bab ii tinjauan pustaka -...

31
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cedera 2.1.1 Definisi Cedera Menurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal yang dapat menimbulkan kerusakan fisik maupun mental. Cedera merupakan penyebab utama kematian pada masa anak dan mewakili salah satu penyebab yang paling penting dalam tingkat morbiditas dan mortalitas yang dapat dicegah. Menurut World Health Organisation (WHO) (2008), kemungkinan cedera yang dialami oleh anak merupakan suatu hal yang paling membahayakan. Cedera dapat terjadi akibat beberapa kejadian seperti tenggelam, kecelakaan lalu lintas, jatuh dan terbakar, kecelakaan karena keracunan, dan cedera ini dapat menjadi konsekuensi dari suatu kejadian bencana alam seperti gempa bumi atau badai. Fakto risiko yang dapat menjadi masalah utama pada anak adalah lingkungan rumah yang buruk, ruangan bermain yang kurang memadai, pajanan sampah dan bahan-bahan kimia. Pengurangan risiko pada kejadian cedera ini dapat menjadi suatu perencanaan dan pendidikan yang efektif, seperti perencanaan pembuatan lingkungan tempat anak-anak dapat tinggal dan bermain dengan aman. Pendidikan untuk membantu anak-anak dan orang dewasa merupakan tempat bergantung anak-anak dalam menghadapi bahaya dengan baik (Aprinigsih & Hardiyanti, 2009).

Upload: others

Post on 22-Oct-2019

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera

2.1.1 Definisi Cedera

Menurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen

eksternal yang dapat menimbulkan kerusakan fisik maupun mental. Cedera

merupakan penyebab utama kematian pada masa anak dan mewakili salah satu

penyebab yang paling penting dalam tingkat morbiditas dan mortalitas yang dapat

dicegah. Menurut World Health Organisation (WHO) (2008), kemungkinan cedera yang

dialami oleh anak merupakan suatu hal yang paling membahayakan. Cedera dapat

terjadi akibat beberapa kejadian seperti tenggelam, kecelakaan lalu lintas, jatuh dan

terbakar, kecelakaan karena keracunan, dan cedera ini dapat menjadi konsekuensi dari

suatu kejadian bencana alam seperti gempa bumi atau badai.

Fakto risiko yang dapat menjadi masalah utama pada anak adalah lingkungan

rumah yang buruk, ruangan bermain yang kurang memadai, pajanan sampah dan

bahan-bahan kimia. Pengurangan risiko pada kejadian cedera ini dapat menjadi suatu

perencanaan dan pendidikan yang efektif, seperti perencanaan pembuatan lingkungan

tempat anak-anak dapat tinggal dan bermain dengan aman. Pendidikan untuk

membantu anak-anak dan orang dewasa merupakan tempat bergantung anak-anak

dalam menghadapi bahaya dengan baik (Aprinigsih & Hardiyanti, 2009).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

12

2.1.2 Klasifikasi Cedera

Menurut Jusuf dan Amri (2008) cedera dibagi menjadi tiga kelompok yaitu

kelompok dengan cedera ringan yang tanpa pelayanan medis tidak akan mengancam

jiwanya, kelompok dengan cedera sedang atau berat yang jika diberi pertolongan akan

dapat menyelamatkan jiwanya, dan kelompok dengan cedera sangat berat atau parah

yang walaupun diberi pertolongan tidak akan dapat menyelamatkannya.

Klasifikasi cedera menurut Giam & The (1992, dalam Graha & Priyonloadi,

2009), berdasarkan tingkat keperahannya, cedera terbagi atas Cedera ringan, cedera

sedang, dan cedera berat. Cedera ringan atau tingkat pertama di tandai dengan

robekan yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, dengan keluhan minimal dan

hanya sedikit saja atau tidak menganggu penampilan individu yang berangkutan,

misalnya lecet dan memar, cedera sedang atau tingkat dua ditandai dengan kerusakan

jaringan nyeri, bengkak, merah atau panas, dengan gangguan fungsi yang

berpengaruh pada penampilan individu, misalnya otot robek, atau strain otot, ligamen

robek atau sprain, dan cedera berat atau tingkat ketiga ditandai dengan robekan

lengkap atau hampir lengkap dari otot, ligamen atau fraktur dari tulang yang

memerlukan istirahat total dari pengobatan intensif.

Menurut Giam & The (1992, dalam Graha & Priyonloadi, 2009), klasifikasi

berdasarkan sumbernya, cedera terbagi atas cedera ekstrinsik adalah cedera yang

disebabkan oleh benturan dengan orang lain atau benda, dan cedera intrinsik terjadi

seluruhnya dari dalam tubuh sendiri, misalnya suatu robekan spontan dari otot atau

ligamen karena stres berlebih

2.1.3 Cedera yang Terjadi Pada Anak

Kejadian cedera pada anak sering terjadi di dalam rumah (88,5%), sedangkan

kejadian cedera lainnya sering terjadi di luar rumah seperti tempat bermain, sekolah,

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

13

atau lokasi lainnya (Bánfai et al, 2015). Menurut Kuschithawati, Megasari, & Nawi

(2007), jenis cedera yang sering dialami oleh anak adalah tergores (31,2%), diikuti

dengan memar (21,1%), dan terkilir (15,2%), sedangkan cedera yang jarang terjadi

pada anak adalah patah tulang (1,1%). Terdapat perbedaan terjadinya cedera ringan

dan berat terhadap laki-laki dan perempuan. Cedera luka bakar, memar, tergores, luka

robek, terkilir, patah tulang, dan kecelakaan lalu lintas lebih sering terjadi pada anak

laki-laki, sedangkan cedera karena tergigit dan kemasukan benda asing banyak terjadi

pada anak perempuan. Jenis cedera yang lebih dominan pada laki-laki adalah luka

robek (61,9%), patah tulang (61%), dan terkilir (58,87%).

2.1.3.1 Luka Bakar

Menurut Pierce dan Neil (2006), luka bakar merupakan respon kulit dan

jaringan subkutan terhadap trauma suhu atau termal. Penyebab tersering terjadinya

luka bakar yaitu trauma suhu panas yang kering (api dan logam panas) atau lembab

(cairan atau gas panas), listrik, bahan panas, dan radiasi.

Menurut Purwoko (2007), sekitar 50-90% cedera bakar pada anak-anak umur

4 tahun dapat dicegah. Kebanyakan luka bakar yang terjadi pada anak balita dan pra-

sekolah disebabkan oleh cairan dan minyak panas. Luka bakar yang disebabkan oleh

api lebih sering terjadi pada anak berusia 5-14 tahun.

2.1.3.2 Patah Tulang (Fraktur)

Patah tulang adalah terputusnya keseluruhan atau terjadinya retakan pada

tulang. Patah tulang ditandai dengan rasa nyeri sedang dan terus menerus, kehilangan

atau berkurangnya fungsi gerak, perubahan bentuk atau deformitas, pemendekan, dan

terjadinya pembengkakan. Banyak kesalahan yang dilakukan pada tindakan

pertolongan patah tulang dan justru mengakibatkan kondisi korban menjadi lebih

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

14

parah, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang fraktur atau patah tulang

(Swasanti & Putra, 2013).

Menurut Purwoko dan Satyanegara (2007), fraktur atau patah tulang bisa

bersifat patahan sebagian atau patahan utuh pada tulang yang disebabkan oleh

pukulan atau pelintiran. Anak-anak sangat mudah mengalami pelepasan sendi,

terutama pada bagian sikut. Hal ini berkaitan dengan prilaku anak yang impulsif,

dimana mereka akan mengalami patah tulang dan cedera jaringan lunak. Fraktur bisa

menjadi hal yang mengkhawatirkan jika terjadi kerusakan pada masa pertumbuhan

anak, karena hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak teratur atau

memendeknya pertumbuhan tulang.

