bab i pendahuluan 1. permasalahan 1.1 latar belakang … i.pdf · tentang kekuasaan kehakiman yang...

71
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Masalah Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan, secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas suatu putusan pengadilan menurut Artidjo Alkostar berkorelasi dengan profesionalisme, kecerdasan moral dan kepekaan nurani dari seorang hakim. Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan tersebut. Tujuan putusan pengadilan sesungguhnya harus mengandung hal-hal sebagai berikut : 1) Harus mengandung solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak, dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat mengoreksi suatu putusan pengadilan. 2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan suatu ketidakadilan (justice delayed is justice denied) tersendiri. 3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar dalam putusan pengadilan tersebut.

Upload: duongthu

Post on 16-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan

1.1 Latar Belakang Masalah

Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum.

Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal

yang relevan, secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas suatu

putusan pengadilan menurut Artidjo Alkostar berkorelasi dengan profesionalisme,

kecerdasan moral dan kepekaan nurani dari seorang hakim.

Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan

pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan tersebut.

Tujuan putusan pengadilan sesungguhnya harus mengandung hal-hal sebagai

berikut :

1) Harus mengandung solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari

masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak, dan tidak ada lembaga lain

selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat mengoreksi suatu

putusan pengadilan.

2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena

keadilan yang tertunda itu merupakan suatu ketidakadilan (justice delayed is

justice denied) tersendiri.

3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar

dalam putusan pengadilan tersebut.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

2

4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu putusan pengadilan harus

mengandung ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat.

5) Harus mengandung fairness, yaitu suatu putusan pengadilan harus

memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak (dalam perkara pidana

yaitu pihak terdakwa atau jaksa) yang berperkara di pengadilan.1

Disamping hal-hal yang dikemukakan di atas, dalam perkara pidana

berdasarkan KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah

yang bersalah melakukannya.

Berkaitan dengan fungsi putusan pengadilan harus memberikan kesempatan

yang sama bagi pihak-pihak yang berperkara di pengadilan, hal tersebut sudah

merupakan suatu prinsip universal yang menyatakan bahwa semua orang sama dan

mempunyai hak yang sama di hadapan hukum serta berhak atas perlindungan hukum

tanpa perlakuan atau sikap diskriminatif. Dan setiap orang berhak atas peradilan

yang efektif dari pengadilan nasional jika ada pelanggaran hak-hak asasi yang

dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.

Sejalan dengan asas tersebut, bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap,

ditahan atau diperlalukan secara sewenang-wenang dan setiap orang berhak diadili

secara adil oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak-hak

dan kewajiban-kewajibannya maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan kepada

terdakwa.

1 Artidjo Alkostar,2009, Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan,Varia Peradilan, Majalah Hukum

Tahun XXIV Nomor. 281, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hal. 36-37.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

3

Asas perlakuan yang sama dimuka hukum dan tidak membeda-bedakan

perlakuan (tanpa diskriminasi) merupakan hak dasar bagi setiap orang. Tersangka,

terdakwa maupun terpidana dalam proses peradilan pidana tidak boleh diperlakukan

sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 1 Undang-

undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum”, juga dalam Pasal 28 I ayat 2 Undang-

undang Dasar 1945 menentukan bahwa : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan

yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan

terhadap yang bersifat diskriminatif itu.

Sebagai tindak lanjut (follow up) dari ketentuan dalam konstitusi tersebut,

hal itu juga terwujud dalam pasal dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut

hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hal ini berarti bahwa setiap orang

dihadapan pengadilan harus diadili secara bebas, adil serta tidak memihak dan tidak

sewenang-wenang.

Sesuai prinsip due process of law, dimana dalam proses hukum yang adil

tersebut, setidak-tidaknya meliputi :

1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara

2. Pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa

3. Sidang pengadilan harus bersifat terbuka untuk umum, kecuali terhadap

perkara anak dan kesusilaan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

4

4. Tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela

kepentingan dirinya. 2

Bila dicermati, ternyata perlindungan hak asasi manusia lebih besar

diberikan kepada tersangka atau terdakwa daripada korban dari tindak pidana itu

sendiri. Jadi KUHAP di bangun pada saat gencar-gencarnya perhatian dunia terhadap

hak-hak asasi manusia dari pelaku pidana, dari kesewenang-wenangan aparat

penegak hukum dengan mengabaikan hak asasi manusia korban yang menderita

akibat perbuatan pelaku dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini terbukti dalam

KUHAP begitu minimnya ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban

tindak pidana, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana hanya diatur

dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101, yang pada dasarnya ketentuan ini

memberikan peluang kepada korban tindak pidana tersebut, untuk menggabungkan

gugatan ganti kerugiannya kepada perkara pidana tersebut. Pasal 98 ayat (1)

menyebutkan :

Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan

perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan akibat bagi orang lain,

maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk

menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.3

Sementara Pasal 99 sampai Pasal 101 hanya berkaitan pada prosedur

penggabungan ganti kerugian tersebut.

Oleh karena itulah, korban bukan hanya dimaksud sebagai obyek dari suatu

tindak pidana, akan tetapi harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu

2 I Gusti Ketut Ariawan,2008, Eksistensi Konsep Due Process of Law HAM dalam KUHAP, Bahan

Pendalaman Mata Kuliah (MK) Bantuan Hukum dan Penyantuan Terpidana, Program Magister Ilmu Hukum,

Universitas Udayana, Denpasar, hal 8.

3 Anonim,Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1996/1997, Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, hal. 44

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

5

mendapatkan perlindungan secara sosial dan hukum. Korban tindak pidana adalah

mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang

lain yang mencapai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan.4

Secara luas, pengertian korban bukan hanya sekedar korban yang menderita

secara langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan

yang dapat dikualifikasikan sebagai korban. Korban tidak langsung disini seperti

seorang istri kehilangan suami (seperti Suciwati yang kehilangan suaminya, Munir),

seorang anak kehilangan bapaknya, orang tua kehilangan anaknya dan seterusnya.

Bahwa korban atau keluarga korban dalam mengekspresikan tuntutan

terhadap pelaku tindak pidana tersebut kepentingannya telah diakomodasi oleh Jaksa,

karena dalam perkara pidana Jaksa sebagai pihak dalam berperkara di Pengadilan,

disamping mempresentasikan kepentingan negara dan masyarakat, juga

mempresentasikan kepentingan korban atau keluarga korban.

Bertitik tolak dari pemikiran pengadilan memberikan kesempatan yang

sama bagi pihak-pihak yang berpekara yaitu hal mana sudah merupakan sebagai

suatu prinsip universal yaitu bahwa semua orang pihak-pihak sama dan mempunyai

hak yang sama di hadapan hukum, oleh karena itulah Jaksa di samping mewakili

kepentingan negara dan masyarakat juga sebagai presentasi mewakili kepentingan

korban atau keluarga korban. Oleh karena itu Jaksa sebagai salah satu pihak dalam

perkara pidana, tidak ditentukan secara tegas kewenangannya untuk mengajukan

upaya hukum Peninjauan Kembali , seperti hak yang diberikan secara tegas kepada

4 Arief Gosita, 1993. Masalah Korban Kejahatan., Akademika Pressindo,Jakarta hal. 262

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

6

terpidana. Namun dalam perkembangan praktek peradilan upaya hukum Peninjauan

Kembali yang diajukan oleh Jaksa /Penuntut Umum telah dikabulkan oleh

Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara

tegas mengaturnya, dimana Pasal 263 ayat 1 KUHAP menyatakan sebagai berikut :

Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli

warisnya dapat mengajukan permintaan Pengajuan Kembali kepada Mahkamah

Agung.

Alasan-alasan yang dijadikan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan

permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, misalnya dapat dilihat

dalam perkara terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009,

tanggal 11 Juni 2009, yaitu :

1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak

dapat dimintakan permohonan kasasi, namun melalui penafsiran

terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru

berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan

bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu

menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung.

2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo Pasal 23 ayat (1)

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 24 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman), dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam

perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu

terdakwa dan Kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara).

Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

7

21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 (sekarang Pasal 24 ayat

(1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman) tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga

berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah

Agung.

3. Pasal 263 ayat (3) menurut penafsiran Mahkamah Agung Republik

Indonesia, maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa/Penuntut

Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan Hakim

diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa

tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan

terhadap terdakwa.

4. Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak

asasi antara kepentingan perseorangan (termohon Peninjauan

Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara di lain

pihak, di samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum

yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat juga melakukan Peninjauan

Kembali (PK).

5. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di negara

Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua

hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, karena

itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara

pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan Kasasi perkara

pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

8

dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi

untuk adanya kepastian serta mengakomodasi kepentingan yang

belum diatur dalam hukum acara pidana.

6. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas

maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal

permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap

putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 398 K/Pid/1995 tanggal 29

Septemer 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga

dapat diperiksa kembali.

Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan untuk memelihara keseragaman

putusan Mahkamah Agung (consistency in court decision), maka Mahkamah Agung

dalam memeriksa dan mengadili perkara Peninjauan Kembali terpidana tersebut,

akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya yang

terdahulu (yaitu putusan tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996, putusan

Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 dan putusan

Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 Nomor 109 PK/Pid/2007) tersebut diatas,

yang secara formal telah mengakui hak atau wewenang Jaksa/Penuntut Umum untuk

mengajukan permintaan Peninjauan Kembali .

Ternyata upaya-upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut

Umum yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam Putusan Nomor

12 PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, ternyata banyak

pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung tersebut,

antara lain :

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

9

1. OC. Kaligis, SH berpendapat bahwa :

Sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP)

berkaitan dengan Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar

biasa amat sangat jelas. Pasal 263 KUHAP dan penjelasan tidak

membuka peluang bagi Jaksa untuk melakukan upaya hukum

Peninjauan Kembali (PK).

