bab ii tinjauan pustaka -...

33
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stunting Anak 1. Definisi Balita pendek (Stunting) adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks BB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/stunted) dan <-3 SD (sangat pendek/severely stunted) (Trihono dkk, 2015). Prevalensi stunting mulai meningkat pada usia 3 bulan, kemudian proses stunting melambat pada saat anak berusia sekitar 3 tahun. Terdapat perbedaan interpretasi kejadian stunting diantara kedua kelompok usia anak. Pada anak yang berusia di bawah 2-3 tahun, menggambarkan proses gagal bertumbuh atau stunting yang masih sedang berlangsung/terjadi. Sementara pada anak yang berusia lebih dari 3 tahun, menggambarkan keadaan dimana anak tersebut telah mengalami kegagalan pertumbuhan atau telah menjadi stunted (Sandra Fikawati dkk, 2017). Berbagai ahli menurut Wamani et al., dalam Sandra Fikawati dkk (2017) menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor seperti berat lahir yang rendah, stimulasi dan pengasuhan anak kurang tepat,

Upload: vandien

Post on 25-Jul-2019

229 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting Anak

1. Definisi

Balita pendek (Stunting) adalah masalah kurang gizi kronis yang

disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat

pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat

terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia

dua tahun. Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks BB/U atau

TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil

pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan

-3 SD (pendek/stunted) dan <-3 SD (sangat pendek/severely stunted) (Trihono

dkk, 2015).

Prevalensi stunting mulai meningkat pada usia 3 bulan, kemudian proses

stunting melambat pada saat anak berusia sekitar 3 tahun. Terdapat perbedaan

interpretasi kejadian stunting diantara kedua kelompok usia anak. Pada anak yang

berusia di bawah 2-3 tahun, menggambarkan proses gagal bertumbuh atau

stunting yang masih sedang berlangsung/terjadi. Sementara pada anak yang

berusia lebih dari 3 tahun, menggambarkan keadaan dimana anak tersebut telah

mengalami kegagalan pertumbuhan atau telah menjadi stunted (Sandra Fikawati

dkk, 2017). Berbagai ahli menurut Wamani et al., dalam Sandra Fikawati dkk

(2017) menyatakan bahwa stunting merupakan dampak dari berbagai faktor

seperti berat lahir yang rendah, stimulasi dan pengasuhan anak kurang tepat,

asupan nutrisi kurang, dan infeksi berulang serta berbagai faktor lingkungan

lainnya.

2. Etiologi

Pertumbuhan manusia merupakan hasil interaksi antara faktor genetik,

hormon, zat gizi, dan energi dengan faktor lingkungan. Proses perumbuhan

manusia merupakan fenomena yang kompleks yang berlangsung selama kurang

lebih 20 tahun lamanya, mulai dari kandungan sampai remaja yang merupakan

hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Pada anak-anak, penambahan

tinggi badan pada tahun pertama kehidupan merupakan yang paling cepat

dibandingkan periode waktu setelahnya. Pada usia 1 tahun, anak akan mengalami

peningkatan tinggi badan sampai 50% dari panjang badan lahir. Kemudian tinggi

badan tersebut akan meningkat 2 kali lipat pada usia 4 tahun dan 3 kali lipat pada

usia 13 tahun (Sandra Fikawati dkk, 2017).

Periode pertumbuhan paling cepat pada masa anak-anak juga merupakan

masa dimana anak berada pada tingkat kerentanan paling tinggi. Kegagalan

pertumbuhan dapat terjadi selama masa gestasi (kehamilan) dan pada 2 tahun

pertama kehidupan anak atau pada masa 1000 hari pertama kehidupan anak.

Stunting merupakan indikator akhir dari semua faktor yang berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak pada 2 tahun pertama kehidupan yang

selanjutnya akan berdampak buruk pada perkembangan fisik dan kognitif anak

saat bertambah usia nantinya (Sandra Fikawati dkk, 2017).

Pertumbuhan yang cepat pada masa anak membuat gizi yang memadai

menjadi sangat penting. Buruknya gizi selama kehamilan, masa pertumbuhan dan

masa awal kehidupan anak dapat menyebabkan anak menjadi stunting. Pada 1000

hari pertama kehidupan anak, buruknya gizi memiliki konsekuensi yang permanen

(UNICEF, 2013). Faktor sebelum kelahiran seperti gizi ibu selama kehamilan dan

faktor setelah kelahiran seperti asupan gizi anak saat masa pertumbuhan, sosial

ekonomi, ASI eksklusif, penyakit infeksi, pelayanan kesehatan dan berbagai

faktor lainnya (Sandra Fikawati dkk, 2017).

3. Epidemiologi

Diperkirakan dari 171 juta anak stunting di seluruh dunia, 167 juta anak

(98%) hidup di negara berkembang. UNICEF menyatakan bahwa pada tahun

2011, ada 1 dari 4 anak mengalami stunting. Selanjutnya, diprediksi akan ada 127

juta anak di bawah 5 tahun yang stunting pada tahun 2025 nanti jika tren sekarang

terus berlanjut. WHO memiliki target global untuk menurunkan angka stunting

balita sebesar 40% pada tahun 2025 (UNICEF, 2013).

Di Indonesia, saat ini stunting masih menjadi permasalahan kesehatan

dengan prevalensi nasional sebesar 20,1% (Pemantauan Status Gizi, 2017). Dari

10 orang anak sekitar 3-4 orang anak balita mengalami stunting (Zahraini, 2013).