Yang harus diperhatikan pada anak ketika terjadinya patah tulang yaitu adanya

nyeri tusuk ketika ditekan pada daerah cedera, pembengkakan, adanya kelainan

bentuk pada daerah cedera seperti adanya pembengkokan, dan hilangnya kemampuan

untuk bergerak (Purwoko, 2007). Tindakan pertolongan pada patah tulang harus

dilakukan dengan sangat berhati-hati. Gerakan pada tulang yang patah dapat

menyebabkan kerusakan jaringan ataupun pembulu darah yang ada disekitar patahan

tulang (Swasanti & Putra, 2013).

Menurut Tambayong (2000), klasifikasi patah tulang yaitu fraktur (patah

tulang) sederhana (Simple) tidak merusak kulit di atasnya. Fraktur kompleks merusak

kulit diatasnya. Fraktur ada yang komplet, artinya keutuhan tulangnya terputus, atau

tidak komplet. Bila trauma itu sampai menghancurkan tulang menjadi tiga atau lebih

fragmen atau keping, disebut fraktur kominut. Pada fraktur impak, ada fragmen yang

terpendam dalam substansi yang lain. Ada lagi fraktur kompresi, dimana tulang itu

hancur, umumnya mengenai tulang vertebra. Lain lagi fraktur depresi, umumnya pada

tulang tengkorak, yang masuk ke dalam.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

15

2.1.3.3 Memar

Menurut Purwoko (2007), memar terjadi ketika pembuluh darah kecil dan

sel-sel lain pecah dibawah kulit dan berdarah kedalam otot serta jaringan lunak lain.

Pada awalnya, area memar akan terlihat kemerahan dan mengalami pembengkakan.

Secara bertahap warnanya akan berubah menjadi warna kebiruan atau ungu. Ketika

darah sudah terserap dalam beberapa hari, area ini akan berubah menjadi kuning dan

memudar. Anak yang mempunyai motorik yang aktif, terutama terlibat dalam

permainan yang keras, anak sering mengalami memar (kontusio).

Tindakan pertolongan pada luka memar adalah kompres menggunakan air es

untuk mengurangi lebam dan menghentikan perdarahan yang terjadi, untuk

menghilangkan nyeri dapat diberikan obat-obatan antinyeri, jika memarsemakin

parah, terjadi di bagian kepala rawan (atas telinga atau kepala belakang) dan terjadi

pembengkakan parah, segera bawa anak ke rumah sakit (Swasanti & Putra, 2013).

2.1.3.4 Gigitan Hewan

Risiko utama dari gigitan hewan adalah infeksi, termasuk infeksi rabies.

Rabies merupakan virus yang terdapat di dalam ludah hewan yang terinfeksi dan

ditularkan pada manusia melalui gigitan. Penyakit ini dapat mempengaruhi otak dan

sistem saraf, untuk memastikan anak terinfeksi dengan virus ini yaitu dengan

melakukan pemeriksaan di pelayanan kesehatan, dan jika perlu berikan vaksin rabies

yang diberikan dalam satu seri dari lima suntikan (Puwoko, 2007). Gigi hewan yang

tajam dapat membawa kuman jauh ke dalam kulit anak. Luka gigitan yang parah,

hingga terkoyak, memerlukan jahitan (Armstrong, 2009).

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

16

2.1.3.5 Terkilir

Terkilir atau keseleo pergelangan kaki adalah cedera jaringan lunak yang

disebabkan oleh kerusakan pada satu atau lebih ligamen dari sendi pergelangan kaki.

Lama pemulihan cedera terkilir dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk usia,

indeks masa tubuh, dan karakteristik termasuk jenis terkilir, dan tingkat keparahan

(Bielska et al, 2012).

2.1.3.6 Keracunan

Manurut World Health Organization (WHO) (2008), rumah dan sekitarnya bisa

menjadi tempat berbahaya bagi anak-anak, khusunya adanya kemungkinan keracunan

yang disengaja. Secara alami, anak-anak mempunyai rasa ingin tahu, menjelajah di

sekitar rumah. setiap tahun terdapat jutaan panggilan untuk pusat kendali racun atau

dapat disebut juga sebagai pusat informasi racun, ribuan anak-anak dirawat di unit

gawat darurat karena mereka telah secara tidak sengaja mengkonsumsi beberapa jenis

produk rumah tangga, obat-obatan atau pestisida. Sebagian besar keracunan yang

tidak disengaja dapat dicegah. Keracunan mengacu pada cedera yang dihasilkan dari

terkena zat exsogenous yang menyebabkan cedera selluler atau kematian. Memahami

penyebab keracunan dapat membantu untuk mengurangi risiko keracunan yang tidak

disengaja maupun yang disengaja.

2.1.4 Faktor Penyebab Cedera

2.1.4.1 Jenis Kelamin

Menurut Espeland (2005 dalam Ayu, 2014) mengatakan bahwa jenis kelamin

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya cedera pada anak–anak,

anak laki-laki lebih sering mengalami cedera karena adanya perbedaan perilaku,

sehingga paparan terhadap risiko menjadi lebih besar. Selain itu, anak perempan

memiliki kemapuan motorik lebih halus daripada laki - laki. Cedera seperti luka bakar,

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

17

tergores, memar, luka robek, patah tulang, dan kecelakaan lalu lintas lebih sering

terjadi pada anak laki, sedangkan cedera karena tergigit dan kemasukan benda asing

banyak terjadi pada anak perempuan (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007). Hasil

studi yang dilakukan di Provinsi Shandong, China tingkat kejadian cedera lebih tinggi

pada anak laki-laki (81,1 per 1000) dibandingkan perempuan (54,1 per 1000),

sehingga kejadian cedera lebih tinggi anak laki-laki daripada perempuan (Ma, 2008).

2.1.4.2 Pola Asuh Orang Tua pada Anak

Menurut Wong (2008), memberikan tiga macam pola asuh yang harus

dilakukan orang tua dalam keluarga, yaitu:

1. Pola Asuh Demokratis

.Pola asuh demokratik, orang tua mengkombinasikan praktik mengasuh anak

dari dua model yang ekstrem. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan

menekankan alasan peraturan dan secara negatif menguatkan penyimpangan. Mereka

menghormati individualis dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk

menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol orang

tua kuat dan konsisten tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan kenyamanan.

Kontrol di fokuskan pada masalah, tidak pada penarikan rasa cinta atau takut pada

hukuman. Orang tua membantu “pengarahan diri sendiri” suatu kesadaran mengatur

perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk melakuakan hal yang salah,

bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum. Standar realistis orang tua dan

harapan yang masuk akal menghasilkan anak dengan harga diri tinggi dan sangat

interaktif dengan anak lain (Wong, 2008).

Tipe mengasuh anak yang paling berhasil tampaknya adalah metode demokratis.

Orang tua tidak membuat batasan yang kaku dan memaksa, tetapi tetap

mempertahankan kontrol yang kuat, terutama pada area ketidaksepakatan orang tua

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

18

dengan anak. Orang tua saling membagi kekuasaan dan kedua orang tua menjadi

pemimpin tetapi mendengarkan apa yang dipikirkan oleh anak (Wong, 2008).

2. Pola Asuh Otoriter

Otoriter atau diktator, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap

anak melalui perintah yang tidak boleh di bantah. Mereka menetapkan aturan atau

standar perilaku yang dituntut untuk diikuti dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka

menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut, sikap mematuhi kata-kata

mereka, menghormati prinsip dan kepercayaan keluarga tanpa kegagalan. Mereka

menghukum secara paksa setiap perilaku yang berlawanan dengan standar orang tua.

Otoritas orang tua dilakukan dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak

yang sedikit dalam mengambil keputusan. Pesannya adalah: “ Lakukan saja karena

saya mengatakan begitu” (Wong, 2008).

Hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin berupa

penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali

mengakibatkan perilaku pada anak, yang cenderung untuk menjadi sensitif, pemalu,

menyadari diri sendiri, cepat lelah, dan tunduk. Mereka cenderung lebih sopan, setia,

jujur, dan dapat di andalkan tetapi mudah dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih

terlihat ketika penggunaan kekuasaan orang tua disertai dengan pengawasan ketat dan

tingkat kasih sayang yang masuk akal. Jika tidak, penggunaan kekuasaan diktator lebih

cenderung untuk dihubungkan dengan perilaku menentang (Wong, 2008).

3. Pola Asuh Permisif

Keterampilan membesarkan anak dengan pola permisif didasarkan pada

anggapan bahwa seorang anak dilahirkan seperti sebuah kuntum bunga, yang hanya

memerlukan kasih sayang yang lembut dan dukungan untuk mekar menjadi setangkai

bunga yang indah. Anak-anak yang hidup dalam filosofi ini cenderung untuk

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

19

mendapatkan apa yang mereka inginkan dan segala pekerjaan dikerjakan untuk

mereka. Banyak dari mereka menjadi orang yang berpusat kepada dirinya sendiri dan

puas terhadap diri sendiri sehingga kurang bertanggung jawab secara sosial dimana

mereka lebih mempedulikan diri sendiri daripada kepedulian mereka terhadap orang

lain (Putra, 2012).

Orang tua dengan pola permisif percaya bahwa ekspresi-ekspresi yang tak

terstruktur dan bebas akan memberikan anak kebebasan untuk dapat menarik

kesimpulan sendiri dan mengungkapkan nilai-nilai mereka sendiri. Baumrind

menemukan bahwa bimbingan yang tidak cukup membuat anak-anak tidak tahu apa

yang harus dilakukan. Anak-anak mendapat kesulitan dalam memahami aturan untuk

diri mereka sendiri dan harus belajar cara yang sulit melalui cara mencoba-coba

(trial and error). Meskipun orang tua permisif mungkin sangat menerima dan mencintai

mereka, mereka tidak berhasil memberikan kepemimpinan yang cukup. Anak-anak

membangun sebuah pemahaman yang salah tentang diri mereka sendiri dirumah,

namun akhirnya menemukan bahwa didalam kehidupan nyata, teman sebaya dan

guru tidaklah sebaik orang tua mereka. Orang tua yang menggunakan pola permisif

memiliki perhatian terhadap hubungan dengan anak, terdapat banyak penguatan,

perlakuan-perlakuan hangat yang tidak jelas, pujian-pujian, orang tua lebih memberi

pengawasan yang lebih longgar, memberikan kesempatan pada anaknya untuk

melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak

menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat

sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Orang tua seringkali mengidolakan

anak mereka sendiri dan percaya bahwa anak mereka akan menemukan cara mereka

sendiri jika dibiarkan sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak harus membuat

aturan mereka sendiri. Akan tetapi, cara mencoba-coba adalah sebuah jalan yang sulit

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

20

untuk dipelajari karena anak-anak tidak lepas dari kesalahan dalam proses

mendefinisikan batasan-batasan (Putra, 2012).

Anak yang dalam pengasuhan orang tua yang permisif merindukan bimbingan

orang tua. Dalam kenyataannya, jika mereka tidak mempunyai garis pedoman atau

batasan-batasan, mereka dapat merasa bahwa orang tua mereka tidak benar- benar

peduli terhadap mereka atau masa depan mereka, dukungan semata adalah tidak

cukup. Dibawah filosofi permisif, orang tua seringkali gagal untuk memberikan

pemberdayaan yang diperlukan (Putra, 2012).

Pola asuh permisif akan menghasilkan anak yang impulsif, agresif, tidak patuh,

manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang

secara sosial (Putra, 2012).

4. Pola Asuh Laissez Faire

Kata laissez faire berasal dari Bahasa Perancis yang berarti membiarkan

(leave alone). Dalam istilah pendidikan, laissez faire adalah suatu sistim di mana

si pendidik menganut kebijaksanaan non intereference (tidak turut campur). Pola

asuhan ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk

berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.

Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak. Semua

keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan orang tua. Anak tidak tahu

apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan

ataupun menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berprilaku sesuai dengan

keinginanya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau

tidak. Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai makhluk hidup yang berpribadi

bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya.

Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

21

diinginkannya. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini

cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Metode

pengelolaan anak ini cenderung membuahkan anak-anak nakal yang manja, lemah,

tergantung dan bersifat kekanak-kanakan secara emosional.

Seorang anak yang belum pernah diajar untuk mentoleransi frustasi,

karena ia diperlakukan terlalu baik oleh orang tuanya, akan menemukan banyak

masalah ketika dewasa. Dalam perkawinan dan pekerjaan, anak-anak yang manja

tersebut mengharapkan orang lain untuk membuat penyesuaian terhadap tingkah

laku mereka. Ketika mereka kecewa mereka menjadi gusar, penuh kebencian, dan

bahkan marah-marah. Pandangan orang lain jarang sekali dipertimbangkan.

Hanya pandangan mereka yang berguna. Kesukaran-kesukaran yang terpendam

antara pandangan suami istri atau kawan bekerja terlihat nyata.

Adapun ciri-ciri pola asuh laissez faire adalah membiarkan anak bertindak sendiri

tanpa memonitor dan membimbingnya. Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif

dan masa bodoh. Mengutamakan kebutuhan material saja, membiarkan saja apa yang

dilakukan anak (terlalu memberikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri tanpa ada

peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan orang tua), keakraban dan

hubungan yang hangat dalam keluarga sangat kurang.

Setiap tipe pengasuhan pasti memiliki resiko masing-masing. Pola asuh laissez

faire membuat anak merasa boleh berbuat sekehendak hatinya. Anak memang

memiliki rasa percaya yang lebih besar, kemampuan sosial baik, dan tingkat depresi

lebih rendah. Tapi juga akan lebih mungkin terlibat dalam kenakalan remaja dan

memiliki prestasi yang rendah di sekolah. Anak tidak mengetahui norma-norma sosial

yang harus dipatuhinya.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

22

2.1.4.3 Lingkungan Rumah

Menurut Sofyani (2009, dalam Ayu, 2014) banyak orang mengira bahwa

rumah merupakan tempat yang paling aman untuk melindungi anak-anak dari bahaya

dan kejahatan dari luar. Akan tetapi, banyak yang tidak sadar bahwa sebenarnya

cedera ringan maupun berat justru banyak terjadi di dalam rumah. Lingkungan rumah

dilihat dari tiga kriteria yaitu keamanan di dalam rumah dan lingkungan luar rumah.

a) Keamanan di dalam rumah

Keamanan di dalam rumah dinilai dari ada tidaknya pegangan pada tangga di

dalam rumah, perkakas atau barang tersimpan ditempatnya dan dapat dijangkau oleh

anak atau tidak (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007). Selain itu menurut Susanti

(2015), rumah yang aman adalah rumah yang memiliki lantai dan karpet yang

terpasang dengan baik, permukaan bath-tup atau shower yang tidak licin.

Sebagian kecelakaan terjadi di dalam rumah dan lebih dari setengahnya

melibatkan anak dibawah usia 5 tahun. Banyak kecelakaan yang bisa dicegah bila

mengubah tata letak benda-benda dan perabotan di dalam rumah, memastikan bahwa

jendela-jendela tertutup dan tidak dapat dimasuki anak, tidak pernah mengacaukan

wadah dengan memasukkan bahan yang berbahaya misalnya memasukkan bahan

pemutih ke dalam botol yang biasanya berisi minuman yang tidak berbahaya, tidak

pernah mengatakan kepada anak bahwa obat-obatan dan tablet adalah permen

khusus, memeriksa potensi bahaya ketika mengunjungi rumah teman atau kerabat,

dan meminta izin memindahkan benda-benda yang tajam atau mudah pecah,

mengajarkan dasar-dasar peraturan kepada anak (Purwoko, 2015).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

23

Menurut Purwoko (2005), Keamanan tempat di dalam rumah yaitu:

1. Lorong dan Tangga

Anak tangga bukan tempat bermain yang aman bagi anak, keseimbangan seorang

anak belum cukup matang untuk membuat anak mampu menuruni anak tangga

dengan aman, yang perlu diperhatikan adalah pastikan mainan tidak tertinggal disana

sehingga membuat orang dapat tersandung, memaasang lampu di lorong rumah atau

tempat dimana anak anda akan turun jika terbangun di malam hari, jangan

membiarkan anak bermain di tangga karena jarak antar teralis pada pagar sisinya bisa

cikup lebar bagi anak untuk menyelipkan tubuhnya, memasang pagar pengaman

pada kaki dan puncak tangga dengan jarak antar teralis vertikal pada pagar pengaman

ini paling sedikit 10 cm, periksa keamanan pagar sisi tangga secara teratur, pastikan

bahwa pegangan tangannya kuat dan tidak longgar, periksa karpet pada anak tangga

misalnya karpet yang longgar, lepas, atau lainnya yang dapat membahayakan.

