semakin besar dan penting
(Anwar Syah, 2002). Selain itu pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah
merupakan suatu cara untuk menginformasikan beberapa isu penting yang bisa
digunakan oleh pemerintah daerah untuk mengetahui apakah mereka berhasil
90
mengelola keuangannya. Pengukuran kinerja keuangan juga dapat digunakan
sebagai bahan dalam pembuatan kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah
yang pada akhirnya diharapkan dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Pengaruh otonomi daerah pada bidang keuangan daerah, termasuk di
dalamnya kebijakan desentralisasi fiskal, dimana Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan yang semakin kuat dan luas untuk mengelola keuangan
pemerintahannya. Tidak saja kewenangan di sisi belanja namun juga kewenangan
untuk lebih meningkatkan kemampuan memperoleh sumber-sumber pendapatan.
Menurut Robert Simanjuntak (2003) dinyatakan “Local Taxing Power” sebagai
necessary condition sebagai wujud dari otonomi daerah yang lebih luas. Hal ini
mengandung makna bahwa otonomi daerah seharusnya tercermin dari
kewenangan-kewenangan untuk menghimpun pendapatan dan pajak. Tanpa
kewenangan untuk melakukan pungutan pajak, maka pemerintah daerah tidak
memiliki kekuatan riil yang merupakan wujud nyata otonomi itu sendiri.
Pungutan pajak tentu saja bersumber dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang
berkembang optimal di daerah tersebut. Jadi antara sumber pajak dan kegiatan
ekonominya dapat diselaraskan. Artinya sumber-sumber penerimaan pajak akan
berasal dari kegiatan-kegiatan ekonomi produktif yang menjadi potensi daerah
tersebut.
2.4.4 Hubungan Kinerja Keuangan melalui Pembangunan Ekonomi danPerubahan Struktur Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Desentralisasi fiskal adalah suatu instrument yang digunakan oleh
pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perekonomian
91
daerah maupun nasional. Hal ini dilakukan melalui mekanisme hubungan
keuangan dalam hal memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di
daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik,
yang menuju pada kesejahteraan masyarakat. Agar pelaksanaan desentralisasi
fiskal dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan upaya aktif dari pemerintah
daerah untuk dapat terus meningkatkan kemampuan keuangannya sehingga
daerah memiliki kemandirian dan tidak semata-mata tergantung pada transfer
daerah yang berasal dari APBN.
APBD adalah suatu rencana kerja pemerintah daerah yang mencakup
seluruh pendapatan atau penerimaan dan belanja atau pengeluaran pemerintah
daerah, baik provinsi, kabupaten, dan kota dalam rangka mencapai sasaran
pembangunan dalam kurun waktu satu tahun yang dinyatakan dalam satuan uang
dan disetujui oleh DPRD dalam peraturan peundangan yang disebut Peraturan
Daerah. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah, salah satunya
adalah Pendapatan Asli Daerah yang merupakan pendapatan daerah yang
bersumber dari hasil pajak daerah. Pajak merupakan pungutan yang dipaksakan
oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan tertentu. Pajak merupakan modal dasar
pembangunan. Misalnya untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik,
untuk mengatur perekonomian dan juga untuk mengatur konsumsi masyarakat.
Dalam artian bahwa pada saat pemerintah melakukan belanja barang dan jasa
terjadi aliran pendapatan dari pemerintah ke masyarakat. Kenaikan pendapatan
masyarakat ini akan merangsang peningkatan permintaan dan dalam kondisi
penawaran yang relatif terbatas akan terjadi kecenderungan kenaikan harga (untuk
92
selanjutnya mengarah pada inflasi). Dalam situasi seperti ini sebagian pendapatan
masyarakat yang meningkat itu diambil oleh pemerintah melalui pajak untuk
membiayai defisit anggaran berikutnya. Hal inilah yang dikatakan sebagai forced
saving, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pembentukkan modal.
Dalam pelaksanaan pemanfaatan pembentukkan modal digunakan
barang-barang dan jasa-jasa dengan berbagai bentuk termasuk berupa uang.
