bab ii tinjauan pustaka
DESCRIPTION
1TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
2.1.1 Fisiografi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949), Pulau Sumbawa terletak pada busur
Kepulauan Banda yang merupakan kelanjutan dari Zona Solo (Gambar 2.1).
Busur yang berarah Timur-Barat, merupakan hasil tumbukan antara Lempeng
Eurasia dengan Lempeng Pasifik dengan tepi benua dari Lempeng Australia.
Gambar 2.1 Fisiografi Pulau Sumbawa yang merupakan bagian dari busur magmatik Sunda- Banda (Garwin, 2002)
Bagian barat Pulau Sumbawa terbentuk olek kompleks produk gunung api
plutonik yang berumur Tersier Awal. Bagian utara pulau ini ditutupi oleh produk
hasil letusan gunung api Kuarter maupun yang masih aktif hingga sekarang yang
menerus ke arah timur dari Pulau Lombok, Sumbawa dan Flores. Pada bagian
barat pantai ditutupi oleh sedimen epiklastik berupa breksi laharik dan endapan
alluvial yang terbentuk dari gundukan vulkanik (Royle, 1990).
Bagian utara Pulau Sumbawa terdiri dari jalur gunungapi vulkanik
Kuarter, dengan puncak tertinggi mencapai 2851 meter di atas permukaan laut,
yaitu Gunung Tambora. Di bagian selatan didominasi oleh batuan Tersier awal
9
yang berupa satuan batuan vulkanik, aliran lava, sisipan batugamping dan
beberapa batuan intrusi, dengan fisiografi berupa punggungan – punggungan
kasar dan tak teratur, yang disayat oleh sistem perkembangan berarah Timurlaut –
Baratdaya dan Timurlaut – Tenggara dengan ketinggian bukit berkisar antara 800
– 1400 meter di atas permukaan laut. Di daerah pantai ditutupi oleh batuan
sedimen epiklastik dan aluvial. Struktur regional berarah barat–barat laut dan
utara yang ditunjukkan oleh kelurusan citra satelit, foto udara, survei udara
magnet.
Batuan tertua yang tersingkap di barat daya Pulau Sumbawa adalah batuan
yang berumur Miosen Akhir yang terdiri dari batuan-batuan piroklastik dan aliran
lava andesitik yang termalihkan secara regional menjadi lower greenschist facies.
Di samping itu terdapat pula batugamping dalam jumlah sedikit. Batuan di atas
kemudian diintrusi oleh andesit-basalt, dasit, tonalit dan diorit kuarsa yang
diperkirakan berumur Miosen Tengah.
2.1.2 Geomorfologi
Geomorfologi daerah Batu Hijau merupakan tubuh gunung api purba yang
telah mengalami intrusi dan proses eksogenik pada tingkat lanjut, yang terletak
pada pusat erupsi. Hal ini dicirikan dengan terdapatnya zona hidrotermal, yang
berpusat pada suatu tubuh batuan terobosan berbentuk stock yang dikelilingi oleh
batuan vulkanik yang tersusun dari perselingan antara batuan pirokastik dan lava,
dengan pusat lubang erupsi yang sudah tidak diketahui lagi letaknya (tidak
teramati lagi).
Daerah Batu Hijau termasuk dalam bentuklahan vulkanik, yaitu
bentuklahan yang proses pembentukannya dikontrol oleh proses keluarnya magma
dari dalam bumi. Bentuklahan vulkanik biasanya berhubungan dengan aktivitas
magmatisme karena adanya gerak – gerak tektonik di zona penujaman yang
membentuk gunung api.
Dari hasil pengamatan peta, pola aliran daerah Batu Hijau adalah radial
memancar yang dikontrol oleh kondisi litologi batuan beku dengan struktur –
struktur patahan di sekitarnya. Hulu sungai berada pada ketinggian 550 meter di
10
atas permukaan laut, dengan kemiringan yang besar, badan sungai berbentuk V
dan pada umumnya berstadium muda hingga dewasa. Mayoritas sungai
merupakan sungai tetap dengan air selalu mengisi badan sungai sepanjang tahun,
sementara sebagian lagi merupakan sungai yang hanya terisi air setelah terjadi
hujan yang biasanya terdapat pada alur – alur perbukitan.
2.1.3 Stratigrafi Regional
Stratigrafi daerah Sumbawa bagian Barat secara umum tersusun oleh
batuan sedimen, batuan vulkanik dan batuan intrusif. Batuan yang tertua berumur
Miosen awal sedangkan batuan intrusif diperkirakan berumur Miosen Tengah
bagian akhir (Gambar 2.2).
Sudrajat, dkk., (1998) menyebutkan stratigrafi daerah Sumbawa bagian
Barat yang tersusun dari mulai umur tua ke muda sebagai berikut:
I. Batuan Sedimen
II. Batuan Vulkanik
III. Batuan Terobosan
Adapun penjelasan mengenai satuan tersebut sebagai berikut:
I. Batuan Sedimen
Batuan sedimen yang terdapat di sekitar daerah penelitian terdiri dari
satuan terumbu koral terangkat, satuan batulempung tufan, satuan batugamping
koral, satuan batugamping dan satuan batupasir tufan. Batuan sedimen ini
berumur Pliosen hingga Miosen Tengah.
II. Batuan Vulkanik
1. Satuan Lava Breksi
Satuan lava breksi terdiri dari lava, lahar, tuf, dan abu gunung api yang
berkomposisi andesitik. Batuan terutama bersusunan kalsium alkali dan terdiri
dari andesit hornblende dan augit hornblende yang keduanya berupa pumice,
andesit serta andesit augit berbiotit.
2. Satuan Lava Andesit-Basalt
Satuan lava andesit - basalt terdiri dari breksi gunung api, lahar tuf, abu
dan lava yang berkomposisi andesit dan basalt.
11
3. Satuan Breksi Tanah Merah
Satuan breksi tanah merah terdiri dari breksi gunung api yang
berkomposisi andesitik. Satuan breksi tanah merah memiliki umur Kuarter.
4. Satuan Breksi Tuf
Terdiri dari breksi dengan komponen andesitik, bersisipan tuf, kadang-
kadang terdiri dari lahar, lava andesit dan basalt. Umumnya berstruktur bantal
dengan sisipan rijang. Satuan batuan setempat terpropilitkan, termineralisasikan
dan tersekiskan dimana dapat terlihat dari urat kuarsa dan kalsit. Satuan ini
berumur Miosen.
III. Batuan Terobosan
Merupakan batuan terobosan yang terdiri dari andesit, basalt, dasit serta
batuan yang tidak teruraikan yang sebagian besar batuan beku lelehan. Satuan ini
menerobos batuan berumur Miosen Awal. Dasit dan andesit biasanya berisi pirit.
Gambar 2.2 Kondisi geologi Batu Hijau yang terletak di sebelah Baratdaya Pulau
Sumbawa (Garwin, 2002)
Secara spesifik, stratigrafi daerah Batu Hijau dimulai dari satuan batuan
yang paling tua ke yang paling muda yaitu satuan batuan volkanik, satuan dorit
kuarsa dan satuan tonalit sebagaimana terlihat pada kolom stratigrafi daerah Batu
Hijau (Gambar 2.3). Satuan batuan volkanik terdiri dari batuan volkaniklastik
berukuran halus berupa tuf halus, tuf kristal dan intrusi andesit porfir. Intrusi
12
kedua adalah intrusi diorit kuarsa porfiritik dan diorit kuarsa ekuigranular. Semua
seri batuan ini diintrusi oleh batuan tonalit tua, tonalit menengah dan tonalit
muda.
Gambar 2.3 Kolom Stratigrafi Batu Hijau Menurut Garwin (2000)
2.1.3. Tektonik Regional
Pulau Sumbawa terletak di bagian pusat busur sunda yang memisahkan dua
sektor yaitu Busur Sunda di bagian Barat dan Busur Banda di bagian Timur.