Indonesia adalah salah satu dari 3 negara dengan prevalensi stunting tertinggi di

Asia Tenggara. Penurunan angka kejadian stunting di Indonesia tidak begitu

signifikan jika dibandingkan dengan Myanmar, Kamboja, dan Vietnam (Trihono

dkk, 2015).

4. Dampak

Stunting merupakan malnutrisi kronis yang terjadi di dalam rahim dan

selama dua tahun pertama kehidupan anak dapat mengakibatkan rendahnya

intelegensi dan turunnya kapasitas fisik yang pada akhirnya menyebabkan

penurunan produktivitas, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan perpanjangan

kemiskinan. Selain itu, stunting juga dapat berdampak pada sistem kekebalan

tubuh yang lemah dan kerentanan terhadap penyakit kronis seperti diabetes,

penyakit jantung, dan kanker serta gangguan reproduksi maternal di masa dewasa.

Proses stunting disebabkan oleh asupan zat gizi yang kurang dan infeksi

yang berulang yang berakibat pada terlambatnya perkembangan fungsi kognitif

dan kerusakan kognitif permanen. Pada wanita, stunting dapat berdampak pada

perkembangan dan pertumbuhan janin saat kehamilan, terhambatnya proses

melahirkan serta meningkatkan risiko underweight dan stunting pada anak yang

dilahirkannya, yang nantinya juga dapat membawa risiko kepada gangguan

metabolisme dan penyakit kronis saat anak tumbuh dewasa (Sandra Fikawati dkk,

2017).

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi stunting

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan

oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Secara

lebih detail, beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting dapat

digambarkan sebagai berikut:

a. Faktor langsung

1) Faktor ibu

Faktor ibu dapat dikarenakan nutrisi yang buruk selama prekonsepsi,

kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu seperti usia ibu

terlalu muda atau terlalu tua, pendek, infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa,

BBLR, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang dekat, dan

hipertensi (Sandra Fikawati dkk, 2017).

2) Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar mencapai hasil proses

pertumbuhan. Melalui genetik yang berada di dalam sel telur yang telah dibuahi,

dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Hal ini ditandai dengan

intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap

rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Narsikhah,

2012). Menurut Amigo et al., dalam Narsikhah (2012) salah satu atau kedua

orang tua yang pendek akibat kondisi patologi (seperti defisiensi hormon

pertumbuhan) memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek

sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh

menjadi stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi

atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal

selama anak tersebut tidak terpapar faktor resiko yang lain.

3) Asupan makanan

Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrient yang buruk,

kurangnya keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari pangan hewani,

kandungan tidak bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada complementary

foods. Praktik pemberian makanan yang tidak memadai, meliputi pemberian

makan yang jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah

sakit, konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak

mencukupi, pemberian makan yang tidak berespon. Bukti menunjukkan

keragaman diet yang lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari sumber hewani

terkait dengan perbaikan pertumbuhan linear. Analisis terbaru menunjukkan

bahwa rumah tangga yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang

diperkaya nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi dan mengurangi

risiko stunting (Sandra Fikawati dkk, 2017).

4) Pemberian ASI Eksklusif

Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi Delayed

Initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI.

Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (Delayed

initiation) akan meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai

pemberian ASI tanpa suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa

air putih, jus, ataupun susu selain ASI. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)

merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk

mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan

pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan.

Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan

terhadap asupan nutrisi penting pada bayi (Sandra Fikawati dkk, 2017).

5) Faktor infeksi

Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik seperti

diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan

(ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan

inflamasi. Penyakit infeksi akan berdampak pada gangguan masalah gizi. Infeksi

klinis menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangan, sedangkan anak

yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting

(Picauly & Toy, 2013).

b. Faktor tidak langsung

1) Faktor sosial ekonomi

Status ekonomi yang rendah dianggap memiliki dampak yang signifikan

terhadap kemungkinan anak menjadi kurus dan pendek (UNICEF, 2013). Menurut

Bishwakarma dalam Khoirun dkk (2015), status ekonomi keluarga yang rendah

akan mempengaruhi pemilihan makanan yang dikonsumsinya sehingga biasanya

menjadi kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada bahan pangan

yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein, vitamin, dan

mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi.

2) Tingkat Pendidikan

Menurut Delmi Sulastri (2012), pendidikan ibu yang rendah dapat

mempengaruhi pola asuh dan perawatan anak. Selain itu juga berpengaruh dalam

pemilihan dan cara penyajian makanan yang akan dikonsumsi oleh anaknya.

Penyediaan bahan dan menu makan yang tepat untuk balita dalam upaya

peningkatan status gizi akan dapat terwujud bila ibu mempunyai tingkat

pengetahuan gizi yang baik. Ibu dengan pendidikan rendah antara lain akan sulit

menyerap informasi gizi sehingga anak dapat berisiko mengalami stunting.

3) Pengetahuan gizi ibu

Menurut Delmi Sulastri (2012) menjelaskan bahwa pengetahuan gizi yang

rendah dapat menghambat usaha perbaikan gizi yang baik pada keluarga maupun

masyarakat sadar gizi artinya tidak hanya mengetahui gizi tetapi harus mengerti

dan mau berbuat. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang

kebutuhan akan zat-zat gizi berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan

makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi merupakan salah satu faktor yang

dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi. Ibu yang cukup

pengetahuan gizinya akan memperhatikan kebutuhan gizi anaknya agar dapat

tumbuh dan berkembang secara optimal.

4) Faktor lingkungan

Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas yang

tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan, alokasi

pangan yang tidak tepat, rendahnya edukasi pengasuh. Anak-anak yang berasal

dari rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko

mengalami stunting (Putri dan Sukandar, 2012).

