bab ii tinjauan pustaka a. 1. definisi nyerirepository.poltekkes-tjk.ac.id/520/3/2.pdf · secara...
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. Nyeri
a. Definisi Nyeri
Nyeri pada dasarnya merupakan suatu mekanisme protektif bagi tubuh
yang timbul bilamana jaringan sedang rusak, sensasi nyeri menyebabkan
individu bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut (Syaifudin,
2016). Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan
bersifat sangat subektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
dalam hal skala atau tingkatannya dan hanya orang tersebutlah yang dapat
menjelaskan atau megevaluasi nyeri yang dialaminya (Hidayat & Uliyah,
2014).
Asosisasi Internasional untuk Penelitian Nyeri (International
Association for the Study of Pain, IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
“suatu sensori subektif dan pengalaman emosional yang tidak menenangkan
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang
dirasakan dalam keadaan – keadaan di mana teradi kerusakan” (IASP, 1979
dalam Potter & Perry, 2005). Berikut adalah beberapa pendapat ahli
mengenai pengertian nyeri:
1) Mc. Coffery mendefinisikan nyeri sebagai satu keadaan yang
memengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika
orang tersebut pernah mengalaminya.
2) Wolf Weifsel Feurst mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa
menimbulkan ketegangan.
3) Arthur C. Curton mengatakan bahwa nyeri merupakan satu mekanisme
produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak dan
8
4) menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan
rangsangan nyeri.
5) Scrumum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak
menyenangkan akibat teradinya rangsangan fisik maupun dari serabut
saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis, dan
emosional (Hidayat & Uliyah, 2014).
b. Penyebab Rasa Nyeri
Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu
penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis.
Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik,
termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan
sirkulasi darah, dan lain-lain. Secara pesikis, penyebab nyeri dapat terjadi
oleh karena adanya trauma psikologis (Asmadi, 2008).
Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka. Trauma termis
menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat
panas atau dingin. Trauma kimiawi tejadi karena tersentuh zat asam atau
basa yang kuat. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh
aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri. Neoplasma
menyebabkan nyeri karena teradinya tekanan atau kerusakan jaringan yang
mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan atau metastase.
Nyeri peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat
adanya peradangan atau terjepit oleh pembekakan. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan
dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Nyeri yang disebabkan
faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab
organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik
(Asmadi, 2009).
c. Fisiologis Nyeri
9
Reseptor yang bertugas merambatkan sensasi nyeri disebut nosiseptor.
Proses fisoilogis terkait nyeri disebut nosisepsi. Proses tersebut terdiri atas
empat fase (Mubarak & Chayatin, 2008).
1) Transduksi
Pada fase transduksi, stimulus atau rangsangan yang membahayakan
(mis., bahan kimia, suhu, listrik atau mekanis) memicu pelepasan mediator
biokimia (mis., prostaglandin, bradikinin, histamin, substansi P) yang
mensensitisasi nosiseptor.
2) Transmisi
Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian. Pada bagian pertama, nyeri
merambat dari serabut saraf perifer ke medula spinalis. Dua jenis serabut
nosiseptor yang terlibat dalam proses tersebut adalah serabut C, yang
mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut A-Delta yang
mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Bagian kedua adalah
transmisi nyeri dari medula spinalis menuju batang otak dan thalamus
melalui jalur spinotalamikus (spinothalamic tract [STT]). STT merupakan
suatu sistem diskriminatif yang membawa informasi mengenai sifat dan
lokasi stimulus ke talamus. Selanjutnya, pada bagian ketiga, sinyal tersebut
diteruskan ke korteks sensorik somatik tempat nyeri dipersepsikan. Impuls
yang ditrasmisikan melalui STT mengaktifkan respons otonomi dan limbik.
3) Persepsi
Pada fase ini, individu mulai menyadari adanya nyeri. Persepsi nyeri
tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan munculnya
berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi komponen sensorik
dan afektif nyeri (McCaffery & Pasero, 1999).
4) Modulasi
10
Fase ini disebut juga "sistem desenden." Pada fase ini, neuron batang
otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke medula spinalis. Serabut
desenden tersebut melepaskan substansi seperi opioid, serotonin, dan
norepinefrin yang akan menghambat impuls asenden yang membahayakan
di bagian dorsal medula spinalis.
d. Fisiologis Nyeri Post Operasi
Tindakan operasi, seperti pemotongan atau peregangan jaringan
mengakibatkan trauma dan inflamasi pada jaringan sekitar, sehingga
menimbulkan stimulus nosiseptif yang merangsang reseptor nosiseptif. Pada
reseptor nosiseptif, stimulus tersebut ditransduksi menjadi impuls melalui
serat aferen primer c-fiber dan aδ-fiber, kemudian diteruskan ke medula
spinalis. Neuron aferen primer bersinaps dengan neuron aferen sekunder di
kornu dorsalis medula spinalis dan diteruskan ke pusat, yaitu korteks serebri
dan pusat yang lebih tinggi lainnya, melalui jalur spinotalamikus
kontralateral dan spinoretikularis. Impuls tersebut diproses oleh pusat
dengan mekanisme yang kompleks menjadi pengalaman nyeri (Suseno, dkk
2017).