Sayang, upaya coba-coba Jaksa mendapatkan justifikasi dari judex

juris. Kalau hukum acara yang merupakan lex certa ditabrak, maka

terbuka peluang untuk menabrak pasal-pasal lain di dalam

KUHAP.5

2. Herman Suryokumoro, berpendapat bahwa :

Bahwa hukum Peninjauan Kembali dalam KUHAP merupakan suatu

sistem. Oleh sebab itu, menolak putusan Mahkamah Agung yang

membenarkan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum,

dengan alasan bahwa putusan Mahkamah Agung itu sudah keluar dari

sistem. Suatu sistem hukum yang berpihak pada landasan Peninjauan

Kembali hanya ditujukan untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak

terdakwa yang telah dirampas oleh negara secara tidak sah. Putusan

Mahkamah Agung itu bertentangan dengan jiwa dibentuknya lembaga

Peninjauan Kembali .6

3. Laden Marpaung, berpendapat bahwa :

5. H. Adami Chazawi, 2009 Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana,Penegakan Hukum

dalam Penyimpangan Praktek dan Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika,Jakarta hal. 5 (selanjutnya disebut

H.Adami Chazawi I)

6 Ibid. hal. 7-8

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

10

- Pengajuan Permohonan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum selama

ini belum lumrah, sebagaian para pakar telah mengungkapkan

keberatan atau ketidak setujuan pendapat-pendapat para pakar tersebut

ada yang berbeda meremehkan Mahkamah Agung.7

4. Adami Chazani, berpendapat :

- Bahwa putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alasan

pengajuan permintaan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum,

merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan kekhilafan

hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal

263 ayat 2 huruf c KUHAP hal ini dapat dimasukkan ke dalam

putusan peradilan sesat dalam hukum, bukan sesat dalam hal dan

karena fakta8

Bukan hanya dikalangan para pakar saja yang tidak sependapat dengan

upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, juga sikap tidak setuju

tersebut juga ditunjukkan oleh anggota majelis yang menangani perkara Nomor

12.PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, yang mengambil

posisi dissenting opinion yaitu

a. Komariah E. Sapardjaja, dengan pendapatnya sebagai berikut :

- Bahwa dalam sejarah pembentukan KUHAP, masalah Peninjauan

Kembali disampaikan oleh pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR

tanggal 9 Oktober 1979 (vide Sejarah Pembentukan Undang-Undang

7 Laden Marpaung,2000, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar

Grafika, Jakarta, hal 84-85 (selanjutnya disebut Laden Marpaung I) 8 Adami Chazawi, Op.cit. hal 36

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

11

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara

pidana, disusun oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-

undangan Depertemen Kehakiman RI, Jakarta, Jakarta, 2 April 1982,

halaman 119). Masalah Peninjauan Kembali tersebut telah ditanggapi

oleh berbagai Fraksi di DPR, bahwa “Lembaga Peninjauan Kembali

ini justru dijadikan untuk melindungi kepentingan terpidana” sehingga

tidak sulit untuk disepakati.

- Bahwa Pasal -Pasal tentang Peninjauan Kembali, harus ditafsirkan

secara sistematis dengan Pasal 3 KUHAP dan Pasal 182 ayat (1)

huruf b, yang menyatakan bahwa : “dengan ketentuan bahwa

terdakwa atau Penasehat Hukum selalu mendapat giliran terakhir”,

maka jelaslah bahwa Peninjauan Kembali adalah juga upaya hukum

luar biasa bagi terpidana, dan bukan bagi Jaksa/Penuntut Umum.

- Bahwa dalam bagian “menimbang” dalam Undang-Undang RI Nomor

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

butir c, telah digariskan “bahwa Pembangunan Nasional di bidang

hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan

kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para

pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang

masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia”.

- Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan diatas adalah alasan yuridis

untuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Peninjauan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

12

Kembali, pada halaman 6 Memori Peninjauan Kembali ), bahwa

dilarang Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali .

- Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya

tentang asas legalitas dalam KUHAP ( jo Pasal 3 KUHAP) yang

merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut

pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian

hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan

penguasa, adalah alasan historis utuk membantah dalil Jaksa/Penuntut

Umum seperti disebutkan di atas.

b. Suwardi, berpendapat :

- Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum

tidak dapat dibenarkan, oleh karena :

1. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman menerapkan peraturan secara umum

tentang Peninjauan Kembali , sedangkan Peninjauan Kembali

dalam perkara pidana diatur secara khusus dalam Pasal 263

KUHAP.

2. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, “Terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa

atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan

Kembali kepada Mahkamah Agung”.

3. Bahwa ketentuan tersebut bersifat limitatif :

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

13

a) Bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

tidak dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali .

b) Yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali

hanya terdakwa atau ahli warisnya. Jaksa/Penuntut Umum

tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali .9

Atas pendapat yang kontra itu, ada pakar hukum yang sependapat dengan

pendirian Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali

Jaksa/ Penuntut Umum, yaitu :

- Muhamad Alim, berpendapat bahwa :

- Apabila sebagai narapidana, karena putusan perkaranya sudah

berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi, sebab

permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda eksekusi sesuai

ketentuan Pasal 268 ayat 2 KUHAP, masih diberikan kesempatan

untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, yang

ketentuan ini adalah ketentuan hukum acara yang harus

memperlakukan sama terhadap semua pihak betapa tidak adilnya

jika Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada

umumnya, korban pada khususnya, tidak diberi kesempatan yang

sama untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali .

Adalah suatu perlakuan yang tidak sama (unequal treatment)

apabila seorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban

yang dalam perkara pidana diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum

tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana

dalam hal ada Novum untuk memohon Peninjauan Kembali.

terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah

masih diberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali

sementara korban yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum

adalah orang yang baik yang telah dizalimi oleh terpidana, tetapi

tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali.10

9 Ibid. hal. 134-135

10 Budi Suharianto,2012, Peninjauan Kembali Putusan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta,hal 22-23.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

14

Terjadinya perbedaan pendapat diantara para pakar hukum terhadap

dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum oleh

Mahkamah Agung, akan tetapi Mahkamah Agung tetap secara konsisten terhadap

pendiriannya tersebut, hal ini terbukti dengan dikabulkannya upaya hukum

Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Ram Gulunal

pada tahun 2001, pada tahun 2006 dalam perkara terdakwa Soetyawati dan terakhir

pada tahun 2007 Mahkamah Agung juga menerima permohonan Peninjauan Kembali

Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Pollycarpus.11

Melihat problem dalam permasalahan upaya hukum Peninjauan Kembali,

bagaimana sebaiknya nanti upaya hukum Peninjauan Kembali diatur pada masa yang

akan datang, apabila Jaksa/Penuntut Umum ternyata dapat membuktikan adanya

kesalahan atau memiliki alasan-alasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 263ayat 1

KUHAP, ketika putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Namun harus disadari dalam praktek peradilan bahwa putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan baik

mengenai faktanya maupun dalam penerapan hukumnya. Atas peristiwa tersebut

lembaga upaya hukum Peninjauan Kembali sebagai sarana rekorektif terhadap

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diharapkan benar-benar dapat

menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, tanpa meninggalkan asas keadilan

maupun asas kepastian hukum. Oleh karena itu untuk memahami upaya hukum

Peninjauan Kembali itu secara menyeluruh, perlu dikaji secara utuh, lembaga upaya

11 Ibid, hal 3

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

15

hukum Peninjauan Kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata

(KUHAP).

Sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP bahwa yang dapat mengajukan

upaya hukum Peninjauan Kembali : “hanya terpidana atau ahliwarisnya”. Dalam

ketentuan tersebut seolah-olah upaya hukum Peninjauan Kembali, menutup

kemungkinan hak Jaksa/Penuntut Umum untuk dapat mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali.

Kalau disimak secara seksama dan mendalam dari ketentuan Pasal 263 ayat

1 KUHAP tersebut, disana disebutkan “..........kecuali putusan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan

Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”, menjadi pertanyaan sekarang,

terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, siapa yang dapat

mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tersebut, sedangkan penjelasan Pasal

263 ayat 1 KUHAP, hanya disebutkan cukup jelas, menurut penulis dalam ketentuan

tersebut terdapat “norma kosong”.

Begitu juga dalam ketentua Pasal 263 ayat 3 ditentukan bahwa : “ Atas

dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut Pasal 263 ayat 2 (dari Pasal 263

KUHAP), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap dapat diajukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam

putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan. Dalam

ketentuan Pasal 263 ayat 3 KUHAP tersebut juga tidak menjelaskan siapa yang dapat

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut. Ternyata dalam Penjelasan

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

16

dari Pasal 263 ayat 3 KUHAP juga hanya dinyatakan cukup jelas, oleh karena itu

dalam ketentuan tersebut juga dapat dipandang sebagai “norma kosong”.

Atas ketidak jelasan dari pada ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maupun

Pasal 263 ayat 3 KUHAP itulah, telah dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung

dalam mengabulkan permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan

oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Joko Soegiarto Tjandra, perkara Nomor :

12 PK/Pid Sus /2009, tanggal 11 Juni 2009, dalam pertimbangannya pada angka 3

sebagaimana telah diuraikan diatas.

Selanjutnya hemat penulis, terlepas dari diskursus terhadap upaya hukum

hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut, namum yang menjadi

masalahnya sekarang bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkan upaya hukum Peninjauan

Kembali Jaksa/Penuntut Umum, sehubungan keluarnya Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 10 Tahun 2009.

Berdasarkan atas permasalahan tersebut diatas, penulis tertarik dan

memandang perlu untuk membahas dan menulis tesis ini yang berjudul :

“Pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana,

(terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum”)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan isu hukum yang telah diuraikan

sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis

ini adalah :

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

17

1. Bagaimanakah pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan

Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan

Kembali Jaksa/Penuntut Umum?

2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali

dimasa datang untuk tetap dapat mencerminkan rasa keadilan bagi pencari

keadilan?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Suatu permasalahan yang akan dibahas perlu dibatasi pada segi tertentu

yang dianggap penting serta yang perlu diketahui. Dalam setiap penulisan karya

ilmiah perlu diadakan pembahasan secara tegas mengenai hal-hal yang perlu

dijadikan inti permasalahan yang akan dibahas. Bertitik tolak dari hal tersebut guna

mencegah cakupan permasalahan pengaturan hak mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan

Kembali Jaksa /Penuntut Umum, diperlukan batasan-batasan dimana ruang lingkup

pembahasannya adalah bagaimana hak terpidana untuk mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali yang diberikan oleh undang-undang, terhadap ketentuan

Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 24 ayat 2 Undang-

undang 48 tahun 2009), ketika upaya hukum Peninjauan Kembali oleh

Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum :

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

18

Secara Umum penelitian ini untuk mendiskripsikan mengenai upaya

hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek

peradilan di Indonesia

b. Tujuan Khusus :

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam

mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut

Umum.

2. Untuk mengatahui, apakah terpidana dapat mengajukan Peninjauan

Kembali, terkait dikabulkannya, Peninjauan Kembali oleh

Jaksa/Penuntut Umum.

3. Untuk menemukan konsep hukum bagaimana upaya hukum

Peninjauan Kembali sebaiknya diatur secara tegas di masa yang akan

datang, supaya tidak menimbulkan multi-tafsir atas dasar

pertimbangan keadilan dan perikemanusiaan.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk kalangan

praktisi dan kalangan akademisi dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan hukum acara pidana, yang ternyata sekarang paradigma yang

berkembang bukan semata-mata hanya memberikan perlindungan hukum

terhadap pelaku tindak pidana saja, tetapi juga memberikan perlindungan

hukum terhadap korban tindak pidana itu juga tidak kalah pentingnya

untuk diperhatikan.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

19

b. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam

rangka perubahan hukum acara pidana yang akan datang, agar upaya

hukum Peninjauan Kembali tidak lagi menimbulkan mutitafsir.

