bab ii tinjauan pustaka ( pengertian tindak pidana, korupsi)
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS
Belanda atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tetapi tidak ada penjelasan
resmi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana tersebut. Karena itu para
ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.
Menurut Moeljatno tindak pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Pengertian straafbaarfeit menurut Simons dalam rumusannya adalah
Tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.
Rumusan pengertian tindak pidana (straafbaarfeit) yang dinyatakan oleh
Simons juga diatur dalam asas hukum pidana Indonesia, yaitu asas legalitas
(principle of legality) atau dalam bahasa latin biasanya dikenal dengan “Nullum
Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali”, maksudnya bahwa “Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan”, ketentuan yang senada dengan asas
tersebut juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu : “Tiada suatu perbuatan
dapat dipidana, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perundang- Pasal
tersebut”19
Tindak pidana akan melahirkan pertanggungjawaban pidana yang hanya
dapat terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana, dimana
pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan asas yang berbeda yaitu dengan
asas yang tidak tertulis “Tiada pidana tanpa kesalahan”20
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam Hukum Pidana.
Tindak Pidana adalah pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan
jahat atau kejahatan (crime atau verbrechen atau misdaad) yang biasa diartikan
seeara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.
Barda Nawawi Arief menyatakan” tindak pidana secara umum dapat
diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun
secara materiil”.
Menurut Wirjono Projodikoro, "Bahwa pengertian tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana, sedangkan menurut
Moeljatno, perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat
dikenakan pidana, bagi yang melanggar perbuatan tersebut. Jadi perbuatan yang
dapat dikenakan pidana dibagi menjadi 2 (dua)21, yakni sebagai berikut:
19 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media, Jakarta 2006, hlm 20.
20 Ibid21 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang : Yayasan Sudarto, Hal. 38
16
1. Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
2. Orang yang melanggar larangan itu.
Di dalam perundang-undangan tindak pidana sering disebut dengan
berbagai istilah seperti: perbuatan pidana (UU Drt 1951 No. 1), peristiwa pidana
(Konstitusi RIS maupun UUDS 1950) dan dalam ilmu pengetahuan hukum sering
disebut dengan "delik". Istilah lain menunjuk kepada pelanggaran pidana,
perbuatan yang boleh dihukum, perkara hukuman pidana dan lain sebagainya.
B. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin; Corrupti atau Corruptus yang
secara harfiah berarti kebusukan, kebejatan, tidak jujur, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah
sebagaimana dapat dibaca dalam The Lexion Webster Dictionary.22
Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris:
Corruptio, Corrupt; Perancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie (Korruptie).
Dapat dikatakan bahwa dari bahasa Belanda inilah turun ke bahasa Indonesia:
Korupsi.23
Ditinjau dari sudut bahasa kata korupsi bisa berarti kemerosotan dari yang
semua baik, sehat dan benar menjadi penyelewengan, busuk. Kemudian arti kata
korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu,
disimpulkan oleh Poerwodarminto dalam kamus bahasa Indonesia bahwa kata
22 Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1984), hlm. 7
23 Ibid
17
korupsi untuk perbuatan yang busuk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang
sogok, dan sebagainya.24
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Di situ tidak diipakai kata
korupsi melainkan dipakai istilah resuah yang tentunya berasal dari bahasa Arab
(riswah), yang menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi.
Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan
hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya
untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain,
berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.i25
Selama ini istilah korupsi mengacu pada berbagai aktivitas/tindakan
secara tersembunyi dan ilegal untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan
pribadi atau golongan. Dalam perkembangannya terdapat penekanan bahwa
korups adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau
kedudukan publik untuk kepentingan pribadi. Huntington menyebutkan bahwa
korupsi adalah perilaku menyimpang dari publik official atau para pegawai dari
norma-norma yang diterima dan dianut oleh masyarakat dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.26
Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi perilaku yang tidak mematuhi
prinsip, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik, keputusan
ini dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan
24 W.J.S. Poerwodiminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka, 1976)25 Chaerudin Dkk, Strategi Pencegahan dan penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi.
(Bandung: 2008) hal 2.26 ibid
18
korupsi, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme. Dalam hal ini, Alatas
mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang merah yang
menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum di
bawah kepentingan tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-
norma, tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasian,
pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat
yang didirita oleh masyarkat. Menurutnya,”corruption is the abuse of trust in the
inferest of private gain”, penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi.27
S. H. Alatas mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis dengan
“Apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh
seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian
istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi”28
Sementara H. A. Brasz mendefinisikan korupsi dalam pengertian
sosiologis sebagai: “Penggunaan yang korup dari kekuasaan yang dialihkan, atau
sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan
wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal,
dengan merugikan tujuan-tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan
orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan sah”.29 Tampaknya H.
