bab i pendahuluan lu 11 bt 141

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terletak pada garis 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0 BT 141 0 BT. Dengan demikian, Indonesia terletak di daerah khatulistiwa. Letak ini menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Yang diketahui bahwa 17.000 pulau yang didalam wilayahnya terdapat berbagai macam jenis spesies yang unik dan endemik. Jenis-jenis hewan yang ada di Indoensia diperkirakan berjumlah sekitar 220.000 jenis yang terdiri dari atas lebih kurang 200.000 serangga (±17% fauna serangga di dunia), 4.000 jenis ikan, 2.000 jenis burung, serta 1.000 jenis reptilia dan amphibia. Salah satu yang menjadi kekayaan hayati di Indonesia adalah fauna yang memiliki beragam macam jenisnya salah satunya spesies burung yang secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves. Dimana burung atau unggas adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari burung kolibri yang kecil mungil hingga burung unta, yang lebih tinggi dari orang. Diperkirakan terdapat sekitar 8.800 10.200 spesies burung diseluruh dunia, sekitar 1.500 jenis ditemukan di Indonesia. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa jenis yang tergolong ke dalam spesies burung yang merupakan endemik asli Indonesia dan tidak ditemukan di daerah lain. Jenis spesies burung yang asli (hidup secara alami) di Indonesia

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia terletak pada garis 60 LU – 110 LS dan 950 BT – 1410 BT.

Dengan demikian, Indonesia terletak di daerah khatulistiwa. Letak ini

menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Yang

diketahui bahwa 17.000 pulau yang didalam wilayahnya terdapat berbagai macam

jenis spesies yang unik dan endemik. Jenis-jenis hewan yang ada di Indoensia

diperkirakan berjumlah sekitar 220.000 jenis yang terdiri dari atas lebih kurang

200.000 serangga (±17% fauna serangga di dunia), 4.000 jenis ikan, 2.000 jenis

burung, serta 1.000 jenis reptilia dan amphibia.

Salah satu yang menjadi kekayaan hayati di Indonesia adalah fauna yang

memiliki beragam macam jenisnya salah satunya spesies burung yang secara

ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves. Dimana burung atau unggas adalah

anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan

sayap. Jenis-jenis burung begitu bervariasi, mulai dari burung kolibri yang kecil

mungil hingga burung unta, yang lebih tinggi dari orang. Diperkirakan terdapat

sekitar 8.800 – 10.200 spesies burung diseluruh dunia, sekitar 1.500 jenis

ditemukan di Indonesia.

Saat ini di Indonesia terdapat beberapa jenis yang tergolong ke dalam

spesies burung yang merupakan endemik asli Indonesia dan tidak ditemukan di

daerah lain. Jenis spesies burung yang asli (hidup secara alami) di Indonesia

2

adalah 10 spesies. Sepuluh jenis burung asli Indonesia tersebut adalah sebagai

berikut: Trulek Jawa (Vanellus Macropterus), Tokhtor Sumatera (Carpococcyx

Viridis), Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi), Kakatua Kecil Jambul Kuning

(Cacatua Sulphurea), Merpati Hutan Perak (Columba Argentina), Perkici Buru

(Charmosyna Toxopei), Celepuk Siau (Otus Siaoensis), Anis-Betet Sangihe

(Colluricincla Sanghirensis), Elang Flores (Spizaetus Floris), Gagak Bangai

(Corvus Unicolor)1

Hal ini terjadi sesuai dengan hasil pengamatan pada tahun 2007, di Bali

setiap tahunnya 500 ekor burung diselundupkan dan diperdagangkan. Jumlah ini

tidaklah sedikit dan sebagaian besar diantaranya merupakan spesies-spesies yang

dilindungi seperti kakatua jambul kuning (cacatua galerita), kakatua hitam (lorius

lory), dan Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi).2

Salah satu kasusnya yaitu terjadi pada bulan Februari dan Juli 2013

dimana, disitanya 6 ekor burung Jalak Bali atas dugaan satwa tersebut akan

diperdagangankan secara ilegal dan ditangkapnya seorang kewarganegaran

Thailand yang akan menyelundupkan 2 ekor burung Jalak Bali, namun kejadian

tersebut digagalkan oleh pihak terkait.

Terlebih lagi burung Jalak Bali (Leucopsar Rothschildi) yang merupakan

satwa yang dikategorikan dalam IUCN (International Union for Conservation of

Nature) sebagai satwa kritis dan berdasarkan konservasi perdagangan

internasional bagi jasad liar CITES (Convention on International Trade in

1 Kutilang Indonesia, 2011, Daftar Appendiks CITESURL:http://www.kutilang.or.id/2011/07/04/daftar-apendiks-cites/. diakses pada tanggal 9 April2016 17.00 wita

2 Profauna, “Profauna Indonesia, Helps Uncvering Ilegal Parrot Trade Syndycycate inBali” URL: http://www.evana.org. Diakses pada tanggal 11 September 2015, 22.00 wita

3

Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dimasukan dalam Appendiks I,

yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan.

