bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
9
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kecemasan
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya
anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti
kaku dan ango, anci yang berarti mencekik. Konsep
kecemasan mempunyai peranan mendasar, karena
terdapat dalam teori-teori tentang stres dan
penyesuaian diri.
Kecemasan merupakan kondisi emosional yang
tidak menyenangkan, dengan ditandai oleh perasaan
subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran
dan juga ditandai dengan aktifnya sistem syaraf pusat.
Menurut Burns (2008) “kecemasan adalah
kekhawatiran seseorang dalam menghadapi suatu
permasalahan dengan rasa gugup, panik, tegang yang
dapat memunculkan stres dan berpengaruh terhadap
kondisi tubuh”. Kecemasan adalah fungsi ego untuk
memperingatkan individu tentang kemungkinan
datangnya suatu bahaya dapat disiapkan reaksi adaptif
yang sesuai. Kecemasan merupakan hasil dari proses
psikologi dan proses fisiologis dalam tubuh manusia
yang menunjukkan aksi secara naluri bahwa individu
yang bersangkutan mungkin kehilangan kendali dalam
situasi tersebut.
Menurut Burns (2008) “bentuk-bentuk
kecemasan dapat dilihat: Chronic Worrying, Fears and
Phobias, Performance Anxiety, Public Speaking Anxiety,
10
Shyness, Panic Attack, Agoraphobia, Obsessions and
Compulsions, Post-Traumatic Stress Disorder, Concerns
About Your Appearance (Body Dysmorphic Disorder),
Worries About Your Health (Hypocondriasis)“.
Dari bentuk-bentuk kecemasan yang Burns
mempunyai pengertian atau makna yang berbeda-beda,
sehingga dapat diukur tingkat kecemasannya.
Karena SMA Negeri 1 Kaliwungu akan
mengadakan ulangan umum semester 2 yang akan
berlangsung pada bulan Maret 2015. Banyak siswa
belum mempersiapkan secara mental yang matang,
sehingga mereka mempunyai perasaan cemas, takut
dan stres. Menurut Burns (2008) “siswa mengalami
kecemasan lebih besar saat ulangan semester dan ujian
akhir/ulangan umum semester, karena salah satu
penentu dalam kelulusan dan mereka cenderung
mengantisipasi dengan cara belajar agar saat
melaksanakan ujian akhir hasilnya sesuai yang
diharapkan”. Mempersiapkan diri sebelum ujian akhir
akan lebih baik jika didahului dengan belajar untuk
menambah pengetahuan dan mengurangi kecemasan
dari pada siswa yang tidak mempersiapkannya.
Kecemasan yang mereka rasakan sangat menentukan
pada masa depan sesuai dengan usaha yang mereka
kerjakan saat ulangan umum semester. Individu yang
mengalami tingkat kecemasan tinggi saat ulangan
umum semester akan lebih kecil kemungkinannya
untuk mengantisipasi atau melakukan sesuai yang
diharapkan mendapatkan nilai baik terlebih di atas
KKM dan bila siswa sudah melewati masa ulangan
11
11
umum semester, maka tingkat kecemasannya siswa
akan berkurang/menurun. Dalam kata lain, siswa
mengalami tingkat kecemasan tinggi pada saat
menghadapi ulangan semester dan cenderung percaya
pada saat usaha untuk mengerjakannya akurat yang
mencerminkan tingkat persiapan/pengetahuan.
Sesuai dengan bentuk-bentuk kecemasan Burns,
siswa SMA Negeri 1 Kaliwungu mempunyai
kecenderungan kecemasan Panic Attack. “Panic Attack
bentuk kecemasan yang munculnya secara tiba-tiba
dan berkesan menakutkan. Akibatnya mendadak
kepala menjadi pusing, merasa hatinya kejang, jantung
berdebar dan perut merasa mulas-mulas” Burn (2008).
Siswa dalam kondisi cemas yang lebih, cenderung
mempunyai jiwa yang kritis pada diri sendiri (sensitif)
dan lebih mengantisipasi kemungkinan untuk
pengalaman yang pernah dialami dengan bercampur
khawatir tentang ketidakberhasilan dalam
ketercapaiannya, sehingga siswa tersebut tekun belajar
dalam menghadapi ulangan umum semester bila
dibandingkan dengan individu yang rendah dalam
kecemasan. Siswa yang menghadapi ulangan umum
cenderung mempunyai intensitas belajar tinggi, karena
mereka mempunyai tujuan agar saat ulangan umum
nilai dapat tercapai. Sedangkan siswa yang tidak dalam
menghadapi ulangan umum kecenderungan mereka
akan lebih santai (rileks) dan tidak mempunyai
perasaan cemas.