Menurut Sudrajat, dkk., (1998) menjelaskan struktur pulau ini terutama terdiri
dari sistem retakan yang berarah Baratlaut-Tenggara dan Timurlaut-Baratdaya.
Berdasarkan pergerakan dan pergeseran batuan, sistem pensesaran ini tampaknya
merupakan sesar jurus akan tetapi di antara Pulau Moyo dan Teluk Saleh terdapat
sesar normal.
Pada bagian pusat Pulau Sumbawa terdapat depresi yang dibatasi oleh dua
sistem patahan utama yaitu arah Baratlaut - Tenggara dan arah Timurlaut -
Baratdaya yang masih aktif di Gunung Tambora. Sedangkan yang berarah
Baratlaut - Tenggara dan Timurlaut - Baratdaya pada bagian Barat dari blok yang
rendah berupa sesar mendatar sinistral dengan pergerakan horizontal. Kelurusan
Barat-Timur diisi oleh jajaran gunung api yang besar yang terbentuk pada Kala
Pleistosen di sepanjang Pantai Utara.
13
Pulau Moyo dan Medang terangkat pada Zaman Kuarter, kedudukan
Medang yang secara struktur naik serta adanya lava bantal di Pulau Moyo
menunjukan bahwa Pulau Moyo merupakan sisa kaldera di lereng tenggara
gunung bawah laut Neogen.
Gambar 2.4 Kondisi tektonik Batu Hijau yang terletak di busur magmatik Sunda – Banda (Garwin, 2002)
Pola struktur utama yang ada di Batu Hijau terdiri dari struktur berarah
Barat - Baratlaut yaitu zona sesar Tongoloka-Puna, Katala dan Petung serta
struktur berarah Utara - Timurlaut yaitu zona sesar Nono, Bambu, dan Rene. Zona
struktur diketahui dari data sesar pada pemetaan permukaan dan lubang bor.
Clode, dkk., (1998) menyebutkan bahwa struktur sesar dapat diinterpretasikan
dari intensifnya rekahan pada contoh inti bor, keterdapatan gouge serta zona
ubahan mineral lempung. Secara umum, patahan - patahan tersebut hanya sedikit
mengakibatkan penggantian dari zonasi alterasi dan mineralisasi.
Zona sesar Tongoloka - Puna terdiri dari pusat tubuh bijih, panjang ±600m
dengan arah Barat - Baratlaut, kemiringan 600 - 700. Endapan yang terletak pada
Timurlaut yaitu zona sesar Katala, panjang ± 525m dengan arah Barat - Baratlaut
14
dan kemiringan 67o ke arah Timurlaut. Zona sesar Nono dan Bambu berarah
Utara-Timurlaut dan kemiringan 75o ke arah Barat-Baratlaut. Batas Selatan terjadi
pada bagian Tenggara dari endapan dengan arah Utara-Timurlaut dengan
kemiringan 75o-80o ke arah Tenggara. Urat-urat dan dike kecil pada peta
permukaan menunjukan pola yang sama dengan struktur berarah Timurlaut.
2.1.4 Sejarah Geologi
Sejarah Geologi daerah penelitian berawal pada Miosen Awal. Pada masa
itu daerah ini merupakan suatu cekungan. Pada cekungan tersebut diendapkan
batuan sedimen klastik pada lingkungan neritrik, sebagian endapan terdiri dari
bahan gunung api dan karbonat yang termasuk dalam satuan batupasir tufan dan
satuan batugamping. Pengendapan sedimen ini didahului oleh terjadinya kegiatan
gunung api andesit basalt. Keadaan ini menunjukan bahwa penunjaman yang
menghasilkan busur kegunungapian di jalur ini mulai terjadi sejak Miosen.
Pada Miosen Tengah kegiatan kegunungapian andesit basalt mereda, tetapi
sebagai gantinya muncul bahan yang bersusun dasit dan riolit yang termasuk
satuan lava dasit, disertai pengendapan satuan batupasir tufan dan satuan
batugamping terumbu pada lingkungan laut yang dangkal hingga batial. Pada
Miosen Tengah terjadi kegiatan tektonik yang menghasilkan ketidakselarasan
antara satuan breksi gunungapi, andesit basalt, satuan lava dasit dan satuan
batugamping.
Pada akhir Miosen Tengah atau awal Miosen Akhir terjadi kegiatan
tektonik berupa pengangkatan, pensesaran dan perlipatan batuan yang telah ada
yang membentuk struktur yang berarah Baratdaya - Timurlaut sampai Baratdaya-
Tenggara yang disertai kegiatan magma yang menerobos yang komposisi
magmanya asam - menengah. Sementara itu pengendapan sedimen laut
berlangsung terus sampai Pliosen bahkan Kuarter.
Pada Miosen Akhir terjadi penurunan yang diikuti oleh pengendapan tufa,
batupasir tufan dan batugamping yang termasuk satuan tufa andesit-basalt dan
satuan batugamping pada lingkungan neritik hingga laut dalam. Di samping itu
juga terjadi kegiatan gunung api di dalam laut yang menghasilkan lava, breksi,
15
aglomerat dan tufa bersama basalt-andesit-dasit yang dengan batuan gampingan
termasuk kedalam satuan lava andesit-basalt. Kegiatan ini berlangsung sampai
Pliosen Awal sementara itu kegiatan gunung api pada akhir Pliosen umumnya
melemah dan hanya menghasilkan tufa.
Pada akhir Plio-Pliosen terjadi pengangkatan sehingga kegiatan
kegunungapian meningkat lagi, sehingga terbentuk batuan gunung api dengan
susunan berupa andesit – basalt - terfileusit, disamping itu terjadi perlipatan yang
cukup kuat pada Plistosen awal dan Plistosen Akhir.
Pada Holosen awal kegiatan kegunungapian terus berlangsung sampai saat
ini yang sangat erat hubungannya dengan gerak lempeng Samudera India-
Australia, disamping itu proses geologi yang masih berlangsung hingga saat ini
adalah proses eksogenik berupa erosi dan pelapukan.
2.2 Bahan Galian Logam
Bahan galian logam adalah batuan atau mineral-mineral yang di dalamnya
terdapat unsur logam, yang dapat diambil untuk kepentingan manusia. Logam
diartikan sebagai unsur yang mempunyai kemampuan melepas elektron
membentuk ion positif, umumnya mempunyai permukaan cenderung mengkilat,
baik untuk penghantar panas dan listrik, serta dapat dilebur maupun dipipihkan.
Bahan galian logam sering disebut endapan bijih. Bijih (ore) adalah suatu batuan
atau kumpulan mineral yang memiliki komposisi logam yang bernilai ekonomis
dan dapat diekstrak. Bijih terdiri dari mineral-mineral yang bernilai ekonomis
karena memiliki komposisi logam yang disebut mineral bijih (ore mineral) serta
mineral yang tidak bernilai ekonomis yang disebut mineral penyerta (gangue
mineral).
Mineral Bijih
Sebagian besar mineral bijih tidak tembus cahaya atau opak, sedangkan
mineral penyerta tembus cahaya. Craig (1981) menyebut bahwa mineral bijih
harus dapat diekstrak logamnya, misalnya kalkopirit dapat diekstrak tembaganya
(Tabel 2.1). Walaupun suatu mineral memiliki komposisi logam, tetapi kalau
tidak dapat diekstrak, maka tidak dikategorikan sebagai mineral bijih.
16
Sebagian besar mineral bijih terbentuk sebagai sulfida, garam sulfo,
oksida, hidroksida, maupun unsur tunggal. Sedangkan mineral penyerta pada bijih
umumnya hadir sebagai silikat dan karbonat. Mineral bijih menurut (Sutarto,
2004)) dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu :
a. Native metals and semimetals : emas, tembaga, perak, dan lain-lain.
b. Sulphides and sulphosalt, umumnya merupakan mineral-mineral bijih dari
logam non-ferrous : sfalerit, galena, kalkosit, dan lain-lain.
c. Oxides, umumnya mineral bijih dari logam ferrous : magnetit, kromit.