Dan saat ini perdagangan satwa yang dilindungi tidak hanya memperdagangkan

secara konvensional namun, sudah memanfaatkan dunia maya. Sejumlah situs

internet dijadikan tempat berdagang satwa liar, antara lain di Toko Bagus, Kaskus,

dan Berniaga. Dan mereka juga mempromosikan melalui situs jejaring sosial yaitu

Facebook. Namun pada kenyataannya Lembaga Profauna Indonesia mencatat

perdagangan satwa dilindungi secara online mencapai 303 ekor satwa yang terdiri

dari 27 spesies.3

Bisnis menguntungkan yang melibatkan banyak pihak pelaku, mulai dari

perburu, penampung, tukang offset (taxidemist) hingga eksportir, yang

membentuk suatu mata rantai perdagangan tersendiri. Menurut analisis WWF

(Word Wildlife Found) dan TRAFFIC4 tahun 2010 nilai perdagangan tumbuhan

dan satwa secara internasional (termasuk perdagangan ilegalnya) mencapai USD

170 miliar per tahun. Khusus untuk satwa yang dilindungi, nilai perdagangannya

di tingkat internasional mencapai USD 30 miliar per tahun.5

Dan parahnya lagi perdagangan satwa ini tidak hanya satwa secara utuh

namun, penjualan organ-organ tubuh satwa langka juga, yang berkedok petshop

atau toko jual beli hewan peliharaan maupun toko barang antik. Sehingga

3 Eko Widianto, 2012, “Profauna: Perdagangan satwa liar kini online” URL:http://nasional.tempo.co/read/news/2012/12/28/206450895/profauna-perdagangan-satwa-liar-kini-online. diakses pada tanggal 1 Oktober 2015 09.25 wita

4 TRAFFIC adalah sebuah lembaga yang didirikan pada tahun 1976 dan bergerak dibidang konservasi yang bekerja sama sekretariat CITES (Convention on International Trade inEndangered Species of Wild Fauna and Flora), Anggota dari TRAFFIC dipilih oleh WWF danCITES.

5Abidah Billah Setyowati, dkk, 2013, Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaandan Kebijakan, Perpustakaan Nasional, Jakarta, h. 22.

4

perdagangan secara online inilah yang menyulitkan petugas untuk melacak pelaku

perdagangan satwa langka yang terancam punah itu.

Sehubungan dengan banyaknya dan tidak terkendalinya masalah-masalah

perdagangan terhadap satwa langka, sebuah organisasi yaitu International Union

for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memberikan

perlindungan terhadap satwa, maka digagaslah sebuah instrumen internasional

yaitu Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora (CITES) yang mengatur tentang perdagangan fauna dan flora yang

hampir punah. Indonesia telah mengaksesi CITES melalui Keputusan Presiden

No.43 Tahun 1978 yang mengikat (enter into force) Indonesia untuk mematuhi

ketentuan-ketentuan dalam CITES.

Kemudian lebih komperhensif Indonesia telah menetapkan Undang-

Undang No.5 Tahun 1990 Tentang Konvensi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya. Undang-undang ini menentukan kategori atau kawasan suaka alam

dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai

fungsi pokok sebagai kawasan pengamanan keanekaragaman satwa langka, serta

ekosistemnya. Selain itu pemerintah telah menetapkan Peraturan Pelaksanaan UU

No. 5 Tahun 1990 yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dimana telah ditetapkan jenis-jenis satwa

dan tumbuhan yang dilindungi karena satwa tersebut memiliki nilai ekonomis

yang tinggi dan jumlah persebarannya yang pada saat ini makin terancam

kepunahannya, termasuk salah satunya burung Jalak Bali. Pemerintah telah

menerbitkan pula Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan

5

Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Namun sayangnya undang-undang yang ada

sepertinya hanya sekedar wacana yang tidak dirasakan keberadaaanya karena

faktanya perdagangan tersebut semakin liar.