6. Preventif

Preventif untuk menurunkan angka kejadian stunting seharusnya dimulai

sebelum kelahiran melalui perinatal care dan gizi ibu, kemudian preventif

tersebut dilanjutkan sampai anak berusia 2 tahun. Periode kritis dalam mencegah

stunting dimulai sejak janin sampai anak berusia 2 tahun yang biasa disebut

dengan periode 1.000 hari pertama kehidupan. Intervensi berbasis evidence

diperlukan untuk menurunkan angka kejadian stunting di Indonesia. Gizi maternal

perlu diperhatikan melalui monitoring status gizi ibu selama kehamilan melalui

ANC serta pemantauan dan perbaikan gizi anak setelah kelahiran, juga diperlukan

perhatian khusus terhadap gizi ibu menyusui. Pencegahan kurang gizi pada ibu

dan anak merupakan investasi jangka panjang yang dapat memberi dampak baik

pada generasi sekarang dan generasi selanjutnya (Sandra Fikawati dkk, 2017).

Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan global

yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN) melalui perancangan dua

kerangka besar intervensi stunting. Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan

oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dsn

Intervensi Gizi Sensitif (TNP2K, 2017).

a. Kerangka intervensi gizi spesifik

Kerangka ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam

1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan

stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada

sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat

dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk

melaksanakan intervensi gizi spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi

utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita, sebagai

berikut:

1) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu hamil

Intervensi ini meliputi kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT)

pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi

kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium,

menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari

Malaria.

2) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan

Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong

inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum

serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.

3) Intervensi gizi spesifik dengan sasaran ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan

Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian

ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6

bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing,

menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam

makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi

lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare (TNP2K, 2017).

b. Kerangka intervensi gizi sensitif

Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan

diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi stunting. Sasaran

dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu

hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK (TNP2K, 2017). Ada

12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui intervensi

gizi spesifik sebagai berikut:

1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

2) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

3) Melakukan fortifikasi bahan pangan.

4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).

5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

6) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

8) Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

9) Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.

11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

B. Penilaian Status Gizi Anak

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan

keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik bersifat

objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan standar yang

telah tersedia (Arisman, 2010).

Menurut Supariasa (2002), penilaian status gizi dibagi menjadi penilaian

status gizi secara langsung (antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik), dan

penilaian status gizi secara tidak langsung (survey konsumsi makanan, statistik

vital, dan faktor ekologi).

Penilaian status gizi balita yang paling sering dilakukan adalah dengan

cara penilaian antropometri. Secara umum antropometri berhubungan dengan

berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat

ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Beberapa indeks antropometri yang

sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut

umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan dengan

standar deviasi unit z (Z-Score) (Trihono dkk, 2015).

Stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat

badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan

standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik balita akan lebih

pendek dibandingkan balita seumurnya. Penghitungan ini menggunakan standar

Z-Score dari WHO-NCHS. Normal, pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi

yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi

Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek)

dan severely stunted (sangat pendek) (Trihono dkk, 2015).

Tabel 1. Penilaian Status Gizi Anak berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)

BB/U Anak Umur 0-60

Bulan

TB/U

Anak Umur 0-60

Bulan

BB/TB

Anak Umur 0-60

Bulan

IMT/U

Anak Umur 0-60

Bulan

IMT/U

Anak Umur 5-18

Tahun

Gizi Buruk

Gizi Kurang

Gizi Baik

Gizi Lebih

Sangat Pendek

Pendek

Normal

Tinggi

Sangat Kurus

Kurus

Normal

Gemuk

Sangat Kurus

Kurus

Normal

Gemuk

Sangat Kurus

Kurus

Normal

Gemuk

Obesitas

<-3 SD

-3 SD s/d <-2 SD

-2 SD s/d 2 SD

>2 SD

<-3 SD

-3 SD s/d <-2 SD

-2 SD s/d 2 SD

>2 SD

<-3 SD

-3 SD s/d <-2 SD

-2 SD s/d 2 SD

>2 SD

<-3 SD

-3 SD s/d <-2 SD

-2 SD s/d 2 SD

>2 SD

<-3 SD

-3 SD s/d <-2 SD

-2 SD s/d 2 SD

>1 SD s/d 2 SD

>2 SD

Keterangan :

BB = Berat Badan U = Umur IMT = Indeks Massa Tubuh

TB = Tinggi Badan SD = Standar Deviasi

(Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2011)

a. Penilaian Stunting secara Antropometri

Menentukan stunting pada anak dilakukan dengan cara pengukuran.

Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak usia di atas 2 tahun.

Antropometri merupakan ukuran dari tubuh, sedangkan antropometri gizi adalah

jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur

dan tingkatan gizi yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein

dan energi. Antropometri dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan

dan berat badan (Gibson, 2005).

Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan

rekomendasi NCHS-WHO. Standarisasi pengukuran ini membandingkan

pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau Z-Score untuk usia dan

jenis kelamin yang sama pada anak-anak. Z-Score adalah unit standar deviasi

untuk mengetahui perbedaan antara nilai individu dan nilai tengah (median)

populasi rujukan untuk usia/tinggi yang sama, dibagi dengan standar deviasi dari

nilai populasi rujukan. Beberapa keuntungan penggunaan Z-Score antara lain

untuk mengidentifikasi nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan

perbedaan usia, juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara

statistik dari pengukuran antropometri (Trihono dkk, 2015).

1) Umur

Umur adalah suatu angka yang mewakili lamanya kehidupan seseorang.