Tabel 2.1 Daftar beberapa logam penting dan mineral bijihnya (Sutarto, 2004)No. Logam Mineral Bijih1. Emas/gold (Au) Native gold
KalaveritSylvanit
2. Perak/silver (Ag) Native silverArgentitSerargirit
3. Besi/iron (Fe) MagnetitHematitSiderit“Limonit”
4. Tembaga/copper (Cu) Native copperBornitKalkositKalkopiritKovelitKupritEnargitMalasitAzurit
5. Timbal/lead (Pb) GalenaSerusitAnglesit
6. Seng/zinc (Zn) SfaleritSmithsonitHemimorfitZinsit
7. Timah/tin (Sn) KasiteritStanit
8. Nikel/nickel (Ni) PendlanditGarnierit
9. Krom/chromium (Cr) Kromit
17
10. Mangan/manganese (Mn) PirolusitPsilomelanBraunitManganit
11. Aluminium/aluminium (Al) Bauksit12. Kobal/cobalt (Co) Smaltit
Kobaltit13. Antimon/antimony (Sb) Native antimony
Stibnit14. Bismut/bismuth (Bi) Native bismuth
Bismuthinit15. Raksa/mercury (Hg) Native mercury
Sinnabar16. Molibden/molibdenum (Mo) Molibdenit
Wulfenit17. Wolfram/tunsten (W) Wolframit
HuebneritScheelit
18. Platina/platinum (Pt) Native platinum19. Arsen/arsenic (As) Arsenopirit
Mineral Penyerta
Mineral penyerta adalah mineral-mineral yang hadir pada tubuh bijih,
tetapi tidak bernilai ekonomis. Mineral penyerta umumnya merupakan mineral
dari kelompok silika, silikat, oksida, karbonat, maupun fosfat (Tabel 2.2).
Tabel 2.2 Daftar mineral penyerta (gangue minerals) yang penting (Sutarto, 2004)No. Kelompok Mineral Penyerta1. Silika Kuarsa
Kalsedon2. Silikat Olivin
DiopsidWolastonitTremolit-aktinolitKloritEpidotAndradit-grosularitKalium felsparAlbitMineral lempungSerisitTurmalin
3. Oksida Magnetit
18
Tabel 2.1 (Lanjutan)
HematitGoetitBauksit
4. Karbonat KalsitSideritRodokrosit
5. Fosfat BaritGipsum
2.3 Klasifikasi Endapan Logam
Menurut Warmada, dkk., (2003), klasifikasi endapan logam dibedakan menjadi
endapan hidrotermal dan endapan sedimenter (placer). Adapun penjelasan
mengenai karakteristik masing-masing endapan sebagai berikut:
2.3.1 Endapan Hidrotermal
a. Endapan Hipotermal.
Mineralisasi yang berasosiasi dengan fluida hidrotermal bertemperatur
tinggi, berkisar antara 300° - ≥500°C dan tekanan yang sangat tinggi (Morrison,
1997).
1) Porfiri; endapan hidrotermal yang terbentuk seperti stockwork atau menyebar
pada batuan yang secara umum berasosiasi dengan intrusi porfiritik dengan
mineralisasi yang berasosiasi dengan alterasi potasik.
2) Skarn; mineralisasi yang berhubungan dengan batuan yang mengalami alterasi
hidrotermal atau proses metasomatisme yang dekat dengan tubuh intrusi dan
batuan karbonat.
b. Endapan Mesotermal (Shear Zone).
Mineralisasi yang terbentuk pada daerah yang dalam di dalam kerak bumi,
dari fluida hidrotermal bertemperatur tinggi, berkisar antara 200°- 300°C, bahkan
dapat mencapai 400°C, dekat dengan tekanan litostatik. Fluida dapat berasal dari
fluida meteorik dan/atau magmatik dan/atau metamorfik, yangmana fluida
metamorfik lebih dominan.
Morrison (1997) menyebutkan bahwa mineralisasi pada endapan
mesotermal biasanya disebut sebagai metamorfogenik, contohnya endapan
mesotermal Lode yaitu endapan urat epigenetik pada metamorphic terrane.
19
Tabel 2.2 (Lanjutan)
Endapan ini juga disebut endapan emas yang berasal dari proses orogenik,
endapan emas gerus yang terbentuk pada shear zone dan endapan emas murni
(native Au).
c. Endapan Epitermal.
Mineralisasi yang terbentuk oleh fluida hidrotermal pada daerah dekat
permukaan yang berhubungan aktivitas volkanisme, awalnya ditperkirakan
terbentuk pada temperatur berkisar 50°- 200°C, namun saat ini kemungkinan
dapat terbentuk pada temperatur 100°-300°C. Endapan ini dibedakan menjadi dua,
yaitu endapan sulfidasi rendah dan sulfidasi tinggi (Morrison, 1997).
d. Endapan Sulfida Masif Batuan Volkanik (Volcanogenic-Hosted Massive
Sulphide/VHMS).
Mineralisasi yang berasosiasi dengan sistem hidrotermal yang berkembang
di daerah volkanik dan batuan volkanoklastik (volkanik-sedimen) pada daerah
dasar laut (Morrison, 1997).
2.3.2 Endapan Sedimenter
a. Endapan Allochthone
Endapan yang terbentuk karena proses mekanis yangmana batuan asal
mengalami transportasi dan deposisi, serta terendapkan tidak pada lingkungan
sedimentasi atau pada saat sedimentasi terjadi, contohnya :
1) Endapan placer; endapan yang terbentuk dari proses pelapukan batuan,
kemudian mengalami proses transportasi dan deposisi, biasanya terendapkan
pada lingkungan darat biasanya di sungai. Menurut Deb (2007), endapan ini
dibedakan menjadi dua, yaitu endapan placer purba dan endapan placer muda.
b. Endapan Autochthone
Endapan yang terbentuk dari rombakan batuan yang terendapkan pada
lingkungan sedimentasi. Morrison (1997) membagi endapan ini menjadi dua,
yaitu :
1) Carlin ; yaitu mineralisasi logam mulia yang membentuk emas berukuran
sangat halus atau submikroskopis yang menyebar, berasosiasi dengan alterasi
20
silisifikasi dan batuan karbonat pada daerah kerak benua, secara luas berlaku
untuk beberapa endapan penggantian karbonat.
2) Banded Iron-Formations/ BIF (formasi besi berlapis); suatu tubuh bijih yang
berlapis di dalam sekuen tebal batuan metasedimen yang kaya besi dan batuan
volkaniklastik, dapat juga berasal dari endapan laterit.
2.4 Endapan Hipotermal
Mineralisasi hipotermal adalah proses pembentukan mineral pada suhu
tinggi (300°C- 5000C) yang berada pada lingkungan jauh dengan permukaan pada
kedalaman kurang dari 4-6 km.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi secara umum pada lingkungan
ini, yang mencirikan karakteristik dari proses mineralisasi, temasuk kondisi
geologi lokal berupa permeabilitas, reaktivitas dari host-rocks, tekanan dan
temperatur dari fluida hidrothermal. Fluida hidrothermal mungkin terbentuk dari
residu magma asli, tetapi umumnya terbentuk ketika airtanah terpanaskan oleh
tubuh batuan yang meleleh (Gambar 2.5).
Corbett dan Leach (2002) menyebutkan bahwa endapan hipotermal
terbentuk pada kedalaman 4.000 – 6.000 meter. Pada endapan ini, biasa terdapat
mineral logam yang berupa bornit, kovelit, kalkosit, kalkopirit, pirit, tembaga,
emas, wolfram, molibdenit, seng dan perak. Mineral logam tersebut berasosiasi
dengan mineral - mineral pengotor seperti piroksen, amfibol, garnet, ilmenit,
spekularit, turmalin, topaz, mika hijau dan mika cokelat.
