bab ii tinjauan pustaka a. perilaku merokok 1. pengertian...

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Merokok 1. Pengertian Perilaku Merokok Kegiatan merokok sudah di kenal sejak zaman dulu. Pada awalnya kebanyakan orang menghisap tembakau dengan menggunakan pipa. Masyarakat Timur (Eastern Societies) menggunakan air untuk mengurangi asap tembakau sebelum diinhalasi. Pada tahun 1840-an barulah dikenal rokok, tetapi belum memiliki dampak dalam pemasaran tembakau. Mendekati tahun 1881 mulai terjadi produksi rokok secara besar-besaran dengan bantuan mesin. Melalui reklame, rokok menjadi terkenal dan pada tahun 1920 sudah tersebar ke seluruh dunia. Maka merokok saat ini merupakan suatu kebiasaan yang dapat dilakukan di manapun, kapanpun dan mampu memberikan kenikmatan bagi si perokok. Bila telah kecanduan, sangatlah susah untuk menghentikan kebiasaan merokok (Perwitasari,2006). Pada hakekatnya merokok adalah menghisap rokok, sedangkan rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas (Poerwadarminta, 1983). Sedangkan menurut Aritonang (dalam Perwitasari, 2006) merokok adalah perilaku yang komplek, karena merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, kondisi psikologis, dan keadaan fisiologis. Perilaku sendiri adalah setiap tindakan manusia yang dapat dilihat (Kartono, 2003). Sedangkan pengertian perilaku dalam arti luas adalah mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau dialami seseorang. Dalam pengertian sempit, perilaku dapat dirumuskan hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif (Chaplin, 2002). 10

Upload: ngohanh

Post on 06-Mar-2019

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Merokok

1. Pengertian Perilaku Merokok

Kegiatan merokok sudah di kenal sejak zaman dulu. Pada awalnya

kebanyakan orang menghisap tembakau dengan menggunakan pipa. Masyarakat

Timur (Eastern Societies) menggunakan air untuk mengurangi asap tembakau

sebelum diinhalasi. Pada tahun 1840-an barulah dikenal rokok, tetapi belum memiliki

dampak dalam pemasaran tembakau. Mendekati tahun 1881 mulai terjadi produksi

rokok secara besar-besaran dengan bantuan mesin. Melalui reklame, rokok menjadi

terkenal dan pada tahun 1920 sudah tersebar ke seluruh dunia. Maka merokok saat ini

merupakan suatu kebiasaan yang dapat dilakukan di manapun, kapanpun dan mampu

memberikan kenikmatan bagi si perokok. Bila telah kecanduan, sangatlah susah untuk

menghentikan kebiasaan merokok (Perwitasari,2006).

Pada hakekatnya merokok adalah menghisap rokok, sedangkan rokok adalah

gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas (Poerwadarminta,

1983). Sedangkan menurut Aritonang (dalam Perwitasari, 2006) merokok adalah

perilaku yang komplek, karena merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, kondisi

psikologis, dan keadaan fisiologis.

Perilaku sendiri adalah setiap tindakan manusia yang dapat dilihat (Kartono,

2003). Sedangkan pengertian perilaku dalam arti luas adalah mencakup segala sesuatu

yang dilakukan atau dialami seseorang. Dalam pengertian sempit, perilaku dapat

dirumuskan hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif

(Chaplin, 2002).

10

Perilaku merokok seseorang secara keseluruhan dapat dilihat dari jumlah

rokok yang dihisapnya. Seberapa banyak seseorang merokok dapat diketahui melalui

intensitasnya, dimana menurut Kartono (2003) intensitas adalah besar atau kekuatan

untuk suatu tingkah laku. Maka perilaku merokok seseorang dapat dikatakan tinggi

maupun rendah yang dapat diketahui dari intensitas merokoknya yaitu banyaknya

seseorang dalam merokok.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok

adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok dan kemudian menghisapnya

dan menghembuskannya keluar dan dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh

orang-orang disekitarnya.

2. Tipe-tipe Perokok

Menurut Mu’tadin (dalam www.e-psikologi.com) tipe-tipe perokok yaitu:

a. Perokok sangat berat adalah bila mengkonsumsi rokok lebih dari 31 batang perhari

dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi.

b. Perokok berat merokok sekitar 21-30 batang sehari dengan selang waktu sejak

bangun pagi berkisar antara 6 - 30 menit.

c. Perokok sedang menghabiskan rokok 11 – 21 batang dengan selang waktu 31-60

menit setelah bangun pagi.

d. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan selang waktu 60

menit dari bangun pagi.

Tipe perokok (Sitepoe dalam Perwitasari, 2006) yaitu :

a. Perokok ringan, merokok 1-10 batang sehari.

b. Perokok sedang, merokok 11-20 batang sehari.

c. Perokok berat, merokok lebih dari 24 batang sehari.

Tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory (Tomkins dikutip

Mu’tadin dalam www.e-psikologi.com) adalah:

a. Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Menurut Green tiga sub tipe ini

adalah:

1) Pleasure relaxation, adalah perilaku merokok untuk menambah atau

meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah

minum kopi atau makan.

2) Stimulation to pick them up adalah perilaku merokok yang dilakukan

sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.

3) Pleasure of handling the cigarette adalah kenikmatan yang diperoleh dengan

memegang rokok. Sangat spesifik pada perokok pipa. Perokok pipa akan

menghabiskan waktu untuk mengisi pipa dengan tembakau sedangkan untuk

menghisapnya hanya dibutuhkan waktu beberapa menit saja. Atau perokok

lebih senang berlama-lama untuk memainkan rokoknya dengan jari-jarinya

lama sebelum ia nyalakan dengan api.

b. Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif, misalnya bila ia

marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat.

c. Perilaku merokok yang adiktif (psychological addiction) adalah perilaku dengan

menambahkan dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok

yang dihisapnya berkurang.

d. Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok

sama sekali bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena

benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin atau tanpa dipikirkan dan tanpa

disadari.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan tipe perokok dapat

dibedakan menjadi dua yaitu berdasarkan intensitas merokok yang dilihat dari

banyaknya jumlah rokok yang dihisap dalam satu hari dan berdasarkan keadaan yang

dialami perokok.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

Perilaku merokok merupakan perilaku yang berbahaya, namun masih banyak

orang yang melakukannya termasuk wanita. Menurut Levy (dalam Nasution, 2007)

setiap individu mempunyai kebiasaan merokok yang berbeda dan biasanya

disesuaikan dengan tujuan mereka merokok. Lewin (dalam Komasari dan Helmi,

2000) perilaku merokok merupakan fungsi dari lingkungan dan individu. Artinya

perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri juga disebabkan oleh

faktor lingkungan.

Mu’tadin (dalam Aula, 2010) mengemukakan alasan seseorang merokok,

diantaranya:

a. Pengaruh orang tua

Menurut Baer dan Corado, individu perokok adalah individu yang berasal dari

keluarga tidak bahagia, dimana orang tua tidak memperhatikan anak-anaknya

dibandingkan dengan individu yang berasal dari lingkungan rumah tangga yang

bahagia. Perilaku merokok lebih banyak didapati pada individu yang tinggal dengan

satu orang tua (Single Parent). Individu berperilaku merokok apabila ibu mereka

merokok dibandingkan ayah mereka yang merokok. Hal ini terlihat pada wanita.

b. Pengaruh teman

Berbagai fakta mengungkapkan semakin banyak individu merokok maka semakin

banyak teman-teman individu itu yang merokok, begitu pula sebaliknya.

c. Faktor kepribadian

Individu mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin melepaskan

dari rasa sakit atau kebosanan.

d. Pengaruh iklan

Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa

perokok adalah lambang kejantanan atau glamour membuat seseorang seringkali

terpicu untuk mengikuti perilaku yang ada di iklan tersebut.

Pendapat lain dikemukakan oleh Hansen (dalam Nasution, 2007) tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok, yaitu :

a. Faktor Biologis

Banyak penelitian menunjukkan bahwa nikotin dalam rokok merupakan salah

satu bahan kimia yang berperan penting pada ketergantungan merokok. Pendapat

ini didukung Aditama (1992) yang mengatakn nikotin dalam darah perokok

cukup tinggi.

b. Faktor Psikologis

Merokok dapat bermakna untuk meningkatkan konsentrasi, menghalau rasa

kantuk, mengakrabkan suasana sehingga timbul rasa persaudaraan, juga dapat

memberikan kesan modern dan berwibawa, sehingga bagi individu yang sering

bergaul dengan orang lain, perilaku merokok sulit dihindari.

c. Faktor Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap, kepercayaan, dan perhatian

individu pada perokok. Seseorang berperilaku merokok dengan memperhatikan

lingkungan sosialnya.

d. Faktor Demografis

Faktor ini meliputi umur dan jenis kelamin. Orang yang merokok pada usia

dewasa semakin banyak (Smet, 1994) akan tetapi pengaruh jenis kelamin zaman

sekarang sudah tidak terlalu berperan karena baik pria maupun wanita sekarang

sudah merokok.

e. Faktor Sosial – Kultural

Kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, dna gengsi pekerjaan akan

mempengaruhi perilaku merokok pada individu (Smet, 1994).

f. Faktor Sosial – Politik

Menambahkan kesadaran umum berakibat pada langkah-langkah politik yang

bersifat melindungi bagi orang-orang yang tidak merokok dan usaha melancarkan

kampanye-kampanye promosi kesehatan untuk mengurangi perilaku merokok.

Merokok menjadi masalah yang bertambah besar bagi negara-negara berkembang

termasuk Indonesia (Smet, 1994).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-

faktor yang mempengaruhi seseorang untuk merokok yaitu faktor dari dalam diri

individu dan juga dari lingkungan.