Usia dihitung saat pengumpulan data, berdasarkan tanggal kelahiran. Apabila

kurang hingga 14 hari maka dibulatkan ke bawah, sebaliknya jika lebih 15 hari

maka dibulatkan ke atas. Informasi terkait umur didapatkan melalui pengisian

kuesioner (Supariasa, 2002).

2) Tinggi badan

Tinggi atau panjang badan adalah indikator umum dalam mengukur tubuh

dan panjang tulang. Alat yang biasa dipakai disebut stadiometer. Ada dua macam

yaitu: ‘stadiometer portabel’ yang memiliki kisaran pengukur 840-2060 mm dan

‘harpenden stadiometer digital’ yang memiliki kisaran pengukur 600-2100 mm.

Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas kaki

dan aksesoris kepala, kedua tangan tergantung rileks di samping badan, tumit dan

pantat menempel di dinding, pandangan mata mengarah ke depan sehingga

membentuk posisi kepala Frankfurt Plane (garis imaginasi dari bagian inferior

orbita horizontal terhadap meatus acusticus eksterna bagian dalam). Bagian alat

yang dapat digeser diturunkan hingga menyentuh kepala (bagian verteks).

Sentuhan diperkuat jika anak yang diperiksa berambut tebal. Pasien inspirasi

maksimum pada saat diukur untuk meluruskan tulang belakang.

Pada bayi yang diukur bukan tinggi melainkan panjang badan. Biasanya

panjang badan diukur jika anak belum mencapai ukuran linier 85 cm atau berusia

kurang dari 2 tahun. Ukuran panjang badan lebih besar 0,5-1,5 cm daripada tinggi.

Oleh sebab itu, bila anak diatas 2 tahun diukur dalam keadaan berbaring maka

hasilnya dikurangi 1 cm sebelum diplot pada grafik pertumbuhan (Supariasa,

2002).

C. Gizi Balita

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang

manusia. Seribu hari pertama kehidupan sangat menentukan kesehatan anak di

usia selanjutnya. Memaksimalkan potensi tumbuh kembang sejak masa perinatal

dan masa bayi perlu diteruskan pada fase selanjutnya. Setelah berusia satu tahun

anak masih berada dalam fase pertumbuhan cepat sehingga asupan gizi yang

cukup sangat penting untuk menunjang periode tumbuh kembangnya sehingga

biasanya fase ini disebut golden period atau periode emas pertumbuhan (Sandra

Fikawati dkk, 2017).

Gizi merupakan salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan

untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Memenuhi kebutuhan gizi anak dan

memberikan stimulus merupakan hal yang perlu diprioritaskan oleh orang tua,

karena fase ini bersifat irreversible atau tidak dapat kembali ke fase sebelumnya.

Mencukupi kebutuhan gizi anak bisa terlaksana dengan baik apabila ibu

mengetahui kebutuhan gizi anak, cara pemenuhan asupan gizi anak, upaya

perbaikan asupan gizi serta berperan aktif dalam mendukung pola kebiasaan

makan anak. Pengukuran status gizi dan penggunaan Kartu Menuju Sehat (KMS)

juga menjadi penting untuk mengetahui capaian pertumbuhan anak (Sandra

Fikawati dkk, 2017).

1. Kebutuhan gizi anak balita

Kebutuhan gizi anak balita merupakan jumlah yang diperkirakan cukup

untuk memelihara kesehatan anak balita. Ketika pertumbuhan dan nafsu anak

mulai menurun maka diperlukan pemilihan jenis makanan yang tepat dengan

padat gizi seimbang bagi anak. Pada bayi umur 0-6 bulan hanya diberikan ASI.

ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan

lainnya dari bayi lahir sampai bayi berumur enam bulan dan dilanjutkan sampai

bayi berumur dua tahun (WHO, 2009). ASI merupakan makanan terbaik bayi dan

diberikan sesering mungkin tanpa terjadwal yaitu setiap 2 jam sekali untuk

memenuhi kebutuhan gizinya.

Rekomendasi jumlah energi dan zat gizi yang dibutuhkan dilihat dari

standar konsumsi gizi anak yang tumbuh dengan maksimal. Angka kecukupan

gizi merupakan petunjuk bagi kelompok masyarakat secara umum, namun bukan

berarti dapat mengetahui kebutuhan anak secara individu, akan diuraikan sebagai

berikut (Sandra Fikawati dkk, 2017).

a. Energi

Energi yang dibutuhkan anak usia 1-3 tahun adalah 1.125 Kal dan untuk

anak usia 4-6 tahun membutuhkan energi sebesar 1600 Kal. Perbedaan aktivitas

fisik turut berpengaruh pada kebutuhan gizi anak. Jumlah energi yang dibutuhkan

anak secara individu diketahui dengan memerhatikan resting energy expenditure

(REE), kecepatan pertumbuhan, dan aktivitas.

b. Protein

Kebutuhan protein anak berguna untuk pemeliharaan jaringan, perubahan

komposisi tubuh, dan untuk sintesis jaringan baru. Kebutuhan protein untuk anak

usia 1-3 tahun adalah 26 gram dan kebutuhannya meningkat menjadi 35 gram

pada anak usia 4-6 tahun. Walaupun tingkat pertumbuhan menurun pada masa ini,

namun kebutuhan protein meningkat karena dibutuhkan untuk pemeliharaan

jaringan secara bertahap.

c. Vitamin dan Mineral

Vitamin dan mineral sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan

perkembangan normal. Asupan vitamin dan mineral yang tidak cukup dapat

terlihat dari pertumbuhan yang lambat, ketidakcukupan mineralisasi tulang,

ketidakcukupan simpanan zat besi, dan anemia. Untuk memenuhi kebutuhan

vitamin dan mineral, harus diupayakan pemberian jenis buah dan sayur yang

bervariasi. Kalsium sangat penting untuk pertumbuhan tulang dan mineralisasi.