1.6 Originalitas Penelitian

Sepengetahuan penulis, Penulis menemukan tesis yang judulnya hampir

mirip dengan judul tesis yang penulis ajukan :

1. Bona Fernandez MT. Simbolon, tesis tahun 2009 Universitas Sumatera Utara,

Medan, dengan judul : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan

Kembali Dalam Perkara Pidana.

Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai :

a) Apakah Jaksa/Penuntut Umum berwenang untuk melakukan

permohonan Peninjauan Kembali menurut perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia.

b) Bagaimana dengan praktek Peradilan Indonesia apakah yang

membenarkan Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan

permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan

yang berkekuatan hukum tetap.

c) Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh Jaksa/Penuntut Umum

mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan.

2. Rio Adhitya Wicaksono, tesis tahun 2010, Universitas Pembangunan

Nasional Veteran, Jawa Timur – Surabaya, dengan judul : Kewenangan

Jaksa/Penuntut Umum Dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

20

Tindak Pidana Korupsi, studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 /

Pid.Sus / 2009, terpidana Joko Sugiarto Tjandra.

Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai :

a) Mengapa Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali dalam perkara tindak pidana korupsi.

b) Bagaimana cara pembuktian Novum (keadaan baru) dalam

kehilafan hakim.

c) Apa dasar pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan

Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek tindak

pidana korupsi.

Bila judul tesis tersebut bermiripan akan tetapi permasalahan dan penyajian

dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan

dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis

sendiri yang di dasarkan pada referensi buku-buku dan informasi. Maka berdasarkan

pada alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli

dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena penekanan

pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian oleh peneliti-peneliti lainnya.

Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan dapat dikemukakan bersifat orisinal

dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir

1.7.1 Landasan Teoritis

Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka

diperlukan landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

21

bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk

mengucapkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan

teori tersebut juga merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori-teori

hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum serta norma-norma

hukum.12

Dalam tesis (tulisan) ini tentang Pengaturan Hak Mengajukan

Upaya Hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana (terkait dikabulkannya

Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum), akan

dibahas lebih luas dan lebih mendalam. Sebagaimana upaya hukum

(rechts middelen) lainnya, seperti perlawanan, banding, kasasi dimana

upaya hukum Peninjauan Kembali dalam proses peradilan pidana dapat

dikatakan bagian dari proses penegakan hukum sebagaimana pendapat

dari Bagir Manan. 13 Penegakan hukum di Indonesia sejalan dengan

perkembangan masyarakat telah banyak mengalami pergeseran

peradigma, sesuai KUHAP telah terjadi perlakuan yang cukup besar

terhadap tersangka atau terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa, sejak

pada tingkat penyidikan sudah dapat didampingi oleh Penasehat Hukum.

Upaya penegakan supremasi hukum, menurut Nyoman Serikat

Putra Jaya, harus ditegakkan asas persamaan didepan hukum (equality

before the law) yang didukung oleh Kekuasaan Kehakimanyang

merdeka dari segala pengaruh (baik internal maupun eksternal) sebagai

12 Anonim, 2008, Buku Pedoman Pemeriksaan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu

Hukum, Universitas Udayana, hal 10. 13 Bagir Manan,2005, “Penegakan Hukum yang Berkeadilan,” dalam Varia Peradilan Tahun ke XX

Nomor 241, Ikatan hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta (selanjutnya disebut Bagir Manan I), hal 10.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

22

langkah dalam menciptakan sistim checks and balances antara kekuasaan

eksekutif, legislatif dan yudikatif agar tidak terjadi dominasi kekuasaan

oleh salah satu cabang penyelenggaraan negara tersebut. 14

Terkait dengan proses penegakan hukum, menurut Bagir Manan

terdapat dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum

tersebut, yaitu tata cara penegakan hukum (prosudural justice). 15 Tata

cara dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan, karena

menurut Bagir Manan, tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai

dengan cara-cara yang adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses

menurut Wayne La Favre sebagaimana dikutif Soerjono Soekamto, pada

hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat

keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi

mempunyai unsur penilaian pribadi. 16

Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut diatas, dalam

pandangan Satjipto Rahardjo, menyatakan penegakan hukum pada

hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep

yang notabene adalah abstrak. Dikatakan demikian karena pada

hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat

digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Karenanya Satjipto Rahardjo

mengelompokkan pendapat Gustav Radbruch sebagai yang abstrak

14 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 132. 15 Bagir Manan, Op.cit hal 10. 16 Soerjono Soekamto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal 7.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

23

tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan sosial. 17

Bertitik tolak dari pendapat-pendapat para sarjana tersebut, dapat

dikatakan bahwa upaya hukum (rechts middlelen) baik perlawanan,

banding, kasasi maupun Peninjauan Kembali merupakan bagian dari

proses penegakan hukum, karena pada hakekatnya upaya hukum (rechts

middelen) juga merupakan upaya mewujudkan ide mencapai keadilan

ataupun kepastian hukum serta kemanfaatan sosial.

Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 12 dari Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana bahwa upaya hukum (rechts

middlelen) adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menerima

putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi

atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali

serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).

Secara singkat eksistensi upaya hukum tersebut adalah upaya untuk

mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil (materiil waarheid) bagi

terdakwa/terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dari pengadilan yang

lebih tinggi. 18

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana, maksud dari upaya hukum pada pokoknya adalah untuk

memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan

17 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,

(selanjutnya disebut Satjipto Raharjo I) hal 12. 18 Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek, Tehnik Penyusunan

dan Permasalahannya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 210.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

24

untuk kesatuan dalam peradilan.19 Disamping itu Martiman

Prodjohamidjojo juga menyatakan bahwa upaya hukum adalah alat untuk

memperbaiki kesalahan-kesalahan atas putusan hakim. 20

Adapun tujuan daripada upaya hukum itu sendiri pada dasar

sebagai berikut:

a. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menyatakan

peradilan (operasi justice)

b. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat

sewenang-wenang dari hakim

c. Memperbaiki kealpaan –kealpaan dalam menjalankan peradilan

d. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan

keterangan baru (novum).

Peninjauan Kembali (herzeining) sebagai upaya hukum luar biasa,

mulai serius dibicarakan setelah munculnya kasus Sengkon dan Karta.

Karena pada saat itu telah terjadi kesalahan negara yang telah terlanjur

menghukum Sengkon dan Karta, yang kemudian terbukti tidak bersalah

karena itu diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980

yang sifatnya sementara. Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara

mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali tidak seharusnya dibuat

dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan harus melalui

undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak

19 Anonim, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Yayasan

Pengayoman, Jakarta, hal 159. 20 Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,Jakarta,

hal 144.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

25

Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut karena mendapat reaksi dari

pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980

dikeluarkan mengacu kepada Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 21 Melalui Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum Peninjauan

Kembali terhadap perkara pidana ketika itu menjadi dimungkinkan

sebagaimana diatur dalam Pasal 9 nya, untuk mengatasi perkara Sengkon

dan Karta. Selanjutnya setelah lahir Kitab Undang-undang Hukum Acara

itu, ketentuan upaya hukum Peninjauan Kembali telah diatur dalam

ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP.

Dalam perkembangan praktek peradilan selama ini, upaya hukum

Peninjauan Kembali bukan saja diajukan oleh terpidana atau ahli

warisnya, tetapi juga diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Adapun

beberapa perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum

upaya hukum Peninjauan Kembali, yang telah diputus oleh Mahkamah

Agung seperti perkara Muchtar Pahpahan, perkara Ram Gulumal alias

V.Ram (The Gandhi Memorial School), Soetiawati alias Ahua binti

Kartaningsih, perkara Joko Soegiarto Tjandra, serta perkara Pollycarpus

Budihari Priyanto, terlihat Mahkamah Agung telah menyimpang dari

ketentuan Pasal 263 KUHAP.disamping memperlihatkan kesan tidak

adanya konsistensi dalam penerapan Undang-undang (KUHAP) oleh

21 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan

dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

26

Mahkamah Agung dalam mengadili perkara yang dimohonkan upaya

hukum Peninjauan Kembali, karena dalam penegakan hukum pidana

akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan juga menimbulkan

ketidak adilan karena Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya Nomor

10 Tahun 2009 telah melarang permohonan upaya hukum Peninjauan

Kembali lebih dari satu kali dan memerintahkan Ketua Pengadilan

Tingkat Pertama dengan penetapannya untuk menyatakan permohonan

upaya hukum Peninjauan Kembali itu dinyatakan tidak dapat diterima,

bila permohonan Peninjauan Kembali diajukan lebih dari satu kali.

Padahal sesuai norma ketentuan Pasal 263 KUHAP bahwa yang berhak

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli

warisnya, sementara karena perkembangan praktek saja, kemudian

Jaksa/Penuntut Umum dibolehkan mengajukan upaya hukum Peninjauan

Kembali semestinya untuk keadilan, bila kemudian setelah upaya hukum

Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, ternyata kemudian

terpidana memiliki fakta hukum baru (novum) yang potensial dapat

melumpuhkan putusan sebelumnya, kepada terpidana juga harus

diberikan kesempatan atau dibuka ruang untuk dapat mengajukan

Peninjauan Kembali.

Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diklarifikasi secara

akademik melalui teori-teori yang berkaitan. Dalam Shorter Oxford

Dictionary dikatakan bahwa definisi teori adalah merupakan suatu skema

atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

27

atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena ........suatu

pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum

atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.22 Dalam tesis ini

teori-teori dimaksud untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu

fenomena tertentu yang berkaitan dengan pengaturan hak, pengaturan

Upaya Hukum Peninjauan Kembali Bagi Terpidana (Terkait

Dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut

Umum). Penguraian landasan teoritis ini berangkat dari teori atau konsep

antara lain :

1.7.1.1 Teori Keadilan dari John Rawls

Bahwa Pasal 263 ayat (1) sampai ayat (3) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur tentang upaya hukum

Peninjauan Kembali harus memberikan rasa keadilan, baik terhadap

pelaku tindak pidana tersebut maupun korban dari tindak pidana, dengan

memberikan keadilan prosedural kepada kedua pihak tersebut.

Sedangkan pihak korban, kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut

Umum.

Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam yurisprudensi tersebut

(Perkara Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 10 Desember 1983) dapat

dijelaskan antara lain dari pertimbangan hak asasi antara kepentingan

perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali ) dengan kepentingan

umum, bangsa dan negara. Di lain pihak, disamping perseorangan

22 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

28

(terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut

dapat pula melakukan Peninjauan Kembali .

Bahwa pertimbangan tersebut di atas, sesuai dengan model yang

bertumpu pada konsep “daad-dader-strafrecht”, yang oleh Muladi

disebut model “keseimbangan kepentingan”, yaitu model yang realistis

yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum

pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan

individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban

kejahatan23 dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum

Pancasila, yaitu pengayoman. Dimana hukum harus mengayomi semua

orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana maupun

korban tindak pidana.

Dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam

penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan. Di satu sisi

kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan

di sisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang

bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa

nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari fungsinya aspek

kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek

perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh

karena itu, konsekuensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya,

maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan

23 Muladi, 1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bajan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal 5

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

29

melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain, agar

dapat mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi, hakim

harus berani mereduksi nilai kepastian hukum.24

Pendirian diatas sejalan dengan praktik peradilan yang terjadi

selama ini, seperti dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu :

dalam perkara Mochtar Pakpahan, Ram Gulumal alias V Ram (kasus The

Gandhi Memorial School ), Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih,

Joko S Tjandra maupun Pollycarpus budihari Priyanto, telah terjadi

reduksi terhadap nilai kepastian hukum yang terkandung dalam norma

Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam beberapa putusan tersebut Mahkamah

Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali telah menerima permintaan

upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.

Putusan Mahkamah Agung mana telah menyimpang dari norma yang

terdapat dalam KUHAP, karena sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1

KUHAP, Jaksa/Penuntut Umum bukan sebagai pihak yang dapat

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, melainkan pihak yang

dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana

atau ahli warisnya saja. Disini menunjukkan dari Mahkamah Agung telah

melakukan langkah mereduksi nilai kepastian hukum yang terdapat

dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP.

Terhadap pendirian Mahkamah Agung dalam putusan-

putusannya tersebut, bagi kalangan yang menganut aliran positivisme

24 Varia Peradilan. Op.cit. hal. 98-99

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

30

atau analytical positivism atau rechts dogmatick, yang cenderung melihat

bahwa hukum sebagai suatu otonom, bahwa tujuan hukum tidak lain dari

sekedar mencapai terwujudnya kepastian hukum, 25 dengan demikian

putusan Mahkamah Agung tersebut diatas sudah tentu dipandangnya

telah melampaui kewenangannya, karena telah meriduksi nilai kepastian

hukum yang ditentukan undang-undang. Karena sesuai pandangan aliran

positivisme, bahwa penyimpangan terhadap undang-undang juga

dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari

pendekatan ini adalah satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum

merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan

kenyataannya. 26

Kenyataan-kenyataan dasar yang dimaksud oleh aliran

positivisme diatas, telah ditentukan sebagai berikut :

1. Tata hukum negara tidak dianggap berlaku, karena hukum itu

mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial (menurut Conte dan

Spencer), bukan juga karena hukum itu bersumber dari jiwa bangsa

(menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan

cermin dari suatu hukum alam. Dalam pandangan positivisme

yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itumendapat

bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang.

2. Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat

dipandang, dengan kata lain bahwa hukum sebagai hukum hanya

ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis

hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material.

3. Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai

bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap

variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung

situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam

25 Ahmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama,

Jakarta, hal. 94

26 Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, (selanjutnya

disebut Theo Huijbers I) hal. 128

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

31

suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan

hukum. 27

Berkaitan dengan pandangan positifisme diatas, dalam teori

HLA Hart, terdapat pembedaan dua sistem hukum, yaitu apa yang

disebut sebagai aliran primer (primery rules) dan aturan sekunder

(secondary rules). 28 Aturan primer (primery rules) lebih menekankan

kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Artinya

agar berbuat atau bertingkah laku sebagaimana seharusnya sesuai dengan

norma yang ada. Sedangkan dalam secondary rules atau yang disebut

sebagai aturan tentang aturan (rules about rules) meliputi :

- Pertama : aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang

dapat dianggap sah (rules of recognation)

- Kedua : bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change)

dan

- Ketiga : bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksa (rules

of adjudication) 29

Dari teori positivisme yang memandang hukum hanya berlaku

oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi

yang berwenang dan hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan

bentuk formalnya, ajaran ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa

suatu produk hukum dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat sebagai

pedoman. Oleh karenanya keputusan-keputusan hukum yang akan

dihasilkan oleh pihak manapun tidak dengan mudah berubah-ubah, tidak

27 Ibid, hal. 128-129

28 HR Otje Salman S dan Anton F Susanto, Op.cit, hal. 90

29 HR Otje Salman Salman, Ibid hal. 90-91

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

32

bertentangan satu dengan yang lainnya, mudah dimengerti dan tidak

membingungkan serta memiliki nilai kepastian.

Putusan-putusan Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan

diatas, dalam pandangan aliran positivisme akan sulit untuk diterima,

karena tidak berdasarkan pada ketentuan hukum (KUHAP), karena

putusan Mahkamah Agung tersebut telah menyimpang dari norma pasal

263 ayat 1 KUHAP, dimana Mahkamah Agung telah menerima upaya

hukum Peninjauan Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum, yang tidak

ditentukan sebagai pihak dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP. Penyimpangan

yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut menurut pandangan aliran

positivisme dinilai tidak konsisten terhadap pelaksanaan undang-undang

karena tidak berdasarkan pada aturan yang ada dan tidak memberikan

kepastian hukum. Ketidak pastian hukum ini akan berlanjut, bagaimana

hak bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali

terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali oleh

Jaksa/Penuntut Umum, mengingat sesungguhnya Pasal 263 ayat 1

KUHAP hanya memberikan hak untuk mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali hanya pada terpidana atau ahli warisnya, hal inilah

menjadi kajian dalam tesis ini dan pembahasannya lebih mendalam akan

dibahas dalam bab tersendiri.

Bahwa pandangan positivisme diatas, kalau dilihat dalam

penegakan hukum, sepintas nampaknya dapat dijadikan pegangan dalam

usaha menegakkan asas kepastian hukum tersebut. Hal ini dikarenakan

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

33

hukum ditanggapi sebagai kaidah-kaidah (undang-undang) yang

mengatur hidup bersama, dibuat oleh instansi yang berwenang dan

berlaku sebagai norma. Akan tetapi, dibalik pandangan tersebut, banyak

juga pendapat para ahli hukum yang mengkritisi, apakah kaidah-kaidah

hukum dalam suatu undang-undang sudah dipastikan dapat dikatakan

sebagai hukum yang baik dalam tata kehidupan masyarakat sebagaimana

yang dicita-citakan.

Bila ditinjau dari sisi keadilan, dimana putusan-putusan

Mahkamah Agung yang menerima upaya hukum Peninjauan Kembali

yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, belum tentu dikatakan sebagai

putusan yang keliru atau salah karena telah menyimpang dari ketentuan

yang berlaku (KUHAP) karena berdasarkan fakta ternyata ada peraturan

perundang-undangan yang tidak mencerminkan pada prinsip-prinsip

keadilan. Dimana hal tersebut sebagaimana diketahui bahwa KUHAP,

khususnya dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, tentang upaya hukum

Peninjauan Kembali, ternyata hanya memungkinkan terpidana atau ahli

warisnya saja yang boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali

dan tidak memberi kesempatan kepada pihak lainnya, yaitu

Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan korban kejahatan atau

masyarakat lainnya ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP jelas bersifat

diskriminatif, karena tidak memberikan hak yang sama (equal treatment)

bagi pihak dalam suatu proses perkara (pidana), hal ini jelas bertentangan

dengan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945,

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

34

bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum), karena membeda-bedakan hak terpidana dengan Jaksa/Penuntut

Umum, hal ini sejalan dengan substansi putusan Mahkamah Kostitusi

Nomor 65/PUU-IX/2011. 30

Perlakuan tidak adil (unequal treatment) dalam suatu peraturan

perundang-undangan akan sulit untuk mencari kebenaran materiil dalam

suatu proses perkara pidana, apabila ternyata kemudian dapat diketahui

bahwa terdapat kesalahan atau kekeliruan yang nyata telah dilakukan

oleh hakim dalam memutus suatu perkara pidana, yang mengakibatkan

kerugian bagi korban kejahatan atau masyarakat umum. Apabila terjadi

kejadian seperti ini, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan

tertinggi di Indonesia, yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk

mencari jalan keluar dan menyelesaikansudah pada tempatnya

mengambil tindakan yang didasarkan masalah tersebut dan apabila

Mahkamah Agung sebagai institusi yang mempunyai tugas

menyelesaikan masalah tersebut, bila memutus perkara itu hanya semata-

mata apa katanya undang-undang sebagai corong undang-undang maka

dapat dibayangkan korban kejahatan atau masyarakat umum untuk

selamanya tidak bisa membela kepentingannya.

Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan tersebut, Mahkamah

Agung sudah pada tempatnya mengambil tindakan yang didasarkan pada

30 Berita Kompas, hari Selasa, Tanggal 3 Pebruari 2015, hal. 6 kolom 2-5

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

35

prinsip-prinsip keadilan hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan

memberikan rasa keadilan bagi mereka yang secara langsung berhadapan

dengan persoalan itu. Karena pada prinsip-prinsip keadilan, jika

diterapkan pada fakta struktur masyarakat, harus mengerjakan 2 (dua)

hal, yaitu :

1. Memberi penilaian konkrit tentang adil tidaknya institusi-institusi dan

praktek-praktek institusional.

2. Membimbing kita dalam mempertimbangkan kebijakan-kebijakan

dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar

masyarakat tertentu. 31

Berkaitan dengan prinsip keadilan diatas John Rawls dalam

teorinya yang disebut sebagai Kerdetan Prosudural Murai, menyatakan :

The procedure for determining the just result must actually be carried

out for in these cases there is no independent critirion by refrence to

whict a definite autcome can be know to be just. Clearly we cannot say

that a particular state of affair is just because it could have been reached

by following a fair procedure. This sould permit for too much and would

lead to absurdly consequences. 32

Menurut Jhon Rawls, bahwa prosudur untuk menentukan hasil

yang adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada

kriteria independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil.

Lebih lanjut disebutkan John Rawls, kita tidak bisa mengatakan bahwa

kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti

31 Darji Darnodiharjo dan Sidharta, 2006, Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum

Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 163

32 John Rawls, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambrigde, Massachusetts, hal 86

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

36

prosudur yang fair. Hal ini akan terlampau banyak membiarkan dan

secara absurd akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak

adil.

Melalui teori John Rawls diatas, ingin dijelaskan bahwa

penerapan Pasal 263 KUHAP secara tekstual tidaklah menjamin akan

mendatangkan nilai adil dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan

Peninjauan Kembali, oleh karenanya pencarian prosudur yang adil perlu

diupayakan, yaitu ketika ditemukan adanya unsur ketidak adilan.

Selain itu John Rawls juga menegaskan, bahwa The minimum

cafacity for the sense of justice insures that everyone has equel rights.

The claims of all are to be adjudicated by the principle of justice.

Equality is supported by the general facts of nature and not merely by

aprosudural rule withhout substantive force.33 Untuk menjamin

pencapaian keadilan prosudur diatas, menurut Jhon Rawls, setiap orang

harus mempunyai hak yang setara. Kesetaraan tersebut didukung oleh

fakta-fakta alamiah umum, bukan sekedar dengan sebuah aturan prosedur

tanpa kebenaran substantif. Teori keadilan dari Jhon Rawls adalah

sejalan dengan putusan-putusan Mahkamah Agung yang telah

mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh

Jaksa/Penuntut Umum.

Keadilan yang tercipta setelah dikabulkannya atau

dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum

33 Berita Kompas, Hari Selasa, Tanggal 3 Pebruari 2015, hal. 6 kolom 2-5

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

37

Peninjauan Kembali, kemudian kembali terjadi ketidak adilan prosudur

dalam proses perkara pidana dengan dikeluarnya Surat Edaran Nomor

10 Tahun 2009 oleh Mahkamah Agung, dimana Surat Edaran tersebut

pada pokoknya menyatakan : “bahwa permohonan Peninjauan Kembali

perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu

kali bertentangan dengan undang-undang.” Dan apabila terjadi

pelanggaran terhadap ketentuan tersebut Ketua Pengadilan Tingkat

Pertama, diperintahkan untuk menyatakan permohonan Peninjauan

Kembali tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.

Padahal kalau dicermati secara seksama sesungguhnya dengan

dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum, mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung, sebenarnya terpidana

secara faktual belum pernah menggunakan haknya yang diberikan oleh

ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut. Dan bagaimana halnya

kemudian suatu kelak setelah upaya hukum Peninjauan Kembali yang

diajukan Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan Mahkamah Agung, ternyata

kemudian terpidana mempunyai alasan bahwa “terdapat keadaan baru

(novum) yang kualitasnya mampu atau potensial dapat melumpuhkan

Putusan Mahkamah Agung tersebut, oleh karena itu adalah memenuhi

rasa keadilan apabila kepada terpidana itu dibuka ruang untuk dapat

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya

upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

38

Karena itu teori-teori keadilan dari John Rawls, selanjutnya akan

dipergunakan untuk menganalisis, Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009

tersebut, yang melarang diajukannya permohonan upaya hukum

Peninjauan Kembali lebih dari satu kali.

1.7.1.2. Teori Responsif oleh Nonet-Selznick

Pandangan positivisme muncul sebagai akibat pengaruh

perkembangan masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan

tingkat sosial ekonomi sebagai akibat dari pesatnya industrialisasi.

Sehingga hal itu mempengaruhi cara berfikir masyarakat modern

terutama selama masa pencerahan, pada umumnya bersifat

rasionalistis dan individualistis. Dalam rasionalisme itu orang

berfikir dengan bertolak atau berangkat dari ide-ide yang umum

yang berlaku bagi semua manusia individual. 34 Hal ini dikatakan

oleh Satjipto Rahardjo bahwa :

Masyarakat terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan

adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para

anggotanya dan tugas itu diletakkan dipundak hukum. Kepastian

hukum menjadi semacam idiologi dalam kehidupan berhukum,

sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai

kata tersebut. Dengan menjadi idiologi, terjadi kecenderungan

untuk mencampur adukkan antara pernyataan dan

kebenarannya. 35

Kepastian hukum (rechts sicherkeit/security/rechts zekerheid)

adalah sesuatu yang baruyaitu sejak hukum itu dituliskan,

dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum menyangkut

34 Theo Huijbers I, Op.cit hal 104

35 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu

Hukum Universitas Diponogoro, Uki Press, Jakarta,(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), hal 133

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

39

masalah “law being written down” bukan tentang keadilan dan

kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicher keit des rechts selbst

(kepastian tentang hukum itu sendiri) 36 sehingga terlihat bahwa

hukum hadir bukan lagi untuk melayani masyarakat dan

mendatangkan kesejahteraan bagi manusia, melainkan hadir demi

dirinya sendiri.

Seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat,

seringkali aturan hukum yang ada tidak mendukung terhadap suatu

peristiwa konkrit, seperti yang terlihat pada aturan yang mengatur

tentang upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali.

Dimana dalam ketentuan pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya mengatur

terpidana atau ahliwarisnya yang dapat mengajukan permohonan

upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.

Ketentuan mana terkesan diskriminatif, karena hanya melindungi

individu pelaku dari tindak pidana tersebut (terpidana) atau ahli

warisnya, dan tidak mencerminkan asas persamaan didepan hukum

(equality before the law) maupun asas perlindungan hak warga

negaramelalui proses hukum yang adil (due process of law)

sebagaimana ditentukan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar

1945, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama dihadapan hukum.

36 Ibid, hal 135-136

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

40

Fakta menunjukkan dalam pandangan positivisme demi

terwujudnya kepastian hukum dan keteraturan yang ada dalam

kehidupan bermasyarakat, Mahkamah Agung sebagai penegak

hukum sekaligus sebagai salah satu pemegang kekuasaan

kehakiman (tertinggi), diharuskan melaksanakan aturan hukum

(undang-undang) apa adanya atau sesuai teks yang tertulis dalam

undang-undang. Penegakan hukum yang demikian sepertinya tidak

memberikan ruang bagi pihak-pihak yang merasa kepentingannya

terganggu untuk membela diri, padahal dalam praktek peradilan,

tidak tertutup kemungkinan terjadi kekeliruan atau kealpaan atau

kesalahan penerapan hukum oleh hakim dalam suatu putusan

peradilan.ketika terjadi kealpaan atau kesalahan penerapan hukum

dalam putusan pengadilan, maka pihak korban kejahatan atau

masyarakat umum maupun negara yang merasa kepentingannya

terganggu, berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut, dimana

Jaksa/Penuntut Umum sebagai institusi yang dalam perkara pidana

mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum

maupun negara, menjadi tidak dapat menuntut hak yang terganggu

tersebut karena memang sudah dibatasi oleh undang-undang.

Apabila ketentuan diatas diberlakukan secara strict atau kaku,

maka pasti sudah dapat dibayangkan essensi tujuan hukum pada

segi yang lain, yaitu rasa keadilan, akan sulit dapat diwujudkan.

Karena sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum tidak hanya

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

41

ingin untuk mewujudkan tercapainya kepastian hukum semata,

tetapi juga bertujuan untuk mewujdkan ketertiban dan keadilan

secara konkrit dan nyata dalam masyarakat.

Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk

berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang telah dicapai,

tetapi lain pihak juga memperlihatkan usaha untuk mendorong dan

mengarahkan perubahan. Pemositifan hukum dalam perundang-

undangan menjadikan hukum itu terbatas dan sering tertinggal oleh

dinamika perkembangan masyarakat. Untuk itu menurut

Khudzaifah Dumyati diperlukan cara-cara yang dapat menjadi

sistim hukum positif itu survive dan tetap mampu menyelesaikan

persoalan yang dihadapkan kepadanya baik pada saat sekarang

maupun yang akan datang (ius constituendum), konstruksi hukum,

penafsiran analogi, penghalusan hukum, adalah contoh-contoh

untuk itu. 37

Berkaitan dengan persoalan hukum diatas, Philippe Nonet

dan Philip Selznick (Nonet-Selznick) dalam teorinya yang dikenal

dengan teori hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana

respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik.

Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka hukum mengedepankan

37 Khudzaefah Dunyati,2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di

Indonesia, 1945-1990, Muhammadiah University Press, Surakarta, hal 65

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

42

akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi

mencapai keadilan dan emansipasi publik. 38

Perkembangan hukum yang terjadi sekarang ini, telah timbul

permasalahan tentang hak permintaan upaya hukum Peninjauan

Kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dalam perkara pidana. Praktik peradilan dalam

menyikapi permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut,

ternyata telah melangkah melebihi aturan hukum yang telah diatur

dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, dimana Jaksa/Penuntut Umum

telah dibenarkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali,

dengan pertimbangan utama untuk memberikan nilai keadilan bagi

pihak-pihak dalam suatu perkara, hal ini terbukti dengan telah

dikabulkannya oleh Mahkamah Agung beberapa upaya hukum

Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum,

sebagaimana telah disinggung diatas.

Praktik peradilan tersebut terlihat sebagai respon terhadap

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini seperti teori

hukum responsif yang dikemukakan Nonet-Selznick bahwa hukum

dituntut menjadi sistim yang terbuka dalam perkembangan yang

ada dengan mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of

38 Bernart L Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV.Kita,

Surabaya,hal 239

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

43

purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-

akibat yang timbul dari kerjanya hukum. 39

Hukum seperti ini yang dibutuhkan dalam masa transisi.

Artinya, ketika suatu aturan hukum yang telah ada tidak lagi bisa

menjawab permasalahan yang timbul akibat perkembangan yang

terjadi terjangkau oleh aturan hukum tersebut, maka hukum harus

peka mengakomodasi perkembangan yang ada itu demi mencapai

keadilan dalam masyarakat.

Atas dasar itu maka dalam doktrinnya Nonet-Selznick

mengemukakan, pertama hukum itu harus fungsional, pragmatik,

betujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan

evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum. 40 Karena kompetensi

sebagai tujuan berfungsi norma kritik, maka tatanan hukum

responsif menekankan kepada :

1. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum

2. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan

kebijakan

3. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan

akibat bagi kemaslahatan masyarakat

4. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam

pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi

pada tujuan

5. Memupuk sistim kewajiban sebagai ganti sistim paksaan

6. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam

menjalankan hukum

7. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas

hukum dalam melayani masyarakat

8. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan

terhadap legitimasi hukum

39 Ibid, hal 239

40 Ibid, hal 240

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

44

9. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka

integrasi advokasi hukum dan sosial 41

Menarik teori hukum responsif diatas, dalam hal suatu

keputusan hukum berorientasi pada maksud mencari keadilan atau

kemanfaatan bagi masyarakat, seperti dalam pemberlakuan hak

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun

dalam aturan hukum yang telah ada (Pasal 263 ayat 1 KUHAP),

Jaksa/Penuntut Umum tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, namun Mahkamah

Agung dalam beberapa putusannya telah mengabulkan atau

membenarkan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum atas

dasar pertimbangan terciptanya nilai keadilan dalam masyarakat.

Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009

oleh Mahkamah Agung, yang pada pokoknya telah melarang diajukan

upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap perkara

yang sama, telah menimbulkan ketidak adilan (baru) lagi terhadap

terpidana. Karena walaupun secara normatif (Pasal 263 ayat 1 KUHAP)

terpidana atau ahli warisnya dinyatakan dapat mengajukan permintaan

(upaya hukum) Peninjauan Kembali. Akan tetapi kalau dicermati dengan

seksama, sesungguhnya secara faktual terpidana belum pernah

menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan

41 Ibid, hal 240-241

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

45

Kembali yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 263

ayat 1 KUHAP). Terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan

Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena bagaimana

halnya setelah dikabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang

diajukan Jaksa/Penuntut Umum, kemudian terpidana atau ahli warisnya

menemukan atau memiliki alat bukti baru (novum) yang kualitasnya

mampu atau potensial dapat melumpuhkan putusan Mahkamah Agung

tersebut. Oleh karena itu akan memenuhi nilai rasa keadilan, apabila

kepada terpidana atau ahli warisnya dibuka ruang untuk mengajukan

upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya upaya hukum

Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. Oleh karena

itu teori hukum responsif dari Nonet-Selznick juga akan dipergunakan

untuk menganalisa upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh

terpidana atau ahli warisnya, terkait dikabulkannya upaya hukum

Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.

1.7.1.3. Teori Perlindungan Hukum

Disamping itu penelitian tesis ini menggunakan teori

perlindungan hukum, baik terhadap masyarakat yang terlibat

dalam proses peradilan pidana sebagai pelaku tindak pidana

maupun masyarakat (pihak) yang menjadi korban daripada tindak

pidana tersebut.

Sebagaimana diketahui, secara umum sering dikatakan

bahwa fungsi dari suatu undang-undang acara pidana adalah untuk

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

46

membatasi kekuasaan negara dalam melindungi setiap warga

masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga

diharapkan terjamin perlindungan para tersangka dan terdakwa

dari tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan. Dengan

demikian, hukum yang sama memberikan pula pembatasan

terhadap hak asasi warganya. Jaminan dan perlindungan terhadap

hak asasi manusia dalam peraturan hukum acara pidana

mempunyai arti yang sangat penting sekali, karena sebagian besar

dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus

kepada pembatasan-pembatasan hak asasi manusia.

Di lain pihak, korban dari tindak pidana, bukan hanya

dimaksudkan sebagai obyek dari suatu tindak pidana, akan tetapi

harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu mendapatkan

perlindungan hukum. Korban adalah mereka yang menderita

jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain

yang mencari pemenuhan kepantingan diri sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang

dirugikan. Memperhatikan sejarah perkembangan hukum pidana,

pada mulanya reaksi atas suatu tindak pidana adalah menjadi hak

dari korban, yang berakibat terjadi balas dendam yang tidak

berkesudahan. Karena perbuatan tersebut mengganggu ketertiban

masyarakat, maka kemudian reaksi itu diambil alih oleh negara,

yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada jaksa dalam

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

47

rangka mewakili kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan

korban di dalamnya.

Jaksa yang merupakan presentasi mewakili kepentingan

korban dan disamping untuk mewakili kepantingan negara dan

masyarakat, maka dalam memberikan perlindungan terhadap

korban kejahatan, adalah adil kalau kepada Jaksa/Penuntut Umum

dapat diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan

Kembali . Berdasarkan pembahasan perlindungan terhadap korban

dari suatu tindak pidana, dipahami bahwa upaya hukum

Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum

merupakan sebagai sarana hukum untuk melindungi kepentingan

korban tindak pidana, disamping juga untuk melindungi

kepentingan umum dan negara atas pelaku dari tindak pidana

tersebut. Sehingga pihak korban dari tindak pidana tersebut

merasakan adanya perlindungan yang adil terhadap dirinya.

Penelitian tesis ini juga akan melihat eksistensi perlindungan

korban sebagaimana diputuskan dalam Kongres Perserikatan

Bangsa-Bangsa VII/1998 di Milan (tentang “The Prevention of

Crime and The Treatment of Offenders”). Dalam kongres tersebut

dikemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagian

integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims right

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

48

should be perceived as an integral aspect of the total criminal

justice sistem).42

Kemudian apabila dikaji dari perspektif teoritis, pengertian

korban kejahatan mempunyai pelbagai dimensi. Berdasarkan

ketentuan dalam angka 1 dalam “Declaration of Basic Principle of

Justice for Victim of Crime and Abuse of Power” pada tanggal 6

September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi

Nomor. A/Res/40/34 tahun 1985 menegaskan sebagai berikut :

“Victim means persons who, individually or cellectively have

suffered harm, including physical or mental injury, emotional

suffering, ecoNomormic loss or substansial inspirement of their

fundamental right, through acts or omissions that are in violation

of criminal laws operative within member states, including those

laws proscribing criminal abuse power.” (Korban adalah orang-

orang baik secara individual maupun kolektif, yang menderita

kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan

emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hak-

hak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku di

suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang

penyalahgunaan kekuasaan)43

Pengertian korban oleh Arif Gosita diartikan adalah mereka yang

menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang

lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang

lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita.

42 Dokumen Kongres PBB ke-7, Nomor. Kode A/CONF.121/C.2/L.14, hal. 14, dan vide pula Report

Seventeen UN Congress, New York 1986, hal. 147

43 Korban kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dengan titik tolak KUHAP dan KUHP,

mempergunakan terminologi yang berbeda yaitu sebagai pelapor, pengadu, saksi korban, pihak ketiga yang

berkepentingan dan pihak yang dirugikan.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

49

Apabila dikaji lebih jauh, perspektif kerugian korban dapat

diderita oleh seseorang, kelompok masyarakat maupun

masyarakat luas. Selain itu, kerugian korban dapat bersifat

materiil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateriil, yakni

perasaan takut, sakit, kejutan psikis dan lain-lain.44 Dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia, ternyata kedudukan korban relatif

kurang diperhatikan karena ketentuan hukum masih bertumpu

pada perlindungan bagi pelaku tindak pidana. Sedangkan

kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa/Penuntut

Umum, hal ini merupakan bagian dari perlindungan masyarakat

sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial dan teori

solidaritas sosial.45

Upaya hukum Peninjauan Kembali sebagaimana diatur

dalam Pasal 263 KUHAP, dari segi keadilan kepada korban

kejahatan yang kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut

Umum, sudah pada tempatnya upaya hukum Peninjauan Kembali

oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak perlu dipermasalahkan dan

diperdebatkan oleh semua kalangan. Namun yang perlu dikaji

lebih lanjut bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum

Peninjauan Kembali bagi terpidana, terkait dikabulkannya upaya

Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut.

44 Mardjono Reksodipoetro, 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan. Jakarta, Universitas

Indonesia,(selanjutnya disebut Mardjono Reksodipoetro I) hal. 78

45 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana., PT. Alumni, Bandung, hal. 78

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

50

1.7.1.4 Teori Ajaran Prioritas Baku

Penelitian ini menggunakan teori keadilan tentang ajaran

“prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch,

dimana keadilan selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus

memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus

pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara

kemanfaatan atau kepastian hukum, maka pilihannya harus pada

kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut pula dalam

Rancangan Undang-Undang KUHP dalam Pasal 18 yang

berbunyi sebagai berikut :

Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin

saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata.

Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan

hukum yang akan diterapkannya, hakim sejauh mungkin

mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.

Bahwa berdasarkan pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan

oleh Menteri Kehakiman bahwa :

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan kebenaran

materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara

jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang

dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum dan

selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan

guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah

dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan,

maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk

mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran

ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya.46

46 Varia Peradilan. Op.cit. hal. 99

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

51

Apabila memperhatikan undang-undang, bahwa undang-

undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan,

tapi seringkali tidak jelas. Walaupun demikian harus melakukan

peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian, undang-undang

memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya

ketentuan undang-undang itu atau artinya suatu kata yang tidak

jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh

menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau

historis, baik recht maupun wet historis.47

Dari hal-hal yang diuraikan di atas, apabila terdapat

ketidakjelasan suatu aturan hukum, dalam hal aturan mengenai

upaya hukum Peninjauan Kembali , maka mengatasi perseoalan ini

pendekatan keadilan yang harus dikedepankan daripada kepastian

hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulus E. Lotulung, bahwa

hakim harus pandai-pandai menemukan hukum dan pencarian

hukum, karena hakim bukan sebagai corong undang-undang dan

disamping itu banyak aturan hukum yang sudah tidak sesuai

dengan rasa keadilan. Untuk penemuan hukum itu, titik tolaknya

didasarkan semata-mata dengan rasa keadilan.48

1.7.1.5 Teori Hukum Progresif

Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang

kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab dan bukan

sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari

47 Lie Oen Hock. Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum. hal. 11

48 Paulus E. Lotulung, dalam ceramah “Temu Wicara antara Mahkamah Agung dengan Bank Indonesia”

di Hotel Novotel Palembang tanggal 20 Mei 2010.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

52

proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak

pernah berhenti. Adapun teori ini adalah merupakan buah

pemikiran Satjipto Rahardjo yang timbul dari rasa keprihatinannya

terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia.

Keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia terlihat

ketika pada tahun 1970 an sudah ada istilah “mafia peradilan”

dalam kosakata hukum di Indonesia, pada Orda Baru hukum

sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena

digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi

dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Sutjipto

Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya

kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum. 49.

Selain atas alasan tersebut, gagasan hukum progresif

dimunculkan oleh Satjipto Rahardjo karena dilandasi rasa

keprihatinannya terhadap terpuruknya kondisi hukum di Indonesia

yang dianggap gagal mengantarkan bangsa di Indonesia kepada

kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia. Keterpurukan hukum

itu terjadi karena cara penyelenggaraan hukum terus dijalankan

sepertinya halnya dalam kondisi masyarakat yang normal ,

meskipun sebenarnya sedang terjadi persoalan-persoalan hukum

dalam nuansa transisi. Dalam keadaan demikian hukum

mengalami kelambanan, sehingga tidak dapat berfungsi melayani

49 Satjipto Rahardjo, 2005, Hukum Progresif, Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol

1/Nomor.1, PDIH Ilmu Hukum UNDIV, hal 3

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

53

manusia. Disamping itu penyelenggaraan hukum juga tidak peka

untuk merespon persoalan hukum yang sedang berkembang dalam

masyarakat, sehingga sering terjadi kekacauan akibat adanya

ketidak puasan masyarakat dalam kehidupan berhukum.

Dinamika kehidupan masyarakat diatas menurut Satjipto

Rahardjo, muncul karena situasi yang lama sudah tidak memadai

lagi dan tidak mampu mewadahi kehidupan yang berubah.50

Karenanya baik dalam dunia pemikiran maupun praktek, hukum

mengalami perubahan dan perkembangan. Teori lama

ditinggalkan untuk menemukan penjelasan yang lebih baru.

Praktik lama ditingalkan karena menjadikan hukum tidak mampu

menyalurkan proses-proses dalam masyarakat secara produktif. 51

Dari keadaan tersebut dalam pemikirin Satjipto Rahardjo

diperlukan hukum yang progresif, yaitu cara berhukum yang

memiliki karakteristik sebagai berikut :

Pertama, paradigma hukum progresif adalah bahwa hukum

adalah untuk manusia. Pandangan ,optik atau keyakinan dasar

ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam

berhukum, melainkan manusialah yang berada dititik pusat

perputaran hukum.

Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status

quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi

efek yang sama seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa

hukum adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah

untuk hukum.

Ketiga, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap

peranan prilaku manusia dalam hukum. Peranan manusia disini

50 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum),

Buku Kompas, Jakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III), hal 146

51 Ibid, hal 146-147

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

54

merupakan konsekwensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya

kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu

peraturan. 52

Melihat pada karakteristik diatas, maka oleh Bernard

L.Tanya dapat disimpulkan :

Bagaimana hukum Progresif, proses perubahan tidak lagi

berpusat pada peraturan , tetapi pada kreatifitas perilaku hukum

mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.

Pada pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan

melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,

tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law).

Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para

pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk

rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan

interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. 53

Dari konsep hukum progresif diatas yang melandasi

bagaimana hukum tidak saja merespon terhadap setiap

perkembangan kehidupan masyarakat yang ada, melainkan juga

bagaimana para pelaku hukum mengaktualisasikan hukum sesuai

dengan kondisi yang sedang berkembang.

Landasan konseptual gagasan hukum progresif dalam

terminologinya cenderung agak asing bagi sebagian kalangan.

Kamus Webster New Universal Unabridged Dictionary, yang

52 Ibid, hal 139-144

53 Bernard L.Tanya dkk, Op.cit hal 247

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

55

berasal dari kata progress yang berarti moving forward (bergerak

kearah depan), dapat dilacak lagi kedalam dua suku kata yaitu pro

before yang artinya sebelum) dan gradi (to step yang artinya

langkah). 54

Setidaknya memahami istilah progresivisme dalam konteks

hukum progresif bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa

pada dasarnya manusia baik. Dengan demikian hukum progresif

mempunyai kandungan moral yang kuat semangat progresivisme

ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.55 Jadi,

asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat hukum adalah

untuk manusia. Karena hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri

tetapi untuk nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai

keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.

Agenda dasar hukum progresif adalah menempatkan

manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan

mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif

mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh

karena itu hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor

peraturan dan perilaku penegak hukum di dalam masyarakat.

Disinilah arti penting pemahaman hukum progresif, bahwa konsep

hukum terbaik musti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang

54 Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya

Penegakan Hukum Indonesia, Antonylib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, hal 30

55 Ibid.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

56

bersifat utuh (holistic) dalam memahami problem-problem

kemanusiaan.

Teori ini mengajarkan bahwa berhukum progresif adalah

sebuah kerelaan dan kesediaan untuk membebaskan diri dari

paham legal positivis. Ide pembebasan diri tersebut berkaitan erat

dengan factor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para

penegak huku yaitu keberanian. Masuknya faktor keberanian

tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu tidak hanya

mengedepankan aspek peraturan (rule), tetapi juga aspek perilaku

(behavior). Dengan demikian cara berhukum yang ditunjukkan

tidak hanya tekstual, akan tetapi juga melakukan proses pencarian

terhadap makna yang tersembunyi dibalik teks secara tertulis

maupun teks yang hidup dalam masyarakat.

1.7.1.6. Teori Hukum Ekologis Oleh Carlos Cossio

Pandangan para ahli dalam aliran penemuan hukum oleh

hakim yang muncul ketika aliran legisme tidak lagi mampu

memecahkan problem-problem hukum yang ada, para ahli hukum

aliran ini berpendapat bahwamelakukan penemuan hukum oleh

hukim adalah suatu yang wajar. Pendukung aliran legisme ketika

itu memandang bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari

menerapkan undang-undang secara tegas.

Penganut aliran legisme, berpendapat bahwa undang-

undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

57

persoalan yang ada didalamnya. 56 Hal itu seperti dikemukakan

oleh Montesquieu sebagaimana yang dikutip oleh Paul Scholten,

bahwa hakim tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks

undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi,

para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya

maupun keketatannya. 57

Penemuan hukum oleh hakim menurut Paul Scholten seperti

dikutip Achmad Ali, adalah sesuatu yang dari pada hanya

penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan

bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus

ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan

analogi. 58 Sedangkan Van Eikema Hommes dalam bukunya

logica en Rechtsvinding sebagaimana dikutip oleh sudikno

Mertokusumo dan A.Pitlo, mengemukakan bahwa penemuan

hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum

oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberikan

tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum

yang konkrit. Ini merupakan proses konkritisasi dan

individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan

mengingat peristiwa konkrit. 59

56 Ahmad Ali, Op cit, hal 144

57 Ahmad Ali, Op cit, hal 143

58 Achmad Ali, Op cit, hal 146

59 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, hal 4

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

58

Pandangan aliran penemuan hukum oleh hakim penting

ditangkap untuk mendukung alasan-alasan hakim dalam usaha

mendekati cita hukum yang ditopang oleh tiga nilai dasar

sebagaimana diungkap oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan

(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian

hukum (rechts sicherkeit). 60

Berkaitan dengan tugas hakim (Mahkamah Agung) dalam

penanganan suatu perkara, menurut Franccois Geny, salah

seorang tokoh terkemuka dalam ajaran etis dengan teorinya yaitu

penafsiran hukum, dikatakan bahwa seorang hakim pertama-tama

harus mengindahkan undang-undang dengan memperhatikan

maksud tujuan pembentuk undang-undang. Bila tidak ada

undang-undang, yakni bila terdapat kekosongan hukum,

kekosongan itu harus diisi dengan hukum adat. Bila hukum adat

juga tidak ada, keputusan dapat diambil atas dasar ajaran hukum

yuris dan putusan-putusan para hakim. Hanya apabila pedoman

ini tidak ada, diperbolehkan penyelidikan ilmiah bebas. 61 Teori

Francois Geny tersebut sejalan dengan maksud Pasal 28 ayat 1

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman (sekarang Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48

Tahun 2009), yang menyatakan bahwa “ Hakim wajib menggali,

60 Satjipto Rahardjo II, Op cit, hal 135

61 Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kamisius, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Theo Huijbeers II)

hal 128

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

59

mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat.”

Para ahli pendukung aliran etis, yang menganggap bahwa

tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencai keadilan, sesuai

dengan maksud Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945,

bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

sama dihadapan hukum” maupun ketentuan Pasal 28 I ayat 2

Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap

orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”

Mengacu pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar

1945 diatas, ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP dapat

dikatagorikan sebagai aliran yang diskriminatif, karena dalam

ketentuan pasal tersebut terdapat adanya ketidak seimbangan

perlakuan dihadapan hukum, yaitu adanya pembedaan hak antara

yang dimiliki terpidana atau ahli warisnya dengan korban

kejahatan atau masyarakat umum maupun negara, yang dalam hal

ini diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena apabila ketentuan

Pasal 263 ayat 1 KUHAP diterapkan secara strict oleh Mahkamah

Agung (hakim), akan terjadi fenomena perlakuan tidak adil dan

bersifat diskriminatif, terhadap korban kejahatan atau masyarakat

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

60

umum maupun negara, yang kepentingannya diwakili oleh

Jaksa/Penuntut Umum. Karena tidak menutup kemungkinan

putusan hakim yang telah dijatuhkan sebelumnya terdapat

kekeliruan atau kesalahan yang nyata.

Ternyata dalam perkembangan praktek peradilan di

Indonesia, terhadap ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP yang

dipandang telah mengandung perlakuan tidak adil dan bersifat

diskriminatif itu, Mahkamah Agung dalam beberapa perkara

pada akhir-akhir ini telah mengambil sikap telah membenarkan

atau mengabulkan, upaya hukum Peninjauan Kembali yang

diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, yang dalam hal ini

mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum

maupun kepentingan negara.

Telah terjadi ketidak adilan dan perlakuan diskriminatif

dalam suatu peraturan, dengan telah terbitnya Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang pada pokoknya

menyatakan bahwa “ upaya hukum Peninjauan Kembali baik

perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali

bertentangan dengan undang-undang. Karena walaupun secara

normatif (Pasal 263 ayat 1 KUHAP), terpidana atau ahli

warisnya dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali,

akan tetapi terkait dikabulkannya atau dibenarkannya upaya

hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum sebagai

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

61

perujudan mewakili kepentingan korban kejahatan atau

masyarakat umum maupun kepentingan negara, dalam hal ini

sesungguhnya secara faktual terpidana atau ahli warisnya belum

pernah menggunakan haknya yang diberikan undang-undang

untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Sebab

bagaimana halnya ketika upaya hukum Peninjauan Kembali

Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan atau dibenarkan oleh

Mahkamah Agung, ternyata kemudian terpidana atau ahli

warisnya menemukan atau memiliki bukti baru (novum) yang

mampu atau potensial dapat melumpuhkan putusan Mahkamah

Agung sebelumnya. Untuk menganalisa dan mencari solusi

terhadap permasalahan ini akan dilakukan analisa melalui teori

hukum ekologis oleh Carlos Cossio.

Dalam pengamatan Francois Geny, sebagaimana dikutip

oleh Wolfgang Friedmann, penafsiran code civil oleh pengadilan

Perancis, ternyata merupakan rangkaian aksi kreatif. Para hakim

tidak hanya mengandalkan undang-undang tetapi juga adat

kebiasaan, keputusan dan doktrin serta penelitian ilmiah yang

bebas. 62 Pendapat Francois Geny tersebut menentang metode

rasionalisme yang berkembang pada abab ke 18 dan ke 19 yang

meyakini bahwa undang-undang bersifat sempurna dan lengkap

62 Bernard L. Tanya, dkk, Op.cit hal 231

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

62

sehingga dapat diterapkan begitu saja pada perkara-perkara. 63

Menurut Francois Geny, undang-undang tidak sempurna (apalagi

peraturannya berupa surat edaran). Sebuah undang-undang

(begitu juga sebuah surat edaran) tidak pernah mampu dengan

sempurna mempersentasikan kebutuhan realitas yang ada dalam

bentangan kehidupan sosial. 64

Pada sisi yang berbeda, dengan teori lain yang membahas

bagaimana hakim atau pengadilan memandang dan menyikapi

suatu aturan hukum dalam penerapan suatu perkara, kiranya dapat

diambil teori hukum ekologis dari Carlos Cossio, bahwa hukum

sebagai objek ekologis, yakni perilaku manusia dalam campur

tangan intersubyektif. Menurut Carlos Cassio, pada dasarnya

keputusan pengadilan terdiri dari 3 ( tiga ) unsur utama, yakni

pertama struktur logis yang diturunkan dari suatu kerangka

aturan. Kedua, kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan

oleh suatu keadaan khusus. Ketiga, penilaian yuridis yang

diberikan oleh hakim pada dua unsur ini dalam suatu situasi

tertentu 65.

Atas dasar itu menurut Carlos Cassio sebagaimana ditulis

Wolfgang Friedenan, bahwa dalam menghadapi suatu aturan

hukum, seorang hakim tidak bertindak sebagai robot tetapi

63 Theo Huijbers I, Op.cit, hal 247

64 Bernard L Tanya,dkk.Loc.cit

65 Bernard L. Tanya, dkk, Op.cit hal 233

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

63

sebagai manusia. Dalam konteks hakim sebagai manusia ia

dituntut mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip

keadilan dan kepentingan umum. Dalam hal ini tiada norma yang

spesifik, para hakim wajib berusaha mengikuti prinsip-prinsip

hukum atau norma-norma dasar yang dianggap adil. Untuk

sampai pada suatu keputusan yang didasarkan atas konsep

keadilan 66.

Berkaitan dengan permintaan upaya hukum Peninjauan

Kembali, Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga tertinggi

pemegang atau penyelenggara kekuasaan kehakiman diharapkan

bisa memberikan kontribusi positif dalam penegak hukum. Oleh

karenanya produk putusan yang dihasilkan tentunya diharapkan,

disamping akan memberikan nilai kemanfaatan dan nilai keadilan

bagi masyarakat sebagaimana esensi dari cita hukum.

Nampaknya Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya telah

mengabulkan suatu membenarkan upaya hukum Peninjauan

Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum sebagai perwujudan yang

mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum

maupun kepentingan negara. Namun kemudian kembali

terjadinya ketidak adilan dalam peraturan berupa Surat Edaran

Nomor 10 Tahun 2009 yang dikeluarkan Mahkamah Agung

sebagaimana telah disinggung diatas.

66 Berrnard L. Tanya, dkk, Op.cit, hal 233-234

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

64

Tuntutan demikian seiring dengan dinamika

perkembangan masyarakat yang ada sekarang ini maupun

karakteristik masyarakat Indonesia, yaitu tuntutan adanya nilai

keseimbangan. Karena karakteristik masyarakat menurut Barda

Nawawi Arief, lebih bersifat monodualistik dan prulalistik, dan

berdasarkan berbagai kesimpulan seminar nasional, sumber

hukum nasional diharapkan berorientasi pada nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat 67). Ide keseimbangan tersebut

antara lain mencakup ;

Keseimbangan monodualistik antara kepentingan

umum/masyarakat dan kepentingan individual/perorangan,

keseimbangan antara perlindungan atau kepentingan pelaku

tindak pidana dan korban tindak pidana, keseimbangan antara

kreteria formal dan material, maupun keseimbangan antara

kepastian hukum, kelenturan jelastisitas fleksibelitas dan

keadilan 68).

Atas pemahaman ide keseimbangan diatas, tentu sudah

seharusnya juga pandangan terhadap permintaan (upaya hukum)

Peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, berisi nilai-nilai yang tidak

saja memenuhi nilai-nilai kepastiannya, akan tetapi juga

diharapkan memenuhi nilai-nilai keadilan. Hal tersebut kiranya

sesuai dengan filosofi peradilan, bahwa tujuan peradilan

memberikan nilai yang adil, yakni keadilan bagi masyarakat.

67 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana,dalam Perspektif kajian Perbandingan, Citra

Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I) hal 7 68 Ibid, hal 12

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

65

Kedilan ialah terciptanya suatu suasana damai dikalangan

masyarakat. 69

Teori Carlos Cossio tersebut diambil kiranya sesuai filosofi

pradilan bahwa tujuan peradilan ialah memberikan nilai yang adil,

yakni keadilan bagi masyarakat. Sehingga dengan landasan teori

yang dikemukakan Carlos Cossio tersebut, esensi dari upaya

hukum Peninjauan Kembali sebagai hukum luar biasa untuk

mengoreksi terhadap segala adanya kesalahan atau kehilafan atau

adanya hal yang kurang adil dalam suatu putusan pengadilan

dapat dicapai, dengan tujuan agar masyarakat tidak sampai

dirugikan, yaitu baik bagi terpidana atau ahli warisnya maupun

bagi korban kejahatan atau masyarakat umum/kepentingan

negara.

Dari landasan teori tersebut, juga diharapkan dapat

mengimbangi kekakuan aturan hukum ketika terdapat norma yang

tidak adil maupun diskriminatif, juga apabila ketiadaan norma

yang mengatur persoalan konkrit yang terjadi dalam masyarakat.

Sebab seperti yang dikemukakan oleh Francois Geny, bahwa

undang-undang (peraturan) tidak pernah mampu dengan

sempurna mempresentasikan kebutuahan realitas yang ada

dalam bentangan waktu kehidupan sosial. Juga seperti yang

dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hal tersebut disebabkan oleh

69 Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1978,Prihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, hal 19

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

66

karena dalam ilmu hukum yang legalistis positivitis, hukum

sebagai institusi pengaturan yang komplek telah di reduksi

menjadi suatu yang sederhana, linier, mekanistis, dan diteministis

terutama untuk kepentingan profesi. 70

Dalam legalistis positivistis, kebiasaan yang dominan

adalah melihat dan memahami hukum sebagai suatu yang rasional

logis, yang penuh dengan kerapian dan keteraturan.71 Padahal

sebagaimana dikatakan oleh Charles Samford, sesungguhnya

hukum itu tidak merupakan bangunan yang penuh dengan

keteraturan logis rasional. 72 Hukum dibangun dari hubungan

antar manusia bersifat Melee (keadaan cair sehingga tidak

memiliki format formal atau sruktur yang pasti dan kaku), yaitu

hubungan sosial antar individu dengan sekalian fariasi dan

kompleksitas. 73

Pemberlakuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10

Tahun 2009 bagi pencari keadilan atau masyarakat umum.

Seyogyanya sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak

diskriminatif dan juga seharusnya sesuai dengan konstitusi

negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat 1 Undang-

undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian

70 Satjipto Rahardjo, 2000, Mengantarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teacting Order

Finding Disorder, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas

Diponogoro, Pleburan (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III), hal.17 71 Ibid 72 Ibid 73 Ibid

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

67

hukum maupun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat 2

Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “setiap

orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas

dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap

perlakuan yang bersifat diaskriminatif itu.

1.7.2 Kerangka Berfikir atau Kerangka Teoritis (Teorical Framework)

Kerangka berfikir dari Si peneliti yang bersifat teoritis

mengenai masalah yang diteliti, yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti.

Kerangka berfikir tersebut dilandasi oleh teori-teori yang sudah

dirujuk sebelumnya.

Permasalah Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh

Jaksa/Penuntut Umum Dalam Praktek Peradilan di Indonesia, terus

menerus menjadi debatable antara kalangan praktisi terutama antara

Mahkamah Agung dengan kalangan akademisi maupun dari kalangan

pengacara. Akan tetapi terlepas dari debatable tersebut, bagaimana

korelasi dari ketentuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu

kali, terhadap hak terpidana untuk mengajukan Peninjauan Kembali ,

terkait upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum

dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

Bertitik tolak dari landasan teori yang diacu dalam pengkajian

permasalahan, maka dapat dimuat suatu kerangka berfikir atau

kerangka teori atas dasar acuan teori-teori yang telah disebutkan atau

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

68

diuraikan tersebut diatas, yaitu untuk mengetahui bagaimana hak

terpidana untuk pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali yang

diberikan oleh undang-undang terhadap ketentuan Peninjauan

Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 24 ayat 2 Undang-

undang Nomor 48 tahun 2009), ketika upaya hukum Peninjauan

Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah

Agung, perlu dilakukan penelitian berdasarkan teori-teori yang telah

dikemukakan sebelumnya.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian merupakan pedoman dari istilah research yang berasal dari

bahasa Inggris. Research terdiri dari kata re yang berarti kembali dan search

yang berarti mencari sehingga penelitian berati mencari kembali. Penelitian

dilakukan untuk mencari pengetahuan yang benar, yang akan digunakan

untuk menjawab masalah atau ketidaktahuan 74

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum Normatif

adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai

aspek, yakni aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan struktur dan

komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum pasal

demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang,

serta bahasa hukum yang digunakan, akan tetapi penelitian hukum

74 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Gratindo Persada, Jakarta, Hal 27-28

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

69

normatif tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. 75 Salah

satu ciri penelitian hukum normatif adalah berangkat dari kesenjangan

dalam norma/asas hukum. Sedangkan Johay Ibrahim menyatakan

penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika. Keilmuan hukum dari sisi

normatifnya, logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dibangun

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif. 76

1.8.2 Sumber Bahan Hukum dan Bahan Hukum

Jenis data dan sumber bahan-bahan hukum dalam penulisan ini,

terdiri dari data sekunder yang mencakup :

a. Bahan hukum primair, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan

terdiri dari :

1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945.

2) Peraturan dasar, terdiri dari :

- Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

- Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3). Peraturan perundang-undangan, yaitu :

- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum acara pidana.

75 Abdul Kadir Muhamad,2004, Hukum dan Penelitian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 101.

76 Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, hal 47.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

70

- Yurisprudensi, yaitu putusan-putusan Mahkamah Agung

yang berkaitan dengan upaya hukum Peninjauan

Kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan

penjelasan mengenai badan hukum primair, seperti Rancangan

Undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

hukum yang berhubungan dengan upaya hukum Peninjauan

Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primair dan sekunder,

seperti kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan sebagainya.77

1.8.3 Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan

data adalah dokumentasi. Pengumpulan data dengan metode

dokumentasi ini dilakukan melalui penelusuran terhadap sumber bahan

hukum Peninjauan Kembali, khususnya upaya hukum Peninjauan

Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, serta membaca dan mempelajari

sumber-sumber bacaan, dokumen dan laporan yang berkaitan dengan

obyek penelitian.

Metode dokumentasi ini termasuk ke dalam penelitian

kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan data

yang bersifat teoritis sebagai penunjang atau dasar teoritis dalam

77 Ibid. hal. 13

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang … I.pdf · tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

71

memahami teori. Setelah memperoleh bahan-bahan hukum dari hasil

penelitian kepustakaan, maka dilakukan pengelolaan bahan-bahan

hukum yang didapatkan dengan cara mengadakan sistematisasi terhadap

bahan-bahan hukum tertulis.

1.8.4 Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Semua data yang telah berhasil diperoleh, kemudian dianalisis

dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisis

kualitas data yang diperoleh, baik dari bahan-bahan hukum primair,

sekunder maupun tersier, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan

relevan tentang permasalahan-permasalahan hukum tentang upaya

Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Kemudian penarikan

kesimpulan dalam penelitian tesis ini menggunakan logika berpikir

deduktif, yaitu penalaran yang berlaku umum pada kasus konkrit yang

dihadapi. Proses yang terjadi dalam deduksi adalah konkritisasi, karena

hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan khusus.

Sehingga aturan-aturan hukum yang bersifat umum dijabarkan dalam

wujud aturan-aturan hukum konkrit, sehingga dapat ditafsirkan dan

disimpulkan ke dalam aturan-aturan hukum khusus tentang Peninjauan

Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.