Penggunaan uang untuk melaksanakan fungsi pemerintah inilah yang disebut
sebagai pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah dapat juga diartikan
sebagai penggunaan uang dan sumber daya suatu negara/daerah untuk membiayai
suatu kegiatan negara atau pemerintah dalam rangka mewujudkan fungsinya
dalam melakukan kesejahteraan. Dasar dari model pengembangan pertumbuhan
sektor publik adalah bahwa perekonomian mengalami perubahan struktur dan
kebutuhan untuk berkembang. Tahap awal pembangunan dipandang sebagai
periode industrialisasi dimana penduduk bergerak dari pedesaan ke daerah
perkotaan. Biasanya pertumbuhan yang cepat dalam tahap pembangunan akan
tercapai dengan hasil yang signifikan apabila terjadi peningkatan pengeluaran dan
sifat dari pengeluaran tersebut akan ditentukan oleh peran infrastruktur yang
dominan. Terdapat dua sifat pengeluaran pemerintah, yang pertama, yaitu bersifat
eksekutif yang adalah pengeluaran pemerintah yang berupa pembelian atau
belanja barang dan jasa dalam perekonomian baik untuk konsumsi maupun untuk
menghasilkan suatu barang lagi, atau produksi. Yang kedua yaitu pengeluaran
pemerintah yang berupa pemindahan ke dalam bentuk lain, seperti untuk jaminan
kesehatan, jaminan nasional, dan lain-lain.
93
Model pembangunan dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menyatakan bahwa pertumbuhan pengeluaran publik mungkin berhubungan
dengan pola pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di masyarakat. Kedua
ekonom tersebut juga mengatakan bahwa model ini menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan
ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Ketiga tahapan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5.Model Pembangunan Rostow dan Musgrave
Sumber : Mangkoesoebroto, 1997
Keterangan:
1) Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah
lebih besar dibandingkan dengan tabungan swasta, karena pada tahap ini
pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan,
transportasi, dan sebagainya. Oleh karena itu pada tahap ini dikenal dengan
istilah social overhead capital. Selain itu pada tahap awal pembangunan ini
dipandang sebagai periode industrialisasi, dimana penduduk bergerak dari
94
pedesaan ke daerah perkotaan, maka dibutuhkan pengeluaran pemerintah
untuk pengembangan infrastruktur perkotaan.
2) Tahap menengah pembangunan ekonomi merupakan fase pertumbuhan yang
cepat dimana ada peningkatan besar dalam tabungan swasta dan investasi
publik secara proporsional. Pada tahap menengah ini investasi pemerintah
tetap diperlukan untuk meningkatkan perekonomian ekonomi agar dapat
tinggal landas. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, karena
peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan
pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa
publik dalam jumlah yang lebih banyak. Pada tahap ini pula perkembangan
ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin
kompleks. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh
perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya
pencemaran atau polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam
suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase PDB semakin
besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil.
Pengembangan infrastruktur kota juga termasuk ke dalam tahap ini,
pengeluaran untuk infrastruktur berkaitan dengan pengeluaran dari sektor
swasta, karena perkembangan sektor swasta seperti konstruksi pabrik,
didukung oleh investasi dari sektor publik, misalnya pembangunan jalan.
Ketika tingkat urbanisasi meningkat, dan kepadatan penduduk juga
meningkat, maka akan menghasilkan eksternalitas seperti polusi dan
95
kejahatan. Dan hal ini akan meningkatkan proporsi pengeluaran publik untuk
eksternalitas.
3) Pada tahap ketiga ini masyarakat memiliki penghasilan tinggi dengan ditandai
dengan meningkatnya permintaan untuk barang-barang pribadi yang
membutuhkan investasi publik. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut ini, Rostow
juga mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi
beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas
sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan
masyarakat, selain itu pemerintah juga meningkatkan bidang keamanan dan
pendidikan.
Adolf Wagner menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan
pemerintah semakin lama semakin meningkat. Tendensi ini oleh Wagner disebut
dengan hukum selalu meningkatnya peranan pemerintah. Wagner menyatakan
bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapitanya meningkat
maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama
disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam
masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan sebagainya. Wagner
mengakui tiga fungsi negara, yaitu menyediakan adminsitrasi dan perlindungan;
memastikan stabilitas; dan menjamin kesejahteraan akonomi dan sosial
masyarakat secara keseluruhan.
