bab ii tinjauan pustaka, hasil penelitian dan ......kekuasaan mengadili, lingkup kekuasaan kehakiman...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Teori Kompetensi
Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan
sesuatu)1. Kompetensi atau kewenangan mengadili, dapat juga disebut
yurisdiksi (jurisdiction) yaitu pengadilan yang berwenang mengadili
sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan
perundang-undangan2. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan yurisdiksi yaitu3:
1. Kekuasaan mengadili, lingkup kekuasaan kehakiman dan peradilan;
2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah
atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.
Menurut Budi Hartono, pengertian yurisdiksi atau kompetensi diantaranya
yaitu4:
1. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum;
2. Hak menurut hukum;
3. Kekuasaan menurut hukum;
1 https://kbbi.web.id/kompetensi, diakses pada tanggal 29 Oktober 2018 pukul 16.57.
2 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan Ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.,
179. 3 Skripsi Unpas Repository, dikutip dari Anthony Csbafi, The Concept of State Jurisdiction in
International Space Law, (The Hague), hlm., 45. 4Budi Hartono, Pengertian Yurisdiksi, http//www.wikipedia/yurisdiksi-pengertian/php29.00
diakses pada tanggal 19 April 2016 pukul 09:30
17
4. Kewenangan menurut hukum;
M. Yahya Harahap berpendapat mengenai kekuasaan mengadili dilihat
dari sengketanya yaitu5:
Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan
keberadaan peradilan perdata, menimbulkan permasalahan
kekuasaan mengadili, yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) atau
kompetensi maupun kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang
berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan
yang digariskan peraturan perundang-undangan.
Tujuan membahas yurisdiksi atau kewenangan mengadili adalah untuk
memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan
tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar
pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru.
Dasar untuk menentukan mengenai pengadilan mana yang benar dan tepat
bewenang mengadili suatu sengketa dapat dilihat oleh dua hal yaitu:
1.1 Kompetensi Absolut (Kewenangan Multak)
Penulis hendak menguraikan beberapa definisi mengenai kompetensi
absolute, di antaranya:
a. Bambang Sutiyoso
Kompetensi absolute (kewenangan mutlak) adalah
kewenangan badan peradilan dalam memeriksa dan mengadili
mengenai perkara tertentu yang secara multak tidak dapat
diperiksa oleh badan peradilan lainnya baik dalam lingkungan
5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan Ke-2, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal., 179
.
18
peradilan yang sama maupun berbeda6. Kewenangan multak ini
dapat disebut atribusi kekuasaan kehakiman7
b. Sudikno Mertokusumo
Kompetensi absolute atau wewenang mutlak lembaga peradilan
adalah:
Wewenang lembaga pengadilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa
oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan
peradilan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, Mahkamah Agung) maupun dalam lingkungan
peradilan lain (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama)8.
c. Abdulkadir Muhammad
Kompetensi absolute yaitu kewenangan mengadili
perkara suatu pengadilan berdasarkan pembagian
wewenang/pembagian tugas9.
d. Muhammad Nasir
Kompetensi absolute adalah atribusi kekuasaan berbagai
jenis badan peradilan untuk menerima, memeriksa, dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya10
.
Mengenai ketentuan badan-badan kehakiman yang telah
dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 diatur lebih lanjut dalam
6 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media Hukum, Yogyakarta, 2006, hal.,
11-12. 7 Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia,
Cetakan Pertama, Gama Media, Yogyakarta, 2007, hal., 72. 8 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Dan Di Luar
Pengadilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal., 83, dikutip dari Sudikno Mertokusumo,
Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1991. 9 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata, Cirta Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal., 27.
10 Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, Djambatan, Jakarta, 2001, hal., 30.
19
Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Judicial Power). Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: “Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”. Pasal 10 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Mahkamah Agung membawahi empat
lingkungan peradilan, yaitu:
1. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah pengadilan bagi rakyat pencari
keadilan pada umumnya yang menyangkut perkara perdata maupun
perkara pidana. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
rakyat pencari keadilan adalah setiap orang warga Negara Indonesia
(WNI) atau bukan yang mencari keadilan pada Pengadilan di Indonesia
(Pasal 2 Bagian Penjelasan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum). Pengadilan umum atau pengadilan sipil adalah
pengadilan yang menyelesaikan perkara warga sipil11
.
2. Peradilan Agama
Peradilan agama adalah salah satu badan peradilan pelaku
kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa,mengadili dan
memutus perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
11
http://e-journal.uajy.ac.id/8181/2/HK110262.pdf
20
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan
ekonomi syariah. Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di
lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan tingkat banding,
yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara
terttinggi. Secara administrative, peradilan agama berada di bawah
Departemen Agama.
3. Peradian Militer
Peradilan militer adalah salah satu badan peradilan pelaku
kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer
(baik dari angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara dan
kepolisian). Dalam hal terjadi kasus pidana militer, maka akan berlaku
hukum pidana militer yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum materiil dan hukum
formil (acaranya) yang berlaku adalah Hukum Acara Pidana Militer
dan berlaku dalam yurisdiksi peradilan militer12
.
Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Militer dilakukan oleh Mahkamah Militer (MAHMIL),
Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI), Mahkamah Militer Agung
(MAHMILGUNG). Mahkamah Militer (MAHMIL) bertugas dan
berwenang mengadili dalam tingkat pertama perkara-perkara
12
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, Cetakan Pertama, UII Press,Yogyakarta, 2005, hal., 36-37.
21
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota militer yang
berpangkat kapten ke bawah di daerah hukumnya dan termasuk suatu
pasukan yang ada di dalam daerah hukumnya13
.
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu badan peradilan
pelaku kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa, mengadili
dan memutus perkara tata usaha Negara antara seorang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara akibat
dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian. Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara sebagai suatu
lingkungan peradilan adalah sebagai konsekuensi dari diundangkannya
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lahirnya undang-undang ini
guna melindungi warga masyarakat dari tindakan sewenang-wenang
pejabat/aparatur pemerintah dan di segi lain adalah dalam kerangka
pembinaan, penyempurnaan dan penertiban aparatur pemerintah agar
dalam tugas-tugasnya selalu berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku14
.
Sementara berdasarkan tingkatannya pengadilan terdiri atas:
1. Pengadilan Tingkat Pertama (Negeri)
2. Pengadilan Tinggi (Banding)
13
Ibid., hal., 37. 14
Ibid., hal., 39.
22
3. Mahkamah Agung (Pengadilan Tingkat Kasasi)
1.2 Kompetensi Relatif (Kewenangan Nisbi)
Kompetensi relative adalah kewenangan
memeriksa/mengadili perkara berdasarkan pembagian daerah hukum
(distribusi kekuasaan)15
. Kompetensi relative adalah kewenangan
dari badan peradilan sejenis dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara atas dasar letak atau lokasi wilayah hukumnya16
.
Kompetensi relative atau kewenangan relative mengatur pembagian
kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari
tempat tinggal tergugat. Kompetensi relative atau kewenangan
relative dari badan-badan peradilan di Indonesia yaitu:
1. Peradilan Umum
Tempat kedudukan Pengadilan Negeri adalah Kota
Madya atau di Ibukota Kabupaten yang daerah hukumnya
meliputi wilayah Kota Madya atau Ibukota Kabupaten yang
bersangkutan. Kecuali Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana
daerah hukumnya selain wilayah Jakarta Pusat juga meliputi
tindak pidana yang dilakukan di luar negeri. Hal ini terdapat pada
Pasal 86 KUHAP yaitu: “Apabila seseorang melakukan tindak
pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum
Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
berwenang mengadilinya”. Sedangkan Pengadilan Tinggi
15
Digilib.unila.ac.id/8633/2/BAB%20II.pdf 16
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Op. Cit., hal., 11-12.
23
berkedudukan di Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya
meliputi wilayah Ibukota Provinsi yang bersangkutan.
