bab ii tinjauan pustaka a. pneumoniarepository.ump.ac.id/5578/3/rizka dewi septiyani_bab...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pneumonia
Pneumonia merupakan peradangan dimana terdapat konsolidasi atau
bercak infiltrat pada alveoli yang disebabkan pengisian rongga alveoli oleh
eksudat (Somantri, 2007). Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai
jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh invasi kuman bakteri,
yang ditandai oleh gejala klinis batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun
tarikan dinding dada bagian bawah/kedalam (Depkes RI, 2002). Pneumonia
merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi,
tidak saja di negara berkembang tetapi juga dinegara maju seperti Amerika
Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Terdapat dua juta sampai tiga juta
kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang.
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan tuberculosis (Misnadiarly, 2008). Pneumonia dapat
mengenai semua umur terutama pada bayi/anak, usia lebih dari 65 tahun, dan
orang dengan penyakit pemberat lain seperti penyakit jantung kongestif,
diabetes, dan penyakit paru kronis.
1. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia
komunitas yang diderita masyarakat luar negeri banyak disebabkan oleh
bakteri Gram positif, Bakteri yang paling banyak ditemukan pada pasien
dengan pneumonia komunitas adalah Streptococcus pneumoniae. Sebuah
studi pada 34 anak di Finlandia ditemukan 90% bakteri Streptococcus
pneumoniae baik dengan kultur atau PCR (Polymerase Chain Reaction)
(Harris et al, 2011). Pada pasien dewasa dengan pneumonia komunitas di
Amerika Serikat umumnya disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae
hingga 75% dari semua bakteri yang ditemukan dari sputum pasien
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
5
pneumonia (Wells et al, 2009). Sedangkan pneumonia di rumah sakit
banyak disebabkan bakteri Gram negatif dan pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa
kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari
pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah bakteri Gram
negatif (PDPI, 2003). Bakteri patogen yang sering terindentifikasi pada
CAP (Community Acquired Pneumonia) adalah Streptococcus pneumoniae
yang dilaporkan kira-kira 2/3 dari isolat bakteri. Bakteri patogen lain yang
sering dijumpai adalah Haemophilus influenza, Mycoplasma pneumonia,
Chlamydia pneumonia, Staphylococcus aureus, Neisseria meningitides,
Maraxella catarrhalis, Klebsiella pneumoniae dan bakteri gram negatif
lain. Sedangkan pada pneumonia nosokomial, organisme yang paling
sering bertanggung jawab adalah Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, enterobacter, Klebsiella pneumoniae dan
Escherichia coli. Infeksi oleh Pseudomonas aeruginosa dan acinetobacter
cenderung menyebabkan pneumonia pada sebagian pasien tidak stabil
dengan terapi antibiotik sebelumnya (Chestnut, 2002).
2. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, pertumbuhan mikroorganisme tidak terjadi di
paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru
sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara
mikroorganisme mencapai permukaan yaitu dengan cara Inokulasi
langsung, penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol dan
kolonisasi dipermukaan mukosa (PDPI, 2003).
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat
efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari susunan anatomis rongga
hidung, jaringan limfoid di nasofaring, bulu getar yang meliputi sebagian
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
6
besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel
epitel tersebut. Reflek batuk, refleks epiglotis yang mencegah terjadinya
aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi
menyaring kelenjar limfe regional. Fagositosis, aksi limfosit dan respon
imunohumoral terutama dari IgA. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang
melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti mikroba yang non
spesifik (Leman, 2007).
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat
melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada
dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Kebanyakan bakteri melalui udara
dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses
infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah akan menyebabkan
terjadinya inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi
dari sebagian besar infeksi paru. Sekresi orofaring mengandung
konsentrasi bakteri yang tinggi 108-10
/ml, sehingga aspirasi dari sebagian
kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang
tinggi dan terjadi pneumonia (PDPI, 2003).
