bab ii tinjauan pustaka

21
TINJAUAN PUSTAKA Anemia pada Ibu Hamil Pengertian Anemia Anemia adalah suatu keadaan darah yang tidak normal yang ditunjukkan oleh berkurangnya ukuran atau jumlah sel darah merah dalam sirkulasi darah merah yang akan berpengaruh terhadap kandungan hemoglobin. Klasifikasi anemia dapat didasarkan baik pada ukuran sel darah merah maupun konsentrasi hemoglobin. Berdasarkan ukuran sel darah merah, anemia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: makrositik (ukuran sel besar), normositik (ukuran sel normal), dan mikrositik (ukuran sel kecil), sedangkan berdasarkan kandungan hemoglobinnya anemia diklasifikasikan menjadi dua yaitu: hipokromik (berwarna pucat), dan normokromik (berwarna normal) (Kasdan 1996). Ibu hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi dirinya dan janinnya di dalam kandungan. Hal ini dapat menyebabkan kematian ibu dan janinnya, serta dapat berakibat pada berat badan lahir rendah (BBLR), atau kelahiran prematur (Lamsihar 2006). Menurut WHO(2005), kadar hemoglobin pada wanita hamil dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu : a. Normal : bila kadar Hb 11 gr/dl atau lebih b. Anemia Ringan : bila kadar Hb antara 8 gr/dl sampai < 11 gr/dl c. Anemia berat : bila kadar Hb kurang dari 8 gr/dl Patofisiologi Anemia Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan- perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price, AS; Lorraine M; Wilson 1995). Pertambahan volume darah selama kehamilan disebut dengan hypervolemia, tetapi bertambahnya sel-sel darah lebih sedikit dibandingkan dengan bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah. Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian fisiologis dalam kehamilan dan bermanfaat bagi ibu hamil, karena pengenceran tersebut meringankan beban jantung yang harus bekerja lebih berat selama masa kehamilan yang disebabkan oleh peningkatan cardiac output akibat hipervolemia. Kerja

Upload: zulvikar-matike

Post on 08-Feb-2016

315 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

BAB II Tinjauan Pustaka

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II Tinjauan Pustaka

5

TINJAUAN PUSTAKA

Anemia pada Ibu Hamil

Pengertian Anemia

Anemia adalah suatu keadaan darah yang tidak normal yang ditunjukkan

oleh berkurangnya ukuran atau jumlah sel darah merah dalam sirkulasi darah

merah yang akan berpengaruh terhadap kandungan hemoglobin. Klasifikasi

anemia dapat didasarkan baik pada ukuran sel darah merah maupun konsentrasi

hemoglobin. Berdasarkan ukuran sel darah merah, anemia diklasifikasikan

menjadi tiga, yaitu: makrositik (ukuran sel besar), normositik (ukuran sel normal),

dan mikrositik (ukuran sel kecil), sedangkan berdasarkan kandungan

hemoglobinnya anemia diklasifikasikan menjadi dua yaitu: hipokromik (berwarna

pucat), dan normokromik (berwarna normal) (Kasdan 1996).

Ibu hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu memenuhi

kebutuhan zat-zat gizi dirinya dan janinnya di dalam kandungan. Hal ini dapat

menyebabkan kematian ibu dan janinnya, serta dapat berakibat pada berat

badan lahir rendah (BBLR), atau kelahiran prematur (Lamsihar 2006).

Menurut WHO(2005), kadar hemoglobin pada wanita hamil dapat

dibagi dalam 3 kategori yaitu :

a. Normal : bila kadar Hb 11 gr/dl atau lebih

b. Anemia Ringan : bila kadar Hb antara 8 gr/dl sampai < 11 gr/dl

c. Anemia berat : bila kadar Hb kurang dari 8 gr/dl

Patofisiologi Anemia

Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama

masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahan-

perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price, AS; Lorraine M; Wilson

1995).

Pertambahan volume darah selama kehamilan disebut dengan

hypervolemia, tetapi bertambahnya sel-sel darah lebih sedikit dibandingkan

dengan bertambahnya plasma darah sehingga terjadi pengenceran darah.

Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian fisiologis dalam kehamilan

dan bermanfaat bagi ibu hamil, karena pengenceran tersebut meringankan

beban jantung yang harus bekerja lebih berat selama masa kehamilan yang

disebabkan oleh peningkatan cardiac output akibat hipervolemia. Kerja

Page 2: BAB II Tinjauan Pustaka

6

jantung akan lebih ringan bila viskositas darah rendah.

Oleh karena itu anemia fisiologis atau pseduanemia hemodilius ini

dimulai pada trimester I kehamilan, yaitu pada minggu ke 12 - 20 dan

maksimal terjadi pada umur kehamilan 20 – 36 minggu. Akibat dari faktor

hemodilius, kadar Hb dalam darah ibu hamil di bawah normal. Kondisi ini

disebabkan oleh faktor hemodilius yang disertai dengan faktor lainnya

yang menyebabkan turunnya cadangan zat besi.

Kekurangan zat besi dapat dilihat dari perubahan sel darah merah

dengan berbagai bentuk (mikrositer anisositosis). Gambaran khusus pada

pemeriksaan preparat darah tepi dapat dilihat pada produksi asam lambung

yang mungkin kurang (anhydria), permukaan lidah licin dan kurang bintik

bintik, kadar zat besi dalam darah rendah dengan kemampuan mengikat zat

besi meningkat (fe-binding capacity) disertai dengan kadar zat feritin dalam

serum yang rendah. Kondisi zat besi dalam darah juga berkaitan dengan ada

tidaknya kelainan dalam darah seperti talasemia, dan leukimia (kanker

darah). Adanya kelainan lain dalam darah ini dapat menyebabkan kemampuan

tubuh dalam mengabsorbsi zat besi menjadi terganggu bahkan terjadi

ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah secara optimal.

Menurut mekanisme patofisiologi, klasifikasi penyebab anemia pada

masa kehamilan dibagi dalam 3 macam yaitu :

1. Menurunnya produksi sel darah merah

a. Faktor nutrisi / metabolik

i. Defisiensi besi

ii. Defisiensi asam folat

iii. Defisiensi B12

b. Gangguan sumsum tulang

2. Meningkatnya destruksi sel darah merah

a. Abnormalitas sel darah merah

b. Abnormalitas ekstrinsik

3. Perdarahan akut dan kronik

Klasifikasi Anemia

1. Anemia Defisiensi Besi

Anemia dalam kehamilan yang paling sering dijumpai ialah anemia

akibat kekurangan besi. Kekurangan ini dapat disebabkan karena

Page 3: BAB II Tinjauan Pustaka

7

kurangnya unsur besi dalam makanan, gangguan absorbsi, gangguan

penggunaaan atau karena terlampau banyaknya besi yang keluar dari

tubuh misalnya pada perdarahan (Price, AS; Lorraine M; Wilson 1995).