4. Dampak Merokok

a. Dampak merokok bagi kesehatan

Menurut studi prospektif yang dilakukan Rosenman timbulnya penyakit

jantung koroner lebih tinggi 50 % bagi individu yang merokok kira-kira 12

batang sehari dan 200 % bagi individu yang merokok lebih dari 12 batang sehari

(Sarafino dalam Perwitasari, 2006).

Asap rokok mengandung nikotin yang merupakan salah satu bahan kimia

berminyak yang tidak berwarna dan salah satu racun yang cukup keras. Selain itu

di dalam asap rokok terdapat karbon monoksida, amonia, dan butan (Amstrong,

1992). Efek toleran yang disebabkan oleh nikotin sesungguhnya relatif ringan,

tetapi sifat adiktifnya dapat menyebabkan tubuh tergantung dan termanifestasi

dalam bentuk pusing-pusing, mudah gugup, lesu, sakit kepala, dan perasaan

cemas (Theodorus dalam Perwitasari, 2006).

Berdasarkan “Teori Dampak Merokok”, nikotin dapat memacu jantung

menyebabkan relaksasi pada otot-otot skeleton. Secara subyektif, nikotin

memiliki kapasitas berlawanan untuk memproduksi rasa ketergantungan dan

relaksasi serentak (Taylor, 1995).

Merokok memiliki efek sinergis pada faktor beresiko kesehatan lainnya,

yaitu memperluas dampak faktor resiko lainnya yang berkenaan dengan

kesehatan (Dembroski & Mac Dougal dalam Shelly, 1995). Nikotin

menghasilkan efek rangsang pada sistem jantung pada orang yang memiliki

kerusakan jantung maupun yang tidak memiliki kerusakan jantung. Kematian

mendadak pada perokok, dapat diakibatkan dari kurang baiknya aliran darah

karena pembuluh darah yang berkerut dan terhalangi pada detak jantung yang

dihasilkan oleh naiknya sirkulasi catecholamine (Benowitz dalam Shelly, 1995).

Nikotin dapat juga menyebabkan kekejangan pembuluh arteri (vasopasm) pada

orang yang menderita penyakit atherosclerotic (Pomerlau dalam Shelly, 1995).

Merokok dapat menyebabkan penyakit jantung koroner karena ketika

seseorang merokok denyut jantungnya semakin cepat, sedangkan pemasokan zat

asam yang diperlukan oleh jantung kurang dari normal. Merokok dapat memicu

terjadinya trombosis koroner atau serangan jantung karena bekuan darah yang

menutup salah satu pembuluh darah utama yang memasok jantung, hal ini

disebabkan oleh nikotin yang mengganggu irama jantung yang teratur dan

membuat darah dalam tubuh menjadi lengket. Asap rokok ketika merokok dapat

menyebabkan bronkitis (Amstrong, 1992).

Merokok dapat memicu berbagai macam penyakit lainnya yang

digolongkan bersama sebagai penyakit paru-paru kronis yang merintangi lebih 80

% kasus penyakit paru-paru di Amerika Serikat (Oskamp et al dalam Smet,

1994).

Bahaya merokok tidak dibatasi hanya pada perokok saja. Penelitian pada

perokok pasif yang berhubungan langsung dengan perokok menunjukkan bahwa

pasangan perokok, anggota keluarga perokok, dan rekan kerja memiliki resiko

terkena berbagai gangguan kesehatan (Marshal dalam Shelly, 1995)

b. Dampak merokok secara psikologis

Dalam (Sarafino, 1990) mengatakan akibat dari merokok adalah agar

seseorang dapat :

1) Memperoleh perasaan positif seperti rasa santai, rasa senang, atau sebagai

penambah semangat.

2) Mengurangi perasaan yang negatif seperti rasa cemas atau rasa tegang.

3) Sudah menjadi suatu kebiasaan.

4) Sebagai obat dari ketergantungannya secara psikologis yang mengatur keadaan

emosional, baik yang positif maupun yang negatif.

Seseorang merokok karena ketagihan nikotin dan tanpa nikotin hidupnya

terasa hampa. Mereka menjadi terbiasa untuk merokok agar dapat merasa santai

dan mereka menikmatinya sewaktu merokok. Perilaku merokok telah menjadi

bagian dari perilaku sosial mereka, secara tidak langsung tanpa merokok mereka

akan terasa hampa dan merokok merupakan penopang bermasyarakat. Mereka

yang pemalu perlu mengambil tindakan tertentu untuk menutupi perasaan

malunya di hadapan orang lain dengan merokok (Amstrong, 1992).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, merokok berdampak pada

kesehatan dan psikologis seseorang. Merokok bagi kesehatan dapat menyebabkan

kanker paru-paru, bronkitis, penyakit jantung, sedangkan dampak psikologis

merokok dapat menyebabkan ketergantungan secara psikis.

5. Tempat Merokok

Menurut Mu`tadin (2002) tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku

perokok. Berdasarkan tempat dimana seseorang menghisap rokok, maka dapat

digolongkan atas :

a. Merokok di tempat-tempat umum atau ruang publik

1) Kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol mereka

menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih menghargai orang lain,

karena itu mereka menempatkan diri di smooking area.

