bab ii tinjauan pustaka a. pengertian dan hakekat putusan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan hakekat putusan hakim
Pada dasarnya kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum memberikan
batasan pengertian tentang putusan adalah hal yang didasarkan pada
pengadilan. Atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim di
sidang pengadilan yang bersifat pertimbangan menurut kenyataan,
pertimbangan hukum.
Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali3 yang menyatakan
putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu perkara. Putusan
hakim ini biasa di sebut vonnis yakni kesimpulan-kesimpuan terakhir
mengenai hukum dan akibat-akibatnya.
Mewujutkan putusan hakim yang di dasarkan pada kepastian hukum,
keadilan dan kemanfaatan memang tidak mudah, apalagi ketentuan keadilan,
sebab konsap keadilan dalam putusan hakim tidak mudah mencari tolak
ukurnya. Adil bagi suatu pihak, belum tentu dirasakan oleh pihak lain. Hal ini
di dasarkan pada hakekat keadilan sendiri. Pernyataan tersebut sesuai dengan
pendapat dari Sudikno Mertokusumo4 putusan hakim adalah suatu keputusan
yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenag untuk itu,
diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau meyelesaikan
suatu perkara antara para pihak.
3 Fence Wantu. Idée Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi
dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 108.
4 Ibid, hlm.108.
7
Keinginan para pencari keadilan supaya perkara yang di ajukan ke
pengadilan dapat diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas
moral yang tinggi merupakan suatu yang harus diusahakan. Dengan adanya
sifat professional dan moral yang baik dapat melahirkan putusan-putusan yang
mengandung kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
B. Tujuan Pemidanaan
a. Teori dan Tujuan Pemidanaan
Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan
Pengadilan Negeri. Bentuk putusan lain misalnya putusan bebas (Pasal 191
ayat (1) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP). Putusan pemidanaan terjadi jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya
(Pasal 193 ayat (1) KUHAP)5.
Hukum pidana memberikan sanksi atau pidana dengan tujuan untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan. Ada tiga teori dan tujuan
pemidanaan, yaitu: (1) Tujuan Pembalasan (Teori Absolut), Tujuan
pemidanaan yaitu untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan oleh
pelaku kejahatan. (2) Teori Tujuan (Teori Relatif), a) Untuk mencegah
terjadinya kejahatan. b) Untuk memberikan rasa takut, sehingga orang tidak
melakukan kejahatan. c) Memperbaiki orang yang melakukan kejahatan. d)
Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan. Teori
relatif modern menyatakan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk
5 Moh. Hata,2010. Kebijakan Politik Kriminal,Pustaka Pelajar, Yogyakarta..
8
menjamin ketertiban umum. 3) Teori Gabungan, Tujuan pemidanaan, selain
disebabkan orang telah melakukan perbuatan pidana, juga supaya orang
jangan sampai melakukan perbuatan pidana.
C. Dasar Penjatuhan Pidana
Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh
terpengaruh atau berpihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga
diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang berbunyi “Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Hal itu ditegaskan
kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang bunyi “Kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia6”.
Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang
diduga melanggar peraturan hukum pada proses persidangan mempunyai
kebebasan terutama dalam menjatuhkan putusan. Oleh karena itu
kebebasan hakim itu dapat berwujud :
1) Bebasnya hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan.
6 Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
9
2) Bebas dalam menggunakan keyakinan pribadinya tentang terbukti atau
tidaknya kesalahan terdakwa (Pasal 183 KUHAP).
Undang-undang memberikan syarat-syarat yang berat untuk
dapatnya hakim menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut
adalah :
a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang.
b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua
alat bukti yang sah menurut Pasal 183 KUHAP.
c) Adanya keyakinan hakim.
d) Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap bertanggung
jawab.
e) Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri
pelaku tindak pidana tersebut.
3) Bebas dalam menentukan besarnya pidana yang akan dijatuhkan kepada
seseorang. Hakim bebas bergerak dari minimum sampai maksimum
khusus, dan bebas memilih pidana mana yang akan dijatuhkan dalam
hal undang-undang mengancam dengan pidana pokok dan pidana
tambahan.