Pada saat terjadi respons inflamasi, mediator inflamasi, seperti sitokin
bradikinin, dan prostaglandin, dilepaskan pada jaringan yang mengalami
kerusakan, akibatnya nyeri nosiseptif dirasakan. Selain itu, respons
inflamasi menyebabkan terjadinya perubahan plastisitas reversible pada
reseptor nosiseptor yang membuat ambang rangsang reseptor nosiseptor
menurun. Hal tersebut menyebabkan sensitivitas terhadap nyeri meningkat
pada daerah yang mengalami kerusakan jaringan, sehingga rangsangan
ringan saja dapat menimbulkan rasa sakit. Proses tersebut dikenal sebagai
sensitisasi perifer dengan tujuan membantu proses penyembuhan dengan
cara melindungi daerah yang mengalami kerusakan jaringan, sehingga
terjadinya perbaikan. Sensitisasi tersebut akan hilang saat mediator-mediator
inflamasi berhenti diproduksi, yaitu pada saat jaringan rusak mengalami
penyembuhan (Suseno, dkk 2017).
11
e. Teori Nyeri
Terdapat beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri,
diantaranya sebagai berikut (Long, 1989 dalam Hidayat & Uliyah, 2014):
1) Teori Pemisahan (Specificity Theory)
Teori ini mengemukakan bahwa, rangsangan sakit masuk ke medulla
spinalis melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior kemudian
naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya dan
berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
2) Teori Pola (Pattern Theory)
Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medula
spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu
respons yang merangsang ke bagian yang lebih tinggi, yaitu korteks serebri,
serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga
menimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas dari reaksi sel T.
3) Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory)
Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja serat saraf besar dan kecil
yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat
saraf besar akan meningkatkan aktivitass substansia gelatinosa yang
mengakibatkan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T
terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat.
Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil
persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat
eferen dan reaksinya memengaruhi aktivitas sel T. Rangsangan pada serat
kecil akan menghambat aktivitas substansia gelatinosa dan membuka pintu
mekanisme, sehinngga meranggsang aktivitas set T yang selanjutnya akan
menghantarkan rangsangan nyeri.
4) Teori Transmisi dan Inhibisi
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls
saraf, sehingga transmmisi implus nyeri menjadi efektif oleh
12
neurotransmiter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi
efektif oleh impuls- impuls pada serabut- serabut besar yang memblok
impuls – impuls pada serabut lamban dan endogen opiate sistem supresif.
f. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasrkan
pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan
(Asmadi, 2009).
1) Nyeri berdasarkan tempatnya:
a) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh
misalnya pada kulit, mukosa. Nyeri post laparatomi termasuk dalam
pheriperal pain, karena nyeri terasa pada kulit tempat insisi bedah
dilakukan.
b) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih
dalam atau pada organ-organ tubuh viceral.
c) Referd pain, yaitu nyeri dalam yang yang disebabkan karena penyakit
organ/ struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di
daerah yang berbeda bukan daerah asal nyeri.
d) General pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem
saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lian-lain.
(Sutanto & Fitriana, 2017)
2) Nyeri berdasarkan sumbernya (M.Black & Hawks, 2014):
a) Nyeri kutaneus (Superfisial)
Nyeri kutaneus dapat dikarakteristikan sebagai onset yang tiba-tiba
dengan kualitas yang tajam atau menyengat atau onset yang berlangsung
perlahan dengan kualitas seperti sensasi terbakar, bergantung dari tipe serat
saraf yang terlibat.
b) Nyeri Somatik
13
Nyeri somatik berawal dari ligamen, tendon, tulanh, pembuluh darah,
dan saraf. Nyeri ini dideteksi oleh nosiseptor somatik, bersifat tajam dan
dapat dilokalisasi. Contoh dari nyeri ini adalah nyeri pasca operasi dan patah
tulang.