2) Kelompok yang heterogen (merokok di tengah orang-orang lain yang tidak

merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dan lain-lain). Mereka yang

berani merokok ditempat tersebut, tergolong sebagai orang yang tidak

berperasaan, kurang etis dan tidak mempunyai tata krama. Bertindak kurang

terpuji dan kurang sopan, dan secara tersamar mereka tega menyebar “racun”

kepada orang lain yang tidak bersalah.

b. Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi.

1) Di kantor atau di kamar tidur pribadi. Mereka yang memilih tempat-tempat

seperti ini sebagai tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang

menjaga kebersihan diri, penuh dengan rasa gelisah yang mencekam.

2) Di toilet. Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka

berfantasi.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tempat

merokok dibedakan menjadi dua yaitu merokok di tempat umum dan tempat

pribadi.

6. Aspek-Aspek Perilaku Merokok

Menurut Kumalasari (dalam Triyono,2004) ada empat prediktor dalam

mengukur perilaku merokok seseorang, yaitu :

a. Aktivitas merokok adalah seberapa sering individu melakukan aktivitas yang

berhubungan dengan perilaku merokoknya (menghisap asap rokok, merasakan

dan menikmatinya)

b. Tempat merokok adalah dimana individu melakukan aktivitas merokoknya

(rumah, sekolah, jalan, dan lain-lain).

c. Waktu merokok adalah kapan (pada momen-momen apa saja) individu

melakukan aktivitas merokoknya.

d. Fungsi merokok, yaitu seberapa penting aktivitas merokok bagi diri si perokok

dalam kehidupannya sehari-hari dan makna merokok itu sendiri bagi individu

yang bersangkutan.

Menurut Rasmiyati (dalam Triyono, 2004) aspek-aspek perilaku merokok antara

lain :

a. Aktivitas individu yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, diukur

melalui intensitas merokok, tempat merokok, waktu merokok dan fungsi merokok

dalam kehidupan sehari-hari.

b. Sikap permisif orangtua terhadap perilaku merokok yaitu bagaimana penerimaan

keluarga terhadap perilaku merokok.

c. Lingkungan teman sebaya, yatu sejauh mana individu mempunyai teman sebaya

yang merokok dan memiliki penerimaan positif terhadap perilaku merokok.

d. Kepuasan psikologis, yaitu efek yang diperoleh dari merokok yang berupa

keyakinan dan perasaan yang menyenangkan.

Senada dengan pendapat diatas, menurut Aritonang (dalam Nasution, 2007)

perilaku merokok memiliki beberapa aspek sebagai berikut :

a. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari

Erickson mengatakan bahwa merokok berkaitan dengan masa mencari jati diri

pada diri remaja. Silvans & Tomkins mengatakan bahwa fungsi merokok

ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si perokok, seperti perasaan yang

positif maupun perasaan negatif.

b. Intensitas merokok

Smet mengklasifikasikan perokok berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap,

yaitu :

1) Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari.

2) Perokok sedang yang menghisap 5 – 14 batang rokok dalam sehari.

3) Perokok ringan yang menghisap 1 – 4 batang rokok dalam sehari.

c. Tempat merokok

Menurut Mu`tadin tipe perokok berdasarkan tempat ada dua yaitu :

1) Merokok di tempat-tempat umum/ruang publik.

2) Merokok di tempat-tempat pribadi

d. Waktu merokok

Menurut Presty individu yang merokok dipengaruhi oleh keadaan yang

dialaminya pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca

yang dingin, setelah dimarahi orangtua, dll.

Berdasarkan uraian di atas, maka hasil analisis penulis menyimpulkan bahwa

aspek perilaku merokok dalam penelitian ini yaitu a) Fungsi merokok menyatakan

perasaaan yang dialami perokok seperti perasaan positif. Hal ini merupakan gabungan

dari pendapat Kumalasari, Rasmiyati dan Aritonang. b) Intensitas merokok yaitu

seberapa banyak seseorang menghisap rokok. Hal ini sesuai dengan pendapat

Rasmiyati dan Aritonang. c) Tempat merokok, yaitu dimana saja individu melakukan

aktivitas merokoknya. Ini merupakan pendapat Kumalasari dan Aritonang. d) Waktu

merokok yaitu kapan saja individu melakukan aktivitas merokoknya. Keempat aspek

tersebut merupakan gabungan antara pendapat Kumalasari, Rasmiyati dan Aritonang,

namun saya lebih menitikberatkan pada pendapat Aritonang karena aspek-aspeknya

lebih tepat untuk pengukuran skala psikologinya.