Keberadaan dari endapan hipotermal terkait dengan pembentukannya yang
dipengaruhi oleh aktivitas magmatisme yang berada pada lokasi di bawah
permukaan, yaitu pada kedalaman 4.000 – 6.000 meter. Selain itu, dengan adanya
sistem hidrotermal yang membutuhkan adanya aktivitas magmatisme, maka
endapan hipotermal akan dapat ditemukan pada daerah-daerah yang terdapat
aktivitas magmatisme seperti sepanjang zona subduksi ataupun ring of fire.
21
Gambar 2.5 Skema Keberadaan Endapan Hipotermal (Corbett and Leach, 2002)
2.5 Sistem Endapan Porfiri
Sistem porfiri merupakan salah satu endapan hipotermal yang memiliki
karakteristik berupa jalinan rekahan – rekahan yang sangat halus (stockwork)
dengan penyebaran mineral yang tersebar secara merata (disseminated) yang
berhubungan dengan proses alterasi dan mineralisasi pasca terjadinya intrusi
porfiri. Sistem endapan porfiri terbentuk di sekitar intrusi yang dipengaruhi oleh
busur vulkanoplutonik, yaitu struktur busur normal atau busur paralel.
Pendinginan intrusi yang berada pada kerak bagian atas merupakan hasil dari
proses konduktif yang kehilangan panas serta merupakan ciri pembentukan zona
kumpulan alterasi. Selanjutnya aktivitas tersebut diikuti oleh proses naiknya sisa
larutan magma dan pembentukan stockwork di sekitar tubuh intrusi (Gambar 2.6).
Mineralisasi terbentuk pada lingkungan konduktif yaitu lingkungan
pengendapan logam kondisinya yang terbentuk sebagai hasil dari pendinginan dan
pencampuran dengan air meteorik, logam tersebut berasal dari larutan magma
yang lebih besar dan dalam. Pusat mineralisasi tembaga porfiri terjadi pada zona
paleopermeabilitas yang terbesar, yaitu sepanjang daerah yang dikontrol oleh
sesar dari intrusi batuan induk dan sebelum terbentuknya rekahan stockwork
22
1-4 km
veining (Gambar 2.6). Nama porfiri digunakan untuk menjelaskan intrusi batuan
beku yang terjadi secara intensif dan bukan selalu untuk tekstur porfiritik.
Gambar 2.6 Skema Sistem Endapan Porfiri (Corbett dan Leach, 2002)
Endapan tembaga porfiri merupakan endapan tembaga yang berukuran
sangat besar tetapi kadar tembaganya agak rendah. Mineral bijih tersebar secara
merata pada batuan dan berbentuk stockwork dengan sedikit komposisi emas,
molibdenum dan perak (Evans, 1992)
2.5.1 Aspek – Aspek Pembentukan Endapan Porfiri
Dalam pembentukannya, sistem porfiri memiliki aspek – aspek seperti
yang dijabarkan oleh Lowell dan Guilbert (1970), Gustafsont dan Hunt (1975),
Sillitoe dan Gappe (1984) serta Corbett dan Leach (2002) sebagai berikut :
1. Aspek Tektonik dan Struktur Geologi Regional
Sistem porfiri berasosiasi dengan proses magmatisme dan
vulkanoputonisme di daerah batas lempeng lempeng tektonik konvergen, baik
pada lempeng benua maupun pada lempeng samudera yang membentuk busur
kepulauan.
23
Rezim tektonik yang bekerja untuk menghasilkan suatu sistem porfiri
bervariasi mulai dari rezim tektonik tumbukan dan rezim tektonik tegangan.
Rezim – rezim inilah yang kemudian membentuk zona – zona lemah pada kerak
yang kemudian menjadi jalan bagi magma untuk naik dan mengintrusi.
2. Aspek Komposisi Kimia Magma
Proses subduksi lempeng yang terjadi pada zona subduksi mengakibatkan
terbentuknya magma yang bersifat menengah hingga asam dengan komposisi
kimia berupa calc alkaline – alkaline.
Mineralisasi pada sistem porfiri dimulai saat magma yang terbentuk
menjadi sangat jenuh oleh sulfur yang tereduksi, sehingga untuk membentuk
kestabilan, ion – ion sulfur tersebut harus menangkap ion – ion bermuatan positif
yang biasanya berasal dari unsur – unsur logam Cu dan Au yang kemudian
biasanya membentuk sulfida tembaga.
3. Aspek Asosiasi Litologi
Reaksi kimia yang terjadi antara larutan hidrotermal dengan batuan samping
menghasilkan kumpulan mineral yang khas, misalnya pada batuan samping yang
berupa batuan karbonat akan terbentuk asosiasi mineral endapan skarn, sementara
pada sistem porfiri di busur kepulauan akan terlihat karakter batuan dengan unusr
Na dan K yang rendah sehingga memungkinkan terbentuknya zona alterasi argilik
yang relatif luas.
4. Aspek Kedalaman, Ukuran dan Tempo Intrusi
Kedalaman, ukuran dan tempo intrusi memegang peranan yang sangat
penting dalam mempengaruhi terjadinya perubahan temperatur dan tekanan pada
saat terjadinya proses mineralisasi. Sistem porfiri pada umumnya terbentuk pada
suatu tubuh intrusi yang berdiameter lebih kecil dari 2 km, yang memungkinkan
terjadinya akumulasi mineral dalam suatu dimensi ruang yang relatif lebih kecil
dibandingkan dengan dimensi dari batolit di bawah tubuh intrusi tersebut.
Kemudian intrusi tersebut mengalami perubahan pada kedalaman yang relatif
dangkal (1-4 km), sehingga terjadi perbedaan tekanan udara yang kontras antara
material volatil dalam intrusi dengan atmosfer. Pendinginan yang terjadi secara
cepat akibat interaksi antara intrusi dengan batuan samping yang lebih dingin dan
24
adanya pengaruh dari air meteorik menyebabkan bagian luar dari intrusi
mengalami pendinginan yang cepat.
Kristalisasi yang terjadi secara cepat akan menghasilkan peningkatan
konsentrasi volatil dalam sisa magma yang akan meningkatkan tekanan uap dari
larutan sisa magma. Sehingga suatu saat tekanan uap larutan sisa magma akan
melampaui kekuatan dari batuan bagian luar yang telah membeku terlebih dahulu,
sehingga terjadilah proses pelepasan larutan hidrotermal yang kaya akan mineral
logam melalui rekahan – rekahan dan sesar.
5. Aspek Kedalaman, Ukuran dan Tempo Intrusi
Batuan yang terbentuk pada proses intrusi di atas berupa batuan yang
bertekstur porfiritik dengan fenokris terdiri dari feldspar, kuarsa dan mineral
mafik pada massadasar berbutir halus hingga afanitik, dilanjutkan dengan proses
alterasi yang berasosiasi dengan pembentukan mineral – mineral logam dan
membentuk zona alterasi mulai dari potasik, filik, argilik, hingga propilitik pada
bagian yang paling luar
2.5.2 Evolusi Sistem Porfiri Tembaga-Emas
Corbett dan Leach (1998) membagi 3 tahap pembentukan zonasi alterasi
dan mineralisasi dalam konsep model evolusi sistem porfiri tembaga dan emas.
Tahapan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.7.
Tahap 1. Tahap Perpindahan Panas dan Mulai Terbentuknya Alterasi
Tahap ini ditandai dengan tahap transfer panas dari gas-gas volatil sisa
pembekuan magma. Hal ini berhubungan dengan proses pendinginan serta proses
kristalisasi yang disertai oleh terbentuknya formasi kumpulan zona alterasi.
Akibat transfer panas tersebut sistem mengalami kenaikan temperatur yang
dikenal dengan proses progradasi. Pada Tahap ini, zona alterasi potasik dan
propilitik terbentuk. Pembentukan zona potasik dan propilitik lebih dikontrol oleh
perbedaan suhu antara tubuh intrusi dan pada batuan samping. Hal ini ditunjukan
pula oleh kumpulan mineral - mineral yang terbentuk pada suhu tinggi seperti
biotit, magnetit, feldspar sekunder dan aktinolit.