c) Nyeri Viseral
Nyeri viseral berasal dari visera tubuh atau organ. Nosiseptor visera
terletak di dalam organ tubuh dan celah bagian dalam. Terbatasnya jumlah
nosiseptor di area ini menghasilkan nyeri yang biasanya lebih menyakitkan
dan berlangsung lebih lama dari nyeri somatik. Nyeri viseral sangat sulit
untuk dilokalisasi dan beberapa cedera pada jaringan viseral mengakibatkan
terjadi nyeri yang menjalar, dimana sensasi nyeri berada di area yang
sebenarnya tidak berkaitan sama sekali dengan lokasi cidera.
d) Nyeri Menjalar
Nyeri menjalar adalah bentuk dari nyeri viseral dan dirasakan di daerah
yang jauh dari lokasi stimulus. Hal itu terjadi ketika serat saraf yang berada
di area tubuh yang jauh dari lokasi stimulus melewati stimulus itu sendiri
dalam jarak dekat.
e) Nyeri Neurapatik
Nyeri neurapatik disebabkan oleh kerusakan atau cidera pada serat saraf
di perifer atau kerusakan pada SSP. Nyeri terasa seperti kebas, terbakar, atau
sensasi tertusuk, “seperti terkena jarum”, dan sengatan listrik.
f) Breakthrough Pain
Breakthrough pain didefinisikan sebagai peningkatan nyeri sementara
dengan intensitas sedang hingga berat yang terjadi pada kondisi individu
yang mengalami nyeri persisten dengan intensitas ringan ke sedang yang
14
sudah berhasil di konterol. Breakingthrough pain terjadi karena insiden atau
idiopatik.
g) Nyeri psikogenik
Nyeri psikogenik tidak disebabkan oleh nosisepsi, namun oleh faktor
psikologis. Beberapa masalah mental ataupun emosional dapat
menyebabkan, memperburuk atau memperlama nyeri.
3) Nyeri berdasarkan sifatnya (Asmadi, 2009):
a) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang.
b) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam
waktu yang lama.
c) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan
kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap kurang lebih 10-15 menit,
lalu menghilang, kemudian timbul lagi.
4) Nyeri berdasarkan berat ringannya:
a) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
b) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
c) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
(Sutanto & Fitriana, 2017)
5) Nyeri berdasarkan polanya:
a) Nyeri akut
Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan
berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui dengan
jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi,
15
ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner (Asmadi,
2009). Nyeri akut terjadi setelah cedera akut penyakit, atau intervensi bedah
dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan
sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat (Meinhart dan
McCaffery, 1983: NIH, 196 dalam Potter & Perry, 2005). Nyeri akut
ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan kecemasan yang keduanya
meningkatkan persepsi nyeri.
Gambar 2.1. Nyeri akut Sumber : Mubarak & Chayatin, 2007
b) Nyeri Kronik
Nyeri kronik, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri
kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode
yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali lagi nyeri dan
begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronik yang konstan, artinya rasa
nyeri tersebut terus-menerus terasa semakin lama semakin meningkat
intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya, pada nyeri
karena neoplasma (Asmadi, 2009).
Tabel 2.1 Perbedaan Nyeri Akut dan Kronik
Nyeri Akut Nyeri Kronik
Nyeri Akut
Tegangan otot Cemas
16
Waktu kurang dari enam bulan Waktu lebih dari enam bulan
Nyeri terlokalisasi Daerah nyeri menyebar
Nyeri terasa seperti ditusuk, disayat, dicubit dan lain-lain
Nyeri terasa tumpul seperti ngilu, linu dan lain-lain
Respon saraf simpatis: takikardia, peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, pucat, lembab, berkeringat, dan dilatasi pupil
Respons sistem saraf parasimpatis: penurunan tekanan darah, bradikardia, kulit kering, panas dan pupil konstriksi
Penampilan klien tampak cemas, gelisah dan terjadi ketegangan otot
Penampilan klien tampak depresi dan menarik diri
Sumber : (Asmadi, 2009 dalam Sutanto & Fitriana, 2017)
6) Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Karena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang
mempengaruhi pengalaman nyeri individu (Potter & Perry, 2005).
1) Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak- anak dan lansia.
2) Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam
berespons terhadap nyeri (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Beberapa
kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya menganggap
bahwa seorang anak aki-laki harus berani dan tidak boleh menangis,
sedaangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang
sama.
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai budaya mempengaruhi individu dalam mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima
17
oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap
nyeri (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).
4) Makna Nyeri
Makna seorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien menfokuskan perhatiannya terhadap nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya mengalihkan dihubungkan
dengan respons nyeri yang menurun (Gil, 1990 dalam Potter & Perry,
2005).
6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat komleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Paice (1991) melaporkan suatu bukti
bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini
mengendalikan emosi seseorang, khususnya ansietas.
7) Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping.
8) Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri
sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada waktu mendatang.