B. Citra Diri

1. Pengertian Citra Diri

Pengertian citra diri (self-image) menurut Chaplin (1999) yaitu apa yang

digambarkan atau dibayangkan akan menjadi di kemudian hari. Gambaran diri ini bisa

sangat berbeda dengan diri sendiri yang sebenarnya. Pengertian tentang citra diri

tersebut hampir sama dengan makna gambaran kesan diri (idealized image), yaitu

kesan yang diidealkan. Pengertian yang lebih rinci adalah satu gagasan atau konsepsi

ideasional mengenai diri sendiri, yang menyajikan kesatuan, daya juang dan daya

usaha pada manusia serta benda-benda. Gambaran yang diidealkan itu merupakan

satu perkiraan yang palsu dan berlebihan atau dibesar-besarkan mengenai

potensialitas dan kemampuan diri yang sebenarnya, dan lebih banyak dijabarkan dari

fantasi serta harapan dari pada realitas sebenarnya (Chaplin,1999). Diri atau self yang

ada dalam gambaran seseorang merupakan suatu inner world manusia termasuk

pemikiran dan perasaan, perjuangan dan harapan, ketakutan dan fantasi, juga

pandangan tentang apa dan siapa dirinya serta bagaimana seseorang tersebut ingin di

pandang.

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki bayangan

yang membuat jiwanya berada dalam segala kondisi yang diinginkan, sehingga dapat

tampil dan berhubungan dengan semua orang tanpa ada celah cacatnya. Bayangan ini

dapat menjadi kenyataan, manakala orang tersebut berusaha sekuat tenaga untuk

mewujudkannya, kecuali hanya bayangan yang bersifat fantasi atau tidak mendasar.

Dalam melakukan bayangan tersebut, seorang manusia akan melakukan komunikasi

interpersonal dalam dirinya untuk mewujudkan citra dirinya.

Keberadaan citra diri sangat penting bagi setiap individu untuk senantiasa

tampil percaya diri di manapun berada. Menurut Wolman (Kumalasari,2001) citra diri

adalah gambaran mental diri seorang yang berasal dari sensasi internal. Emosi-emosi,

fantasi serta pengalaman sehubungan dengan obyek-obyek luar serta orang lain.

Malik (2009), citra diri adalah anggapan yang tertanam di dalam fikiran bawah sadar

seseorang tentang dirinya sendiri. Citra diri bisa tertanam dalam fikiran bawah sadar

oleh pengaruh orang lain, pengaruh lingkungan, pengalaman masa lalu atau sengaja

ditanamkan oleh fikiran sadar.

Susanto (dalam Lulusiana, 2008) menyebutkan bahwa citra diri merupakan

konsep yang kompleks meliputi kepribadian, karakter, tubuh dan penampilan

individu. Sedangkan Kartono (2003) dalam kamus psikologi mengatakan bahwa self

image adalah bayangan atau keadaan diri yang ingin dicapai seseorang.

Menurut Mahali, 2005 (dalam http://ronawajah.wordpress.com) menunjukan

bahwa kepribadian kita merupakan manifestasi sisi luar dari citra diri kita. Citra diri

sangat dipengaruhi oleh performa kita sendiri. Sementara citra diri memengaruhi

perilaku dan perilaku mempengaruhi performa.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa citra diri

adalah bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri serta bagaimana orang tersebut

ingin di pandang, gambaran tersebut meliputi keadaan fisik dan psikologis.

2. Aspek-Aspek Citra Diri

Menurut Mappiare (1982) aspek citra diri sebagai berikut :

a. Penampilan menyeluruh, fisik dan psikis mempengaruhui pembentukan pribadi.

Hambatan fisik seperti sakit dan badan lemah atau hambatan psikis misalnya

adanya rasa malu yang berlebihan, ataupun lemah pikir. Keadaan yang demikian

itu seringkali diperbandingkan dengan keadaan teman-teman sebaya sehingga

dapat menimbulkan penilai diri kurang dan adanya rasa rendah diri.

b. Pakaian dan perhiasan adalah standar lain bagi remaja akhir. Keadaan pakaian

yang tidak memuaskan seringkali membuat mereka menghindarkan diri dari

pergaulan kelompok teman sebaya atau peer group.

c. Teman-teman sebaya dalam kelompok sangat berpengaruh terhadap citra diri dan

ada atau tidak adanya penilaian diri yang positif. Penerimaan kelompok terhadap

diri seseorang, rasa ikut serta dalam kelompok, memperkuat citra diri dan

penilaian diri yang positif, sebaliknya adanya penolakan peer group mengurangi

penilaian diri positif.

d. Selain itu gambaran pengaruh dari keadaan keluarga, situasi rumah-tangga, sikap

mendidik orangtua, pergaulan dan pola hubungan inter anggota keluarga

merupakan seperangkat hal lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap

perkembangan pribadi, citra diri yang sehat dan adanya rasa percaya diri.

Menurut James (Lulusiana, 2008) ada tiga dasar komponen citra diri, yaitu :

1. Material self. Terdiri dari material possession, dimana tubuh menjadi bagian

tertentu dalam diri individu sedangkan pakaian menjadi nomor dua.