12
Siswa yang terindentifikasi mengalami
kecemasan saat menghadapi ulangan umum semester
memperhatikan perilaku yang mencirikan berada
dalam situasi yang cemas, dapat dikaji dari sudut
psikologis dan fisiologis saat siswa dalam situasi
ulangan. Tingkatan kecemasan individu tergantung
pada situasi, beratnya impuls yang datang dan
kemampuan untuk mengendalikan diri dalam
menghadapi persoalan. Proses terbentuknya
kecemasan dalam menghadapi ulangan umum
semester dapat digambarkan dengan urutan: adanya
stimulus berupa bayangan ancaman atau bahaya
potesial yang muncul saat menghadapi ulangan
kemudian memicu kecemasan dan menyebabkan siswa
terseret pikiran yang mencemaskan.
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi
Kecemasan
Dalam kecemasan ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Menurut Burns (1988) “faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan adalah
individu yang sedang mempunyai permasalahan
(keadaan), pengaruh karena pikiran yang negatif, dan
pengaruh gejala fisik”. Faktor-faktor tersebut dapat
dijelaskan sesuai dengan teori Burns (1998), sebagai
berikut:
13
13
2.2.1 Cemas Karena Permasalahan
“Kecemasan ini adalah kecemasan yang
muncul sebagai akibat siswa merasakan perasaan
yang berlebihan seperti: takut, khawatir dan
gelisah” Burns (1998). Kecemasan menghadapi
ulangan umum semester yang diwujudkan dalam
bentuk perasaan khawatir, gelisah dan takut.
Kondisi ini sifatnya hanya sementara saja, karena
munculnya bila ada permasalahan saja. Keadaan
ini di alami oleh siswa kelas XII SMA Negeri 1
Kaliwungu yang menghadapi ulangan semester
muncul karena mereka sedang mengalami
permasalahan sesuai kondisi. Bila mereka telah
melewati atau tidak sedang menghadapi ulangan
semester, maka kecemasan mereka tidaklah
tampak.
2.2.2 Cemas Pikiran
“Cemas pikiran adalah munculnya
kecemasan sebagai akibat dari cara berpikir yang
tidak terkondisikan seringkali memikirkan tentang
malapetaka atau kejadian buruk yang akan
terjadi” Burns (1998). Kondisi cemas pikiran
menghadapi ulangan umum semester yaitu: sulit
konsentrasi, bingung dan mental blocking.
Sulit konsentrasi dalam menghadapi
ulangan umum semester adalah suatu aktivitas
berpikir siswa yang tidak bisa fokus terhadap
masalah yang akan diselesaikannya dalam
menghadapi ulangan umum semester, sehingga
14
siswa SMA Negeri 1 Kaliwungu sulit konsentrasi
dalam ulangan umum semester karena disebabkan
suatu hal yang kacau dalam pikiran. Kecemasan
ini ditunjukkan dengan kesulitan dalam membaca
dan memahami pertanyaan ulangan umum
semester, kesulitan berpikir secara sistematis,
kesulitan mengingat kata kunci dan konsep saat
menjawab pertanyaan esai atau uraian.
Bingung adalah perasaan yang timbul saat
siswa harus mengambil suatu keputusan yang
sulit dalam menjawab soal ulangan umum
semester oleh karena terdapat beberapa alternatif
jawaban yang menurutnya benar atau salah
karena pikirannya. Dalam kondisi pikiran yang
bingung tersebut sehingga tidak dapat memilih
jawaban yang benar.
Mental blocking adalah hambatan secara
mental/psikologis yang menyelubungi pikiran
siswa saat ulangan umum semester sehingga tidak
bisa berpikir dengan tenang. Manifestasi
(kemunculan) mental blocking ditunjukkan
dengan pertanda bahwa saat membaca pertanyaan
ulangan umum semester, tiba-tiba pikiran seperti
kosong (blank) dan kemungkinan tidak mengerti
alur jawaban yang benar saat ulangan umum
semester atau bahkan lebih cemas lagi karena
kehabisan waktu dalam pengerjaan soal ulangan
umum semester.
15
15
2.2.3 Cemas Gejala Fisik
Menurut Burn (1998) “pada umumnya
kategori kecemasan menghadapi ulangan umum
semester diklasifikasikan menjadi tiga tingkat,
yaitu sangat cemas yang artinya, cukup cemas
tidak cemas”. Siswa SMA Negeri 1 Kaliwungu tidak
dapat mengendalikan karena permasalahannya,
pikiran, dan gejala fisik; cukup cemas yang artinya
siswa agak merasa cemas dalam menghadapi
ulangan umum semester; dan tidak cemas artinya
siswa dapat mengendalikan karena permasalahan,
pikiran, dan gejala fisik.