2. Anemia Megaloblastik

Anemia karena kekurangan asam folat (pteroylglutamic acid)

disebut juga anemia megaloblastic (sel darah merah besar dan abnormal)

(Price, AS; Lorraine M; Wilson 1995).

Diagnosis anemia megaloblastik dibuat apabila ditemukan

megaloblas atau promegaloblas dalam darah atau sumsum tulang.

Seringkali anemia sifatnya normositer dan normokrom. Hal ini disebabkan

karena defisiensi asam folat sering berdampingan dengan defisiensi besi

dalam kehamilan.

3. Anemia Hipoblastik

Anemia pada wanita hamil yang disebabkan karena sumsum

tulang kurang mampu membuat sel-sel darah baru, dinamakan anemia

hipoplastik. Etiologi anemia hipoplastik karena kehamilan hingga kini

belum diketahui dengan pasti, kecuali yang disebabkan oleh sepsis, sinar

roentgen, racun atau obat-obatan.

4. Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik disebabkan karena penghancuran sel darah

merah berlangsung lebih cepat dari pembuatannya. Wanita dengan

anemia hemolitik sukar menjadi hamil, apabila ia hamil, maka anemianya

akan lebih berat.

Pengukuran Anemia

Dalam pengukuran Hemoglobin, metode yang sering digunakan adalah

metode cyanmethemoglobin menggunakan system HemoCue sesuai anjuran

WHO dan International Committe for Standarduzation in Himatologi (ICSH).

Metode ini digunakan untuk melihat kadar Hemoglobin secara kuantitatif dan

merupakan metode laboratorium yang terbaik (Stoltzfus and Dreyflus 1998).

Untuk memperkirakan prevalensi anemia dengan mengukur hemoglobin

dengan metode chyanmethemoglobin, mempunyai nilai sensitivitas dan

spesifisitas masing-masing sebesar 82.4% dan 94.0%.

Page 4: BAB II Tinjauan Pustaka

8

Prevalensi Anemia Ibu Hamil

Ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang berisiko mengalami

anemia. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga dari tahun 1992,

1995 dan 2001 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia

terjadi penurunan dari tahun ke tahun, yaitu sebesar 63,5% pada tahun 1992,

50,9% pada tahun 1995 dan menjadi 40,1% pada tahun 2001. Khusus di

Provinsi Sulawesi Tenggara, prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar

67,25%.

Faktor yang Berhubungan dengan Anemia Ibu Hamil

Karakteristik Ibu Hamil

Usia. Usia dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi wanita untuk

hamil guna menghindari risiko kehamilan. Masa reproduksi yang sehat dan

kurang berisiko terhadap komplikasi kehamilan adalah usia antara 20 - 35

tahun, sedangkan umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

merupakan kehamilan yang berisiko. Hal ini terkait dengan kondisi biologis

dan psikologis ibu yang sedang hamil (Depkes 2005).

Pada wanita hamil yang berusia kurang dari 20 tahun, memiliki

perkembangan organ reproduksi belum optimal, sehingga secara psikologis

kejiwaan masih labil yang menimbulkan komplikasi (Titiek 1994 dalam

Irwansyah 2005). Pada usia muda mempunyai masalah kompetitif antara

ibu dan janinnya, karena di usia muda kebutuhan zat besi diperlukan oleh

seorang wanita untuk kematangan tubuh pada fase akhir. Jika wanita muda

tersebut hamil, maka kebutuhan zat besi akan terbagi dengan janin yang

dikandungnya. Selain itu pengalaman dan pengetahuan tentang persiapan

dan pemeliharan kehamilan masih rendah (Arisman 2005)

Pada usia di atas 35 tahun, kejadian anemia disebabkan oleh adanya

kemunduran terhadap fungsi faal tubuh dan munculnya kelainan degeneratif

seperti hipertensi, diabetes, asam urat dan lain-lain, sehingga terjadi

gangguan terhadap perdarahan serta turunnya metabolisme tubuh dan

kemampuan absorbsi tubuh terhadap zat besi. Hal ini diperberat dengan

interval kehamilan yang pendek dan paritas yang tinggi (lrwansyah 2005).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa kehamilan

berisiko diantaranya usia ibu hamil yang kurang dari 20 tahun dan yang

lebih dari 35 tahun (Depkes RI 2005).

Page 5: BAB II Tinjauan Pustaka

9

Penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin dan Wahyuddin (2004)

menyebutkan bahwa ibu hamil yang berusia kurang dari 20 tahun dan di atas

35 tahun mempunyai faktor risiko 2.8 untuk terkena anemia dibandingkan

dengan ibu hamil yang berusia 20 sampai 35 tahun. Adapun hasil penelitian

yang dilakukan Aminah (2000), menyebutkan bahwa ibu hamil dengan usia

kurang dari 19 tahun dan lebih dari 35 tahun memiliki risiko 9.7 kali terkena

anemia dibandingkan dengan ibu hamil yang berusia antara 19 - 35 tahun.

Beberapa penelitian tentang variabel usia ibu hamil dapat dilihat pada tabel di

bawah ini :

Tabel 1 Hasil penelitian hubungan usia dengan anemia pada ibu hamil

No Peneliti /Tahun

Judul Desain studi

Hasil

1.

2.

3.

Budi

Iswansyah,

(2005)

Maya

Rahmatiah

, (2005)

I Kadek

Sutomo,

(2009)

Faktor risiko terjadinya

anemia pada ibu hamil

Faktor yang berhubungan

dengan kejadian anemia gizi

ibu hamil di wilayah kerja

Puskesmas Wongkaditi Kota

Gorontalo

Faktor yang berhubungan

dengan kejadian anemia

pada ibu hamil di Puskesmas

Amonggedo Baru tahun 2008

Case

Control

Case

Control

Cross

sectional

Usia merupakan

faktor risiko terjadinya

anemia bagi ibu hamil

(OR=4.128)

Pada kelompok usia

risiko tinggi kejadian

anemia pada ibu

hamil sebesar 70.4%

Terdapat hubungan

yang signifikan antara

usia ibu hamil dengan

kejadian anemia

(p=0.000)

Umur Kehamilan. Prevalensi anemia kurang besi pada ibu hamil masih

sangat memprihatinkan terutama pada umur kehamilan trimester III dibandingkan

trimester I (Hidayat 1994). Terdapat bukti yang kuat bahwa defisiensi zat besi

yang terjadi pada trimester pertama kehamilan menghasilkan penurunan yang

signifikan terhadap pertumbuhan janin, dan hanya sedikit efek terhadap

pertumbuhan janin jika anemia terjadi pada trimester II dan III (Beard 2000).