D. Faktor-Faktor yang Diperhatikan dalam Penjatuhan Pidana
Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seorang. Jadi, bukan hanya
balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita
kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk
10
menemukan kebenaran materil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu
tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran
materiil itu hanya merupakan tujuan antara. sebab ada tujuan ahkir yaitu yang
menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu
masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil dan sejahtera7.
Praktek sehari-hari, baik oleh Penuntut Umum maupun Hakim, faktor-
faktor yang dikemukakan dalam tuntutan dan penjatuhan pidana adalah dua
hal pokok yaitu hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Faktor-faktor
yang meringankan antara lain, terdakwa masih muda, berlaku sopan dan
mengakui perbuatannya. Faktor-faktor yang memberatkan misalnya memberi
keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan
masyarakat, merugikan Negara, dan sebagainya.
E. Teori Penjatuhan Putusan
Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas dari
prinsip pemisahan kekuasaan yang dikemukaan oleh John Locke dan
Montesqueiu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil,
jujur, atau netral (impartiality). Apabila kebebesan tidak dimiliki oleh
kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama
apabila terjadi sengketa antara pengusaha dan rakyat8.
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan isi dan
kekuasaan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
7 Deda Suwandi, 2009, Tips dan Trik Menghadapi kasus Hukum, Delta Publishing, semarang.
8 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim “Dalam Perspektif Hukum Progresif”, Sinar Grafika. Jakarta, hal.
102
11
putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-
undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin
keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan
tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas
yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak,
sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan
kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi
dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.
Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap
perkara yang diajukan kepadanya,dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak
lepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada
prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan
dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-
undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integitas
moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada
ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.
Adapun dalam memeriksa perkara perdata, hakim bersifat pasif, dalam arti
kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim
untuk diperiksa, pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan
bukan oleh hakim. Akan tetapi, hakim harus aktif membantu kedua belah pihak
dalam mencari kebenaran dari peristiwa hukum yang menjadi sengketa diantara
para pihak. Sistem pembuktian positif (negative wetterlijke) digunakan hakim
12
dalam penyelesaian perkara perdata, di mana pihak yang mengaku mempunyai
suatu hak, maka ia harus membuktikan kebenaran dari pengakuannya, dengan
didasarkan pada bukti-bukti formil, yaitu alat-alat bukti sebagaimana terdapat
dalam hukum acara perdata.
Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah. Dalam era keterbukaan saat ini, dunia peradilan mulai digugat untuk
membuka diri, sehingga putusan hakim tidak lagi semata-mata hanya menjadi
bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian
ilmu hukum saja, tetapi akan lebih jauh menjadi konsumsi publik untuk
dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan hakim yang dirasakan
kurang memuaskan masyarakat. Ungkapan yang sering didengar atas putusan
tersebut seperti: “kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terlalu
legalistik formal ataupun tidak menunjang program pemerintah dalam
pemberantasan illegal loging dan korupsi”, serta berbagai komentar lain yang
terasa bernada skeptis. Bahkan tidak hanya komentar yang mengemuka, tetapi
tidak jarang disertai dengan tindakan anarkhis, yang merusak kepentingan umum
atau merusak gedung pengadilan, sehingga merugikan masyarakat banyak
maupun negara.
Menerut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang
terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman,
yaitu:
1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan,
13
2. Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan diajukan oleh hakim, dan
3. Tidak boleh ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan
tugas dan fungsi yudisialnya9.
Kebebasan hakim dalam memeriksan dan mengadili suatu perkara
merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh
semua pihak tanpa kesuali, sehingga tidak ada satupun pihak yang dapat
mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam
menjatuhkan putusan, harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang
berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan
yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya
serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat.
Sebelum menjatuhkan putusan, hakim harus bertanya pada diri sendiri,
jujurkah ia dalam mengambil putusan ini, atau sudah tepatkan putusan yang
diambilnya itu, akan dapat menyelesaikan suatu sengketa, atau adilkah putusan ini
atau seberapa jauh manfaat dari putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim bagi
para pihak dalam perkara atau bagi masyarakat pada umumnya.
Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam
suatu perkara, yaitu sebagai berikut10
:
9 Ibid. hal.104
10 Ibid. hal.105
14
1. Teori Keseimbangan
Dimaksud dengan keseimbangan disini adalah antara syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak
penggugat dan pihak tergugat.
Dalam praktik peradilan pidana, kepentingan korban saat ini belum
mendapat perhatian yang cukup, kecuali antara lain dalam perkara-perkara
korupsi, perlindungan konsumen, lingkungan hidup. Salah satu kesulitan
yang dihadapi dalam memberikan pertimbangan pada kepentingan korban,
karena baik dalam hukum pidana materil maupun hukum pidana formil,
tidak ada ketentuan atau tidak cukup diatur mengenai perlindungan
terhadap korban, hal itu adalah atas inisiatif sendiri dan bukan sebagai
bagian dari proses perkara.
Dalam praktik, ada dua cara melindungi kepentingan korban, yaitu
yang pertama, melakukan gugatan keperdataan atas dasar perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad), dan yang kedua, melakukan
perdamaian dengan pelaku atau semata-mata karena uluran tangan pelaku.
Salah satu penyebab tidak ada tempat bagi kepentingan korban, karena
perkara pidana semata-mata dianggap sebagai perkara antara negara
melawan pelaku dan korban bukan merupakan bagian, apalagi sebagai
pihak dalam perkara pidana.
15
Keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan terdakwa,
dalam praktik umumnya dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-
hal yang memberatkan dan peringankan penjatuhan pidana bagi terdakwa,
dimana kepentingan masyarakat dirumuskan dalam hal-hal yang
memberatkan, dan kepentingan terdakwa dirumuskan pada hal-hal yang
meringankan. Pertimbangan hal-hal memberatkan dan meringankan
tersebut, merupakan faktor yang menentukan berat ringannya pidana yang
dijatuhkan terhadap terdakwa (vide Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP).
Adapun keseimbangan dalam perkara perdata dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 163 HIR/Pasal 283 Rbg/Pasal 1865 KUH Perdata,
mengatur mengenai asas pembuktian dalam perkara perdata, dimana pihak
yang menyatakan mempunyai hak tertentu atau menyebutkan suatu
perbuatan untuk menguatkan haknya tersebut, atau untuk membantah hak
orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan adanya hak atau
kejadian tersebut.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan hukuman oleh hakim merupakan kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan
menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap
pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat
keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam
perkara perdata, dan pihak terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara
pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu
16
putusan, lebih ditentukan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan,
lebih ditentukan oleh Instink atau Intuisi dari pada pengetahuan dari
hakim.
Dalam praktik peradilan, kadangkala teori ini dipergunakan hakim
dimana pertimbangan akan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa,
dalam perkara pidana atau pertimbangan yang digunakan hakim dalam
menjatuhkan putusan dalam perkara perdata, di samping dengan minimum
2 (dua) alat bukti, harus ditambah dengan keyakinan hakim. Akan tetapi,
kayakinan hakim adakalanya sangat bersifat subjektif, yang hanya
didasarkan pada Instink atau naluri hakim saja. Padahal hakim
sebagaimana manusia biasa pada umumnya, dipengaruhi oleh keadaan
jasmani dan rohani yang kadangkala menempatkan Instink atau naluri
hakim menjadi sesuatu yang tidak benar, sehingga dikuatirkan terjadi
kekeliruan atau kesesatan dalam putusan yang dijatuhkan oleh hakim
tersebut, sehingga akan menjadi putusan yang salah atau yang sesat, yang
dapat menimbulkan polemik yang berkepanjangan dalam masyarakat,
yang pada akhirnya putusan tersebut akan banyak mudharatnya daripada
manfaatnya. Oleh karena itulah, hakim harus berhati-hati dalam
menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan Intuisi
semata dari hakim sendiri.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan
pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian,
17
khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam
rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini
merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,
hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau Instink semata, tetapi
harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan
keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.
Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu
pengetahuan, baik itu ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan
yang lain, sehingga putusan yang dijatuhkannya tersebut, dapat
dipertanggung jawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan
diputuskan oleh hakim.
Dalam teori ini, kemandirian hakim dalam menguasai berbagai
teori-teori dalam ilmu hukum, ataupun sekedar pengetahuan yang lainnya,
sangat menentukan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Untuk itu,
hakim dituntut untuk terus belajar dan belajar ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan yang lain
pada umumnya.
Dalam praktik persidangan, hakim seringkali meminta keterangan
dari para ahli yang berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi
dari suatu sengketa yang diajukan kepadanya, seperti dalam tindak pidana
malpraktik yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis, maka ahli
18
hukum kedokteran akan diundang untuk didengar keterangannya didepan
persidangan. Juga dalam perkara sengketa kepemilikan atas suatu saham
atau surat berharga di Bursa Saham, yang masuk ranah hukum perdata atau
penggelapan dana, Insider trading, yang masuk ranah hukum pidana, maka
ahli hukum Pasar Modal akan dipanggil kedepan persidangan. Dari
keterangan ahli-ahli itulah, hakim dapat menentukan putusan yang
bagaimanakah yang seharusnya dijatuhkan, sehingga putusan tersebut akan
sesuai dengan rasa keadilan yang diharapkan oleh para pihak di
persidangan ataupu masyarakat pada umumnya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat
membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya
sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dihadapinya, seorang hakim
dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam
suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun
masyarakat, ataupun dampak yang ditimbulkan dalam putusan perkara
perdata yang berkaitan pula dengan pihak-pihak yang berperkara dan juga
masyarakat.
Semakin banyak “jam terbang” dari seorang hakim, seharusnya
secara teori semakin akan sangat berhati-hati sekali hakim tersebut
memberikan pertimbangan atas suatu perkara. Perjalanan tugas dari
seorang hakim, sebagaiman yang berlaku di Indonesia, biasanya dimulai
sejak hakim tersebut menjadi seorang calon hakim (cakim) yang diberi
19
tugas untuk mempelajari mengenai cara-cara dan prosedur persidangan
yang baik dan sesuai dengan ketentuan hukum materiil maupun hukum
formil (baca: hukum acara), karena penguasaan hukum materil dan hukum
acara yang baik, akan sangat membantu jika saat kelak ia menjadi hakim.
Selanjutnya saat diangkat menjadi hakim dengan Keputusan Presiden
(Keppres), maka hakim tersebut akan ditempatkan secara berjenjang di
Pengadilan Negeri Kelas II di Luar Pulau Jawa, dan seterusnya, sampai
kemudian hakim tersebut ditempatkan salah satu Pengadilan Negeri di
Pulau Jawa atau di Pengadilan Negeri Kelas IB atau IA di Luar Pulau Jawa
atau di Pulau Jawa.
Biasanya variasi perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Kelas II
di luar pulau Jawa tidaklah begitu banyak, atau bisanya perkara-perkara
kejahatan konvensional atau street crime, seperti pencurian, penganiayaan,
dan sebagainya, dan sesekali perkara yang variatif seperti illegal logging
atau illegal mining, maka variasi perkara akan semakin banyak, sehingga
pengalaman seorang hakim akan semakin kaya dan bertambah lengkap
pegetahuan hukumnya.
Dari perjalanan karier tersebut diharapkan akan semakin
memberikan bekal yang cukup bagi para hakim untuk bersikap
profesional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya, dapat
mendorong para hakim untuk semakin berhati-hati dalam menjatuhkan
suatu putusan dan akan memberikan rasa keyakinan akan perlunya sifat
profesional, arif, dan bijaksana dalam menjatuhkan suatu putusan.