2. Peradilan Agama
Mengenai kedudukannya atau kompetensi relatifnya,
Pengadilan Agama berkedudukan di Kota Madya atau Ibukota
Kabupaten dan mempunyai daerah hukum meliputi wilayah Kota
Madya atau Kabupaten tersebut. Sedangkan Pengadilan Tinggi
Agama berkedudukan di Ibukota provinsi yang daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi yang bersangkutan.
3. Peradilan Militer
Menurut Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, kompetensi relative Pengadilan Militer yaitu
mengadili perkara yang terjadi di tempat daerah hukumnya dan
terdakwanya merupakan satu kesatuan yang berada di daerah
hukumnya.
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dinyatakan bawa
lingkungan peradilan tata usaha Negara dilaksanakan oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi. Mengenai tempat kedudukannya
Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat di Kota Madya atau
24
Ibukota Kabupaten. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi yang bersangkutan.
2. Kerangka Teoritik Kewenangan Mengadili Pengadilan Negeri
Dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum yang dimaksud dengan Pengadilan yaitu:
“Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan
umum”. Pengadilan merupakan sebuah forum public, resmi, dimana
kekuasaan public ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan
perselisihan dan pencarian keadilan dalam hal sipil, buruh, administrative,
dan criminal di bawah hukum17
. Sedangkan, Peradilan adalah segala
sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan yang
berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara
dengan menerakan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto”
(hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata
dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan
dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara
prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal18
. Jadi peradilan
merupakan prosesnya sedangkan pengadilan merupakan tempatnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan badan peradilan yaitu pelaksanaan
kekuasaan kehakiman yang bertugas menyelenggarakan peradilan guna
17
digilib.unila.ac.id/8633/2/BAB%20II.pdf 18
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt548d38322cdf2/perbedaan-peradilan-dengan-
pengadilan, diakses pada tanggal 29 Oktober 2012, pukul 13.35.
25
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan tugas
pokok menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya dan tugas lain yang diberikan kepadanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan19
.
Kompetensi peradilan umum ditetapkan dengan menggunakan
teori residu yaitu bidang yang tidak diserahkan kepada peradilan khusus
dengan sendirinya masuk lingkup kompetensi peradilan umum20
. Terdapat
dua macam kompetensi yang ada di pengadilan negeri, yaitu:
2.1 Kompetensi Absolut (Kewenangan Mutlak) Pengadilan Negeri
Kompetensi absolute atau kewenangan mengadili yaitu
memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana (pidana umum dan
khusus) dan perdata (perdata umum dan niaga). Hal ini sudah
ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum bahwa: “Pengadilan Negeri bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan
perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”. Pengadilan
negeri adalah peradilan tingkat pertama atau merupakan pengadilan
sehari-hari yang secara langsung mengadili perkara-perkara pidana dan
perdata21
.
19
digilib.unila.ac.id/8633/2/BAB%20II.pdf 20
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Cetakan Pertama, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hal., 116. 21
K. Wantjik Saleh, Kehakiman Dan Peradilan, Cetakan Kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977,
hal., 56.
26
Selain itu, M. Yahya Harahap berpendapat mengenai sengketa yang
dapat diajukan ke pengadilan negeri yaitu22
:
Sengketa atau perkara yang dapat diajukan ke pengadilan
negeri sesuai keberadaan dan kedudukannya berada di
Lingkungan Peradilan Umum hanya terbatas pada perkara
pidana dan perdata. Di bidang perdata, terbatas perdata umum
dan niaga, sedangkan perkara perdata lain mengenai
perkawinan dan warisan bagi yang beragama Islam, jatuh
menjadi yurisdiksi absolute lingkungan Peradilan Agama.
Begitu juga perkara perdata tata usaha Negara, tidak termasuk
kewenangannya, tetapi menjadi yurisdiksi absolute lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan pengadilan negeri dalam perkara pidana mencakup segala
bentuk pidana terkecuali tindak pidana militer yang merupakan
kewenangan pengadilan militer23
. Sedangkan dalam perkara perdata,
pengadilan negeri berwenang mengadili perkara perdata secara umum,
kecuali perkara perdata tertentu yang merupakan kewenangan
Peradilan Agama. Dimaksud dengan perkara pidana yaitu perkara yang
diajukan dimuka pengadilan yang mendakwa seseorang telah
melakukan kejahatan dan menuntutnya agar terdakwa dijatuhi
hukuman pidana atas kejahatan yang dilakukannya, seperti menodong,
membunuh, mencuri, atau yang lainnya dari bentuk-bentuk kejahatan
yang pada umumnya sulit dalam hal pembuktiannya24
. Sedangkan
yang dimaksud perkara perdata yaitu perkara yang diajukan ke muka
22https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1568/05.2%20bab%202.pdf?sequence=8&isAllowed=y, 23
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1568/05.2%20bab%202.pdf?sequence=8&isAllowed=y, hal., 27-28. 24
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Cetakan Kedua, Pusaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, hal., 85.
27
pengadilan yang mendakwa Tergugat wanprestasi dari perjanjian yang
disepakati, seperti, jual-beli, usaha patungan dengan perjanjian bagi
hasil, sewa menyewa, gadai dan lain sebagainya25
. Kekuasaan
pengadilan negeri dalam perkara perdata meliputi semua sengketa
tentang hak milik, atau hak-hak yang timbul karenanya atau hak-hak
keperdataan (Pasal 2 Ayat 1 RO), kecuali apabila dalam undang-
undang ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutusnya,
misalnya perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam
menjadi wewenang Pengadilan Agama (Pasal 12 PP 9/1975 juncto
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)26
.
Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima, memeriksa, dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, perkara-perkara tersebut haruslah merupakan
kewenangannya27
. Kompetensi atau kewenangan dari suatu pengadilan
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara berkaitan
dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pengadilan negeri dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, dipimpin oleh pimpinan pengadilan yang terdiri atas
ketua pengadilan dan dibantu wakil ketua pengadilan, hakim anggota,
25
Ibid. 26
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Hukum Acara Perdata, Cetakan Pertama, Unimal Press,
Lhokseumawe, 2015. 27
Ujang Charda S, “Model Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Dalam Hukum
Ketenagakerjaan Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004”, dalam Wawasan
Yuridika, vol.,1, 2017.
28
panitera, sekretaris dan juru sita. Hukum acara perdata merupakan
pegangan pokok atau aturan permainan sehari-hari bagi hakim dalam
memeriksa dan mengadili perkara perdata di pengadilan28
. Dalam
menjalankan tugasnya seluruh pihak yang menjadi bagian dari
pengadilan negeri harus dapat berkoordinasi satu sama lain saling bahu
membahu membantu rakyat pencari keadilan dengan sebaik mungkin
sehingga dapat tercapainya keadilan yang diinginkan.
Berikut merupakan beberapa perkara perdata umum yang merupakan
kewenangan pengadilan negeri:
1. Wanprestasi
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, diatur mengenai
perjanjian yang berbunyi “Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana suatu orang atau lebih mengikatkan diri
terhadap satu orang atau lebih.” Dari rumusan tersebut, suatu
perjanjian memuat unsur-unsur:
i. Suatu perbuatan;
ii. Antara sekurang-kurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari
dua orang);
iii. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-
pihak yang berjanji tersebut.
Menurut KRMT Tirtodiningrat, perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih
28
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Konsep Keadilan Dalam Sistem Peradilan Perdata, Mimbar
hukum, Volume 21, Nomor 2, 2009, hal., 363.
29
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan
oleh undang-undang29
. Dari rumusan-rumsan di atas dapat dilihat
bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana
satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak
lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi (kreditur).
