bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stunting Anak
1. Definisi
Balita pendek (Stunting) adalah masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat
terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia
dua tahun. Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks BB/U atau
TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil
pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan
-3 SD (pendek/stunted) dan <-3 SD (sangat pendek/severely stunted) (Trihono
dkk, 2015).
Prevalensi stunting mulai meningkat pada usia 3 bulan, kemudian proses
stunting melambat pada saat anak berusia sekitar 3 tahun. Terdapat perbedaan
interpretasi kejadian stunting diantara kedua kelompok usia anak. Pada anak yang
berusia di bawah 2-3 tahun, menggambarkan proses gagal bertumbuh atau
stunting yang masih sedang berlangsung/terjadi. Sementara pada anak yang
berusia lebih dari 3 tahun, menggambarkan keadaan dimana anak tersebut telah
mengalami kegagalan pertumbuhan atau telah menjadi stunted (Sandra Fikawati
dkk, 2017). Berbagai ahli menurut Wamani et al., dalam Sandra Fikawati dkk
(2017) menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor
seperti berat lahir yang rendah, stimulasi dan pengasuhan anak kurang tepat,
asupan nutrisi kurang, dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan
lainnya.
2. Etiologi
Pertumbuhan manusia merupakan hasil interaksi antara faktor genetik,
hormon, zat gizi, dan energi dengan faktor lingkungan. Proses perumbuhan
manusia merupakan fenomena yang kompleks yang berlangsung selama kurang
lebih 20 tahun lamanya, mulai dari kandungan sampai remaja yang merupakan
hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Pada anak-anak, penambahan
tinggi badan pada tahun pertama kehidupan merupakan yang paling cepat
dibandingkan periode waktu setelahnya. Pada usia 1 tahun, anak akan mengalami
peningkatan tinggi badan sampai 50% dari panjang badan lahir. Kemudian tinggi
badan tersebut akan meningkat 2 kali lipat pada usia 4 tahun dan 3 kali lipat pada
usia 13 tahun (Sandra Fikawati dkk, 2017).
Periode pertumbuhan paling cepat pada masa anak-anak juga merupakan
masa dimana anak berada pada tingkat kerentanan paling tinggi. Kegagalan
pertumbuhan dapat terjadi selama masa gestasi (kehamilan) dan pada 2 tahun
pertama kehidupan anak atau pada masa 1000 hari pertama kehidupan anak.
Stunting merupakan indikator akhir dari semua faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak pada 2 tahun pertama kehidupan yang
selanjutnya akan berdampak buruk pada perkembangan fisik dan kognitif anak
saat bertambah usia nantinya (Sandra Fikawati dkk, 2017).
Pertumbuhan yang cepat pada masa anak membuat gizi yang memadai
menjadi sangat penting. Buruknya gizi selama kehamilan, masa pertumbuhan dan
masa awal kehidupan anak dapat menyebabkan anak menjadi stunting. Pada 1000
hari pertama kehidupan anak, buruknya gizi memiliki konsekuensi yang permanen
(UNICEF, 2013). Faktor sebelum kelahiran seperti gizi ibu selama kehamilan dan
faktor setelah kelahiran seperti asupan gizi anak saat masa pertumbuhan, sosial
ekonomi, ASI eksklusif, penyakit infeksi, pelayanan kesehatan dan berbagai
faktor lainnya (Sandra Fikawati dkk, 2017).
3. Epidemiologi
Diperkirakan dari 171 juta anak stunting di seluruh dunia, 167 juta anak
(98%) hidup di negara berkembang. UNICEF menyatakan bahwa pada tahun
2011, ada 1 dari 4 anak mengalami stunting. Selanjutnya, diprediksi akan ada 127
juta anak di bawah 5 tahun yang stunting pada tahun 2025 nanti jika tren sekarang
terus berlanjut. WHO memiliki target global untuk menurunkan angka stunting
balita sebesar 40% pada tahun 2025 (UNICEF, 2013).
Di Indonesia, saat ini stunting masih menjadi permasalahan kesehatan
dengan prevalensi nasional sebesar 20,1% (Pemantauan Status Gizi, 2017). Dari
10 orang anak sekitar 3-4 orang anak balita mengalami stunting (Zahraini, 2013).
Indonesia adalah salah satu dari 3 negara dengan prevalensi stunting tertinggi di
Asia Tenggara. Penurunan angka kejadian stunting di Indonesia tidak begitu
signifikan jika dibandingkan dengan Myanmar, Kamboja, dan Vietnam (Trihono
dkk, 2015).
4. Dampak
Stunting merupakan malnutrisi kronis yang terjadi di dalam rahim dan
selama dua tahun pertama kehidupan anak dapat mengakibatkan rendahnya
intelegensi dan turunnya kapasitas fisik yang pada akhirnya menyebabkan
penurunan produktivitas, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan perpanjangan
kemiskinan. Selain itu, stunting juga dapat berdampak pada sistem kekebalan
tubuh yang lemah dan kerentanan terhadap penyakit kronis seperti diabetes,
penyakit jantung, dan kanker serta gangguan reproduksi maternal di masa dewasa.