2. Social self. Bagaimana pengenalan atau tanggapan yang didapatkan individu dari

teman atau orang lain.

3. Spritual self. Lebih mengarah kepada bagian terdalam dari diri individu sebagai

subjek, dimana kemampuan-kemampuan serta kecakapan-kecakapan psikologis

merupakan bagian yang paling menentukan dari diri individu.

Menurut Jersild (1961) terdapat 3 komponen dalam citra diri seseorang yaitu :

a. Perceptual Component

Komponen ini merupakan image yang dimiliki seseorang mengenai penampilan

dirinya, terutama tubuh dan ekspresi yang diberikan pada orang lain. Tercakup

didalamnya Attractiviness dan Appropriatiness yang berhubungan dengan daya

tarik seseorang bagi orang lain. Hal ini dapat dicontohkan oleh seseorang yang

memiliki wajah cantik atau tampan sehingga ia disukai oleh orang lain.

Komponen ini disebut sebagai Physical Self Image.

b. Conceptual Component

Merupakan konsepsi seseorang mengenai karakteristik dirinya, misalnya

kemampuan, kekurangan dan keterbatasan dirinya. Hal ini dapat dicontohkan

dengan pernyataan “Saya pintar dalam bidang akademik, saya tidak bisa dalam

bidang seni”. Komponen ini disebut Psychological Self Image.

c. Attitudional Component

Merupakan pikiranan perasaan seseorang mengenai dirinya, status, dan

pandangan terhadap orang lain. Hal ini dapat dicontohkan dengan pernyataan

“Saya orangnya supel dan mudah bergaul dengan orang lain. Saya seorang

mahasiswa sehingga harus bisa berbicara dengan orang banyak”. Komponen ini

disebut sebagai Social Self Image.

Sedangkan menurut Rosen, dkk (Lulusiana,2008) citra diri terdiri dari dua

aspek yaitu tubuh dan psikologis. Rincian tubuh citra diri antara lain bagian tubuh dan

keseluruhan tubuh, sedangkan aspek psikologis terdiri dari lingkungan dan dalam diri

sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa aspek

citra diri dalam penelitian ini dibagi menjadi: a) Perceptual component yaitu segala

hal yang meliputi keadaan fisik dan psikis seseorang. Hal tersebut merupakan

perpaduan antara pendapat Mappiere, James, Jersild dan Rosen dimana keadaan fisik

dan pakaian berpengaruh terhadap citra diri seseorang. b) Conceptual component

yaitu merupakan konsepsi seseorang mengenai karakteristik dirinya, misalnya

kemampuan, kekurangan dan keterbatasan dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat

James dan Jersild. c) Attitudional component yaitu hal-hal yang berhubungan dengan

keadaan sosial/lingkungan individu. Hubungan sosial itu misalnya hubungan dengan

teman sebaya seperti penerimaan kelompok, rasa ikut serta dalam kelompok. Keadaan

keluarga dan sikap mendidik juga termasuk dalam sosial self. Hal ini merupakan

perpaduan antara pendapat Mappiere, James, Jersild dan Rosen.

C. Perilaku Merokok Pada Wanita

Rokok tidak hanya digandrungi kaum pria saja, kaum wanita juga turut menikmati

rokok. Sehingga tidak heran apabila saat ini mudah untuk menemukan wanita merokok di

depan umum. Latar belakang fenomena tersebut ialah pola hidup yang mulai bergeser.

Selain itu wanita yang merokok dianggap wanita yang modern, seksi, glamor, matang dan

mandiri. Selain itu, wanita memilih untuk merokok yang kemudian menjadi kebiasaan

disebabkan lingkungan. Biasanya wanita yang banyak memiliki masalah yang pelik lebih

memilih merokok sebagai tempat pelarian dan beralibi sebagai penghilangan stres.

Namun, perlu ditilik lagi dari segi aspek sosialnya. Masyarakat berparadigma bahwa

wanita perokok bukanlah wanita “baik-baik” (http://forum.um.ac.id).

Beberapa negera maju melarang warganya merokok, tapi larangan tersebut tidak

seseanter iklan rokok yang beredar. Ironisnya lagi, iklan rokok tersebut menyatakan kalau

rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan, kehamilan, kelainan janin dan impotensi.

Namun, itu dianggap masyarakat sebagai gertak sambal (http://forum.um.ac.id).

Rokok di tahun 2020 diperkiraan penyumbang angka kematian paling besar di

samping penyebab lainnya. Sebagian besar wanita tahu merokok merupakan kebiasaan

yang merugikan kesehatan. Malahan adan wanita yang anti dengan perokok aktif. Akan

tetapi, bagi wanita yang merokok itu bukanlah suatu masalah yang patut diperdebatkan.