Mengingat pentingnya lingkungan dengan wawasan global, seperti konsep

perlindungan keseimbangan ekologi (protection on ecological balance of the

biosphere), keseimbangan kebijakan pembangunan ekonomi dengan perlindungan

lingkungan dalam rangka daya dukung lingkungan yang berkelanjutan

(sustainable development), perlindungan lingkungan untuk kepentingan general

masa kini dan masa depan (imperative goal for mankind), kebijakan pemerintah

yang menyeluruh (large schale policy), dan tindakan yang bersifat usaha bersama

(common effort) untuk kepentingan bersama (common interest). Dimana satwa

langka merupakan salah satu bagian dari lingkungan. Maka penulis tertarik

membahas permasalahan tersebut dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM

BURUNG JALAK BALI MENURUT CONVENTION ON

INTERNATIONAL TRADE IN ENDANGERED SPECIES OF WILD FAUNA

AND FLORA DAN PENERAPAN HUKUMNYA DI INDONESIA.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas yang telah penulis uraikan,

maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) terhadap

upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia?

6

2. Bagaimana perlindungan hukum burung Jalak Bali dari

perdagangan menurut Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) dan

hambatan yang dialami pemerintah dalam mengendalikan

perdagangan tersebut?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari kesimpangsiuran dari permasalahan pokok, maka

dipandang perlu adanya penegasan dan pembatasan mengenai ruang lingkup

masalah yang akan dibahas guna terarahnya pembahasan dan mencegah

meluasnya permasalahan. Mengingat keterbatasan kemampuan yang Penulis

miliki, untuk itu pembahasan penulisan skripsi ini akan dibatasi ruang pada

permasalahan yang sesuai dengan rumusan permasalahan yang diajukan yaitu:

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai pengaruh pengaturan CITES secara internasional,

dan pengaruh CITES secara nasional sebagai upaya penegakan hukum

perdagangan spesies di Indonesia

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan mengenai bentuk perlindungan hukum burung Jalak Bali dari

perdagangan menurut CITES, dan hambatan yang dialami pemerintah

dalam mengendalikan perdagangan tersebut.

7

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Udayana. Penelitian tentang Perlindungan Hukum Burung

Jalak Bali Menurut Convention on International Trade in Endangered Species of

Wild Fauna and Flora dan Penerapan Hukumnya di Indonesia belum pernah

diteliti sebelumnya. Namun, ditemukan beberapa hasil atau tulisan yang hampir

memiliki landasan yang sama dengan perlindungan spesies, antara lain:

No Peneliti dan Judul Penelitian Rumusan Masalah

1. I Wayan Ery Yanata Utama

(Unud 2012) Penerapan Sanksi

Pidana Penangkapan dan

Perniagaan Penyu Hijau

1. Bagaimana penerapan sanksi pidana

terhadap pelanggaran penangkapan dan

perniagaan penyu hijau.

2. Mengapa penyu hijau (Chelonia Mydas)

perlu dilindungi.

2. I Putu Asmara Francesco

Confessa (Unud 2012) Suatu

Kajian Tentang Pemanfaatan

Tumbuhan dan Satwa Liar

ditinjau dari Undang-Undang

No. 8 Tahun 1990 tentang

Pemanfaatan Tumbuhan dan

Satwa Liar

1. Bagaimanakah pemanfaatan jenis

tumbuhan dan satwa liar yang dilakukan

di Indonesia.

2. Lembaga manakah yang menetapkan

dan bertugas mendokumentasikan,

memelihara dan mengelola hasil

pengkajian dan penelitian serta

pengembangannya.

Sehingga penulis sudah memenuhi aspek dari orisinalitas penelitian, jika

masih terdapat penelitian hukum yang sama, hal tersebut diluar pengetahuan dari

8

penulis, diharapkan penulisan hukum ini dapat menambahkan atau melengkapi

dari sebelumnya.

1.5 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada

bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.

2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah

secara tertulis.

3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum.

4. Mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan

masyarakat.

5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum.

b. Tujuan Khusus

Secara lebih rinci tujuan penulisan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk dapat mengurai dan menganalisis pengaruh Convention

on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap

upaya penegakan hukum perdagangan spesies di Indonesia.

2. Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk perlindungan

hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perdagangan

9

burung Jalak Bali serta hambatan dalam mengendalikan

perdagangan yang terjadi.

1.6 Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan

menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum internasional,

khususnya hukum lingkungan internasional, yang saat ini masih

banyak terjadi masalah yang berkaitan dengan hukum lingkungan

internasional.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi upaya untuk

mengembangkan wawasan dan pendewasaan cara berfikir serta

meningkatan daya nalar terhadap masalah-masalah yang berkaitan

dengan perlindungan spesies langka khususnya burung Jalak Bali

sesuai dengan Convention on International Trade in Endangered

Species of Wild Fauna and Flora, pengaruhnya, penegakkan

hukumnya di Indonesia serta hambatan oleh pemerintah dalam

mengendalikan perdagangan yang terjadi.