25
Gambar 2.7 Evolusi Sistem Porfiri Cu-Au (Corbett Dan Leach, 1998)
Tahap 2. Eksolusi Fluida Magmatik
Tahap ini merupakan suatu proses pendinginan dari sistem atau disebut
retrogradasi. Pembentukan tekanan gas dalam serta pendinginan magma
memungkinkan terjadinya rekahan-rekahan pada batuan induk yang rapuh. Dalam
banyak pergerakan tektonik yang cepat memberikan suatu kesimpulan pada
26
banyaknya rekahan-rekahan yang terjadi pada tudung intrusi. Hal tersebut juga
dihubungkan dengan penurunan tekanan secara tiba-tiba. Perubahan dari tekanan
litostatik ke hidrostatik pada kedalaman 2 km yang diikuti oleh penurunan
tekanan di atas eksolusi volatil dapat menyebabkan perubahan posisi pada rekahan
yang terdapat pada tudung intrusi. Pada tahap ini, yaitu pada saat sistem
mendingin dan magma telah terkonsolidasi sepenuhnya, terbentuk rekahan yang
berupa stockwork yang didominasi oleh kuarsa dan kekar berlembar, terutama
pada batas terluar intrusi. Pembentukan rekahan-rekahan tersebut selanjutnya
akan menjadi media pengendapan larutan hidrotermal yang membawa unsur
logam.
Tahap 3. Tahap Pendinginan dan Pengendapan Mineral
Tahap ini merupakan tahap akhir dari evolusi pembentukan endapan
porfiri Cu-Au. Tahap ini ditandai dengan semakin baiknya infiltrasi air meteorik
dan terbentuknya zona alterasi filik dan argilik. Mineralisasi terjadi dari hasil
perubahan secara cepat dari lingkungan yang didominasi oleh cairan magmatik ke
lingkungan yang lebih didominasi oleh proses pendinginan serta banyaknya air
metorik. Kelimpahan mineral lempung dan serisit menandai larutan hidrotermal
yang kaya akan air meteorik. Tahap ini pula merupakan tahap penting dalam
mineralisasi, yaitu larutan hidrotermal yang membawa unsur-unsur logam akan
terendapkan dalam rekahan-rekahan siring dengan pendinginan dari sistem.
3.5.3. Stockwork
Stockwork merupakan bentuk dalam skala besar yang merupakan
percabangan yang tidak beraturan dari rekahan yang kemudian diisi oleh material
mineral. Menurut Corbett dan Leach (1996) stockwork terbentuk sebagai hasil
proses dari :
Pembentukan rekahan selama selama pendinginan pada daerah atas dari sebuah
intrusi batuan beku.
Rekahan yang tidak teratur terbentuk oleh kekuatan tensional atau torsional
stockwork biasanya terjadi pada intrusi batuan beku plutonik menengah sampai
asam, tapi dapat juga terjadi di sekitar kontak litologi.
27
Pada skala endapan bijih, struktur yang berhubungan dapat menghasilkan
variasi dari tipe mineralisasi, termasuk urat, set urat, stockwork, rekahan, crackled
zones, dan pipa breksi. Pada endapan porfiri yang besar dan ekonomis, urat yang
termineralisasi dan rekahan biasanya memiliki densitas yang sangat tinggi.
Orientasi dari struktur mineralisasi dapat dihubungkan dengan lingkungan yang
terkena tekanan lokal disekitar bagian atas dari pluton.
Pada endapan porfiri Cu-Au, mineralisasi akan terakomodasi bersama
stockwork urat kuarsa, akibat kondisi bawah permukaan dengan kondisi
temperatur dan tekanan tinggi yang hanya memungkinkan larutan hidrotermal
untuk bergerak melalui rekahan. Kontrol permeabilitas dalam kondisi tersebut
akan sangat kecil, sehingga kecenderungan larutan hidrotermal untuk melalui
rekahan dalam batuan akan rendah. Akibat hal ini, kelimpahan mineralisasi akan
lebih banyak terdapat dalam urat-urat halus daripada dalam bentuk sebaran dalam
tubuh batuan.
Stockwork yang terbentuk dalam sistem endapan porfiri merupakan
kumpulan urat yang berisi mineral yang berbeda dan rumit. Setiap urat mewakili
sebuah komposisi cairan hidrotermal, mineral yang terdapat di dalam urat
merupakan hasil dari percampuran antara air meteorik dengan air magmatik. Urat
juga dapat terbentuk pada lingkungan magmatik dan juga lingkungan hidrotermal.
2.6. Alterasi Hidrotermal
2.6.1 Pengertian Alterasi Hidrotermal
Pirajno (1992) menyebutkan bahwa alterasi hidrotermal adalah suatu
proses perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang terjadi akibat
interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan samping yang dilaluinya pada
kondisi kimia-fisika tertentu. Proses ini berupa pergantian (replacement),
pencucian (leaching) dan pengendapan mineral langsung (direct deposition) dari
larutan hidrotermal yang mengisi urat atau rongga. Corbett dan Leach (1996)
menyebutkan bahwa proses hidrotermal merupakan suatu proses perubahan dalam
batuan yang diakibatkan naiknya H2O panas ke permukaan, sedangkan Lawless,
28
dkk., (1998) memasukan unsur gas sebagai salah satu medium pengubah batuan
tersebut.
Alterasi hidrotermal pada umumnya memiliki penyebaran yang lebih luas
dari deposit bijih itu sendiri. Proses hidrotermal merupakan suatu proses
perubahan dalam batuan yang diakibatkan naiknya H2O panas ke permukaan,
sedangkan Lawless, dkk., (1998) memasukkan unsur gas sebagai salah satu
medium pengubah batuan tersebut. Pada umunya intrusi batuan beku selalu diikuti
oleh adanya injeksi larutan sisa, yaitu hidrotermal. Larutan ini berdifusi, mengisi,
dan mempengaruhi rekahan - rekahan pada dinding batuan.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan yang terjadi pada
batuan akibat naiknya fluida hidrotermal, antara lain:
Temperatur dan tekanan pada saat reaksi berlangsung
Sifat kimia larutan hidrotermal (EH, pH)
Konsentrasi larutan hidrotermal
Komposisi batuan samping
Durasi aktivitas hidrotermal
Permeabilitas
Perubahan mineral tergantung pada proses alterasi yang berlangsung.
Perubahan kecerahan warna dapat menjadi bertambah cerah atau memudar, hal ini
terjadi karena melimpahnya mineral lempung, alunit, kuarsa dan mineral karbonat
mengalami oksidasi sehingga bertambah gelap, misalnya oksidasi pirit menjadi
limonit, hematit dan klorit.
Corbett dan Leach (1998) menyatakan bahwa reaksi hidrotermal pada fase
tertentu akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu tergantung dari temperatur
dan pH fluida yang disebut sebagai himpunan mineral. Sehingga dengan
munculnya mineral alterasi tertentu akan menunjukan komposisi pH larutan dan
temperatur fluida.
Suatu daerah yang memperlihatkan penyebaran kesamaan himpunan
mineral alterasi disebut sebagai zona alterasi. Berdasarkan hubungan antar
temperatur dan pH larutan, Corbett dan Leach (1998) membuat zona alterasi yang
ditunjukan oleh himpunan mineral tertentu yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.
29
Tabel 2.3 Kumpulan Mineral Alterasi Dalam Sistem Hidrotermal (Corbett Dan Leach, 1998)
Beberapa mineral ubahan dari larutan hidrotermal hidrotermal dapat
dijadikan petunjuk temperatur. Mineral-mineral tersebut merupakan mineral dasar
yang terbentuk dari hasil alterasi batuan pada kondisi asam – netral. Hal ini
dijabarkan oleh Lawless, dkk., (1998) pada Tabel 2.4 dan Morrison (1997) pada
Tabel 2.5.