Wanita yang memiliki kebiasaan merokok sangat rentan terhadap osteoporosis dan

kesehatan reproduksi. Wanita perokok akan menghadapi masalah kecantikan dan

kesehatan tulang. Wanita perokok lebih berisiko osteoporis dan lebih cepat tua ketimbang

umurnya. Menurut Profesor Antony Young dari Guys, Kings and St. Thomas School of

Medicin, London, Inggris, wanita perokok lebih banyak kerutan terutama di sekitar mulut

dan mata. Kulitnya terlihat lebih keabu-abuan. Penyebabnya ialah nikotin mengaktifkan

enzim yang membunuh kolagen yaitu sebuah zat yang berfungsi untuk menjaga elastisitas

kulit (http://forum.um.ac.id).

Nikotin yang terkandung dalam rokok dapat mempercepat osteoporosis. Nikotin

dapat mengurangi kadar estrogen dalam tubuh wanita. Oleh sebab itu wanita yang suka

merokok mengalami inhibisi estrogen sehingga massa tulangnya lebih ringan daripada

wanita tidak perokok. Untuk diketahui estrogen juga berfungsi membantu metabolisme

tulang.

Menurut Joseph (dalam Fakhrurrozi, 2005) dalam sebuah penelitian

mengemukakan bahwa kaum remaja termasuk golongan yang paling mudah ketagihan

rokok. Subjek penelitian ini adalah remaja putri berusia 11 tahun sampai 24 tahun dan

yang sudah menjadi pecandu rokok. Subjek berjumlah 1 orang yakni remaja putri

pecandu rokok. Dalam penelitian ini juga terungkap, remaja wanita lebih potensial

menjadi pecandu rokok. Joseph mengatakan bahwa seorang wanita hanya memerlukan

waktu selama tiga minggu untuk membuat wanita ketagihan merokok. Sedangkan, pria

membutuhkan sedikitnya enam bulan sejak mereka mulai menghisap batang tembakau

ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi citra diri menurut Wirawan (dalam Rombe,

1997) adalah faktor fisik, psikologis, lingkungan, tingkat intelegensi, status sosial

ekonomi, ras dan kebangsaan dan urutan kelahiran. Faktor-faktor yang mempengaruhi

individu menjadi pecandu rokok adalah faktor kepribadian baik internal maupun

eksternal. Dimensi internal adalah diri pelaku, yaitu pelaku takut dalam menghadapi

suatu kegagalan dan susah keluar dari kegagalan yang sedang dihadapi. Sedangkan,

dimensi eksternal adalah diri fisik, dimana individu kurang percaya diri dengan bentuk

tubuh; diri moral, individu jarang beribadah, diri personal; dimana individu tidak

menyukai dirinya sendiri dan diri keluarga. Berdasarkan faktor-faktor citra diri di atas,

dapat ketahui bahwa citra diri yang mempengaruhi seseorang menjadi seorang perokok

lebih menekankan pada aspek psikologis wanita dimana seseorang mencoba rokok

sebagai pelarian dari suatu masalah. Takut akan kegagalan, rasa tidak percaya diri dengan

bentuk fisik menyebabkan seseorang memiliki citra diri yang rendah sehingga merokok

dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan citra diri karena dengan merokok wanita

beranggapan akan terlihat keren, gaul, cantik, modern dan bisa menarik perhatian orang.

Wanita selalu terlambangkan dengan kelembutan dan keanggunan. Kesan ini tidak

akan pernah hilang pada setiap fase kehidupan wanita. Namun pada tahun 1920-an,

wanita sudah mulai berani menampakan dirinya bersama rokok dimuka umum. Hal ini

dilakukan sebagai lambang persamaan hak dan emansipasi (Aditama, 1997). Sesuai

dengan berkembangnya jaman maka kebiasaan merokok pada wanita terus berkembang.

Sebelumnya promosi rokok lebih menitik beratkan pada pria, tapi saat ini promosi rokok

mulai merambah target baru untuk memperluas pemasarannya, maka wanita adalah

sasaran selanjutnya untuk mengkonsumsi rokok. Wanita yang merokok selalu

digambarkan sebagai lambang kematangan, kedewasaan, popularitas, kecantikan, sexy

dan feminisme oleh promosi perusahaan rokok (Aditama, 1997).

Berbagai alasan dikemukakan wanita untuk merokok. Menurut WHO (1992),

banyak remaja putri memulai merokok akibat pengaruh teman. Ketakutan bila ditolak

keberadaannya, akan diisolasi dan diabaikan oleh teman-temannya membuat remaja ikut-

ikutan merokok. Selain itu adanya pengaruh image-image yang dipaparkan oleh

perusahaan rokok, dimana perusahaan rokok menekankan bahwa wanita merokok akan

lebih sexy, cantik, feminisme dan terlihat lebih dewasa. Hal lain yang mendorong remaja

puteri untuk merokok yaitu mereka menganggap bahwa dengan merokok dapat menekan

rasa gelisah dan stress misalnya saat mereka ada masalah dengan teman sebaya atau

keluarga, rokok menjadi ”teman” agar mereka melupakan masalahnya. (Aditama, 1997).