10

1.7 Landasan Teoritis

Penelitian ilmiah ini berpedoman pada kaidah dan norma hukum

internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum internasional adalah

ketentuan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan

yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat

perdata.6

Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah

suatu tertib hukum kordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing

merdeka dan berdaulat. Sehingga, berbeda halnya dengan tertib hukum nasional

(yang bersifat subordinasi), dalam tertib hukum koordinasi (hukum internasional)

tidak terdapat lembaga-lembaga yang bersangkutpaut dengan hukum dan

pelaksanaannya dalam hukum internasional tidak terdapat kekuasaan eksekutif,

tidak terdapat lembaga legislative, tidak terdapat lembaga kehakiman (yudisial),

dan tidak terdapat lembaga kepolisian.7

Dalam hubungan ini telah timbul beberapa teori atau ajaran yang mencoba

memberikan landasan pemikiran tentang mengikatnya hukum internasional, yaitu:

1. Mazhab/Ajaran Hukum Alam

Menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia

adalah bagian dari “hukum alam” yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-

bangsa. Negara-negara tunduk dan terikat kepada hukum internasional dalam

hubungan antar negara mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian

dari hukum yang lebih tinggi, yaitu “ hukum alam”.

6 Mochtar Kusumatmadja, 1999, Pengantar Hukum Internasional, cet IX, Bina Cipta,Bandung, h.1.

7 Ibid, h. 32.

11

Kontribusi terbesar ajaran mazhab hukum lama bagi hukum internasional

bahwa ia memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam

hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional

merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, mahzab

hukum alam sesungguhnya telah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya

hidup berdampingan secara tertib dan damai antar bangsa-bangsa di dunia ini

walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai

yang berbeda-beda.

2. Mazhab/Ajaran Hukum Positif

Ada beberapa mahzab yang termasuk ke dalam kelompok Mahzab atau

Ajaran Hukum Positif, yaitu:

a. Mazhab/Teori Kehendak Negara8

Ajaran atau mazhab ini bertolak dari teori kedaulatan negara. Secara

umum inti dari ajaran atau mahzab ini adalah sebagai berikut: oleh karena

negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari

segala hukum. Hukum internasional itu mengikat negara-negara karena

negara-negara itu atas kehendak atau kemauannya sendirilah tunduk atau

mengikatkan diri kepada hukum internasional.

Bagi mazhab ini, hukum internasional itu bukanlah sesuatu yang lebih

tinggi dari kemauan negara (hukum nasional) tetapi merupakan bagian dari

hukum nasional (c.q hukum tata negara) yang mengatur hubungan luar

suatu negara (auszeres Staatsrecht).

8 Ibid, h. 35.

12

b. Mazhab/Teori Kehendak Bersama Negara-negara9

Mazhab ini berusaha untuk menutup kelemahan Mazhab/Teori

Kehendak Negara sebagaimana telah dikemukan di atas. Menurut mazhab

ini, hukum internasional itu mengikat bukan karena kehendak masing-

maisng negara secara sendiri-sendiri melainkan karena kehendak bersama

masing-masing negara itu dimana kehendak bersama ini lebih tinggi

derajatnya dibandingkan dengan kehendak negara secara sendiri-sendiri.

Dikatakan pula oleh mazhab ini bahwa, berbeda halnya dengan kehendak

negara secara sendiri-sendiri, kehendak bersama ini tidak perlu dinyatakan

secara tegas atau spesifik.

c. Mazhab Wina10

Kelemahan-kelemahan yang melekat pada mazhab-mazhab yang

meletakkan dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak

negara (yang kerap juga disebut sebagai aliaran voluntaris) melahirkan

pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum

internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma atau

kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari

dikehendaki atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap

disebut sebagai aliran objektivist).

Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional

didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi.

Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian

9 Ibid.10 Ibid, h. 36.

13

seterusnya hingga sampai pada puncak piramida kaidah-kaidah hukum

yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat

dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai

hipotessa asal (urpsungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari

hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pact sunt servanda.

3. Mazhab Perancis11

Suatu mahzab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum

internasional dengan kontruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan kedua

mahzab sebelumnya (Mahzab Hukum Alam dan Mahzab Hukum Positif) muncul

di Perancis. Karena itu, Mahzab ini dikenal sebagai Mahzab Perancis.