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan
kecemasan adalah hal yang bersifat negatif muncul
pada saat-saat tertentu karena keadaan atau situasi
dan dapat menurun jika tidak sedang menghadapi
masalah karena dipengaruhi oleh keadaan individu
yang mempunyai permasalan, pikiran yang bingung
karena tidak konsentrasi dan bisa disebabkan karena
gejala fisik (permanen). Siswa yang sedang menghadapi
ulangan umum semester dapat mengalami kecemasan
tinggi, sehingga dalam penelitian ini mengambil teori
Burns sekaligus mengujikan intrumen kecemasan
karena instrumen ini mengukur kecemasan yang
berhubungan dengan gejala yang selalu timbul dan
kelihatan selama situasi terjadi atau biasa dinamakan
state, sehingga individu tersebut mengalami kecemasan
secara situasional. Sedangkan dalam trait bahwa
kecemasan yang berhubungan dengan keadaan yang
dapat menyesuaikan diri pada saat terjadi
16
kesulitan/kesukaran yang sedang dihadapi dan bersifat
sementara. Dapat disimpulkan berdasarkan penjelasan
dan teori bahwa instrumen kecemasan Burns
mengukur kecemasan state and trait.
2.3 Mengukur Kecemasan
Burns (1998) “tes kecemasan dapat dipandang
oleh banyak orang sebagai mengetahui permasalahan
yang ada”. Dalam hal ini instrumen kecemasan dapat
mengetahui seberapa besar tingkat kecemasan yang
dihadapi individu tersebut. Dengan demikian Burns
membuat instrumen kecemasan yaitu BAI (Burns
Anxiety Instrument) adalah salah satu instrumen yang
dipilih oleh peneliti untuk mengetahui tingkat
kecemasan siswa. Konsep kecemasan pada instrumen
kecemasan BAI dalam penelitian ini dapat
dikategorikan menjadi tiga aspek, yaitu aspek
permasalahan, pikiran, dan gejala fisik. Aspek-aspek
tersebut mengelompokkan kecemasan dengan berbagai
komponen.
Aspek-aspek yang diukur agar terlihat jelas pada
klien yang membeutuhkan bantuan penuntasan
permasalahan saat dan nantinya peneliti memberikan
treatment yang tepat untuk membantu siswa dalam
kecemasannya.
2.4 Teknik Behavior Desensitisasi
Sistematik Dalam Konseling Behavioral
Pendekatan behavioral atau perilaku adalah
penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang
17
17
berakar pada bagian teori belajar. Ada beberapa teknik
konseling di dalam pendekatan behavioral seperti:
Desensitisasi Sistematik (Systematic Desensitization),
Assertive Training, Aversion Therapy dan Home Work.
Dalam pembatasan masalah penelitian ini, peneliti
mengambil salah satu teknik konseling dalam
pendekatan behavioral, yaitu teknik konseling
desensitisasi sistematik, karena secara pembatasan
masalah pada mengurangi kecemasan.
“Desensitisasi sistematik adalah respon terhadap
kecemasan yang dapat dipelajari atau dikondisikan,
dan bisa dicegah dengan memberi subtitusi berupa
suatu aktivitas yang sifatnya memusuhinya” Wolpe
(dalam Corey 2007). Stimulus yang menghasilkan
kecemasan berkali-kali dilakukan dengan latihan
bersantai sampai hubungan antara stimulus-stimulus
serta respon terhadap kecemasan itu terhapus
mengembangkan metode desensitisasi sistematis, terapi
ini muncul untuk menangani sejumlah masalah,
karena kecemasan. Baru-baru ini, desensitisasi
sistematis telah digunakan untuk menangani secara
khusus kecemasan State dan Trait. Desensitisasi
sistematis terbukti menjadi teknik yang paling efektif
untuk mengukur beberapa kriteria termasuk laporan
diri, pengamatan perilaku, tes psikologi, dan tindakan
fisiologis. Wolpe (dalam Corey, 2007) “ditemukan
desensitisasi sistematik secara signifikan lebih efektif
dalam mengurangi kecemasan kemudian diberi
tindakan treatment”.