Hukum Wagner yang menjelaskan tentang perkembangan pengeluaran
pemerintah ditunjukkan dalam kurva pada Gambar 2.6, dimana kenaikan
pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial dengan kurva berbentuk
cembung dan bergerak naik dari kiri bawah menuju kanan atas, sebagaimana yang
96
ditunjukkan Kurva 1, dan bukan seperti yang ditunjukkan oleh Kurva 2 yang
memiliki bentuk linear. Berdasarkan kurva diatas diketahui bahwa pada tahun
ke-1, persentase pengeluaran pemerintah masih relative kecil terhadap PDB,
sedangkan pada tahun ke-2, persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB
mengalami peningkatan. Hal tersebut terjadi pula pada tahun-tahun berikutnya,
karena itulah kurva pengeluaran pemerintah mempunyai kurva eksponensial yang
ditunjukkan pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner
Sumber : Mangkoesoebroto, 1997
Dengan demikian, kebijakan pemerintah melalui pengelolaan keuangan
negara/daerah dalam kebijakan pengeluaran negara/daerah dapat menimbulkan
dampak atau pengaruh terhadap perekonomian. Ada beberapa sektor
perekonomian yang umumnya terpengaruh oleh besar kecilnya pengeluaran
negara, antara lain.
97
a. Sektor Produksi
Pengeluaran negara/daerah secara langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap sektor produksi barang dan jasa. Dilihat secara agregat pengeluaran
negara merupakan faktor produksi (uang), melengkapi faktor-faktor produksi
yang lain (sumber daya manusia, mesin, sumber daya alam, metode,
kewiraswastaan). Pengeluaran pemerintah untuk pengadaan barang dan jasa
akan berpengaruh secara langsung terhadap produksi barang dan jasa yang
dibutuhkan pemerintah. Pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan
akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap perekonomian, karena
pendidikan akan menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
Dengan sumber daya manusia yang berkualitas maka produksi juga akan
meningkat.
b. Sektor Distribusi
Pengeluaran negara secara langsung atau tidak langsung berpengaruh
terhadap sektor distribusi barang dan jasa. Misalnya, subsidi yang diberikan
oleh masyarakat menyebabkan masyarakat yang kurang mampu dapat
menikmati barang/jasa yang dibutuhkan, misalnya subsidi listrik, pupuk,
bahan bakar, dan lain sebagainya. Pengeluaran pemerintah untuk biaya
pendidikan SD sampai SLTA berpengaruh kepada masyarakat yang kurang
mampu dapat menikmati pendidikan yang lebih baik. Dengan pendidikan
yang lebih baik, diharapkan masyarakat tersebut dapat meningkatkan taraf
hidupnya di masa yang akan datang. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan
dana untuk keperluan tersebut, maka distribusi pendapatan, barang, dan jasa
98
akan berbeda. Hanya masyarakat yang mampu saja yang akan menikmati
tingkat kehidupan yang lebih baik, sementara masyarakat yang kurang
mampu tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan taraf hidupnya.
c. Sektor Konsumsi Masyarakat
Pengeluaran negara secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap
sektor konsumsi masyarakat atas barang dan jasa. Dengan adanya
pengeluaran pemerintah untuk subsidi, tidak hanya menyebabkan masyarakat
yang kurang mampu dapat menikmati suatu barang/jasa, namun juga
menyebabkan masyarakat yang sudah mampu akan mengkonsumsi
produk/jasa lebih banyak lagi. Kebijakan pengurangan subsidi, misalnya
bahan bakar minyak, akan menyebabkan harga bahan bakar minyak naik, dan
kenaikan harga tersebut akan menyebabkan konsumsi masyarakat terhadap
bahan bakar minyak turun.
d. Sektor Keseimbangan Perekonomian
Untuk mencapai target-target peningkatan PDB, pemerintah dapat mengatur
alokasi dan tingkat pengeluaran negara. Misalnya dengan mengatur tingkat
pengeluaran yang tinggi untuk sektor-sektor tertentu, pemerintah dapat
mengatur tingkat employment menuju full employment. Apabila target
penerimaan tidak memadai untuk membiayai pengeluaran tersebut,
pemerintah dapat membiayainya dengan pola defisit anggaran.