Dalam garis besarnya. Mahzab ini meletakkan dasar mengikatnya hukum

internasional – sebagaimana halnya bidang hukum lainnya – pada faktor-faktor

yang mereka namakan “fakta-fakta kemasyarakatan” (fait social), yaitu berupa

faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar

mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami

manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa memiliki harsat untuk hidup

bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan

naluri manusia sebagai individu itu juga dimiliki oleh negara-negara atau bangsa-

bangsa (yang merupakan kumpulan manusia). Dengan kata lain, menurut mahzab

ini, dasar mengikatnya hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar

mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada kebutuhan

manusia untuk hidup bermasyarakat.

11 Ibid, h. 38.

14

Perbahasan persoalan tempat dan kedudukan hukum internasional dalam

rangka hukum secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu

jenis atau bidnag hukum, hukum internasional merupakan bagian dari pada

hukum pada umumnya. Anggapan atau pendirian demikian tidak dapat dielakkan

apabila kita hendak melihat hukum internasional sebagian suatu perangkat

ketentuan-ketentuan ada asas-asas yang efektif yang benar-benar hidup didalam

kenyataan dan karenanya mempunyai hubungan efektif pula dengan ketentuan-

ketentuan atau bidang-bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling penting

adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam

masing-masing lingkungan kebangsaan yang dikenal dengan nama hukum

nasional.

Di dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional

terdapat dua pandangan tentang hukum internasional ini yaitu pandangan yang

dinamakan Voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan

bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini pada kemauan

negara. Berdasarkan pandangan ini maka muncul paham dualisme yang melihat

bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum

yang hidup berdampingan dan terpisah. Sedangkan pandangan objektivis yang

menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan

negara. Berdasarkan pandangan tersebut, maka munculah paham monisme yang

melihat hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu

kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.12

12 Ibid, h.40.

15

Disamping itu terdpaat juga Teori Efektifitas Hukum, untuk menjawab

permasalahan kedua dalam penelitian ini akan dipergunakan teori efektifitas

pelaksanaan hukum dari Soejono Soekanto bahwa efektifitas hukum yang

dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu

berlaku secara yuridis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis.

Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum berfungsi dalam

masyarakat, yaitu (1) Faktor kaidah hukum/peraturan itu sendiri; (2) Faktor

petugas/penegakan hukum; (3) Faktor sarana atau fasilitas yang digunakan oleh

penegak hukum; (4) Faktor masyarakat atau Faktor kebudayaan masyarakat.

Berikut ini penjelasan dari Soejono Soekanto masing-masing faktor:13

a. Faktor Hukum

Secara konsepsional maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawatahan dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran ini, tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Mengenai berlakunya

hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapan sebagai berikut:

a) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya

didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau

terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan.

b) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut

efektif. Artinya kaidah dimaksud dapat dipaksakan (teori

13 Soejono Soekanto, 2004, Sosiologi Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada, Jakarta,h. 8.

16

kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari

masyarakat.

c) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita

hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.14

Kalau dikaji lebih dalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah

hukum harus memenuhi ketiga macam unsur diatas, sebab apabila tidak:

(1) Bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, ada kemungkinan

kaidah itu merupakan kaidah mati; (2) Kalau hanya berlaku secara

sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan

pemaksa; (3) Apabila hanya berlaku secara filosofis, kemungkinannya

kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius

contituendum).

Berdasarkan penjelasan diatas, tampak betapa rumitnya persoalan

efektifitas hukum di Indonesia. Oleh karena itu suatu kaidah hukum atau

peraturan tertulis benar-benar berfungsi, senantiasa dapat dikembalikan

pada empat faktor yang telah disebutkan.

b. Faktor Penegak Hukum

Pengertian dari istilah “penegakan hukum” demikian luas karena

mancakup baik secara langsung maupun secara tidak langsung dalam hal

penegakan hukum. Menurut Soeono Soekanto bahwa:

Penegak hukum pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam

bidang penegakan hukum tidak hanya mencakup “law enforcement” akan

14 Ibid, h. 11-67.

17

tetapi pula “peace maintenance” kalangan itu mereka yang bertugas di

bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan

pemasyarakatan.15

Oleh karena itu yang dimaksud penegak hukum atau orang yang bertugas

menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab

menyangkut petugas strata atas, menegah dan bawah. Artinya didalam

melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum petugas seyogianya harus

memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis tertentu yang

mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Didalam hal penegakkan hukum

dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum menghadapi hal-hal

sebagai berikut:

a) Sampai sejauh mana petugas terikat dari peraturan-peraturan yang

ada?

b) Sampai batas-batas mana petugas berkenaan memberikan

kebijakan?

c) Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas

kepada masyarakat?

d) Sampai sejauh manakah derajat sinkronisasi penugasan-

penugasan yang diberikan kepada para petugas sehingga

memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya?16

c. Faktor Sarana/Fasilitas

15 Ibid, h.13.16 H. Abdulmanan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana Pressnada Media,

Jakarta, h. 98.