Selain kalsium, fosfor juga dibutuhkan tubuh untuk mineralisasi tulang.

Kebutuhan kalsium untuk anak usia 1-3 tahun sebesar 650 mg dan untuk anak

usia 4-6 tahun sebesar 1000 mg. Kebutuhan fosfor untuk anak usia 1-6 tahun

sebesar 500 mg. Susu dan produk susu lainnya merupakan sumber utama kalsium

dan fosfor.

Mineral seng berfungsi untuk sintesis protein dan pertumbuhan.

Kekurangan seng memiliki dampak serius, seperti gangguan pertumbuhan, diare,

serta gangguan penyembuhan luka dan imunitas. Kebutuhan mineral seng untuk

anak usia 1-3 tahun adalah 4 mg dan usia 4-6 tahun adalah 5 mg. Daging merah

merupakan sumber seng yang baik.

Mineral lainnya yang penting pada usia ini adalah Fluor yang berfungsi

untuk menurunkan insiden karies gigi. Kebutuhan fluor harian untuk anak usia 1-3

tahun sebesar 0,6 mg dan untuk usia 4-6 tahun sebesar 0,9 mg.

2. Prinsip gizi anak balita

Menurut Sandra Fikawati dkk (2017), pada usia 6 bulan anak perlu

disapih, yaitu proses perubahan makan bayi dari ASI atau susu formula menjadi

makanan atau cairan lain. Menurut UNICEF (2013), bayi mulai usia 6 bulan

sudah mulai dapat diperkenalkan dengan makanan padat karena sistem

pencernaan bayi sudah siap untuk mencerna makanan padat. Bayi yang disapih

sebelum usia 6 bulan dan sistem pencernaannya belum siap sehingga dapat

menyebabkan peningkatan risiko infeksi dan alergi. Namun, jika sistem

pencernaan bayi sudah siap, tetapi bayi belum genap berusia 6 bulan (usia bayi

sudah mendekati 6 bulan), memperkenalkan bayi dengan makanan padat sedikit

demi sedikit tidak masalah jika ingin dilakukan. Namun, yang harus diingat

sebaiknya tidak memperkenalkan makanan padat pada bayi di bawah usia 4 bulan.

Selain itu, meskipun bayi sudah mulai diberi makan pada usia 6 bulan, ASI masih

tetap menjadi salah satu sumber makanan yang dikonsumsi anak hingga usia 2

tahun.

Makanan pendamping Air Susu Ibu adalah makanan yang diberikan

kepada bayi disamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya. MP-ASI

diberikan mulai umur 6-24 bulan, dan merupakan makanan peralihan dari ASI ke

makanan keluarga. Pemberian makanan tambahan pada bayi juga bertujuan untuk

melengkapi ASI dan diperlukan setelah kebutuhan energi dan zat-zat gizi tidak

mampu dipenuhi dengan ASI saja. Pemberian makanan tambahan harus

bervariasi, dari bentuk bubur cair kebentuk bubur kental, sari buah, buah segar,

makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat.

Menyapih anak merupakan tantangan tersendiri bagi ibu karena harus

menghentikan kebiasaan menyusui anak. Saat anak disapih, ibu harus

memerhatikan sumber makanan pengganti ASI bagi anak. Makanan yang dapat

diberikan pada masa penyapihan harus mengandung:

a. Sumber energi

Sumber energi harus terkandung dalam makanan sapihan. Hal ini terkait

dengan kebutuhan energi anak yang semakin meningkat seiring pertumbuhan

anak. Sumber energi dapat diperoleh dari jenis makanan pokok seperti beras,

gandum, umbi-umbian, jagung, kentang, singkong, dan tepung (Santoso dan

Ranti, 2009).

b. Sumber protein hewani dan nabati

Protein hewani sangat dibutuhkan untuk menyokong pertumbuhan dan

perkembangan anak karena zat gizi yang terkandung dalam protein hewani

sebagian besar adalah zat gizi yang mendukung pertumbuhan otak anak dan

berperan dalam pertumbuhan. Sumber nabati sangat penting dalam pemenuhan

kebutuhan serat. Sumber protein dapat diperoleh dari jenis makanan seperti

daging, tahu, tempe, oncom, kacang-kacangan, ikan, telur, udang, kerang (Santoso

dan Ranti, 2009).

c. Sumber vitamin dan mineral

Sumber vitamin dan mineral diperlukan untuk mendukung pertumbuhan

dan perkembangan anak, mendorong sistem imun, dan juga membantu sel dan

organ untuk melakukan fungsinya. Sumber vitamin dan mineral dapat diperoleh

dari sayur-sayuran dan buah-buahan yang beraneka ragam (Santoso dan Ranti,

2009).

d. Minyak atau lemak

Lemak mempunyai peran penting dalam pembentukan membran sel saraf

otak, terutama asam lemak omega 3 dan omega 6. Asam lemak omega 3 biasanya

terdapat pada lemak ikan laut, sedangkan asam lemak omega 6 terdapat pada

lemak biji-bijian, seperti kacang tanah, kenari, kedelai, biji bunga matahari, dan

wijen (Santoso dan Ranti, 2009).