2.5 Penelitian Sebelumnya
Nadir Habibi, dkk (2001) melakukan penelitian dengan judul
“Decentralization in Argentina”. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
99
evaluasi empiris dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan manusia.
Selain itu penelitian ini juga menyoroti hubungan antara desentralisasi dan
perkembangan sosial dari satu periode waktu. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat efek positif desentralisasi terhadap pembangunan manusia di
Argentina serta pentingnya akuntabilitas dalam mencapai keberhasilan
desentralisasi fiskal. Hasil lain menemukan bahwa rezim desentralisasi di
Argentina didominasi oleh devolusioner yang berkepentingan untuk melakukan
perbaikan pada pembangunan manusia. Untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
pemerintah perlu strategi yang efisien dalam mempertimbangkan kelayakan fiskal
di Argentina.
Foellmi dan Zweimuller (2002) dalam makalah yang berjudul “Structural
Change and the Kaldor Fact of Economic Growth” menemukan bahwa dalam
jangka panjang terdapat perubahan yang dramatis mengenai struktur produksi dan
tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi model Kaldor. Model difokuskan pada
penjelasan permintaan dari perubahan struktural sesuai dengan adanya realokasi
yang dramatis dari tenaga kerja yang disebabkan oleh perbedaan elastis
pendapatan antar sektor. Inovasi sangat berperan dalam pertumbuhan produksi
yang mengarah kepada adanya interaksi sektoral dan dinamisasi agregat, yang
mana prospek pertumbuhan ekonomi merupakan peran sentral untuk tumbuhnya
industri baru. Demikian halnya riset dan pengembangan memberikan peran sentral
untuk meningkatkan produktivitas.
Hidayat Amir dan Suahasil Nazara (2005) dalam penelitian berjudul
“Analisis Perubahan Struktur Ekonomi (Economic Landscape) dan Kebijakan
100
Strategi Pembangunan Jawa Timur Tahun 2994 dan 2000: Analisis Input Output”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai sektor unggulan dalam
perekonomian dan keterkaitan antar sektor yang terjadi dalam perekonomian dan
mengidentifikasi perubahan struktur ekonomi sebagai sumber pijakan bagi
kebijakan selanjutnya. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya pergeseran dalam
beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Perubahan ini
mengindikasikan adanya perubahan sektoral terhadap perekonomian atau
perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian.
Priyo Hadi Ari (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Dampak
Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi” menganalisis pertumbuhan
ekonomi sebelum dan setelah desentralisasi fiskal dan bagaimana kesiapan daerah
dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah. Terkait dengan hal itu alokasi belanja pembangunan harus
dilakukan secara cermat. Pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan PAD
relatif terjamin, namun demikian yang diuntungkan justru pihak swasta, dalam hal
ini investor. Dengan demikian hendaknya belanja pemerintah diprioritaskan untuk
pembangunan infrastruktur pembangunan ekonomi sehingga pertumbuhan
ekonomi dapat merata.
Made Suyana Utama (2006) dalam desertasinya berjudul “Pengaruh
Perkembangan Pariwisata terhadap Kinerja Perekonomian dan Perubahan Struktur
Ekonomi serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Bali” menemukan bahwa
secara umum perkembangan pariwisata berpengaruh secara langsung terhadap
101
kinerja perekonomian, berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap
perubahan struktur ekonomi, tetapi terhadap kesejahteraan masyarakat hanya
berpengaruh secara tidak langsung. Perkembangan pariwisata memberikan
pengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kinerja
perekonomian dan perubahan struktur ekonomi.