2. Pintu depan

Sebaiknya jangan membiarkan pintu depan terbuka, jangan biarkan anak

membuka pintu jika ada yang mengetuk, letakkan gagang pintu pada tempat yang

tidak terjangkau oleh anak-anak jika anak dapat menjangkau gagang pintu maka

pasang selot tambahan di tempat yang lebih tinggi dan selalu pasang selot tersebut.

3. Lantai

Lantai ubin yang dipoles atau divernis dapat membahayakan anak. Sebaiknya

pada lantai letakkan jala-jala antilicin di bawah karpet yang mudah lepas, lantai

lorong harus bebas dari mainan dan tumpukan barang-barang, periksa karpet secara

teratur untuk melihat adanya lubang yang dapat menyebabkan kaki anak tersangkut.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

24

4. Dapur

Dapur merupakan salah satu tempat untuk menghabiskan waktu dengan anak.

Kesibukan yang tiada hentinya dan kegiatan memasak dapat menyebabkan dapur

menjadi tempat yang berbahaya misalnya tempat sampah, jangan biarkan anak-anak

mengaduk isi tempat sampah, letakkan kaleng yang berisi benda tajam, tutup kaleng,

dan pecahan kaca kedalam tempat sampah utama di luar rumah, simpan tempat

sampah di tempat yang tidak bisa dijangkau oleh anak.

5. Ruang duduk

Usahakan mengatur ruangan sedemikian rupa sehingga anak-anak terhindar dari

bahaya. Jangan meletakkan mainan di tempat yang tinggi karena anak akan berusaha

untuk mengambilnya. Biasanya di ruang duduk terdapat televisi, video, dan peralatan

audio sebaiknya kabel-kabel dirapikan di belakang papan pelindung sudut bawah

dinding, meletakkan kabel yang panjang di belakang perabotan sehingga anak tidak

dapat tersandung atau menariknya, menutup semua stop kontak yang tidak sedang

digunakan.

6. Kamar anak

Di dalam kamar juga perlu memperhatikan tinggi tempat tidur, gunakan bantal

atau guling sebagai pinggiran anak agar tidak terjatuh, sebaiknya ketika menggunakan

tempat tidur susun di beri batas pinggir tempat tidur, jangan membiarkan anak

bermain di atas tempat tidur susun. Pada bagian jendela kamar pastikan anak tidak

dapat memanjat keluar kamar karena berisiko untuk jatuh.

7. Kamar mandi

Di dalaam kamar mandi anak-anak berisiko jatuh, tenggelam, dan keracunan. Oleh

karena itu selalu tutup pintu kamar mandi agar anak tidak ingin memasukinya,

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

25

dibagian dalam pintu pasang selot di tempat yang tinggi untuk mencegah anak

mengunci dirinya sendiri.

b) Keamanan di sekitar rumah

Setelah di dalam rumah kebanyakan kecelakaan anak-anak terjadi di jalan atau

sekitar rumah. Keamanan di luar rumah, seperti pencahayaan yang adekuat, baik

dalam maupun diluar, meminimalkan kemungkinan terjadinya kecelakaan selain itu

cedera pada anak–anak bisa terjadi dimana saja antara lain dirumah, disekolah, di

tempat lainnya atau lebih dari satu tempat dan kejadian cedera dapat terjadi pada

waktu kapan saja (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007).

Cedera pada anak-anak terutama cedera yang tidak disengaja terjadi di

berbagai tempat, termasuk di rumah (43,8%), di sekolah (16,3%), di luar ruangan

(12,3%) ketika berjalan ke sekolah (9,7%), dan di tempat-tempat rekreasi publik

(6,3%), sehingga lokasi atau tempat yang paling sering dan berisiko cedera merupakan

tempat bagi anak-anak untuk menghabiskan sebagian besar waktu mereka. Fokus

pada kegiatan umum seperti bermain (34,5%), berjalan (22,1%), melakukan pekerjaan

rumah (14,7%), mengendarai sepeda (11,1%), dan melakukan olahraga dan kegiatan

lainnya (17,6%) (Shi et al, 2014). Menurut Purwoko (2005) Anak berusia 3 tahun

dapat belajar bahwa trotoar itu aman dan jalan itu berbahaya. Anak berusia 5 tahun

dapat belajar cara menyeberang jalan tetapi anak belum dapat mempraktekkan sendiri

tanpa di dampingi oleh orang dewasa.

2.1.4.4 Pengawasan Orang Tua

Menurut Nursalam (2008, dalam Ayu, 2014) mengatakan bahwa tindakan

pencegahan berupa pengawasan dapat dilakuan oleh orang tua, karena anak tidak

memperhatikan bahaya. perlindungan anak dan edukasi orang tua adalah kunci

penentu pencegahan cedera. Pengawasan dari orang tua dinilai dari anak di izinkan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

26

atau tidak bermain di dapur, di parit, korek api, danada atau tidaknya pengawasan

pada waktu bermain (Kuschithawati, Magetsari, & Nawi. 2007). Karakteristik orang

tua yaitu sikap orang tua berpengaruh terhadap risiko cedera pada anak, dimana sikap

orang tua akan menentukan bagaimana orang tua akan bertindak untuk melindungi

anaknya dari cedera dengan melakukan tindakan berupa pengawasan yang merupakan

faktor paling berpengaruh terhadap kejadian cedera pada anak (Indarwati, 2011).

Tingkat intensitas pengawasan diperlukan untuk menciptakan keamanan. Pengawasan

yang efektif misalnya memegang tangan anak, berada di dekat anak, dan melihat anak

dari jendela ketika bermain diluar (Barton & Schwebel, 2007).

Satu studi yang dilakukan di pedesaan China Tengah, ditemukan bahwa anak-

anak memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk terjadi cedera karena kurangnya

pengawasan (Shi et al, 2014). Menurut whaley & Wong’s (1991), faktor risiko lain

yang menyebabkan cedera pada anak yaitu ketidakpedulian orang tua pada anak, usia

ibu muda, pengetahuan orang tua, dan stress keluarga.