Studi Zhou (1998) dalam (Beard 2000) di Sanghai China juga mendapatkan

bahwa kelahiran preterm dapat dideteksi selama trimester pertama sebelum

terjadi ekspansi volume plasma ibu. Angka kelahiran preterm dan BBLR

Page 6: BAB II Tinjauan Pustaka

10

meningkat pada ibu hamil yang mengalami anemia pada trimester pertama

kehamilan. Risiko lahir preterm dan BBLR 2 kali lebih besar pada ibu hamil

anemia sedang dan lebih dari 3 kali pada ibu hamil anemia berat selama

trimester pertama (School 2005). Demikian pula hasil penelitian Breyman (2005)

yang berhasil membuktikan dampak anemia ibu hamil terhadap risiko untuk

melahirkan preterm sebesar 2 kali, dan berisiko 3 kali untuk melahirkan BBLR,

dan juga kematian ibu.

Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Buana

(2004) yang membuktikan bahwa ada hubungan antara umur kehamilan

terhadap anemia pada ibu hamil di Kecamatan Abung Surakarta Lampung Utara

(p value <0.05).

Jarak Kelahiran. Pada trimester III kehamilan, cadangan zat besi pada

ibu hamil akan berkurang dan diperlukan waktu sekitar 2 tahun untuk

mengembalikan cadangan zat besi ke tingkat normal dengan syarat

kondisi kesehatan yang cukup baik dan asupan gizi yang baik pula.

Sehingga dianjurkan untuk memperhatikan jarak kelahiran lebih dari 2 tahun,

karena dengan tenggang waktu 2 tahun diharapkan ibu dapat mempersiapkan

secara dini fisik dan psikis dan memberikan kesempatan pada tubuh untuk

memulihkann kembali fungsi faal tubuh maupun anatomis.

Dikaitkan dengan adanya janin di dalam perut, maka kecukupan zat

besi akan terbagi antara ibu dan janinnya, sehingga jarak kelahiran yang pendek

akan menguras cadangan zat besi dalam tubuh ibu hamil tersebut. Ibu

hamil membutuhkan energi dan gizi yang lebih banyak dibandingkan yang

tidak hamil, sehingga bila terjadi siklus kehamilan yang pendek pada kondisi

dimana asupan gizi yang relatif tetap bahkan cenderung menurun akan

menyebabkan status gizi ibu akan menjadi buruk termasuk kejadian

anemia selama kehamilan. Bila kondisi anemia tersebut tidak ditanggulangi

bisa menyebabkan masalah kesehatan bagi ibu dan janin yang dikandungnya.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa makin pendek jarak

kelahiran maka makin besar risiko kematian untuk ibu dan anak (Manuaba

1998). Selain itu, jarak kelahiran yang kurang dari 2 tahun mempunyai

risiko 21.36 kali terkena anemia dibandingkan yang melahirkan dengan

jarak lebih dari 2 tahun (Aminah 2002). Penelitian yang dilakukan Amiruddin

dan Wahyuddin (2004) juga menyebutkan bahwa jarak kelahiran yang

kurang dari 2 tahun merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil

Page 7: BAB II Tinjauan Pustaka

11

dengan nilai OR = 2.343. Peneiitian tersebut membuktikan bahwa jarak

kelahiran merupakan faktor risiko kejadian anemia bagi ibu hamil. Adapun

hasil penelitian tentang variabel jarak kelahiran dapat dilihat pada tabel 2 di

bawah ini.

Tabel 2 Hasil penelitian hubungan jarak kelahiran dengan anemia pada ibu hamil.

No

Peneliti/ Tahun

Judul Desain studi

Hasil

1. Amiruddin,

Wahyuddin

(2004)

Studi Kasus Kontrol

Faktor Biomedis

Terhadap Kejadian

Anemia Ibu Hamil

Studi kasus Jarak kelahiran kurang

dari dua tahun berisiko

lebih besar untuk

menderita anemia

(OR=2.343)

2. Budi

Iswansyah,

2005

Faktor risiko

terjadinya anemia

pada ibu hamil

Case Control Jarak kelahiran < 24

bulan merupakan faktor

risiko terjadinya anemia

bagi ibu hamil

(OR=8.333)

3.

4.

5.

Aminah,

2002

I Kadek

Sutomo,

(2009)

Faktor risiko

terjadinya anemia

pada ibu hamil

Di RSIB St. Fatimah

Makasar

Faktor yang

berhubungan dengan

kejadian anemia

pada ibu hamil di

pusk. Amonggedo

Baru thn 2008

Case Control

Cross

sectional

study

Jarak kelahiran < 24

bulan merupakan faktor

risiko terjadinya anemia

bagi ibu hamil

(OR=21.36)

Terdapat hubungan yang

signifikan antara jarak

kelahiran dengan

kejadian anemia

(p=0.012)

Gravida. Dalam setiap kehamilan akan menyebabkan cadangan besi

berkurang oleh karena itu perlu diperhatikan frekuensi kehamilan serta jarak

kehamilannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan cadangan zat besi ke

tingkat normal, dengan syarat bahwa selama masa tenggang waktu tersebut

kondisi kesehatan dan mutu makanan baik. Maka sebaiknya jarak persalinan

terakhir dengan persalinan berikutnya minimal 2 tahun. Manuaba (1998)

menyebutkan bahwa makin pendek jarak kehamilan makin besar kematian

Page 8: BAB II Tinjauan Pustaka

12

maternal bagi ibu dan anak terutama jika jarak tersebut kurang dari 2 tahun

dapat terjadi komplikasi kehamilan dan persalinan seperti anemia berat, partus

dan perdarahan. Oleh karena itu seorang wanita memerlukan waktu 2 – 3 tahun

jarak kehamilan agar pulih secara fisiologis dari suatu kehamilan atau persalinan

dan dapat mempersiapkan diri untuk persalinan berikutnya.

Seorang ibu yang sering mengalami kehamilan akan lebih mudah

mengalami defisiensi zat besi akibat berkurangnya cadangan zat besi dan ini

bisa menyebabkan anemia. Ibu dengan jumlah kehamilan >3 merupakan

salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi kehamilan dan persalinan,

salah satunya berkaitan dengan kejadian anemia (Manuaba 1998). Hal ini

didukung oleh hasil penelitian Mendrofa (2003) yang dilakukan di Kabupaten

Nias yang mengatakan bahwa ada korelasi antara gravida dengan anemia

pada ibu hamil.