Berbicara mengenai prestasi, prestasi (performance) dari
suatu perjanjian adalah pelaksanaan terhadap hal-hal yang telah
diperjanjikan atau yang telah ditulis dalam suatu perjanjian oleh
kedua belah pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu30
. Dalam
pasal 1234 KUH Perdata prestasi dari suatu perjanjian terdiri atas:
1. Memberi sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan wanprestasi adalah kenyataan sebaliknya dari prestasi.
Jika dalam prestasi melaksanakan isi dari perjanjian yang
disepakati, maka wanprestasi adalah tidak melaksanakan isi dari
perjanjian yang disepakati.
Wanprestasi dalam suatu perjanjian terdiri atas:
1. Tidak memenuhi prestasi;
2. Tidak sempurna memenuhi prestasi;
3. Terlambat memenuhi prestasi.
29
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal., 16. 30
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
hal., 207.
30
Dalam berbicara mengenai wanprestasi tidak terlepas dari masalah
“pernyataan lalai” (ingebrekke stelling) dan “kelalaian” (verzium).
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya31
.
Menururt Agus Yudha Hernoko32
:
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa
menimbulkan sisi aktif dan sisi pasif. Sisi aktif
menimbulkan hak bagi kreditur untuk menuntut pemenuhan
prestasi, sedangkan sisi pasif menimbulkan beban
kewajiban bagi debitur untuk melaksanakan prestasinya.
Pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan
saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran
prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga
muncul peristiwa yang disebut wanprestasi.
Para pihak yang telah membuat perjanjian wajib untuk
melaksanakan dan memenuhi apa yang sudah tertulis dan
disepakati bersama di dalam perjanjian. Kewajiban yang harus
dipenuhi disebut prestasi. Apabila tidak terpenuhinya kewajiban
prestasi disebabkan oleh kesalahan debitur, baik karena
kesengajaan maupun karena kelalaian dan kesemuanya itu dapat
dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debtor
melakukan wanprestasi atau cidera janji33
Debitur dinyatakan lalai apabila:
(i). Tidak memenuhi prestasi;
31
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal., 60. 32
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
Cetakan Kesatu, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2008, hal., 233. 33
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1568/05.2%20bab%202.pdf?sequence=8&isAllowed=y, hal., 64.
31
(ii). Terlambat berprestasi;
(iii). Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya.
Wanprestasi baru ada jika ada pernyataan lalai dari kreditur
kepada debitur. Pernyataan lalai ini guna menetapkan tenggang
waktu kepada kreditur untuk memenuhi prestasinya dengan sanksi
tanggunggugat atas kerugian yang dialami kreditur. Tujuan
dibuatnya suatu perjanjian adalah supaya perjanjian tersebut
dijalankan sepenuhnya. Kecuali jika terjadi keadaan memaksa
(force majeur) maka jika ada pihak yang tidak melaksanakan
komitmennya yang sudah dituangkan dalam perjanjian maka
menurut hukum, dia dapat dimintakan tanggungjawabnya, jika
pihak lain dalam perjanjian tersebut menderita kerugian karenanya
(Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata).
2. Perbuatan Melawan Hukum
Dalam bahasa Belanda perbuatan melawan hukum disebut
“onrechmatige daad”, dalam bahasa Inggris disebut “tort”.
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum yaitu: “Perbuatan yang melawan
hukum perdata yang dilakukan oleh seseorang yang karena
salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain, yang
mengharuskan orang yang karena salahnya telah menimbulkan
kerugian tersebut untuk mengganti kerugian”.
32
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, suatu
perbuatan melawan hukum haruslah mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan
Umumnya diawali oleh perbuatan dari si pelakunya,
perbuatan disini dimaksudkan yaitu baik berbuat sesuatu
(dalam arti aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti
pasif).
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
Unsur-unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang
luas, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum;
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si;
pelaku;
d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam
bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang
lain.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku
Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur
kesalahan sehingga dapat dimintakan oleh hukum mengandung
33
unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya
secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya unsur kesengajaan;
b. Adanya unsur kelalaian;
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf;
4. Adanya kerugian bagi korban
Kerugian karena perbuatan melawan hukum dismping
kerugian materiil, yurisprudensi juga mengakui konsep
kerugian imateriil, yang juga akan dinilai dengan uang.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Untuk hubungan sebab-akibat ini ada dua macam teori,
yaitu teori hubungan factual dan teori penyebab kira-kira.
Hubungan sebab akibat secara faktual hanyalah merupakan
masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap
penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat
merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya)
tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya.
Orang yang telah melakukan perbuatan hukum harus
mempertanggung jawabkan perbuatan yang telah dilakukannya.
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Tiap perbuatan
melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.” Ketentuan Pasal 1365
34
KUHPerdata ini mengatur pertanggungjawaban yang diakibatkan
oleh adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat
(aktif=culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat
(pasif=culpa in ommitendo). KUHPerdata membagi masalah
pertanggung jawaban terhadap perbuatan melawan hukum menjadi
2 (dua) golongan, yaitu:
1. Tanggung jawab langsung
Dalam Pasal 1365 KUHPerdata terhadap pelaku dapat
dimintakan pertanggungjawaban untuk membayar ganti rugi.
2. Tanggung jawab tidak langsung
Menurut Pasal 1367 KUHPerdata, seorang subjek
hukum tidak hanya bertanggungjawab atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukannya saja, tetapi juga untuk perbuatan
yang dilakukan orang lain yang menjadi tanggungan dan
barang-barang yang ada di bawah penguasaannya.
Tanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan
hukum dalam hukum perdata, pertanggung jawabannya selain
terletak pada pelakunya sendiri juga dapat dialihkan pada pihak
lain atau kepada Negara, tergantung siapa yang melakukannya.
Adanya kemungkinan pengalihan tanggung jawab tersebut
disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu:
a. Perihal pengawasan
35
Adapun orang-orang yang bertanggung jawab untuk
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain menurut Pasal
1367 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
a) Orang tua wali, bertanggungjawab atas pengawasan
terhadap anak-anaknya yang belum dewasa;
b) Seorang curator, dalam hal curatele, bertanggung jawab
atas pengawasan terhadap curandus;
c) Guru, bertanggungjawab atas pengawasan murid
sekolah yang berada dalam lingkungan pelajarannya;
d) Majikan, bertanggung jawab atas pengawasan terhadap
buruhnya.
e) Penyuruh (lasgever), bertanggung jawab atas
pengawasan terhadap pesuruhnya.
Terkait dengan pengawasan ini, agar orang yang diawasi
tidak sampai melakukan suatu perbuatan melawan hukum.
Pengawas harus turut menjaga agar tidak terjadi kericuhan
dalam masyarakat yang diakibatkan oleh tingkah laku
orang yang diawasinya.
b. Pemberian kuasa dengan resiko ekonomi
Adanya suatu pertimbangan yang dirasakan adil dan patut
untuk mempertanggungjawabkan seseorang atas perbuatan
orang lain yang terletak pada persoalan perekonomian. Jika
orang yang melakukan perbuatan melawan hukum itu
36
ekonominya lemah maka dipertimbangkan akan percuma
saja jika orang tersebut diberi pertanggungjawaban karena
harta kekayaan yang dimilikinya tidak cukup untuk
membayar ganti kerugian yang disebabkan olehnya dan
yang diderita orang lain. Sehingga dalam hal ini yang
mempertanggung jawabkan perbuatannya adalah orang lain
yang dianggap mampu untuk bertanggungjawab dengan
membayar ganti kerugian.