3. Klasifikasi Pneumonia
Gambaran klinis pneumonia bervariasi berdasarkan faktor-faktor
infeksi yang berperan pada pasien. Karena itu terdapat klasifikasi
pneumonia, namun yang terbaik adalah klasifikasi klinis yang
mengarahkan kepada diagnosis dan terapi secara empiris dengan
mempertimbangkan faktor-faktor terjadinya infeksi yaitu faktor
lingkungan pasien, keadaan imunitas pasien, dan mikroorganisme.
Klasifikasi berdasarkan lingkungan dan pejamu dibagi atas :
a. Community Acquired Pneumonia (CAP) didefinisikan sebagai
pneumonia yang berkembang dalam pengaturan rawat jalan atau dalam
waktu 48 jam masuk ke rumah sakit (Kamangar, 2013).
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
7
b. Pneumonia nosokomial merupakan pneumonia yang terjadi lebih dari
48 jam setelah masuk rumah sakit. Jenis ini didapat selama penderita
dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006).
c. Hospital Acquired Pneumonia (HAP) didefinisikan sebagai pneumonia
yang berkembang setidaknya 48 jam setelah masuk ke rumah sakit dan
ditandai dengan peningkatan risiko paparan organisme (Anand, Kollef,
2009).
Faktor risiko untuk paparan organisme pada HAP meliputi:
1) Terapi antibiotik dalam waktu 90 hari di rumah sakit.
2) rawat inap yang lama lebih dari 5 hari.
3) Frekuensi tinggi resistensi antibiotik di masyarakat lokal atau dalam
unit khusus rumah sakit.
4) Penyakit atau terapi imunosupresif.
5) Adanya faktor risiko HCAP pemaparan terhadap bakteri.
d. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai
pneumonia yang berkembang lebih dari 48 jam setelah intubasi
endotrakeal atau dalam waktu 48 jam dari ekstubasi. Faktor risiko
untuk terkena bakteri MDR yang menyebabkan VAP adalah sama
dengan HAP (Anand dan Kollef, 2009). VAP dapat terjadi pada
sebanyak 10-20 % dari pasien yang berada di ventilator selama lebih
dari 48 jam (Pelleg, 2010).
e. Aspirasi pneumonia berkembang setelah menghirup sekresi
orofaringeal dan terpapar organisme. Organisme yang sering terlibat
dalam CAP, seperti Haemophilus influenzae dan Streptococcus
pneumoniae, dapat menjajah nasofaring dan orofaring. Aspirasi
mikroorganisme tersebut dapat berkontribusi dalam pengembangan
CAP. Pneumonia aspirasi dapat dikembangkan dari faktor risiko
aspirasi orofaringeal (Kamangar, 2013). Faktor resiko yang dapat
meningkatkan terjadinya pneumonia aspirasi antara lain: Penurunan
kemampuan untuk menghapus sekresi orofaringeal, gangguan menelan
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
8
(disfagia pada pasien stroke), dan gangguan transportasi silia (misalnya
merokok).
4. Penatalaksanaan
1. Terapi antibiotik awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan
pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme karena hasil
mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila
ada hasil dan sensitivitas antibiotik (Jeremy, 2007).
2. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2
> 8
kPa (SaO2< 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan
stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif
(misalnya tekanan positif jalan napas kontinu (continous positive
airway pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada
gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum
(Jeremy, 2007).
B. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya
berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi
karena beberapa alasan yaitu penyakit yang berat dapat mengancam jiwa dan
hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu yang lama maka pada penderita
pneumonia diberikan terapi secara empiris (PDPI, 2003). Terapi empiris
adalah terapi yang diberikan berdasarkan diagnosis klinis dengan pendekatan
ilmiah dari klinisi (Jawetz et al, 1997). Terapi antibiotik empiris pasien CAP
yang dirawat inap menurut IDSA (Infectious Diseases Society of America)
adalah dengan menggunakan sefalosporin G3+makrolid, beta laktam
penghambat betalaktamase+makrolid atau flourokuinolon saja. Sedangkan
terapi antibiotik empiris untuk pasien rawat jalan adalah dengan menggunakan
antibiotik golongan makrolid, florokuinolon atau doksisiklin. Antibiotik yang
sering diresepkan pada pasien pneumonia komunitas di di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekardjo berdasarkan hasil survey awal yang dilakukan dengan
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
9
melihat 20 rekam medik pasien secara acak pada tahun 2013 adalah
azitromisin, levofloksasin, dan cefixime.