20
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara
yang disengketakan, kemudian mencari perundang-undangan yang
relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum
dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan
pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan
keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Landasan filsafat merupakan bagian dari pertimbangan seorang
hakim dalam menjatuhkan putusan, karena filsafat itu biasanya berkaitan
dengan hati nurani dan rasa keadilan yang terdapat dalam diri hakim
tersebut, agar putusannya itu dapat memberikan rasa keadilan yang tidak
hanya bergantung pada keadilan yang bersifat formal (prosedural), tetapi
juga keadilan yang bersifat substantif, dengan tetap mempertimbangkan
segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan
oleh para pihak, seperti aspek pendidikan, (education), aspek kemanusiaan
(humanity), ataupun aspek kemanfaatan, penegakan hukum (law
enforcement), kepastian hukum, dan aspek hukum lainnya.
Peraturan perundang-undangan merupakan dasar bagi seorang
hakim untuk menentukan putusan yang dijatuhkannya, walaupun
sebagaiman dijelaskan sebelumnya, bahwa hakim bukanlah hanya sekedar
corong pada undang-undang atau penerapan hukum semata
21
(la bouche de la loi), akan tetapi peraturan perundang-undangan
merupakan pedoman bagi seorang hakim dalam menjatuhkan suatu
putusan.
Putusan hakim dalam suatu perkara mengandung pertimbangan
yang sifatnya sepintas lalu yang kadang tidak relevan, yang tidak secara
langsung mengenai pokok perkara yang diajukan, dimana hal ini disebut
dengan obiter dictum, dan ada pula putusan hakim yang mengandung
pertimbangan mengenai pokok perkara secara langsung, yang disebut
dengan ratio decidendi, pertimbangan atau alasan yang secara langsung
mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum yang merupakan dasar
putusan inilah yang mengikat para pihak yang bersengketa.
6. Teori Kebijaksanaan
Teori kebijaksanaan ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti,
dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam
perkara di pengadilan anak. Landasan dari teori kebijaksanaan ini
menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta
kekeluargaan harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori
ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua,
ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan
melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi
keluarga, masyarakat, dan bagi bangsanya.
Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan, yaitu yang pertama,
sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan,
22
yang kedua, sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah
melakukan tindak pidana, yang ketiga, untuk memupuk solidaritas antara
keluarga dengan masyarakat dalam rangka membina, memelihara, dan
mendidik pelaku tindak pidana anak, dan yang keempat, sebagai
pencegahan umum dan khusus.
Menurut penulis, penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku
tindak pidana, pada dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek
tujuan, yaitu sebagai berikut :
a. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu
kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya
b. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya
jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari.
c. Sebagai upaya prefentif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak
pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya
d. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan
dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku
tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.
Teori kebijaksanaan sebenarnya lebih ditujukan pada penjatuhan
putusan dalam perkara anak dan dapat pula digunakan oleh hakim dalam
penjatuhan putusan terhadap perkara pidana lain pada umumnya dan tidak
hanya terbatas pada perkara anak saja. Teori ini pun dapa digunakan oleh
hakim dalam penjatuhan putusan dalam perkara perdata.
23
F. Jenis-Jenis Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana
Setelah menerima, memeriksa, dan mengadili seorang pelaku tindak
pidana, maka selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusannya. Dalam hukum
pidana, ada 2 (dua) jenis putusan hakim yang dikenal selama ini, yaitu yang
pertama, putusan sela dan yang kedua, putusan akhir11
.
1. Putusan Sela
Masalah terpenting dalam peradilan pidana adalah mengenai surat
dakwaan penuntut umum, sebab surat dakwaan merupakan dasar atau
kerangka pemeriksaan terhadap terdakwa disuatu persidangan. Terdakwa
hanya dapat diperiksa, dipersalahkan, dan dikenakan pidana atas pasal
yang didakwakan oleh penuntut umum, dalam arti hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada terdakwa di luar dari pasal yang didakwakan
tersebut. Oleh karena itu, dalam membuat surat dakwaan, penuntut umum
harus memperhatikan syarat-syarat limitatif, sebagaiman yang telah
ditentukan oleh undang-undang, yaitu Pasal 143 KUHAP, yaitu syarat
formil dan syarat mareriil.