2.2 Kompetensi Relatif (Kewenangan Nisbi) Pengadilan Negeri
Dalam perkara perdata persoalan kompetensi relative dari
pengadilan negeri diatur dalam Pasal 118 Ayat 1 HIR/142 Ayat 1 Rbg,
bahwa gugatan perdata harus diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dalam daerah hukum tempat tinggal Tergugat (actor sequitur
forum rei)34
. Menurut Herinawati kompetensi relative pengadilan
negeri yaitu:
Kompetensi relative berkaitan dengan wilayah hukum suatu
pengadilan diatur dalam Pasal 118 HIR (Pasal 142 Rbg),
sebagai asas ditentukan bahwa pengadilan negeri ditempat
Tergugat tinggal (mempunyai alamat, domisili) yang wenang
memeriksa gugatan atau tuntutan hak actor sequitur forum
rei (Pasal 118 Ayat 1 HIR, 142 Ayat 1 Rbg). Jadi gugatan
harus diajukan kepada pengadilan negeri di tempat Tergugat
tinggal.
Apabila Penggugat bertempat tinggal di Salatiga sedangkan Tergugat
bertempat tinggal di Boyolali, maka gugatan diajukan di Pengadilan
34
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Konsep Keadilan Dalam Sistem Peradilan Perdata, Mimbar
hukum, Op. Cit.., hal., 203-408.
37
Negeri Boyolali. Karena pada dasarnya gugatan diajukan untuk
kepentingan Penggugat yang “belum tentu benar” dan Tergugat yang
“belum tentu bersalah”. Maka Tergugat harus dihormati sedemikian
rupa dan tidak boleh dipaksa untuk bersusah payah datang ke
Pengadilan yang berada di wilayah hukum Penggugat yang bisa jadi
jauh dari tempat tinggal Tergugat35
. Namun apabila Tergugat tidak
mempunyai tempat tinggal yang dikenal atau tempat tinggalnya yang
nyata tidak dikenal atau Tergugat tidak terkenal, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat sebenarnya
tinggal (Pasal 118 Ayat 1 HIR, 142 Ayat 1 Rbg). Atau apabila dipilih
tempat tinggal, penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada
Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
yang dipilih tersebut (Pasal 11 Ayat 4 HIR, 142 Ayat 4 Rbg).
Berkaitan dengan kompetensi relative mengenai tempat kedudukan
pengadilan negeri mana antara kedua belah pihak yang berwenang
harus didasarkan pada akta.36
Tempat kedudukan pengadilan negeri menurut Undang-
Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum yaitu di
Kotamadya atau ibu kota Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Kotamadya atau Kabupaten. Berbicara mengenai tempat
kedudukan pengadilan negeri maka termasuk kedalam kewenangan
mengadili suatu pengadilan.
35
Randang S. Ivan, Tinjauan Yuridis tentang Peranan Identitas Domisili Dalam Menentukan
Kompetensi Relatif Pengadilan, Lex Privatum, Vol. IV, No. 1 Januari, 2016. 36
Laila M. Rasyid dan Herinawati, Op. Cit., hal.,
38
3. Kerangka Teoritik Kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial
Menurut Jimly Asshidiqie, sejarah peradilan khusus di Indonesia berawal
dari:
Dalam sejarah peradilan di Indonesia, istilah peradilan khusus
dipahami sebagai antonim dari pengertian peradilan pada
umumnya, yang berjenjang mulai dari peradilan tingkat pertama di
pengadilan negeri, peradilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi
sampai peradilan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum
Indonesia merdeka, ketiga jenjang peradilan tersebut bermula dari
badan-badan peradilan yang sudah eksis dalam system peradilan
Hindia Belanda, yaitu „Landaard‟ yang dijadikan Pengadilan
Negeri, „Raad van Justitie‟ yang menjadi Pengadilan Tinggi, dan
„Hogeraad‟ yang dikembangkan menjadi Mahkamah Agung.
Karena itu, semua pengadilan di luar lingkungan peradilan biasa
pada umumnya tersebut di atas disebut pengadilan khusus, seperti
misalnya Pengadilan Agama yang berasal dari „Priesterraad‟ dan
lain-lain37
.
Namun di samping peradilan yang bersifat umum, yang paling
banyak menangani perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat justru
adalah pengadilan-pengadilan yang bersifat khusus (special courts), yang
mempunyai kewenangan di bidang hukum tertentu atau mempunyai
kewenangan tertentu saja38
. Jenis-jenis perkara hukum yang spesifik, yang
penanganannya memerlukan pendekatan berbeda dari perkara hukum pada
umumnya, atau yang hakimnya memerlukan keahlian-keahlian yang
bersifat khusus sehingga tidak perlu semuanya berasal dari sarjana lulusan
fakultas hukum pada umumnya, dipandang lebih efektif dan efisien jikalau
ditangani oleh pengadilan khusus39
.
37
Jimly Asshiddiqie, Putih Hitam Pengadilan Khusus Komisi Yudisial Repbulik Indonesia,
Cetakan Pertama, Skretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2013, hal., 5-6. 38
Ibid., hal., 20. 39
Ibid., hal., 20-21.
39
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Peradilan Umum bahwa: “dalam lingkungan peradilan umum
dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan undang-undang”.
Pasal 1 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Umum dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus yaitu:
“Pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara tertentu yang hanya dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
yang diatur dalam undang-undang.” Dalam bagian penjelasan atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pengadilan khusus yaitu:
“Yang dimaksud dengan pengadilan khusus dalam ketentuan ini,
antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga,
pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi,
pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan
oeradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan
tata usaha Negara”.
3.1 Perjanjian Kerja Melahirkan Hubungan Kerja
Untuk memajukan perekonomian dan pembangunan nasional
Indonesia, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak termasuk pula
adanya perusahaan-perusahaan baik perusahaan dalam negeri atau
perusahaan asing. Untuk menggerakkan roda perekonomian, tenaga
kerja dipandang memiliki peran yang sangat penting. Dengan adanya
perusahaan dan tenaga kerja dibentuklah suatu perjanjian yang disebut
40
dengan perjanjian kerja yang memuat klausula-klausula mengenai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban apa saja di dalamnya. Berdasarkan
Pasal 1 Angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang dimaksud perjanjian kerja yaitu: “Perjanjian antara pekerja
atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.” Pengertian
perjanjian kerja juga terdapat dalam Pasal 1601 BW, persetujuan
perburuhan adalah: “Persetujuan dengan mana pihak yang satu,
buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang
lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan
dengan menerima upah.” Singkatnya, perjanjian kerja yang dibuat
oleh pengusaha atau si pemberi kerja yang memuat klausula-klausula
hak-hak dan kewajiban-kewajiban apa saja yang harus dilakukan oleh
pengusaha dan tentunya bagi pekerja/buruh ketika menyetejui isi
klausula dari perjanjian kerja tersebut. Dengan adanya perjanjian
kerja yang terjalin antara pengusaha dengan tenaga kerja akan
melahirkan suatu hubungan mengikat yang disebut hubungan kerja.
Menurut Pasal 1 Angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah:
“Hubungan antara pengusaha dengan pekerja /buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.”
Menurut Soepomo, hubungan kerja yaitu:
41
“Suatu hubungan antara seorang buruh dan seorang majikan,
dimana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian
kerja antara kedua belah pihak. mereka terikat dalam suatu
perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia bekerja dengan
menerima upah dan pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh
dengan memberi upah.”
Tiga unsur tersebut yang membedakan antara hubungan kerja di satu
sisi dengan hubungan hukum di sisi lainnya40
. Tiga unsur tersebut
harus saling berkaitan, dan tidak adanya salah satu dari ketiga unsur
tersebut menyebabkan tidak adanya suatu hubungan kerja. Dari
beberapa pengertian pasal di atas dapat disimpulkan, sebelum adanya
ikatan yang mengikat antara pengusaha dan tenaga kerja harus
didahului dengan dibuatnya suatu perjanjian kerja yang memuat hak
dan kewajiban kedua belah pihak. Pekerja menyatakan kesanggupan
untuk melakukan kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam
perjanjian kerja dan mendapatkan segala hak-hak yang harus
diberikan oleh pengusaha. Dan pengusaha juga menyatakan
kesanggupannya untuk melaksanakan kewajibannya dan mendapatkan
haknya. Setelah terbentuk suatu perjanjian kerja maka muncul
hubungan hukum yang memuat unsur upah yang harus dibayarkan
oleh pengusaha kepada pekerja, unsur pekerjaan yang menjadi
kewajiban dari pekerja, serta unsur perintah dari pengusaha kepada
pekerja untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
40
Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, Cetakan Kedua, Indeks, Jakarta, 2011, hal., 28.