3. Pola pemberian makanan anak balita

Pola pemberian makanan adalah berbagai informasi tentang kebutuhan,

pemilihan bahan makanan, dan status gizi yang memberikan gambaran mengenai

macam dan jumah makanan yang dimakan setiap hari oleh balita dan merupakan

ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Sulistyoningsih, 2011).

Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5

tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun

makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu,

sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat menentukan sendiri makanan apa

yanga akan dimakan dan dapat menolak makanan yang diberikan. Ibu perlu

bereksperimen dan memerhatikan beberapa hal saat memberi makanan kepada

anak. Untuk meningkatkan asupan anak balita dapat dilakukan dengan

membentuk kebiasaan makan anak yang baik melalui hal berikut (Sandra Fikawati

dkk, 2017).

a. Menyiapkan makanan anak

Memberikan makan kepada anak balita memerlukan persiapan dan perlu

memerhatikan beberapa hal: makanan untuk anak sebaiknya mempunyai

penampilan yang menarik, aroma menggoda, dan rasa yang enak. Balita sering

bereksperimen dan tertarik untuk mencoba makanan baru. Orang tua dapat

memanfaatkan ketertarikan ini dengan memperluas variasi berbagai jenis

makanan untuk anak. Makanan harus dipersiapkan dengan matang, dimasak

dengan benar, dan disajikan dengan penampilan yang menarik. Makanan dengan

penampilan yang menarik sebagai kunci yang memiliki daya tarik visual yang

sangat baik agar anak mau mencoba makanan baru. Persiapan yang perlu

dilakukan sebelum memberikan makanan pada anak sebagai berikut:

1) Sayur

Tekstur dan warna sayur kadang tidak menarik bagi anak, sehingga harus

dipilih jenis yang mudah dikonsumsi. Anak perlu mengetahui fungsi dari jenis

makanan yang dikonsumsinya, ibu perlu melakukan pendekatan untuk

menjelaskan fungsi sayur dengan bahasa anak-anak.

2) Buah

Buah pada umumnya lebih disukai dibandingkan sayur, karena rasanya

yang lebih manis. Sebaiknya buah yang diberikan adalah yang mudah dikunyah,

mengingat gigi anak yang masih terus bertumbuh. Karena buah diberikan dalam

keadaan mentah, memerhatikan higienitas buah sangat penting dengan mencuci

buah dengan air mengalir sebelum diberikan pada anak.

3) Daging

Pemberian daging pada anak sebaiknya memerhatikan tekstur dan

kemudahannya untuk dikunyah. Ikan cenderung lebih mudah untuk dikunyah.

Sedangkan daging, diperlukan waktu memasak yang lama agar membuat daging

cukup lembut untuk dimakan anak.

4) Susu

Susu yang diberikan tidak selalu harus dalam bentuk minuman. Ibu dapat

bereksperimen mencoba resep lain yang menggunakan susu, seperti menu sup

krim, ditambahkan dalam sayur atau pudding. Makanan yang mengandung susu

dan berbagai olahan susu lainnya dapat menjadi alternatif, seperti keju, yoghurt,

es krim atau coklat.

b. Makanan sehari-hari

Pemberian makanan utama sebaiknya diberikan saat anak lapar dan dalam

kuantitas serta kualitas baik untuk menjamin kecukupan gizi juga pola makan

optimal. Pada pagi hari setelah tidur malam yang cukup lama, pilihlah makanan

yang merangsang selera makan saat sarapan. Selain memberikan makanan utama,

snack perlu diberikan sebanyak dua kali yaitu diantara sarapan dan makan siang

juga diantara makan siang dan makan malam. Snack yang diberikan untuk anak

tetap harus bergizi dan dalam porsi yang cukup kecil agar masih meninggalkan

rasa lapar untuk makan siang atau makan malam. Snack yang diberikan tidak

perlu banyak, seperti segelas jus buah dan 1 slice (iris tipis) keju atau biskuit. Hal

yang penting adalah memastikan bahwa zat gizi yang diperlukan anak terpenuhi

dengan baik.

c. Makanan selingan (snacks)

Anak balita biasanya memerlukan snack untuk memenuhi rasa lapar

sebelum waktu makan berikutnya. Snack harus merupakan makanan yang dapat

menyumbang kebutuhan gizi. Pemberian snack sebaiknya sekitar 2 jam sebelum

makanan utama. Ketika snack diberikan hanya satu jam atau kurang sebelum

makan makanan utama, maka dapat memiliki efek merusak nafsu makan pada

makanan utama. Snack dapat diberikan berupa makanan bergizi yang bervariasi,

seperti biskuit, jus, dan kacang-kacangan.

d. Persiapan fisik

Makan bersama keluarga dapat menjadi sarana untuk anak berkembang.

Diperlukan beberapa persiapan yang sebaiknya dilakukan untuk membentuk

kebiasaan makan anak. Meja dan kursi harus dirancang agar anak merasa nyaman

saat makan bersama keluarga. Anak juga perlu memiliki peralatan makan sendiri

(piring, sendok, garpu, dan gelas) yang telah disesuaikan dengan usia, sehingga

memudahkan anak untuk belajar makan sendiri.

e. Etiket makan

Etiket saat makan menunjukkan bagaimana interaksi manusia dapat

memengaruhi asupan gizinya. Menjadikan makan sebagai hal yang

menyenangkan akan membuat suasana makan menjadi waktu yang ditunggu oleh

anak. Perbaikan dalam perilaku di meja makan dapat membuat selera dan

kemampuan anak untuk makan sendiri meningkat karena mereka menjadi nyaman

dengan kegiatan makan bersama keluarga. Orang tua perlu memberi contoh cara

makan dan bagaimana cara menikmati berbagai makanan dalam suatu kesatuan

keluarga yang harus dimulai sedini mungkin.

f. Pengaruh lingkungan

Lingkungan di sekitar anak dapat membentuk kebiasaan makan anak.