2.1.5 Pencegahan Cedera Selama Masa Kanak-kanak Awal

Tabel 2.1 Pencegahan Cedera Selama Masa Kanak-kanak Awal

Kemampuan perkembangan yang berhubungan dengan risiko cedera

Pencegahan cedera

1. Berjalan, berlari, dan memanjat

2. Mampu membuka pintu dan gerbang

3. Dapat menaiki sepeda roda tiga

4. Dapat melempar bola dan benda lain

Kendaraan bermotor 1. Gunakan sabuk pengaman 2. Awasi anak saat bermain di luar 3. Jangan membiarkan anak bermain di pinggir

jalan atau di belakang mobil yang sedang parkir 4. Jangan membiarkan anak bermain di tumpukan

daun atau kontainer besar di daerah lalu lintas 5. Awasi anak saat mengendarai sepeda roda tiga 6. Kunci pagar dan pintu jika tidak dapat

mengawasi anak secara langsung 7. Ajarkan anak untuk mematuhi peraturan

keamanan pejalan kaki

1. Mampu mengeksplorasi jika di tinggal tanpa pegawasan

2. Memiliki rasa keingintahuan yang besar

3. Tidak berdaya di dalam air,

Tenggelam 1. Awasi anak dengan ketat ketika berada di dekat

sumber air, termasuk ember 2. Jaga pintu kamar mandi dan toilet agar tetap

tertutup

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

27

tidak waspada terhadap bahayanya

3. Pasang pagar di sekeliling kolam renang dan kunci gerbangnya

4. Ajari berenang dan keamanan dalam air

1. Mampu mencapai ketinggian dengan memanjat, merentangkan badan, dan berdiri dengan ujung jari kaki

2. Menarik benda-benda 3. Mengeksplorasi setiap

lubang 4. Dapat membuka laci dan

lemari 5. Tidak mengetahui sumber-

sumber yang berpotensi menimbulkan panas atau api

6. Bermain dengan benda-bend mekanis

Luka bakar 1. Putar pegangan teko ke bagian belakang kompor 2. Letakkan peralatan listrik, sperti mesin pembuat

kopi dan popcorn ke bagian belakang lemari 3. Simpan korek api dan pematik api rokok di

daerah yang terkunci atau yang tidak dapat di jangkau

4. Letakkan lilin dan obat nyamuk bakar yang menyala, makanan panas, dan rokok di luar jangkauan

5. Jangan biarkan taplak meja tergantung sehingga dapat dijangkau anak

6. Jangan biarkan kawat listrik dari setrikaan atau peralatan lain tergantung sehingga dapat dijangkau anak

7. Tutup soket listrik dengan penutup plastik 8. Letakkan kabel listrik secara tersembunyi atau

diluar jangkauan 9. Jangan mengizinkan anak bermain dengan

peralatan listrik, kabel, atau korek api 10. Ajari tentang apa artinya panas pada anak

1. Mengeksplorasi dengan meletakkan benda ke dalam mulut

2. Dapat membuka laci, lemari, dan banyak wadah

3. Memanjat 4. Tidak dapat membaca label 5. Tidak meengetahui dosis

atau jumlah yang aman

Keracunan 1. Letakkan semua bahan yang berpotensi beracun

di luar jangkauan atau di lama lemari yang terkunci

2. Waspada terhadap memakan bahan makanan yang tidak bisa dikunyah seperti tanaman

3. Letakkan kembali obat atau bahan beracun dengan segera, pasang kembali penutup obat bertakaran secara tepat

4. Berikan obat sebagai obat, bukan sebagai permen

5. Jangan menyimpan sejumlah besar bahan beracun secara berlebihan

6. Segera buang wadah racun yang sudah kosong, jangan pernah menggunakannya kembali untuk menyimpan bahan makanan atau racun

7. Ajari anak untuk tidak bermain dalam wadah sampah

8. Jangan melepas label dari wadah bahan beracun 9. Cari tahu nomor dan lokasi pusat pengendali

racun terdekat

1. Mampu membuka pintu dan beberapa jendela

2. Naik dan turun tangga 3. Kedalaman persepsi belum

sempurna

Jatuh 1. Pasang jaring-jaring pada jendela, paku dengan

aman, dan pasang terali pelindung 2. Pasang gerbang di atas dn bawah tangga 3. Jaga pintu agar tetap terkunci dan gunakan

penutup /pelapis tombol pintu yang tidak dapat dibuka oleh anak pada pintu masuk ke tangga, serambi tinggi atau daerah tinggi lainnya termasuk tempat jemuran

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

28

4. Ganti karpet yang sudah robek atau yang sudah tidak aman

5. Pertahankan trali tempat tidur agar tetap dalam keadaan tinggi dan kasur berada di tingkat rendah

6. Pasang karpet di bawah tempat tidur dan di kamar mandi

7. Jauhkan mainan atau bantalan besar dari tempat tidur atau dari tempat bermain anak

8. Hindari penggunaan walker, terutama di dekat tangga

9. Kenakan pakaian yang aman 10. Jangan pernah meninggalkan anak di dalam

kereta belanja 11. Awasi tempat bermain, pilih area bermain

dengan lantai dilapisi bahan yang lembut dan aman

1. Memsukkan benda ke mulut 2. Dapat menelan potongan

makanan yang keras atau tidak dapat dikunyah

Tersedak 1. Hindari potongan daging yang besar dan bulat 2. Hindari buah yang ada bijinya, ikan berduri,

buncis kering, permen keras, permen karet, kacang, popcorn, anggur.

3. Pilih mainan yang besar dan kuat tanpa tepi tajam atau tanpa bagian kecil yang bisa dilepas

4. Pilih kotak mainan yang aman atau lemari yang tidak memiliki tutup berengsel berat

5. Letakkan tali tirai diluar jangkauan anak 6. Lapaskan tali penarik dari pakaian

1. Masih kaku dalam berbagai keterampilan

2. Mudah terdistraksi dari berbagai tugas

3. Tidak mewaspadai potensi bahaya yang di timbulkan oleh orang asing atau orang lain

Kerusakan tubuh 1. Hindari benda tajam atau runcing seperti pisau,

gunting, atau tusuk gigi-terutama jika berjalan atau berlari

2. Jangan membiarkan permen lolipop atau benda serupa berada di dalam mulut ketika anak berjalan atau berlari

3. Simpan semua peralatan berbahaya, perlatan berkebun, dan senjata api dalam kabinet terkunci

4. Waspada terhadap bahaya dari binatang yang di awasi dan binatang peliharaan

5. Ajari nama anak, alamat, dan noemr telepon serta meminta bantuan dari orang yang benar (kasir, penjaga keamanan, polisi) jika tersesat; pasang identifikasi pada anak (dijahit di pakaian, bagian dalam sepatu)

6. Ajari tindakan keamanan terhadap orang asing misalnya seperti jangan pergi bersama orang asing, ceritakan orang tua jika ada yang membuat anak merasa tidak nyaman dengan cara apapun, selalu mendengarkan kekhawatiran anak mengenai perilaku orang lain, ajari anak megatakan “tidak” ketika dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

29

2.2 Konsep Anak

2.2.1 Definisi Anak

Menurut Hidayat (2008), anak merupakan individu yang berada dalam satu

rentang perubahan perkembangan anak yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa

anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari masa

neonatus (0-28 hari), masa bayi (29 hari-1 tahun), masa anak (1-2 tahun), masa pra

sekolah (3-6 tahun), masa sekolah (6-12 tahun), masa remja (12-18 tahun) (Hidayat,

2013).

2.2.2 Karakteristik Anak Usia Pra sekolah

Ritualisme dan negativisme yang melekat pada masa toodler secara bertahap

menghilang selama masa prasekolah sudah memperlihatkan rasa autonomi mereka

secara berbeda. Mereka mampu mengemukakan keinginan mereka akan kemandirian

dan melakukannya secara mandiri karena perkembangan fisik dan kognitifnya yang

semakin halus. Pada usia 4 sampai 5 tahun mereka hanya memerlukan sedikit

bantuan, jika perlu, untuk berpakaian, makan, atau ke toilet. Mereka juga dapat

dipercaya untuk mematuhi peringatan bahaya, meskipun anak usia 3 atau 4 tahun

kadang-kadang masih melebihi batas.

Mereka juga jauh lebih mampu bersosialisasi dan memiliki keinginan untuk

memuaskan, mereka telah menginternalisasi banyak standar dan nilai keluarga dan

budaya. Namun, pada akhir masa kanak-kanak awal mereka mulai mempertanyakan

nilai parental dan membandingkan nilai-nilai tersebut dengan nilai-nilai kelompok

sebayanya dan figur otoritas lain. Akibatnya, mereka kurang berkeinginan untuk

mematuhi peraturan keluarga. Anak usia pra sekolah menjadi semakin menyadari

posisi dan peran mereka dalam keluarga. Meskipun merupakan usia yang lebih aman

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

30

untuk mendapatkan tambahan sibling, melepaskan posisi anak pertama atau anak

termuda masih tetap sulit dan memerlukan persiapan yang sesuai (Wong, 2008).