18
Teknik desensitisasi sistematik menggunakan
dua proses utama untuk mengurangi adety relaxation
dan contra conditioning. Dalam keadaan relaksasi yang
mendalam, maka situasi yang biasanya
membangkitkan kecemasan pada subyek (siswa) secara
bertahap berkurang terhadap situasi. Penelitian ini
telah menunjukkan bahwa aspek-aspek penting dari
teknik desensitisasi sistematik adalah konstruksi
kecemasan dan keadaan relaxation. Tampaknya ada
sejumlah keuntungan dalam menggunakan
desensitisasi sistematis untuk mengurangi kecemasan.
Metode ini relatif mudah digunakan, dan seseorang
tidak harus memiliki terapis secara profesional untuk
menguasai teknik desensitisasi sistematis. Dalam
beberapa kasus individu menggunakan teknik
desensitisasi sistematik berhasil untuk mereduksi/
mengurangi kecemasan dengan bantuan instruksi
secara manual.
Menurut Wolpe (dalam Corey, 2007) “konseling
behavioral merupakan suatu metode untuk
mempelajari tingkah laku yang tidak adaptif melalui
proses belajar yang normal”. Tingkah laku tersusun
dari respon kognitif, motorik, dan emosional yang
dipandang sebagai respon terhadap stimulasi eksternal
dan internal dengan tujuan untuk memodifikasi
koneksi-koneksi dan metode stimulus respon sedapat
mungkin. Respon kognitif adalah respon individu
melibatkan perubahan dalam kemampuan pola pikir,
kemahiran berbahasa, dan pengetahuan dari
lingkungan. Sedangkan respon motorik adalah respon
19
19
individu yang melibatkan kemampuan gerak tubuh dan
refleks pada bagian tubuh, misalnya kaki, tangan,
kepala, bahu dan pundak. Sedangkan yang dimaksud
dengan respon emosional adalah respon individu yang
melibatkan kemampuan emosional dalam menerima
dan menghadapi masalah seperti: cemas, takut, gugup,
sedih dan sebagainya. Konseling behavior memiliki
teknik-teknik dalam upaya mengkondisikan perilaku
individu. Adapun teknik tersebut yaitu: Desensitisasi
Sistematis, Teori Implosif dan Pembanjiran, Latihan
Asertif, Terapi Aversi, Pengkondisian Operant. Salah
satu teknik yang digunakan dalam upaya untuk
mereduksi kecemasan menghadapi ujian/ulangan
umum semester dalam penelitian ini adalah teknik
desensitisasi sistematis yang berupaya menciptakan
kondisi rileks dan nyaman pada siswa yang mengalami
kecemasan.
Desensitisasi sistematis adalah teknik yang
cocok digunakan untuk menangani fobia-fobia,
kecemasan dan ketakutan. Teknik ini bisa diterapkan
secara efektif pada berbagai situasi penghasil
kecemasan, mencakup situasi interpersonal, ketakutan
terhadap ujian/ulangan umum semester, kecemasan-
kecemasan neurotik, serta impotensi dan frigiditas
seksual.
Mengenai prosedur pelaksanaan teknik
desensitisasi sistematis yang dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Desensitisasi sistematis dimulai dengan suatu
analisis tingkah laku atas stimulus-stimulus yang
20
dapat membangkitkan kecemasan ulangan.
Disediakan waktu untuk menyusun suatu tingkatan
kecemasan konseli dalam area tertentu.
b. Konselor dan konseli mendata hasil-hasil apa
saja yang menyebabkan konseli mempunyai
perasaan cemas dan kemudian menyusunnya secara
terperinci.
c. Konselor melatih konseli untuk mencapai
keadaan rileks atau santai.
d. Konselor melatih konseli untuk membentuk
respon-respon antagonistik yang dapat menghambat
perasaan cemas.
e. Pelaksanaan teknik desensitisasi sistematis.
Proses desensitisasi melibatkan keadaan dimana
konseli sepenuhnya santai dengan mata tertutup.
Adapun treatment dari prosedur-prosedur
tersebut dapat digambarkan dalam beberapa tahap,
yaitu: (a) siswa yang mengalami kecemasan disuruh
untuk membayangkan (memikirkan tentang)
bermacam-macam adegan dari kecemasannya. Hal
yang ditakuti dalam kecemasan, kemudian
dipraktekkan secara terpisah mulai dengan situasi
stimulus yang sangat kurang menakutkan; (b) siswa
diminta untuk mengacungkan jari telunjuknya bila ia
cemas pada saat membayangkan suatu situasi
stimulus; dan kemudian klien disuruh untuk
membayangkan situasi stimulus yang kurang
menakutkan pada hal yang ditakuti tersebut. (c) siswa
disuruh berpikir tentang hal itu dan disuruh untuk
21
21
relaks, kemudian disuruh untuk berpikir tentang hal
itu lagi dan disuruh relaks, dan seterusnya. Adegan
yang ditakuti diimbangi beberapa kali dengan relaksasi;
(d) Bila siswa tidak memperlihatkan kecemasan, maka
disajikan adegan berikutnya dalam kecemasan tersebut
dan diimbangi dengan relaksasi. Secara bertahap,
siswa dan terapis menelusuri kecemasan tersebut
dengan cara seperti ini. Jika siswa menunjukkan
kecemasan terhadap suatu stimulus, maka terapis
menyuruh siswa untuk relaks. Setelah relaks, suatu
adegan kecemasan yang lebih rendah, kemudian
disajikan dan secara bertahap menelusuri lagi
kecemasan tersebut.