9) Gaya Koping
18
Pengalaman nyeri yang menjadi suatu pengalaman yang membuat
individu merasa kesepian. Apabila klien mengalami nyeri di keadaan
perawatan kesehatan, seperti di rumah sakit klien meras tidak berdaya
dengan rasa sepi itu. Hal yang sering teradi adalah klien merasa kehilangan
kontrol terhadap ligkungan atau kehilangan kontrol terhadap hasil akhir dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya koping
mempengaruhi kemampuan individu tersebu untuk mengatasi nyeri.
10) Dukungan keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau
perlindungan. Walupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang
dicintai klien akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.
7) Pengukuran Nyeri
1) Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri antar masing-masing individu dapat berbeda-beda,
sebab intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Intensitas nyeri dapat
diketahui menggunakan alat ukur atau skala ukur nyeri. Respons klien dapat
dibandingkan dengan skor yang didapat, sehingga derajat dari kontrol nyeri
dapat dipertahankan (M. Black & Hawks, 2014). Beberapa skala intensitas
nyeri yaitu:
a) Visual Analog Scale (VAS)
Skala analog visual (visual analog scale, VAS), merupakan suatu garis
lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan mmiliki alat
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. VAS dapat merupakan pengukur
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi
setiap titik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu
angka (McGuire, 1984 dalam Potter & Perry, 2005)
19
Gambar 2.2 Skala nyeri visual analog (VAS)
Sumber: potter & Perry (2005)
b) Verbal Descriptor Scale (VDS)
Skala pendeskripsi verbal (verbal descriptor scale, VDS) merupakan
sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diranking dar “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah katagori untuk
mendeskripsi nyeri (Potter & Perry, 2005).
Gambar 2.3 Skala deskriptif (VDS) Sumber: Potter & Perry (2005)
c) Numerical Rating Scales (NRS)
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scale, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik (Potter & Perry, 2005). Apabila digunakan skala untuk menilai
Tidak Nyeri
Nyeri Ringan
Nyeri Sedang
Nyeri Hebat
Nyeri Sangat Hebat
Nyeri Tak tertahankan
20
nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Potter
& Perry, 2005).
Gambar 2.4 Skala Numerik Sumber: Potter & Perry (2005)
d) Skala Wajah
Wong dan Baker (1988) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji
nyeri pada anak-anak. Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil
kartun yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum
(“tidak merasa nyeri”) kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah
kurang bahagia, wajah yang sangat sedih, sampai wajah yang sangat
ketakutan ( “nyeri yang sangat” ).
Gambar 2.5 Skala Wajah Sumber: Potter & Perry (2005)
2) SOP Pengukuran Skala Nyeri
a) Persiapan klien dan lingkungan:
- Beritahu klien tindakan yang akan dilakukan, beri posisi yang
nyaman.
b) Identifikasi klien.
c) Jelaskan prosedur pengukuran skala nyeri pada klien.
d) Jelaskan pada klien tentang skala nyeri:
21
0 = tidak nyeri
1-3 = Nyeri Ringan
4-6 = Nyeri Sedang
7-9 = Nyeri Berat
10 = Nyeri Tidak Terkontrol
e) Kaji pengalaman nyeri klien yang terdahulu.
f) Kaji intensitas nyeri klien dengan meminta klien untuk menandai angka
yang terdapat pada Numeric Rating Scaleyang sesuai dengan nyeri yang
dialami klien saat itu.
g) Dokumentasikan hasil pengukuran intensitas nyeri klien.
3) Karakteristik Nyeri
Nyeri yang dialami individu memiliki beberapa karakteristik tertentu.
Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST, yaitu sebagai berikut
(Hidayat & Uliyah, 2014):
a) P (penyebab), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya
nyeri.
b) Q (quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau tersayat.
c) R (region), daerah perjalanan nyeri.
d) S (saverity) adalah keparahan atau intensita nyeri.
e) T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
8) Penatalaksanaan Nyeri
1) Terapi Farmakologis/ Pemberian Analgesik
Analgesik merupakan istilah yang digunakan untuk mewakili
sekelompok obat yang digunakan sebagai penahan sakit. Obat analgesik
berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri, terutama lewat daya kerjanya atas
sistem saraf sentral dan menubah respons seseorang terhadap rasa sakit
(Sutanto & Fitriana, 2014). Tujuan pemberian analgesik adalah untuk
meredakan atau menurunkan nyeri sementara tetap memperhatikan
22
kemampuan klien untuk mengontrol lingkungannya, berpartisipasi dalam
upaya perawatan, dan menurunkan efek samping (M.Black & Hawks,
2014).