18

Fasilitas/sarana amat penting untuk mengefektifkan suatu aturan tertentu.

Ruang lingkup sarana dimaksud terutama sarana fisik yang berfungsi

sebagai faktor pendukung. Misalnya, bila tidak ada kertas dan karbon yang

cukup serta mesin ketik yang cukup baik, bagaimana petugas dapat

membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Bagaimana polisi dapat

bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-

alat komunikasi yang proporsional. Kalau peralatan dimaksud sudah ada,

faktor-faktor pemeliharaannya juga memegang peran yang sangat penting.

Memang sering terjadi bahwa suatu peraturan yang semula bertujuan

untuk memperlancar proses, malahan mengakibatkan terjadi kemacetan.

Mungkin ada baiknya ketika hendak menerapkan suatu peraturan secara

resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai

fasilitas-fasilitas yang berpatokan kepada: (1) apa yang sudah ada,

dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu

diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa

yang kurang, perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak, diperbaiki atau

diganti, (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur,

ditingkatkan.

d. Faktor Masyarakat

Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga

masyarakat. Yang dimaksud ini adalah kesadaran untuk mematuhi suatu

peraturan perundang-undangan, yang kerap disebut derajat kepatuhan.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat

19

terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang

bersangkutan. Adanya asumsi yang menyatakan bahwa apabila semakin

besar peran sarana pengendalian sosial selain hukum seperti agama dan

adat istiadat, semakin kecil peran hukum, seperti hanya peraturan yang

mengatur tentang spesies langka mempunyai peran yang sangat besar

terhadap pelanggaran/perdagangan spesies langka. Oleh karena itu, hukum

tidak dapat dipaksakan keberlakuannya didalam segala hal, selama masih

ada sarana lain yang ampuh. Hukum hendaknya dipergunakan pada tingkat

yang terakhir bila sarana lainnya tidak mampu lagi untuk mengatasi

masalah. Terkait dengan hal tersebut perlu diungkapan hal-hal yang

berkaitan dengan kesadaran masyarakat terhadap hukum, yaitu (1)

Penyuluhan hukum yang teratur; (2) Pemberian teladan yang baik dari

petugas dalam hal kepatuhan terhadap hukum dan respek terhadap hukum;

(3) Pelembagaan yang terencana dan terarah.

e. Faktor Kebudayaan

Masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau

non materiil. Sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem

kemasyarakatan), maka hukum mencakup struktur, substansi, dan

kebudayaan. Struktur mencakup wadah atau bentuk dari sistem tersebut.

Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan

apa yang dianggap buruk (dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya

20

merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim

yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperannan dalam hukum

adalah sebagai berikut:

1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman

2) Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan

3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/

inovasitisme

Pasangan nilai ketertiban dan ketentraman sebenarnya sejajar dengan nilai

kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Hal ini berarti bahwa didalam

hukum publik nilai ketentraman boleh diabaikan, sedangkan didalam

hukum perdata nilai ketertiban sama sekali tidak diperhatikan. Pasangan

nilai ketertiban dan ketentraman, merupakan pasangannilai yang bersifat

universal; mungkin keserasiannya berbeda menurut keadaan masing-

masing kebudayaan, dimana pasangan nilai tadi diterapkan.

Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang melibatkan antar

negara di dunia saling bertemu, menembus lintas batas negara masing-masing

untuk membuat suatu jalur serta jaringan-jaringan di bidang perdagangan yang

ada.

Selain itu perdagangan internasional dapat dikatakan sebagai pemersatu

negara-negara di dunia, disebut demikian karena adanya fakor perbedaan yang

menjadi latar belakang dari masing-masing negara. Perbedaan disini dalam arti

bahwa setiap negara mempunyai karakteristik berbeda-beda yang menjadi unsur

dari suatu negara tersebut, misalnya perbedaan dari segi sumber daya alam, iklim,

21

geografi, demografi, struktur ekonomi dan juga struktur sosial. Masing-masing

karakteristik tersebut tentunya menyebabkan adanya suatu keunggulan tertentu,

serta disisi lain juga memiliki kekurangan.17

Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum

perdagangan internsional oleh sarjana hukum perdagangan internasional, yaitu

Profesor Aleksander Goldstajn, diantaranya adalah:

a. Prinsip dasar kebebasan berkontrak

Merupakan prinsip universal dalam hukum perdagangan internasional.