30
Tabel 2.4 Mineral Ubahan Penciri Temperatur (Lawless, dkk., 1998)
Tabel 2.5 Mineral Ubahan Penciri Temperatur (Morrison, 1997)
31
2.6.2. Tipe Alterasi (Type of Alteration)
Corbett dan Leach (1998) membuat klasifikasi alterasi hidrotermal pada
endapan tembaga porfir menjadi empat tipe yaitu propilitik, argilik, potasik, dan
himpunan kuarsa-serisit-pirit. Adapun macam - macam tipe alterasi antara lain :
1. Propilitik
Dicirikan oleh kehadiran klorit disertai dengan beberapa mineral epidot,
illit/serisit, kalsit, albit, dan anhidrit. Terbentuk pada temperatur 200°-300°C pada
pH mendekati netral, umumnya pada daerah yang mempunyai permeabilitas
rendah.
Menurut Corbett dan Leach (1998), terdapat empat kecenderungan
himpunan mineral yang hadir pada tipe propilitik, yaitu:
a) Klorit-kalsit-kaolinit
b) Klorit-kalsit-talk
c) Klorit-epidot-kalsit
d) Klorit-epidot
2. Argilik
Pada tipe argilik terdapat dua kemungkinan himpunan mineral, yaitu
muskovit-kaolinit-monmorilonit dan muskovit-klorit-monmorilonit. Himpunan
mineral pada tipe argilik terbentuk pada temperatur 100°-300°C (Pirajno, 1992)
dan sifat fluida asam-netral.
3. Potasik
Dicirikan oleh melimpahnya himpunan muskovit-biotit-alkali felspar-
magnetit. Anhidrit sering hadir sebagai aksesori, serta sejumlah kecil albit, dan
titanit (sphene) atau rutil kadang terbentuk. Alterasi potasik terbentuk pada daerah
yang dekat batuan beku intrusif yang terkait fluida yang panas (>300°C) dan
karakter magmatik yang kuat.
4. Filik
Tersusun oleh himpunan mineral kuarsa-serisit-pirit, yang umumnya tidak
memiliki komposisi mineral lempung atau alkali feldspar. Kadang terdiri dari
sedikit anhidrit, klorit, kalsit, dan rutil. Terbentuk pada temperatur sedang-tinggi
32
(230°-400°C), fluida asam-netral, pada zona permeabel, dan pada batas dengan
urat.
5. Propilitik dalam (inner propilitik)
Menurut Hedenquist dan Linndqvist (1985), zona alterasi pada sistem
epitermal sulfidasi rendah (fluida kaya klorida, pH mendekati netral) umumnya
menunjukkan zona alterasi seperti pada sistem porfir, tetapi menambahkan istilah
inner propylitic untuk zona pada bagian yang bertemperatur tinggi (>300°C),
yang dicirikan oleh kehadiran epidot, aktinolit, klorit, dan ilit.
6. Argilik lanjut (advanced argilic)
Sedangkan untuk sistem epitermal sulfidasi tinggi (fluida kaya asam
sulfat), ditambahkan istilah advanced argilic yang dicirikan oleh kehadiran
himpunan mineral pirofilit + diaspor ± andalusit ± kuarsa ± turmalin ± enargit -
luzonit (untuk temperatur tinggi, 250°-350°C), atau himpunan mineral kaolinit +
alunit ± kalsedon ± kuarsa ± pirit (untuk temperatur rendah, <180°).
7. Skarn
Mineral yang sangat umum didapatkan pada batuan skarn yaitu kelompok
garnet, piroksen, amfibol, epidot, dan magnetit. Mineral lain yang umum adalah
wolastonit, klorit, biotit, dan kemungkinan vesuvianit (idokras).
Garnet – piroksen - karbonat adalah kumpulan yang paling umum
dijumpai pada batuan induk karbonat yang orisinil. Amfibol umumnya hadir pada
skarn sebagai mineral tahap akhir yang menutupi mineral-mineral tahap awal.
Aktinolit (CaFe) dan tremolit (CaMg) adalah mineral amfibol yang paling umum
hadir pada skarn. Jenis piroksen yang sering hadir adalah diopsid (CaMg) dan
hedenbergit (CaFe).
Alterasi skarn terbentuk pada fluida yang mempunyai temperatur tinggi,
berkisar antara 300° - 700°C.
8. Greisen
Himpunan mineral pada greisen adalah kuarsa-muskovit atau lipidolit
dengan sejumlah mineral asesori seperti topas, turmalin, dan florit yang dibentuk
oleh alterasi metasomatik post-magmatik granit.
33
9. Silisifikasi
Merupakan salah satu tipe alterasi hidrotermal yang paling umum dijumpai
dan merupakan tipe terbaik. Bentuk yang paling umum dari silika adalah tridimit,
kristobalit, opal, kalsedon. Bentuk yang paling umum adalah kristobalit, dan
tridimit kebanyakan ditemukan di batuan volkanik. Tridimit umumnya sebagai
produk devitrivikasi gelas volkanik, terbentuk bersama alkali feldspar.
Selama proses hidrotermal, silika didatangkan dari cairan yang bersirkulasi
atau ditinggalkan di belakang dalam bentuk silika residual setelah proses
pencucian (leaching) dari dasar. Solubilitas silika mengalami peningkatan sesuai
dengan temperatur dan tekana, dan jika larutan mengalami ekspansi adiabatik,
silika mengalami presipitasi, sehingga di daerah bertekanan rendah siap
mengalami pengendapan (Pirajno, 1992).
Permasalahannya, seringkali kita mendapati dalam satu contoh batuan
ditemukan beberapa mineral dari dua tipe atau lebih. Prosedur yang baik untuk
tahap awal observasi batuan tersebut di atas adalah menulis semua mineral yang
tampak sebagai himpunan mineral. Apabila dalam satu batuan dijumpai mineral-
mineral klorit, kuarsa, kalsit, dan kaolinit, maka disebut sebagai himpunan
mineral klorit – kuarsa – kalsit – kaolinit (Sutarto, 2004).
Sedangkan menurut Lowell dan Guilbert (1970), klasifikasi alterasi
hidrotermal pada endapan tembaga porfiri (Gambar 2.8) ada empat tipe yaitu:
1. Zona potasik, yang dicirikan oleh kumpulan mineral ubahan yang terbentuk
pada temperatur >300oC dan pH netral, dicirikan oleh adanya biotit sekunder,
K – feldspar, magnetit, aktinolit dan klinopiroksen. Apabila batuan samping
adalah sedimen karbonat, maka mineral yang akan terbentuk pada kondisi
temperatur yang sama dengan zona potasik, terdiri dari himpunan mineral kalk-
silikat seperti Ca-garnet, klinopiroksen dan tremolit.
2. Zona Filik, yang dicirikan oleh kumpulan mineral ubahan yang terbentuk pada
kondisi pH mirip dengan zona argilik, akan tetapi temperaturnya lebih tinggi
(250-300oC). Mineral sekunder yang dijumpai biasanya kuarsa, serisit, klorit,
pirofilit, andalusit dan pirit.
34
3. Zona Argilik, yang dicirikan oleh kumpulan mineral ubahan yang terbentuk
pada temperatur 220o-250oC dan pH larutan antara 4-5. Mineral yang dijumpai
diantaranya kalsit, mineral lempung (illit, smektit, montmorrilonit) dan pirit.
4. Zona Propilitik, yang dicirikan oleh kumpulan mineral ekunder yang terbentuk
pada temperatur <250oC dan kondisi pH mendekati netral. Dicirikan dengan
adanya mineral klorit-kalsit-epidot, lempung dan pirit.
Gambar 2.8 Zona alterasi hidrotermal pada deposit tembaga porfiri (Lowell dan Gilbert, 1970)
2.6.3 Pola Alterasi (Style of Alteration)
Kuantitas alterasi pada batuan disebabkan oleh derajat dan lamanya proses
alterasi. Terdapat tiga jenis pola alterasi (Sutarto, 2004), yaitu :
a. Pervasive
Yaitu penggantian seluruh atau sebagian besar mineral pembentuk batuan.