2) Terapi Non Farmakologis
Ada sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan
persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan
perawatan tersier sama seperti di rumah dan pada keadaan perawatan
restorasi (Potter & Perry, 2005). Terapi nonfarmakologis dapat
dikombinasikan dengan terapi farmakologis. Tindakan nonfarmakologis
mencangkup intervensi perilaku kognitif dan penggunaan agen-agen fisik
(Potter & Perry, 2005). Beberapa tindakan nonfarrmakologis yaitu:
a) Bimbingan Antisipasi
Memodifikasi secara langsung cemas yang berhubungan dengan nyeri
menghilangkan nyeri dan menambah efek tindakan untuk
menghilangkan nyeri yang lain (Potter & Perry, 2005).
b) Relaksasi
Teknink ini didasarkan kepada keyakinan bahwan tubuh berespons pada
anssietass yang merangsang pikiran karena nyeri atau kondisi
penyakitnya. Teknik relaksasi dapat menurunkan ketegangan fisiologis
(Asmadi, 2009). Terdapat banyak jenis dari teknik relaksasi yaitu,
relaksasi nafas dalam, relaksasi progresif, napas ritmik dan relaksasi
autogenik.
c) Distraksi
Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien dari nyeri (Asmadi,
2009). Sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang
menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang cukup
atau berlebihan. Distraksi mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain
dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan
meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005). Teknik
23
distraksi yang dapat dilakukan adalah mendengarkan musik, guaided
imagery, meditasi, hipnotis dan humor.
d) Stimulasi Kutaneus
Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk
menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2005). Stimulasi kutaneus
mengaktivasi serat berdiameter lebar (A-beta), yang menstimulasi
neuron inhibitor di medula spinalis dan berikatan dengan sistem
analgesik desenden. Macam-macam stimulasi kutaneus yaitu, pijet,
kompres hangat dan dingin, transcutaneous elecktrical nerve
stimulation (TENS), akupuntur dan akupresur (M.Black & Hawks,
2014).
e) Biofeedback
Biofeedback merujuk pada berbagai macam teknik yang memberikan
klien informasi mengenai perubahan dalam fungsi tubuh yang biasanya
tidak disadari klien, seperti tekanan darah. Tujuan dari biofeedback
dalam manajemen nyeri adalah untuk mengajarkan kontrol diri atas
variabel fisiologis yang berkaitan dengan nyeri, sepertii kontraksi otot
dan tekanan darah (M.Black & Hawks, 2014).
2. Post Laparatomi
a. Definisi Laparatomi
Laparatomi merupakan pembedahan perut sampai membuka selaput
perut (Jitowiyono & Kristianasari, 2010).
b. Indikasi Laparatomi
1) Trauma pada abdomen tumpul atau tajam / ruptur hepar.
2) Peritonitis
3) Perdarahan saluran pencernaan (internal blooding)
4) Sumbatan pada usus halus dan usus besar
24
5) Adanya masa pada abdomen
(Jitowiyono & Kristianasari, 2010)
c. Komplikasi Laparatomi
1) Ventilasi paru tidak adekuat
2) Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung
3) Gangguan cairan dan elektrolit
4) Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
d. Post Laparatomi
Pasca bedah atau post operasi merupakan masa setelah dilakukan
pembedahan yang dimulai sejak pasien memasuki ruangan pemulihan dan
berakhir sampai evaluasi selanjutnya (Hidayat & Uliyah, 2014). Perawatan
post laparatomiaddalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada
pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut (Jitowiyono
& Kristianasari, 2010).
3. Kompres Hangat
a. Definisi Kompres Hangat
Kompres hangat merupakan tindakan keperawatan dengan memberikan
rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan kantung yang berisi
air hangat sehingga menimbulkan rasa hangat pada bagian tubuh yang
memerlukan. Kompres hangat dapat menghilangkan nyeri dan
meningkatkan proses penyembuhan. Pemberian panas secara lokal di bagian
tubuh yang mengalami cedera dapat berguna untuk pengobatan (Potter &
Perry, 2005).