Malaria

Pengertian Malaria. Penyakit malaria adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles

betina. Penyakit malaria ini dapat menyerang siapa saja terutama penduduk

yang tinggal di daerah di mana tempat tersebut merupakan tempat yang sesuai

dengan kebutuhan nyamuk untuk berkembang biak. Malaria sudah diketahui

sejak zaman Yunani. Kata malaria tersusun dari dua kata yaitu mal = busuk dan

aria = udara. Nama diambil dari kondisi yang terjadi yaitu suatu penyakit yang

banyak diderita masyarakat yang tinggal di sekitar rawa-rawa yang

mengeluarkan bau busuk.

Di Indonesia ditemukan 4 spesies parasit malaria yang menginfeksi

manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae,

dan Plasmodium ovale. Dimana P. falciparum menyebabkan malaria tertiana

maligna (malaria tropika), P. vivax menyebabkan tertiana benigna, disebut juga

malaria vivax atau ”tertiana ague”, P. Malariae menyebabkan malaria kuartana

spesies ini paling jarang dijumpai, P. Ovale menyebabkan malaria tertiana

benigna atau malaria ovale. Spesies yang paling banyak ditemukan ialah

Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.

Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung

pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas

(jumlah kelahiran). Ibu hamil dari daerah endemik yang tidak mempunyai

Page 9: BAB II Tinjauan Pustaka

13

kekebalan dapat menderita malaria klinis berat sampai menyebabkan kematian

(Mc. Gregor 1984).

Ibu hamil yang menderita malaria disebabkan karena lisis sel darah

merahnya mengandung parasit sehingga mengakibatkan anemia. Pada infeksi

P.falcifarum dapat terjadi anemia berat karena semua eritrosit dapat diserang.

Baik eritrosit berparasit maupun tidak akan mengalami hemolisis karena fragilitas

osmotik meningkat (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010).

Di daerah endemisitas tinggi, malaria berat dan kematian ibu hamil jarang

dilaporkan. Gejala klinis malaria dan densitas parasitemia dipengaruhi paritas,

sehingga akan lebih berat pada primigravida (kehamilan pertama) daripada

multigravida (Gregor 1984). Pada ibu hamil dengan malaria, gejala klinis yang

penting diperhatikan ialah demam, anemia, hipoglikemia, edema paru akut.

Gejala Klinis Malaria. Gejala umum penyakit malaria yaitu demam. Di

duga terjadinya demam berhubungan dengan proses skizogoni (pecahnya

merozoit/skizon). Gambaran karakteristik dari malaria adalah demam periodik,

anemia dan splenomegali. Berat ringannya manifestasi malaria tergantung jenis

plasmodium yang menyebabkan infeksi. Malaria P.falciparum demam tiap 24-48

jam, P.vivax demam tiap hari ke-3, P.malariae demam tiap hari ke-4, dan P.ovale

memberikan infeksi yang paling ringan dan sering sembuh spontan tanpa

pengobatan.

Sebelum demam, biasanya penderita mengeluh sakit kepala, kehilangan

nafsu makan, merasa mual di hulu hati, atau muntah, semua gejala awal ini

disebut gejala prodromal (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010).

Epidemiologi Malaria. Malaria ditemukan di daerah-daerah yang terletak

pada posisi 64° Lintang Utara sampai 32° Lintang Selatan. Penyebaran malaria

pada ketinggian 400 meter di bawah permukaan laut dan 2600 meter di atas

permukaan laut. Plasmodium vivax mempunyai distribusi geografis yang paling

luas yaitu mulai daerah beriklim dingin, subtropik, sampai dengan daerah tropik,

kadang-kadang juga dijumpai di Pasifik Barat. Plasmodium falciparum jarang

ditemukan di daerah beriklim dingin tetapi paling sering ditemukan di daerah

tropis (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010).

Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas di semua pulau dengan

derajat endemisitas yang berbeda-beda. Penyakit tersebut dapat berjangkit di

daerah yang mempunyai ketinggian sampai dengan 1800 meter di atas

permukaan laut. Spesies terbanyak yang dijumpai adalah P.falciparum dan

Page 10: BAB II Tinjauan Pustaka

14

P.vivax, P.ovale pernah ditemukan di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Kondisi

wilayah yang adanya genangan air dan udara yang panas mempengaruhi tingkat

endemisitas penyakit malaria di suatu daerah (Harijanto; Agung Nugroho; Carta

2010).

Diagnosis Malaria. Diagnosis malaria secara pasti bisa ditegakkan jika

ditemukan parasit malaria dalam darah penderita. Oleh karena itu, cara diagnosis

malaria yang paling penting adalah dengan memeriksa darah penderita secara

mikroskopis dengan membuat pengecatan GIEMSA tipis/tebal yang merupakan

gold standard dalam diagnosis malaria. Mikroskop dapat mendeteksi 20-50 μl

parasit per darah (Depkes 2007).

Hubungan Malaria Terhadap Anemia Ibu Hamil. Menurut defenisi

WHO, anemia pada kehamilan adalah bila kadar hemoglobin (Hb) < 11 g/ dl.

Mc. Gregor; Wilson; Billewicz (1983) mendapatkan data bahwa penurunan kadar

Hb dalam darah hubungannya dengan parasitemia, terbesar terjadi pada

primigravida dan berkurang sesuai dengan peningkatan paritas. Van Dongen and

Van’t hof MA (1983) melaporkan bahwa di Zambia, primigravida dengan infeksi

P. falciparum merupakan kelompok yang berisiko tinggi menderita anemia

dibandingkan dengan multigravida. Di Nigeria Fleming; Harriso K.A; Briggs N. D

(1984) melaporkan bahwa malaria sebagai penyebab anemia ditemukan pada

40% penderita anemia primigravida.

Anemia pada malaria terjadi karena lisis sel darah merah yang

mengandung parasit (Harijanto; Agung Nugroho; Carta 2010). Hubungan antara

anemia dan splenomegali dilaporkan oleh Brabin B.J, Ginny; M Sapau; Galme K

and Paino J (1990) yang melakukan penelitian pada wanita hamil di Papua Neu

Geuinea, dan menyatakan bahwa makin besar ukuran limpa makin rendah nilai

Hb-nya. Pada penelitian yang sama Brabin melaporkan hubungan BBLR (berat

badan lahir rendah) dan anemia berat pada primigravida. Ternyata anemia yang

terjadi pada trimester pertama kehamilan, sangat menentukan apakah wanita

tersebut akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena

kecepatan pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia

kehamilan.