Proses stunting disebabkan oleh asupan zat gizi yang kurang dan infeksi
yang berulang yang berakibat pada terlambatnya perkembangan fungsi kognitif
dan kerusakan kognitif permanen. Pada wanita, stunting dapat berdampak pada
perkembangan dan pertumbuhan janin saat kehamilan, terhambatnya proses
melahirkan serta meningkatkan risiko underweight dan stunting pada anak yang
dilahirkannya, yang nantinya juga dapat membawa risiko kepada gangguan
metabolisme dan penyakit kronis saat anak tumbuh dewasa (Sandra Fikawati dkk,
2017).
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Secara
lebih detail, beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting dapat
digambarkan sebagai berikut:
a. Faktor langsung
1) Faktor ibu
Faktor ibu dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama prekonsepsi,
kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu seperti usia ibu
terlalu muda atau terlalu tua, pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa,
BBLR, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat, dan
hipertensi (Sandra Fikawati dkk, 2017).
2) Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses
pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi,
dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan
intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap
rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Narsikhah,
2012). Menurut Amigo et al., dalam Narsikhah (2012) salah satu atau kedua
orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon
pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek
sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh
menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi
atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal
selama anak tersebut tidak terpapar faktor resiko yang lain.
3) Asupan makanan
Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrient yang buruk,
kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari pangan hewani,
kandungan tidak bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada complementary
foods. Praktik pemberian makanan yang tidak memadai, meliputi pemberian
makan yang jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah
sakit, konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak
mencukupi, pemberian makan yang tidak berespon. Bukti menunjukkan
keragaman diet yang lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari sumber hewani
terkait dengan perbaikan pertumbuhan linear. Analisis terbaru menunjukkan
bahwa rumah tangga yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang
diperkaya nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi dan mengurangi
risiko stunting (Sandra Fikawati dkk, 2017).
4) Pemberian ASI Eksklusif
Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi Delayed
Initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI.
Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (Delayed
initiation) akan meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai
pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa
air putih, jus, ataupun susu selain ASI. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk
mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan
pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan.
Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan
terhadap asupan nutrisi penting pada bayi (Sandra Fikawati dkk, 2017).
5) Faktor infeksi
Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik seperti
diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan
(ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan
inflamasi. Penyakit infeksi akan berdampak pada gangguan masalah gizi. Infeksi
klinis menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangan, sedangkan anak
yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting
(Picauly & Toy, 2013).
b. Faktor tidak langsung
1) Faktor sosial ekonomi
Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan
terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013). Menurut
Bishwakarma dalam Khoirun dkk (2015), status ekonomi keluarga yang rendah
akan mempengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga biasanya
menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan
yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin, dan
mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi.
2) Tingkat Pendidikan
Menurut Delmi Sulastri (2012), pendidikan ibu yang rendah dapat
mempengaruhi pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga berpengaruh dalam
pemilihan dan cara penyajian makanan yang akan dikonsumsi oleh anaknya.
Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam upaya
peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat
pengetahuan gizi yang baik. Ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit
menyerap informasi gizi sehingga anak dapat berisiko mengalami stunting.
3) Pengetahuan gizi ibu
Menurut Delmi Sulastri (2012) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi yang
rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada keluarga maupun
masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi tetapi harus mengerti
dan mau berbuat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang
kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan
makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang
dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang cukup
pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal.
4) Faktor lingkungan
Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas yang
tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan, alokasi
pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi pengasuh. Anak-anak yang berasal
dari rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko
mengalami stunting (Putri dan Sukandar, 2012).
6. Preventif
Preventif untuk menurunkan angka kejadian stunting seharusnya dimulai
sebelum kelahiran melalui perinatal care dan gizi ibu, kemudian preventif
tersebut dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun. Periode kritis dalam mencegah
stunting dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun yang biasa disebut
dengan periode 1.000 hari pertama kehidupan. Intervensi berbasis evidence
diperlukan untuk menurunkan angka kejadian stunting di Indonesia. Gizi maternal
perlu diperhatikan melalui monitoring status gizi ibu selama kehamilan melalui
ANC serta pemantauan dan perbaikan gizi anak setelah kelahiran, juga diperlukan
perhatian khusus terhadap gizi ibu menyusui. Pencegahan kurang gizi pada ibu
dan anak merupakan investasi jangka panjang yang dapat memberi dampak baik
pada generasi sekarang dan generasi selanjutnya (Sandra Fikawati dkk, 2017).
Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan global
yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN) melalui perancangan dua
kerangka besar intervensi stunting. Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan
oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dsn
Intervensi Gizi Sensitif (TNP2K, 2017).
a. Kerangka intervensi gizi spesifik
Kerangka ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam
1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan
stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada
sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat
dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk
melaksanakan intervensi gizi spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi
utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita, sebagai
berikut:
1) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil
Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT)
pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi
kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium,
menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari
Malaria.
2) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan
Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong
inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum
serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.
3) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan
Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian
ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6
bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing,
menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam
makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi
lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare (TNP2K, 2017).
b. Kerangka intervensi gizi sensitif
Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan
diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi stunting. Sasaran
dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu
hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK (TNP2K, 2017). Ada
12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui intervensi
gizi spesifik sebagai berikut:
1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
2) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
3) Melakukan fortifikasi bahan pangan.
4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).
5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
8) Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
9) Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.
11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.
12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
B. Penilaian Status Gizi Anak
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan
keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik bersifat
objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan standar yang
telah tersedia (Arisman, 2010).
Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dibagi menjadi penilaian
status gizi secara langsung (antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik), dan
penilaian status gizi secara tidak langsung (survey konsumsi makanan, statistik
vital, dan faktor ekologi).
Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan
cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Beberapa indeks antropometri yang
sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut
umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan
standar deviasi unit z (Z-Score) (Trihono dkk, 2015).
Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat
badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih
pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan standar
Z-Score dari WHO-NCHS. Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi
yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek)
dan severely stunted (sangat pendek) (Trihono dkk, 2015).
Tabel 1. Penilaian Status Gizi Anak berdasarkan Indeks
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
BB/U Anak Umur 0-60
Bulan
TB/U
Anak Umur 0-60
Bulan
BB/TB
Anak Umur 0-60
Bulan
IMT/U
Anak Umur 0-60
Bulan
IMT/U
Anak Umur 5-18
Tahun
Gizi Buruk
Gizi Kurang
Gizi Baik
Gizi Lebih
Sangat Pendek
Pendek
Normal
Tinggi
Sangat Kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Sangat Kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Sangat Kurus
Kurus
Normal
Gemuk
Obesitas
<-3 SD
-3 SD s/d <-2 SD
-2 SD s/d 2 SD
>2 SD
<-3 SD
-3 SD s/d <-2 SD
-2 SD s/d 2 SD
>2 SD
<-3 SD
-3 SD s/d <-2 SD
-2 SD s/d 2 SD
>2 SD
<-3 SD
-3 SD s/d <-2 SD
-2 SD s/d 2 SD
>2 SD
<-3 SD
-3 SD s/d <-2 SD
-2 SD s/d 2 SD
>1 SD s/d 2 SD
>2 SD
Keterangan :
BB = Berat Badan U = Umur IMT = Indeks Massa Tubuh
TB = Tinggi Badan SD = Standar Deviasi
(Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2011)
a. Penilaian Stunting secara Antropometri
Menentukan stunting pada anak dilakukan dengan cara pengukuran.
Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak usia di atas 2 tahun.
Antropometri merupakan ukuran dari tubuh, sedangkan antropometri gizi adalah
jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur
dan tingkatan gizi yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein
dan energi. Antropometri dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan
dan berat badan (Gibson, 2005).
Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan
rekomendasi NCHS-WHO. Standarisasi pengukuran ini membandingkan
pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau Z-Score untuk usia dan
jenis kelamin yang sama pada anak-anak. Z-Score adalah unit standar deviasi
untuk mengetahui perbedaan antara nilai individu dan nilai tengah (median)
populasi rujukan untuk usia/tinggi yang sama, dibagi dengan standar deviasi dari
nilai populasi rujukan. Beberapa keuntungan penggunaan Z-Score antara lain
untuk mengidentifikasi nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan
perbedaan usia, juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara
statistik dari pengukuran antropometri (Trihono dkk, 2015).
1) Umur
Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya kehidupan seseorang.
Usia dihitung saat pengumpulan data, berdasarkan tanggal kelahiran. Apabila
kurang hingga 14 hari maka dibulatkan ke bawah, sebaliknya jika lebih 15 hari
maka dibulatkan ke atas. Informasi terkait umur didapatkan melalui pengisian
kuesioner (Supariasa, 2002).
2) Tinggi badan
Tinggi atau panjang badan adalah indikator umum dalam mengukur tubuh
dan panjang tulang. Alat yang biasa dipakai disebut stadiometer. Ada dua macam
yaitu: ‘stadiometer portabel’ yang memiliki kisaran pengukur 840-2060 mm dan
‘harpenden stadiometer digital’ yang memiliki kisaran pengukur 600-2100 mm.
Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki
dan aksesoris kepala, kedua tangan tergantung rileks di samping badan, tumit dan
pantat menempel di dinding, pandangan mata mengarah ke depan sehingga
membentuk posisi kepala Frankfurt Plane (garis imaginasi dari bagian inferior
orbita horizontal terhadap meatus acusticus eksterna bagian dalam). Bagian alat
yang dapat digeser diturunkan hingga menyentuh kepala (bagian verteks).
Sentuhan diperkuat jika anak yang diperiksa berambut tebal. Pasien inspirasi
maksimum pada saat diukur untuk meluruskan tulang belakang.