Semua mineral primer pembentuk batuan telah mengalami alterasi, walaupun
intensitasnya berbeda. Contohnya adalah pergantian mineral hornblende menjadi
biotit sekunder tetapi belum terubah sepenuhnya.
b. Selectively pervasiveProses alterasi hanya terjadi pada mineral-mineral tertentu pada batuan.
Contohnya klorit pada andesit hanya mengganti piroksen saja, sedangkan
plagioklas tidak ada yang terubah sama sekali.
35
c. Non-pervasive
Hanya bagian tertentu dari keseluruhan batuan yang mengalami alterasi
hidrotermal. Contohnya pada bagian sekitar urat kuarsa terjadi silsifikasi.
2.6.4 Proporsi Mineral Alterasi
Proporsi satu mineral alterasi tertentu dalam batuan digolongkan sebagai
berikut (Sutarto, 2004) :
a. Jarang (rare) : <1%
b. Sedikit (minor) : 1-5%
c. Sedang (moderate) : 5-10%
d. Banyak (major) : 10-50%
e. Melimpah (predominant) : >50%
2.6.5 Intensitas Alterasi
a. Tidak terubah (unaltered): tidak ada mineral sekunder
b. Lemah (weak): mineral sekunder <25% volume batuan
c. Sedang (moderate): mineral sekunder 25-75% volume batuan
d. Kuat (strong): mineral sekunder >75% volume batuan
e. Intens (intense): seluruh mineral primer terubah, kecuali kuarsa, zirkon, dan
apatit, tetapi tekstur primernya masih terlihat
f. Total (total): seluruh mineral primer terubah, kecuali kuarsa, zirkon, dan apatit,
serta tekstur primer sudah tidak tampak lagi
2.6.6 Alterasi Hidrotermal Daerah Batu Hijau
Alterasi batuan samping berkembang secara zonasi mengarah keluar dari
intrusi tonalit porfiri. Alterasi hidrotermal yang berhubungan erat dengan
mineralisasi pada sistem porfiri Batu Hijau terbagi menjadi beberapa tahap
berdasarkan waktu pembentukannya (Tabel 2.6), yaitu:
1. Alterasi Tingkat Awal (Early Alteration)
Alterasi tingkat awal terdiri dari proses biotisasi fenokris dan masa dasar mineral
mafik serta pembentukan magnetit-biotit±kuarsa stringer dan veinlet EDM (Early
36
Dark Micaeous) biotit-serisit. Plagioklas sekunder terbentuk pada saat
pembentukan awal veinlet kuarsa. Alterasi awal terjadi pada bagian dalam dan
proksimal intrusi tonalit porfiri. Magnetit-biotit±kuarsa berkurang seiring
bertambahnya jarak menjauhi kontak porfiri, tetapi biotit sekunder terbentuk
hingga 500 m menjauhi porfiri. Pada bagian distal endapan, andalusit dan antofilit
masing-masing terbentuk pada kedalaman dangkal dan rendah. Mineral-mineral
temperatur tinggi ini kemungkinan terbentuk pada saat yang bersamaan dengan
alterasi magnetit-biotit±kuarsa pada bagian interior endapan.
2. Alterasi Tingkat Transisi (transitional alteration)
Alterasi tingkat transisi ditandai dengan terubahnya biotit menjadi klorit dan
vermikulit, oligoklas menjadi albit sepanjang urat dan serisit ± kalsit. Magnetit
terubah menjadi hematit atau kalkopirit pada daerah proksimal dan pirit pada
daerah distal. Anhidrit juga terbentuk pada alterasi awal dan transisi, berasosiasi
dengan feldspar sekunder, tetapi mineral ini telah larut menuju kedalaman lebih
dari 1000 meter dari endapan.
3. Alterasi Tingkat Akhir (Late Alteration)
Alterasi tingkat akhir dicirikan dengan kehancuran feldspar (feldspar destruction),
alterasi serisit dan pembentukan urat dan veinlet sulfida tipe “D”. Veinlet dapat
berupa pirit dan kuarsa dan terkadang terdapat kalkopirit. Halo veinlet pirit, biotit
dan serisit digantikan oleh serisit dan secara lokal oleh andalusit dan piropilit ±
kaolinit, dan magnetit terubah menjadi spekularit atau pirit. Di luar halo veinlet D,
kehancuran feldspar yang lebih lemah, serisit, albit ± kalsit atau epidot dapat
hadir, berasosiasi dengan mineral mafik terkloritkan dan diseminasi pirit. Pada
daerah ini dan daerah luar dari alterasi transisi umum disebut sebagai zona
propilitik.
4. Alterasi Tingkat Sangat Akhir ( Very Late Alteration)
Alterasi tingkat sangat akhir juga dicirikan oleh kehancuran feldspar, tetapi
berbeda dengan late alteration, feldspar digantikan oleh smektit berasosiasi
dengan serisit dan klorit dan mineral sulfida berupa sfalerit, galena, tennantit, pirit
dan kalkopirit.
37
5. Alterasi Zeolit (zeolit alteration)
Alterasi zeolit terdiri dari mineral temperatur rendah stilbit dan laumonit ± kalsit
yang mengisi rekahan/rongga.
Tabel 2.6 Tahapan Alterasi Hidrotermal Batu Hijau (Clode dkk., 1999)MAGMATIC EARLY TRANSITIONAL LATE (Feldspar Destroyed) VERY LATE
Texture Destroyed Texture Preserve
HORNLENDE BIOTITE BIOTITEHYDROMICA,
CHLORITE, RUTILE
SERICITEPYROPHYLITE
DICKITERUTILE
CHLORITESERICITERUTILE
SERICITE(Montmorilonit)
± CHLORITE
BIOTITESTABLE
SecondaryOvergrowthSTABLESecondary
Overgrowth
PLAGIOCLASE CORE
Labradorite to Andesine (An23-45)
STABLEPartial Relpacement
Oligoclase ± Anhydrite
SECONDARY OLIGOCLASE ±
Anhydrite
SERICITE, CALCITE
SERICITE-PARAGONITE
QUARTZ
ANDALUSIT-QUARTZ
±Cordierite
PHYROPILITE-QUARTZ ±
Kaolinite
KAOLINITE ±ALUNITE
SERICITE, CALCITE, SMECTITE
(Montmorilonit)
PLAGIOCLASE RIMS
Andesine To Oligoclase (An15-
23)
STABLEReplacement, Overgrowth
Secondary Oligoclase
SECONDARY OLIGOCLASE ±
AnhydriteSECONDARY
ALBITE
PYRITE SMECTITE
(Montmorilonit)
MAGNETITESECONDARY
MAGNETITE –ILMENITESolid Solution ± Zn
Hercynite
SPHENE CHALCOPIRITE
± Magnetite
CHALCOPYRITE,PYRITE
± Specularite, Magnetite
PYRITE
± CHALCOPYRITE,
BORNITE
PYRITE ± SPECULARITE
SULFIDE CHALCOCITEDIGENITE-BORNITE
BORNITE ± Chalcopyrite
CHALCOPYRITEPYRITE
± Chalcopyrite, Bornite
VEINS
MAGNETITE ± QUARTZ
BIOTITE ± MAGNETITE
QUARTZ-BIOTITE ± MAGNETITE, SULFIDE
EDM-LIKE VEINLETS
A, A FAMILY, AB QUARTZ, VEINLETS With
Anhydrite
AB, B QUARTZ VEINLETS
ANHYDRITE VEINLETS
C VEINLETSChalcopyrite ±
Bornite,Anhydrite and
Quartz
D-SULFIDE VEINLET
PYRITE and/or CHALCOPYRITE ± BORNITE, SPHALERITE, GALENA
and QUARTZ
SPHALERITEGALENA
TENNANTITEPYRITE
CHALCOPYRITEVEIN AND VEINLETS
PT. Newmont Nusa Tenggara mengelompokan lagi jenis alterasi yang ada
untuk memudahkan pembagian jenis alterasi. Mitchell, dkk., (1998) membagi
alterasi Batu Hijau menjadi:
1. Parsial Biotit
Zona alterasi ini merupakan zona alterasi awal yang terbentuk pada batuan tonalit.