Kebebasan tersebut mencakup bidang hukum yang cukup luas, meliputi

kebebasan untuk melakukan jenis-jenis kontrak yang para pihak sepakati,

termasuk pula kebebasan untuk memilih forum penyelesaian sengketa

dagangnya, serta kebebasan untuk memillih hukum yang akan berlaku

terhadap kontrak, dan lain.

Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentang dengan UU,

kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan, dan lain-lain persyaratan yang

ditetapkan oleh masing-masing sistem hukum.

b. Prinsip Pact Sunt Servanda

Adalah prinsip yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang

telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan

itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum

didunia menghormati prinsip ini.

c. Prinsip Dasar Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

17 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Transaksi Bisnis Internasional(Eksport-Import) Cetakan Ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 1.

22

Arbitrase dalam perdagangan internasionala adalah forum penyelesaian

sengketa yang semakin umum digunakan. Klausul arbitrase sudah semakin

banyak dicantumkan dalam kontrak-kontrak dagang. Oleh karena itulah,

prinsip ketiga ini memang relevan. Goldstajn menguraikan kelebihan dan

alasan mengapa penggunakaan arbitrase ini dijadikan prinsip dasar dalam

hukum perdagangan internasional adalah sebagai berikut:

“moreover to the extent that the settlement of differences is referred to

arbritration, a uniform legal order is being created. Arbitration tribunals

often apply criteria other that those applied in courts. Arbitrations appear

more ready to interpret rules freely taking into account customs, usage

and business practice. Further, the fact that the enforcement of foreign

arbitral awards is generally more easy that the enforcement of foreign

court decisions is conducive to a preference for arbitrations.”

d. Prinsip Dasar Kebebasan Komunikasi (Navigasi)

Prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasional, yaitu

prinsip kebebasan untuk berkomunikasi (dalam pengertian luas, termasuk

di dalamnya kebebasan bernavigasi). Komunikasi atau navigasi adalah

kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan dagang

dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau

komunikasi, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Perusakan

lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung

23

atau tidak langsung terhadap fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup

sehingga melampaui kriteria baku lingkungan hidup.” Perdagangan hewan juga

merupakan salah satu cara yang dilakukan manusia sebagai bagian dari perusakan

lingkungan hidup.

Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatakan “Satwa Liar adalah

semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air, dan/atau di udara yang masih

mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh

manusia.”18

Pengertian perjanjian internasional dalam pengertian umum dan luas

perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan,

traktat, ataupun konvensi adalah:19

“Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai

suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan

hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum

internasional.”

Demikian pula dari bagian hukum perjanjian internasional Konvensi Wina

1969 Pasal 2b menyatakan20: Aksesi didefinisikan sebagai tindakan internasional

dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk

diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena itu aksesi tidak berlaku surut

melainkan baru mengikat sejak penandatanganan aksesi. Indonesia merupakan

18 Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber DayaAlam Hayati dan Ekosistemnya.

19 I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional, CV Mandar Maju,Bandung, h. 12.

20 Konvensi Wina Tahun 1969 Psal 2b terjemahan bahasa Indonesia.

24

salah satu negara didunia yang mengaksesi Konvensi perdagangan internasional

tumbuhan dan satwa langka spesies terancam punah atau CITES (Convention on

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Aksesi

tersebut terwujud dengan membentuk UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melalui Keppres No. 43 Tahun

1978 tentang aksesi CITES.

Mengingat negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum maka

untuk terwujudnya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap satwa yang

dilindungi perlu dilakukan penegakkan hukum secara tegas dengan membentuk

tim terpadu yang terdiri dari instansi terkait. Selain penegakkan hukum secara

nasional Indonesia juga bisa berpartisipasi dalam penegakkan hukum secara

internasional. Salah satunya sumber hukum internasional adalah perjanjian

internasional.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan maupun teknologi, hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan

untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.21

Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi maka diperlukan suatu metodologi

yang tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah

yang bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah sebagai berikut:

21 Soejono Soekanto, dan Sri Mamuji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu TinjauanSingkat, PT . Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.1.

25

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini termasuk

ke dalam penelitian normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki

penelitian normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan

doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang

dihadapi untuk menghasilkan argumentasi, teori, dan konsep baru

dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.22

b. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan, antara

lain:

1. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual

Approach)

5. Pendekatan Frasa (words & Pharase Approach)

6. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah:

1. Pendekatan Kasus (The Case Approach), yang dilakukan

dengan menelaah kasus-kasus yang secara khusus berkaitan

dengan perdagangan spesies langka khususnya burung Jalak

22 Mukti Fajar ND dan Yulianti Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &Empiris, Pustaka Pelajar, h.34.

26

Bali untuk mendapatkan informasi tambahan terkait dengan

penelitian. Hal ini dapat dilihat dari kasus ditangkapnya orang

Thailand yang bermukim di Indonesia melakukan

penyelundupan dua burung Jalak Bali ke Thailand dengan

menggunakan pesawat China Airlines melalui bandara Sukarno

Hatta Jakarta. Dimana penangkapan ini dilakukan oleh Polisi

Daerah Jakarta dan petugas PHKA (Perlindungan Hutan dan

Konservasi Alam) Departemen Kehutanan dengan dibantu oleh

Profauna Indonesia. Sampai berita ini diturunkan, pengadilan

masih memproses kelanjutan dari kasus tersebut.