Pada bayi yang diukur bukan tinggi melainkan panjang badan. Biasanya
panjang badan diukur jika anak belum mencapai ukuran linier 85 cm atau berusia
kurang dari 2 tahun. Ukuran panjang badan lebih besar 0,5-1,5 cm daripada tinggi.
Oleh sebab itu, bila anak diatas 2 tahun diukur dalam keadaan berbaring maka
hasilnya dikurangi 1 cm sebelum diplot pada grafik pertumbuhan (Supariasa,
2002).
C. Gizi Balita
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang
manusia. Seribu hari pertama kehidupan sangat menentukan kesehatan anak di
usia selanjutnya. Memaksimalkan potensi tumbuh kembang sejak masa perinatal
dan masa bayi perlu diteruskan pada fase selanjutnya. Setelah berusia satu tahun
anak masih berada dalam fase pertumbuhan cepat sehingga asupan gizi yang
cukup sangat penting untuk menunjang periode tumbuh kembangnya sehingga
biasanya fase ini disebut golden period atau periode emas pertumbuhan (Sandra
Fikawati dkk, 2017).
Gizi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan
untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Memenuhi kebutuhan gizi anak dan
memberikan stimulus merupakan hal yang perlu diprioritaskan oleh orang tua,
karena fase ini bersifat irreversible atau tidak dapat kembali ke fase sebelumnya.
Mencukupi kebutuhan gizi anak bisa terlaksana dengan baik apabila ibu
mengetahui kebutuhan gizi anak, cara pemenuhan asupan gizi anak, upaya
perbaikan asupan gizi serta berperan aktif dalam mendukung pola kebiasaan
makan anak. Pengukuran status gizi dan penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)
juga menjadi penting untuk mengetahui capaian pertumbuhan anak (Sandra
Fikawati dkk, 2017).
1. Kebutuhan gizi anak balita
Kebutuhan gizi anak balita merupakan jumlah yang diperkirakan cukup
untuk memelihara kesehatan anak balita. Ketika pertumbuhan dan nafsu anak
mulai menurun maka diperlukan pemilihan jenis makanan yang tepat dengan
padat gizi seimbang bagi anak. Pada bayi umur 0-6 bulan hanya diberikan ASI.
ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan
lainnya dari bayi lahir sampai bayi berumur enam bulan dan dilanjutkan sampai
bayi berumur dua tahun (WHO, 2009). ASI merupakan makanan terbaik bayi dan
diberikan sesering mungkin tanpa terjadwal yaitu setiap 2 jam sekali untuk
memenuhi kebutuhan gizinya.
Rekomendasi jumlah energi dan zat gizi yang dibutuhkan dilihat dari
standar konsumsi gizi anak yang tumbuh dengan maksimal. Angka kecukupan
gizi merupakan petunjuk bagi kelompok masyarakat secara umum, namun bukan
berarti dapat mengetahui kebutuhan anak secara individu, akan diuraikan sebagai
berikut (Sandra Fikawati dkk, 2017).
a. Energi
Energi yang dibutuhkan anak usia 1-3 tahun adalah 1.125 Kal dan untuk
anak usia 4-6 tahun membutuhkan energi sebesar 1600 Kal. Perbedaan aktivitas
fisik turut berpengaruh pada kebutuhan gizi anak. Jumlah energi yang dibutuhkan
anak secara individu diketahui dengan memerhatikan resting energy expenditure
(REE), kecepatan pertumbuhan, dan aktivitas.
b. Protein
Kebutuhan protein anak berguna untuk pemeliharaan jaringan, perubahan
komposisi tubuh, dan untuk sintesis jaringan baru. Kebutuhan protein untuk anak
usia 1-3 tahun adalah 26 gram dan kebutuhannya meningkat menjadi 35 gram
pada anak usia 4-6 tahun. Walaupun tingkat pertumbuhan menurun pada masa ini,
namun kebutuhan protein meningkat karena dibutuhkan untuk pemeliharaan
jaringan secara bertahap.
c. Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan normal. Asupan vitamin dan mineral yang tidak cukup dapat
terlihat dari pertumbuhan yang lambat, ketidakcukupan mineralisasi tulang,
ketidakcukupan simpanan zat besi, dan anemia. Untuk memenuhi kebutuhan
vitamin dan mineral, harus diupayakan pemberian jenis buah dan sayur yang
bervariasi. Kalsium sangat penting untuk pertumbuhan tulang dan mineralisasi.
Selain kalsium, fosfor juga dibutuhkan tubuh untuk mineralisasi tulang.
Kebutuhan kalsium untuk anak usia 1-3 tahun sebesar 650 mg dan untuk anak
usia 4-6 tahun sebesar 1000 mg. Kebutuhan fosfor untuk anak usia 1-6 tahun
sebesar 500 mg. Susu dan produk susu lainnya merupakan sumber utama kalsium
dan fosfor.
Mineral seng berfungsi untuk sintesis protein dan pertumbuhan.