2.2.3 Ciri–Ciri Perkembangan Anak Usia Tiga-Enam Tahun

1. Perkembangan Fisik

Pada akhir usia tiga tahun, seoranga anak memiliki tinggi tiga kaki dan 6 inci

lebih tinggi saat ia berusia 5 tahun. Berat badannya kira-kira 15 kg dan diharapkan

menjadi 20 kg saat berusia 5 tahun. Tentu ada perbedaan berat dan tinggi badan pada

setiap anak dikarenakan faktor keturunan, efek dari pemberian nutrisi, dan faktor lain

yang dimiliki anak dalam riwayat hidupnya. Anak laki-laki akan lebih tinggi dan lebih

berat daripada anak perempuan, namun hal ini juga bisa saja berbeda tergantung pada

perawatan dan kecenderungan pertumbuhan anak. Dalam usia ini otot-otot anak

menjadi lebih kuat dan tulang-tulang tumbuh menjadi besar dan keras. Otak pun

telah berkembang sekitar 75% dari berat otak usia dewasa. Gigi masih merupakan

gigi susu dan akan berganti pada perkembangan berikutnya dengan gigi tetap (Akbar

& Hawadi, 2001).

2. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik bukan hanya mencangkup berjalan, berlari,

melompat, naik sepeda roda tiga, mendorong, menarik, memutar, dan berbagai

aktivitas koordinasi mata tangan, namun juga melibatkan hal-hal seperti menggambar,

mengecat, mencoret dan kegiatan lain. Keterampilan motorik berkembang pesat pada

usia ini. Kemampuan keseimbangan membuat anak mencoba berbagai kegiatan

dengan keyakinan yang besar akan keterampilan yang dimilikinya. Anak mampu

memanipulasi objek kecil seperti potongan-potongan puzzle. Mereka juga bisa

menggunakan balok-balok dalam berbagai ukuran dan bentuk (Akbar & Hawadi,

2001).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

31

Anak suka sekali masuk dan keluar kotak besar, di bawah meja, bersembunyi

dari sesuatu. Pada saat anak berusia 5 tahun, belajar permainan lebih melibatkan

keterampilan motorik. Anak sangat menyukai gerakan-gerakan yang membangkitkan

semangat. Untuk itu, mereka tidak butuh duduk berlama-lama. Sehingga yang cocok

pada usia ini permainan yang merangsang kegemaran mereka akan gerakan-gerakan,

bukan permainan kompetisi (Akbar & Hawadi, 2001).

3. Perkembangan Intelektual

Usia 3 sampai 6 tahun merupakan usia yang sangat temperamental bagi anak.

Rasa takut muncul dari apa saja yang mengancam ataupun dari hal-hal yang tidak

biasa. Dengan meningkatnya kesadaran diri seorang anak, anak mudah untuk takut.

Rasa takut muncul pada kebanyakan anak usia empat tahun atau lima tahun dari

cerita-cerita tentang hantu, tempat-tempat berbahaya dan seram, penculikan,

kecelakaan dan kematian. Televisi juga memberi andil pada meningkatnya rasa takut

pada usia ini. Marah seringkali terjadi pada usia kanak-kanak pertama. Setiap hal yang

mengurangi rasa senang anak, konflik dan frustasi merupakan sumber rasa marah

anak (Akbar & Hawadi, 2001).

Emosi iri dan cemburu juga sering muncul pada usia tiga sampai empat

tahun. Hal ini timbul karena anak tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman

sebayanya. Bisa terjadi juga karena setiap anak menginginkan mendapat perhatian

dan afeksi. Rasa ingin tahu merupakan kondisi emosional yang baik dari anak. Ada

dorongan pada anak untuk mengeksplorasi dan belajar hal-hal yang baru. Yang perlu

ditekankan bahwa rasa ingin tahu tersebut terkendali, jangan sampai pada objek-

objek yang biasa dikenalnya serta tentang kejadian-kejadian mekanika yang ada

disekitarnya. Usia tiga tahun anak mulai banyak bertanya dan mencapai puncaknya

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

32

pada usia sekitar 6 tahun. Untuk itu usia 3-6 tahun disebut pula sebagai Questioning

Age (Akbar & Hawadi, 2001).

4. Perkembangan Sosial

Pada usia 3-6 tahun, anak belajar menjalin kontak sosial dengan orang-orang

yang ada diluar rumah, terutama dengan anak sebayanya. Untuk itulah pada rentang

usia ini disebut dengan Pregang Age. Guru mendorong anak untuk melakukan kontak

sosial dengan anak lain dengan cara bermain dan bicara bersama (Akbar & Hawadi,

2001).

Pada awalnya anak bergaul dengan siapa saja yang dipilihnya untuk bisa

bermain bersama. Namun, lama-kelamaan, anak mempunyai minat yang lebih untuk

bermain dengan temannya yang sama jenis kelaminnya. Pada anak usia pra-sekolah,

teman bermainnya seringkali orang-orang dewasa di dalam keluarga maupun saudara

sekandungnya sendiri, baru kemudian ia bergaul dengan anak lain. Biasanya orang

dewasa yang menemani bermain tidak betul-betul bermain sehingga bisa dikatakan

anak bermain sendiri (Akbar & Hawadi, 2001).

Kebutuhan yang kuat untuk berteman jika terpenuhi, akan diganti oleh anak

sesuai dengan umurnya. Pada anak pra-sekolah, teman penggantinya adalah imaginary

playmates. Teman khayal anak sebgaimana layaknya teman di dunia nyata memiliki

nama, ciri-ciri fisik dan kemampuan yang normal yang dimiliki anak sebaya. Biasanya,

anak cenderung senang dengan teman khayal ini, karena adanya perbedaan dalam

status soaial kehidupan. Usia yang biasa untuk berteman khayal adalah tiga sampai

empat tahun dan diatas usia itu, anak biasanya menggantikan dengan binatang

peliharaan. Binatang peliharaan seperti kelinci, burung, kucing, ikan, dan kura-kura

(Akbar & Hawadi, 2001).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

33

2.2.4 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Pertumbuhan (growth) meupakan peningkatan jumlah dan besar sel di seluruh

bagian sel di seluruh bagian tubuh selama sel-sel tersebut membelah diri dan

meyintesis protein-protein baru, menghasilkan penambahan jumlah dan berat secara

keseluruhan atau sebagian. Perkembangan (development) adalah perubahan secara

berangsur-angsur dan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh, meningkat dan

meluasnya kapasitas seseorang melalui pertumbuhan, kematangan, atau kedewasaan,

dan pembelajaran (Hidayat, 2013).

Menurut Hidayat (2009), pertumbuhan dan perkembangan adalah hal yang

berbeda tetapi saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Namun pertumbuhan

dan perkembangan setiap anak berbeda dimana dapat mengalami masa percepatan

dan masa perlambatan. Peristiwa pertumbuhan anak terjadi pada besarnya, jumlah,

ukuran didalam tingkat sel, organ maupun individu, sedangkan peristiwa

perkembangan anak terjadi pada perubahan bentuk dan fungsi kematangan organ

seperti sosial, emosional, dan intelektual.

Menurut Piaget (1896-1980, dalam Santrock, 2011), memberikan gagasan

bahwa perkembangan manusia melalui empat tahapan untuk mengerti tentang dunia.

Setiap tahap dikaitkan dengan usia dan terdiri atas cara yang jelas dan berbeda untuk

berpikir dalam memahami dunia.

2.2.5 Perkembangan Kognitif Anak

Perkembangan kognitif anak menurut Hidayat (2009), menjadi empat tahap

yaitu :

1. Tahap sensori motor (umur 0-2 tahun), pada tahap ini anak dapat menerima

informasidengan cara melihat, mendengar, menyentuh, dan aktivitas motorik.