Terhadap surat dakwaan penuntut umum tersebut, ada hak secara
yuridis dari terdakwa atau penasihat hukum terdakwa untuk mengajukan
keberatan (eksepsi), dimana dalam praktik persidangan biasanya eksepsi
yang diajukan meliputi eksepsi pengadilan tidak berwenang mengadili
(exeptie onbevoegheid) baik absolud maupun yang relatif, eksepsi
11
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim “Dalam Perspektif Hukum Progresif”, Sinar Grafika. Jakarta, hal.
121.
24
dakwaan tidak dapat diterima, eksepsi pada yang didakwakan bukan
merupakan tindak pidana, eksepsi terhadap perkara yang nebis in idem,
eksepsi terhadap perkara telah kadaluarsa, eksepsi bahwa apa yang
dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan,
eksepsi surat dakwaan kabur (obscure libel), eksepsi dakwaan tidak
lengkap, ataupun eksepsi dakwaan error in persona.
Atas keberatan (eksepsi) yang menyangkut kewenangan pengadilan
dalam negeri dalam mengadili suatu perkara atau dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Sebagaiman ketentuan Pasal
156 ayat (1) KUHAP, hakim akan memberikan kesempatan kepada
penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, kemkudian hakim akan
mempertimbangkannya, selanjutnya akan diambil suatu putusan oleh
hakim.
Adapun materi putusan hakim terhadap keberatan (eksepsi) yang
menyangkut kewenangan mengadili, dakwaan tidak dapat diterima atau
surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaiman ketentuan Pasal 156 ayat (1)
KUHAP dapat berupa antara lain sebagai berikut12
:
a. Menyataan Keberatan (Eksepsi) Diterima
Apabila keberatan (eksepsi) terdakawa atau penasihat hukum
terdakwa, maka pemeriksaan terhadap pokok perkara bergantung
kepada jenis eksepsi mana diterima oleh hakim, jika eksepsi terdakwa
yang diterima mengenai kewenangan relatif, maka perkara tersebut
12
Ibid. hal.114
25
dikembalikan kepada penuntut umum untuk dilimpahkan kembali ke
wilayah pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya.
Adapun jika keberatan (eksepsi) yang diterima menyangkut dakwaan
batal atau dakwaan tidak dapat diterima, maka secara formal perkara
tidak dapat diperiksan lebih lanjut atau pemeriksaan telah selesai
sebelum hakim memeriksa pokok perkara (Pasal 156 ayat (2)
KUHAP)
b. Menyatakan Keberatan (Eksepsi) Tidak Dapat Diterima
Apabila dalam putusan selanya hakim menyatakan bahwa keberatan
dari terdakwa atau penasihat hukum terdakwa, dinyatakan tidak dapat
diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus
setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan penuntut
umum dinyatakan sah sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf
a dan b KUHAP.
Terhadap hal tersebut, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
terdakwa atau penasehat hukumnya adalah perlawanan (verzet), tetapi
dalam praktik peradilan, perlawanan (verzet) yang diajukan oleh
terdakwa atau penasihat hukumnya akan dikirim bersamaan dengan
upaya banding terhadap putusan akhir yang dijatuhkan oleh
pengadilan negeri (Pasal 156 ayat (5) huruf a KUHAP)
2. Putusan Akhir
Setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai oleh hakim, maka
sampailah hakim pada tugasnya, yaitu menjatuhkan putusan, yang akan
26
memberikan penyelesaian pada suatu perkara yang terjadi antara negara
dengan warga negaranya. Putusan yang demikian biasanya disebut sebagai
putusan akhir. Menurut KUHAP ada beberapa jenis putusan akhir yang
dapat dijatuhkan oleh hakim dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut.
a. Putusan Bebas (Vrijspraak)
Putusan bebas (Vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim
yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang
dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh
penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata setelah
melalui proses pemeriksaan dalam persidangan, tidak ditemukannya
adanya bukti-bukti yang cukup yang menyatakan bahwa terdakwalah
yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada terdakwa
haruslah dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan besalah melakukan tindak pidana sebagaiman
dalam dakwaan penuntut umum, sehingga oleh karena itu terhadap
terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala dakwaan (Pasal
191 ayat (1) KUHAP)
b. Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum ( Onslaag van Alle
Recht Vervolging)
Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh
hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan Penuntut
Umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan
27
perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan
dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)
KUHAP).