25
b. Tujuan Kompres Hangat
1) Memperbaiki sirkulasi dalam tubuh pasien
2) Menghilangkan edema pada pasien
3) Meningkatkan drainase pus pada pasien
4) Mengurangi rasa nyeri dalam tubuh pasien
Dalam Jacob, dkk (2014), tujuan pemberian kompres hangat sebagai
berikut:
1) Merangsang sirkulasi dengan mendilatasi pembuluh-pembuluh darah
2) Meredakan nyeri dan bendungan dengan memperlancar aliran darah
3) Memberikan kehangatan dan kenyamanan
4) Merangsang penyembuhan
5) Meringankan retensi urine
6) Meringankan spasme otot
7) Mengurangi pembengkakan jaringan
8) Untuk mengatasi penurunan suhu yang mendadak selama kompres
dingin
9) Menaikkan suhu tubuh pada kasus hipotermia
c. Indikasi Kompres Hangat
Menurut Asmadi (2009), indikasi kompres hangat adalah sebagai
berikut:
1) Klien yang kedinginan
2) Klien dengan perut kembung
3) Klien yang mempunyai penyakit peradangan
4) Spasme otot
5) Adanya abses, hematoma
d. Kontra Indikasi Kompres Hangat
26
Jacob, dkk (2014) menyebutkan beberapa kontra indikasi kompres
hangat antara lain yaitu:
1) Inflamasi akut, misalnya: abses gigi
2) Pasien yang masih muda atau terlalu tua
3) Pasien yang tidak sadar atau tiak waras
4) Pasien dengan defisit sensorineural, misalnya: diabetes melitus
5) Pasien dengan suhu tubuh tinggi
e. Metode Pemberian Kompres Hangat
1) Kompres hangat basah
2) Kompres hangat menggunakan buli-buli (panas kering)
f. Prosedur Kompres Hangat
1) Kompres hangat dengan buli-buli (panas kering)
a) Siapkan botol air panas atau buli-buli
b) Suhu air 52ºC untuk orang dewasa normal
c) Suhu air 40.5ºC-46ºC untuk yang lemah dan atau pasien yang tidak
sadar dan anak-anak < 2 tahun
d) Isi 2/3 buli-buli dengan air panas
e) Keluarkan udara yang tersisa dan tutup rapat-rapat ujungnya
f) Keringkan kantong dan pegang kantong secara terbalik untuk
memeriksa kebocoran
g) Bungkus buli-buli dalam handuk atau penutup dan tempatkan pada
daerah sekitar luka operasi
h) Angkat setelah 15 menit
i) Catat respons pasien selama tindakan, juga kondisi area-area yang
dikompres
j) Cuci tangan setelah seluruh prosedur dilaksanakan
(Nafisa, 2013)
2) Kompres Panas Basah
27
a) Persiapkan alat
b) Cuci tangan
c) Atur posisi klien yang nyaman
d) Pasang pengalas di bawah daerah yang akan dikompres
e) Kompres panas dengan waslap direndam air panas bersuhu 40º-
46ºC
f) Ganti lokasi waslap dengan sering
g) Setelah selesai bereskan alat
h) Cuci tangan
(Nafisa, 2013)
g. Mekanisme Kompres Hangat
Menurut Smeltzer & Bare (2005) dalam Revi Neini (2017), prinsip
kerja kompres hangat dengan buli-buli hangat yang dibungkus dengan kain
yaitu secara konduksi dimana terjadi pemindahan hangat dari buli-buli
kedalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelepasan pembuluh darah dan
akan terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri yang dirasakan akan
berkurang atau hilang.
Teori gate control mengatakan bahwa stimulus kulit mengaktifkan
transmisi sarabut saraf sensori A-beta yang lebih besar dan cepat. Proses ini
menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan A berdiameter kecil,
gerbang sinap menutup transmisi implus nyeri. Kompres menggunakan air
hangat akan meningkatkan aliran darah, dan meredakan nyeri dengan
menyingkirkan produk-produk inflamasi, seperti bradikini, histamin, dan
prostaglandin yang menimbulkan nyeri lokal. Panas akan merangsang serat
saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi implus nyeri ke medula
spinalis dan ke otak dihambat. (Tamsuri, 2007 dalam Nelza Safitri, 2016).
Penggunaan dari kompres hangat dapat membuat sirkulasi darah lancar,
vaskularisasi lancar dan terjadi vasodilatasi yang membuat relaksasi pada
otot karena otot mendapat nutrisi yang dibawa oleh darah sehingga
kontraksi otot menurun (Anugraheni, 2013 dalam Rahmadhayanti, Eka,
28
2017). Arovah, 2016 dalam Hakiki, 2018 juga berpendapat bahwa kompres
hangat digunakan untuk meningkatkan aliran darah yang dapat
meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan. Panas juga
meningkatkan elastisitas otot sehingga mengurangi kekakuan otot.
4. Relaksasi
a. Definisi
Teknik relaksasi adalah salah satu cara penatalaksanaan nyeri non
farmakologi. Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari
ketegangan dan stres (Potter & Perry, 2005). Teknik relaksassi didasarkana
kepada keyakinan bahwa tubuh berespons pada ansietas yang merangsang
pikiran karena nyeri atau kondisi sakitnya (Asmadi, 2009).
b. Efek relaksasi
Relaksasi cukup efektif untuk mengatasi nyeri, yakni dengan
meningkatkan perasaan kontrol, mengurangi perasaan tidak berdaya dan
putus asa, menjadi metode pengalihan, serta mengganggu siklus nyeri-
ansietas-ketegangan (Sloman,1995 dalam Mubarak & Chayatin, 2007).