Kecacingan

Salah satu penyebab anemia gizi adalah kehilangan darah secara

kronis. Kehilangan besi dapat pula diakibatkan oleh infestasi seperti cacing. Hal

Page 11: BAB II Tinjauan Pustaka

15

ini lazim terjadi di negara tropis, lembab serta kondisi sanitasi yang buruk

(Arisman 2004). Infeksi kecacingan pada manusia baik oleh cacing gelang,

cacing cambuk maupun cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan yang

menahun yang berakibat menurunnya cadangan besi tubuh dan akhirnya

menyebabkan timbulnya anemia kurang besi (Pawlowski, ZS; Ga, Sehad; and

GJ, Stott 1991).

Pada daerah-daerah tertentu anemia gizi diperberat keadaannya oleh

investasi cacing. Cacing menempel pada dinding usus dan memakan darah.

Akibat gigitan sebagian darah hilang dan dikeluarkan dari dalam badan bersama

tinja. Jumlah cacing yang sedikit belum menunjukkan gejala klinis tetapi bila

dalam jumlah yang banyak yaitu lebih dari 1000 ekor maka orang yang

bersangkutan dapat menjadi anemia.

Perdarahan itu terjadi akibat proses penghisapan aktif oleh cacing dan

juga akibat perembesan darah disekitar tempat hisapan. Cacing berpindah

tempat menghisap, setiap 6 jam perdarahan di tempat yang ditinggalkan segera

berhenti dan luka menutup kembali dengan cepat karena turn over sel epithel

usus sangat cepat.

Kehilangan darah yang terjadi pada infeksi kecacingan dapat disebabkan

oleh adanya lesi yang terjadi pada dinding usus juga oleh karena dikonsumsi

oleh cacing itu sendiri, walaupun ini masih belum terjawab dengan jelas

termasuk berapa besar jumlah darah yang hilang dengan infeksi cacing ini

Metode untuk mengetahui banyaknya cacing di dalam usus dapat

dilakukan dengan menghitung banyaknya telur dalam tinja. Bila di dalam tinja

terdapat sekitar 2000 telur/gram tinja, berarti ada kira-kira 80 ekor cacing di

dalam perut dan dapat menyebabkan darah yang hilang kira-kira sebanyak 2 ml

per hari. Dengan jumlah 5000 telur/gram tinja adalah berbahaya untuk kesehatan

orang dewasa. Bila terdapat 20.000 telur/gram tinja berarti ada kurang lebih 1000

ekor cacing dalam perut yang dapat menyebabkan anemia berat (Depkes 2007).

Diagnosis seseorang terinfeksi cacing secara pasti bisa ditegakkan jika

ditemukan salah satu atau lebih jenis telur cacing dalam pemeriksaan feses

secara laboratorium. Metode yang biasa digunakan adalah Kato-Katz

(Depkes, 2007).

Beberapa penelitian tentang variabel penyakit malaria dengan infeksi

cacing dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini :

Page 12: BAB II Tinjauan Pustaka

16

Tabel 3 Hasil penelitian hubungan malaria dan kecacingan dengan anemia pada ibu hamil

No

Peneliti/ Tahun

Judul Desain studi Hasil

1

2

.

3

.

Wijianto

(2007)

Mangihut

Silalahi

(2006)

Lidia

Gomes

(2004)

Kontribusi infeksi

malaria, infeksi

kecacingan terhadap

anemia ibu hamil di Kab.

Banggai

Analisis Faktor Yang

Berhubungan Dengan

Anemia Ibu Hamil Di Kab.

Dairi Tahun 2006

Hubungan Malaria

falciparum dan Malaria

vivax pada Ibu Hamil

dengan Kejadian Anemia

di Kab. Purworejo,

Provinsi Jateng

Cross-

sectional

Sekat Silang

Kohort

retrospektif

- Ada hubungan anemia

dengan infeksi

kecacingan.

- Ibu hamil yang terinfeksi

kecacingan berisiko 5 kali

(95% CI : 1.592-16.809)

menderita anemia

dibanding dengan yang

tidak terinfeksi cacing

-Parasit (cacing) secara

signifikan berpengaruh

terhadap anemi, dengan

p= 0.000 OR= 12.078

- ibu hamil dengan malaria

falciparum mengalami

anemia (OR 8.560, CI

95% = 1.674 - 43.766)

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Pemeriksaan Kehamilan. Beberapa hal yang penting pada pelayanan

kesehatan pada kehamilan yang baik ialah :

1. Semua wanita hamil mendapatkan kesempatan dan menggunakan

kesempatan untuk menerima pengawasan serta pertolongan dalam

kehamilan, persalinan, dan nifas.

2. Pelayanan yang diberikan bermutu.

3. Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit, namun ada

kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit jika terjadi

komplikasi.

4. Diberikan prioritas bersalin di rumah sakit untuk :

Page 13: BAB II Tinjauan Pustaka

17

a. Wanita dengan komplikasi obstetrik (panggul sempit, pre-eklampsia

dan eklampsia, kelainan letak, kehamilan ganda dan sebagainya);

b. Wanita dengan riwayat obstetrik yang jelek (perdarahan postpartum,

kematian janin sebelum lahir, dan lain-lain pada kehamilan

sebelumnya);

c. Wanita hamil dengan penyakit umum, seperti penyakit jantung,

diabetes dan sebagainya;

d. Wanita dengan kehamilan ke 4 atau lebih;

e. Wanita dengan umur 35 tahun keatas;

f. Primigravida;

g. Wanita dengan keadaan di rumah yang tidak memungkinkan

persalinan dengan aman.

5. Adanya pencatatan yang baik mengenai kelahiran serta kematian

maternal menurut umur dan paritas. Adanya pencatatan mengenai

kematian perinatal serta penyebab kematian maternal dan perinatal

(Wiknjosastro 1999 dalam Herlina 2005).

Menurut Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal

(Depkes 2005), kunjungan kehamilan atau kunjungan antenatal sebaiknya

dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali pada triwulan

pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga.

Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7T” yaitu : (Timbang)

berat badan; ukur (Tekanan) darah; ukur (Tinggi) fundus uteri; pemberian

imunisasi (Tetanus Toksoid) TT lengkap; konsumsi (Tablet) tambah darah,

minimum 90 tablet selama kehamilan, (Tes) terhadap penyakit menular

seksual; serta (Temu) wicara dalam rangka persiapan rujukan.

Penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara kunjungan

Antenatal Care (ANC) dengan kejadian anemia menunjukkan ada hubungan

antara kunjungan ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil dengan nilai

p=0.02 < α=0.05 (Rahmatiah 2005).

Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Tambah Darah. Kepatuhan berasal

dari kata dasar patuh yang berarti taat. Kepatuhan adalah tingkat pasien

melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan dokter atau oleh

orang lain (Arisman 2004).