Sebagai contoh dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung No.
645.K/Pid/1982, tanggal 15 Agustus 1983, dimana dalam peristiwa
konkret diketahui terdakwa menerima pinjaman uang untuk modal
usaha dagang dari seorang temannya, tetapi dalam perkembangannya
ternyata si terdakwa tidak mampu untuk melunasi pinjaman itu
seluruhnya, dan oleh pemilik uang, terdakwa ini kemudian dilaporkan
ke polisi dengan tuduhan melakukan penipuan. Namun dalam
persidangan, ternyata hakim menemukan fakta hukum yang
menyatakan terdakwa terbukti melakukan pinjaman dari temannya.
Perbuatannya itu bukanlah merupakan tindak pidana tetapi sudah
memasuki ruang lingkup perbuatan dalam hukum perdata.
c. Putusan Pemidanaan
Dalam hal terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan
penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang
setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya (Pasal 193 ayat (1)
KUHAP). Putusan Mahkamah Agung RI No. 553.K/Pid/1982, tanggal
17 Januari 1983 menegaskan bahwa ukuran pidana yang dijatuhkan
merupakan kewenangan dari judex facti untuk menjatuhkan pidana,
dimana hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang dan hanya ada
28
batasan maksimal pidana yang dapat dijatuhkan, sebagaimana dalam
KUHP atau dalam undang-undang tertentu ada batas minimal, seperti
dalam Undang-Undang No. 31Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 31 Tahun 2001 tentang
HAM.
Selanjutnya surat putusan pemidanaan, haruslah mencantumkan hal-hal,
sebagaiman diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai
berikut.
a. Kepala putusan berbunyi: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”
b. Nama lengkap, tampat lahir, umut atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan
keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan
di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan
yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal
29
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhinya
semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bukti
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan
dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik
dianggap palsu
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan
l. Hari dan tanggal putusan nama penuntut umum, nama hakim yang
memutuskan, dan nama panitera.
Kemudian lebih lanjut dalam ayat (2) pasal tersebut dinyatakan
jika salah satu dari unsur tersebut, tidak terpenuhinya ketentuan dalam
ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,g,h,i,j,k, dah I pasal ini, maka putusan ini batal
demi hukum.
Dalam praktik terhadap putusan pemidanaan ini, sering dijumpai
putusan hakim yang menyatakan terdakwa telah dinyatakan bersalah
secara sah dan meyakinkan, tetapi dalam amar putusannya tidak
memerintah agar terdakwa ditahan, seperti dalam perkara korupsi atas
nama Tommy Soeharto maupun Probusutedjo.
30
Ketentuan dalam Pasal 193 KUHAP menyatakan bahwa: Ayat (1):
“jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana”,Ayat (2): “Pengadilan dalam menjatuhkan
putusan, jiak terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya
terdakawa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan
terdakwa alasan cukup untuk itu”.
G. Kondisi penegakan hukum
Penegakan hukum merupakan salah satu tonggak utama dalam Negara
bahkan yang ditempatkan sebagai suatu bagian tersendiri dalam system
hukum. Selanjutnya dengan penegakan hukum, baik itu sengketa antara
sesama warga, anatara warga Negara dengan Negara. Dengan demikian
penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi usaha penciptaan Negara
Indonesia yang damai dan sejahtera.
Secara konsepsiaonal, inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang ada dalam masyarakat guna memelihara dan mempertahankan
ketertiban. Dengan demikian poses penegakan hukum merupakan penerapan
dari kaidah yang berlaku pada masyarakat. Pada dasarnya penegakan hukum
dapat dimulai dengan memperhatikan diantaranya melalui penegakan hukum.