Teknik relaksasi dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi-afektif
individu. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi
ketidak nyamanan atau nyeri (Potter & Perry, 2005).
Teknik relaksasi dapat digunakan saat individu dalam kondisi sehat atau
sakit. Teknik relaksasi dengan atau tanpa teknik imajinasi dapat
menghilangkan nyeri kepala, nyeri persalinan, antisipasi rangkaian nyeri
akut dan gangguan nyeri kronik (Potter & Perry, 2005). Teknik ini
didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh merespons pada ansieetas
(ketakutan). Hal inilah yang merangsang pikiran sehingga menyebabkan
rasa nyeri (Sutanto & Fitriana, 20017).
Nafas dalam untuk relaksasi mudah dipelajari dan berkontribusi dalam
menurunkan atau meredakan nyeri dengan mengurangi tekanan otot dan
ansietas (M.Black & Hawks, 2014).
29
Beberapa efek dari teknik relaksasi yaitu:
1) Penurunan nadi, tekanan darah dan pernafasan
2) Penurunan konsumsi oksigen
3) Penurunan ketegangan otot
4) Penurunan kecepatan metabolisme
5) Peningkatan kesadaran global
6) Perasaan damai dan sejahtera
7) Periode kewaspadaan yang santai, terjaga dan dalam
c. Jenis–jenis Relaksasi
1) Relaksasi nafas dalam
2) Relaksasi progresif
3) Nafas ritmik
4) Relaksasi autigenik
(Potter & Perry, 2005)
d. Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Menurut University of pittburgh medical center, 2003 dalam Rovida
Hartika, 2018 prosedur teknik relaksasi nafas dalam, yaitu:
1) Atur pasien dengan posisi semifowler
2) Kedua tangan pasien diletakan di perut
3) Anjurkan melakukan nafas secara perlahan dan dalam melalui hidung
4) Instruksikan klien untuk tarik nafas selama tiga detik dan rasakan
abdomen mengembang saat tarik nafas
5) Anjurkan klien untuk menahan nafas selama 5 detik
6) Kemudian hembuskan lewat mulut secara perlahan-lahan selama 6
detik. Rasakan abdomen bergerak kebawah
7) Instruksikan klien untuk bernafas secara normal 3 kali
8) Ulangi selama 15 menit
30
e. Mekanisme Relaksasi Nafas Dalam
Relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan
meminimalkan aktifitas simpatik dalam sistem saraf otonom. Teknik
relaksasi nafas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri dengan
merangsang tubuh untuk melepaskan opoid endogen yaitu endorphin dan
enkefalin. Hormon endorphin merupakan substansi sejenis morfin yang
berfungsi untuk menghambat transmisi implus nyeri ke otak. Sehingga saat
neuron nyeri perifer mengirimkan sinyal ke sinaps, terjadi sinapsis antara
neuron perifer dan neuron yang menuju otak tempat seharusnya substansi P
akan menghasilkan implus. Paada saat tersebut , endorphin akan memblokir
lepasnya substansi P dari neuron sensorik, yang mengakibatkan nyeri
berkurang (Widiatie, Wiwiek, 2015).
Menurut Wiwiek Widiatie (2015), penurunan intensitas nyeri
dikarenakan oleh peningkatan fokus terhadap nyeri yang dialami individu
beralih pada pelaksanaan relaksasi nafas dalam sehingga suplai oksigen
dalam jaringan meningkat dan otak dapat berelaksasi. Otak yang relaksasi
tersebut akan merangsang tubuh untuk menghasilkan hormon endorphin
untuk menghambat transmisi implus nyeri ke otak dan dapat menurunkan
sensasi terhadap nyeri yang akhirnya dapat menurunkan intensitas nyeri
yang dirasakan individu.
Smeltzer & Bare, 2013 dalam Diah Ayu C. (2015), menyatakan bahwa
efek dari relaksasi nafas dalam akan membuat individu merasa rileks dan
tenang. Suasana yang rileks dapat meningkatkan hormon endorphin yang
berfungsi menghambat transmisi implus nyeri sepanjang saraf sensoris dari
nosiseptor saraf perifer ke kornu dorsalis kemudian ke thalamus, serebri
yang mengakibatkan menurunnya persepsi nyeri.