Page 14: BAB II Tinjauan Pustaka

18

Menurut Sudarwati (1998) dalam Rias Wipayani (2008), tingkat kepatuhan

adalah pengukuran pelaksanaan kegiatan, yang sesuai dengan langkah-langklah

yang telah ditetapkan, tingkat kepatuhan dapat di kontrol bahwa pelaksana

program telah melaksanakan kegiatan sesuai standar.

Kepatuhan pasien yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman

tentang pentingnya perilaku tersebut dapat disusul dengan kepatuhan yang

berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan

petugas kesehatan atau dengan tokoh yang menganjurkannya.

Motivasi ini belum dapat dijadikan jaminan bahwa pasien akan mematuhi

seterusnya karena jika pasien sudah merasa jenuh atau bosan maka dia tidak

perlu lagi melanjutkan perilaku tersebut (Sarwono 1997 dalam Rias Wipayani

2008).

Kadang-kadang tablet tambah darah menimbulkan perasaan tidak enak

seperti sakit perut, tidak enak, mual, susah buang air besar, tinja berwarna hitam,

ini karena kandungan zat besinya tinggi yaitu 200 mg atau 60 mg besi elemental

dan 0.25 mg asam folat. Hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi efek

tersebut sebaiknya tablet tambah darah di minum setelah makan malam atau

menjelang tidur, akan tetapi lebih baik bila setelah minum tablet tambah darah

disertai makan buah-buahan yang mengandung vitamin C tinggi (Nuri 2005

dalam Rias Wipayani 2008).

Menurut WHO (1995) manfaat dan kepatuhan ibu hamil meminum tablet

tambah darah yaitu :

1. Bisa mencegah anemia defisiensi besi

Karena pada wanita hamil cenderung mengalami defisiensi baik zat besi

maupun folat. Oleh karena itu penting sekali bagi ibu hamil untuk meminum

tablet tambah darah setiap hari.

2. Bahaya selama kehamilan, persalinan dan nifas dapat dihindari

Sedangkan dampak dari ketidakpatuhan ibu hamil meminum tablet tambah

darah yaitu:

1. Bisa terjadi anemia defisiensi besi

2. Meningkatkan bahaya kehamilan, persalinan dan nifas

Untuk program pencegahan anemia di daerah dengan prevalensi rendah

ibu hamil diharuskan mengkonsumsi tablet besi sehari satu tablet (60 mg

elemental iron dan 0,25 mg asam folat) berturut-turut selama minimal 90 hari

masa kehamilannya, sampai 42 hari setelah melahirkan. Seorang ibu hamil bila

Page 15: BAB II Tinjauan Pustaka

19

kadar Hb <11 gr/dl, konsumsi menjadi 3 tablet sehari selama 90 hari masa

kehamilannya, sampai 42 hari setelah melahirkan (Husaini 2001).

Adapun kemungkinan untuk toksis, misalnya terhadap penderita anemia

thalasemia perlu diperimbangkan. Namun toksis hampir tidak pernah terjadi pada

wanita hamil yang normal, selama tablet tambah darah diberikan secara oral,

kecuali efek samping pada sebagian orang, namun hal tersebut tidak

membahayakan. Oleh karena itu, tablet tambah darah diberikan pada semua ibu

hamil yang anemia maupun tidak anemia (Husaini 2001).

Beberapa hasil penelitian tentang variabel kepatuhan mengkonsumsi tablet

tambah darah dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4 Hasil penelitian hubungan frekuensi kunjungan antenatal care dan kepatuhan mengkonsumsi tablet tambah darah dengan anemia pada ibu hamil

No

Peneliti/ Tahun

Judul Desain studi

Hasil

1. Nina

Herlina,

Fauzia

Djamilus

(2004)

Faktor Risiko Kejadian

Anemia pada Ibu Hamil

cross

sectional

study

Potong

Lintang

cross

sectional

study

Kohort

retrospektif

Ibu hamil yang kurang patuh

mengkonsumsi tablet tambah

darah mempunyai proporsi

kejadian anemia sebesar

58.8%,

2. Sri Prihatini

(2007)

Faktor Determinan Risiko

Anemia WUS di Prop. Bali

dan Banten

Ketidakpatuhan

mengkonsumsi tablet tambah

darah berpeluang menderita

anemia (OR=0.440, CI= .243-

0.830)

3.

4.

Maya

Rahmatiah,

(2005)

Lidia

Gomes,

(2004)

Faktor yang berhubungan

dengan kejadian anemia gizi

ibu hamil di wilayah kerja

Puskesmas Puskesmas

Wongkaditi Kota Gorontalo

Hubungan Malaria falciparum

dan Malaria vivax pada Ibu

Hamil dengan Kejadian

Anemia di Kabupaten

Purworejo, Provinsi Jawa

Tengah

- Pada kelompok bumil

konsumsi tablet tambah

darah kurang mengalami

anemia sebesar 82.4% (ada

hubungan)

- Pada kelompok ANC

kurang kejadian anemia pada

ibu hamil sebesar 85,2% (ada

hubungan)

- Pelayanan kehamilan ANC

dengan standar minimal 5T

(OR 3.823, CI 95% = 1.149-

12.720)

Page 16: BAB II Tinjauan Pustaka

20

Kebiasaan Makan

Pola konsumsi merupakan gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis

bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari

gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Astawan 1998 dalam Farida 2007).

Pola konsumsi adalah cara individu atau kelompok individu memilih

bahan makanan dan mengkonsumsinya sebagai tanggapan dari pengaruh

fisiologi, sosial dan budaya diukur dengan frekuensi, jenis dan jumlah bahan

makanan yang dikonsumsi setiap hari (Suhardjo 2002).

Kebutuhan Zat Besi pada Masa Kehamilan. Selama masa kehamilan

terjadi pembentukan jaringan-jaringan baru melalui beberapa tahapan tertentu.

Jaringan-jaringan yang terbentuk, tumbuh dan berkembang dalam rahim tersebut

meliputi janin dan jaringan-jaringan lain yang berfungsi sebagai pendukung yang

mampu menjaga kelangsungan hidup janin.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi gizi yang kurang

selama kehamilan berdampak buruk pada bayi yang dilahirkan maupun bagi

sang ibu. Sering kali bayi yang kurang mendapat suplai zat gizi dari ibu, lahir

dalam keadaan meninggal dan ibu mengalami perdarahan pada saat melahirkan

dan akibat lain yang sering kali membahayakan kesehatan bayi seperti lahir

premature dan berat badan lahir rendah.