Bahwa sangat penting peran penegak hukum sebagai pagar penjaga yang
mencegah dan memberantas segala bentuk penyalewengan atau tingkahlaku
menyimpang, baik di lingkungan pemerintahan maupun dalam kehidupan
31
masyarakat, bangsa dan Negara. Demikian juga halnya dengan hakim dalm
mewujutkan penegakan hukum yang bercirikan keadilan, kepastian hukum,
dan kemanfaatan melalui persdilan.
Hal ini sesuai dengan apa yang di ungkapkan oleh soerjono soekanto13
yang menyatakan faktor-faktor yg mempengaruhi hukum yaitu, sebagai
berikut:
a. faktor hukumnya sendiri (termasuk undang-undang);
b. faktor penegak hukum;
c. faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. faktor masyarakt, yakni masyarakat dimana hukum tersebut
diterapkan;
e. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan karsa yang di
dasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Mewujutkan penegakan hukum sebagai mana di amanatkan oleh UUD
1945 sungguh tidak mudah. Praktik penegakan hukum di Indonesia selama ini
tidak lepas dari system manajemen penegakan hukum (enforcement of law
management system).
Penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah berhenti
dibicarakan sepanjang Negara mempercayai hukum sebagai salah satu sarana
untuk mengatur dan menyelesaikan konflik kehidupan bermasyarakat. Ketika
hukum ingin dicari penyelesaiannya, kepentingan-kupantingan mulai
13
Fence Wantu. Idée Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan (Implementasi
dalam Proses Peradilan Perdata). Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 5 dan 6.
32
berbicara, sehingga tidak pernah dicapai pendekatan yang obyektif. Demikian
juga dngan penegakan hukum itu sendiri, yg termasuk di dalamnya juga
kekuasaan kehakiman.
H. Hak-hak anak
Anak tetaplah anak, dengan segala ketidak mandirian yang ada mereka
sangatlah membutuhkan perlindunan dan kasih sayang dari orang dewasa.
Anak mempunyai berbagai hak yang harus di implementasikan dalam
kehidupan dan penghidupan mereka.
Hak-hak anak dalam konvensi PBB (Kepres No.36 Tahun 1990 ):14
a. Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman;
b. Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan,
keselamatan, dan kesehatan;
c. Tugas Negara untuk menghormati tangung jawab, hak dan kewajiban,
orang tua serta keluarga;
d. Negara menakui hak hidup anak, serta kewajiban Negara menjamin
perkembangan dan kelangsungan hidup anak;
e. Hak memperoleh kebangsaan, nama, serta hak untuk mengetahui dan
diasuh orang tuanya;
f. Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama, dan hubungan
kekeluargaan;
g. Hak untuk tinggal bersama oran tua;
h. Kebebasan menyatakan pendapat/pandangan;
14
Nashriana. Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada, 2011, hlm. 14.
33
i. Kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama;
j. Kebebasan untuk berhimpun, berkumpul, dan berserikat;
k. Memperoleh informasi dan aneka ragam sumber yang diperlakukan;
l. Memperoleh perlindungan akibat kekerasan fisik, mental,
penyalahgunaan, penelantaran, atau perlakuan salah (ekploitasi) serta
penyalahgunaan seksual;
m. Memperoleh perlindunan hukum terhadap pengganggu (kehidupan
pribadi, keluarga, surat menyurat atas serangan yang tidak sah);
n. Perlindungan anak yang tidak mempunyai orang tua menjadi
kewajiban Negara;
o. Perlindungan terhadap anak yan berstatus pengungsi;
p. Hak perawatan khusus bagi anak cacat;
q. Memperoleh pelayanan kesehatan;
r. Hak memperoleh manfaat jaminan social (asuransi social);
s. Hak anak atastaraf hidup yang layak bai perkembangan fisik, mental,
dan social;
t. Hak anak atas pendidikan;
u. Hak anak untuk beristrirahat dan bersenang-senang untuk terlibat
dalam keiatan bermain, berekreasi, dan seni budaya;
v. Hak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi;
w. Perlindungan dari npenggunaan obat terlarang;
x. Melindungi anak dari seala bentuk eksploitasi seksual;