1. Azitromisin
Azitromisin merupakan senyawa dengan cincin macrolide lactone 15-atom
yang diturunkan dari eritromisin dengan penambahan suatu nitrogen yang
dimetilasi ke dalam cincin lactone eritromisin. Azitromisin aktif terhadap
kompleks M. avium dan T. gondii. Azitromisin sedikit kurang aktif
dibandingkan eritromisin dan claritromisin terhadap Staphylococcus dan
Streptococcus, namun sedikit lebih aktif terhadap H. influenza.
Azitromisin sangat aktif terhadap chlamydia (Katzung, 2004). Azitromisin
lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin. Sekitar 37% dosis
diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan (Permenkes,
2011).
2. Levofloksasin
Levofloksasin merupakan antibiotik sintetik golongan fluorokuinolon yang
merupakan S –(-) isomer dari ofloksasin dan memiliki aktivitas antibakteri
dua kali lebih besar dari pada ofloksasin. Levofloksasin memiliki
antibakteri dengan spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram positif dan
gram negatif termasuk bakteri anaerob. Mekanisme kerja dari
levofloksasin dengan menghambat enzim DNA-gyrase, sehingga
mengakibatkan kerusakan rantai DNA. DNA-gyrase (topoisomerase II)
merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh bakteri untuk memelihara
struktur superheliks DNA, juga diperlukan untuk replikasi, transkripsi dan
perbaikan DNA (Anonim, 2005).
3. Cefixime
Cefixime merupakan antibiotik sefalosporin generasi ketiga yang stabil
terhadap enzim β-Lactamase yang diproduksi oleh organisme seperti strain
Haemophillus influenzae, M. Catarrhalis, Neisseria gonorrhoeae dan
mayoritas Enterobakteriaceae. Dibandingkan senyawa generasi kedua
cefixime kurang begitu aktif terhadap kokus gram positif (Goodman &
Gilman, 2001). Aktivitas cefixime menurun terhadap Staphylococcus
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
10
aureus, Enterococci, Listeria monocytogenes, dan Pseudomonas spp.
Insiden bakteri yang resisten cefixime dilaporkan sangat rendah.
Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis dinding sel. Cefixime
memiliki afinitas tinggi terhadap “penicillin-binding-protein” (PBP) 1 (1a,
1b, dan 1c) dan 3, dengan tempat aktivitas yang bervariasi tergantung jenis
organismenya. Cefixime stabil terhadap β-laktamase yang dihasilkan oleh
beberapa organisme, dan mempunyai aktivitas yang baik terhadap
organisme penghasil β-laktamase (Katzung, 2004).
C. Resistensi
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan
melemahkan daya kerja antibiotik (Drlica & Perlin, 2011). Satuan resistensi
dinyatakan dalam satuan Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum
Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotic (μg/mL) yang
mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai
KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten (Permenkes, 2011).
Beberapa galur Streptococcus pneumoniae sudah resisten terhadap
trimetoprim/sulfametoksasol. Prevalensi resistensi Streptococcus pneumoniae
terhadap penisilin di Asia mendekati 40% (Jacobs, 2005). Menurut penelitian
lainnya pada tahun 1998-2001 prevalensi ESBL (ExtendedBeta Lactamase )
Klebsiella pneumoniaee di Cina mencapai 65,2%, Hong Kong 7,9%, Filipina
31,8%, Singapura 41%, Taiwan 5,4%, dan Jepang 15,9%. Sedangkan pada
penelitian di Indonesia tahun 2008 prevalensi ESBL Klebsiella pneumoniae
berada pada kisaran 10,8%-12,3%. Pseudomonas aeruginosa yang merupakan
salah satu penyebab infeksi pneumonia nosokomial sudah terdeteksi resisten
terhadap trimetoprim/sulfametoksasol, tetrasiklin, dan sefalosporin (Jacobs,
2005). Dari hasil penelitian pada Pseudomonasa eruginosa tingkat
resistensinya terhadap kotrimoksazol mencapai 83,3% dan kepekaannya
menurun terhadap antibiotik golongan kuinolon (Shirly, 2010). Terdapat
berbagai mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten
pada obat (Jawetz et al, 2007).