Jumlah zat besi yang dibutuhkan wanita hamil jauh lebih besar dari pada

saat tidak hamil. Pada trimester I kehamilan, kebutuhan zat besi lebih rendah

dibanding kebutuhan trimester berikutnya (Husaini 1989).

Kebutuhan akan zat besi selama kehamilan akan mengalami

peningkatan. Selama kehamilan (280 hari) terjadi kehilangan besi basal 250

mg, kebutuhan janin dan plasenta 315 mg dan kebutuhan untuk meningkatkan

massa hemoglobin (termasuk simpanan) 500 mg atau total sekitar 1.1 gram.

Pada trimester I belum ada kebutuhan yang meningkat drastis sehingga

kecukupan besi sama dengan kecukupan pada wanita dewasa yang masih

menstruasi yaitu 26 mg/hari. Pada saat melahirkan ada kehilangan besi

sekitar 250 mg sehingga sebanyak 250 mg masih tersimpan. Jika ditambah

dengan kebutuhan untuk janin dan plasenta 315 mg maka diperlukan besi

sekitar 550 mg. Jumlah ini harus dipenuhi selama trimester II dan III (192 hari)

maka diperlukan tambahan besi rata-rata 2.9 mg/hari atau 2.7 mg/hari selama

trimester II dan 3.1 mg/hari selama trimester III. Median kehilangan besi basal

dalah 0,8 mg/hari (55 kg x 0.014 mg/kg/hari). Dengan tingkat penyerapan

Page 17: BAB II Tinjauan Pustaka

21

10%, maka Estimated Average Requirement (EAR) trimester II adalah 35

mg/hari dan trimester III adalah 39 mg/hari. Demikian maka Recommended

Dietary Allowance (RDA) trimester II adalah 42 mg/hari dan trimester III

adalah 47 mg/hari. Tingkat penerapan besi selama masa kehamilan sangat

efisien (ditetapkan 12%) sehingga RDA yang telah disesuaikan adalah 35

mg/hari untuk trimester II dan 39 mg/hari untuk terimester III (FAO/WHO

2001 dalam Rahmatiah 2007).

Kebutuhan zat gizi selama kehamilan dapat terpenuhi dari makanan

normal yang bervariasi, kecuali kebutuhan akan zat besi. Oleh karena itu, pada

trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan tambahan zat besi

berupa suplementasi zat besi.

Sumber Zat Besi dari Makanan. Zat besi merupakan mikroelemen yang

esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam pembentukan darah, yaitu dalam

sintesa hemoglobin (Sediaoetama 1999).

Zat besi di dalam tubuh sebagian disimpan di dalam hati dalam bentuk

feritin. Apabila konsumsi zat besi dari makanan tidak cukup maka zat besi dari

feritin dimobilisasi untuk memproduksi hemoglobin. Jumlah zat besi yang

diserap tubuh setiap harinya hanya 1 mg atau setara dengan 10-20 mg zat besi

yang terkandung dalam makanan. Zat besi dalam pangan nabati berbentuk

ikatan feri ini harus dipecah terlebih dahulu dalam bentuk fero oleh getah

lambung. Sementara dalam pangan hewani zat besi sudah berada dalam bentuk

fero yang lebih mudah diserap. Zat besi dari pangan hewani sering disebut

heme-iron, sedangkan yang berasal dari nabati disebut non heme-iron. Sumber

zat besi nabati hanya diserap 1-2%, sedangkan penyerapan zat besi asal bahan

makanan hewani dapat mencapai 10-20%.

Diperkirakan wanita hamil sampai melahirkan memerlukan zat besi kurang

lebih 40 mg/hari atau 2 kali lipat kebutuhannya dari pada saat kondisi normal

(tidak hamil). Tidak mengherankan bila banyak wanita hamil akhirnya menderita

anemia gizi besi karena kebutuhan meningkat, tetapi konsumsi makanannya

tidak memenuhi syarat gizi. Salah satu upaya mengatasi anemia adalah

memperbaiki mutu makanan. Di Indonesia, berbagai penelitian menunjukkan

bahwa ibu hamil mengkonsumsi pangan pokok, pangan hewani, sayur dan buah

dalam jumlah yang tidak memadai, yang berimplikasi pada tidak terpenuhinya

kebutuhan energi, protein dan berbagai mineral yang penting bagi kehamilan

seperti besi, iodium dan seng yang kaya dalam pangan hewani, serta vitamin

Page 18: BAB II Tinjauan Pustaka

22

utamanya vitamin C dan asam folat yang banyak terkandung pada buah dan

sayur (Hardinsyah 2002 dalam Patimah 2007). Demikian pula dengan hasil

penelitian Herlina (2005) yang melaporkan bahwa semakin kurang baik pola

makan, maka semakin tinggi angka kejadian anemia pada ibu hamil, dan hal ini

menunjukkan kebermaknaan secara statistik (p < 0.05).

Anemia gizi besi sering juga dihubungkan dengan konsumsi makanan

yang rendah kandungan zat besinya, serta faktor yang dapat mempercepat dan

menghambat penyerapan zat besi. Khusus pada ibu hamil, kecukupan asupan

tidak hanya dipenuhi dari konsumsi makanan sumber zat besi (daging, sapi,

ayam, ikan, telur, dan lain lain), tetapi dipengaruhi juga oleh variasi penyerapan,

yang disebabkan oleh kondisi fisiologis ibu hamil, sehingga meningkatkan

kebutuhan zat besi, jenis zat besi yang dikonsumsi, dan faktor yang menghambat

dan mempercepat penyerapan zat besi.

Tabel 5 Jenis bahan makanan yang mempercepat dan menghambat penyerapan zat besi

No Bahan Makanan Fe

(mg/100g) Protein

(gr/100 g) Vit.C

(mg/100 g) Serat

(gr/100 g)

Menghambat penyerapan Fe

1 Beras ketan hitam tumbuk 6.2 8.0 0 1.0 2 Jagung 2.8 6.2 0 2.6 3 Daun kelor 6.0 5.1 22 8.2 4 Daun Singkong 2.0 6.2 103 2.4 5 Daun Pakis 2.3 4.5 2.5 2.0 6 Buncis 0.7 2.4 11 1.9 7 Jambu bool 0.3 2.3 22 3.5 8 Teh 11.8 19.5 0 0 9 Kopi 4.1 17.4 0 0