Pada masa ini semua benda yang dilihat, dirasakan, disentuh maupun didengar

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

34

oleh anak akan diarahkan ke mulut karena rasa keingintahuannya, ini menandakan

sifat egois dari pikiran anak.

2. Tahap praoperasional (umur 2-7 tahun), pada tahap ini anak belum mampu dalam

mengoperasionalkan apa yang dipikirkan melalui tindakan. Dalam penelitian

piaget anak selalu menunjukkan sifat egois seperti anak selalu ingin memilih

sesuatu atau mendapatkan ukuran yang lebih besar meskipun isi didalamnya

sedikit. Pada masa ini pikiran anak bersifat transduktif, dimana menganggap

semua sama, seperti seorang pria didalam keluarga adalah ayah maka semua pria

adalah ayah, pikiran yang kedua bersifar animisme, bahwa selalu memperhatikan

benda mati, seperti ketika anak terbentur benda mati maka anak akan memukulnya

kearah benda mati tersebut.

3. Tahap kongkret (7-11 tahun), pada tahap ini anak sudah berfikir secara nyata

dengan kehidupannya, namun sikap berfikirnya belum sampai pada pikirannya

dalam membuat konsep atau hipotesa dan pada masa ini anak dapat menyamakan

argumen dengan orang lain. Sifat egois pada anak sudah mulai hilang sebab anak

sudah mengerti tentang ketidakmampuan dalam mendapatkan rasa keinginannya.

Sifat pikiran pada anak usia ini adalah reversibilitas dimana cara memandang dari

arah berlawanan (kebalikan).

4. Formal atau operasional (11 tahun keatas) pada tahap ini pola pikir anak sudah

mengalami perkembangan dengan membentuk kepribadian dan mampu

menyelesaikan aktivitas dalam pikirannya, mampu menduga, dan mampu

membuat hipotesa ataupun konsep.

Pada masa pertumbuhan anak usia prasekolah, perubahan pertumbuhan akan

dapat dilihat dari meningkatnya berat badan rata-rata 2 kg dan tinggi badan rata-rata

6,75-7,50 setiap tahunnya, terlihat kurus akan tetapi aktifitas motoriknya tinggi,

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

35

sistem tubuh yang sudah mencapai kematangan seperti berjalan, melompat, dan lain-

lain (Hidayat, 2007).

Perkembangan kognitif pada masa ini sudah mulai menunjukkan

perkembangan seperti perubahan dalam pola makannya dimana pada dasarnya

kesulitan untuk makan, proses eleminasi pada anak sudah mulai menunjukkan adanya

kemandirian, anak sudah mempersiapkan diri untuk memasuki sekolah dan terlihat

anak tidak mampu menilai sesuatu berdasarkan apa yang dilihat, anak membutuhkan

pengalaman belajar dengan lingkungan dan orang tuanya. Perkembangan psikososial

pada anak sudah menunjukkan adanya inisiatif, konsep diri yang positif, serta mampu

mengidentifikasi identitasnya sendiri (Hidayat, 2007).

Menurut Santrock (2011), Anak-anak mengembangkan rasa penguasaan diri

akan sesuatu melalui peningkatan kemampuan keterampilan motorik kasar dan

motorik halus. Motorik kasar pada anak prasekolah tidak lagi hanya berdiri dan

bergerak, melainkan akan menggerakkan anggota tubuh lebih percaya diri dan

membawa mereka lebih aktif lagi dimana dengan rasa ingin tahunya untuk ingin

mengetahui lingkungannya. Pada masa ini, anak akan melakukan gerakan sederhana

seperti berjalan, berlari, dan melopat.

Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa usia anak 3-5 tahun adalah usia

dimana anak memiliki tingkat aktivitas yang tinggi, sehingga mereka tidak ingin diam

ketika makan maupun tidur karena aktivitas yang tinggi dan perkembangan otot-otot

besar, seperti pada lengan dan kaki (Santrock, 2011).

Perkembangan motorik halus pada anak mulai memiliki kemampuan untuk

menggoyangkan jari kaki, menggambarkan dua atau tiga bagian, memilih garis yang

lebih panjang, menggambar orang, melepas objek dari jari lurus, mampu menjepit

benda, melambaikan tangan, menggunakan tangannya untuk bermain, menempatkan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

36

objek kedalam wadah, makan sendiri, minum dari cangkir dengan bantuan,

menggunakan sendok dengan bantuan, makan dengan jari, membuat coretan diatas

kertas, dan lain-lain (Hidayat, 2009).

2.3 Panduan Antisipasi–Asuhan Keluarga

Masa pra sekolah memberikan lebih sedikit kesulitan dalam pengasuhan anak

di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dan stadium perkembangan ini di

fasilitasi oleh panduan antisipasi yang teapat di area yang telah di diskusikan. Terjadi

pergeseran dalam praktik pengasuhan anak dari perlindungan ke edukasi. Sementara

pencegahan cedera yang sebelumnya dipusatkan pada pengamanan lingkungan

terdekat, seperti pagar pelindung dan penutup lubang beraliran listrik diganti dengan

penjelasan verbal tentang mengapa ada bahaya dan bagaimana menghindarinya

dengan penilaian dan pemahaman yang tepat.

Selama periode ini juga terjadi transisi emosi antara orang tua dan anak .

meskipun anak masih terikat pada orang tua mereka dan menerima semua nilai dan

kepercayaan orang tua, mereka mendekati periode kehidupan ketika mereka akan

mempertanyakan pengajaran sebelumnya dan lebih suka ditemani teman sebaya.

Memasuki sekolah menandai perpisahan dari rumah bagi orang tua maupun bagi

anak. Orang tua perlu bantuan dalam menyesuaikan perubahan ini, terutama bila ibu

tel;ah memusatkan pada aktivitas kewajiban rumah tangga. Ketika anak prasekolah

mulai masuk sekolah dasar, ibu mungkin perlu mencari aktivitas di luar keluarga,

seperti keterlibatan dengan masyarakat atau meniti karier. Dengan cara ini semua

anggota keluarga menyesuaikan diri terhadap perubahan, yang merupakan bagian dari

proses pertumbuhan dan perkembangan.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

37

2.3.1 Asuhan Keluarga di Rumah

Panduan selama masa prasekolah

1. Usia 3 tahun

1. Mempersiapkan orang tua terhadap peningkatan ketertarikan anak dalam

memperluas hubungan

2. Mendorong pendaftaran ke program sekolah

3. Menekankan pentingnya membuat peraturan

4. Mempersipkan orang tua terhadap perilaku pengurangan ketegangan secara

berlebihan yang akan terjadi, seperti perlunya “selimut keamanan”

5. Mendorong orang tua untuk memberikan pilihan jika anak tidak yakin

6. Mempersiapkan orang tua terhadap adanya perubahan besar pada usia 3

setengah tahun seperti yang telahdiperkirakan, ketika anak menjadi kurang

memiliki koordinasi (motorik dan emosional), menjadi tidak aman, dan

memperlihatkanemosional yang ekstrim

7. Mempersiapkan orang tua terhadap ketidaklancaran bicara yang normal dan

menasihati mereka untuk menghindari pemfokusan pola

8. Mempersiapkan orang tua untuk memperkirakan permintaan ekstra

perhatian mereka sebagai cerminan ketidakamanan emosi anak dan

ketakutan akan kehilangan cinta

9. Memperingatkan orang tua bahwa keseimbangan perilaku pada usia 3 tahun

akan berubah ke perilaku agresif, diluar batas pada usia 4 tahun

10. Menginformasikan orang tua untuk mengantisipasi selera makan yang stabil

dengan lebih banyak pemilihan makanan

11. Menekan perlunya perlindungan dan edukasi anak utuk mencegah cedera.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

38

2. Usia 4 tahun

1. Mempersiapkan orang tua untuk perilaku yang lebih agresif, termasuk

aktivitas motorik dan bahasa ofensif

2. Mempersiapkan orang tua untuk perkiraan penolakan terhadap otoritas

orang tua

3. Mengeksplorasi perasaan orang tua mengenai perilaku anak

4. Menganjurkan semacam istirahat bagi pemberi asuhan primer, seperti

menempatkan anak di prasekolah setengah hari

5. Mempersiapkan orang tua terhadap peningkatan keingintahuan seksual

6. Menekankan pentingnya penentuan batas yang realistis pada perilaku dan

teknik disiplin yang sesuai

7. Mempersiapkan orang tua terhadap anak usia 4 tahun yang sangat imajinatif

yang suka “mengarang cerita“ (harus dibedakan dengan kebohongan) dan

terhadap teman bermain imaginer anak.