Andros M. P. Hasugian (2006) melakukan penelitian dengan judul
“Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan
Kemiskinan di Kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat”. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis tingkat kemandirian fiskal dan kinerja keuangan sebelum dan
masa desentralisasi fiskal; laju dan profil kemiskinan; dan hubungan faktor-faktor
penerimaan keuangan daerah terhadap kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi
Jawa Barat. Hasil penelitian menemukan bahwa kinerja keuangan diukur dengan
tingkat kemandirian lebih baik ketika sebelum desentralisasi. Sedangkan laju
pengurangan kemiskinan lebih cepat pada masa desentralisasi fiskal. Bahwa jika
terjadi peningkatan kemandirian yang ditujukkan melalui rasio PAD terhadap
penerimaan negatif artinya rasio PAD terhadap penerimaan lebih kecil pada masa
desentralisasi fiskal. Bahwa dana transfer berupa DAU tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kemiskinan, artinya persentase penduduk miskin pada masa
desentralisasi fiskal lebih kecil.
Adiwan F. Aritenang (2008) melakukan suatu penelitian dengan judul “A
study on Indonesia Regions Disparity: Post Decentralization”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa disparitas antar provinsi di Indonesia masih parah dalam
semua perhitungan. Kesenjangan memang meningkat sebelum desentralisasi
102
fiskal tetapi kemudian menurun setelah tahun 2002. Bahwa tingkat modal
manusia, investasi modal tetap, dan proporsi pendapatan mempengaruhi tingkat
kemiskinan. Dan bahwa proporsi pendapatan bergeser setelah desentralisasi dan
tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Penelitian Aritenang pada Tahun 2009
tentang “The Impact of Government Budget Shifts to Regional Disparities in
Indonesia: Before and After Decentralisation” menggambarkan ketimpangan
daerah di Indonesia sebelum dan setelah desentralisasi. Dari hasil penelitian
tersebut ditemukan bahwa pembangunan di Indonesia masih menuju pada
pertumbuhan konvergensi, dimana tiap provinsi yang miskin memilki
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan daerah yang kaya. Namun
kecepatan konvergensi telah tertekan oleh krisis keuangan pada Tahun 1997 dan
belum berubah selama desentralisasi diberlakukan.
Nanik Wahyuni (2008) dalam penelitiannya berjudul “Analisis Rasio
untuk Mengukur Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Malang”
menemukan bahwa secara rata-rata kinerja pengelolaan keuangan Kota Malang
adalah baik. Namun ada beberapa aspek yang perlu diperbaiki oleh pemerintah
Kota Malang, seperti kemandirian keuangan dalam membelanjakan
pendapatannya karena sebagian besar digunakan untuk belanja rutin.
Isti’anah (2008) melakukan penelitian terhadap optimalisasi peranan
DBH dalam pembangunan daerah menemukan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan
mekanisme yang dianggap paling bagus dan efektif sehingga sampai saat ini tidak
menimbulkan problem ataupun sudah dianggap sebagai mekanisme yang paling
103
bagus, namun jika dicermati lebih mendalam dan kajian khusus maka bisa
ditemukan belum tepatnya sistem tersebut.
Jake Kendall pada tahun 2009 melakukan penelitian yang berjudul
“Local Financial Development and Growth” menganalisis tentang hubungan
antara perkembangan sektor perbankan, modal manusia, pertumbuhan ekonomi,
dan kinerja keuangan daerah di tiap kabupaten di India. Hasil penelitian
ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah di India secara finansial
terkendala karena kurangnya pengembangan sektor perbankan, dan bahwa
hubungan antara keuangan lokal dan pertumbuhan ekonomi tidak linear.
Agus Tri Basuki dan Utari Gayatri (2009) dalam tulisannya “Penentu
Sektor Unggulan dalam Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Kabupaten Ogan
Komering Ilir” mengidentifikasikan sektor-sektor dominan di kabupaten Ogan
Komering Ilir. Dimana sektor pertanian merupakan sektor unggulan karena
menunjukkan pertumbuhan dan kontribusi yang sangat besar terhadap
pembentukkan PDRB. Sektor pengolahan merupakan sektor yang dominan tetapi
kontribusinya kecil, sementara sektor bangunan, restoran dan hotel, serta jasa-jasa
merupakan sektor kecil tetapi memiliki kontribusi yang besar, hal ini disebabkan
oleh penurunan lapangan pekerjaan.