42
3.2 Hubungan Industrial
Melihat perkembangan yang terjadi, permasalahan yang ada
tidak hanya mencakup pengusaha dan pekerja/buruh saja tetapi juga
mencakup aspek lain yang lebih luas yaitu perlu adanya campur
tangan pemerintah. Hubungan industrial berdasarkan Pasal 1 Angka
16 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu: ”Suatu
system hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.” Ketiga unsur dalam hubungan industrial yakni
pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah harus saling melengkapi
dan berkoordinasi secara baik sehingga terjalin hubungan industrial
yang harmonis.
3.3 Sarana Hubungan Industrial
Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana:
a. Serikat pekerja/serikat buruh
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang
dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri,
demokratis, dan bertanggungjawab guna memperjuangkan,
43
membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
b. Organisasi pengusaha
Organisasi pengusaha yang bergerak di bidang sosial
ekonomi termasuk ketenagakerjaan adalah Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO). APINDO merupakan wakil pengusaha
dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit, sebuah wadah kerjasama
antara pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
yang bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah sosial
ekonomi terutama dibidang ketenagakerjaan dan dibentuk
padatanggal 1 Meil 1968. Kegiatan-kegiatan APINDO antara lain
advokasi kepada anggota, pembinaan dan pengembangan
sumberdaya manusia Indonesia khususnya di bidang
ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
c. Lembaga kerja sama bipartite
Lembaga kerja sama bipartite adalah forum komunikasi dan
konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan
industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari
pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh yang sudah tercatat
pada instansi yang bertanggungjawab d bidang ketenagakerjaan
atau dari unsur pekerja/buruh.
d. Lembaga kerja sama tripartite
44
Lembaga kerja sama tripartite adalah forum komunikasi,
konsultasi, dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggota-anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat
pekerja/serikat buruh dan pemerintah.
e. Peraturan perusahaan
Peraturan perusahaan (PP) adalah peraturan yang dibuat
secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan
tata tertib perusahaan. Peraturan perusahaan disusun oleh
pengusaha dan menjadi tanggungjawabnya. Walaupun dibuat
secara sepihak oleh pengusaha, tetapi tetap memperhatikan saran
dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh. Peraturan perusahaan
yang dibuat pengusaha memuat unsur-unsur:
1. Hak dan kewajiban pengusaha
2. Hak dan kewajiban pekerja/buruh
3. Syarat kerja
4. Tata tertib perusahaan
5. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
f. Perjanjian kerja bersama
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan
hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau
beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dengan
45
pengusaha aau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat
kerja, serta hak dan kewajiban kedua belah pihak.
g. Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
Peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan
adalah tempat dimana dapat ditemukan ketentuan-ketentuan dan
peraturan-peraturan yang mengatur ketenagakerjaan. Peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan meliputi semua bentuk
peraturan-peraturan yang mengatur ketenagakerjaan yang dibuat
oleh instansi berwenang dan mempunyai kekuatan mengikatdalam
kehidupan masyarakat. Urutannya dimulai dari Pancasila dan UUD
1945 hingga peraturan yang paling rendah tingkatannya seperti
Keputusan Menteri Tenaga Kerja atau peraturan pelaksana lainnya.
h. Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
Tedapat dua lembaga yang dapat menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial, yaitu:
1. Lembaga penyelesaian di luar pengadilan, seperti:
a. Bipartite
b. Mediasi
c. Konsiliasi
d. Arbitrase
2. Penyelesaian melalui pengadilan perselisihan hubungan
industrial pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung.
46
3.4 Perselisihan dan Pengadilan Hubungan Industrial
Terjalinnya suatu hubungan industrial tidak selalu berjalan
lancar namun tetap dihadapkan oleh berbagai perselisihan.
Terjadinya perselisihan dikarenakan adanya kepentingan-
kepentingan yang berbeda baik dari pihak pekerja/buruh maupun
pihak pengusaha. Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dijelaskan
bahwa:
“Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai
hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan.”
Masyarakat dalam menyelesaikan perselisihannya dapat memilih
sendiri cara seperti apa yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
sengketa, mulai dari penyelesaian secara bipartite antara kedua belah
pihak yang bersengketa yaitu pekerja/buruh dan pengusaha, atau secara
tripartit dengan bantuan pihak ketiga yang netral melalui mediasi,
konsiliasi atau arbitrasi. Namun jika cara-cara tersebut tidak
menghasilkan titik temu dalam penyelesaian sengketa yang dihadapi
barulah kemudian menempuh jalur pengadilan/penghakiman (litigasi).
Berdasarkan Pasal 1 angka 17 UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa yang dimaksud
47
dengan Pengadilan Hubungan Industrial adalah: “Pengadilan khusus
yang dibentuk di pengadilan negeri yang berwenang memeriksa,
mengadili dan member putusan terhadap perselisihan hubungan
industrial.” Dari penjelasan ini harus dilihat kompetensi atau
kewenangan pengadilan hubungan industrial.
3.5 Kompetensi Absolut Pengadilan Hubungan Industrial
Dilihat dari bunyi pasal Pasal 1 angka 22 UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan juncto Pasal 56 UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat
dijabarkan bahwa objek perselisihan hubungan industrial, yaitu:
a. Di tingkat petama mengenai perselisihan hak.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena
tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama41
.
Maimun42
menjelaskan lebih lanjut mengenai perselisihan hak,
sebagaimana diungkapkan berikut:
Perselisihan hak timbul karena salah satu pihak baik itu
pekerja/buruh atau pengusaha tidak melaksanakan
kewajiban yang menjadi hak dari pihak lain. Apabila
masing-masing pihak tidak menemukan kata sepakat dalam
perundingan bipartite guna menyelesaikan masalah
perselisihan tersebut maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri setempat dimana putusan perihal
41
Pasal 1 angka 2 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 42
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Pradnya Paramita, Jakarta,
2007, hal., 152.
48
gugatan tersebut bersifat final dan tidak dapat dimintakan
banding.
Berdasarkan penjelasan di atas, unsur mutlak yang harus ada dalam
perselisihan hak adalah akibat dari tidak terpenuhinya hak. Karena
sumber lahirnya hak adanya peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama, maka undang-undang menentukan bahwa tidak
terpenuhinya hak disebabkan dua hal, yaitu perbedaan pelaksanaan
atau perbedaan penafsiran atas sumber-sumber lahirnya hak
tersebut. Menurut Abdul R. Budiono yang dimaksudkan dengan
perbedaan pelaksanaan adalah: “Perbedaan antara hukumnya
dengan pelaksanaannya atau penafsirannya43
.”
b. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul
dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama44
.
c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja.
43
Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, Cetakan Kedua, Indeks, Jakarta, 2011, hal., 218. 44
Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
49
Perselisihan pemutusan hubungan kerja yaitu perselisihan
yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu
pihak45
.
d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruhdan satu perusahaan.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dan satu
perusahaan yaitu adanya perselisihan antara serikat pekera/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatanpekerja46
.
3.6 Kompetensi Relatif Pengadilan Hubungan Industrial
Kewenangan relative pengadilan merupakan kewenangan
lingkungan peradilan tertentu berdasarkan yurisdiksi wilayahnya47
.