Alterasi ini dicirikan oleh mineral mafik berupa hornblende dan piroksen yang
sebagian terubah menjadi biotit, disamping masih ditemukannya mineral
38
hornblende primer yang utuh. Penyebaran zona alterasi parsial biotit mengikuti
pola penyebaran intrusi tonalit muda.
2. Biotit Sekunder
Zona ini merupakan alterasi tingkat awal yang dicirikan dengan hadirnya biotit
sekunder dan magnetit serta umumnya berasosiasi dengan urat kuarsa, hornblende
teralterasi sepenuhnya menjadi biotit. Alterasi ini juga biasanya ditandai dengan
asosiasi mineral porfiri tingkat tinggi seperti bornit, digenit, magnetit serta secara
bergradasi keluar menjadi kalkopirit dan pirit.
3. Pale Green Mica (PGM)
Zona ini merupakan zona alterasi tingkat transisi yang dicirikan dengan adanya
mineral mika hijau yang menandakan peralihan klorit dengan serisit dan biasanya
berasosiasi dengan mineral sulfida kalkopirit dan pirit.
4. Klorit-Epidot-Serisit
Merupakan alterasi tingkat akhir yang dicirikan dengan hadirnya klorit, epidot,
pirit, magnetit dan kalsit. Plagioklas teralterasi menjadi epidot sementara mineral
mafik teralterasi menjadi klorit.
5. Feldspar Destructive
Merupakan alterasi terbentuk paling akhir, dicirikan dengan lempung, serisit,
andalusit, propilit dan berasosiasi dengan urat yang terisi mineral pirit.
2.7 Mineralisasi
2.7.1 Proses Mineralisasi
Mineralisasi menurut Whitten (1974) dalam kamus The Penguin
Dictionary of Geology menyebutkan bahwa mineralisasi adalah proses introduksi,
penetrasi atau akumulasi suatu massa yang akan membentuk mineral bijih dan
mineral penyerta pada suatu batuan sehingga terbentuk endapan mineral.
Boyle (1970) mengemukakan bahwa terdapat 4 kemungkinan asal mineral
bijih dalam cebakan hidrotermal, yaitu:
1. Unsur yang berasal dari hasil proses kristalisasi magma.
2. Unsur yang berasal dari batuan samping (wall rock) yang melingkari cebakan
bijih tersebut.
39
3. Unsur yang berasal dari sumber keterdapatannya yang jauh di bawah
permukaan bumi kemungkinan berasal dari mantel atau dari bagian yang lebih
dalam lagi.
4. Unsur yang mungkin berasal dari permukaan yang mengalami proses
pelapukan.
Menurut Hedenquist dan Reid (1984), daerah kelurusan tinggi seperti zona
sesar, tubuh breksiasi dan litologi dengan rekahan yang intensif merupakan syarat
dalam pembentukan tubuh bijih. Hal-hal pokok yang menentukan pembentukan
mineral hasil proses mineralisasi adalah:
1. Adanya larutan hidrotermal sebagai pembawa mineral
2. Adanya celah batuan sebagai jalan bagi lewatnya larutan hidrotermal
3. Adanya tempat pengendapan mineral
4. Terjadi reaksi kimia yang dapat menyebabkan terjadinya pengendapan mineral
5. Konsentrasi larutan yang cukup tinggi bagi terendapkannya mineral
2.7.2 Mineralisasi Bijih Tembaga Pada Endapan Porfiri Batu Hijau
Tipe alterasi dan mineralisasi Batu Hijau dicirikan oleh adanya cebakan
porfiri Cu – Au yang secara genetik berhubungan dengan intrusi batuan porfiri
tonalit yang menerobos batuan diorit dan vulkanik. Macam – macam mineral bijih
yang ditemukan antara lain mineral sulfida tembaga berupa bornit dan kalkopirit.
Selain itu, juga dapat ditemukan mineral oksida tembaga berupa malakit.
Bornit (Cu5FeS4)
Bornit secara megaskopis dicirikan dari warnanya yang ungu kebiruan, kilap
logam, kekerasan 3, cerat berwarna abu – abu kehitaman, sifat dalam rapuh,
serta memberikan efek magnet setelah dipanaskan. Mineral ini merupakan
mineral bijih tembaga utama yang ditambang oleh PT Newmont Nusa
Tenggara untuk diekstrak tembaganya.
Kalkopirit (CuFeS2)
Kalkopirit secara megaskopis dicirikan dari warnanya yang kuning terang,
kilap logam, kekerasan 3,5 – 4 skala mohs, sifat dalam rapuh, cerat berwarna
hitam kehijauan. Mineral ini juga merupakan mineral bijih tembaga utama
40
yang ditambang oleh PT Newmont Nusa Tenggara untuk diekstrak
tembaganya.
2.7.3 Mineralisasi Bijih Non Tembaga Pada Endapan Porfiri Batu Hijau
Mineral Bijih lain yang tergolong non-tembaga berupa pirit (FeS2),
vivianit dan molibdenit (MoS2)
Pirit (FeS2 )
Pirit secara megaskopis dicirikan dari warnanya yang kuning pucat, kilap
logam, kekerasan 6 – 7 skala mohs, sifat dalam rapuh dan cerat berwarna
hitam. Mineral ini merupakan mineral penyerta dan tidak diekstrak oleh PT
Newmont Nusa Tenggara karena tidak memiliki komposisi unsur tembaga pada
ikatan kimianya.
Vivianit ((Fe3(PO4)2•8(H2O))
Vivianit merupakan mineral fosfat besi, dicirikan dari warnanya hitam metalik,
dengan kekerasan 1.5 – 2 skala mohs, sifat dalam rapuh dan sistem kristal
monoklin
Molibdenit (MoS2)
Molibdenit dicirikan dari warnanya abu - abu, kilap logam, sistem kristal
hexagonal, kekerasan 1.5 – 2 skala mohs, Belahan 1 arah, terbentuk
di lingkungan suhu tinggi seperti dalam batuan beku.
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan studi pustaka dan studi geologi regional Batu Hijau, perkiraan
awal dari hasil penelitian ini adalah :
1. Berdasarkan penelitian Garwin (2002) mengenai “Setting Geologi Yang
Berhubungan dengan Endapan Porfiri Batu Hijau”, diperkirakan litologi yang
berperan dalam mineralisasi (host rock) merupakan batuan intrusif dengan
komposisi magma menengah.
2. Berdasarkan penelitian Clode (1998) mengenai “Studi Alterasi Hidrotermal
Batu Hijau”, diperkirakan alterasi hidrotermal di Batu Hijau dibagi menjadi
41
tahap awal, tahap transisi, tahap akhir dan tahap sangat akhir yang
diindikasikan oleh kelompok mineral penciri.
3. Berdasarkan penelitian Clode (1999) mengenai “Hubungan Antara Intrusi,
Alterasi dan Mineralisasi di Endapan Porfiri Batu Hijau” menyebutkan bahwa
mineralisasi yang terdapat di Batu Hijau merupakan mineral sulfida tembaga,
sehingga diperkirakan variasi mineral logam yang ditemukan berupa mineral
sulfida tembaga, emas, perak, molibdenum, galena dan pirit.
4. Berdasarkan Penelitian Arif dan Baker (2004) yang menyebutkan bahwa
keberadaan mineralisasi di Batu Hijau dalam bentuk sulfida tembaga yang
menyebar (disseminated), sebagai pengisi rekahan (fracture filling) dan
terbawa oleh urat maka diperkirakan adanya pengaruh antara kerapatan urat
kuarsa dengan mineralisasi dan nilai kadar tembaga di Batu Hijau.
42