A. Brasz dalam mendefinisikan korupsi sangat dipengaruhi oleh definisi
kekuasaannya Van Doorn.30 Dari berbagai definisi korupsi yang dikemukakan,
menurut Brasz terdapat dua unsur di dalamnya, yaitu penyalahgunaan kekuasaan 27 Ibid hal 328 S. H. Alatas, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer,
(Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 1129 Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Cet. ke-3 (Jakarta: LP3ES,
1995), hlm. 430 Ibid., hlm. 3
19
yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara;
dan pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh
para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan.31
Sementara definisi yang luas disebutkan dalam kamus lengkap Webster’s
Third New International Dictionary yaitu “Ajakan (dari seorang pejabat politik)
dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk
melakukan pelanggaran petugas”.32
Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum Indonesia
dalam peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan
Pemberantasan Korupsi. Kemudian dimasukan juga dalam Undang-undang
Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi. Undang-undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh
Undang-undang No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2
tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian dirubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.
Memperhatikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001, maka Tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat dari
2(dua) segi, yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif. Adapun yang dimaksud
dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut :33
31 Ibid., hlm. 4-7.32 William Allan Neilson (editor in chief), Webster’s Third New International Dictionary,
Vol I., hlm. 599.33 Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung 2002, hal 1-6
20
- Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
(Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
- Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi menyelahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang apa
adanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun
1999).
- Memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negari dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau
oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999).
- Percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak
Pidana Korupsi (Pasal 15 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999).
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5
ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Memberi sesuatu kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara karena
atau berhubung dengan suatu yang bertentangan dengan kewajibannya
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2001).
21
- Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
(Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Pemborong, ahli bangunan yang ada pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang ada pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau kesalamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1)
huruf a Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
barang , sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud
dalam huruf a (Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001).
- Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonenesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam
keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001).
- Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c
(Pasal 7 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawi Negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
22
waktu, dengan sengaja mengelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawi Negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001).
- Pegawai Negeri atau orang lain selain Pegawi Negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang ,
yang dikuasai karena jabatannya, atau membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakan, atau membuat tidka dapat
dipakai barang, akta surat atau daftar tersebut , atau membantu orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakan atau membuat tidak dapat
dipakai barang , akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001).
- Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang :
23
a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau menerima pembayaran
dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal
12 Huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001).
b. Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang
lain atau Kas Umum tersebut mempunyai hutang kepadanya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (Pasal 12 Huruf f
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001)
c. Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang seolah-olah merupakan hutang pada dirinya, padahal
diketahui bahwa hak tersebut bukan merupakan hutang (Pasal 12 Huruf
g Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001huruf.)
d. Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; atau
e. Baik langasung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan
perbuatan untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
24
atau mengawasinya (Pasal 12 Huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001).
- Memberi hadiah kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 13
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999.)
Sedangkan korupsi pasif adalah sebagai berikut :
- Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau
janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001).
- Hakim atau Advokat yang menerima pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
atau untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6
ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Orang yang menerima penyerahan bahan atau keperluan Tentara Nasioanl
Indonesia atau Kepolisian Negera Republik Indonesia yang membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001).
- Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
25
diberikan untuk menggerakan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya, atau sebagai
akibat atau disebebkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatanya yang bertentangan dengan jabatannya (Pasal 12 huruf a dan
huruf b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001).
- Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001).
- Setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima gratifikasi
yang diberikan berhubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan
kewajibannya atau tugasnya (Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001).
Demikianlah pengertian tentang korupsi yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
26
Rumusan yuridis formal istilah korupsi di Indonesia ditetapkan dalam Bab
II pada Pasal 2-16 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi:34
a. (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
(2) Dalam hal tindak korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuntungan negara atau perekonomian negara.
c. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425,
dan 435 KUHP.
d. Setiap orang yang melanggar undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut
sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini.
e. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan
34 Lihat Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , (Bandung: Citra Umbara, 2003), hlm. 68-73.
27
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai dengan Pasal 14.
f. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana pelaku
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai dengan Pasal 14.
Kemudian dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ada penambahan beberapa item yang
digolongkan tindak pidana korupsi, yaitu mulai Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
Pada Pasal 5 misalnya memuat ketentuan tentang penyuapan terhadap pegawai
negeri atau penyelenggara negara, Pasal 6 tentang penyuapan terhadap hakim dan
advokat. Pasal 7 memuat tentang kecurangan dalam pengadaan barang atau
pembangunan, dan seterusnya.
C. Perkembangan Tindak Pidana Korupsi dalam Pendekatan Hukum Islam
Hukum Islam pada hakekatnya diproyeksikan untuk kemaslahatan
manusia. Salah satu kemaslahatan yang hendak direalisasikan adalah
terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang menyimpang dari prosedur
hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah . Oleh
karena itu, adanya larangan mencuri (sariqoh), merampas (ikhtithaf), mencopet
28
dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang
tidak sah.