Kekurangan seng memiliki dampak serius, seperti gangguan pertumbuhan, diare,
serta gangguan penyembuhan luka dan imunitas. Kebutuhan mineral seng untuk
anak usia 1-3 tahun adalah 4 mg dan usia 4-6 tahun adalah 5 mg. Daging merah
merupakan sumber seng yang baik.
Mineral lainnya yang penting pada usia ini adalah Fluor yang berfungsi
untuk menurunkan insiden karies gigi. Kebutuhan fluor harian untuk anak usia 1-3
tahun sebesar 0,6 mg dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 0,9 mg.
2. Prinsip gizi anak balita
Menurut Sandra Fikawati dkk (2017), pada usia 6 bulan anak perlu
disapih, yaitu proses perubahan makan bayi dari ASI atau susu formula menjadi
makanan atau cairan lain. Menurut UNICEF (2013), bayi mulai usia 6 bulan
sudah mulai dapat diperkenalkan dengan makanan padat karena sistem
pencernaan bayi sudah siap untuk mencerna makanan padat. Bayi yang disapih
sebelum usia 6 bulan dan sistem pencernaannya belum siap sehingga dapat
menyebabkan peningkatan risiko infeksi dan alergi. Namun, jika sistem
pencernaan bayi sudah siap, tetapi bayi belum genap berusia 6 bulan (usia bayi
sudah mendekati 6 bulan), memperkenalkan bayi dengan makanan padat sedikit
demi sedikit tidak masalah jika ingin dilakukan. Namun, yang harus diingat
sebaiknya tidak memperkenalkan makanan padat pada bayi di bawah usia 4 bulan.
Selain itu, meskipun bayi sudah mulai diberi makan pada usia 6 bulan, ASI masih
tetap menjadi salah satu sumber makanan yang dikonsumsi anak hingga usia 2
tahun.
Makanan pendamping Air Susu Ibu adalah makanan yang diberikan
kepada bayi disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI
diberikan mulai umur 6-24 bulan, dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke
makanan keluarga. Pemberian makanan tambahan pada bayi juga bertujuan untuk
melengkapi ASI dan diperlukan setelah kebutuhan energi dan zat-zat gizi tidak
mampu dipenuhi dengan ASI saja. Pemberian makanan tambahan harus
bervariasi, dari bentuk bubur cair kebentuk bubur kental, sari buah, buah segar,
makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat.
Menyapih anak merupakan tantangan tersendiri bagi ibu karena harus
menghentikan kebiasaan menyusui anak. Saat anak disapih, ibu harus
memerhatikan sumber makanan pengganti ASI bagi anak. Makanan yang dapat
diberikan pada masa penyapihan harus mengandung:
a. Sumber energi
Sumber energi harus terkandung dalam makanan sapihan. Hal ini terkait
dengan kebutuhan energi anak yang semakin meningkat seiring pertumbuhan
anak. Sumber energi dapat diperoleh dari jenis makanan pokok seperti beras,
gandum, umbi-umbian, jagung, kentang, singkong, dan tepung (Santoso dan
Ranti, 2009).
b. Sumber protein hewani dan nabati
Protein hewani sangat dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan dan
perkembangan anak karena zat gizi yang terkandung dalam protein hewani
sebagian besar adalah zat gizi yang mendukung pertumbuhan otak anak dan
berperan dalam pertumbuhan. Sumber nabati sangat penting dalam pemenuhan
kebutuhan serat. Sumber protein dapat diperoleh dari jenis makanan seperti
daging, tahu, tempe, oncom, kacang-kacangan, ikan, telur, udang, kerang (Santoso
dan Ranti, 2009).
c. Sumber vitamin dan mineral
Sumber vitamin dan mineral diperlukan untuk mendukung pertumbuhan
dan perkembangan anak, mendorong sistem imun, dan juga membantu sel dan
organ untuk melakukan fungsinya. Sumber vitamin dan mineral dapat diperoleh
dari sayur-sayuran dan buah-buahan yang beraneka ragam (Santoso dan Ranti,
2009).
d. Minyak atau lemak
Lemak mempunyai peran penting dalam pembentukan membran sel saraf
otak, terutama asam lemak omega 3 dan omega 6. Asam lemak omega 3 biasanya
terdapat pada lemak ikan laut, sedangkan asam lemak omega 6 terdapat pada
lemak biji-bijian, seperti kacang tanah, kenari, kedelai, biji bunga matahari, dan
wijen (Santoso dan Ranti, 2009).
3. Pola pemberian makanan anak balita
Pola pemberian makanan adalah berbagai informasi tentang kebutuhan,
pemilihan bahan makanan, dan status gizi yang memberikan gambaran mengenai
macam dan jumah makanan yang dimakan setiap hari oleh balita dan merupakan
ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Sulistyoningsih, 2011).
Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5
tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun
makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu,
sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat menentukan sendiri makanan apa
yanga akan dimakan dan dapat menolak makanan yang diberikan. Ibu perlu
bereksperimen dan memerhatikan beberapa hal saat memberi makanan kepada
anak. Untuk meningkatkan asupan anak balita dapat dilakukan dengan
membentuk kebiasaan makan anak yang baik melalui hal berikut (Sandra Fikawati
dkk, 2017).
a. Menyiapkan makanan anak
Memberikan makan kepada anak balita memerlukan persiapan dan perlu
memerhatikan beberapa hal: makanan untuk anak sebaiknya mempunyai
penampilan yang menarik, aroma menggoda, dan rasa yang enak. Balita sering
bereksperimen dan tertarik untuk mencoba makanan baru. Orang tua dapat
memanfaatkan ketertarikan ini dengan memperluas variasi berbagai jenis
makanan untuk anak. Makanan harus dipersiapkan dengan matang, dimasak
dengan benar, dan disajikan dengan penampilan yang menarik. Makanan dengan
penampilan yang menarik sebagai kunci yang memiliki daya tarik visual yang
sangat baik agar anak mau mencoba makanan baru. Persiapan yang perlu
dilakukan sebelum memberikan makanan pada anak sebagai berikut:
1) Sayur
Tekstur dan warna sayur kadang tidak menarik bagi anak, sehingga harus
dipilih jenis yang mudah dikonsumsi. Anak perlu mengetahui fungsi dari jenis
makanan yang dikonsumsinya, ibu perlu melakukan pendekatan untuk
menjelaskan fungsi sayur dengan bahasa anak-anak.
2) Buah
Buah pada umumnya lebih disukai dibandingkan sayur, karena rasanya
yang lebih manis. Sebaiknya buah yang diberikan adalah yang mudah dikunyah,
mengingat gigi anak yang masih terus bertumbuh. Karena buah diberikan dalam
keadaan mentah, memerhatikan higienitas buah sangat penting dengan mencuci
buah dengan air mengalir sebelum diberikan pada anak.
3) Daging
Pemberian daging pada anak sebaiknya memerhatikan tekstur dan
kemudahannya untuk dikunyah. Ikan cenderung lebih mudah untuk dikunyah.
Sedangkan daging, diperlukan waktu memasak yang lama agar membuat daging
cukup lembut untuk dimakan anak.
4) Susu
Susu yang diberikan tidak selalu harus dalam bentuk minuman. Ibu dapat
bereksperimen mencoba resep lain yang menggunakan susu, seperti menu sup
krim, ditambahkan dalam sayur atau pudding. Makanan yang mengandung susu
dan berbagai olahan susu lainnya dapat menjadi alternatif, seperti keju, yoghurt,
es krim atau coklat.
b. Makanan sehari-hari
Pemberian makanan utama sebaiknya diberikan saat anak lapar dan dalam
kuantitas serta kualitas baik untuk menjamin kecukupan gizi juga pola makan
optimal. Pada pagi hari setelah tidur malam yang cukup lama, pilihlah makanan
yang merangsang selera makan saat sarapan. Selain memberikan makanan utama,
snack perlu diberikan sebanyak dua kali yaitu diantara sarapan dan makan siang
juga diantara makan siang dan makan malam. Snack yang diberikan untuk anak
tetap harus bergizi dan dalam porsi yang cukup kecil agar masih meninggalkan
rasa lapar untuk makan siang atau makan malam. Snack yang diberikan tidak
perlu banyak, seperti segelas jus buah dan 1 slice (iris tipis) keju atau biskuit. Hal
yang penting adalah memastikan bahwa zat gizi yang diperlukan anak terpenuhi
dengan baik.
c. Makanan selingan (snacks)
Anak balita biasanya memerlukan snack untuk memenuhi rasa lapar
sebelum waktu makan berikutnya. Snack harus merupakan makanan yang dapat
menyumbang kebutuhan gizi. Pemberian snack sebaiknya sekitar 2 jam sebelum
makanan utama. Ketika snack diberikan hanya satu jam atau kurang sebelum
makan makanan utama, maka dapat memiliki efek merusak nafsu makan pada
makanan utama. Snack dapat diberikan berupa makanan bergizi yang bervariasi,
seperti biskuit, jus, dan kacang-kacangan.
d. Persiapan fisik
Makan bersama keluarga dapat menjadi sarana untuk anak berkembang.
Diperlukan beberapa persiapan yang sebaiknya dilakukan untuk membentuk
kebiasaan makan anak. Meja dan kursi harus dirancang agar anak merasa nyaman
saat makan bersama keluarga. Anak juga perlu memiliki peralatan makan sendiri
(piring, sendok, garpu, dan gelas) yang telah disesuaikan dengan usia, sehingga
memudahkan anak untuk belajar makan sendiri.
e. Etiket makan
Etiket saat makan menunjukkan bagaimana interaksi manusia dapat
memengaruhi asupan gizinya. Menjadikan makan sebagai hal yang
menyenangkan akan membuat suasana makan menjadi waktu yang ditunggu oleh
anak. Perbaikan dalam perilaku di meja makan dapat membuat selera dan
kemampuan anak untuk makan sendiri meningkat karena mereka menjadi nyaman
dengan kegiatan makan bersama keluarga. Orang tua perlu memberi contoh cara
makan dan bagaimana cara menikmati berbagai makanan dalam suatu kesatuan
keluarga yang harus dimulai sedini mungkin.
f. Pengaruh lingkungan
Lingkungan di sekitar anak dapat membentuk kebiasaan makan anak.