8. Mempersiapkan orang tua untuk mengantisipasi adanya mimpi buruk atau

adanya peningkatan mimpi buruk serta menganjurkan orangtua untuk

memastikan bahwa anaknya telah terbangun penuh dari mimpi yang

menyeramkan.

9. Memberikan jaminan bahwa periode ketenangan akan mulai pada usia 5

tahun

3. Usia 5 tahun

1. Menginformasikan orang tua untuk mengharapkan periode tenang pada anak

usia 5 tahun.

2. Membantu orang tua mempersiapkan anak untuk masuk ke dalam

lingkungan sekolah.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

39

3. Memastikan bahwa imunisasi tepat waktu sebelum memasuki sekolah.

4. Menganjurkan agar ibu yang tidak bekerja mempertimbangkan aktifitasnya

sendiri ketika anak mulai memasuki sekolah.

5. Menganjurkan pelajaran berenang untuk anak.

2.4 Identifikasi Faktor Penyebab Terjadinya Cedera pada Anak Usia 3-6 Tahun

Kuschithawati, Magetsari, & Nawi (2007) meneliti tentang faktor risiko

terjadinya cedera pada anak usia sekolah dasar. Tujuan dari penelitian ini adalah

mengidentifikasi jenis cedera dan faktor risiko terjadinya cedera pada anak–anak

sekolah dasar di yogyakarta. Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang

dilakukan di sekolah, dengan pengambilan sampel secara multistage cluster sampling

(pengambilan sampel melalui beberapa tahap). Hasil penelitian ini memiliki prevalensi

cedera sebesar 42,56 % (luka ringan 36,89% dan luka parah 5,7%). Faktor terkait

dengan kejadian cedera pada anak–anak sekolah dasar yaitu jenis kelamin dan

lingkungan rumah. Jenis cedera yang sering terjadi pada anak–anak sekolah dasar

adalah tergores, memar, terkilir, gigitan hewan, luka bakar, kecelakaan lalu lintas,

patah tulang dan terkena serpihan kecil yang dapat melukai anggota tubuh.

Menurut Granie (2010), cedera yang tidak di sengaja menjadi masalah

kesehatan yang serius di masyarakat terutama bagi anak-anak dan risiko yang sering

terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Responden pada penelitian ini

berjumlah 170 anak yang pernah mengalami cedera, usia 3 sampai 6 tahun (89 anak

laki-laki dan 81 anak perempuan) di ukur secara tidak langsung dalam dilakukan

selama 2 kali yang diisi oleh orang tua mereka. Hasil dari penelitian menunjukkan

bahwa perilaku risiko cedera pada anak laki-laki dan perempuan diperkirakan

disebabkan oleh maskulin sterotip. Ini menggambarkan bahwa peran gender

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

40

mempunyai dampak atau pengaruh terkait dengan perilaku risiko cedera pada anak

prasekolah

Wang, et al (2011) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

mengidentifikasi kejadian dan faktor risiko cedera pada anak-anak pra sekolah usia 0-

6 tahun di negara Cina. Metode yang digunakan yaitu penelitiaan secara acak

dilakukan di kota Shenzhen yang terletak di Cina bagian selatan. Target populasi

dalam penelitian ini yaitu anak-anak usia 0-6 tahun di kota Shenzhen. Hasil kejadian

cedera adalah 3,4%. Setelah dilakukan penyesuaian untuk semua variabel yang dipilih.

Faktor risiko pada anak-anak meliputi pekerjaan ayah, anak yang terlalu aktif,

penyimpanan barang yang membahayakan bagi anak, dan faktor pengawasan orang

tua dan faktor–faktor perlindungan guru terhadap keselamatan anak-anak di sekolah.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu intervensi yang diberikan diharapkan dapat

membantu mencegah dan mengurangi terjadinya cedera pada anak-anak

Morrongiello, et al (2006) melakukan uji pembelajaran ibu mengenai

permasalahan yang ada dirumah tentang keamanan bagi anak-anak berusia 24-30

bulan dan 36-42 bulan. Peneliti melakukan penelitian utuk mengetahui bagaimana

hubungan strategi gaya pembelajaran orang tua dan penilaian terkait dengan faktor-

faktor risiko cedera yang tidak disengaja pada anak-anak. Metode yang digunakan

adalah wawancara yang mengkaji permasalahan dirumah tentang struktur keamanan

yang berkaitan dengan jatuh, luka bakar, luka, keracunan, sesak nafas, dan tersedak.

Ibu melakuakan identifikasi trhadap anakmya yang berkaitan dengan masalah

keamanan, jenis cedera yang terjadi, dan sejauh mana ibu memanfaatkan

pembelajaran sebagai strategi untuk mengatasi setiap permasalahan keamanan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dukungan ibu tentang masalah keamanan dirumah

tidak bervariasi sesuai dengan umur anak, ibu menggunakan ajaran yang diperoleh

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41943/3/jiptummpp-gdl-noviantipu-51688-3-babii.pdfMenurut Indarwati (2011), cedera merupakan dampak dari suatu agen eksternal

41

untuk mengelola masalah keamanan untuk semua jenis cedera, dan jenis strategi

pembelajaran (penjelasan, aturan, dan modifikasi perilaku) bervariasi dengan gaya

pengasuhan yang menekankan ekspresi diri dan aturan sendiri. Dengan demikian,

ajaran tentang keselamatan adalah strategi menejemen risiko cedera yang digunakan

oleh ibu untuk mengatasi bahaya dirumah. Namun, tipe dari strategi mengajar yang

digunakan bervariasi sesuai dengan gaya pengasuhan yang memiliki implikasi

terhadap risiko cedera pada anak.

Morrongiello, et al (2010) melakukan penlitian tentang child injury: The Role of

Supervision in Prevention. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pengawasan dapat

mempengaruhi risiko cedera pada anak-anak telah menarik perhatian dalam beberapa

waktu dan mempunyai kemajuan yang telah di buat baru-baru ini untuk mengatasi

masalah dan penilaian tentang pengawasan. Dibuktikan dengan meningkatnya

dukungan konsep suatu hubungan secara umum antara peningkatan pengawasan dan

penurunan risiko cedera, tetapi juga menunjukkan bahwa sifat perilaku anak dan

lingkungan yang dapat berhubungan dengan tingkat pengawasan dalam

mempengaruhi terjadinya risiko cedera. Sehingga suatu tantangan untuk

mengembangkan pedoman tentang pengawasan yang layak. Tujuan penelitian untuk

menelusuri apakah dan bagaimana risiko cedera anak-anak yang bervariasi sesuai

dengan pengawasan yang berbeda (misalnya, ibu vs ayah vs kakak) dan bagaimana

hubungan ini berubah sebagai suatu fungsi dari tahap pengembangan anak. Penelitian

terbaru menjelaskan bahwa menghimbau untuk lebih mengawasi anak–anak dirumah.

Mempelajari penelitian tersebut berpengaruh terhadap tindakan pengawasan dengan

benar. Langkah selanjutnya sangat penting dalam penelitian ini yang dapat

mendukung program dalam pengawasan dan mengurangi risiko cedera pada anak-

anak.