I Dewa Gde Bisma dan Hery Susanto (2010) dalam penelitiannya yang
berjudul “Evaluasi Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun Anggaran 2003-2007” mengukur kinerja keuangan daerah di
Provinsi NTB dengan melihat tingkat kemandirian daerah, tingkat
ketergantungan, tingkat desentralisasi fiskal, tingkat efektivitas, dan tingkat
104
efisiensi. Selain itu juga untuk mengukur kemampuan keuangan daerah melalui
share dan growth APBD, indeks kemampuan keuangan dan peta kemampuan
keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kinerja keuangan
daerah tidak optimal dalam pelaksanaan otonomi daerah. Hal tersebut ditunjang
dengan kemampuan keuangan diklasifikasikan sebagai kemampuan keuangan
tinggi. Kemampuan keuangan tinggi ini disebabkan oleh besaran subsidi atau
bantuan keuangan yang diberikan pemerintah pusat melalui dana perimbangan.
Andi Tri Pambudi (2010) melakukan penelitian dengan judul
“Pergeseran Struktur Perekonomian atas dasar Penyerapan Tenaga Kerja di
Provinsi Jawa Tengah” bertujuan untuk menganalisis struktur ekonomi di Provinsi
Jawa Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur
ekonomi di Jawa Tengah dari sektor tradisional ke sektor modern. Hal ini terlihat
dari sektor industri yang menjadi sektor unggulan dan memiliki kontribusi dan
pertumbuhan yang besar dalam penyerapan tenaga kerja daripada sektor
tradisional sehingga terjadi pergeseran dalam penyerapan tenaga kerja di Provinsi
Jawa Tengah.
Yunisvita (2011) menganalisis perubahan struktural yang terjadi dalam
perekonomian Sumatera Selatan khususnya dinamika perubahan struktur ekonomi
(pangsa pasar terhadap PDRB) dan kesempatan kerja baik antar sektor maupun
menurut jenis dan status pekerjaan. Dalam tulisannya yang berjudul
“Transformasi Struktur Ketenagakerjaan dan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera
Selatan” menemukan bahwa terjadi perubahan struktur ekonomi di Sumatera
Selatan. Sementara pola pangsa psar penyerapan tenaga kerja relatif stabil.
105
Dampak dari adanya perubahan struktur yang tidak seimbang menyebabkan
terjadinya penumpukkan tenaga kerja dengan pangsa produksi pada sektor
pertanian. Jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi proses percepatan kemiskinan
pada sektor pertanian.
M. Asrie Hamzah (2012) dalam penelitiannya “Menciptakan Lapangan
Kerja Produktif dalam Pembangunan Ekonomi Daerah” mengkaji peran lapangan
kerja produktif dalam pembangunan di daerah. Lapangan kerja produktif adalah
paling utama dalam menanggulangi kemiskinan dan masalah disparitas sosial-
ekonomi lainnya. Pertumbuhan ekonomi bukan saja menjadi sumber nilai tambah,
tetapi sekaligus dapat menjadi sumber banyak masalah termasuk masalah keadilan
di bidang ekonomi. Untuk mencegahnya maka lapangan kerja produktif harus
menjadi pilihan utama kebijakan pembangunan di daerah, guna mengusahakan
pertumbuhan ekonomi yang bermutu, seperti upaya pemerataan untuk mengurangi
kesenjangan serta meningkatkan produktivitas masyarakat.
Haryo Kuncoro (2012) dalam penelitiannya “Apakah Tata Kelola
Perekonomian Daerah di Indonesia telah Meningkat?” menemukan bahwa selama
pengamatan tahun 2007 dan 2011 menunjukkan tidak ada perubahan yang
signifikan pada kinerja tata kelola perekonomian daerah di sejumlah
kabupaten/kota di Indonesia. Tidak berubahnya kinerja tata kelola perekonomian
daerah dikarenakan masalah lahan, program pengembangan usaha, pajak dan
pungutan serta biaya transaksi lainnya, keamanan, serta peraturan pemerintah.