Artinya bahwa suatu pengadilan hanya berwenang mengadili perkara
yang subjeknya atau objeknya berada pada wilayah pengadilan yang
bersangkutan. Kewenangan mengadili pengadilan terbatas pada
daerah hukumnya saja, di luar itu tidak berwenang. Daerah masing-
masing pengadilan hanya meliputi wilayah Kabupaten atau Kota
Madya tempat dimana pengadilan berada dan berkedudukan.
Pengadilan hubungan industrial dibentuk di setiap pengadilan negeri
yang berada di setiap ibu kota provinsi yang daerah hukumnya
45
Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 46
Pasal 1 angka 5 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 47
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hal., 88.
50
meliputi wilayah provinsi yang bersangkutan. Dan di kabupaten/kota
terutama yang padat industri, berdasarkan keputusan presiden harus
segera dibentuk pengadilan hubungan industrial pada pengadilan
negeri setempat.
3.7 Subjek Perselisihan Hubungan Industrial
Dalam sebuah perselisihan hubungan industrial pasti ada pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya.
Menurut Abdul Khakim dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia48
menjabarkan subjek hukum
perselisihan hubungan industrial dan peranannya, yaitu:
1. Pemerintah adalah pihak yang menetapkan kebijakan, memberikan
pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
2. Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh adalah pihak yang
menjalankan pekerjan sesuai dengan kewajibannya, menjaga
ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi
secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya,
serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
3. Pengusaha dan organisasi pengusaha adalah menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan
48
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Cetakan Keempat, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal., 81.
51
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka,
demokratis dan berkeadilan.
Sementara itu menurut Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi dalam
bukunya yang berjudul Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia
(Perspektif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya)49
mengemukakan
bahwa subjek hukum perselisihan hubungan industrial yaitu:
1. Pengusaha atau gabungan pengusaha, yang dimanifestasikan
sebagai:
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
menjalankan perusahaan milik sendiri.
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
dan
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana
dimaksud point pertama dan kedua diatas yang berkedudukan
di luar wilayah Indonesia.
2. Pekerja/buruh perseorangan ialah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari,
oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar
perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
49
Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Pengadilan Hubungan Industrial Indonesia (Perspektif,
Teoretis, Praktik, dan Permasalahannya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal., 13-14.
52
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
4. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
B. Hasil Penelitian
1. Para Pihak dalam Kasus
Dalam Putusan No. 27/Pdt.G/2015/PN.Clp terdapat tiga pihak yang
berperkara, yaitu:
1. Pihak Penggugat, suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas
(PT) yaitu PT. East West Seed Indonesia, yang bergerak di bidang
Penelitian dan Produksi Benih Sayuran berkedudukan di Kabupaten
Purwakarta, beralamat di Desa Benteng, Kecamatan Cempaka,
Kabupaten Purwakarta.
2. Pihak Tergugat, yang bernama Marno berjenis kelamin laki-laki dan
beralamat di Jalan Pisang No. 17 RT 08/RW 07, Desa Jenang,
Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap. Marno merupakan pekerja
di PT. East West Seed Indonesia .
3. Pihak Turut Tergugat, PT. Benih Citra Asia merupakan suatu badan
hukum berbentuk perseroan terbatas yang berkedudukan di Jalan
Akmaludin No. 26 Jember, Jawa Timur. PT. Benih Citra Asia
53
merupakan perusahaan dimana Marno bekerja setelah Marno
mengundurkan diri dari PT. East West Seed Indonesia.
2. Kasus Posisi
Marno sebagai Tergugat bekerja di PT East West Seed Indonesia
sebagai Penggugat pada 23 April 2001, dari tahun ke tahun Tergugat
mengalami kenaikan jabatan semula dari Assistent Plant Breeder menjadi
Senior Plant Breeder dengan melakukan pemuliaan tanaman antara lain
pada tanaman Semangka Amara; Semangka Palguna; Semangka Oriana;
dan Paria Dulco. Namun, pada tanggal 7 Mei 2012, Tergugat
mengundurkan diri dari PT. East West Seed Indonesia. Untuk
mendapatkan uang pisah dari Penggugat, sesuai dengan Peraturan
Perusahaan PT. East West Seed Indonesia Pasal 40 angka (1) huruf b
Tahun 2011-2013 dikatakan bahwa:
“Pekerja Mengundurkan Diri”
Pegunduran diri tersebut ditunjukkan kepada pimpinan perusahaan
atau Bagian HRD dan harus diajukan minimal 1 (satu) bulan
sebelumnya. Pekerja yang mengundurkan diri akan mendapatkan
uang pisah apabila:
b.1 Mengundurkan diri sesuai prosedur.
b.2 Menandatangani surat pernyataan bermaterai tidak pindah
bekerja pada Perusahaan sejenis atau kompetitior minimal 1 (satu)
tahun setelah tanggal berakir kerja.
Atas pengunduran dirinya, Tergugat membuat Surat Pernyataan
Tertanggal 28 Mei 2012 sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 angka (1)
huruf b poin b.2 Peraturan Perusahaaan, yaitu:
a. Tidak akan melakukan pemuliaan tanaman yang sama/sejenis
(breeding same crop) yang telah dikerjakan selama di PT. East West
54
Seed Indonesia pada perusahaan lain selama jangka waktu 2 (dua)
tahun sejak tanggal pengunduran diri;
b. Apabila di kemudian hari ingkar terhadap pernyataan yang dibuat
maka bersedia dituntut secara hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Atas pengunduran diri Tergugat tersebut, Penggugat memberikan uang
pisah kepada Tergugat sebesar Rp. 53.582.571,- (Lima puluh tiga juta lima
ratus delapan puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh satu rupiah).
Dari surat pernyataan yang dibuat dapat disimpulkan bahwa meskipun
Tergugat telah mengundurkan diri, Tergugat tetap memiliki kewajiban
kepada Penggugat untuk:
a. Tidak bekerja pada Perusahaan sejenis atau competitor minimal 1
(satu) tahun setelah tanggal terhitungnya pengunduran diri. Artinya
kewajiban Tergugat ini baru akan gugur setelah 1 Juni 2013.
b. Tidak akan melakukan pemuliaan tanaman yang sama/sejenis
(breeding same crop) yang telah dikerjakannya selama di Penggugat
pada perusahaan lain selama jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
pegunduran diri. Artinya kewajiban Tergugat ini baru akan gugur
setelah 1 Juni 2014.
Setelah Tergugat mengundurkan diri dari perusahaan Penggugat, Tergugat
bekerja pada PT. Benih Citra Asia (Turut Tergugat) yang merupakan
perusahaan sejenis yang bergerak di bidang pemuliaan bibit tanaman.
Beberapa bukti bahwa Marno sedang bekerja di PT. Benih Citra Asia yaitu
55
dengan adanya Lampiran Keputusan Menteri Pertanian tentang Pemberian
Tanda Daftar Varietas Tanaman Holtikultura atas tanaman „Paria Varietas
MC 698‟ yang diterbitkan pada Februari 2013. Di dalam Keputusan
Menteri tersebut tercantum nama Tergugat sebagai peneliti „Paria Varietas
MC 698‟ yang dimohonkan oleh Turut Tergugat. Dan Lampiran
Keputusan Menteri Pertanian tentang Pemberian Tanda Daftar Varietas
Tanaman Holtikultura atas tanaman „Semangka WM 1410‟ yang
diterbitkan pada bulan Februari 2013. Di dalam Keputusan Menteri
tersebut juga dicantumkan nama Tergugat sebagai peneliti „Semangka
WM 1410‟ yang dimohonkan oleh Turut Tergugat.
Berdasarkan kasus posisi tersebut, Penggugat dalam petitumnya
mengajukan permohonan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sepenuhnya.
2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum surat pernyataan yang
dibuat dan ditandatangani Tergugat tertanggal 28 mei 2012.
3. Menyatakan Tergugat telah wanprestasi terhadap Penggugat.
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat
sebesar Rp. 9.608.146.935 (Sembilan miliar enam ratus delapan juta
seratus empat puluh enam ribu Sembilan ratus tiga puluh rupiah).