Banyak wanita berpendapat bahwa rokok dapat membuat tubuh mereka lebih

langsing sehingga akan merasa lebih percaya diri. Rokok membuat mereka langsing

karena merokok sendiri dapat menekan nafsu makan. Dewasa ini semakin sering didapati

wanita yang bekerja diluar rumah juga merokok. Wanita menjadi lebih banyak tekanan

baik dirumah maupun di lingkungan pekerjaan. Akibatnya membuat wanita mudah stress,

cemas dan tegang. Tidak jarang, wanita sulit mengungkapkan masalah yang dihadapinya

sehingga sering terlarut dalam kesendirian dan merasa rendah diri. Hal inilah yang

membuat wanita mencoba untuk merokok dengan anggapan rokok dapat digunakan

sebagai penangkal stress, meredakan perasaan cemas dan dapat menenangkan jiwa saat

sedang banyak masalah (http://aria.blogdetik.com).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok pada wanita

didasari oleh berbagai alasan, antara lain karena pengaruh teman, pengaruh iklan rokok,

membuat tubuh lebih langsing sehingga menjadi percaya diri dan sebagai pelarian ketika

menghadapi masalah. Saat mengalami tekanan wanita akan merasa rendah diri, di saat

itulah wanita memerlukan solusi, salah satunya dengan merokok. Rokok dianggap

sebagai penangkal stres, meredakan perasaan cemas, tegang dan adanya kesan cantik,

sexy, populer, dewasa merupakan alasan wanita untuk merokok.

D. Hubungan Citra Diri dengan Perilaku Merokok Pada Wanita

Citra diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang

karena pada dasarnya citra diri merupakan konsep diri yang berkaitan dengan sifat-sifat

fisik. Citra diri dianggap sebagai fokus pembentukan kepribadian yang selalu dipelihara

dan mengalami perubahan. Setinggi apapun penilaian orang lain akan menjadi kurang

berarti apabila citra dirinya berbeda dengan penilaian tersebut (Clore, dalam Putriana,

2004).

Berbagai harapan tentang citra yang serba baik terkadang menjadikan konflik

tersendiri bagi sebagian individu termasuk wanita. Bagi wanita hal tersebut kadang

disikapi dengan berbagai macam cara. Ada yang menyikapinya dengan tenang, dimana

mereka menganggap semua masalah dapat diatasi tanpa dirisaukan, tetapi di sisi lain ada

juga yang menyikapinya dengan serius dan bahkan cenderung menimbulkan tertekanan

(under pressure). Perasaan tertekan yang alami oleh individu ini pada akhirnya

membutuhkan adanya suatu solusi atau pemecahan (Triyono, 2006). Tekanan-tekanan

dari luar jika terlalu hebat pengaruhnya pada individu maka pada akhirnya akan

mendorong individu melakukan berbagai cara untuk meningkatkan citra dirinya, salah

satunya dengan merokok.

Fenomena merokok pada wanita adalah suatu peristiwa yang sering kita jumpai

dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang kita menganggap perilaku mereka itu adalah

suatu tindakan yang kurang pantas dilakukan oleh wanita. Seandainya kita mau menggali

atau melihat lebih dalam mengenai perilaku tersebut kita akan menjumpai berbagai

macam penjelasan mengenai tindakan mereka tersebut. (Locken dalam Triyono, 2006)

menyatakan bahwa keputusan seseorang merokok atau tidak secara keseluruhan dapat

merupakan fungsi dari kombinasi berbagai keyakinanakan akibat-akibat tingkah laku

merokok yang bersifat positif. Akibat positif tersebut dapat berupa mengurangi stress,

memudahkan dalam berinteraksi, membawa kearah penerimaan kelompok teman sebaya,

memberikan kesibukan, relaksasi, berkontrasi, dan sebagainya. Gunbreg (Triyono, 2006)

menerangkan bahwa nikotin yang terkandung dalam tembakau sangat cepat

mempengaruhi jumlah accetyl choline neurotransmitter yang bisa menyebabkan seorang

perokok merasa lebih baik.

Perilaku merokok juga dipengaruhi oleh lifestyle yang dipengaruhi oleh pergaulan

dengan sesama perokok. Perilaku merokok pada wanita selain disebabkan oleh faktor-

faktor dari dalam, juga disebabkan oleh faktor dari luar. Faktor dari dalam yaitu berupa

kepribadian sedangkan salah satu faktor dari luar yang mempengaruhi individu adalah

lingkungan dan budaya. Sejalan dengan yang dikemukakan Lewin (dalam Condro, 2004)

yang berpendapat bahwa perilaku seseorang itu sendiri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu

faktor yang pribadi dan faktor sosial atau lingkungan (http:// groups.yahoo.com/

group/wanita-muslimah/message/49718).

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengajukan hipotesis yaitu ada hubungan

antara citra diri dengan perilaku merokok pada wanita di Purwokerto. Semakin rendah

citra diri seseorang maka semakin tinggi perilaku merokoknya, begitu juga sebaliknya

semakin tinggi citra diri seseorang maka semakin rendah perilaku merokoknya.