Sangat penting menegakkan kebiasaan makan sejak usia dini karena akan

berpengaruh pada kehidupan selanjutnya. Orang tua sangat berperan dalam

membentuk kebiasaan makan anak. Orang tua harus memahami gizi, sehingga

dapat menyediakan makanan yang baik. Anak akan memerhatikan dan mengikuti

kebiasaan yang dilihatnya. Orang tua memengaruhi pola makan anak dengan

sikap mereka sendiri terhadap makanan. Orang tua juga perlu untuk mulai

mengedukasi anak tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi serta

manfaat mengonsumsi makanan sehat bergizi seimbang kepada anak.

4. Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan

Angka kecukupan gizi (AKG) merupakan suatu kecukupan rata-rata zat

gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran

tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal

(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Pedoman gizi seimbang pada dasarnya merupakan rangkaian upaya untuk

menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi yang masuk dengan

memonitor berat badan secara teratur. Prinsipnya terdiri dari 4 pilar yang biasa

disebut tumpeng gizi seimbang, yaitu mengonsumsi makanan beragam,

membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik, dan

mempertahankan dan memantau berat badan normal. Pada dasarnya merupakan

rangkaian upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dan zat gizi

yang masuk dengan memonitor berat badan secara teratur (Kementerian

Kesehatan RI, 2014).

Tabel 2. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

(per orang per hari)

Kelompok Umur 1-3 tahun 4-6 tahun

BB (kg)

TB (cm)

Energi (kkal)

Protein (g)

Lemak (g)

Ω-6

Ω-3

Karbohidrat (g)

Serat (g)

Air (mL)

13

91

1125

26

44

7,0

0,7

155

16

1200

19

112

1600

35

62

10,0

0,9

220

22

1500

(Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2014)

Konsumsi keanekaragam pangan merupakan salah satu anjuran penting

dalam mewujudkan gizi seimbang. Kelima kelompok pangan adalah makanan

pokok, lauk-pauk, sayuran, buah-buahan dan minuman. Mengonsumsi lebih dari

satu jenis untuk setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk, sayuran

dan buah-buahan) setiap kali makan akan lebih baik (Kementerian Kesehatan RI,

2014).

Tabel 3. Anjuran Porsi Menurut Kecukupan Energi untuk Kelompok Umur

1-3 tahun dan 4-6 tahun

Bahan Makanan Anak Usia 1-3 tahun 1125 kkal

Anak Usia 4-6 tahun 1600 kkal

Nasi

Sayuran

Buah

Tempe

Daging

ASI

Susu

Minyak

Gula

3 porsi

1,5 porsi

3 porsi

1 porsi

1 porsi

Dilanjutkan hingga 2 tahun

1 porsi

3 porsi

2 porsi

4 porsi

2 porsi

3 porsi

2 porsi

2 porsi

1 porsi

4 porsi

2 porsi

Keterangan :

1. Nasi 1 porsi = ¾ gelas = 100 gr = 175 kkal

2. Sayuran 1 porsi = 1 gelas = 100 gr = 25 kkal

3. Buah 1 porsi = 1 buah pisang ambon = 50 gr = 50 kkal

4. Tempe 1 porsi = 2 potong sedang = 50 gr = 80 kkal

5. Daging 1 porsi = 1 potong sedang = 35 gr = 50 kkal

6. Ikan segar 1 porsi = 1/3 ekor = 45 gr = 50 kkal

7. Susu sapi cair 1 porsi = 1 gelas = 200 gr = 50 kkal

8. Susu rendah lemak 1 porsi = 4 sendok makan = 20 gr = 75 kkal

9. Minyak 1 porsi = 1 sendok teh = 5 gr = 50 kkal

10. Gula = 1 sendok makan = 20 gr = 50 kkal

(Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2014)

D. Pengetahuan

1. Pengertian pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia, yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan

raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour) (Notoadmodjo, 2010).

2. Tingkatan pengetahuan

Menurut Notoadmojo (2010) menyatakan bahwa pengetahuan yang

tercangkup dalam domain kognitif yang dijabarkan dari tingkatan yang paling

rendah, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, dimana yang dimaksud dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) suatu spesifik dari seluruh bahan yang telah dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu

tentang apa yang dipelajari yaitu dengan menyebutkan, menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tahu merupakan

tingkatan pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comperhention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut

secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat dijelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek

yang telah dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan yang menyimpulkan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi ini dapat

diartikan sebagai aplikasi, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya dalam

situasi atau konteks yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan menjabarkan materi atau suatu objek ke

dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan

masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat meringkaskan,

dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan

yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi atau objek. Penelitian-penelitian tersebut didasarkan pada

suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada. Misalnya, dapat membandingan antara anak yang cukup gizi dengan

anak yang kurang gizi.

3. Pengukuran pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan melakukan wawancara

atau menyebarkan angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur

dari subjek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan yang ingin diukur

atau diketahui kemudian disesuaikan dengan tingkat=tingkatannya.