Kondisi di atas bisa dilaksanakan sebagai
treatment untuk siswa SMA Negeri 1 Kaliwungu,
sehingga saat menghadapi ulangan umum semester
tidak merasa cemas lagi. Mengurangi kecemasan
adalah hal yang utama dalam penelitian ini, sehingga
kecemasan dapat diberi treatment dengan teknik
desensitisasi sistematis.
Dari teori-teori tersebut, maka dapat disimpulkan
gambaran yang jelas yaitu permasalahan kecemasan
dalam menghadapi ulangan umum semester melalui
instrumen Burns Anxiety Instrument (BAI) untuk
mengetahui tinggi rendahnya siswa dalam kecemasan
dan langkah-langkah behavior desensitisasi sistematis
untuk treatment siswa yang diharapkan dapat
mengurangi/mereduksi kecemasan dalam menghadapi
ulangan semester dengan cara relaksasi sesuai
langkah-langkah desensitisasi sistematis.
22
2.5 Kajian yang Relevan
Kajian dalam penelitian ini sangat diperlukan,
fungsinya untuk mengetahui sebagai bahan
perbandingan penelitian terdahulu. Seperti peneliti
terdahulu yang ditulis oleh Robert M. Laxer dkk pada
Ekperimen Desensitisasi Sistematik Pada Siswa Dalam
Menghadapi Tes (Terjemahan Bahasa Indonesia),
melalui desensitisasi sistematik kecemasan siswa
mengalami penurunan dalam menghadapi tes adalah
0,05 > 0,02. Dengan demikian dari peneliti terdahulu
tingkat kecemasan menurun dengan taraf signifikannya
sangat normal dan wajar.
Kajian yang lain seperti yang dituliskan oleh
Heidi A. Larson, Mera K. El Ramahi, Steven R. Conn,
Lincoln A. Estes, and Amanda B. dari Ghibellini Eastern
Illinois University dengan judul “Reducing Test Anxiety
Among Third Grade Students Through the
Implementation of Relaxation Techniques setelah
diadakan penelitian pre-test dan post-test berarti
ditemukan (t (55) = 2.24, p = 0,029 dan t (67) = 4,07, p
=.000. Dengan demikian dari peneliti terdahulu tingkat
kecemasan pre-test dan post test menurun dengan taraf
signifikannya sangat normal dan wajar.
Dari kajian penulis di atas dapat disimpulkan
penelitian tentang menurunkan/mereduksi kecemasan
dalam menghadapi ujian/ulangan umum semester
melalui pre-test dan post test dapat diturunkan secara
singifikan, sehingga penelitian ini diharapkan dapat
mengikuti penelitian terdahulu.
23
23
2.6 Hipotesis
Berdasarkan arti katanya, hipotesis berasal dari
dua penggalan kata, yaitu “hypo” yang artinya “di
bawah” dan “thesa” yang artinya “kebenaran”. Jadi
hipotesis yang kemudian cara menulisnya disesuaikan
dengan Ejaan Bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan
berkembang menjadi hipotesis. Menurut Sugiyono
(2013) “Sebuah hipotesis adalah pernyataan tentang
populasi yang kemudian akan dibuktikan oleh data”.
Jadi hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang
parameter populasi yang perlu dibuktikan kebenannya.
Hipotesis penelitian ini dapat dibuktikan melalui
pengujian, sebelum mengadakan pengujian hipotesis
peneliti mengetahui tingkat kecemasan siswa dalam
menghadapi ulangan umum semester melalui
instrumen BAI, kemudian memberikan treatment
melalui behavior desensitisasi sistematik dengan
asumsi pada penelitian ini menggunakan uji hipotesis
untuk perbandingan dua mean. Untuk menguji
perbedaan dua mean dengan menggunakan penelitian
Eksperimen One Group Pre-test and Post-test Design
serta digunakan rumus uji t untuk menjawab hipotesis
penerimaan Ho atau penolakan Ho.
24