B. Penelitian Terkait
Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dari penelitian ini, yaitu:
1. Hasil penelitian oleh Nelza Safitri 2016 di dapatkan perbedaan sebelum
melakukan kompres hangat adalah 5,47 dan setelah melakukan kompres
31
hangat skala nyeri adalah 3,47. Hasil uji statistik didapatkan nilai p value
0,000 (<0,05) yang artinya terdapat efektifitas pemberian kompres hangat
terhadap penurunan skala nyeri di daerah luka sectio caesarea pada pasien
post operasi sectio caesarea di RSUD. Bangkinang.
2. Penelitian oleh Yovita Handayani (2017), didaptakan hasil analisis ada
efektifitas kompres dingin dan hangat terhadap penurunan intensitas nyeri
pada pasien post operasi appendicitis. Hasil analisis juga didapatkan
kompres hangat lebih efektif jika dibandingkan dengan kompres dingin.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Revi Neini (2017) yang bertujuan untuk
Mengetahui pengaruh pemberian kompres hangat terhadap nyeri pada
pasien post operasi fraktur di RST. Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017.
Hasil penelitian didapatkan hasil uji statistik wilcoxon nilai p = 0,006. Dapat
disimpulkan bahwa dukungan terdapat pengaruh pemberian kompres hangat
terhadap nyeri pada pasien post operasi fraktur di RST. Dr.Reksodiwiryo.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Lela Aini (2017) yang bertujuan untuk
melihat ada atau tidaknya pengaruh teknik relaksasi nafas dalam
terhadappenurunan nyeri pada pasien fraktur. Hasil analisisdata dalam
penelitian ini yaitup-value= 0.001, yang artinya adapengaruh teknik
relaksasi nafas dalan terhadap penurunan nyeri pada pasien fraktur di RSI.
SitiKhadijah Palembang.
5. Penelitian Joula Olivia Lauw 2016, didapatkan hasil penelitian menunjukan
bahwa teknik relaksasi napas dalam dapatmenurunkan intensitas nyeri pada
pasien sectio caesarea diruangan Nifas Rumah Sakit AdventManado
dengan nilai signifikan a˂0,05 (P=0,000˂0,05). Kesimpulan, dengan
melakukan teknik relaksasi napas dalam dapat menurunkan intensitas
nyeripada pasien dengan post sectio caesarea di ruangan nifas Rumah sakit
Advent Manado.
6. Hasil penelitian Mayasyanti Dewi Amir tahun 2018 didapatkan bahwa ada
pengaruh relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post
opetarifappendectomy dengan nilai p=0.000(p<0.05).
32
C. Kerangka Teori
Gambar 2.6 Kerangka teori (Jitowiyono & Kritianasari, 2010; M.Black & Hawks, 2014;
Faktor- Faktor Nyeri:
1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Kebudayaan 4. Makna nyeri 5. Perhatian 6. Ansietas 7. Keletihan 8. Pengalaman sebelumnya 9. Gaya koping 10. Dukungan keluarga dan sosial
Nyeri post operasi
Manajemen nyeri farmakologis;
1. Pemberian Analgesik
Manajemen nyeri non farmakologis: 1. Bimbingan antisipasi 2. Relaksasi :
a. Nafas dalam b. Relaksasi progresif c. Nafas ritmik d. Relaksasi autogenik
3. Distraksi 4. Stimulasi kutaneus:
a. Kompres hangat/dingin
b. Massage c. TENS d. Akupuntur e. Akupresur
5. Biofeedback
Kompres Hangat Relaksasi Nafas Dalam
Merangsang serabut A- beta yang besar dan cepat
Mengaktifkan substansi gelatinosa (SG)
Gerbang tertutup (teori gate control) sehingga transmisi implus nyeri ke medula spinalis dan ke otak dihambat
Nyeri Berkurang
Tubuh menjadi rileks
Meningkatkan pelepasan hormon edorphin
Endorphin memblokir lepasnya substansi P dari neuron sensorik
33
Potter & Perry, 2005, Widiatie,Wiwiek, 2015, Nelza Safitri, 2016)
D. Kerangka Konsep
Kerangka konseptual adalah uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang satu dengan
variabel lain dari masalah yang akan diteliti (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan
kerangka teori yang ada, maka penulis merumuskan kerangka konsep sebagai
berikut:
Gambar 2.7 Kerangka Konsep
Kompres hangat
Skala nyeri post
operasi laparatomi
sebelum diberikan
kompres hangat
Skala nyeri post
operasi laparatomi
setelah diberikan
kompres hangat
Skala nyeri post
operasi laparatomi
sebelum diberikan
latihan relaksasi
nafas dalam
Relaksasi Nafas Dalam
Skala nyeri post
operasi laparatomi
setelah diberikan
latihan relaksasi
nafas dalam
34
E. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
Ada perbedaan pengaruh kompres hangat dan relaksasi nafas dalam
terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien post operasi laparatomi di
Ruang Mawar RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun
2019.