Adapun pertanyaan yang dapat digunakan untuk pengukuran pengetahuan

secara umum dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu: pertanyaan subjektif

misalnya dalam bentuk essay dan pertanyaan objektif misalnya dalam bentuk

pilihan ganda, benar salah, dan pertanyaan menjodohkan (Wawan dan Dewi,

2011).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoadmojo (2010) pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa

faktor-faktor antara lain :

1) Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti terjadi proses

pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik

dan lebih matang pada diri individu, keluarga atau masyarakat. Beberapa hasil

penelitian mengenai pengaruh pendidikan terhadap perkembangan pribadi, bahwa

pada umumnya pendidikan itu mempertinggi taraf intelegensi individu.

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain

terhadap sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Semakin tinggi pendidikan

seseorang maka semakin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan

menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru

diperkenalkan.

2) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam

berinteraksi dengan lingkungannya. Faktor eksternal yang mempengaruhi

pengetahuan antara lain : meliputi lingkungan, sosial, ekonomi, kebudayaan dan

informasi. Lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat

dan perilaku individu. Sosial ekonomi, penghasilan sering dilihat untuk memiliki

hubungan antar tingkat penghasilan dengan pemanfaatan.

Ada kecenderungan pengalaman yang kurang baik akan berusaha untuk

dilupakan oleh seseorang. Namun, jika pengalaman terhadap objek tersebut

menyenangkan, maka secara psikologis akan timbul kesan yang sangat mendalam

dan membekas dalam emosi kejiwaannya, dan akhirnya dapat pula membentuk

sikap positif dalam kehidupannya, lingkungan pekerjaan dapat menjadikan

seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan, baik secara langsung

maupun secara tidak langsung.

3) Umur

Dengan bertambahnya usia seseorang, maka akan terjadi perubahan pada

aspek fisik dan psikologi (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar dapat

dikategorikan menjadi 4, yaitu : perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya

bentuk lama, dan timbulnya bentuk baru. Hal ini terjadi akibat pematangan fungsi

organ. Pada aspek psikologis atau mental taraf berfikir seseorang semakin matang

dan dewasa.

4) Lingkungan

Lingkungan memberikan pengaruh kepada seseorang sehingga dapat

mempelajari hal-hal baik dan juga hal-hal yang buruk tergantung pada sifat

kelompoknya. Mariner dalam Wawan dan Dewi (2010) lingkungan merupakan

seluruh kondisi yang ada di sekitar dan dapat memberi pengaruh terhadap

perkembangan perilaku seseorang.

5) Sosial budaya

Sosial budaya memiliki pengaruh pada pengetahuan seseorang, suatu

kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan ini

seseorang mengalami proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan dari adat

istiadat sosial budaya.

E. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan kejadian stunting

anak

Masa balita adalah masa periode perkembangan fisik dan mental yang

pesat. Pada masa ini otak balita telah siap menghadapi berbagai stimulasi seperti

belajar, berjalan dan berbicara lebih lancar. Dalam tumbuh kembangnya, balita

memerlukan asupan gizi yang seimbang untuk menunjang tahap-tahap

kehidupannya.

Pengetahuan ibu tentang gizi balita sangat penting bagi proses

pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Makanan untuk balita hendaknya

beragam untuk memenuhi kebutuhan tubuh balita akan keenam zat gizi meliputi

karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Ibu perlu bereksperimen dan

memerhatikan beberapa hal saat memberi makanan pada anak. Karena anak balita

mulai dapat menentukan sendiri makanan apa yang akan dimakan dan dapat

menolak makanan yang diberikan. Oleh karena itu, ibu harus mampu membuat

variasi makanan tanpa mengurangi kandungan gizi pada makanan tersebut agar

anak akan terus tertarik mencoba makanan beragam dengan gizi tinggi sehingga

dapat menunjang tumbuh kembang anak sampai dewasa nanti.

Anak yang mengalami kekurangan gizi pada masa tumbuh kembangnya

maka anak akan mengalami masalah gizi terutama kejadian stunting pada anak.

Stunting dapat menyebabkan dampak yang buruk bagi anak seperti terlambatnya

perkembangan fungsi kognitif sehingga kerusakan kognitif permanen, sistem

kekebalan tubuh melemah, rentan terhadap penyakit infeksi. Stunting dapat

dicegah sejak dini berawal dari kesadaran keluarga terutama ibu balita. Ibu

memiliki peran besar terhadap kemajuan tumbuh kembang anak balitanya dari

stimulasi dan pengasuhan anak yang tepat, dan mengatur pola asupan gizi

seimbang untuk anak balitanya.

Pengetahuan orang tua tentang gizi membantu memperbaiki status gizi

pada anak untuk mencapai kematangan pertumbuhan. Pada anak dengan stunting

mudah timbul masalah kesehatan baik fisik maupun psikis. Oleh karena itu, tidak

semua anak dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, ada anak

yang mengalami hambatan dan kelainan (Gibney dkk, 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Wellem dkk (2014) tentang hubungan

pengetahuan orang tua tentang gizi dengan stunting pada anak usia 4-5 tahun

menunjukkan bahwa kejadian stunting anak dipengaruhi oleh pengetahuan orang

tua terhadap gizi anak balitanya. Pola asupan gizi anak oleh orang tua akan

menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak hingga dewasa. Ini sesuai

dengan penelitian Narsikhah dan Margawati (2012) bahwa ada hubungan yang

bermakna antara pengetahuan orang tua dengan kejadian stunting pada anak.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Khoirun dan

Nadhiroh (2015) dimana diketahui bahwa ibu balita stunting sejumlah 21

responden (61,8%) memiliki pengetahuan gizi yang lebih rendah daripada ibu

balita normal sejumlah 10 responden (29,4%). Hasil analisis menunjukkan bahwa

pengetahuan gizi ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian

stunting pada balita.