Para Ulama telah sepakat mengatakan bahwa perbuatan korupsi dengan
beragam bentuknya didalamnya, dalam literature fiqh misalnya, adanya unsur
sariqoh (pencurian) , ikhtilas (penggelapan), al-Ibtizaz (pemerasan), al-Istighlal
atau ghulul (korupsi), dan sebagainya adalah haram (dilarang) karena
bertentangan dengan Maqashid Syari’ah (tujuan hukum Islam) . Putusan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam Munas VI juga mengeluarkan fatwa tentang
risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah kepada pejabat, yang intinya satu,
memberikan risywah dan menerimanya, hukumnya adalah haram. Kedua,
melakukan korupsi hukumnya haram. Fatwa yang dikeluarkan 27 Rabiul Akhir
1421 H/28 Juli 2000 M.
Korupsi menurut hemat penulis dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain
sebagai berikut :
1. Ghulul
Adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab
itu, penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk
perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau
apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima merupakan
perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan
negara (masyarakat) . Dalam hal ini Rasulullah SAW (Nabi Muhammad)
bersabda :
Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia
29
ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi”. (H. R. Abu Daud)
Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan
kolutif misalnya mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak
kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu,
padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan
tersebut.
2. Sariqah
Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah
dengan “Orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari
tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut”. Jadi syarat sariqah
harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi,
dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada barang
ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut
beliau bukan termasuk kategori sariqah. Lalu bagaimana dengan pencurian
uang negara, apakah hal tersebut diperbolehkan. Tentu jawabannya tidak
boleh karena uang negara tersebut adalah untuk kesejahteraan umum.
3. Risywah (suap)
Menurut Ibrahim an-Nakha’i suap adalah “Suatu yang diberikan
kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk
menghancurkan kebenaran”. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
mendefinisikan suap dengan “Memberikan harta kepada seseorang sebagai
30
kompensasi pelaksanaan maslahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus
dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uag tip”.
Sedangkan menurut terminologi fiqh, suap adalah “segala sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia
memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia mengikuti
kemauannya”. Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-
unsur suap meliputi, pertama yang disuap (al-Murtasyi), kedua, penyuap (al-
Rosyi), dan ketiga, suap (al-Risywah).
Suap dengan segala bentuknya haram hukumnya. Dia antara bentuk suap
adalah hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah. Bahkan
termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang pejabat yang meski tidak sedang
terkait perkara atau urusan, telah membiasakan saling memberi hadiah jauh
sebelum menjadi pejabat, namun setelah menduduki jabatan terjadi peningkatan
volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya. Seorang pejabat juga haram menerima
hadiah dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya, niscaya orang tersebut
tidak akan memberikannya.
Seorang pejabat boleh menerima hadiah dengan beberapa syarat:
a. Pemberi hadiah bukan orang yangs edang terkait perkara dan urusan.
b. Sudah terjadi semacam tradisi saling tukar menukar hadiah antara
pejabat tersebut dengan pemberi hadiah sebelum ia menduduki
jabatannya, baik karena pertemanan atau saudara.
c. Pemberian tersebut tidak melebihi kadar volume kebiasaan sebelum
menjabat35
35 Bulak: Dar al-Thoba’ah al-Amirah, t.th.), hlm. 224.
31
Adapun ketiga tindak pidana korupsi dalam pendekatan hukum islam
mengenai korupsi menurut hukum Islam bila dikomparasikan dengan definisi atau
kategori korupsi berdasarkan peraturan perundangan yang ada di Indonesia, dalam
hal ini Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi―sudah mencakup semua bentuk korupsi yang ada di Indonesia.
Misalnya :
- Pasal 5 UU Nomor 20 Tahun 2001 point (a) dan (b) sudah tercakup dalam
konsep ghulul.
- Pasal 6 point (a) dan (b) sama dengan konsep risywah.
- Pasal 7 point (a) dan (b) termasuk ghulul, point (c) dan (d) termasuk
sariqah.
- Kemudian dari Pasal 8 sampai Pasal 10 sama dengan ghulul,
- Pasal 11 dan 12 point (a), (b), (c) dan (d) termasuk risywah, point (e) dan
(f) sama dengan ghulul, dan point (g) termasuk sariqah.
Oleh karena itu, dari berbagai bentuk korupsi yang ada di Indonesia kalau
kemudian dikaitkan dengan pendekatan hukum Islam mengenai korupsi yang
maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam.
Pertama, apabila korupsi uang negara dilakukan oleh pejabat yang diberi
amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul. Contohnya bisa kita
lihat dalam kasus korupsi dana haji, BLBI, kasus-kasus korupsi anggota
DPR/DPRD, dan Kasus Pajak Gayus Tambunan.
32
Kedua, apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak
diberi amanat mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka
dikategorikan pencurian dan ghulul. Bentuk seperti ini bisa kita lihat misalnya
pada kasus illegal logging yang telah merugikan uang negara trilliunan rupiah.
Ketiga, apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk mengeluarkan dana,
hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap kepada pejabat untuk memperlancar
atau untuk memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya
dari pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka
kedua hal tersebut termasuk kategori risywah. Contohnya kasus Artalita yang
menyuap Jaksa.
33