5. Menyatakan dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag)
terhadap sebuah rumah di Purwakarta, beralamat di Perum Bumi
Indah Blok BB No. 65 Purwakarta, Provinsi Jawa Barat.
56
6. Menghukum Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp. 10.000.000 (Sepuluh juta rupiah) atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan putusan ini.
7. Menyatakan hukum putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu
meskipun ada upaya hukum perlawanan, banding, kasasi maupun
peninjauan kembali.
8. Menghukum Turut Tergugat untuk mematuhi putusan atas perkara
ini.
9. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul
dalam perkara ini.
Menanggapi gugatan Penggugat, Tergugat dan Turut Tergugat
memberikan jawaban yang isinya membantah dan menolak seluruh isi
pokok perkara, yang pada intinya sebagai berikut:
1. Tenggugat menolak secara tegas terhadap dalil-dalil gugatan
Penggugat, karena keseluruhan gugatan Penggugat sangat tidak
beralasan atau tidak relevan terhadap kenyataan yang terjadi.
2. Tenggugat dalam status pegawai dari PT. East West Seed Indonesia
mengundurkan diri dengan itikad baik dan dengan cara yang sesuai
dengan persetujuan PT. East West Seed Indonesia.
3. Pengunduran diri Tergugat telah disetujui Penggugat dan Tergugat
telah mendapat hak-haknya dimana Penggugat memberi uang pisah
kepada Tergugat atau pesangon tanpa adanya unsur paksaan diantara
Penggugat dan Tergugat.
57
4. Tergugat tidak pernah mengajukan diri untuk mengikuti pendidikan
atau pelatihan dan lain-lain yang pernah Penggugat adakan selama
Tergugat bekerja di PT. East West Seed Indonesia dan pendidikan
atau pelatihan merupakan kebijakan dari PT. East West Seed
Indonesia.
5. Biaya pendidikan atau pelatihan dan lain-lain sebesar Rp. 54.564.364
(Lima puluh empat juta lima ratus enam puluh empat ribu tiga ratus
enam puluh empat rupiah) tidak seluruhnya diterima oleh Tergugat
namun diperuntukkan secara tim.
6. Tergugat menolak secara tegas dalil-dalil gugatan ganti kerugian
sebesar Rp. 9.000.000.000 (Sembilan miliar rupiah) karena Tergugat
sudah tidak bekerja di PT. East West Seed Indonesia.
7. Gugatan Penggugat mengenai Peraturan Perusahaan PT. East West
Seed Indonesia Tahun 2011-2013 Pasal 40 angka 1 huruf b tentang
“Pekerja Mengundurkan Diri” telah bertentangan dengan Pasal 28C
Ayat 1 dan Pasal 28D Ayat 2 UUD 1945. Pasal 38 UU No. 38
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 2, Pasal 5 dan
Pasal 31 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
8. Gugatan Penggugat tentang surat pengunduran diri yang telah
ditandatangani oleh Tergugat membuat Tergugat menjadi memiliki
keterbatasan atau tidak bebas untuk mengeksprsikan diri dalam
mengembangkan ilmu yang telah dimiliki oleh Tergugat dalam
58
bidang pemuliaan tanaman dan Tergugat memiliki keterbatasan
untuk mencari lapangan pekerjaan.
Berdasarkan gugatan tersebut, pengadilan menjatuhkan putusan sebagai
berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum Surat Pernyataan yang
dibuat dan ditandatangani Tergugat tertanggal 28 Mei 2012.
3. Menyatakan Tergugat telah wanprestasi terhadap Penggugat.
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat
sebesar Rp. 53.582.571 (Lima puluh tiga juta lima ratus delapan
puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh satu rupiah).
5. Menghukum Turut Tergugat untuk mematuhi putusan atas perkara
ini.
6. Menghukum Tergugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul
dalam perkara ini sejumlah Rp. 621.000 (Enam ratus dua puluh satu
rupiah).
7. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
c. Analisis
Setiap perselisihan yang terjadi di masyarakat dibutuhkan suatu
lembaga khusus sebagai wadah bagi masyarakat untuk menampung dan
menyelesaikan perkara dengan seadil-adilnya. Lembaga tersebut adalah badan
peradilan. Karena perselisihan yang terjadi di masyarakat beracam-macam
bentuknya dan tentunya perselisihan tersebut satu dengan lainnya memiliki
59
perbedaan. Oleh karena itu, dibutuhkan badan peradilan yang berbeda-beda
pula kewenangannya dalam menyelesaikan setiap perselisihan yang sesuai
dengan ruang lingkupnya masing-masing. Berkaitan dengan ruang lingkup
kewenangan badan peradilan yang berbeda. Disini penulis akan menganalisis
mengenai dua ruang lingkup kewenangan pengadilan yang berbeda, yaitu
ruang lingkup kewenangan Pengadilan Negeri dan ruang lingkup kewenangan
Pengadilan Hubungan Industrial.
Sebelum penulis menganalisis lebih jauh mengenai ruang lingkup
kewenangan masing-masing pengadilan, ada baiknya jika melihat duduk
permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini yaitu mengenai konflik
kewenangan mengadili antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Hubungan
Industrial. Marno (Tergugat) sebagai pekerja dari PT. East West Seed
Indonesia (Penggugat) melakukan pekerjaan sebagai pemulia tanaman (plant
breeder) dari jenis tanaman, salah satu diantaranya yaitu varietas semangka
dan varietas paria.
Unsur upah dapat dilihat dari semakin meningkatnya jabatan Tergugat
ketika bekerja di perusahaan Penggugat, yang awal mula karirnya dimulai dari
seorang pekerja waktu tertentu dengan jabatan sebagai Asisten Pemulia
Tanaman (Assistant Plant Breeder) dengan pekerjaan atau diberi perintah
untuk membantu seluruh kegiatan dari Atasan Pemulia Tanaman (Senior Plant
Breeder). Kemudian Tergugat mendapatkan promosi dengan kenaikan jabatan
sebagai Pemulia Tanaman (Plant Breeder). Terakhir bekerja di perusahaan
Penggugat dengan jabatan sebagai Senior Plant Breeder.
60
Namun Tergugat (Marno) yang semula merupakan pekerja di PT. East
West Seed Indonesia, pada tanggal 7 Mei 2012 membuat dan mengajukan
surat tertulis kepada Penggugat yang isinya menyatakan bahwa mengundurkan
diri dari karyawan tetap Penggugat. Pengunduran diri Tergugat terhitung sejak
1 Juni 2012. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Perusahaan PT. East West
Seed Indonesia Tahun 2011-2012 Pasal 40 Angka 1 huruf b dikatakan bahwa:
“Pekerja Mengundurkan Diri”
Pegunduran diri tersebut ditunjukkan kepada pimpinan perusahaan
atau Bagian HRD dan harus diajukan minimal 1 (satu) bulan
sebelumnya. Pekerja yang mengundurkan diri akan mendapatkan
uang pisah apabila:
b.1 Mengundurkan diri sesuai prosedur.
b.2 Menandatangani surat pernyataan bermaterai tidak pindah
bekerja pada Perusahaan sejenis atau kompetitior minimal 1 (satu)
tahun setelah tanggal berakir kerja.