2. Pendekatan Fakta (The Fact Approach), yang dilakukan dengan

menelaah dan mengkaji fakta-fakta yang terjadi dalam suatu

masalah. Serta digunakan untuk mengetahui fakta-fakta yang

terjadi dalam peningkatan jumlah perdagangan ilegal spesies

langka khususnya burung Jalak Bali. Dimana tidak hanya

perdagangan melalui pasar-pasar hewan namun juga sudah

merambah dunia maya melalui situs-situs online.

3. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), yang

dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.23

Sesuai dengan peraturan yang digunakan diantaranya Undang-

Undang No. 32 tahun 1990 tentang Perlindungan dan

23 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,Jakarta, h. 39.

27

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 8

Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa

Liar, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun

1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Keppres

No.43 Tahun 1978 Tentang Aksesi CITES, Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.02/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya

Alam, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2005

tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Peraturan

Menteri Kehutanan No. P.447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha

Pengambilan/Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan

Satwa Liar, Convention on International Trade in Endangered

Species of Wild Fauna and Flora, Vienna Convention on the

Law of Treaties 1969

c. Bahan Hukum

Suatu penelitian normatif itu sumber bahannya adalah bahan sekunder

yaitu bahan yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan

hukum, yang merupakan hasil penelitian dan pengolaan orang lain,

yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang

28

biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi.24 Maka

berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini akan dipergunakan

sumber bahan hukum sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang otoritas

(autoritatif), yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan yang

dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu dan berisfat

mengikat.25 Bahan hukum yang digunakan diwujudkan dalam:

Konvensi Perdagangan Internasional tumbuhan dan satwa

langka spesies terancam punah, perundang-undangan, dan

hukum internasional.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.26 Bahan hukum

sekunder dalam skripsi ini terdiri dari buku literatur, jurnal

hukum, skripsi, dan internet, pendapat para sarjana .

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus (kamus bahasa Indonesia,

black temporary dictionary), dan ensiklopedia.27

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

24 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembaharuan Kertas Kerja atau Skripsi IlmuHukum, Mandar Maju, Bandung, h. 65.

25 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.47.26 Amirrudin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum,

PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.11927Ibid.

29

Dalam usulan penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang

digunakan adalah teknik studi kepustakaan atau dokumentasi

(Documentary Studies). Studi dokumen adalah suatu langkah awal dari

setiap penelitian hukum, baik normatif maupun sosiologis.28

Pengumpulan bahan-bahan hukum dalam penulisan skripsi ini

diperoleh melalui:

1. Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara

mengumpulkan perundang-undangan atau konvensi-konvensi

internasional yang berkaitan dengan masalah yang dibahas

dalam skripsi ini.

2. Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara

mengumpulkan literatur, penelitian kepustakaan, membaca,

melihat, mendengarkan maupun, sekarang banyak dilakukan

penelusuran bahan hukum melalui media internet yang

berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.29

e. Teknik Analisis

Dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah diperoleh penulis,

teknik pengelolaan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul

kemudian dianalisis menggunakan teknik deskripsi yaitu dengan

memaparkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder apa

28Ibid, h. 68.29 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.cit, h. 153.

30

adanya.30 Bahan hukum primer dan sekunder yang terkumpul

selanjutnya diberikan penilaian (evaluasi), kemudian dilakukan

interpretasi hukum dan selajutnya diajukan argumentasi. Argumentasi

disini dilakukan oleh penulis untuk memberikan penilaian mengenai

benar atau salah maupun apa yang seharusnya menurutnya hukum

terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. Dan hal ini

tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan

bahan hukum yang lain.

Teknik lainnya yang penulis gunakan dengan teknik analisis, yaitu

pemaparan secara detail dari penjelasan yang didapat pada tahap

sebeumnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini

sehingga keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang saling

berhubungan secara logis.31

30 Rony Hanitijo, 1991, Metode Penelitian Hukum Cetakan II, Ghalia Indo, Jakarta, h. 93.31 Ibid