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
11
1. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif.
Contoh: Staphylococcus yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan
β-laktamasae yang menghancurkan obat. β-laktamase lain dihasilkan oleh
bakteri batang gram negatif. Bakteri gram negatif resisten terhadap
aminoglikosida (disebabkan oleh plasmid) menghasilkan enzim asetilasi,
fosforilasi, atau adenilasi yang menghancurkan obat.
2. Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Contoh:
Tetrasiklin menumpuk pada bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri
resisten. Streptococcus mempunyai sawar permeabilitas alami terhadap
aminoglikosida. Sebagian keadaan tersebut dapat diatasi dengan obat yang
aktif dinding sel yang simultan misalnya, penisilin. Resistensi terhadap
amikasin dan beberapa aminoglikosida lain dapat bergantung pada
kurangnya permeabilitas terhadap obat-obatan, tampaknya disebabkan
oleh perubahan membran luar yang mengganggu transport aktif ke dalam
sel.
3. Mikroorganisme menyebabkan perubahan target struktural untuk obat.
Contoh: Organisme resisten eritromisin mempunyai reseptor yang berubah
pada subunit 50S ribosom, disebabkan oleh metilasi RNA 23S ribosom.
Resistensi penisilin pada Streptococcus pneumoniae dan enterokokus
disebabkan oleh perubahan PBP ( Penicillin-binding proteins).
4. Mikroorganisme menyebabkan perubahan jalur metabolik yang melintasi
reaksi yang dihambat oleh obat. Contoh: beberapa bakteri yang resisten
sulfonamide tidak memerlukan PABA (Para 4-Amino Bensoic Acid)
ekstraselluler tetapi, seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat
yang telah dibentuk sebelumnya.
5. Mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim yang masih dapat
melakukan fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi oleh obat.
Contoh: pada bakteri yang resisten trimetroprim, asam dihidrofolat
reduktase dihambat kurang efisien daripada pada bakteri yang rentan
trimetropin.
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
12
D. Bakteri
Sebagian pneumonia disebabkan oleh bakteri yang timbul secara primer
atau sekunder setelah infeksi virus. Penyebab tersering pneumonia bakterial
adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus
aureus dan Streptokokus hemolitikus grup A juga sering menyebabkan
pneumonia demikian juga Pseudomonas aeruginosa. Sedangkan pada
pneumonia pada balita, bakteri penyebab yang sering adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza dan Staphylococcus aureus (Misnadiarly,
2008). Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak
disebabkan oleh bakteri Gram positif dan dapat pula bakteri atipik. Namun
akhir-akhir ini didapatkan laporan dari beberapa kota di Indonesia yang
menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif. Berdasarkan
laporan dari beberapa pusat paru di Indonesia ditemukan bakteri Klebsiella
pneumoniae sebagai bakteri yang paling banyak terdapat pada sputum pasien
pneumonia yaitu sebesar 40,18%, kemudian diikuti oleh bakteri Streptococcus
pneumoniae pada posisi kedua sebesar 14,04% dan Pseudomnas aeruginosa
dengan presentase 8,56% dari seluruh bakteri yang ditemukan (PDPI, 2003).
1. Streptococcus pneumoniae
Organisme ini adalah bakteri paling sering yang menyebabkan
Pneumonia. Pneumokokus adalah diplokokus gram positif berbentuk bulat
telur. Berpasangan membentuk rantai pendek atau tunggal, memiliki
kapsul polisakarida yang digunakan untuk penentuan tipe dengan
antiserum spesifik. Pneumokokus dapat dengan mudah dilisiskan oleh zat
aktif permukaan seperti garam empedu. Zat aktif permukaan kemungkinan
memindahkan atau menginaktivasi inhibitor autolysin dinding sel. Koloni
pada agar darah kecil, mukoid, dan ditandai dengan adanya zona kehijauan
disekitar koloni yang menunjukan α hemolisis yaitu menghemolisis darah
secara tidak sempurna (Jawetz et al, 2013 ).