Sangat penting menegakkan kebiasaan makan sejak usia dini karena akan
berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Orang tua sangat berperan dalam
membentuk kebiasaan makan anak. Orang tua harus memahami gizi, sehingga
dapat menyediakan makanan yang baik. Anak akan memerhatikan dan mengikuti
kebiasaan yang dilihatnya. Orang tua memengaruhi pola makan anak dengan
sikap mereka sendiri terhadap makanan. Orang tua juga perlu untuk mulai
mengedukasi anak tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi serta
manfaat mengonsumsi makanan sehat bergizi seimbang kepada anak.
4. Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan
Angka kecukupan gizi (AKG) merupakan suatu kecukupan rata-rata zat
gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Pedoman gizi seimbang pada dasarnya merupakan rangkaian upaya untuk
menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yang masuk dengan
memonitor berat badan secara teratur. Prinsipnya terdiri dari 4 pilar yang biasa
disebut tumpeng gizi seimbang, yaitu mengonsumsi makanan beragam,
membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik, dan
mempertahankan dan memantau berat badan normal. Pada dasarnya merupakan
rangkaian upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi
yang masuk dengan memonitor berat badan secara teratur (Kementerian
Kesehatan RI, 2014).
Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
(per orang per hari)
Kelompok Umur 1-3 tahun 4-6 tahun
BB (kg)
TB (cm)
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Ω-6
Ω-3
Karbohidrat (g)
Serat (g)
Air (mL)
13
91
1125
26
44
7,0
0,7
155
16
1200
19
112
1600
35
62
10,0
0,9
220
22
1500
(Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Konsumsi keanekaragam pangan merupakan salah satu anjuran penting
dalam mewujudkan gizi seimbang. Kelima kelompok pangan adalah makanan
pokok, lauk-pauk, sayuran, buah-buahan dan minuman. Mengonsumsi lebih dari
satu jenis untuk setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, sayuran
dan buah-buahan) setiap kali makan akan lebih baik (Kementerian Kesehatan RI,
2014).
Tabel 3. Anjuran Porsi Menurut Kecukupan Energi untuk Kelompok Umur
1-3 tahun dan 4-6 tahun
Bahan Makanan Anak Usia 1-3 tahun 1125 kkal
Anak Usia 4-6 tahun 1600 kkal
Nasi
Sayuran
Buah
Tempe
Daging
ASI
Susu
Minyak
Gula
3 porsi
1,5 porsi
3 porsi
1 porsi
1 porsi
Dilanjutkan hingga 2 tahun
1 porsi
3 porsi
2 porsi
4 porsi
2 porsi
3 porsi
2 porsi
2 porsi
1 porsi
4 porsi
2 porsi
Keterangan :
1. Nasi 1 porsi = ¾ gelas = 100 gr = 175 kkal
2. Sayuran 1 porsi = 1 gelas = 100 gr = 25 kkal
3. Buah 1 porsi = 1 buah pisang ambon = 50 gr = 50 kkal
4. Tempe 1 porsi = 2 potong sedang = 50 gr = 80 kkal
5. Daging 1 porsi = 1 potong sedang = 35 gr = 50 kkal
6. Ikan segar 1 porsi = 1/3 ekor = 45 gr = 50 kkal
7. Susu sapi cair 1 porsi = 1 gelas = 200 gr = 50 kkal
8. Susu rendah lemak 1 porsi = 4 sendok makan = 20 gr = 75 kkal
9. Minyak 1 porsi = 1 sendok teh = 5 gr = 50 kkal
10. Gula = 1 sendok makan = 20 gr = 50 kkal
(Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2014)
D. Pengetahuan
1. Pengertian pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour) (Notoadmodjo, 2010).
2. Tingkatan pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2010) menyatakan bahwa pengetahuan yang
tercangkup dalam domain kognitif yang dijabarkan dari tingkatan yang paling
rendah, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, dimana yang dimaksud dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) suatu spesifik dari seluruh bahan yang telah dipelajari
atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu
tentang apa yang dipelajari yaitu dengan menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tahu merupakan
tingkatan pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (comperhention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut
secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat dijelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek
yang telah dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan yang menyimpulkan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi ini dapat
diartikan sebagai aplikasi, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya dalam
situasi atau konteks yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat meringkaskan,
dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan
yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penelitian-penelitian tersebut didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada. Misalnya, dapat membandingan antara anak yang cukup gizi dengan
anak yang kurang gizi.
3. Pengukuran pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan melakukan wawancara
atau menyebarkan angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur
dari subjek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin diukur
atau diketahui kemudian disesuaikan dengan tingkat=tingkatannya.