Atas pengunduran dirinya, Tergugat membuat Surat Pernyataan Tertanggal 28
Mei 2012 sebagaimana dimaksud pada Pasal 40 angka (1) huruf b poin b.2
Peraturan Perusahaaan, yaitu:
a. Tidak akan melakukan pemuliaan tanaman yang sama/sejenis (breeding
same crop) yang telah dikerjakan selama di PT. East West Seed Indonesia
pada perusahaan lain selama jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal
pengunduran diri;
b. Apabila di kemudian hari ingkar terhadap pernyataan yang dibuat maka
bersedia dituntut secara hukum sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Setelah Tergugat mengundurkan diri dari perusahaan Penggugat, Tergugat
bekerja pada PT. Benih Citra Asia (Turut Tergugat) yang merupakan
61
perusahaan sejenis yang bergerak di bidang yang sama yaitu pemuliaan bibit
tanaman. Beberapa bukti bahwa Marno sedang bekerja di PT. Benih Citra
Asia yaitu adanya Lampiran Keputusan Menteri Pertanian tentang Pemberian
Tanda Daftar Varietas Tanaman Holtikultura atas tanaman „Paria Varietas MC
698‟ yang diterbitkan pada Februari 2013. Di dalam Keputusan Menteri
tersebut tercantum nama Tergugat sebagai peneliti „Paria Varietas MC 698‟
yang dimohonkan oleh Turut Tergugat. Dan Lampiran Keputusan Menteri
Pertanian tentang Pemberian Tanda Daftar Varietas Tanaman Holtikultura atas
tanaman „Semangka WM 1410‟ yang diterbitkan pada bulan Februari 2013.
Di dalam Keputusan Menteri tersebut juga dicantumkan nama Tergugat
sebagai peneliti „Semangka WM 1410‟ yang dimohonkan oleh Turut
Tergugat. Sehingga Penggugat menggugat Tergugat yang telah diadili oleh
hakim di Pengadilan Negeri Cilacap.
Selain itu, Tergugat tidak menggunakan kesempatan untuk
mengajukan pembuktian pada saat persidangan, sehingga hakim pada
Pengadilan Negeri Cilacap cenderung condong untuk memutus bahwa
Tergugat telah wanprestasi pada Surat Pernyataan tersebut, dikarenakan hakim
hanya mempunyai alat-alat bukti yang diajukan oleh Penggugat saja. Jika
Tergugat juga mengajukan bukti-bukti di persidangan, maka bukti-bukti
tersebut dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan majelis hakim
Pengadilan Negeri Cilacap dalam mengadili perkara ini, sehingga dapat
menghasilkan putusan pengadilan yang seadil-adilnya dan tidak berat sebelah.
62
Dari duduk permasalahan di atas, ketika Tergugat hendak
mengundurkan diri dari PT. East West Seed Indonesia, Tergugat membuat
Surat Pernyataan yang pada intinya tidak akan bekerja pada perusahaan yang
bergerak di bidang sejenis yaitu bidang pemuliaan tanaman dalam jangka
waktu 1 (satu) tahun, dan tidak akan melakukan pemuliaan tanaman dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sejak dibuatnya Surat Pernyataan tersebut.
Sehingga menurut penulis, Surat Pernyataan yang telah dibuat dan ditanda
tangani tersebut bukan merupakan suatu perjanjian, dikarenakan Surat
Pernyataan yang dibuat oleh Tergugat tersebut tidak memenuhi unsur-unsur
yang dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian. Berikut unsur-unsur dari suatu
perjanjian, yaitu:
1. Suatu perbuatan;
2. Antara sekurang-kurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua
orang);
3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang
berjanji tersebut.
Sementara itu pada Surat Perjanjian tersebut, unsur-unsur yang terdapat di
dalamnya yaitu:
1. Adanya suatu perbuatan;
2. Hanya terdiri dari satu pihak, yaitu pihak pembuat Surat Pernyataan
(Tergugat);
63
3. Perbuatan yang terdapat di dalam Surat Pernyataan hanya melahirkan
perikatan atau bersifat mengikat bagi satu pihak pembuat Surat
Pernyataan saja.
Karena Surat Pernyataan tersebut hanya dibuat oleh satu pihak saja yaitu
Tergugat dan hanya ditanda tangani oleh pihak Tergugat saja, maka menurut
penulis Surat Pernyataan Tergugat bukan termasuk ke dalam bentuk
perjanjian.
Surat Pernyataan Tergugat ketika mengundurkan diri dari PT. East
West Seed Indonesia bukan merupakan perjanjian, maka tidak dapat dikatakan
sebagai suatu bentuk wanprestasi. Dapat dikatakan suatu wanprestasi jika
tidak melaksanakan isi dari suatu perjanjian. Sedangkan sejak semula, Surat
Pernyataan ini tidak memenuhi beberapa unsur dari perjanjian maka sejak
semula dapat dikatakan bahwa tidak pernah terjadi wanprestasi. Karena bukan
termasuk perkara wanprestasi, maka menurut penulis Pengadilan Negeri
Cilacap tidak berwenang untuk mengadili perkara ini.
Penulis berpendapat bahwa Pengadilan Hubungan Industrial
khususnya Pengadilan Hubungan Industrial Semarang mempunyai
kewenangan untuk mengadili perkara ini, karena:
a. Ketika Tergugat bekerja pada PT. East West Seed Indonesia, terlebih
dahulu di dasari atas kata sepakat terhadap klausula-klausula yang memuat
hak dan kewajiban para pihak yang tertulis dalam isi perjanjian kerja.
Ketika sudah ada kata sepakat diantara dua pihak mengenai perjanjian
kerja, maka diantara Tergugat dengan Penggugat lahirlah suatu hubungan
64
kerja yang memuat unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dimana ketiga
unsur tersebut saling berkaitan erat satu dengan lainnya.
b. Dengan adanya hubungan kerja yang terjalin antara Tergugat dan
Penggugat selama ini, Tergugat melaksanakan segala isi perjanjian kerja
dan segala peraturan yang ada di PT. East West Seed Indonesia. Namun
ketika Tergugat hendak mengundurkan diri, sesuai dengan Peraturan
Perusahaan PT. East West Seed Indonesia jika Tergugat hendak
mendapatkan uang pesangon, dalam Pasal 40 Peraturan Perusahaan PT.
East West Seed Indonesia disebutkan bahwa Tergugat harus membuat
Surat Pernyataan yang dibuat oleh Tergugat secara sadar dan telah
ditandatangi oleh Tergugat sendiri. Namun, dalam selang waktu yang
ditulis dalam Surat Perjanjian belum berakhir, Tergugat bekerja pada PT.
Benih Citra Asia yang bergerak dibidang yang sama dengan PT. East West
Seed Indonesia, yaitu bidang pemuliaan tanaman, dan telah melakukan
pemuliaan terhadap beberapa tanaman diantaranya tanaman paria dan
semangka. Dari sini, Penggugat merasa bahwa Tergugat telah mengingkari
Surat Pernyataan yang dibuat. Sehingga terjadilah perselisihan antara
Tergugat dengan Penggugat. Karena didasari atas adanya hubungan kerja
yang terjalin antara pekerja (Tergugat) dengan pengusaha (Penggugat)
maka perselisihan ini merupakan bentuk dari perselisihan hubungan
industrial. Dan perselisihan hubungan industrial ini karena Surat
Pernyataan yang dibuat oleh Tergugat (Marno) terjadi pada saat masih
terjalinnya hubungan kerja antara Tergugat dan Penggugat yang diatur
65
dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, menurut penulis ketika waktu yang
ditentukan belum berakhir maka perselisihan yang terjadi diantara
Tergugat dan Penggugat masih merupakan perselisihan hubungan
industrial.
c. Dalam perselisihan hubungan industrial terdapat 4 (empat) macam jenis
perselisihan yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan. Karena dalam perkara ini terjadi akibat dari
perbedaan pelaksanaan dari Surat Pernyataan yang didasarkan atas Pasal
40 Peraturan Perusahaan PT. East West Seed Indonesia, bahwa Tergugat
tidak akan bekerja pada perusahaan yang bergerak di bidang yang sama
dalam pemuliaan tanaman. Namun belum selesai jangka waktu yang
ditentukan Tergugat sudah bekerja pada PT. Benih Citra Asia. Maka, jenis
perselisihan hubungan industrial ini merupakan perselisihan hak.