Mempercepat penyerapan Fe

1 Tempe 4.0 20.8 0 1.4 2 Tahu 3.4 10.9 0 0.1 3 Udang segar 8.0 21 0 0 4 Kerang 15.6 14.4 0 0 5 Ikan segar 1.0 17 0 0 6 Telur ayam ras 3.0 12.8 0 0 7 Daging sapi (sedang) 2.8 18.8 0 0 8 Daging ayam 1.5 18.2 0 0 9 Hati sapi 6.6 19.7 31 0 10 Jeruk 0.4 0 49 0 11 Pepaya 1.7 0.5 78 0 12 Mangga 1.0 0.5 12 1.6 13 Daun katuk 3.5 6.4 164 1.5 14 Kangkung 2.3 3.4 17 2.0 15 Sawi 2.9 2.3 102 0 16 Kacang panjang 0.6 2.3 46 2.7

Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesi (PAGI, 2009)

Oleh karena itu, keanekaragaman konsumsi makanan sangat penting

Page 19: BAB II Tinjauan Pustaka

23

dalam membantu mempercepat penyerapan zat besi di dalam tubuh. Kehadiran

protein hewani, vitamin C, seng, asam folat, dapat mempercepat penyerapan zat

besi dalam tubuh. Namun pada sebagaian menu masyarakat juga mengandung

serat dan fitat yang merupakan faktor menghambat penyerapan besi

(Sediaoetama 1999).

Kebiasaan Makan Ibu Hamil. Kebiasaan makan ibu hamil harus

mengacu pada RDA (Recommended Dietary Allowance) atau AKG (Angka

Kecukupan Gizi), dimana banyak unsur-unsur zat gizi dibutuhkan dalam jumlah

yang lebih besar dibandingkan dengan sebelum hamil. Melalui aneka ragam

bahan makanan, kekurangan zat gizi pada bahan makanan yang satu dapat

dilengkapi oleh jenis bahan makanan lainnya. Bahan pangan yang dikonsumsi

hendaknya terdiri atas sumber energi, protein (hewani dan nabati), susu dan

olahannya, roti dan biji-bijian, serta buah dan sayur. Jika seluruh bahan makanan

ini digunakan, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan akan terpenuhi, kecuali zat

besi dan asam folat harus ditambahkan melalui suplementasi (Arisman 2004).

Tabel 6 Daftar tambahan kebutuhan jumlah setiap zat gizi selama kehamilan

Penilaian Kebiasaan Makan. Metode food frequency dibuat untuk

mendapatkan informasi tentang pola makan atau kebiasaan makan seseorang

Page 20: BAB II Tinjauan Pustaka

24

secara kualitatif. Tujuan dari food frequency untuk menentukan frekuensi

penggunaan bahan makanan selama periode tertentu (setiap hari, minggu,

bulan, tahun). Sedangkan metode food frequency semi quantitative di samping

melihat bahan makanan yang biasa dikonsumsi sampel, juga mengukur porsi

dari bahan makanan yang dikonsumsi. Untuk membantu sampel dalam

mengingat jumlah bahan makanan yang dikonsumsi, digunakan food models.

Dengan demikian metode food frequency semi quantitative dapat

menggambarkan kebiasaan konsumsi sehari-hari di masa lalu. Keuntungan dari

metode food frequency semi quantitative adalah cepat, relatif tidak mahal, dapat

memperkirakan makanan yang biasa dikonsumsi beserta frekuensi dan porsinya

(Gibson 1993 dalam Patimah 2007).

Tabel 7 Hasil penelitian hubungan kebiasaan makan dengan anemia pada ibu hamil

No Peneliti/ Tahun

Judul Desain studi

Hasil

1

2.

Nina

Herlina

(2005)

St.

Patimah

(2007)

Faktor Risiko Kejadian

Anemia pada Ibu Hamil di

Wilayah Kerja Puskesmas

Bogor

Kebiasaan makan Ibu hamil

dan Hubungannya dengan

Kejadian Anemia Gizi Besi

cross

sectional

study

cross

sectional

study

Semakin kurang baik pola

makan, maka akan

semakin tinggi angka

kejadian anemia. Hasil uji

statistic juga menunjukkan

kebermaknaan (p > 0.05).

Faktor penyebab

terjadinya anemia,

kebiasaan makan

merupakan faktor yang

paling dominan (50%)

Peran Keluarga

Berbagai faktor penyebab langsung kematian ibu hamil seperti

perdarahan, infeksi, sepsis dan eklamsia (keracunan kehamilan). Secara tidak

langsung di pengaruhi oleh keterjangkauan dan kualitas pelayanan perawatan

antenatal dan persalinan serta kesehatan wanita secara umum dan kesiapan

untuk hamil. Terkait dengan kompleksitas permasalahan pada kesehatan ibu

hamil, diperlukan pendekatan yang multi sektoral. Intervensi medis yang telah

dilaksanakan selama ini perlu didukung oleh lingkungan sosial-ekonomi,

hubungan sosial dan hubungan gender yang setara, termasuk diantaranya

Page 21: BAB II Tinjauan Pustaka

25

adalah dukungan yang melibatkan peran laki-laki (suami) dan anggota keluarga

lainnya. Hal ini karena suami atau keluarga, mempunyai peran kunci selama

kehamilan, persalinan dan setelah bayi lahir. Keputusan dan tindakan mereka

berpengaruh terhadap kesakitan, kesehatan dan kematian bayi (Thadeus, S and

Maine, D 1994).

Dalam perawatan selama kehamilan (antenatal), peran suami dan

anggota keluarga lainnya diperlukan untuk mendukung ibu hamil agar

mendapatkan pelayanan antenatal yang baik, termasuk ikut serta dalam

konsultasi pada saat pemeriksaan antenatal. Dengan keikutsertaan dalam

kegiatan konseling, diharapkan suami dan atau anggota keluarga lainnya dapat

mempelajari mengenai gejala dan komplikasi-komplikasi selama kehamilan yang

mungkin dialami oleh ibu (Widayatun 2001).

Dukungan suami dan anggota keluarga lainnya dalam pemeliharaan

kesehatan ibu hamil dan menjaga agar bayi dapat dilahirkan dengan selamat

adalah melalui usaha menjamin ibu hamil mendapatkan makana bergizi,

terutama makanan yang banyak mengandung zat besi dan vitamin A (Widayatun

2001).

Peranan keluarga dalam penelitian ini adalah usaha-usaha yang

dilakukan keluarga untuk meningkatan kesehatan ibu hamil yang terdiri atas

anjuran melakukan pemeriksaan kehamilan sesuai waktunya, anjuran untuk

rutin meminum tablet tambah darah, bersedia mengantar ibu untuk

memeriksakan kehamilan, turut menyediakan makanan sehat untuk ibu serta

senantiasa memberikan informasi tentang cara menjaga kesehatan selama

kehamilan. Sedangkan keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri

dari suami, orang tua atau mertua, anak serta anggota keluarga lainnya

seperti kakak, adik, ipar dan kakek serta nenek.