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
13
2. Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang,
berpasangan atau membentuk rantai pendek dan non motil. Terdapat dalam
saluran nafas dan feses pada sekitar 5% individual normal. Organisme ini
menyebabkan sebagian kecil (sekitar 1%) pneumonia bakteri. Klebsiella
pneumoniae dapat menimbulkan konsolidasi luas disertai nekrosis
hemoragik pada paru. Organisme ini kadang-kadang menyebabkan infeksi
saluran kemih dan bakteremia yang disertai dengan infeksi fokal pada
pasien yang sangat lemah (Jawetz et al, 2013 ).
3. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa merupakan gram negatif berbentuk batang
dan motil, berukuran sekitar 0,6 x 2 µm dan tampak dalam bentuk tunggal,
berpasangan dan kadang-kadang rantai pendek. Bakteri ini tersebar luas di
alam dan biasanya terdapat di lingkungan rumah sakit yang lembab.
Bakteri ini dapat membentuk koloni pada manusia normal, dan bertindak
sebagai saprofit pada manusia yang sehat, tetapi menyebabkan penyakit
pada manusia dengan pertahanan tubuh yang tidak adekuat. Bakteri ini
menempel dan membentuk koloni pada membran mukosa atau kulit,
menginvasi secara lokal, dan menyebabkan penyakit sistemik.
Pseudomonas aeruginosa dan spesies aeruginosa lainnya resisten terhadap
banyak obat antimikroba sehingga bakteri ini menjadi dominan dan
penting jika bakteri flora normal yang rentan ditekan (Jawetz et al, 2013 ).
E. Isolasi dan Identifikasi Bakteri
Isolasi mikroba adalah memisahkan satu mikroba dengan mikroba lain
yang berasal dari campuran berbagai mikroba. Cara mengisolasi mikroba
umumnya dilakukan dengan cara menumbuhkan mikroba dalam medium
padat. Dalam mengisolasi mikroba ada beberapa hal yang harus diperhatikan,
yakni sifat spesies mikroba yang akan diisolasi, tempat hidup atau asal
mikroba, medium untuk pertumbuhan yang sesuai, cara menginokulasi
mikroba tersebut, lama inkubasi mikroba, cara menguji bahwa mikroba yang
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
14
diisolasi telah berupa biakan murni, dan cara memelihara agar mikroba yang
telah diisolasi tetap merupakan biakan murni (Waluyo 2008). Biakan murni
diperlukan dalam berbagai metode mikrobiologis, antara lain digunakan dalam
mengidentifikasi mikroba.
Identifikasi dan determinasi suatu biakan murni bakteri yang diperoleh
dari hasil isolasi dapat dilakukan dengan cara pengamatan sifat morfologi
koloni serta pengujian sifat-sifat fisiologi dan biokimianya. Bakteri dapat
diidentifikasi dengan mengetahui reaksi biokimia dari bakteri tersebut.
Dengan menanamkan bakteri pada medium, maka akan diketahui sifat-sifat
suatu koloni bakteri. Sifat metabolisme bakteri dalam uji biokimia biasanya
dilihat dari interaksi metabolit-metabolit yang dihasilkan dengan reagen-
reagen kimia. Selain itu dilihat kemampuannya menggunakan senyawa
tertentu sebagai sumber karbon dan sumber energi (Waluyo, 2004).
Ada 3 prosedur pewarnaan, yaitu pewarnaan sederhana (simple strain),
pewarnaan diferensial (diferential stain), dan pewarnaan khusus (special
strain) (Pratiwi, 2008).
1. Pewarnaan Sederhana
Hanya digunakan satu macam pewarna dan bertujuan mewarnai seluruh
sel mikroorganisme sehingga bentuk seluler dan struktur dasarnya terlihat.