Adapun pertanyaan yang dapat digunakan untuk pengukuran pengetahuan
secara umum dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu: pertanyaan subjektif
misalnya dalam bentuk essay dan pertanyaan objektif misalnya dalam bentuk
pilihan ganda, benar salah, dan pertanyaan menjodohkan (Wawan dan Dewi,
2011).
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Notoadmojo (2010) pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa
faktor-faktor antara lain :
1) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti terjadi proses
pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik
dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil
penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa
pada umumnya pendidikan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain
terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Semakin tinggi pendidikan
seseorang maka semakin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan
menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru
diperkenalkan.
2) Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Faktor eksternal yang mempengaruhi
pengetahuan antara lain : meliputi lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan
informasi. Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat
dan perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk memiliki
hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemanfaatan.
Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik akan berusaha untuk
dilupakan oleh seseorang. Namun, jika pengalaman terhadap objek tersebut
menyenangkan, maka secara psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam
dan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula membentuk
sikap positif dalam kehidupannya, lingkungan pekerjaan dapat menjadikan
seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung.
3) Umur
Dengan bertambahnya usia seseorang, maka akan terjadi perubahan pada
aspek fisik dan psikologi (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar dapat
dikategorikan menjadi 4, yaitu : perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya
bentuk lama, dan timbulnya bentuk baru. Hal ini terjadi akibat pematangan fungsi
organ. Pada aspek psikologis atau mental taraf berfikir seseorang semakin matang
dan dewasa.
4) Lingkungan
Lingkungan memberikan pengaruh kepada seseorang sehingga dapat
mempelajari hal-hal baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat
kelompoknya. Mariner dalam Wawan dan Dewi (2010) lingkungan merupakan
seluruh kondisi yang ada di sekitar dan dapat memberi pengaruh terhadap
perkembangan perilaku seseorang.
5) Sosial budaya
Sosial budaya memiliki pengaruh pada pengetahuan seseorang, suatu
kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan ini
seseorang mengalami proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan dari adat
istiadat sosial budaya.
E. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan kejadian stunting
anak
Masa balita adalah masa periode perkembangan fisik dan mental yang
pesat. Pada masa ini otak balita telah siap menghadapi berbagai stimulasi seperti
belajar, berjalan dan berbicara lebih lancar. Dalam tumbuh kembangnya, balita
memerlukan asupan gizi yang seimbang untuk menunjang tahap-tahap
kehidupannya.
Pengetahuan ibu tentang gizi balita sangat penting bagi proses
pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Makanan untuk balita hendaknya
beragam untuk memenuhi kebutuhan tubuh balita akan keenam zat gizi meliputi
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Ibu perlu bereksperimen dan
memerhatikan beberapa hal saat memberi makanan pada anak. Karena anak balita
mulai dapat menentukan sendiri makanan apa yang akan dimakan dan dapat
menolak makanan yang diberikan. Oleh karena itu, ibu harus mampu membuat
variasi makanan tanpa mengurangi kandungan gizi pada makanan tersebut agar
anak akan terus tertarik mencoba makanan beragam dengan gizi tinggi sehingga
dapat menunjang tumbuh kembang anak sampai dewasa nanti.
Anak yang mengalami kekurangan gizi pada masa tumbuh kembangnya
maka anak akan mengalami masalah gizi terutama kejadian stunting pada anak.
Stunting dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi anak seperti terlambatnya
perkembangan fungsi kognitif sehingga kerusakan kognitif permanen, sistem
kekebalan tubuh melemah, rentan terhadap penyakit infeksi. Stunting dapat
dicegah sejak dini berawal dari kesadaran keluarga terutama ibu balita. Ibu
memiliki peran besar terhadap kemajuan tumbuh kembang anak balitanya dari
stimulasi dan pengasuhan anak yang tepat, dan mengatur pola asupan gizi
seimbang untuk anak balitanya.
Pengetahuan orang tua tentang gizi membantu memperbaiki status gizi
pada anak untuk mencapai kematangan pertumbuhan. Pada anak dengan stunting
mudah timbul masalah kesehatan baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu, tidak
semua anak dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, ada anak
yang mengalami hambatan dan kelainan (Gibney dkk, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Wellem dkk (2014) tentang hubungan
pengetahuan orang tua tentang gizi dengan stunting pada anak usia 4-5 tahun
menunjukkan bahwa kejadian stunting anak dipengaruhi oleh pengetahuan orang
tua terhadap gizi anak balitanya. Pola asupan gizi anak oleh orang tua akan
menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak hingga dewasa. Ini sesuai
dengan penelitian Narsikhah dan Margawati (2012) bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan orang tua dengan kejadian stunting pada anak.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Khoirun dan
Nadhiroh (2015) dimana diketahui bahwa ibu balita stunting sejumlah 21
responden (61,8%) memiliki pengetahuan gizi yang lebih rendah daripada ibu
balita normal sejumlah 10 responden (29,4%). Hasil analisis menunjukkan bahwa
pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita.