bab ii tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam skripsi ini penulis berusaha untuk mendeskriptifkan tentang gambaran
pengetahuan dan sikap perawat terhadap HIV-AIDS. Oleh karena itu di perlukan
sudi pustaka untuk mengetahaui landasan ilmiah dari aspek-aspek yang di teliti.
Penulis akan berusaha menjabaran landasan teori yang ada sehubungan dengan
aspek-aspek penelitian sebagai berikut:
A. Pengetahuan
1. Definisi Pengetahuan
Menurut Probst, et.al, (2000, p24) Knowladge adalah kesadaran jiwa dan
keahlian-keahlian yang di gunakan untuk memecahkan suatu masalah.
Kesadaran dan keahlian tersebut termasuk teori-teori dan praktiknya, serta
peraturan dan instruksi-instruksi suatu aksi. Knowledge ada berdasarkan
pada data dan informasi, tetapi knowledge juga terbatas pada setiap orang.
Knowladge di bangun oleh idividu-individu dan menggambarkan
kepercayaan tiap orang tentang suatu hubungan kausal.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui pancaindera manusia; penglihatan, pendengaran, penghiduan,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang penting terbentuknya
perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam
menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari,
sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang
mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
10
Rogers (1974) dalam Notoatmodjo, (2003). mengungkapkan bahwa sebelum
orang mengadopsi perilaku baru dalam diri orang tersebut menjadi proses
berurutan :
a. Awarenes, dimana orang tersebut menyadari pengetahuan terlebih dahulu
terhadap stimulus (objek).
b. Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus.
c. Evaluation, merupakan suatu keadaan mempertimbangkan terhadap baik
buruknya stimulus tersebut bagi dirinya.
d. Trial, dimana orang telah mulai mecoba perilaku baru.
e. Adaptation, dimana orang telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan kesadaran dan sikap.
2. Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang
mempunyai enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai
berikut (Notoatmodjo, 2003) :
a. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara
lain : menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
b. Memahami (Comprehension) Kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan
sebagainya.
12
d. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu
komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih
ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja seperti kata kerja mengelompokkan,
menggambarkan, memisahkan.
e. Sintesis (Sinthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau
objek tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri
atau menggunakan kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2003).
3. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian
atau responden. Kedalamam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita
ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas (Notoadmojo,
2003). Tingkat pengetahuan baik bila skor > 75%-100%, tingkat
pengetahuan cukup bila skor 60%-75% dan tingkat pengetahuan kurang bila
skor < 60% .
4. Pengetahuan tentang HIV-AIDS
Yang di maksud di sini bahwa setiap individu dapat memiliki pengetahuan
berdasarkan proses yang di lalui, melalui media informasi tentang HIV-
AIDS yang di peolah. Individu akan memiliki tingkat pengetahuan yaitu
yang pertama mengetahui (know), kemudian memahami dan selanjutnya
dapat memngambil sikap atau mengambil keputusan. Di sini di harapkan
individu memiliki pengetahuian tentang penyakit HIV secara menyeluruh
seperti, kelompok-kelompok resiko, cara penularan, cara pencegahan, dan
upaya-upaya pengobatan yang bisa di lakukan untuk mengurangi resiko
komplikasi.
B. Sikap
1. Definisi Sikap
Menurut kamus Oxford oleh joyce H Hawkins, sikap diartikan sebagi suatu
jalan pemikiran atau tingkah laku, siat serta perlakuakan seseorang. Dalam
konteks ini, sikap lebih jelas di definisikan sebagai suatu penilaian umum
yang tidak berubah dari segi masa di mana ia berlaku terhadap dirinya sendiri,
orang lain, sesuatu objek ataupun perkara-perkara yang penting yang
berkaitan. (Azizi, 2004)
Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu
tindakan. Fenomena sikap adalah mekanisme mental yang mengevaluasi,
membentuk pandangan, mewarnai perasaan, dan akan ikut menetukan
kecenderungan perilaku kita terhadap manusia atau sesuatu yang kita hadapi,
bahkan terhadap diri kita sendiri. Pandangan dan perasaan kita terpengaruh
oleh ingatan akan masa lalu, oleh apa yang kita ketahui dan kesan kita
terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini (Azwar, 2007).
Thurstone mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif
terhadap suatu objek psikologis (dalam Azwar, 2007). Sikap atau Attitude
senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. Tidak ada sikap tanpa
adanya objek (Gerungan, 2004).
LaPierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau
kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial,
atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah
terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo secara lengkap mengatakan sikap
adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang
lain, objek atau isu-isu (dalam Azwar, 2007).
14
Selain itu sikap merupakan keyakinan setiap individu itu tentang sesuatu
objek yang mana objek itu baik atau buruk, dapat di terima atau tidak dapat di
terima dan mendapatkan persetujuan ataupun tidak dapat persetujuan. Sikap
social adalah kesungguhan untuk menyatkan positif atau negative dan dari
pada objek psikologi.
Menurut Thurstone dalam Azizi (2004), objek psikologi merujuk pada
symbol, manusia, frase, slogan, atau ide terhadap individu yang berlainan
pendapat sebagai menandakan positif atau negative. Azwar (2007),
menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran.
Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti
Louis Thurstone, Rensis Likert dan Charles Osgood. Menurut mereka sikap
adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap
suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek
tersebut.
Kedua, kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus,
LaPierre, Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap
merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan
cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang
potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon .
Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada
skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan
konstelasi aspek kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam
memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.Para ahli lain,
seperti Eagly (1978) dalam Dasar dasar Pelayanan Prima oleh Barata (2003),
mendefinisikan sikap sebagai kumpulan perasaan, keayainan dan
kecenderungan perilaku yang secara relative berlangsung lama yang di
tunjukan kepada orang, ide objek dankelompok orang tertentu. Berdasarkan
definisi di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa sikap meliputi tiga aspek,
yaitu keyakinan (aspek kognitif), Perasaan (aspek afektif) dan kecendurungan
perilaku (aspek konitif)
2. Aspek Sikap
Azwar (2007), dalam menyatakan bahwa sikap memiliki 3 aspek yaitu:
a. Aspek Keyakinan (kognitif)
Aspek kognitif merupakan aspek yang berisi persepsi kepercayaan
stereotype yang dimilki seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa
yang benar bagi objek sikap. Seringkali aspek kognitif ini dapat
disamakan dengan pandangan (opini), terutama apabila menyangkut
masalah isu atau problem yang kontroversial Aspek afektif merupakan
perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi
b. Aspek Perasaan (afektif)
Aspek afektif merupakan aspek yang menyangkut masalah emosional
subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, aspek ini
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Aspek
emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen
sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-
pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen
perilaku berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau bereaksi
terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
c. Aspek kecenderungan perilaku (konitif)
Aspek kecenderungan perilaku atau aspek konatif dalam struktur sikap
menunjukkan bagaimana perilaku atau kecendemngan berperilaku yang
ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
Aspek konatif, adalah aspekn sikap yang berupa kesiapan seseorang
untuk berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap.
16
3. Karakteristik sikap
Menurut Brigham (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003) ada beberapa ciri
atau karakteristik dasar dari sikap, yaitu :
a. Sikap disimpulkan dari cara-cara individu bertingkah laku.
b. Sikap ditujukan mengarah kepada objek psikologis atau kategori, dalam
hal ini skema yang dimiliki individu menentukan bagaimana individu
mengkategorisasikan objek target dimana sikap diarahkan.
c. Sikap dipelajari.
d. Sikap mempengaruhi perilaku. Memegang teguh suatu sikap yang
mengarah pada suatu objek memberikan satu alasan untuk berperilaku
mengarah pada objek itu dengan suatu cara tertentu.
4. Pembentukan Sikap
Sikap terbentuk dari adanya interaksi yang dialami oleh individu. Sikap
dibentuk sepanjang perkembangan hidup manusia. Melalui pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, seseorang membentuk sikap
tertentu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan saling mempengaruhi di
antara individu yang satu dengan yang lain. Melalui intraksi sosialnya
individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap objek psikologis
yang dihadapinya (Azwar, 2007).
5. Fungsi Sikap
Baron (2004) mengatakan; Pertama, sikap berfungsi sebagai skema kerangka
kerja mental yang membantu individu untuk menginterpretasi dan memproses
berbagai jenis informasi. Kedua, sikap memiliki fungsi harga diri (self-esteem
function) yang membatu individu mempertahankan atau meningkatkan
perasaan harga diri. Ketiga, sikap berfungsi sebagai motivasi untuk
menimbulkan kekaguman atau motivasi impresi (impression motivation
function).
6. Nilai, Kepercayaan, Sikap.
Nilai (value) dan Opini atau pendapat sanagt erat berkaitan dengan sikap,
bahkan kedua konsep tersebut seringkali digunakan dalam definisi-definisi
mengenai sikap. Nilai merupakan disposisi yang lebih luas dan sifatnya lebih
mendasar. Nilai berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan
sikap individu. Jadi, nilai bersifat lebih mendasar dan stabil sebagai bagian
dari cirri kepribadian, sikap bersifat evaluative dan berakar pada nilai yang
dianut dan terbentuk dalam kaitannya dengan suatu objek.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap Azwar (2007) menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman
pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi
atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri
individu;
a. Pengalaman pribadi
Middlebrook (dalam Azwar, 2007) mengatakan bahwa tidak adanya
pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis ,
cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap
akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam
situasi yang melibatkan faktor emosional. Situasi yang melibatkan emosi
akan menghasilkan pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama
membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi
dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap
penting tersebut.
18
c. Pengaruh Kebudayaan
Burrhus Frederic Skinner, seperti yang dikutip Azwar sangat menekankan
pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk pribadi
seseorang. Kepribadian merupakan pola perilaku yang konsisten yang
menggambarkan sejarah penguat (reinforcement) yang kita alami
(Hergenhan dalam Azwar, 2007). Kebudayaan memberikan corak
pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat. Kebudayaan telah
menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.
d. Media Massa
Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah
dan Iain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini
dan kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-pesan yang
sugestif yang mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi
terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan
sugestif akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga
terbentuklah arah sikap tertentu
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai sesuatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya
meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu.
Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh
dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat
keagamaan serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama sangat
menetukan sistem kepercayaan sehingga tidaklah mengherankan kalau
pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperanan dalam
menentukan sikap individu terhadap sesuatu hal.
f. Faktor Emosional
Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai
semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme
pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang sementara
dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang akan tetapi dapat pula
merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama.
8. Perubahan Sikap
Proses perubahan sikap selalu dipusatkan pada cara-cara manipulasi atau
pengendalian situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perbahan sikap ke
arah yang dikehendaki. Dasar-dasar manipulasi diperoleh dari pemamahaman
mengenai organisasi sikap, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
dan proses perubahan sikap.
Pada teori Kelman (dalam Azwar, 2007) ditunjukkan bagaimana sikap dapat
berubah melaui tiga proses yaitu kesediaan, identifikasi, dan internalisasi.
Kesediaan terjadi ketika individu bersedia menerima pengaruh dari
orang lain atau dari kelompok lain dikarenakan individu berharap untuk
memperolah reaksi atau tanggapan positif dari pihak lain tersebut. Identifikasi
terjadi saat individu meniru perilaku atau sikap seseorang atau sikap
sekelompok lain dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dianggap
individu sebagai bentuk hubungan yang menyenangkan antara individu
dengan pihak lain termaksud. Internalisasi terjadi saat individu menerima
pengaruh dan bersedia bersikap menurut pengaruh itu dikarenakan sikap
tersebut sesuai dengan apa yang dipercayai individu dan sesuai dengan sistem
nilai yang dianutnya (Azwar, 2005).
Proses mana yang akan terjadi dari ketiga proses tersebut banyak bergantung
pada sumber kekuatan pihak yang mempengaruhi, berbagai kondisi yang
mengendalikan masing-masing proses terjadinya pengaruh, dan implikasinya
terhadap permanensi perubahan sikap (Kelman, dalam Azwar 2007).
20
9. Sikap terhadap HIV/AIDS
Sikap yang harus di terapkan oleh individu, masyarakat atau kelompok
profesionl kesehatan adalah sikap positive. Sikap positive selalu memandang
hak-hak dasar manusia secara hakiki. Sebagi penderita HIV/AIDS, mereka
juga masih seorang manusai yang memiliki hak-hak dasar yang harus di
penuhi. Seperti merek berhak untuk menolak tindakan medis yang di lakukan,
berhak untuk selalu mendapatkan inform consent setaip tindakan yang akan di
lakukan. Pasien berhak untuk di rahasiakan kondisinya dan sebaliknya dia
berhak untuk mengetahuai kondisi yang sebenarnya tentang perkembangan
penyakit yang di di deritanya.(Toufiq, 2011)
C. Perawat
1. Definisi Perawat
Perawat atau nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata nutrix yang berarti
merawat atau memelihara. menurut Harlley (1997) dalam Fahri (2010),
menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan
dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena
sakit, injury dan proses penuaan. Perawat profesional adalah perawat yang
bertanggung jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan
secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai
dengan kewenanganya.(Depkes RI, 2002; dalam Fahri, 2010).
Menurut UU RI no 23 th 1992 tentang kesehatan, mendefinisikan perawat
yaitu mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan
tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh
melalui pendidikan perawatan. Sedangkan menurut International Council Of
Nurses (1965); dalam Fahri (2010), perawat adalah seseorang yang telah
menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara
bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disumpulkan bahwa perawat adalah
seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan dan mempunyai kemampuan
dan kewajiban dalam merawat dan menolong orang yang sakit atau klien
sesuai dengan bidangnya (Harley, 1997; Depkes RI, 2002; UU RI no 23,
1992; International Council Of Nurses, 1965).
2. Peran Perawat
Menurut pendapat Doheny (1982, dalam Mubarok, 2005) ada beberapa
elemen peran perawat professional antara lain : care giver, client advocate,
conselor, educator, collaborator, coordinator change agent, consultant dan
Care Giver,
Care Giver, Sebagai pemberi asuhan keperawatan, perawat membantu klien
mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Pada peran
ini perawat harus mampu memberikan pelayanan kepada individu, keluarga,
kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari
masalah yang bersifat sederhana sampai masalah yang kompleks. Perawat
menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi diagnosis
keperawatan mulai dari masalah fisik sampai pada masalah psikologis
(Mubarok, 2005).
Client Advocate, sebagai pembela klien tugas perawat disini adalah
bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan
informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi
lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (inform consent) atas
tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. (Mubarok, 2005).
Conselor, peran konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari
dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun
hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan
seseorang. Didalamnya diberikan dukungan emosional dan intelektual
(Mubarok, 2005)
Educator yaitu sebagai pendidik klien sejalan dengan proses keperawatan
22
dalam fase pengkajian seorang perawat mengkaji kebutuhan pembelajaran
bagi pasien dan kesiapan untuk belajar. Perawat membantu pasien
meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait
dengan keperawatan dan tindakan medik sehingga pasien dan keluarganya
dapat menerimanya (Gartinah, dkk, 1999).
Chenge of Agent (Pembawa Perubahan/Pembaharu), pembawa perubahan
adalah seseorang atau kelompok yang berinisiatif merubah atau yang
membantu orang lain membuat perubahan pada dirinya atau pada sistem.
(Kemp, 1986). Peningkatan dan perubahan adalah komponen esensial dari
perawatan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat membantu
klien unutk merencanakan, melaksanakan dan menjaga perubahan seperti :
pengetahuan, keterampilan, perasaan dan perilaku yang dapat meningkatkan
kesehatan klien tersebut.
Consultan sebagai konsultan perawat berperan sebagai tempat konsultasi bagi
pasien terhadap masalah yang dialami oleh pasien atau tindakan keperawatan
yang tepat untuk diberikan. Menurut CHS (1989) peran ini dilakukan atas
permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelajaran pelayanan
keperawatan.
Asmadi (2005) dalam Konsep Dasar Keperawatan menyebutkan bahwa salah
satu fungsi perawat adalah sebagai educator. Sebagai educator perawat
berperan mendidik individu, keluarga, masyarakat, serta tenaga keperawatan
dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan mendidik individu, keluarga dan
masyarakat sebagai klien adalah dalam upaya menciptakan prilaku
individu/masyarakat yang kondusif bagi kesehatan. Pendidikan kesehatan
tidak semata di tujukan untuk membangaun kesadaran diri dengan
pengetahuan kesehatan. Lebih dari itu, pendidikan kesehatan bertujuan untuk
membangaun prilaku kesehatan individu dan masyarakat, untuk bisa
menrpakkan pengetahuan kesehtan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat melaksanan peran sebagai pendidik (educator), perawat harus
memiliki kemapuan utama sebagai syarat utama. Kemampuan tersebut adlah
wawasan ilmu pengetahuan yang luas, kemampuan berkomunikasi,
pemahamam psikologis, dan kemampuan menjadi role model dalam perilaku
professional. Di karenakan dalam proses education terjadi transfer ilmu
pengetahuan, maka perawat harus memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang
luas. Asmadi (2005)
3. Konsep etik dan Hukum dalam Asuhan Keperawatan Pasien HIV/AIDS
Nursalam (2007) menyebutkan bahwa Etik berasal dari bahasa Yunani
„ethos“ yang berarti adat kebiasaan yang baik atau yang seharusnya
dilakukan. Dalam organisasi profesi kesehatan pedoman baik atau buruk
dalam melakukan tugas profesi telah dirumuskan dalam bentuk kode etik yang
penyusunannya mengacu pada sistem etik dan asas etik yang ada. Meskipun
terdapat perbedaan aliran dan pandangan hidup, serta adanya perubahan dalam
tata nilai kehidupan masyarakat secara global, tetapi dasar etik di bidang
kesehatan. Kesehatan klien senantiasa akan saya utamakan“ tetap merupakan
asas yang tidak pernah berubah. Asas dasar tersebut dijabarkan menjadi enam
asas etik, yaitu:
a. Asas menghormati otonomi klien
Klien mempunyai kebebasan untuk mengetahui dan memutuskan apa yang
akan dilakukan terhadapnya, untuk ini perlu diberikan informasi yang
cukup
b. Asas kejujuran
Tenaga kesehatan hendaknya mengatakan yang sebenarnya tentang apa
yang terjadi, apa yang akan dilakukan serta risiko yang dapat terjadi.
c. Asas tidak merugikan
Tenaga kesehatan tidak melakukan tindakan yang tidak diperlukan dan
mengutamakan tindakan yang tidak merugikan klien serta mengupayakan
risiko yang paling minimal atas tindakan yang dilakukan.
d. Asas Manfaat
24
Semua tindakan yang dilakukan terhadap klien harus bermanfaat bagi klien
untuk mengurangi penderitaan atau memperpanjang hidupnya
e. Asas kerahasiaan
Kerahasiaan klien harus dihormati meskipun klien telah meninggal.
f. Asas keadilan
Tenaga kesehatan harus adil, tidak membedakan kedudukan sosial
ekonomi, pendidikan, jender, agama, dan lain sebagainya.
Prinsip etik yang harus dipegang oleh seseorang, masyarakat, nasional dan
internasional dalam menghadapi HIV/AIDS adalah:
a. Empati
Ikut merasakan penderitaan sesama termasuk ODHA dengan penuh
simpati, kasih sayang dan kesediaan saling menolong
b. Solidaritas
Secara bersama-sama membantu meringankan dan melawan ketidakadilan
yang diakibatkan oleh HIV/AIDS
c. Tanggung jawab
Bertanggung jawab mencegah penyebaran dan memberikan perawatan
pada ODHA
4. Profesionalisme Perawat dalam Pencegahan HIV/AIDS
Bekanis (20080 menyebutkan bahwat tugas dan fungsi perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan menuntut konsekuensi yang cukup berat,
baik fisik maupun mental. Hal ini kerena pelayanan keperawatan merupakan
pelayanan kepada manusia sebagai pribadi yang utuh secara bio-psyko-sosial-
spiritual. Selain bahwa perawat melakukan kontak secara langsung dengan
tubuh-tubuh yang tergolek lemah, tak berdaya dan yang hilang kesadaran
akibat digerogoti kuman penyakit menular dan mematikan seperti HIV/AIDS.
hepatitis, flu burung dan lain-lain. ---------------------------------------------------.
Untuk itu, dituntut sebuah kepatuhan terhadap standar operasional pelayanan,
demi safety, baik untuk diri sendiri, pasien dan keluarga pasien, teman
sejawat, anggota keluarga juga lingkungan pekerjaan. Undang-undang nomor
23 tahun 1992, tentang kesehatan (pasal 4) dimana; Setiap orang mempunyai
hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal
Berdasarkan data epidemic yanga telah di sebutkan di muka, maka
kemungkinan semakain hari akan semakin tinggi pasien pengidap penyakit
menular (HIV-AIDS) sehingga akan semakin tinggi pula yang membutuhkan
pelayanan keperawatan. Konsekuensinya adalah makain tinggi pula
kemungkinan tenaga perawat terpapar, kontak dengan pasien yang
berpenyakit menular (HIV-AIDS, Hepatitis) dan yang paling berbahaya
adalah pasien yang tidak terdeteksi sebelumnya.
Kelompok tenaga perawatan masuk dalam kelompok rentan (vulnerable
people) tetapi tidak berarti tidak dapat naik posisi menjadi kelompok berisiko
atau rawan tertular (high-risk people). Hal tersebut sangat tergantung dari
induvidu dan kepedulian pemegang kebijakan dimana perawat itu bekerja.
Individu perawat akan sangat beresiko apabila tidak dapat membangun
karakter kerja mengutamakan universal precaution.(Berkanis, 2008)
Artinya mengutamakan keselamatan semua pihak dalam bekerja dengan
memenuhi, mematuhi dan menjalankan standar prosedur operasional yang
baku. Perlu diketahui bahwa semua pasien siapapun mereka adalah berpotensi
menularkan suatu penyakit kepada petugas kesehatan maupun pasien lain.
D. HIV-AIDS
26
1. Pengertian HIV
Human Immunodeficiency Virus(HIV) adalah sejenis virus yang dapat
menyebabkan AIDS. Virus ini di temukan oleh Montagnier, seorang ilmuwan
Perancis (Institute Pstteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus dari seorang
penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga pada waktu itu di namakan
Lymphadenophaty Associated Virus (LAV) (Tjokronegoro, 2003). Human
Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan sekelompok virus yang dikenal
sebagai retrovirus yang dapat merusak system kekebalan tubuh manusia.
(William dan Wilkins, 2006). Black dan Hawks (2005) menyatakan bahwa
infeksi HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
Sistem kekebalan tubuh ini berfungsi dalam mempertahankan tubuh terhadap
infeksi. Sistem ini terdiri dari sistem imun seluler (sel T-helper / T4) dan
sistem imun humoral (sel B). Sel T-helper merupakan jenis sel yang sangat
penting karena mengkoordinasi semua jenis sel dalam system kekebalan tubuh
dan memiliki protein pada permukaannya yang disebut Cluster Differentiation
(CD4).Orang yang terkena virus ini rentan terhadap infeksi oportunistik.
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada
enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk
manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri
dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi
berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak
menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1
(Zein, 2006).
2. Pengertian AIDS
AIDS atau Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala
atau infeksi yang terjadi karena rusaknya system kekebalan tubuh manusia
sebagai akibat terserang infeksi virus HIV. Kasus AIDS mencerminkan
infeksi HIV yang sudah berlangsung lama.(Price, 2005). Acquired
ImmuneDeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai suatu kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus.
(William dan Wilkins, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel
atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam
kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini
ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit
maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik
(Zein, 2006).
3. Etiologi dan Patogenesis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae.
Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang
berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang
dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6
gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis
penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk
menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas
dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag,
yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD)
yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD
(transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang
berikatan dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam
membantu perlekatan virus dangan sel target (Borucki, 1997).
28
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit CD4
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini
mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari
RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse
transcriptase. Limfosit CD4 berfiingsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan
respon imun yang progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa
ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada
tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap
HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma
menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu
menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan
dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6
jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi
memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan
angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan
bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis
harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang
lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih
lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang
lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi
(Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi penurunan
daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga beberapa
jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu. Bahkan
mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan menimbulkan
penyakit (Zein, 2006).
4. Diagnosa HIV/AIDS
Diagnose di tujukan kepada dua hal, yaitu keadaan infeksi HIV dan AIDS.
Diagnosis laboratorium dapat di lakukan dengan dua metode:
Langsung: yaitu isolasi virus dan sampel, umumnya di lakukan dengan
menggunakan mikrosop electron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara
deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction (PCR).
Tidak Langsung: dengan melihat respon zat antibody sepesifik, misalnya
ELISA, immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay
(RIPA) (Tjokonegoro & Hendra, 2003).
Untuk diagnose HIV, yang lazim di pakai:
ELISA: sensitivitas tinggi, 98,1% - 100%. Biasnya memberikan hasil positif
2-3 bulan sesudah infeksi. Dahulu, hasil positif di konfirmai dengan
pemeriksaan Western blot. Tetapi sekarang menggunakan tes berulang dengan
tingkat spesificitas.
PCR (Polymerase Chain Reaction). Penggunaan PCR antara lain untuk tes
HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada
kelompok risiko tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi
serokonversi, tes konfirmasi HIV-2 (sebab ELISA sensitivitanya rendah untuk
HIV-2) Tjokonegoro & Hendra, 2003)
5. Epidemiologi
Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di
Bali yaitu seorang wisatawan Belanda. Saat ini penderita HIV/AIDS telah
menyebar secara global termasuk di Indonesia. Jumlah penderita HIV/AIDS
terus meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu faktor yang berpengaruh
dalam epiemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antara wilayah, baik dalam
30
hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berpengaruh. Epidemi HIV
di Indonesia berada pada epidemi terkonsentrasi.
Klasifikasi untuk epidemi HIV/AIDS terdiri dari:
a. Rendah: pervalensi HIV dalam sub-popuasi berisiko tertentu belum
melebihi 5%.
b. Terkonsentrasi: Pervalensi HIV secara konsisten lebih dari 5% di sub
populasi berisiko tertentu dan pervalensi HIV di bawah 1% di populasi
umum atau ibu hamil.
c. Meluas: Pervalensi HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil
(USAID, 2003)
Surveilans Terpadu HIV dan Prilaku (STHP, Populasi Kunci, 2007)
menunjukan prevalensi HIV pada populasi kunci WPS langsung 10,4%; WPS
tidak langsung 4,6%; waria 24,4%; pelanggan WPS 0,8%; LSL 5,2%;
pengguna napza suntik 52,4%. Di provinsi Papua dan Papua barat terdapat
pergerakan ke arah generalized epidemic dengan pervalensi HIV sebesar 2,4%
pada penduduk 15-49 tahaun (STHP, Penduduk Papua 2007). Hal tersebut
tercantum dalam Strategy dan Rencana Aksi Nasional AIDS 2010-2014
(KPA, 2010)
Secara kumulatif kasus HIV & AIDS dari 1 April 1987 s.d. December 2011
adalah 76879 orang telah ternifeksi HIV, sejumlah 29879 orang dengan AIDS
dan kematian akibat HIV AIDS sejumlah 5430 orang. Penderita AIDS
berdasarkan jenis kelamin sebanyak 20333 adalah laki laki dan 8122 adalah
perempuan serta 302 orang tidak di ketahuai jenis kelaminya. Sedangkan
berdasarkan usia, tiga urutan teratas presentasi penderita paling besar pada
kelompok umur 20 – 29 tahun sebanyak 45,3%, di susul oleh kelompok umur
30 – 39 tahun sebanyak 30,7% dan sebanyak 9.8% pada kelompok usia 40 –
49 tahun. (Depkes RI, 2012)
Kasus terbanyak ditemukan di 5 propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Timur, Papua dan Bali. Lima propinsi dengan angka pervalensi yang besar
dalam kasus AIDS per 100.000 penduduk adalah Propinis Papua 157,02 , Bali
62,40, DKI Jakarta 50,14, Kalimantan Barat 28,87 dan Kep. Riau sebanyak
24,06. Secara Nasional angka pervalensi kasus AIDS adalah 12.45.
Sedangkan jumlah komulatif kasus AIDS berdasarkan faktor resiko penularan
adalah melalui heteroseksual 55,3 %, Intravenuse Drug User (IDU) sebanyak
35,2%, homoseksual sebesar 3,02%, 2,71% melalui perinatal, 0,19%
memalui transfusi daran dan sebanyak 3,52% tidak di ketahui resiko
penularanya. (Depkes RI 2012).
6. Cara Penularan HIV/AIDS
Pada manusia, virus HIV paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma
dan cairan vagina. Virus ini juga bisa terdapat pada cairan tubuh lain, seperti
cairan ASI tetapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-85% penularan
terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan
homoseksual), 5-19% akibat alat suntik yang tercemar (terutama pada
pemakai narkotika suntik), 3-5% melalui transfusi darah yang tercemar.
(Global Summary of the AIDS Epidemic, December 2006).
a. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan
dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat
terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki
dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi
vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi
adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang
terinfeksi HIV.
b. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan
virus HIV.
Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau
tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti
jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa
32
juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi
sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
c. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda
tersebut . disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
d. Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
e. Melalui dari ibu ke anak,
f. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
g. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan
petugas laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif,
yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja
dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda
tajam (Fauci, 2000). Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur
dapat menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya
sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor
terhadap aktivitas HIV (Fauci, 2000). Menurut Canadian Center of Health and
Safety (2005) bahwa hanya 0.3 % atau kurang dari 1% resiko penularan HIV
pada para pekerja kesehatan (HCW) melalui needle stick injury incident dari
pasien dengan HIV. Hal ini jauh lebih rendah dari pada resiko tertularnya
Hepatitis B melalui needle stick injury yang berkisar antara 1% sampai 40%.
Menurut Kemenkes (2009) dalam Mitos dan Fakta HIV/AIDS bahwa HIV
tidak menular melalui: HIV tidak menular melalui kontak (kegiataan) social,
misalanya: penggunaan toilet dan penggunaan alat makan dan minum yang di
gunakan ODHA. Berenang, bersalaman dengan ODHA tidak akan
menularkan HIV. HIV tidak menular memalui gigitan nyamuk.
7. Gejala Klinis
a. Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor
(umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor: Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan, Diare
kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, Demam berkepanjangan lebih
dari 1 bulan,Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis dan
Demensia/ HIV ensefalopati.
Gejala minor: Batuk menetap lebih dari 1 bulan, Dermatitis generalisata,
Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang,
Kandidias orofaringeal, Herpes simpleks kronis progresif, Limfadenopati
generalisata dan manusia Retinitis virus Sitomegalo
b. Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
Pada awal infeksi: Tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah
bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS
dapat menularkan virus kepada orang lain.
Fase lanjut : Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9
tahun atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan
penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai
memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah
bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun,
demam, batuk dan pernafasan pendek.
Fase akhir: Terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala
yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.
8. Stigma Masyarakat.
Di berbagai Negara dan masyarakat, stigma sehubungan dengan HIV dan
menghasilkan diskriminasi sangat membahayakan seperti sebuah penyakit
sendiri: ditelantarkan oleh pasangannya dan atau oleh keluarganya,
34
penghujatan social/lingkungan (ostracism), kehilangan pekerjaaan dan
kekayaan, penolakan/pengucilan dari sekolah (explusion), di tolak dalam
pelayanan kesehatan, kekurangan perhatian dan dukungan, dan kekerasan.
Menstigma atau ketakutan kepada mereka (ODHA), mengartikan bahwa akan
menghambat, mengurangi kemungkinan untuk datang dan melakukan test
HIV, takut pembocoran status HIV mereka kepada orang lain, menghambat
untuk mengadopsi prilaku pencegahan HIV atau menghambat untuk
mendapatkan akses pelayanan kesehatan, perawatan dan dukungan. Jika
mereka lakukan, mereka bisa akan kehilangan segala galanya. Dalam Survey
pada para penasun di Indonesia bahwa 40 % penyebab dari mereka
menghindari test HIV adalah karena Stigma. (UNAIDS, 2007).
Stigma AIDS lebih jauh dapat di bagi menjadi tiga kategori:
a. Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan
atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan
menular.
b. Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk
mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup
tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.
c. Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang
berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
9. Populasi Kunci
Menurut laporan executive KPA (2011), Populasi kunci adalah kelompok
populasi yang menentukan keberhasilan program pencegahan dan pengobatan,
sehingga mereka perlu ikut aktif berperan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS, baik bagi dirinya maupun orang lain. Populasi ini adalah:
a. Orang-orang berisiko tertular atau rawan tertular karena perilaku seksual
berisiko yang tidak terlindung, bertukar alat suntik tidak steril.
b. Orang-orang yang rentan adalah orang yang karena pekerjaan,
lingkungannya rentan terhadap penularan HIV, seperti buruh migran,
petugas kesehatan, pengungsi dan kalangan muda berisiko.
c. ODHA adalah orang yang sudah terinfeksi HIV.
10. Upaya Pencegahan dan Pengurangan dampak buruk
Ada tiga cara utama mencegah PMS termasuk HIV/AIDS (Depkes RI, 2008):
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual dengan
berperilaku
seksual yang aman (dikenal dengan singkatan ”ABC”), yaitu:
1) Abstinenesia – Tidak melakukan hubungan seksual
sebelum menikah
2) Be faithful – setia terhadap pasangan yang sah
(suami-istri)
3) Condom Menggunakan kondom (bila tidak dapat
melakukan maupun B tersebut), termasuk
menggunakan kondom sebelum PMSnya
disembuhkan
b. Pencegahan penularan melalui darah :
1) Skrining darah donor dan produk darah
2) Menggunakan alat suntik dan alat lain yang steril.
3) Penerapan Kewaspadaan Universal atau Universal
Infection Precaution
c. Pencegahan penularan dari ibu ke anak
1) Testing dan konseling ibu hamil
2) Pemberian obat antiretroviral bagi ibu hamil yang
mengidap infeksi HIV
Pengurangan dampak buruk (Harm Reduction): Komponen program
pengurangan dampak buruk berubah pada tahun 2009. Sampai sebelum itu,
ada 12 komponen yang diperkuat dengan Peraturan Menteri Koordinator
36
bidang Kesejahteraan Rakyat No. 2/2007 yang terdiri dari:
a. penjangkauan dan pendampingan;
b. komunikasi informasi dan edukasi;
c. pendidikan sebaya;
d. konseling perubahan perilaku;
e. konseling dantesting HIV sukarela (VCT);
f. program penyucihamaan;
g. layanan jarum dan alat suntik steril;
h. pemusnahan peralatan suntik bekas;
i. layanan terapi pemulihan ketergantungan narkoba;
j. program terapi rumatan metadon;
k. layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (CST),
dan pelayanan kesehatan dasar.
Pada tahun 2009, WHO, UNODC, dan UNAIDS mengeluarkan pedoman
baru menjadi 9 komponen yaitu:
a. program layanan alat suntik steril;
b. terapi substitusi opiat dan layanan pemulihan
adiksi lainnya;
c. konseling dan testing HIV;
d. terapi antiretroviral;
e. pencegahan dan pengobatan infeksi menular
seksual (IMS);
f. program kondom untuk penasun dan pasangan
seksualnya;
g. komunikasi informasi dan edukasi tersasar
(targeted) untuk penasun dan pasangan
seksualnya;
h. vaksinasi, diagnosis dan pengobatan hepatitis;
i. pencegahan, diagnosis dan pengobatan
tuberculosis
4) Upaya pengobatan
Terapi antiretroviral: ARV adalah obat-obat yang dapat menghambat
perkembangan virus HIV dalam tubuh. Pengobatan dengan ARV tidak
dibutuhkan oleh semua orang terinfeksi HIV. ARV hanya diberikan dalam
keadaan dimana CD4 seseorang turun sampai kadar tertentu (350/ml kubik
darah), berarti kekebalannya sudah terganggu atau dengan perkataan lain,
yang bersangkutan sudah masuk tahap AIDS. Karena ARV menghambat
penggandaan virus HIV, maka pengrusakan kekebalan tubuhpun akan
terhambat. Temuan ilmiah menunjukkan bahwa pemberian ARV lebih awal
bisa menurunkan jumlah virus dalam darah, sehingga bisa menurunkan risiko
penularan kepada orang lain. ARV tidak “membunuh” virus dalam darah dan
jika pasien AIDS menghentikan minum ARV maka jumlah virus dalam darah
akan meningkat lagi dengan cepat, sehingga mengakibatkan penyakit (AIDS)
yang dideritanya akan jadi lebih parah. (KPA, 2011).
Hal-Hal yang mempengaruhi timbunya sikap terhadap HIV AIDS
Pengalaman
Pengaruh orang lain
Pengaruh Budaya
Media Massa
Lembaga Agama/pendidikan
Faktor Emosioanl
Variable yang tidak di teliti
Sikap Baik atau Buruk dalam hal:
Menghakimi/ menyalahkan pda penderita HIV/AIDS
Imposed Measures (tindakan yang harus di terapkan)
Ketahanan profesional (profesional resistency)
Pengetahuan tentang penularan HIV dan Perkembangan HIV AIDS di Indonesia
Baik
KurangPERAWAT (Yang memiliki Karakteristik, Pendidikan Pengalaman, Masa kerja)Informasi tentang HIV/AIDS, Fakta-fakta HIV/AIDS, perkembangan kasus-kasus HIV/AIDS 38
E. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori tantang Gambaran Pengetahuan dan Sikap Perawat Terhadap
HIV/AIDS