Biasanya suatu bahan kimia ditambahkan kedalam larutan pewarna untuk
mengintensifkan warna dengan cara meningkatkan afinitas pewarna pada
spesimen biologi.
2. Pewarnaan Diferensial
Menggunakan lebih dari satu pewarna dan memiliki reaksi yang berbeda
untuk setiap bakteri. Pewarnaan diferensial yang sering digunakan adalah
pewarnaan Gram. Pewarnaan Gram ini mampu membedakan dua
kelompok besar bakteri yaitu Gram positif dan Gram negatif.
3. Pewarnaan Khusus
Digunakan untuk mewarnai dan mengisolasi bagian spesifik dari
mikroorganisme, misalnya endospora, kapsul dan flagella. Endospora
bakteri tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan sederhana seperti pada
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
15
pewarnaan gram. Hal ini disebabkan karena endospora memiliki selubung
yang kompak sehingga zat warna sulit mempenetrasi dinding endospora.
F. Uji Sensitivitas Bakteri
Pada umumnya metode yang dipergunakan dalam uji sensitivitas bakteri
adalah metode Difusi Agar yaitu dengan cara mengamati daya hambat
pertumbuhan mikroorganisme oleh antibiotik yang diketahui dari daerah di
sekitar kertas cakram (paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme
ditandai dengan adanya zona bening di sekitar paper disk. Zona hambatan
pertumbuhan inilah yang menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap bahan anti
bakteri (Jawezt et al, 1995). Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya
suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Terdapat bermacam-macam
metode uji antimikroba seperti yang dijelaskan berikut :
1. Metode Difusi
Metode disc diffusion (Tes Kirby & Baurer) untuk menentukan aktifitas
agen antimikroba. Cawan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada
media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi
tersebut. Area jernih mengidentifikasi adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar
(Pratiwi, 2008).
2. Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth dilution) dan
difusi padat (solid dilution). Metode dilusi cair (broth dilution) mengukur
MIC (Minimum Inhibitory Concentration) atau KHM (kadar hambat
minimum) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration atau kadar
bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukannya adalah dengan membuat
seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan
dengan mikroba uji. Sedangkan metode dilusi padat (solid dilution) serupa
dengan metode dilusi cair namun menggunakan metode padat.
Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang di
uji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008).
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014
16
G. Sputum
Sputum adalah bahan yang didorong keluar dari trakea, bronkus dan
paru melalui mulut. Sekresi eksudat bronkus paru-paru sering kali diteliti
melalui sputum. Segi pemeriksaan sputum yang paling menyesatkan adalah
hampir tidak dapat dielakannya kontaminasi dengan flora saliva dan mulut.
Jadi, ditemukannya Candida atau Staphylococcus aureus atau bahkan S.
pneumonia dalam sputum penderita pneumonitis tidak mempunyai makna
etiologik kecuali didukung oleh gambaran klinik. Bahan dahak yang berarti
sebaiknya dikeluarkan dari saluran pernafasan bagian bawah dan harus
berbeda dengan saliva. Leukosit polimorfonuklir (PMN) yang berjumlah
besar mengesankan eksudat purulen. Dahak dapat diinduksi dengan
menghirup erosol larutan NaCl hipertonik yang dipanaskan selama beberapa
menit (Jawet, 1986). Membedakan dahak yang terinfeksi atau tidak sangat
penting dalam klinik. Dahak mukoid noninfeksi jernih, putih, atau seperti jeli.
Pada infeksi saluran pernafasan bawah pus tercampur dengan mukus
membentuk dahak purulen. Pus yang murni dapat dikeluarkan dari abses paru
atau dari bronkiektasis. Dahak purulen yang berwarna kecoklatan biasanya
disebabkan oleh abses paru ameba atau komplikasi abses hati amebik. Dahak
seperti karat besi didapatkan pada pneumonia, dahak yang kehitaman
biasanya terkontaminasi dengan batu bara (Arsyad, Zulkarnain, 2001).
Isolasi, Identifikasi dan Sensitivitas..., Rizka Dewi Septiyani, Fakultas Farmasi UMP, 2014